Tom's personal blog. I write many things here, some are way very subjective. Views are on my own.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
The Netherlands Without You
Weekend lalu ngobrol-ngobrol sama temen-temen soal tinggal di Belanda. Obrolan ringan dan santai, tentang apa sih plus minusnya tinggal disini, enaknya apa, gak enaknya apa. Lalu dibandingin sama kehidupan di Indonesia juga. Walaupun udah hampir 8 tahun tinggal disini, topik ini selalu muncul dalam obrolan kalau lagi kumpul-kumpul sama orang Indonesia juga. Kali ini mungkin muncul karena ke-trigger sama postingan salah satu selebgram yang sempet viral beberapa hari lalu sih 😊
Karena kebetulan kami semua sudah mapan (re: tinggal disini bersama pasangan masing-masing, ga sendiri), salah satu kesimpulan yang kami ambil adalah bahwa tinggal di Belanda itu enak.. Kalau ada pasangannya. Kebetulan kami semua sudah mengalami masa-masa “lajang” di Belanda; sebagai pelajar, tinggal sendiri, cari kerja, lalu pasangannya dateng/ketemu pasangannya dan akhirnya hidup bareng. Sekali lagi, kami sepakat akan kesimpulan ini karena pengalaman kami mirip; aku yakin ada aja orang yang menikmati hidup sendiri disini..
Masa-masa setelah lulus S2 dan memulai karir disini adalah salah satu masa yang paling berat yang pernah kualami disini. Masa itu adalah masa transisi dari masa kuliah S2 yang menyenangkan; sering main sama temen, jalan-jalan, makan-makan-makan.. Seru deh rasanya tanpa beban hahaha. Setelah beres S2, hampir semua temen kuliah pulang ke Indonesia, jadinya berasa sendiri di Belanda. Pindah ke kota baru, adaptasi di kantor baru yang isinya terasa asing, lalu Covid.. It was tough. Sebagai anak tunggal, aku sebenarnya jarang ngerasa kesepian, tapi kalau dipikir sekarang, masa-masa itu memang kerasa sepi sih..
Juni 2020 akhirnya nikah sama Ajeng, dan setelah itu masih mengalami hidup sendiri. Transisi sekitar 3 bulan buat persiapin tempat tinggal baru, project baru juga di kantor. Sampai akhirnya Oktober 2020 Ajeng nyusul ke Belanda dan hidupku berubah ☺️
Sekarang, apa-apa pasti selalu sepaket sama Ajeng. Ketemu temen-temen hampir selalu berdua, jajan ramen berdua, jajan Ming Kee kadang sendiri berdua, jalan-jalan ngalor ngidul di Amsterdam berdua, pergi ke tempat-tempat baru, nyoba hal-hal baru.. Sepaket lah pokoknya. Sekarang rasanya ga kebayang gimana dulu bisa jalan-jalan di Arnhem sendirian, nge-eksplor kota baru.. Bosen ga sih kalo sendirian?! Haha. Pasti ada yang kerasa kurang kalo ga sama Ajeng. Sampai pada hal kecil semacam nonton Netflix sambil makan, itu harus sama Ajeng pokoknya haha. Aku selalu bilang bahwa masa-masa S2 adalah salah satu fase hidup yang paling menyengkan dalam hidupku. Tapi aku bisa bilang itu karena masa itu sudah berlalu, tinggal kenangan..ya kan? Makanya penting untuk mencoba untuk selalu bersyukur, nyoba untuk menghidupi masa sekarang ini sebaik mungkin.
Without you, The Netherlands would not be the same. I will always be grateful that I get to live my life here with you. That you’re willing to gave up everything back then, came all the way here to live with me, despite how annoying I can be at times. And I would not want anyone else alongside me to spend my life here, except with you.

Happy 5th anniversary 😊❤️
5 notes
·
View notes
Text
Menara Eiffel
Bicara tentang Paris, pasti bicara tentang menara Eiffel. Menara yang bisa memantik diskusi, karena ada orang yang beranggapan bahwa menara itu biasa saja layaknya menara sutet, namun ada pula orang yang mengagung-agungkan menara itu. Kebetulan aku termasuk golongan yang kedua 😊
Waktu kembali ke Paris setelah 20 tahun pergi meninggalkan Eropa, tujuan pertamaku di luar Belanda adalah Paris. Aku selalu terbayang-bayang kutipan dari Novel Edensor ini:
Aku terpaku melihat sosok hitam samar-samar dibalut kabut, tinggi perkasa menjulang langit seperti hantu. Menara Eiffel laksana nyonya besar. Tegak kekar, tak peduli. Puncaknya mencakar ketinggian yang tak terkatakan, serupa mahkota yang melayanglayang dalam buaian halimun. Ia pongah dengan kepala mendongak dan hanya mau bercakap-cakap dengan awan. Namun, kerlingnya tajam mengawasi setiap gerakan kecil di Eropa Barat. Kami terkesima di bawah roknya yang lebar. Semilir angin yang terhembus dari riak-riak emas Sungai Seine menyambut kami. Sungai itu terbelah dua ditudungi selang-seling jembatan-jembatan artistik berusia ratusan tahun. Damai dan tenang seperti air yang pelan-pelan dicurahkan. Katedral, avenue, taman-taman, ornamen, dan galeri-galeri menghiasi pemandangan kiri kanan kami, harmonis memeluk kaki sang nyonya besar berkaki empat itu. Kudekati Eiffel, kusentuhkan tanganku padanya. Ia masih tak peduli. Apalagi sekarang, ia makin cantik karena matahari merekah menghangatkan lengan- lengan perkasanya yang hitam berkilat-kilat. Kawan, mimpi-mimpi telah melontarkan kami sampai ke Prancis.
Pikirku, momen reuni dengan Menara Eiffel setelah 20 tahun lamanya harus sama dramatisnya dengan yang Ikal dan Arai alami. Naik Metro jalur bawah tanah, turun di stasiun Trocadero, naik tangga dan disambut oleh Menara Eiffel.
Nyatanya, Menara Eiffel sudah menyambutku bahkan saat aku sedang duduk melamun di kereta. Metro Ligne 6 membawaku menyusuri jalur layang. Melewati Stasiun La Motte Picquet-Granelle, Bir-Hakeim dan menyebrangi Sungai Seine. Tanpa sadar, aku menoleh ke samping. Duar, muncullah sosok Menara Eiffel. Tinggi perkasa membaur dengan langit biru, berdiri agung di sisi Sungai Seine. Mataku berkaca-kaca, kupandangi sosok menara yang angkuh itu. Memang pantas dia angkuh, pikirku. Lekukan demi lekukan yang menopang struktur itu sungguh berkelas. Seakan-akan dirancang sedemikian rupa, dengan proporsi dan rasio yang begitu sempurna—mungkin rasio emas.
Metro Ligne 6 melewati Stasiun Passy, perlahan akhirnya memasuki jalur bawah tanah, tiba di Stasiun Trocadero. Aku berjalan menaiki anak tangga, keluar dari stasiun hingga tiba di Palais de Chaillot—alun-alun agung dimana Menara Eiffel bisa dikagumi simetrinya dengan sempurna. Inilah yang Ikal dan Arai saksikan. Mataku kembali berkaca-kaca. Walaupun angkuh, menara itu menyambutku. Setelah 20 tahun lamanya, Menara Eiffel seakan-akan berkata, lama tak jumpa. Menara itu terasa begitu familiar untukku.
Menara Eiffel bukan sekedar struktur besi, bukan sekedar menara sutet. Selama bertahun-tahun lamanya, dan masih sampai sekarang, Menara Eiffel merupakan sebuah simbol. Sebuah pengingat bahwa semua berawal dari situ, pengingat bahwa aku punya impian yang ingin kuraih, pengingat bahwa semua tidak akan pernah berakhir di situ.
Selalu ada perasaan yang aneh kalau melihat Menara Eiffel. Entah saat pertama kali melihatnya, kedua kali, ketiga kali..
Video ini diambil tahun lalu, saat aku mengantar Om dan Tante jalan-jalan ke Paris. Tentu saja Menara Eiffel ku perkenalkan dari Metro Ligne 6 😊 Kira-kira beginilah Menara Eiffel menyambutku 2019 silam. Tentunya dengan elemen kejutan yang lebih kental 😉
4 notes
·
View notes
Text
What could have been
Pasca kelulusan kuliah S1, disaat kebanyakan temen-temen seangkatan lagi sibuk cari kerja atau bahkan sudah ada yang sibuk merintis karir di Jakarta, kehidupanku waktu itu masih berkutat di kampus. Kebetulan waktu di tingkat akhir kuliah, aku ikutan beberapa lomba dan pas ngerjain skripsi hasilnya cukup bagus. Jadinya aku punya hubungan yang baik dengan dosen pembimbing dan setelah lulus dipercaya untuk ikut beberapa kegiatan riset dan diangkat jadi asisten akademik di KK.
Waktu itu aku memang berpikir untuk mengejar karir sebagai akademisi. Lebih spesifiknya, jadi dosen 😊 Yang dipikirkan waktu itu adalah bahwa aku seneng terlibat di kegiatan riset, seneng nulis, seneng ikut terlibat untuk nyusun proposal untuk cari dana penelitian. Memang seru sih untuk bisa mendalami bidang yang memang aku suka. Lalu prospek untuk bisa merintis karir di lingkungan yang aku sudah familiar sejak kecil—kampus ITB—juga menggiurkan. Apalagi untuk bisa tetep deket sama keluarga di Bandung, rasanya nyaman aja gitu. Dan sejujurnya, hal yang paling memotivasiku buat tetep di kampus adalah untuk bisa kuliah ke Eropa. Pikirku, kalau masih terlibat di dunia riset, peluang untuk dapet beasiswa harusnya makin besar.
Aku selalu menganggap diriku sebagai orang yang biasa-biasa aja. Bukan orang yang super bright, tapi ya ga bodoh juga. Di perkuliahan gapernah jadi yang paling menonjol di kelas. Kehidupan di luar kelas juga biasa aja, membaur aja dengan lingkungan dan pergaulan. Makanya dulu sebenernya sempet ragu untuk merintis karir sebagai akademisi, soalnya ada stigma bahwa para calon dosen di kampus itu orang-orang yang memang menonjol di bidang akademik. Mungkin mapres, IPKnya tinggi, aktif di organisasi ini itu.. Sedangkan aku? Biasa aja, ga menonjol.
Satu-satunya penjelasan kenapa aku bisa sampai dapet beasiswa untuk kuliah di Belanda itu kayanya cuma takdir Allah. Somehow, aku selalu dipertemukan dengan orang-orang baik yang membimbingku untuk bisa membuat keputusan yang merubah takdir. Keputusan yang pertama adalah keputusan untuk magang di Esri waktu di tingkat 3. Gara-gara magang disana, aku jadi kenal sama teknologi Esri yang akhirnya aku pake buat ikutan Esri Young Scholars Award di tahun 2016. Waktu itu teknologi Esri belum terlalu populer, jadinya aku punya kesempatan buat pake teknologi itu disaat orang-orang lain masih berkutat dengan aplikasi desktop; akhirnya menang dan berangkat deh ke Amerika. Gara-gara itu dosbing akhirnya jadi notice sama mahasiswa yang biasa-biasa aja ini, akhirnya terlibat kegiatan-kegiatan riset dan jadi asisten akademik di kampus.
Untuk dapet beasiswa di Belanda juga gitu. Kebetulan dulu aku terlibat di kegiatan riset yang temanya ceruk dan spesifik banget, sangat menjual untuk ditulis di aplikasi beasiswa. Beasiswanya juga bukan beasiswa yang mainstream kaya LPDP atau StuNed; beasiswaku ini tidak sepopuler itu dan menurutku aku jadi punya lebih sedikit pesaing. Dari sekian banyak beasiswa yang aku daftarin, somehow aku punya feeling bahwa beasiswa NFP ini bakal tembus. Dan bener kan akhirnya dapet 😊 Dan beasiswa ini, pada akhirnya, membawaku pada kehidupanku di Belanda sekarang. Bisa panjang ceritanya kalo diterusin. The rest is history..
—
Hari ini kebetulan diajak Ajeng buat main ke kantor lamanya di Jakarta. Ketemu sama temen-temen dan kolega lama. Kebetulan ketemuannya di waktu makan siang, jadinya kami diajak buat ikutan makan siang ala pegawai kantoran di Jakarta. Sekitar jam 12, kami dateng di lobi gedung mewah di Jakarta Selatan. Keren banget menurutku, kantorku di Belanda sana kalah deh. Lobi kantor rame banget, keliatan karyawan-karyawan kantoran mulai turun buat cari makan siang. Kami juga ikut berbaur di suasana itu, jalan keluar bareng temen-temen kami, keluar gedung sampai ketemu gang yang sembunyi dibalik megahnya gedung-gedung megah pencakar langit. Gangnya sempit, ramai dengan orang-orang berpenampilan rapih pakai lanyard yang tergantung di lehernya. Keliatan beberapa warung makanan lagi sibuk-sibuknya; nyiapin soto, ikan bakar, nasi padang..
Kami akhirnya masuk ke salah satu warung soto dan menyantap makan siang kami disana. Warungnya panas banget, pengap dan lembab—tapi di saat yang sama suasananya terasa sangat hidup dan familiar. Hiruk pikuknya, lingkungannya, orang-orangnya. Aneh, padahal aku gapernah ngalamin kehidupan ini sebelumnya. Mungkin karena aku ngerasa kalau aku ga memutuskan untuk meniti karir sebagai akademisi di Bandung (yang ujung-ujungnya ga aku terusin juga), kayaknya aku bakal memilih jalan yang paling umum yang orang pilih di lingkunganku ini, jadi pekerja kantoran di Jakarta. Seperti apa yang Ajeng alami sebeluk dia pindah ke Belanda untuk hidup bareng aku.
Di dalam warung soto yang panas itu, aku terlarut dalam suasana. Terlarut dalam perbincangan dalam bahasa yang sangat aku pahami, terbenam dalam atmosfer yang hidup di dalam warung soto itu, dalam teriakan “es jeruk, es teh manis, teh tawar” yang bersaut-sautan. Aku melihat wajah karyawan-karyawan yang sedang menjalani kehidupan yang keras di Jakarta, aku pandangi wajahnya satu-satu. Aku bisa melihat diriku di dalam posisi mereka. Semua terasa familiar.
If I did not meet Esri. If I chose a different topic for my thesis. If I did not meet my thesis supervisor. If the thought of becoming an academician never crossed my mind. If I had chosen a different university. If I had chosen a different topic for my ACT project.

What could have been?
2 notes
·
View notes
Text
Tentang Naik Kereta Api
Naik kereta di Belanda adalah sebuah hal yang semudah belanja ke supermarket. Ga perlu beli tiket dari jauh-jauh hari: tinggal jalan kaki atau naik sepeda ke stasiun, tap OV-chipkaart, udah deh naik. Untuk naik kereta di Indonesia, kamu perlu beli tiket dulu beberapa hari sebelumnya. Kalau di musim libur bahkan mesti hampir 2 bulan sebelumnya.
Kalau naik kereta di Belanda hanya 1-2 jam, atau paling lama mungkin hanya 3 jam-an, naik kereta di Indonesia itu cenderung untuk perjalanan panjang. Sebelum berangkat ke stasiun, ada banyak hal yang perlu dipikirkan: mau beli cemilan apa, karena naik kereta tidak lengkap tanpa cemil cemil krauk krauk 😋 Atau mikirin, perlu beli makan di luar gak ya? Kalau naik dari Bandung, kadang kami suka beli nasi padang Malah Dicubo dibungkus untuk dimakan di perjalanan. Atau beli sekotak paket hemat Hoka-Hoka Bento yang nasinya pulen sekali dan mayonesnya enak banget itu. Opsi lainnya adalah beli makanan langsung di dalam gerbong. Bisa pesan nasi goreng Restorka yang sangat khas dan super lezat itu, atau kalau mama ngebolehin, bisa pesen Bistik Kereta Api yang ada telor ceploknya di samping itu. Harganya 21 ribu kalau gasalah. Terasa mewah sekali 😋
Kalau naik kereta di Beland itu untuk berangkat ke kantor atau untuk jalan-jalan ke Amsterdam di akhir pekan, naik kereta di Indonesia itu biasanya untuk mudik ke Surabaya saat lebaran. Perjalanannya bisa lebih dari 12 jam, berangkat malam sampainya pagi besoknya. Mayoritas perjalanan biasanya kuhabiskan dengan tidur. Bangun-bangun biasanya matahari sudah terbit, kereta sudah melewati Stasiun Madiun dan mulai terlihat pemandangan persawahan. Itu pemandangan yang menyenangkan buatku, karena kalau pemandangan ini sudah keliatan, berarti aku sudah hampir sampai tujuan. Lama-lama pemandangan agak berkurang hijaunya dan berubah jadi kota. Terlihat Gedung Rumah Sakit Islam—rumah sakitnya ninik, kata mama—dan akhirnya sampai di Stasiun Gubeng di Surabaya.
Hari ini aku naik kereta lagi di Indonesia, perjalanan dari Surabaya ke Jogja. Pikiranku melayang ke perjalanan rutin tahunan yang aku lakukan sama mama dan papa semasa aku SD/SMP/SMA dulu. Kali ini perjalanannya cuma 4 jam, bukan 12 jam. Kalau dulu aku naik kereta sama mama dan papa, kali ini hanya berdua dengan Ajeng. Kali ini aku bekal snack Tempe Sagu, bukan Smax rasa keju yang sayangnya udah gak dijual di pasaran. Aku ga pesen nasi goreng Restorka karena masih terlalu pagi, tapi aku dibawain Rotiboy hangat yang mentega di dalamnya masih leleh—sama nikmatnya. Ditemani dengan teh gula batu hangat yang kupesan langsung di dalam gerbong. Karena rute perjalanannya dari Surabaya ke Jogja, pemandangannya agak kebalik dari yang aku ingat dulu. Kali ini berubah dari kota ke hijau sawah. Banyak sekali pohon pisang. Enak sekali buat melamun.

Memori kolektif. Mungkin itu sebabnya aku suka sekali naik kereta, baik di Indonesia atau di Belanda. Walaupun di Belanda naik kereta adalah sesuatu yang rutin, aku menemukan ketenangan untuk naik kereta di pagi hari sebelum jam sibuk. Keretanya sepi, masih gelap.. Lalu lambat laun terlihat matahari terbit berwarna oranye dari jendela. Sama nikmatnya dengan pemandangan persawahan.
Naik kereta itu menyenangkan 😊
3 notes
·
View notes
Text
Kenapa Aku Suka Arsenal
Awal bulan ini alhamdulillah dapet kesempatan untuk nonton pertandingan Arsenal langsung di stadion. Walaupun bukan di Emirates Stadium, tapi di PSV Stadion dikelilingi suporter fanatik PSV, pengalaman ini tetap berkesan, karena.. Sepanjang yang aku bisa ingat, aku suka banget Arsenal.

Waktu ngobrol sama kolega di kantor bahwa aku mau nonton pertandingan Arsenal, mereka bingung: kok bisa suka Arsenal? Mungkin buat mereka aneh, karena aku orang Indonesia, seneng klub bola yang asalnya dari London. Sepertinya bagi mereka, ngefans sama klub bola itu umumnya berawal dari lingkungan. Misalnya Jeroen tinggal di Amsterdam, ya jadinya suka Ajax. Atau Bart lahir dan besar di Den Haag, jadinya ngefans sama ADO Den Haag.
Menjawab pertanyaan itu, aku selalu bilang bahwa aku suka Arsenal karena waktu kecil dulu aku suka main FIFA. Waktu masih kecil, aku ga ngerti cara ganti tim, dan karena Arsenal berawal dari huruf A, Arsenal selalu jadi pilihan default. Jadilah aku main pake Arsenal terus, dan.. Kebawa sampai sekarang.
Itu memang salah satu alasan kenapa awalnya aku suka sama Arsenal. Tapi setelah dipikir lagi, aku suka Arsenal bener-bener sepanjang yang aku bisa ingat. Kalau ngeliat cerita di atas, aku mulai suka Arsenal itu berarti dari sekitar tahun 2002, waktu aku kelas 2 SD: tahun dimana aku disunat dan dapet kado PlayStation hahaha 😂 Lebih dari 20 tahun yang lalu, selama itu! Apa sih yang bikin aku suka Arsenal?
Lanjut begitu aku masuk SMP, sepanjang yang bisa aku ingat, rasa suka ke Arsenal makin kuat karena waktu itu ada semacam demam bola di pergaulanku. Hampir setiap anak laki-laki punya klub bola favorit, dan karena Arsenal bisa dibilang satu-satunya klub bola yang aku tahu, ya aku jadinya mulai bener-bener ngikutin Arsenal. Inget banget waktu itu Arsenal menang (secara mengejutkan) lawan AC Milan di babak gugur di Champions League, tentu saja aku membangga-banggakan tim ini di depan Gazza, temanku yang kebetulan fans AC Milan 😊
Di periode ini, Arsenal tentu saja tidak lepas dari sosok pelatih bernama Arsène Wenger. Buatku, Wenger adalah sosok kharismatik yang punya filosofi yang keren. Caranya menjawab pertanyaan dalam wawancara elegan. Sepakbola yang dia pertontonkan atraktif. Aku juga selalu kagum atas filosofinya "We don't buy superstars, we make them". Buatku ini keren, karena disaat tim-tim lain belanja pemain dengan harga yang mahal, Arsenal selalu bisa menemukan jalannya sendiri dengan tidak jor-joran beli pemain-pemain mahal. Pemain itu entah datang dari akademinya sendiri, atau pemain low profile dari liga kasta 2 di Perancis. Arsenal mengembangkan pemain itu sendiri menjadi pemain hebat yang digemari fansnya. Di saat yang sama, Wenger juga berhasil membangun stadion baru.
Di sisi lain, periode ini sebenarnya meninggalkan memori-memori yang sebenarnya ga terlalu baik 🥲 Ditinggal Cesc Fabregas ke Barcelona, kalah di Piala Carling karena blunder Koscielny, dibantai MU 8-2 di awal musim 2011-12, ditinggal Robin van Persie ke MU saat lagi sayang-sayangnya.. Filosofi tadi kadang memang sering bikin frustasi juga, karena seringkali lanjutan kalimatnya adalah "We don't buy superstars, we make them and then we sell them to our rivals" 😂 Anyways.. Walaupun periode ini tidak berbuah trofi, buatku periode ini adalah salah satu fondasi penting mengapa aku sangat mengagumi klub ini. Arsenal adalah klub yang berkelas dan punya filosofi yang kuat.
Waktu aku kuliah, rasa frustasi itu cukup terobati saat Arsenal mendatangkan Mesut Özil. Setelah sekian lama, akhirnya Arsenal BELI seorang superstar, bukan ngejual.. Dan bukan sembarang pemain bintang, tapi seorang Özil! Pemain elegan yang mampu membuat operan-operan cantik.. Arsenal banget! Hal ini pun berbuah manis, karena di akhir musim 2013-14 Arsenal akhirnya berhasil juara FA Cup 🥰 penantian hampir 10 tahun huft..
Periode ini dilanjutkan dengan beberapa trofi FA Cup lagi. Menyenangkan. Tapi walaupun begitu, di periode ini aku ngerasa bahwa Arsenal di bawah asuhan Wenger telah mencapai titik jenuhnya. Stagnan, kayanya ga akan bisa nanjak lagi. Sampai pada titik dimana aku tidak terlalu ngikutin Arsenal se-intens itu lagi, dan akhirnya Wenger mundur.. Setelah 22 tahun di Arsenal. Sejujurnya, kepergian Arsène jadi salah satu memori yang cukup emosional. Aku inget banget nonton pertandingan terakhir Wenger di Emirates dari layar laptopku di kamar kecilku di Dijkgraaf. Selama lebih dari 15 tahun, bagiku Arsenal ya bersinonim dengan Arsène Wenger. Momen kepergian Wenger jadinya berasa surreal.. Sampe aku foto-foto layar laptopku dulu heheh 😊

Kursi pelatih Arsenal akhirnya diisi oleh Unai Emery. Kehadiran pelatih baru ini jadi angin segar, seakan-akan antusiasme untuk ngikutin Arsenal jadi tumbuh lagi. Walaupun semua berawal dengan baik, antusiasme itu ga berlangsung lama dan akhirnya Emery dipecat..
Sampai akhirnya kursi pelatih diisi oleh seorang pelatih muda, mantan kapten Arsenal sendiri, Mikel Arteta. Sejujurnya, awalnya aku agak skeptis dengan penunjukan ini. Arteta belum punya pengalaman jadi pelatih utama. Dia memang jadi asisten pelatih di Manchester City sebelumnya.. Tapi nunjuk pelatih tanpa pengalaman menjadi pelatih utama, untuk melatih klub sebesar Arsenal?!
Tapi heyyy, disinilah Arsenal kembali dengan filosofinya. Dulu, waktu Arsenal mengangkat Wenger jadi pelatih, Wenger bukanlah sosok yang tersohor. Sebelum melatih Arsenal, dia melatih sebuah klub di Jepang, dan tiba-tiba.. Dia dipanggil untuk melatih klub sebesar Arsenal. Dan lihat apa yang berhasil dia capai di klub ini. Arteta juga sama, (relatif) belum dikenal di dunia kepelatihan, pengalamannya belum begitu banyak. TAPI.. Dia mantan pemain Arsenal sendiri, punya pengalaman jadi kapten, tau klub ini luar dalam dari perpektif pemain.. One of our own. Siapa yang ga mau orang seperti itu jadi pelatih klub kesayangannya?
Perjalanan awal Arteta, walaupun diawali dengan trofi FA Cup, cukup berat untuk diikuti. Dua tahun awal kepelatihannya banyak sekali naik turun. Hanya menang satu pertandingan dari entah berapa banyak pertandingan, ga ngegolin di berapa pertandingan.. I went through it. Tapi.. Aku melihat identitas dan filosofi klub ini tetap dipegang teguh. Dan lihat apa yang dia capai sekarang. Bagaimana dia membangun tim, menjadikan Arsenal tim yang bisa mendikte pertandingan. Arsenal lagi-lagi menemukan jalannya sendiri; menemukan sosok pelatih yang kharismatik, berkarakter dan sejalan dengan filosofi klub di sosok Mikel Arteta.
Aku suka Arsenal karena klub ini menghargai proses. Tidak asal-asalan beli pemain. Timnya adalah kombinasi antara pemain bintang dan pemain akademi didikan sendiri yang berhasil menembus tim utama atas kerja kerasnya sendiri. Arsenal tidak senang acak-acak stafnya sendiri dan gonta-ganti pelatih seenaknya. Tentu saja ada klub seperti Manchester City atau Real Madrid yang berhasil meraih sukses dengan investasi besar-besaran, atau klub seperti Chelsea yang senangnya ganti-ganti pelatih sampai bisa juara. Tapi semua itu sangat asing buatku, bahkan terdengar artifisial. Itu semua bertentangan dengan apa yang aku percaya sebagai proses. Apalah arti trofi tanpa perjalanan yang bisa diingat?
Aku membayangkan bahwa kebanyakan orang suka akan suatu klub karena masa jayanya. Fans Manchester United, kenapa mereka suka MU? Mungkin karena mereka menyaksikan kehebatan timnya dibawah asuhan Sir Alex Ferguson. Atau fans Chelsea, suka klubnya karena pernah menang Champions League. Ga ada yang salah dengan hal itu. Hanya saja di kasusku, ini justru agak berkebalikan. Arsenal mengalami masa keemasan di awal tahun 2000-an, tapi aku justru mulai benar-benar menyukai Arsenal saat Arsenal mulai terjatuh, di awal 2006-an. Saat dimana Arsenal memulai prosesnya..
Aku kira, itulah mengapa aku suka Arsenal. Aku melihat Arsenal sebagai klub yang punya identitas yang kuat. Klub yang teguh akan filosofinya. Klub yang percaya akan proses. Klub yang elegan dan berkelas.
Lebih jauh lagi, klub ini mencerminkan apa yang aku ingin capai dalam hidup. ☺️

2 notes
·
View notes
Text
Tentang Berbahasa (Belanda)
Salah satu skill yang menurutku keren adalah kemampuan untuk berbicara berbagai macam bahasa. Menurutku orang yang bisa macem-macem bahasa itu keren banget. Cakap berbahasa adalah seni tersendiri: dengan menguasai berbagai macam bahasa, semakin terasa luas pula dunia ini untuk dijelajahi. Aku mengasosiasikan orang yang pandai macam-macam bahasa sebagai orang yang cara pandangnya luas. Pengen banget bisa kaya gitu.
Kalau boleh jujur, aku cukup bangga dengan kemampuan berbahasaku sejauh ini. Sebagai orang Indonesia, tentu Bahasa Indonesia adalah bahasa utamaku. Tingkat kemahirannya 10 dari 10 lah. Angka 10 dari 10 mungkin lebih tepat menggambarkan rasa percaya diriku untuk berbahasa Indonesia, bukan berarti aku sangat mahir dalam berbahasa Indonesia sampai bisa bikin puisi dan tulisan yang mengguncang dunia.. But you get the idea!
Karena aku dibesarkan di keluarga dengan latar Jawa Timur, aku juga cukup mahir Berbahasa Jawa. Mudik setiap tahun dan cukup sering ketemu sepupu, om dan tante yang ngomongnya Suroboyoan banget. Kalau dinilai, nilainya 6 dari 10 lah. Lumayan, walaupun ga bagus-bagus amat. Kadang suka roaming juga kalau ngikutin obrolan sepupu, tapi masih bisa nyautin atau ngobrol-ngobrol ringan dalam Bahasa Jawa.
Tumbuh besar di Lembang, mengalami pergaulan di "desa" sampai lingkungan gaul Bandung di Taruna Bakti dan SMA 3 membuatku cukup mahir Bahasa Sunda juga. Yang ini sedikit lebih baik dari Bahasa Jawa, kalau dinilai mungkin 7 dari 10. Pernah beberapa waktu lalu nemu akun seorang diaspora Indonesia yang kerja di Jepang. Dia sering bikin video-video ringan yang mengomentari hal-hal receh di Jepang dengan Bahasa Sunda. Sunda Garut, lucu banget hahaha, terus semakin didenger nyadar juga kalau Bahasa Sunda saya lumayan juga. Bisa ngikutin dan bisa ngomong juga!
Lalu Bahasa Inggris. Yang ini mungkin nilainya 9 dari 10. Kalau dirunut, aku juga ga inget kapan tepatnya bisa Bahasa Inggris. Yang jelas, waktu kecil banyak terpapar Bahasa Inggris pas main PS, lalu sempet ngikutin serial How I Met Your Mother (pake subtitle), sampe bisa inget hampir semua episodenya. Suatu hari pas SMA nginep di rumah Mbe bareng Widi, lalu nonton beberapa episode Eater tanpa subtitle, kaget juga ternyata bisa ngikutin. Lalu jaman kuliah ada kesempatan untuk berkomunikasi sama orang asing, dan tau-tau Bahasa Inggris ngalir aja gitu dari mulut..
-
Yang relatif baru-baru ini aku pelajari adalah Bahasa Belanda. Waktu pertama kali dateng ke Belanda tahun 2017, sebenernya ga ada niatan untuk tinggal lebih lama disini. Tapi setelah 2 tahun.. Kok rasanya belum puas ya tinggal di Eropa, hehehe, lalu ada kesempatan juga sih jadinya kenapa engga. Lalu kerja dan kebetulan berhubungan dengan client yang Belanda banget, perusahaan "ouderwets" (old school alias kolot) Belanda. Jadi beneran nyemplung ke lingkungan Belanda banget, dan mau ga mau.. Belajar bahasanya.
Kalau ngeliat perjalanan belajar Bahasa Belanda ini... Rasanya perjuangannya berasa banget. Ngalamin "terjebak" di meeting yang isinya orang londo totok kabeh, ngomong Bahasa Belanda semua, panik takut ditunjuk disuruh ngomong (padahal cuma ngerti 10-20% dari apa yang diomongin OMG). Suatu hari kejadian juga kebagian giliran untuk ngomong, dengan pemahaman yang pas-pasan, jadinya ngejawab sekenanya. Walaupun orang-orang kayanya ngerti dan oke-oke aja sih.. Tapi tetep aja. Pengalaman yang memalukan. Pengalaman belajar Bahasa Inggris dulu rasanya ga ada fase-fase kesulitan kaya gini. Kaya.. Awalnya aku ga bisa ngomong Bahasa Inggris. Tau-tau ada kesempatan ngomong, dan langsung jago. Fase "perjuangan"nya ga se-terasa fase perjuangan Bahasa Belanda ini. Kenapa gitu ya? Mungkin karena semua terjadi di waktu yang relatif singkat (~5 tahun?).
Yang menyenangkan dari perjalanan ini adalah, semua dimulai dari orang-orang yang sebelumnya aku udah kenal, i.e. orang-orang yang awalnya aku ngomong Bahasa Inggris sama mereka. Lama-lama mereka coba ngomong londo, terus aku jawab Bahasa Inggris, sampai akhirnya semua jadi 100% Bahasa Belanda. Eh, mungkin 95% deng, karena aku masih suka pakai istilah Bahasa Inggris kalau ga kepikiran istilah londonya apa. Orang-orang yang udah aku kenal itu cukup memudahkan, karena aku tau bahwa mereka tau kalau aku masih belajar Bahasa Belanda. Jadi mereka tau bahwa aku tidak terlalu fasih berbahasa Belanda.
Intinya adalah, ngatur ekspektasi lawan bicara. Kalau mereka tau bahwa aku belum terlalu fasih, itu semacam ngasih ruang buat diri sendiri untuk bisa bikin kesalahan. Jadinya lebih percaya diri, dan hajar bleh aja gitu walaupun gatau ini grammar atau pemilihan katanya bener apa engga. Ini juga jadi trik nih, kalau ketemu orang baru, aku sering bilang aku dari Indonesia dan baru belajar londo beberapa tahun belakangan. Semacam nge-set ekspektasi dari awal.
Kalau boleh nilai diri sendiri, tingkat ke-pede-an bahasa londoku nilainya sekarang 7,5/10 lah. Bahkan lebih baik dari Bahasa Sunda! Tapi... Banyak tapinya. Walaupun Bahasa Belanda sekarang udah jadi keseharian, tetep ada satu hal yang menurutku jadi tantangan paling besar. Aku ngerasa.. Untuk tiga besar bahasa yang aku bisa lafalkan sekarang (Indonesia, Inggris, Belanda), aku adalah tiga kepribadian yang berbeda. Sebagai bahasa ibu, Bahasa Indonesia tentu saja yang paling natural. Untuk cas cis cus, nimpalin omongan orang, becanda dan nyeletuk hal-hal yang lucu, semua muncul aja secara alami dan lancar. Pun begitu dengan bahasa Inggris, walaupun ga selancar Bahasa Indonesia, tapi masih oke lah. Tapi buat Bahasa Belanda ini, duh, hal-hal semacam itu sulit banget untuk keluar dari mulut. Di kantor sering ada orang-orang yang bercanda misalnya. Aku ngerti sih, dan bisa ikut ketawa, tapi untuk bisa nimpalin.. Itu susah. Jadinya aku lebih pendiem. Tapi sebenarnya aku ga sependiam itu kok! Hal-hal kaya gitu memang kayanya gabisa dipelajari dari buku atau dari les.
Beberapa minggu lalu ada sesi peer-review sama kolega se-tim, buat nge-review gimana perjalanan setaun belakangan. Dua dari empat orang di tim bilang bahwa awalnya aku pendiem banget, apalagi pas awal-awal project (~2-3 tahun yang lalu), dan sekarang jauh lebih ga pendiem. Ingin aku berkata bahwa aku.. Cuma.. Ga bisa.. Bahasa Belanda......
Lima tahun berselang.. Sekarang alhamdulillah jauh lebih pede dan lancar untuk ngomong londo. Dari yang awalnya selalu nge-set ekpektasi (pakai trik di atas), sekarang.. Ga selalu begitu. Syukurlah. Perjalanan masih terus berlanjut, dengan tantangan yang paling susah di atas, tapi mudah-mudahan.. Aku cuma butuh waktu. Bismillah!

Bonus poto pas pertama kali presentasi live dalam bahasa londo.. Tegang banget!!!
-
Ngomong-ngomong bahasa, beberapa bulan ini kepikiran untuk les Bahasa Jepang.. Gas?!?
3 notes
·
View notes
Text
Sederhana, santai, bebas
Jumat lalu terbangun dengan kabar sedih, bahwa Om Joni koma. Dari foto-foto yang kulihat di grup WA keluarga, Om Joni terlihat terkulai, lemas, tak berdaya.. Sedih banget. Aku yang tinggal jauh ini cuma bisa berdoa yang terbaik buat Om Joni. Kondisinya memang menurun drastis setahun belakangan ini.
Aku jadi mengingat-ingat kenangan bersama Om Joni. Banyak sekali memori tentang Om Joni, terutama waktu aku masih kecil dulu. Mudik ke Surabaya adalah momen untuk ketemu Om Joni. Om Joni selalu menjadi sosok Om yang hobinya bikin senang ponakan-ponakannya. Dari dulu selalu ngasih THR paling banyak (hehehe), terus senang juga nraktir ponakannya. Dulu Om Joni seneng banget ngajak ponakannya makan di Pizza Hut. Inget banget dulu pernah makan pizza dengan topping ayam lada hitam, makan banyak banget sampe eneg hampir muntah di asbak di deket eskalator di Tunjungan Plaza haha. Dipikir-pikir ga umum juga ya pizza toppingnya ayam lada hitam.. Tapi dulu rasanya enyaaaaak banget. Sepupuku, si adek, yang sebenernya cowok tapi entah kenapa waktu kecil dia suka warna pink, sering dibawain donat dengan topping meses merah muda di atasnya. Perhatian banget 😊
Om Joni adalah seorang pencinta seni. Kalau dengar cerita dari mama, dulu Om Joni sebenarnya ingin kuliah jurusan seni. Tapi ga dapet ijin dari Kai (ayahnya Om Joni), jadinya beliau kuliah jurusan Ekonomi. Setelah lulus, Om Joni kerja di Bank BII/Lippo. Sering banget bepergian.. Dan kalau Om Joni bepergian itulah, dia mencoba menyalurkan jiwa seninya. Senang sekali dulu pernah ditunjukkan foto-fotonya waktu ke Tokyo, ke Bangkok, ke Montreal..
Waktu aku, mama dan papa masih tinggal di Paris dulu, Om Joni pernah berkunjung ke Paris. Karena jiwa seninya, banyak sekali foto-foto dengan Om Joni di Paris. Salah satu yang paling kuingat adalah foto di Passy ini, di dekat menara Eiffel.. Yang membuatku selalu mengasosiasikan stasiun metro ini dengan Om Joni.

Waktu kami masih tinggal di Lembang, Om Joni juga sering mampir. Kadang Om Joni mampir untuk menghabiskan beberapa hari untuk jalan-jalan di kota, makan bakso tahu di pinggir jalan di Alkateri, atau hanya untuk duduk tenang di Lembang, melukis, membuat sketsa. Oh ya, Om Joni senang membuat sketsa dan lukisan. Beberapa karyanya ada di rumahku di Bandung, dipasang di dinding di ruang tamu. Salah satu karya Om Joni yang jadi favoritku adalah sketsa kediaman kami di Lembang dulu. Dipikir-pikir, sepertinya Om Joni-lah yang memperkenalkanku pada Urban Sketching.

Aku tidak terlalu ingat kapan persisnya, mungkin sekitar tahun 2015. Waktu itu umur Om Joni sekitar 50-an tahun, seingatku masih usia produktif lah pokoknya. Tiba-tiba dapet kabar bahwa Om Joni memutuskan untuk pensiun dini, keluar dari pekerjaannya di bank. Yang aku pahami, Om Joni pensiun dini supaya bisa lebih dekat dan bisa menjaga ninik. Pensiun dini juga berarti Om Joni punya lebih banyak waktu untuk melukis, bikin sketsa.. Dan memang, Om Joni menghasilkan banyak karya setelah beliau pensiun dulu. Aku lihat karyanya lebih banyak lukisan, dan gayanya sudah agak berubah dari sketsa-sketsa kota yang dulu aku kenal.
Dari kacamata orang dewasa biasa, keputusan Om Joni itu mungkin terlihat sangat drastis. Tapi, dipikir-pikir.. Memang begitulah Om Joni. Sederhana, santai, bebas.. Seorang penikmat hidup. Om Joni merasakan banyak dalam hidupnya, dan keputusan itu mungkin merupakan caranya untuk bisa menikmati hidup lebih dalam lagi.
Itulah yang aku ingat dan akan selalu aku kenang dari Om Joni. Bahwa hidup harus dijalani dengan santai, sederhana, dinikmati segala lika-likunya..
-
Sudah 3 hari semenjak Om Joni koma, sampai sekarang beliau masih belum sadarkan diri. Kalau membayangkan kondisi yang harus dijalani Om Joni sekarang, rasanya sedih banget. Sudah 3 hari belakangan ini juga aku mencoba mengingat-ingat memori tentang Om Joni, dan liat foto-foto bersama Om Joni, rasanya sedih bahwa semua ga akan terulang lagi. Tulisan ini adalah upaya untuk menutupi rasa sedih itu, dengan mengingat-ingat hal-hal baik dan menyenangkan tentang Om Joni. Semoga yang terbaik untuknya.
-
Senin, 25 November 2024 22:21 WIB/16:21 CET Sekitar 10 menit semenjak tulisan ini dibuat, Om Joni telah berpulang ke sisi-Nya. Innalillahi wa innalilaihi roji'un.
Semoga tenang dan terang pulangmu, Om..
In memory of Djoni Agus Suparta, 25 Maret 1960 - 25 November 2024
1 note
·
View note
Text
Hari yang Biasa-Biasa Saja
Selasa lalu itu hari biasa aja sebenernya. Seperti biasa, aku bangun pagi banget, supaya bisa naik kereta sebelum jam 6:30 biar dapet diskon hehe. Zona waktu baru berubah dari waktu musim panas ke musim dingin, jam 6:30 terasa seperti jam 5 pagi: gelap, dingin, agak lembab.. Tipikal cuaca di musim gugur.
Sampai di Utrecht Centraal, aku berjalan ke arah kantor. Biasa-biasa aja. Lewat atap yang bentuknya seperti gelembung yang melayang-layang itu, lalu ngeliat UFO yang bertengger di atap kantor dari kejauhan.. Semua terasa biasa-biasa saja. Memang ini hari yang biasa saja.

Lalu berpikir dalam hati. Wah, sudah hampir November. Yang berarti, udah hampir bulat 5 tahun kerja di Belanda. Hah, 5 tahun?! Kalau diibaratkan anak kecil, itu anak udah hampir lulus. SD. Kuliah S1 dulu aja cuma 4 tahun, lha ini 5 tahun kok rasanya bisa berlalu begitu saja.. Yang dulunya mikir, kayanya di Belanda bakal cuma 2 tahun aja, buat kuliah aja, gitu kan? Tau-tau udah 7 tahun aja hidup di negara ini..
Jadinya mikir lagi, sebenernya hari-hari yang dilalui ini gak biasa-biasa aja. Kalau dipikir lebih dalam, ini semua kaya mimpi.. Beneran nih, tinggal di Eropa? Ajeng aja disini udah 4 tahun. Dipikir-pikir, 10 tahun lalu, waktu masih di bangku kuliahan di ITB. Sebagai mahasiswa yang biasa-biasa aja, aktif seperlunya, akademis juga ga terlalu menonjol. Simply good at everything, but best at nothing, I felt. Yang dulunya sehari-hari naik motor, sekarang naik kereta biru-kuning. Mana kepikir bisa hidup di Eropa?!
Kehidupan yang udah dijalani lebih dari 7 tahun, tapi masih kerasa seperti mimpi. Tulisan ini bukan glorifikasi hidup di Eropa, tapi hanya sebagai.. Tumpahan pikiran? Bahwa hari-hari biasa yang aku jalani selama ini, kalau dipikir lebih dalem, ternyata ga biasa-biasa aja. Ini beneran terjadi kan? Kadang kalo lagi jalan di Centrum Den Haag sama Ajeng, masih suka ngomong: "Alhamdulillah ya cin, dulu kita cuma bisa mimpi untuk bisa kuliah di Eropa, sekarang.. Mau duduk-duduk di depan Binnenhof, tinggal naik tram 8 menit dari rumah".
Sampai sekarang, masih terasa kaya mimpi..
I'll be forever grateful of this. Alhamdulillah.
0 notes
Text
Sehari sebelum ujian praktek nyetir (untuk ke-3 kalinya), aku ada sesi les sama sekolah nyetir. Sebelum ujian memang baiknya les intensif, sesi kemarin itu sesi terakhir sebelum ujian besoknya. Selesai les, seperti biasa, aku diantar ke rumah.
Turun dari mobil, tau-tau ada sepasang kakek nenek spontan nyapa:
👴: Hey, hoe is het gegaan? (Hey, gimana lesnya?) 👦: Ging goed hoor (Lancar untungnya hehee) 👴: Ahh goedzo! (Bagus bagus!) 👦: Ik heb morgen trouwens mijn rijexamen, wish me luck he? (Sebenernya besok aku ujian nyetir, doain yaa..) 👴: Owww, heel veel succes! (grote glimlach) (Owww, sukses!! (senyum lebar)) 👦: Dankuwel meneer!! (makasih meneer..)
Pembicaraan spontan dan singkat, sukses bikin hati senang. Rasa tegang masih ada, tapi setelah ketemu dan disemangati dengan tulus sama kakek random tadi, rasanya senenggg banget. Dan rasanya ada secercah optimisme bahwa besok bisa lah, lancar.
And today.. Alhamdulillah, I finally made it 🥹🥹🥹

0 notes
Text
This album turns 11 years old this month. It feels like it’s only yesterday that I played the whole album on repeat.. This album was my whole 2013.
The whole osjur period has this album playing in the background. “Next Year” is the the song of that damp, dark, basecamp of GD12. “Beacon” is the the soundtrack of that daily commute between campus and home; day and night, wet and dry. “Spring” is the song of 3102: the long-spanning, bright classroom of where we learned Positioning, Geometric Geodesy. “Settle” is about learning to see the world in different perspectives, to see the world in different color, settling in a new setting..
0 notes
Text
youtube
Wageningen, September 2017. The days were bright. Every step I took outside was full of excitement. Excitement to discover this new continent, excitement to experience a new life in a new land. The more you absorb the atmosphere, you somehow feel the swirling wind coming from faraway; it was still summer, warm and humid, but autumn is approaching. The wind was ready to blow the leaves off the cherry trees around the university.
And there I took the step off the star-shaped flat in the edge of the university. I looked for the blue bike, Bianca, the first bike I ever owned in the Netherlands. I cycled towards the exciting unknown..
Everything is bright and beautiful 🌞
(The song nor the lyrics have no direct association with the ambiance that I described; it was simply the feeling that got into my mind when I hear this song. You know, that a song can be a time machine 😊)
9 notes
·
View notes
Text
youtube
Beberapa hari ini Spotify nge-rekomendasiin lagu ini. Kesan awalnya apaan nih lagu alay?? Judulnya aja "Kita usahakan rumah itu" (3 kata terakhir ga pake kapital, entah sengaja atau engga). Hahaha, tapi setelah didenger ternyata liriknya lucu juga. Nadanya juga enak. Ada bait favorit:
Urusan perabotan dan wangi-wangian Kuserahkan pada s'leramu yang lebih maju Tapi tata ruang aku ikut pertimbangkan Kar'na kalau nanti kita punya kesibukan Malam tetap kumpul di meja panjang Ruang makan kita Berbincang tentang hari yang panjang
Setelah pindah ke tempat baru, dipikir-pikir ada dua aktivitas yang terasa paling hangat.
Yang pertama adalah momen saat makan malam di meja makan. Rumah yang baru ini memang lebih luas, akhirnya kami punya ruang untuk punya meja makan di rumah. Yang sudah jadi impian sejak dulu adalah lampu gantung, dengan pancaran sinar kekuningan/putih hangat, yang menyoroti meja makan. Lalu penerangan di ruang sekitar dibuat agak remang sedikit. Jadilah suasana yang hangat.
Setelah seharian kerja, duduk bareng Ajeng, sambil menyantap makanan apapun, sambil ngobrol ngalor ngidul, persis seperti yang dideskripsikan di lagu itu. Aktivitas yang simpel tapi selalu membuat hati hangat :-) (walaupun, kadang kalau kita lagi terobsesi nonton suatu serial Netflix, jadi sering makan di sofa juga sambil nonton sih, hahaha..)

Momen kedua adalah sesaat sebelum tidur. Cuddling, di dalem selimut yang hangat, sambil ngobrol ngalor ngidul juga. Kadang bisa ngobrol soal hal-hal filosofis, gosip, tentang keseharian, tentang mimpi Ajeng yang aneh-aneh, atau apapun yang terlintas di pikiran..
Lagi-lagi momen yang simpel, tapi selalu bikin hati hangat :-)
6 notes
·
View notes
Text
Rekap paruh awal 2022
Januari
Malam tahun baru aku habiskan di Indonesia, karena waktu itu kebetulan lagi mudik. Harusnya tanggal 31 Desember udah balik lagi ke Belanda sih, tapi karena masih kangen dan belum puas di Indonesia, jadinya kami perpanjang tinggal di Indonesia sekitar 2 minggu. Lumayan nambah waktu untuk sekedar kumpul-kumpul bareng keluarga :-) Sempet mampir ke Jawa Tengah juga karena budenya Ajeng berpulan :-(
Sekembalinya ke Belanda, ternyata Ajeng kena covid. Sepertinya ketularan pas lagi di pesawat. Studio mungil kami di Delft tidak memungkinkan bagi kami untuk tinggal beda ruangan, jadinya aku tetep beraktivitas bareng sama Ajeng, bahkan tidur di kasur yang sama. Anehnya sampe Ajeng sembuh pun diriku ga ada tanda-tanda kena Covid, hasil tes PCR pun negatif. Syukurlah!
Februari
Di bulan ini mulai serius cari rumah. Beberapa alasan untuk pindah rumah adalah karena makin lama studio ini terasa kecil. Kejadian spesial yang terjadi kemarin, seperti Ajeng kena Covid makin mendorong kami untuk cari tempat baru. Kami juga sering kerja dari rumah, dan kalau lagi sama-sama meeting online suaranya bocor satu sama lain. Dan akhirnya kami juga memutuskan untuk pindah dan beli rumah, bukan sekedar pindah. Alasannya simpel: kalau nyewa uangnya hilang, dan kalau beli uangnya ditabung. Ya kan?
Di bulan ini juga nyobain untuk nge-bid pertama kali.. Yang secara mengejutkan.. Langsung diterima. DEG-DEG-AN banget karena rumahnya emang cakep banget, masih di sekitaran Delft (yang bagi kami kotanya ideal banget), rumah tapak pula. Pastinya seneng banget karena langsung diterima. Tapiii.. Sekitar 2-3 hari setelah kami menang bid, aku selalu bangung dalam perasaan ga enak. Rumah itu indah, tapi banyak tapinya.. Pertama, cukup tua; kedua, butuh renovasi banget; ketiga, perlu overbid banyak banget buat bisa menang. Rasanya banyak sekali hal yang kita gak tau dari rumah ini dan.. Akhirnya bikin makin ga yakin. Ini bener-bener bikin aku ga bisa kerja, overthinking, ga mau makan hahaha, bahkan kayanya turun 2 kg dalam waktu kurang dari seminggu. Akhirnya kami mutusin untuk mundur dari proses pembelian rumah itu :-(
Maret
Beberapan weekend yang cukup berkesan: ketemu kenalan sodara dari Surabaya, terus ketemu temen kuliah di Amsterdam yang akhirnya kita jalan-jalan seharian (bener-bener dari pagi sampe malem di Amsterdam). Capek tapi seru! Ini juga salah satu hal yang disenengin dari 2022 sih, karena pandemi udah mereda, jadi hampir setiap weekend ada jadwal main/ketemu orang :-)
Di bulan ini juga ada berantem sama istri hehehe. Ya normal lah namanya manusia hidup bareng, pasti akan ada konflik. Tapi yang satu ini mungkin salah satu yang terheboh, tapi sekaligus jadi salah satu yang kami bisa belajar banyak atas satu sama lain. Detail berantemnya gausah ditulis lah hahaha.
Di bulan ini juga mulai lagi viewing beberapa rumah, setelah kejadian yang bikin agak down akhir Februari lalu.
April
Jadi manusia berumur 28 tahun, wadidaw umur kepala 3 makin dekat! Dikasih Ajeng kado dompet Secrid yang dibeli di Wageningen. Milih sendiri, jadinya tepat guna dan cocok :-)
Di kerjaan, mulai gabung sama proyek baru. Isinya wong londo kabeh (proyek sebelumnya juga sih). Kalo ngobrol mereka kaya ga ada intensi untuk ngomong Inggris (yang mana bagus buat latihan Londo), tapi jadinya tekanan banget ke diri sendiri hahaha. Yowis memang harus dihadapi. Proyeknya juga bener-bener kerasa kaya proyek beneran, karena ini berupa proyek yang di-deploy ke Production (bukan kaya proyek sebelumya yang lebih banyak eksperimen).
April ini juga beririsan sama bulan Ramadhan, jadinya puasa. Puasa tahun ini ga terlalu terasa berat, karena paling lama "cuma" jam 9 malem udah buka puasa. Dibandingin sama puasa pertama di Belanda di tahun 2017, itu buka puasa bisa jam 22:00-22:30, jadinya buka jam 20:30-21:00 masih oke lah..
Di akhir bulan, kami coba nge-bid rumah lagi di Gouda dan dapet (lagi!). Rumahnya cakep banget, ga terlalu jauh dari Centrum, masih walking distance dari stasiun Sprinter, rumah tapak pula. Kali ini ga ada perasaan ga enak kaya sebelumnya, jadi kami bener-bener jalani proses dengan tenang dan penuh percaya diri. Sampai sebelum kami inspeksi dan tanda tangan pre-purchase agreement, si penjual yang ternyata narik diri.
Shock, karena kondisinya waktu itu kami udah di kereta banget mau perjalanan ke rumah itu. Tau-tau ditelpon makelar penjual bahwa inspeksinya di-cancel. Usut punya usut, si penjual ternyata adalah pasangan yang mau bercerai, makanya mereka mau jual rumahnya. Lalu di pagi sebelum kita mau tanda tangan, mereka memutuskan untuk kembali bersama dan gajadi ngejual rumah. Hahaha super kocak 😂 Kami juga memutuskan untuk legowo, karena pas kami viewing, ada satu kamar kecil dengan kasur bayi kecil. Kami mikir, kalau kita ngotot buat beli rumah itu, mungkin bakal ada perpecahan lagi di rumah tangga mereka, dan bayi itu mungkin bakal kena imbasnya.. Humm, di akhir hari aku dan Ajeng cuma bisa ketawa-ketawa.
Mei
Lebaran, ngebantuin KMD bikin sate padang. Total nusukin 150 sate bareng Ajeng wuhuuu. Di bulan ini juga ujian teori buat nyetir yang Alhamdulillah langsung lulus.
Di akhir bulan liburan singkat ke Luxembourg, negara kecil yang ukurannya paling seukuran satu provinsi di Belanda. Liburan yang cukup aktif dan menyenangkan. DI salah satu hari kita hiking di suatu bentang alam di dekat Kota Echternach. Rutenya relatif ringan, cakep deh, total jalan sekitar 20 km di hari itu doang. Balik ke Kota Luxembourg, ternyata lagi ada marathon, jadinya nontonin orang lari rame-rame. Alhasil ga dapet tram karena semua orang berebut mau masuk. Capek, mana sehabis jalan panjang seharian, jadinya makan pasta di Vapiano yang uwenak.
Di bulan ini juga viewing ke apartemen tempat kita tinggal sekarang :-)
Juni
Tanggal 1 banget memberanikan diri untuk nge-bid ke apartemen di Voorburg yang langsung diterima di hari itu juga. Alhamdulillah :-) Kali ini bener-bener no drama, inspeksi lancar, komunikasi sama penjual, makelar dan penasehat macem-macem juga lancar. Sepertinya memang jodohnya hohoho.
Pertengahan bulan ikutan Inburgeringsexamen demi kehidupan yang tidak terikat pada pihak manapun. Sengaja ambil hampir semua ujian dalam satu hari, jadinya cuti seharian sekalian bisa istirahat. Lalu diajak temennya Ajeng untuk mampir ke rumahnya di daerah Tiel, yang deket sama perkebunan buah ceri. Jadinya kami mampir ke kebun dan metik sendiri ceri yang ginuk-ginuk dan manis-manis banget. Enak!
Di kerjaan juga dikasih kesempatan untuk jadi semacam co-supervisor di mini-project sama mahasiswa Wageningen. Jadinya di akhir bulan ada kesempatan untuk balik ke kampus, kangen sekali~ Siangnya bela-belain untuk makan di kantin chinese food favorit yang murah meriah. Rasanya masih sama, yum! Lalu diundang ke nikahan kolega orang Belanda yang bentukan acaranya unik banget. Karena doi seneng sama hal-hal berbau abad pertengahan, nikahnya di semacam museum abad pertengahan di Alphen a/d Rijn. Dengan pengantin dan pengunjungnya pake busana adat pertengahan juga. Karena saya orangnya membosankan saya mah pake batik aja hahaha.
3 notes
·
View notes
Text
Dua hari ini sibuk ikut ujian integrasi (inburgeringsexamen) di Belanda. Ujian ini tujuannya buat ngetes apakah kandidat cukup terintegrasi atau engga di masyarakat Belanda. Ujiannya sendiri ada 5 bagian: 4 untuk bahasa (tulis, baca, dengar, bicara) dan 1 untuk untuk uji pengetahuan masyarakat Belanda.
Kemarin aku kebagian ujian menulis. Karena jadwalnya ditengah jam kerja, jadinya harus ijin ke kolega sebentar dan berangkatnya agak mepet. Jadilah lupa bawa botol minum. Sampai di tempat tes, alamak tau-tau sakit perut. Akhirnya ke toilet untuk panggilan alam.
Byar byur, lalu sadar, ga bawa botol! Sebagai orang Asia di Londo, bawa botol saat bepergian itu bukan hanya untuk minum: tapi untuk "kebersihan" juga. Yang tentunya setelah dipakai buat "bersih-bersih", dicuci kembali sebelum dipakai minum hehe. Akhirnya daku terpaksa "bersih-bersih" pake tisu toilet aja. Layaknya orang sini.
"Ohh, mungkin ini bagian dari ujian integrasi juga ya.."
🥲
1 note
·
View note
Text

Semingguan yang lalu akhirnya sempet mampir ke pameran bertajuk "Revolusi!" di Rijksmuseum Amsterdam. Yang dipamerkan, secara singkat, adalah "sisi lain" dari masa perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949. Kalau mau lihat sekilas bisa buka website ini.
Bagiku, narasi yang ditampilkan di pameran ini paling mendekati dengan apa yang aku pelajari dulu di buku sejarah di bangku SD. Namun, karena ada banyak sekali foto, video, poster dan barang-barang yang baru pertama kali aku lihat—yang sebagian ternyata memang hasil rampasan perang—ada banyak "sisi lain" yang buatku termenung.
Wajah-wajah yang ditampilkan bergerak, berekspresi. Wajah yang kulihat begitu familiar—orang-orang pribumi terlihat seperti wajahku, wajah orang tuaku, wajah kawan-kawanku di Indonesia. Pun orang-orang Belanda yang ditampilkan juga begitu. Mereka terlihat seperti orang-orang baik yang aku kenal disini. Orang-orang baik, yang terbuka mau menerimaku tinggal di negara mereka.
Yang membedakan adalah waktu. Orang-orang di video itu tinggal zaman yang berbeda, yang sialnya memberikan mereka nasib yang berbeda pula. Kalau aku dilahirkan di tahun 1920, bukan tahun 1994, mungkin aku akan punya nasib yang jauh berbeda dengan yang kualami sekarang. Boro-boro untuk bisa ke negeri Belanda, hidup di tanah Indonesia pun mungkin butuh perjuangan. Hanya untuk sekedar hidup.
Mereka semua sama, manusia, wajahnya seperti kita, seperti orang-orang yang kita kenal. Hanya saja, mereka hidup di zaman yang berbeda.
1 note
·
View note
Text

Sebenernya tulisan ini lebih afdol kalo dipost tanggal 24 Maret ya, jadinya tepat 10 tahun. Tapi mumpung lagi ingin menumpahkan pikiran, aku tulis sekarang aja hehe..
Tulisan jelek di foto di atas adalah tulisan yang kubuat di dinding rumahku di Lembang (hampir) 10 tahun silam. Sepuluh tahun yang lalu, aku, Mama dan Papa meninggalkan rumah yang telah kami huni selama hampir 15 tahun lamanya. Rumah penuh kenangan, tempat aku tumbuh, menghabiskan masa kecilku. Tulisan itu aku tulis di dinding di kamarku dulu, di hari saat kami pindah dari rumah Lembang ke rumah Ciwaruga.
Saat itu aku merasa senang. Senang karena saat itu kegiatanku banyak sekali di Bandung, dan untuk setiap hari bolak balik Lembang-Bandung bisa sampai 2 kali sehari terasa cukup melelahkan. Dengan pindah ke Ciwaruga, jarak ke pusat Kota Bandung dipangkas hampir setengahnya. Aku jadi tidak perlu banyak menghabiskan waktu di jalanan lagi. Dan kalau pulang malam, tidak takut lagi melewati jalanan yang super gelap di Bosscha. Pikirku saat itu, "Ah, Lembang kan deket. Bisa lah sering-sering mampir kesana lagi".
Nyatanya, aku hanya mengunjungi Lembang beberapa bulan sekali. Sesekalinya ke Lembang, jarak dan perjalanan yang mesti kutempuh terasa begitu jauh, sampai mikir: "Kok bisa ya dulu tiap hari bolak balik Lembang-Bandung?". Kunjungan ke Lembang bukanlah lagi sebuah keseharian, namun hal yang sifatnya eventual.
Yang aku tidak sadari di hari saat aku pindah ke Ciwaruga dulu adalah, bahwa aku sudah meninggalkan Lembang for good. Bahwa aku telah meninggalkan tempat yang telah aku tinggali selama hampir 15 tahun. Bahwa aku bukan penduduk Lembang lagi..
Aku jadi ingat obrolanku dengan Mama, Papa dan Ajeng saat di Bandung Januari lalu. Kami mengobrol seputar Surabaya, kampung halaman Mama dan Papaku. Mama bercerita tentang momen Papa meninggalkan Surabaya untuk sekolah di Bandung. Kota yang pada akhirnya, mereka tinggali sudah lebih dari 20 tahun lamanya sekarang. Mama bercerita tentang momen itu, "Ya udah, dari situ Papa emang udah bukan orang Surabaya lagi. Kalau ke Surabaya ya cuma kalau liburan, kalau lebaran aja..".
Mama lalu bilang, "Mungkin kaya Bayu sekarang, sejak ke Belanda 2017 lalu jadinya bukan orang Bandung lagi. Pulang ke Bandung lebih untuk liburan, untuk berkunjung ke keluarga". Hal senada juga diungkapkan Mayang, adik iparku saat aku bilang sedang mencari-cari rumah di Belanda. Dia bilang, "Aku senang kalian mulai settle disana, tapi sedih ga sih, kalian itu berarti kalau ke Indonesia ya disebutnya liburan, pulangnya ya ke Delft".
Percakapan-percakapan itu beberapa minggu belakangan terngiang-ngiang di kepalaku. Selama ini aku selalu menyebut momen pergi ke Indonesia, walaupun dalam kesempatan berlibur, sebagai "pulang ke Indonesia". Dan saat kembali ke Belanda, aku selalu bilang "balik ke Belanda". Sama seperti Mama dan Papa. Kalau mau mudik ke Surabaya, mereka selalu bilang "mau pulang ke Surabaya".
Hum.. Aku jadi ingat sebuah percakapan di buku yang baru-baru ini aku baca, ngena banget. Konteks percakapan ini juga tentang rumah:
"Hidup ini memang seperti itu. Kamu melepas sesuatu, lalu memulai sesuatu. Rumah ini, bagaimanapun, ya, benda mati. Yang hidup itu kenangan di dalamnya, juga alasan-alasannya berdiri. Semua kedekatan emosional yang muncul darinya, juga terhadapnya, itu tidak akan lepas, tidak akan hilang. Aku akan memegangnya terus menerus, memeluknya erat-erat di hatiku, sampai kapan pun". —Bibi ke Coro, dalam Semasa
Dengan logika seperti itu, rasanya sah-sah saja kalau aku selalu menyebut diriku sebagai orang Bandung. Toh, aku tumbuh dan berkembang di kota itu. Aku punya banyak kenangan dan memori di kota itu.
Aku sadar bahwa beberapa waktu lalu aku selalu bilang aku ingin kembali ke Bandung suatu saat. Mungkin ada masanya. Mungkin.
Yang jelas, kemanapun aku pergi, aku akan tetap menjadi orang Bandung. Aku akan memegangnya terus menerus, memeluknya erat-erat di hatiku, sampai kapan pun.
8 notes
·
View notes
Text
Hal-Hal yang Membuat Rumah Terasa Seperti 'Rumah'
Kembali ke Indonesia setelah 1,5 tahun. Hal yang pertamakali dirasakan adalah rasa nyaman. Yang uniknya, mulai aku rasakan bahkan saat sebelum terbang, saat masih di Bandara Schiphol, dimana aku mengantri untuk check-in dan nge-drop bagasi untuk penerbangan kami. Di antrian, terdengar sayup-sayup percakapan orang dalam bahasa yang begitu saya kenal: Bahasa Indonesia. Saat berada di negeri lain selain Indonesia, untuk bisa mengerti percakapan di sekitar tanpa usaha, adalah hal yang memberiku rasa nyaman. Walaupun udah lumayan ngerti dan ngomong Bahasa Belanda sedikit-sedikit sih..
Waktu sampai di Bandara Soetta juga begitu. Saat mengantri untuk cek kelengkapan dokumen, ada segerombolan ibu-ibu yang minta tolong untuk dikonekin wi-fi. Dari satu ibu, lanjut ke ibu-ibu yang lainnya. Rasanya ada perasaan senang untuk bisa menolong tanpa terkendala bahasa. Di hotel tempat karantina, Ajeng beberapa kali menelepon resepsi untuk bertanya satu dan lain hal kalau kami bingung. Inget-inget di Belanda, kami hanya mau menelpon/bertanya kalau kami benar-benar tidak tahu/butuh pertolongan. Haha, di satu sisi itu hal bagus, tapi kami akui bahwa faktor bahasa bermain besar disitu: kalau kami bisa lebih fasih berbahasa Belanda, tentu kami tidak akan se-sungkan itu untuk bertanya atau meminta pertolongan.
Aku beruntung, karena aku hanya harus menjalani karantina selama 3 hari 2 malam. Karantina aku jalani bersama Ajeng di sebuah hotel di jalan TB Simatupang; jalan yang begitu familiar bagi kami. Jalan tersebut adalah jalanan tempatku berkeliaran saat aku magang di Jakarta 6 tahun silam. Pengalaman pertama hidup sendiri untuk waktu yang cukup lama, tentu sangat berkesan. Kantor tempat Ajeng bekerja dulu juga terletak di jalan yang sama. Saat karantina berakhir, aku keluar dari hotel dan langsung dihantam oleh panas-lembabnya udara Jakarta yang begitu familiar. Trotoar yang kurang manusiawi, kendaraan bermotor yang mengalir tanpa henti, betul-betul suasana yang familiar bagi diri ini. Yang uniknya, walaupun bukan sesuatu yang semestinya baik, tetap memberikan rasa nyaman di hati.
Sesampainya di rumah Ajeng, saat duduk, aku coba menikmati suasana sekitar. Suara gesekan antara sapu lidi dan paving di rumah di sore hari, suara dentingan mangkok tukang bakso.. Aroma-aroma yang tiba-tiba masuk ke kamar di siang bolong, kadang berupa aroma bawang merah dan cabai yang digoreng.. Atau aroma sop buntut, hahaha.
Kalau mengobrol dengan kawan-kawan perantauan di Belanda, obrolan tentang pulang ke Indonesia pasti tidak lepas dari topik makanan. "Aduh, kalo pulang pokoknya gw mau makan Sate Ajo Ramon!". Atau, "Gileee, terakhir makan Nasgor Very kayanya 5 tahun lalu.."
Obrolan-obrolan dan pikiran-pikiran random di atas kadang membuat diri ini bertanya-tanya: sebenarnya kita ini kangen Indonesia, atau kangen makanan Indonesia? Sebenarnya apa sih yang aku kangenin dari Indonesia? Apa sih yang membuat Indonesia terasa seperti rumah?
-
Rumah bagiku adalah perasaan yang kolektif; kombinasi dari banyak sekali elemen-elemen yang begitu sederhana, mulai dari suara, aroma, rasa, perasaan, memori, manusia.. Yang apabila digabungkan, jadinya tidak sesederhana itu lagi. Gabungan dari elemen-elemen itu memberikan rasa yang familiar.. Yang kemudian bisa membuat hati terasa aman dan nyaman. Rumah merupakan konsep yang rumit; akumulasi dari berbagai emosi dan pengalaman yang yang telah aku lalui selama bertahun-tahun. Makanya rumah adalah hal yang begitu personal.. Hal-hal menjengkelkan dari Indonesia, seperti macet atau nyamuk, mungkin bagi sebagian orang bisa terasa seperti rumah.. Bisa memberikan perasaan nyaman. Gabungan dari elemen-elemen di atas lah yang membuat rumah, bagiku, terasa seperti rumah.. Bahwa rumah tidak mesti berwujud tempat atau lokasi, tapi lebih tentang perasaan..
Mungkin itu menjawab pertanyaan mengapa, Belanda dengan segala keteraturannya, sampai saat ini belum bisa memberikan rasa rumah yang 'rumah'. Sepertinya aku memang butuh waktu. Waktu akan memberiku pengalaman, waktu akan memberiku teman, dan seiring dengan waktu aku akan membuat banyak lagi memori.. Belanda tidak akan pernah sama dengan Indonesia. Tapi aku berharap, pada akhirnya Belanda akan benar-benar aku sebut sebagai rumah kedua-ku.
Indonesia akan tetap menjadi rumah pertamaku. Suasana makan malam bersama orang tua, ngobrol-ngobrol di tengah kemacetan, makan di pinggir jalan.. Itu sih jelas tidak akan terganti dimanapun :-)
(tapi plis macetnya Bandung sama Jakarta emang ga ngotak hahaha)

Gunung Burangrang dilihat dari belakang rumah..
4 notes
·
View notes