Tumgik
#persma
dewatama11 · 1 year
Text
Sabtu, 27 Mei 2023
Semalam aku berkumpul dengan teman-teman yang berjuang untuk kejelasan PKKMB di UNY. Mereka sebelumnya mengontak saya untuk membantu mengolah data. Karena saya merasa terdapat kepentingan publik, setidaknya untuk Maba, saya memutuskan datang untuk membantu.
Pukul sepuluh malam saya mengendarai motor dari kontrakan menuju tempat yang sebelumnya telah diputuskan untuk bertemu. Sesampainya di sana, beberapa kawan telah menanti. Aku tidak mengenal mereka cukup jauh. Bahkan, aku tidak menyimpan nomor telepon mereka. Orang-orang yang biasanya di gerakan kini nampak asing. Baru saya sadari, bahwa memang memperjuangkan gerakan itu pasang-surut. Orang terus saja berganti dengan massa yang berbeda pula.
Ketika diminta tolong mengolah data, saya agak kebingungan, sekaligus jengkel dengan survei yang mereka buat. Sebab, survei ini terlihat ngawur dan penuh kecacatan. Saya pun bingung mau dijadikan apa hasil ini. Beruntung aku dan Arinda memiliki secuil gagasan agar hasil ini tidak sia-sia. Setidaknya, survei ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk membuktikan bahwa mereka -yang mengisi survei- lebih dari 95% sepakat untuk PKKMB dilaksanakan secara luring. Tentu dengan alasan berbeda, kadang juga sama.
Setelah mengolah data, kami berbincang banyak soal BEM KM yang cacat secara internal dan gagasan. Mereka seakan-akan hilang dan menjauhi dari keberadaannya. Terlebih pada ketua BEM. Terlebih pada indikasi politik praktis yang ia lakukan. Sungguh menjijikan mengetahuinya. Lebih menjijikkan lagi aku mengenal dia dan cukup banyak obrolan sebelumnya. Kawan-kawan ingin memberontak. Melawan terhdap kepasifan ketua BEM. Sungguh suatu kesadaran yang jauh lebih maju dari ketua BEM itu sendiri.
Selepas pulang subuh, atau lebih tepatnya menjelang subuh. Aku kemudian menidurkan badan dan merehatkan pikiran sejenak. Tidurku kembali tidak nyaman. Beberapa kali aku terbangun dengan suasana yang sama-- Sepi.
Sekitar pukul 12 siang, menuju Rektorat untuk bersua dan merayakan wisuda seorang teman lama. Ia adalah seorang sastrawan -aku menyebutnya begitu- karena tulisan dan kajiannya yang cukup baik dalam bidang ini. Kemudian berswafoto dan mengambil foto untuknya. Sekiranya, itu yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Terima kasih kawan.
Melanjutkan hari, aku bersama Adam, Zhafran, kiron, Hisyam, Dian, dan Ariska menuju lantai 4 ISDB FIS. Atau sekarang disebut FISHIPOL. Namun aku mengurungkan niat mengakui nama FISHIPOL. Sebab, mahasiswa ini cenderung apatis dan menjauhi politik tanpa suatu kejelasan. Bukan juga apolitis, mereka pasif. Tidak ada pengorganisiran dan advokasi yang dilakukan. Sungguh kurang apatis apa mereka.
Alergi diskusi, selalu mengiyakan dan menghamba pada dosen, dan tentu penuh seremonial dan kultur seksisme.
Selanjutnya, menjelang magrib. Bertemu kawan lama yang cukup aktif di gerakan. Kami berencana untuk membuat serangkaian diskusi dan tentu kaderisasai di tubuh gerakan. Kami bosan melihat orang-orang itu saja.
Malam hari aku bersama Kiron, Zhafran, dan Adam menuju Jomboran. Darah konflik tambang pasir yang kini kian parah. Di sana sudah berkumpul beberapa kolektif dan Persma.
Kami memutuskan untuk membuat serangkai liputan panjang guna mengkuliti persoalan yang ada di Jomboran. Semoga terealisasikan.
0 notes
Text
Arah Langkah
Menjelang akhir 2022 itu sama artinya dengan akhir masa baktiku yang kian jelang pula. Mencoba mengintip masa depan, hampir pasti tahun ini akan menjadi tahun terakhirku di LPM Kentingan setelah tiga tahun lebih merajut peristiwa di sana. Tahun depan, mungkin sisa doaku saja yang bisa membersamai awak-awak Kentingan. 
Ditemani lagu "Rumah" yang bergema di ruang dengarku, Fiersa Besari menghentakku dengan 'sejauh apapun kita, hatiku di sebelahmu'. Bersama tulisan ini, semoga dapat menjadi legitimasi bahwa hatiku tidak kemana-mana meski kelak ragaku sudah jauh melalang buana. Tulisan yang kuberi judul 'Arah Langkah' ini, kuharap dapat menjadi tulisan berharga untuk teman-teman yang masih berjibaku di gelanggang pers mahasiswa, khususnya Kentingan.
Bahwa ingin sekali kuberi tahu padamu, kawan. Siapapun dirimu yang dengan gagah menerima amanah sebagai kapten LPM Kentingan, aku hanyalah pendahulumu. Aku tidak lebih tahu darimu, pun aku tidak lebih paham lagi pandai darimu. Aku hanya lebih dahulu merasakan tampuk kepemimpinan itu. Jadi, semoga jangan sampai kamu dihantui oleh bayang-bayangku. Lembaga ini kedepannya akan melangkah sesuai dengan instruksi dan strategimu. Hanya satu hal yang kuingin untuk kamu ingat selalu, "nilai LPM Kentingan harus tetap sama, siapapun yang menggawanginya."
Sebelum melangkah semakin jauh. Saat nanti hari pertamamu tiba, harapku kamu tidak perlu bingung. Rasa berkecamuk mungkin hadir di benakmu, tapi sungguh yang perlu dirimu lakukan pertama kali hanyalah memastikan bahwa kamu sudah mencintai lembaga ini dengan penuh seluruh. Dan menggiring kawan-kawanmu untuk melakukan hal yang sama pula. Itu saja dulu. Demikianlah, kerja-kerja jurnalisme memang perlu dilakukan dengan dedikasi. 
Bekerja (dan bermain) di sebuah lembaga pers, lebih-lebih pers mahasiswa, tidak akan membawamu pada popularitas. Meski sama-sama membawa misi pergerakan dan pencerdasan, sungguh aku berani bertaruh, dirimu dan rekan tidak akan sementereng aktivis seberang jalan. Sudah tidak terkenal, tidak menguntungkan secara material pula. Lantas apa yang lebih tabah dari jalan takwa seorang pers mahasiswa? 
Tapi, dirimu tidak perlu khawatir. Langkah seorang jurnalis, mengimani perkataan Jarar Siahaan, adalah menjalankan fungsi kenabian; membidani sejarah, menyebarkan kebajikan, membela kebenaran, memperjuangkan keadilan, membongkar kejahatan, dan mencerahkan pikiran. MaashaAllah, tidak kalah mulia dari mereka yang selalu menyelipkan ‘hidup rakyat’ disetiap salamnya. Yakinlah.
Meski dalam perjalanannya mungkin dirimu akan lebih banyak bergumul dalam lorong-lorong gelap dan sepi, menekuri paragraf demi paragraf lebih lama dibanding menggenggam megafon, atau lebih sering menghabiskan gelas-gelas kopi di sela diskusi panjangmu. Tapi, toh hal-hal demikian tetap kudus. Pada waktunya, tetap akan membawa pada cita-cita kebermanfaatan untuk rakyat. Rakyat yang mana? tentu bukan rakyat yang mencari keuntungan dari jari-jari penguasa.
Kembali berbicara soal nilai, akan lebih bijak kalau kita berangkat dari akar sejarah lembaga ini. Kawan, kakak-kakak kita dahulu melahirkan LPM Kentingan disela lingkaran-lingkaran diskusi mereka yang memimpikan hidup lepas dari rezim otoritarian dan kemudian, bersama waktu, LPM Kentingan bertumbuh menjadi pers mahasiswa berfalsafah pergerakan. Dari dibredel sampai ditinggal awaknya, semua sudah pernah lembaga ini hadapi. Soal falsafah tersebut tetap kafah dipegang awak-awaknya atau tidak itu lain cerita, terpenting kan LPM Kentingan berhasil meningkahi zaman hingga tetap ada sampai hari ini. Dan (semoga) sampai selamalamanya. 
Alasan dirimu dan kawan-kawan berada di lembaga ini aku tidak tahu dan tidak mau tahu tersebab jawabannya pasti sangat spiritual. Namun, kelak langkah persma ini hanya kalian yang bisa tentukan arahnya. Pergerakan persma yang progresif akan menjadi hil yang mustahal apabila awaknya memilih gak dulu saat ditawari liputan.
Sebab aku membaca catatan Soe Hok Gie tertanggal 13 Januari 1966, “Jika mahasiswa mundur dalam pergulatan sekarang, maka akan kalah untuk selama-lamanya.” Catatan itu rasa-rasanya perlu kita ilhami betul-betul. Pergulatan yang dimaksudkan boleh jadi berbeda setiap zaman, tetapi seadaadanya makna ‘pergulatan’ itu akan terus ada sampai kapanpun. Sehingga itu sama artinya dengan gerakan mahasiswa yang harus tetap ada, pun di dalamnya termasuk pers mahasiswa.
Terakhir, banyak-banyaklah membaca buku. Tetapi, kehidupan tidak hanya dalam lembaran-lembaran kertas. Jadi, banyak-banyaklah juga membaca realitas. Sebab, lembaran-lembaran kertas bisa menjadi senjata kita untuk melawan lupa, sedangkan realitas akan selalu menampar kita untuk tidak lupa melawan. Tabik!
0 notes
sepertidendam · 1 year
Text
Hopeless Romantic
Kali ini aku akan membahas tentang percintaan. Aku tidak muluk-muluk soal percintaan. Aku juga kayaknya harus berhenti mengemis cinta kepada orang lain. Di saat ini memang sulit menemukan kekasih hati, tapi setidaknya aku masih punya buku-buku yang bisa kubaca, film-film yang bisa kutonton, tumblr untuk menuliskan sesuatu, dan Allah tempatku berdoa.
Kadang, aku merasa tidak apa-apa kalau tidak punya pacar (toh punya pacar dosa juga) tapi setidaknya punya temen yang selalu ada. Tapi kenyataannya tak semudah itu....
Jika memikirkan percintaan, aku ga kepikiran siapapun kecuali mas-mas mojok kalo nggak pu persma....tapi kemungkinan jadi sama keduanya agak mustahil. Aku mau naksir-naksiran aja kali ya dengan keduanya. Nggak perlu menyukai dengan serius karena nanti gabisa move on.
0 notes
louddeerpost · 1 year
Text
LPMH-UH Gelar Diskusi Persma Se-Makassar Jalin Silaturahmi
LPMH-UH Gelar Diskusi Persma Se-Makassar Jalin Silaturahmi
Sumber: Dokumentasi Eksepsi Makassar, Eksepsi Online – (12/11) Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin (UKM LPMH-UH) untuk pertama kalinya menyelenggarakan Kegiatan Kumpul Bareng Pers Mahasiswa (KABAR PERSMA) di Laboratorium Moot Court Dr. Arifin Tumpa, S.H.,M.H. pada sabtu (12/11). KABAR PERSMA merupakan rangkaian dari kegiatan Festival Pers Mahasiswa yang…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
Photo
Tumblr media
Terus melangkah dan tak pernah berhenti #latepost✌ #iainponorogo #persma https://www.instagram.com/p/B2G8b3Ugi8Lgmx9KdJLduVCiRBuUaCFSQ-ZgkI0/?igshid=vidjlyo5a5no
0 notes
hujan-rintik · 7 years
Photo
Tumblr media
#persma #persmahasiswa #lpmdinamika #lpmdinamikauinsu #medan #traveljournalism #penapersma2017 #uinsu
1 note · View note
vaislubis-blog · 5 years
Text
Pers Rilis..
Sabtu, 18 Mei 2019 telah berlangsung acara Dies Natalis UKM Jurnalistik Mahardika Surabaya di depan ruang 2.01 lantai 2 kampus STIEM, rangkaian acara tersebut di isi dengan berbagai kegiatan seperti Pameran Foto karya jurnalistik Mahardhika dengan tema Sparkling of Surabaya, lapak buku dan diskusi buku 'jang Oetama' oleh aktivis peneleh Surabaya,
adapaun rangkaian acara dalam dies natalis pagi ini yakni pembukaan, pameran foro dan lapak buku kemudian diskusi buku dan kemuadian akan dilanjutkan dengan Grand Opening basecr Jurnalistik pada sore hari di Waru Sidoarjo, acara dilanjutkan dengan buka bersama dengan seluruh UKM STIEM dan para tamu undangan sekaligus penutupan rangkaian acara dies natalis tahun ini.
berikut suasana dalam diskusi buku...
"sabtu 18 Mei telah terselenggara diskusi buku oleh aktivis peneleh dalam acara disnat Jurnalistik Mahardhika, walapun sedang berpuasa, antusias warga kampus dalam mengikuti diskusi buku tetap ramai, terlihat beberapa alumni jurnalistik mahardhika yang turut hadir dan mengikuti diskusi buku tersebut...
Demikian live report pagi ini, saya vais berserta crew yang bertugas melaporkan untuk Jurnaldika.
0 notes
wahyudintamrin · 4 years
Video
Stay at home #pinisi2018 #persma #lpmprofesiunm https://www.instagram.com/p/B-vu4AkpN9E/?igshid=ukml3s8s7vdx
0 notes
hindiabooks-blog · 6 years
Photo
Tumblr media
🏭🏭🏭 🌌 CATATAN CATATAN JURNALISME DASAR 🌌 #LuwiIshwara #Kompas, 2007 x + 160 hlm Bekas, baik 🏤 Rp. 35.000 🌌 🏦 Pemesanan 👉 DM @hindiabooks | inbox fb.me/hindiabooks | WA +62-896-2225-3005 🌌 #catatancatatanjurnalismedasar #pers #persma #kodeetikpers #dewanpers #teknikpeliputan #komunikasi #wartawan #jurnalis #diklatjurnalistik #korankuning #koran #citizenjournalist #jurnaliswarga #buku #rarebooks #indoreader #hindiabooks 🏡
0 notes
putrifafifah-blog · 6 years
Photo
Tumblr media
📒📖🍹 Dapet pertanyaan nih dari unggahan foto mbak insan sebelumnya. Pertanyaannya: "Menurutmu candu itu bagaikan apa?" Okeee ini jawaban aku: Sebelumnya jawaban basa basi dulu yaaa ehehehehe Menurut KBBI offline edisi V can.du n sesuatu yang menjadi kegemaran Jadi, menurut aku mah yaaa, buku yang ditemani segala macam bentuk minuman adalah candu (bukan minuman keras yaa ehehehe). Apalagi nih, baca bukunya di dalam kamar, sendirian, di luar lagi ujan, ditambah minuman, behh ajib banget. Mengisi liburan, sekarang sih aku lagi baca buku cerpen pilihan kompas 2015. Dengan cerpen utama yang jadi judul dari sampul bukunya itu cerpen "Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta" karyanya Ahmad Tohari. Buku ini bisa banget jadi pilihan bacaan teman-teman. Buku ini seratus persen bikin aku terkesan. Cerpen-cerpen yang dimuat dikompas kan emang membahas realita-realita kehidupan di masyarakat yaaa. Jadi setiap cerpen di dalam buku ini membekas dengan caranya masing-masing setelah dibaca. Beberapa cerpen bahkan ninggalin kesan yang sangat mendalam di hati aku eaeaeaaa buku ini bisa buat aku mikirlah gimana keaadaan disekitar masyarakat saat ini eheheheh alhamdulillah aku mikirlah sekali-sekali wkwk Jadi, pada intinya candu yaaa gitu, kegemaran kita ehehehehe dan kebetulan kegemaran aku disamping tidur, makan, dan main hape yaitu baca buku ehehehe ------------------------------------------------- Apa yang harus kamu lakukan: Ceritain dong buku yang berkesan buat kamu? ------------------------------------------------- Ayo gaes bercerita. Ceritain apa aja. Mau cerita apapun coba ditulis ajaa eheheh semangat menulis dan nikmati bercerita gaes😘 #Kalpadruma #kalpadrumamenulis #kadelis #FIB #Kade #LPMKalpadruma #Persma (di Buzz Lightyear's Space Ranger Spin)
0 notes
gemardanic · 7 years
Text
Hal-hal yang membentuk saya: Jurnalistik
Ini tulisan ketiga dalam tema “hal-hal yang membentuk saya”. (Di bawah-bawah udah nulis dua artikel soal ini juga). Rencananya, saya ingin berbagi tentang hal general dari faktor eksternal yang (kalau bisa dikatakan) membentuk diri saya. Kali ini saya ingin membahas pengalaman saya sebagi jurnalis(?)
Mengapa bidang ini membentuk saya?
Kalau dibilang cita-cita saya mau jadi jurnalis, saya udah meraih cita-cita saya. Alhamdulillah. Bahkan sebelum lulus kuliah.
Dan kenapa ini membentuk diri saya? Karena menjadi jurnalis menjadikan saya manusia yang terus berusaha mencapai kebijaksanaan.
Gemana engga? Pertama kali saya merasakan be a real journalist  itu ketika saya SMA kelas 11. Iya, saya tergabung ke dalam reporter magangers Kompas MuDA. Waktu itu kesempatan yang datang adalah saya ikut liputan wartawan Kompas (dan ini salah satu pengalaman amazing menurut saya). Kami janji liputan untuk daerah Tangsel, waktu itu saya janjian untuk ketemu di satu daerah pasar, buat meliput sampah. Dan kala itu saya sampai lebih dulu+saya nyasar ke pasar yang lain. Sebelumnya kami juga udah briefing dari hp kalo bakal angkat isu limbah atau smapah pasar. Saya bisa tanya ke pedagangnya, dan kala itu, tanpa pernah turun (ya sebelumnya pernah juga sih sehari-dua hari liputan di luar kantor) saya tanya ke salah satu pedagang di pasar, masuk pasar secara random dan tiba-tiba nongkrong sok asik sama mereka. Sendirian. Seolah wartawan tulis profesional (mungkin gue tengil banget kali ya waktu itu). Dan karena dari dulu saya emang bawa uang jajan pas, yaudah saya ngobrol aja tanpa beli dagangannya mereka
Yang saya inget sampai sekarang, lah tikus pasar guedhe-guedhe banget.
Sampai akhirnya syaa belum nemu anglenya, dan saya nyasar pas mau keluar pasar. Malah ditanyain “mau cari apa kak?” atau sesekali di catcalling-in sama mas-mas pasar.
Karena saya salah pasar, saya harus ke pasar satunya buat ketemu kakak wartawan.
Oke, singkat cerita, kami engga dapet apa yang ingin kami tulis. Dan you know, kakak wartawan ngajak saya liputan ke mana? Ke BNN di dekat bandara Soetta. Dan jujur aja, bagi saya itu amazing, karena sampe SMA kelas 11 pun saya engga pernah naik pesawat. Dengan saya liputan waktu itu, for the first time artinya juga saya ke bandara, naik Damri, bukan buat naik pesawat, tapi buat liputan.
Singkat cerita lagi, di SMA pun saya suka ikut lomba jurnalistik. Salah satunya di Sonic Linguistic yang diadain sama MAN Insan Cendikia, jadi runner up kala itu.
Terus saya semakin tertarik dengan dunia jurnalistik. Entah ya, ini terpengaruh sama pekerjaan bokap atau engga, yang jelas, dulu perusahaan tempat bokap kerja memfasilitasi karyawannya buat bawa surat kabar setiap hari. Jadilah dari kecil emang cekokan saya koran cetak.
Pas masuk kuliah saya yang dari peminatan IPA berencana masuk kehutanan atau ilmu komunikasi di institut pertanian. Emang niatnya mau jurnalis, dulu sih mau jurnalis Nat Geo. (saya sampai lupa punya mimpi ini sebelum akhirnya inget lagi pas nulis artikel ini). Polos banget ya. Masa mau masuk kehutanan biar jadi jurnalis Nat Geo. Ya singkat cerita lagi, saya engga masuk. Malah masuk Sastra Indonesia. Tapi di kampus saya malah bergabung di pers mahasiswa. Dan selama itu pun saya belajar banyak. Mulai dari bagaimana menyajikan berita, melihat angle, melihat peran media, menggali narasumber, menggali isu, belajar berani, belajar melihat orang-orang yang punya kedudukan di mata pers itu sama. (Cuy gue bisa nulis nama ibu dan bapak dosen di artikel dengan panggilan nama aja tanpa pakai pak atau buk, padahal gue mahasiswa). Saya harus bisa menaklukan tekanan, baik dari kampus, teman-teman organisasi, aih bahkan tekanan kerja dengan orang di tim yang engga semuanya nyaman. Banyak banget ilmu yang saya dapet di Manunggal. Engga cuma jurnalisme aja, saya dan teman-teman belajar mengelola organisasi pers, muter uang, cari sponsor, bikin MoU dengan percetakkan, dengan pengiklan, berkasus dengan narsum wehehe, dan masih banyak lainnya.
Dan sekarang saya join di Citizen Journalist Academy-nya Liputan6.com dan Indosiar yang bekerja sama dengan Pertamina. Emang sih belum adanya progres dari kegiatan ini. Pun pengalaman saya di M ternyata menolong banget buat ikut kegiatan ini. Kalau dulu saya ada rapat redaksi, di CJA ini saya berasa harus bersikap pro karena saya harus cari materi sendiri, gali isu, peka keadaan-di tengah skripsi yang aduhai banget prosesnya. Sendiri. Ya gitu, gila kenapa sih gue suka bikin diri gue terhimpit. Eh engga boleh ngeluh, ini belom seberapa.
Nah itu, jurnalisme menjadikan saya lebih wise. Saya merasa berguna banget ketika bisa memberitakan suatu hal yang publik belom banyak tahu. Satu sisi saya bisa mengangkat narasumbernya, satu sisi saya meberikan sajian yang bermanfaat buat orang lain. Dan itu menjadikan pola pikir saya, juga keribadian saya, banyak diwarnai referensi hidup.
Kalau mau ditarik kasar, saya kurang lebih 5 tahun sudah mengenal jurnalistik. Dan jurnalistik sangat sangat sangat mempengaruhi kepribadian saya. Menjadi pribadi yang lebih bisa arif berpikir dan memaknai hidup.
0 notes
dindingpelampiasan · 7 years
Text
Lukisan Keempatbelas
Kutengok jam tangan digital yang melingkar di tanganku, terlihat angka 12:57. Tiga menit lagi.
Tentu saja ini sudah lewat jam makan siangku, dan aku melewatkannya sepekan terakhir tanpa menghasilkan apapun. Aku masih berkutat dengan pensil dan kertas sketsa di dalam sanggar seni kampus, tapi tidak ada yang benar-benar aku hasilkan. Hanya goresan-goresan tak berarti, yang tak seorangpun memahaminya, bahkan aku pun. Dan pensilku kembali patah untuk yang ke empat kalinya dalam satu jam terakhir.
12:58. Dua menit lagi.
Otakku masih berputar-putar memikirkan hal yang tak pernah terpikirkan oleh orang lain untuk dilukis. Tukang becak? Pedagang asongan? Pengemis? Loper koran? Pasti profesi-profesi itu sudah mainstream dan terpikirkan orang lain sebagai objek lukis. Aku ingin sesuatu yang berbeda, yang bahkan seorang kuratorpun membutuhkan waktu lebih untuk menangkap maksud lukisanku.
Hhhffftt.. Aku rasa untuk hari ini sudah cukup. Sudah 13 lembar kertas kuhabiskan untuk membuat gambar sketsa dalam sehari, dan tak satupun diantaranya akan kurealisasikan, otakku tak mengizinkan untuk meloloskan keetigabelasnya. Ini seperti kau menolak semua proposal yang kau ajukan sendiri.
12:59. Satu menit lagi.
Pameran memang masih akan diadakan dua pekan mendatang. Tetapi tenggat waktu untuk menyelesaikan lukisan hanya tersisa lima hari. Lukisanku—calon lukisan—dan tiga belas lukisan lain harus diserahkan ke panitia pameran—yang aku ketuai sendiri—untuk diberi bingkai dan perlakuan khusus lain. Dan saat ini dua belas lukisan lain karya teman-teman Seni Rupa sudah diserahkan ke seksi dokumentasi dan dekorasi. Sebelumnya aku lebih sibuk mengurus pelaksanaan acara, keperluan ini-itu, menandatangani surat-surat, tempat pameran, dan lain sebagainya. Baru seminggu ini aku luangkan untuk melukis.
Terlihat sosok Ale—teman seangkatanku yang lukisannya sudah 90 persen jadi—dari balik pintu sanggar. Ia berjalan masuk sambil mengelus perut buncitnya yang pastinya sudah penuh terisi makanan. Aku kira dia akan segera menyelesaikan lukisannya, tetapi dia malah menghampiriku—bukan langsung ke tempatnya melukis.
13:00. Inilah waktu yang kujanjikan pada seorang wartawan kampus untuk wawancara tentang pameran lukisan. Auby, begitu dia memperkenalkan namanya.
“Ren, ada cewek di depan nyari kamu,” Ale berseru memberi tahu.
Benar saja. Pada saat yang sama aku menerima sebuah pesan “Selamat siang. Kak Ren, aku sudah di depan sanggar seni,” di ponsel lamaku.
Sial. Kenapa harus sekarang? Semalam aku berpikir, mungkin sudah kugoreskan beberapa warna pada kanvas sebelum jam satu siang. Sudahlah, lagi pula aku tak menghasilkan apapun di sini. Aku perlu menghirup udara segar setelah tiga jam berada di dalam sanggar.
“Hmm,” balasku dengan anggukan kepala.
Aku berjalan keluar sanggar melalui pintu yang baru saja Ale lewati.
***
19:19. Kemarin.
Ada pesan masuk ke ponsel lamaku yang hanya terdapat layanan panggilan dan pesan singkat—biasanya hanya kugunakan untuk menghubungi ibu di kampung halaman. Aku kira itu pesan dari ibu yang memintaku untuk segera meneleponnya seperti biasa. Ternyata dari nomor asing yang berisi permintaan wawancara terkait pameran lukisan. Dijelaskan bahwa berita akan dimuat di buletin kampus bulan depan. Tentu saja aku menyetujui, langsung kutentukan waktu dan tempat, walaupun aku merasa agak heran. Beberapa kali teman-teman pers mahasiswa pernah membuat janji wawancara, tetapi tidak melalui layanan pesan singkat seperti ini. Biasanya teman-temanku atau siapapun yang berhubungan dengan kampus menghubungiku via aplikasi percakapan yang akan masuk di ponselku satunya—yang memiliki fasilitas lebih lengkap.
Kebiasaanku menggunakan dua ponsel ini memang tidak praktis. Tetapi memang beginilah kebiasaanku, selalu kubawa keduanya kemanapun.
***
“Bisa dimulai?” Auby bertanya. To the point.
Kurasa aku jarang melihat Auby di kampus, atau bahkan mungkin ini kali pertama aku melihatnya. Tubuhnya kecil, penampilannya sederhana, sangat tidak mencolok. Dia hanya membawa sebuah buku catatan kecil, dan sebuah bolpoin yang terselip di saku kemejanya. Aku bertaruh dia anak baru. Aku memang jarang—bahkan mungkin tidak pernah—memperhatikan mahasiswa baru.
Aku cukup terkejut dengan kalimat pembukanya.
“Nggak perkenalan dulu?” tanyaku.
“Aku kan sudah memperkenalkan diri semalam. Dan aku sudah tahu nama dan jabatan kakak di pameran lukisan ini. Jadi kurasa bisa langsung dimulai saja,” terangnya.
Sudah jelas dia anak baru.
“Oke, mulai saja pertanyaan pertama,” ujarku.
“Kak Ren belum mandi ya?”
“Itu pertanyaan pertama di list-mu?”
“Eh, bukan. Maaf. Habisnya kakak kelihatan capek dan rambut kakak berantakan,”
“Bukan urusan kamu kan?,” tentu saja aku kaget dan agak kesal. Memang begini model rambutku, dan tentu saja aku sudah mandi!
“Memang bukan. Baiklah, aku nggak peduli apakah kakak sudah mandi atau belum. Omong-omong tiga hari yang lalu ponselku rusak. Untungnya ada teman yang berbaik hati meminjamkan ponsel ini,” jelasnya sambil mengeluarkan sebuah ponsel keluaran lama dari dalam saku yang sama tempat berselip bolpoinnya.
‘Memangnya aku peduli?!’ pikirku.
“Kakak tahu kan, ponsel seperti ini nggak ada fasilitas perekam suara? Jadi kalau boleh sedikit merepotkan, apa aku bisa meminjam ponsel kakak untuk merekam percakapan kita?,” pintanya dengan wajah-tanpa-dosa.
Selain membuat kesal dan bertele-tele, gadis ini juga merepotkan. Tapi aku masih memiliki cukup kesabaran dan berbaik hati meminjamkan ponselku.
“Gunakan saja ponsel ini,”ujarku sambil menyerahkan ponselku, terlebih dahulu kubuka aplikasi perekam suara.
Auby menerimanya kemudian menekan tombol record.
Wawancara berlangsung membosankan dengan pertanyaan standar 5W+1H. Sementara aku menjawab pertanyaan, Auby sesekali mencatat pada buku kecilnya itu. Hingga tiba pada pertanyaan yang memaksaku harus memutar otak.
“Jadi temanya adalah ‘Para Pejuang di Jalan Raya’ ya? Nah, menurut Kak Ren, apa arti berjuang? Apa esensi dari tema ini?”
“Apa ya? Hmm.. menurutku, berjuang itu suatu tekad atau kemauan keras yang membuahkan usaha untuk, hmm.., move, menuju keadaan yang lebih baik. Dan itu berlaku di mana pun, termasuk di jalan raya. Harapannya kita bisa belajar dari para pejuang di jalan raya ini, belajar bersyukur, bersabar, dan lebih bijak ketika berada di jalanan, dan tentunya bisa lebih menghormati para pejuang ini,”
“Hmmm… terus apa saja kendala atau kesulitan buat acara ini?”
“Kalau dari panitia, sejauh ini persiapan lancar. Mungkin nanti ada kesulitan waktu menyalurkan dana. Karena ini kan acara amal, jadi perolehan dari acara ini akan kami coba sumbangkan untuk para pejuang di jalan raya. Kalau dari aku pribadi, kesulitan bagi waktu. Karena selain jadi ketua panitia, aku juga jadi salah satu mahasiswa yang ditunjuk sebagai kontributor lukisan. Dan saat ini lukisanku belum selesai,” terangku sambil tertawa kecil yang kupaksakan dengan maksud mengejek diri sendiri.
“Wah.. jadi curhat nih,” tanggapnya sambil tersenyum. “Oke, Kak Ren, sepertinya ini sudah cukup. Terima ka…” kalimat Auby terpotong oleh sebuah teriakan.
“Ren!” Ternyata Ale. “Masih mau lanjut melukis nggak? Kalau urusanmu dengan cewek manis itu sudah selesai, bantu aku beres-beres sanggar!” teriaknya dari balik pintu sanggar sambil melirik nakal pada Auby.
“Aku sudah selesai. Oke, aku bantu beres-beres sekarang,” balasku berteriak. “Itu tadi pertanyaan terakhir kan? Kalau begitu aku masuk dulu,” pamitku pada Auby.
Auby hanya mengangguk dengan wajah sedikit bingung.
***
“Kamu lihat ponselku?” tanyaku pada Ale.
Selesai beres-beres, aku merogoh semua saku di baju dan celana yang aku kenakan, tapi belum juga kudapati ponselku.
“Itu sedang kamu pegang,” jawab Ale.
“Bukan yang ini, yang satu lagi..” aku mulai resah.
“Aku nggak melihat di manapun di ruang ini,” ujarnya dengan wajah datar.
Aku coba ingat kembali kapan terakhir kali aku melihat ponselku itu. Aku ingat!
“Auby!” seruku sambil berlari keluar sanggar seni, tapi tak terlihat lagi sosok Auby di sepanjang koridor. Tentu saja dia sudah pergi, sudah 30 menit berlalu sejak aku meninggalkannya di sini.
“Ponselku ada di kamu?” segera kukirim pesan singkat pada Auby menggunakan ponsel lamaku.
Selang semenit, pesan balasan darinya masuk.
“Iya, kak. Aku ada kelas, jadi tadi langsung pergi,”
Aaaarrrghh…!
***
Di waktu dan tempat yang sama aku kembali menemuinya. Pertemuan yang sebenarnya tidak perlu. Terlebih di tengah kebuntuanku dalam melukis. Lukisan Ale dengan gaya realisme itu kini sudah 100%, sore nanti akan diserahkan ke seksi dokumentasi. Itu artinya tinggal lukisanku saja yang belum terkumpul. Jika aku tidak segera menyelesaikan lukisan—yang bahkan belum aku mulai—ini, itu akan menghambat pekerjaan mereka.
13:00. Auby datang. ‘Selalu tepat waktu’ pikirku.
Alih-alih minta maaf dan segera menyerahkan ponselku, dia malah memandangku dengan tatapan aneh. Aku bingung dan sedikit canggung.
“Hmm.. jadi, ponselku kamu bawa?,” tanyaku.
“Tenang saja, aku bawa. Tapi aku nggak mau minta maaf karena kakak sendiri yang meninggalkannya kemarin. Lalu kupikir ada bagusnya juga, karena aku bisa lebih mudah meng-copy file rekaman kemarin,” ujarnya membela diri.
“Baiklah. Kamu nggak harus minta maaf. Tapi bisakah kamu berikan ponselku sekarang?” pintaku.
Dia mengeluarkan ponsel dari dalam ransel yang semula digendongnya. “Aku tahu lukisan kakak belum selesai, tapi kakak harusnya tetap fokus,” ujarnya seraya menyerahkan ponsel padaku. Kemudian berlalu.
“Terima kasih!” ucapku agak keras agar suaraku masih dalam jarak dengar Auby.
Dia berbalik. “Oh ya, kak. Bukankah kami juga termasuk para pejuang di jalan raya?”
***
10:10. The Day.
Seorang gadis mungil sedang berdiri mengamati lukisan di depannya. Beberapa kali ia terlihat memainkan gulungan kertas yang dipegangnya. Aku menyejajarkan diri dengannya di depan lukisan.
“Meskipun nggak terlalu jelas, aku tahu itu gambar uang recehan, itu koran, itu… hmm, gitar atau ukulele kurasa, dan, hey, itu kamera, pensil, bolpoin… Lukisan gaya apa ini?” tanyanya sambil menunjuk tiap detail lukisan.
Rupanya dia sudah menyadari kehadiranku walau tanpa mengalihkan pandangan dari lukisan.
“Entahlah. Terlalu jelas untuk disebut abstrak, karena kamu berhasil menebak setiap detailnya,” jawabku sambil tersenyum.
“Dan aku langsung tahu ini karya Kak Ren,” ujarnya, kali ini sambil beralih menghadapku. “Selamat!,” serunya sambil menyodorkan gulungan kertas yang sejak tadi ia pegang, tepat di depan wajahku.
Masih dalam keadaan cukup kaget, aku meraih gulungan kertas itu, lalu membukanya. Ternyata buletin kampus terbitan bulan ini.
“Fresh from the press,” ujarnya sambil berlalu.
Setelah beberapa langkah, ia berbalik dan berkata “Kembali kasih, kak…” dengan senyum lebarnya yang menyebalkan. Kemudian meneruskan langkahnya menuju pintu keluar.
Ternyata dia masih gadis yang sama, sama menyebalkannya seperti saat pertama bertemu.
Aku tersenyum sendiri di tengah berlangsungnya pameran lukisan.[]
0 notes
harrisdiandarmawan · 7 years
Photo
Tumblr media
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi. (Gie) . @sabdaperubahan @ukpkmtegalboto @weloveunej #pers #persma #persmahasiswa #pjtd #ukpkm #tegalboto #ukpkmtegalboto #unej #universitasjember #universitasnegerijember #weloveunej #rembangan #jember #april #2k17 (at Rembangan Hills)
0 notes
kunang2import · 7 years
Text
Untuk Keluargaku di LPM BIOma
Kemarin mimpiku telah berakhir
Setelah euforia kepengurusan tahun lalu dan menjadi pimpinan tertinggi lembaga, aku pernah berharap akan menetap selamanya disini, lembaga yang kucintai, untuk selamanya.
Sayangnya hal itu tidak akan terjadi
Aku harus berterima kasih dengan teman kelas yang selalu mendukungku tak pernah hentinya. Terima kasih pula untuk Khaliq dan Nurhidayah Agung yang selalu mendampingi selama pengalaman yang luar biasa ini. Kepada Aji Maulana dan Nurjayanti yang membawaku dan membuka peluang untuk menjadi pimpinan di lembaga ini.
Secara khusus aku harus berterima kasih juga kepada LPM BIOma HIMABIO FMIPA UNM 2017. Petualangan luar biasa ini akan hidup bersamaku selamanya. Terima kasih untuk semua Dewan, Ketua Bidang, Anggota Bidang serta reporter 2017 yang telah ikut menuliskan skenario sempurna ini dalam sejarah kelembagaan LPM BIOma. Semua komponen diluar lembaga, lembaga serupa dan tak serupa yang ikut bersumbangsi dalam segala pencapaian yang kami raih. Juga terhadap lembaga yang memercayakan kami sebagai media partner mereka. Tapi dari semua itu yang paling berperan adalah orang tua dan Tuhan YME. Kalian semua tersimpan dalam hatiku sejak hari pertama kepengurusan dimulai.
Tidak ada satupun orang yang bisa merebut apa yang kita telah capai hari ini, dan aku berharap kalian pun merasakan hal yang sama dan tersenyum setiap hari saat mengingat apa yang telah dijalani. Waktu itu adalah keluarbiasaan dan kebahagiaan yang tidak akan aku lupakan. Suatu kebanggaan dan kehormatan telah menjadi Pimpinan Umum yang di keliling orang luar biasa seperti kalian.
Kini saatnya petualangan baru dan tantangan baru menunggu di luar sana untuk ditaklukkan. Segala yang ku dapat hari kemarin, aku yakin akan beguna untuk hari-hari selanjutnya.
Untuk semua orang di BIOma – Selamat tinggal, dan terima kasih. Kalian akan selalu menjadi bagian dari diriku, dan aku doakan yang terbaik untuk kalian – Media Informasi dan Kreatifitas Mahasiswa Biologi – Salam Pers!
Araraaa~
Miswar a.k.a Michu OH
27 Desember 2016
0 notes
Photo
Tumblr media
Nah ini akhir hayat😂 Hayati mksdnya, sudah menyelesaikan apa ya.. Nah disini gue dapat banyak banget perbedaan setelah kegiatan 4 hari ini dari yang sebelumnya. Lebih gencar lagi dan gencar. Gak bisa deh gue main-main, canda gak mutu, alias gak seruus, disini gue belajar banyak, hati-hati sangat di nomer satukan, yah inilah kami, hati-hati dan sangat menjaga. Disini mental, fisik, fikiran semuanya jadi satu, jadi gue sanpek tepar dua kali. Memang sangat mengasah banget, pokonya gak bisa dilupakan deh. Kalau dibilang-bilang ilmu yang ada di sekolah gak bakal ada sama yang disini nih, gambang banget kesannya, tapi kalau mau tau memang harus turut serta Salam Persma !! #persma #ponorogo #pjtl #jurnalistik #kawanbaru #pengalaman (di Mrican) https://www.instagram.com/p/B13pzNLghm9s_3Ob84nofrN-bDdScGL0MwaBMw0/?igshid=mn13nj9ul4wc
0 notes
rosniarmin · 7 years
Photo
Tumblr media
Saya bukan siapa-siapa, dulu dan sekarang. Tapi saya punya rumah dan keluarga kedua disini. Ada banyak hal yang membuat saya melabuhkan diri hingga bertahan selama ini. Banyak yang bilang, saya gagal dalam memilih. Saya membuang banyak waktu, itu karena mereka tidak tahu apa yang saya dapatkan. Lelah itu pasti, bosan pun juga. Bergantung bagaimana kamu mengantisipasinya. . . Selamat ulang tahun @lensaprofesi Yang 41 tahun. Tantangan harus mendewasakan! #harlah41lpmprofesiunm #persma #persmahasiswa #lpmprofesi #unm (di LPM Profesi UNM)
0 notes