Museum tentang Budaya, Seni, dan Sejarah Jawa / a Museum about Javanese Culture, Art, and History
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Wayang Wong
WAYANG wong atau wayang orang pada dasarnya adalah seni pentas kombinasi antara drama serta tarian, yang telah berkembang di istana-istana sejak masa Jawa Kuno. Hanya saja, wayang wong sempat hilang dari peredaran selama berabad-abad begitu Majapahit runtuh.
Seni wayang wong terlahir kembali pada medio abad XVIII (1700-an). Itu tepatnya berbarengan dengan disintegrasi Mataram menjadi Surakarta,Yogyakarta, dan Mangkunegaran.
Sultan Hamengkubuwana I dari Yogyakarta dan KGPAA Mangkunegara I adalah 2 penguasa Jawa yang memelopori lahirnya kembali wayang wong. Kisah/lakon perdana wayang wong ciptaan Hamengkubuwana I adalah Gandawardaya; lakon pertama ciptaan Mangkunegara I adalah Wijanarka.
Tampilan kostum wayang wong yang lazim dikenal sampai saat ini adalah semacam ini:

Foto tersebut merupakan foto pementasan wayang wong gaya Surakarta di Gedung Wayang Orang Taman Sriwedari, Jalan Slamet Riyadi, Solo. Foto tersebut dinukil dari buku panduan wisata berbahasa Belanda Java karya Eric Oey dkk.
Namun kostum wayang wong sebagaimana terlihat pada foto unggahan tadi sebenarnya barulah hasil kreasi kraton-kraton Jawa mulai 1920-an serta 1930-an. Referensi yang patut dilihat mengenai sejarah wayang wong alias wayang orang adalah buku Wayang Wong Sriwedari karya Hersapandi.
Kostum wayang wong sebelum 1920-an, lebih lagi sepanjang abad ke-19 (1800-an), nyaris tak berbeda dengan kostum untuk seni ketoprak. Itu antara lain ditandai dengan pemakaian tutup kepala para tokoh prianya yang kebanyakan masih berupa blangkon/iket/udeng. Merujuk kepada foto dalam buku Cephas,Yogyakarta terbitan KITLV, kostum pemain-pemain wayang wong di Kraton Yogyakarta pada 1884, yakni pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII, adalah seperti di bawah ini:

Masih merujuk kepada isi buku Cephas, Yogyakarta, tampilan kostum pemeran Gatotkaca, putra Bima/Werkudara, semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII adalah sebagai berikut:

Akhirnya, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VIII (1921-1939), Kraton Yogyakarta mengubah beberapa bagian dari kostum wayang wong, terutama yang paling kentara adalah pada bagian penutup kepala. Tokoh yang dipercayai sang sultan merombak kostum wayang wong adalah KRT Jayadipura. Perombakan kostum tersebut menghasilkan tampilan para pemeran wayang wong seperti yang akhirnya dikenal sekarang ini. Kostum para pemain menjadi terlihat lebih mewah dan sekaligus lebih mudah dibedakan masing-masing tokohnya.
Bentuk kostum, khususnya penutup kepala, cenderung mengikuti bentuk yang disunggingkan pada wayang kulit. Penutup kepala berupa blangkon/udeng/iket diganti dengan irah-irahan yang memiliki sejumlah variasi bentuk: mulai dari yang membentuk makutha (mahkota tinggi), topong (mahkota membulat), gelung supit urang, gelung keling, jamang garuda mungkur, hingga kopyah dan serban. Satu di antara contohnya bisa dilihat pada foto dari akun Instagram @megatruh_bm ini mengenai pementasan wayang wong berlakon “Pergiwa Pergiwati” dalam Festival Seni Adiluhung di Museum Ullen Sentalu, 18 Desember 2014. Dalam foto ini terlihat kostum dua di antara pangeran Kurawa yang mengenakan irah-irahan yang berupa jamang garuda mungkur:
Penulis: Yoseph Kelik
*Didokumentasikan dan dikembangkan dari rangkaian twit di akun Twitter @ullensentalu pada 16-17 Desember 2014.
0 notes
Text
Festival Seni Adiluhung di Museum Ullen Sentalu, 18 Desember 2014

PADA Kamis, 18 Desember 2014 malam, sebuah acara bertitel Festival Seni Adiluhung berlangsung di Museum Ullen Sentalu.
Festival Seni Adiluhung di Museum Ullen Sentalu adalah pula pamungkas dari rangkaian acara bertitel serupa yang dihelat Dinas Kebudayaan DIY di berbagai kecamatan se-DIY sejak beberapa pekan sebelumnya. Berikut ini merupakan ringkasan penyelenggaraan Festival Seni Adiluhung di Museum Ullen Sentalu berdasarkan rangkaian twit di akun Twitter @ullensentalu pada Kamis, 18 Desember 2014 malam.
Penonton Festival Seni Adiluhung mulai berdatangan ke Museum Ullen Sentalu sejak sekitar 18.30. Mereka mengisi Pelataran Sekar Jagad, tempat pementasan hendak digelar.
Festival Seni Adiluhung akhirnya dimulai pada 19.14. Rangkaian acara Festival Seni Adiluhung berisikan 5 tari persembahan dari warga Kaliurang, Dialog Budaya, Beksan Floret dari Pura Pakualaman, Beksan Widaninggar dari Kraton Yogyakarta, dan pemuncak acara adalah Wayang Wong Gagrak Yogyakarta berlakon “Cantrik Janaloka” atau “Pergiwa-Pergiwati”.
Penampil perdana Festival Seni Adiluhung di Museum Ullen Sentalu adalah Tari Mangastuti persembahan warga Kaliurang. Ini lantas disusul penampil kedua, ketiga, dan keempat, masing-masing yaitu adalah Tari Topeng Edan, Tari Yapong, dan Tari Mosaik Batik. Tiga tari tersebut ditarikan oleh anak-anak Kaliurang yang tergabung dalam Sanggar Pawiyatan Ullen Sentalu.

Penampil setelah itu atau penampil kelima adalah Tari Ranaswara persembahan seniman dari Desa Hargabinangun, Kecamatan Pakem. Tari Ranaswara merupakan bentuk kreasi baru atas Tari Golek Menak yang bersumber dari Kraton Yogyakarta.
Rangkaian pentas tari kemudian terselingi oleh Dialog Budaya. Mereka yang hadir mengisi sesi Dialog Budaya ini adalah GBPH Cakraningrat (adik Sultan Hamengkubuwana X), KRT Jatiningrat (Romo Tirun), Hasrul Halili (Pukat UGM), serta Umar Priyono (Kadis Kebudayaan DIY).
Begitu Dialog Budaya berakhir, hadirlah penampil tari selanjutnya yakni Beksan Floret milik Pura Pakualaman. Ini merupakan tipe tari Jawa yang gagah. Tari ini dimainkan 4 penari pria yang berkostum ala militer Barat, membawa pedang anggar, juga memainkan pedang tersebut sepanjang gerakan tarian. Beksan Floret merupakan sebuah tari ciptaan KGPAA Pakualam IV.
Sesudah itu muncullah penampilan Beksan Imam Suwangsa-Widaninggar milik Kraton Kasultanan Yogyakarta. Tari ini berkisah tentang pertarungan antara Putri Widaninggar dengan Pangeran Imam Suwangsa. Di situ dikisahkan bahwa Putri Widaninggar memerangi Pangeran Imam Suwangsa demi membalaskan dendam kakaknya. Kostum Putri Widaninggar didominasi warna merah dan diinspirasi busana ala negeri Tiongkok. Sedangkan unyuk kostum Pangeran Imam Suwangsa didominasi warna hitam dan diinspirasi busana ala Arab serta Turki.
Pada Beksan Menak Imam Suwangsa-Widaninggar, Putri Widaninggar sempat ditampilkan digendong penari berkostum ala seekor burung garuda. Itu adalah penggambaran seolah putri itu terbang di angkasa dengan menunggang seekor burung garuda.
Akhir kisah Beksan Menak Imam Suwangsa-Widaninggar adalah happy ending. Pasalnya, putri serta pangeran yang sempat berperang itu kemudian justru saling jatuh cinta.
Setelah berjam-jam ditunggu penampilan pemuncak acara berupa Wayang Wong “Pergiwa-Pergiwati” akhirnya hadir di panggung. Di sini dikisahkan bahwa sepasang gadis kembar, Pergiwa dan Pergiwati, memilih meninggalkan padepokan kakek mereka untuk coba jumpai ayah mereka, Pangeran Arjuna. Perjalanan Pergiwa dan Pergiwati untuk menjumpai Arjuna ternyata dihambat gangguan para Kurawa serta Sangkuni. Untunglah, Gatotkaca datang menolong membebaskan Pergiwa dan Pergiwati dari kejaran Kurawa.
Penulis: Yoseph Kelik
*Didokumentasikan dan dikembangkan dari rangkaian twit di akun Twitter @ullensentalu pada 18 Desember 2014.
** Foto pementasan wayang wong dicuplik dari postingan akun Instagram @megatruh_bm.
0 notes
Text
Banyak Anak, Banyak Rejeki
ZAMAN dulu, atau bahkan sampai sekitar 50-70 tahun lalu, orang-orang Jawa termasuk masyarakat yang percaya kepada pemikiran "Banyak Anak, Banyak Rejeki’.
Pandangan positif atas pemikiran "Banyak Anak, Banyak Rejeki" pada orang Jawa dulu berkaitan dengan sejarah 2.000 tahun Jawa sebagai pulau pertanian yang subur. Perlu diingat, nama awal mula Pulau Jawa pada masa Hindu Buddha adalah Jawadwipa, yang berarti "pulau padi" karena memang pulau ini sejak awal tarikh Masehi memang dikenal sebagai tanah yang subur dalam hal menumbuhkan padi serta banyak menghasilkan beras.
Nah, konsep "Banyak Anak" cocok dengan kebutuhan sistem ekonomi agraris Jawa pada masa lalu. Itu karena mengolah lahan jelas butuh banyak tenaga kerja. Dahulu, jika ada keluarga Jawa bisa punya banyak anak, maka mereka tak perlu repot tentang tenaga pengolah lahan. Hasil pun bisa dinikmati keluarga sendiri.
Idealisasi konsep "Banyak Anak" pada masyarakat Jawa dahulu contohnya diwakili oleh relief keberadaan tokoh Hariti di Candi Kalasan (peninggalan abad IX Masehi), yang dikisahkan memiliki 500 anak. Banyak anak dipandang positif juga karena tingkat kesehatan dan harapan hidup masyarakat Jawa pada masa lalu masih rendah karena standar gizi masih buruk, kerap terjadi wabah penyakit, serta ada begitu banyak konflik bersenjata. Angka kematian bayi dan anak juga tinggi. Dalam hal ini buku The History of Java karya Sir Thomas Stamford Raffles yang merekam situasi Jawa pada awal abad XIX. Pada Jawa di masa lalu, akan lazim jika mendapati 1 pasutri memiliki 5 anak atau bahkan lebih.
Berkaitan dengan konsep "Banyak Anak", satuan tradisional luas tanah yang populer pada masyarakat Jawa dahulu adalah ‘bahu’. Satu bahu dalam masyarakat Jawa dipahami sebagai suatu lahan yang cukup diolah oleh 1 cacah(1 keluarga dengan anggota kurang lebih 7 orang). Satu bahu juga kurang lebih sepadan dengan 0,7 hektare.
Penulis: Yoseph Kelik
*Didokumentasikan dan dikembangkan dari serangkaian twit bertagar #BanyakAnak di akun Twitter @ullensentalu pada 11 Januari 2015.
0 notes
Photo

Fiat 1907, tipe mobil yang dibeli Raja, Kasunanan Surakarta, Susuhunan Pakubuwana X, pada permulaan abad XX, lalu mobil tersebut digelari sebagai Kiai Wimonosoro.
*Foto disalin dari postingan akun Twitter @achmad_marendes
0 notes
Photo

Benz Phaeton, tipe mobil yang dibeli Susuhunan Pakubuwana X pada 1896 seharga 10.000 Gulden, lalu dinamai Kiai Maruto, yang merupakan pula mobil pertama yang menjelajah Jawa dan bahkan Indonesia (Hindia Belanda) kala itu.
*Foto diunduh dari postingan akun Twitter @achmad_marendes
0 notes
Text
Mobil Pertama di Indonesia
ADA yang tahu tentang mobil pertama di Indonesia? Apa merk dan tipenya? Tahun berapa mobil itu mulai ada di negeri ini? Siapa juga pemiliknya?
Alat transportasi bernama mobil kali pertama berkeliaran di jalanan Indonesia adalah pada penghujung abad XIX. Tepatnya adalah pada 1896. Jadi, ketika itu Indonesia belum berdiri, masih merupakan sebuah wilayah jajahan Belanda dan bernama Nederland Indies alias Hindia Belanda.
Mobil pertama di Indonesia bermerk Benz dan bertipe Phaeton.
Jadi, mobil tersebut lengkapnya bisa disebut sebagai Benz Phaeton. Mobil tersebut bermesin 3.0 liter, dengan silinder tunggal, serta cuma memiliki tenaga setara 5 HP (Horse Power/Tenaga Kuda). Bentuk Benz Phaeton beda banget dengan mobil-mobil zaman sekarang. Di mata orang sekarang, bentuk Benz Phaeton lebih mirip andong tanpa kuda. Selain itu, Benz Phaeton beroda kayu dengan ban karet mati tanpa udara di dalamnya. Setir Benz Phaeton pun tidak bundar sebagaimana setir-setir mobil sekarang, tapi lebih mirip tongkat.
Benz Phaeton didatangkan pemiliknya langsung dari Eropa pada 1896 dengan harga 10.000 Gulden. Pemilik Benz Phaeton si mobil pertama di Indonesia pada 1896 adalah seorang kaya raya serta sangat berpengaruh asal Surakarta/Solo. Ia adalah Susuhunan Pakubuwana X, sang raja Kasunanan Surakarta yang bertahta kala itu. Pakubuwana X membeli mobil Benz Phaeton itu melalui seorang sales bernama John C Potter. Oleh Pakubuwana X, Benz Phaeton 1896 si mobil pertama di Indonesia kemudian diperlakukan sebagai pusaka istana, bahkan dinamai Kiai Maruto sebagai gelar kehormatannya.
Benz Phaeton 1896 bukanlah satu-satunya mobil yang dipunyai Pakubuwana X. Sampai akhirnya wafat pada 1939, Pakubuwana X di samping memiliki Benz Phaeton tercatat juga mengoleksi 16 mobil lainnya.
Kebanyakan dari koleksi mobil itu bermerk bermerk Mercedes Benz. Namun, merk lain pun ada juga. Contohnya adalah Fiat produksi 1907 yang dinamai sebagai Kiai Wimonosoro, juga sebuah mobil produksi 1937 asal Amerika Serikat yakni Royal Chrysler Limousine (Chrysler Imperial).
Di dalam komplek Kraton Surakarta dahulu, mobil-mobil koleksi Pakubuwana tersimpan dalam bangunan garasi khusus. Bangunan garasi tersebut menyandang nama Gedhong Gita Swandana.
Kembali tentang Benz Phaeton dari 1896 milik Pakubuwana X, kendaraan yang sebenarnya merupakan tetenger penting dalam sejarah transportasi di Indonesia, khususnya sejarah dunia otomotif Indonesia, ternyata justru tidak tersimpan di Indonesia. Sejak 1924, Benz Phaeton milik Pakubuwana X itu sudah berada di luar negeri. Awalnya adalah untuk ikut dipamerkan pada pameran otomotif AutoRAI di Amsterdam pada tahun tersebut. Selanjutnya, mobil pertama di Indonesia tersebut justru menjadi koleksi sebuah museum di Belanda sampai sekarang. Namun, satu yang perlu disyukuri, Benz Phaeton dari Pakubuwana X itu dalam kondisi apik serta terawat baik.
Penulis: Yoseph Kelik
*Didokumentasikan dan dikembangkan dari serangkaian twit di akun Twitter @ullensentalu pada Rabu, 28 Januari 2015.
1 note
·
View note
Text
Kotagede, Berlin van Java
PARIS van Java itu Bandung; Swiss van Java itu Garut. Nah, ada yang tahu nggak kalau Berlin van Java itu mana hayoo?
Untuk nebak Berlin van Java itu apa dan mana , ayo diingat-diingat lagi apa yang khas dari kota Berlin yabg asli di Eropa sana.... Berlin asli di Eropa sana selama Perang Dingin (akhir PD II - 1990) kan pernah terbagi dua. Setengah punya Jerman Barat; setengah lagi punya Jerman Timur.
Pada 1755-1945, ada satu kota kecil di bagian tengah Jawa yang pernah terbagi jadi milik dua negara seperti halnya terjadi atas Berlin pada 1945-1990. Hmmm dengan sekian clue komparasi tadi, apa sudah ada yang bisa nebak tentang Berlin van Java?
Kota kecil di Jawa yang cocok menyandang sebutan Berlin van Java ialah Kotagede.... Kenapa Kotagede adalah Berlin van Java ? Ya karena antara pada 1755-1945, kampung-kampung di Kotagede terbagi-bagi antara milik Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kotagede secara keseluruhan berluas total sekitar 300 hektare.
Dari wilayah seluas itu, yang cuma 6 kilometer dari Kraton Yogyakarta, tetapi sampai dengan 1945 kekuasan pihak Kesultanan Yogyakarta sekadar mencakup sekitar setengahnya. Dulu, kekuasaan Kesultanan Yogyakarta di Kotagede cuma punya sebatas di Tegalgendu, Prenggan, Alun Alun, Purbayan, Basen, serta daerah yang kini berada di sebelah utara jalan ke Wonosari.
Sebaliknya, daerah Jagalan dan Singosaren di Kotagede pada 1755-1945 merupakan teritorial Kasunanan Surakarta. Peninggalan Kasunanan Surakarta di Kotagede antara lain tugu di pojok barat Pasar Legi dan jam besar di halaman Masjid Agung. Tugu serta jam besar peninggalan Kasunanan Surakarta di Kotagede tersebut adalah hasil pembangunan pada era Susuhunan Pakubuwana X.
Terbagi-baginya Kotagede menjadi sejumlah enklaf di antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sampai dengan 1945 adalah imbas dari Perjanjian Giyanti 1755. Pada 1755-1945, Kotagede acap pula disebut dengan nama Pasar Gedhe (Sargedhe).
Begitu Indonesia merdeka, Kotagede secara administratif pemerintahan jadi milik sepenuhnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kini, sebagian Kotagede menjadi wilayah Kota Yogyakarta dan sebagian lagi adalah wilayah Kabupaten Bantul. Namun,Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sampai sekarang secara kultural tetap berbagi otoritas dalam pengelolaan Masjid Agung dan Makam Kotagede.
Penulis: Yoseph Kelik *Berasal dari kultwit bertagar #BerlinVanJava di akun Twitter @ullensentalu pada 23 Oktober 2014.
0 notes
Text
Siklus Pasar Pancawara
PASAR sedari masa Jawa Kuno memiliki peran penting: sebagai tempat bertemunya pedagang dan pembeli, juga tempat sirkulasi komoditi serta uang.
Berkaitan dengan peran pasar dalam sirkulasi uang serta komoditi, maka di Jawa sejak masa Hindu-Buddha berkembang siklus lima harian atau disebut Pancawara.
Pasar dengan siklus lima harian Pancawara, sekarang dikenal masyarakat Jawa dengan hari-hari pasaran Legi, Pahing, Pon, Wage,dan Kliwon. Semasa Jawa Kuno, penamaan hari-hari pasar dalam siklus Pancawara: Umanis, Pahing, Pwan, Wagai, dan Kaliwuan. Jadi, sedikit beda dengan yang ada sekarang.
Secara tradisional, pasar bersiklus Pancawara yang dilangsungkan pada hari pasaran Kliwon/Kaliwuan biasanya adalah yang paling besar serta paling ramai. Dalam siklus Pancawara, pasar dengan pasaran Kliwon biasanya berada dalam posisi terbilang tengah, dikitari 4 pasar lainnya.
Pada masa dominasi kerajaan Islam di Jawa, siklus Pancawara tetap berlaku, lalu dikenal juga pasar utama (pasar nagoro) di ibukota kerajaan. Lokasi pasar nagoro selalu ada di sebelah utara alun alun utara istana raja (kraton) dan biasanya disebut sebagai pasar gedhe. Contoh pasar nagoro adalah Pasar Gedhe di Surakarta/Solo dan Pasar Beringharjo di Yogyakata. Status pasar utama semacam itu pernah juga disandang Pasar Legi di Kotagede pada masa awal Mataram Islam.
Penulis: Yoseph Kelik
*Didokumentasikan dari kultwit bertagar #pasar dan #pancawara di akun Twitter @ullensentalu pada 23 Oktober 2014.
0 notes
Text
11 Tips Merawat Kain dan Pakaian Batik
BERIKUT ini 11 tips dalam merawat kain dan pakaian batik, khususnya yang terbilang batik tulis, agar kain serta warnanya awet:
Kain batik sebaiknya disimpan dengan cara digulung, bukan dilipat .
Ketika menyimpan kain batik di lemari, hindari penggunaan kamper ataupun zat kimia lainnya.
Cegah terjadinya apek pada kain batik dengan ramuan yang terdiri dari irisan halus daun pandan, sedikit kencur, lengkuas, mawar, melati, kenanga, jeruk purut, serta minyak srimpi.
Hindari mencuci kain dan pakaian batik memakai mesin cuci dan deterjen.
Cuci kain dan pakaian batik secara manual memakai tangan.
Sebagai pengganti deterjen saat harus mencuci batik, maka gunakan lerak cair atau shampo yang telah dilarutkan dalam air.
Jangan peras kain batik saat mencucinya.
Jemur kain serta pakaian batik di tempat teduh yang tidak terkena sinar matahari secara langsung.
Batik pada dasarnya tidak perlu disetrika. Kalau terpaksa hendak menyetrikanya, lapisilah dulu dengan kain lain agar batiik tidak langsung terkena panas dari setrika.
Jangan gunakan parfum, pewangi, ataupun pelembut pakaian pada batik.
Rangkaian tips merawat batik ini dicukil dari artikel Batik Solo,Riwayatmu Kini tulisan Swastika Nohara ( @SabaiX) di majalah Linkers, inflight magazine maskapai penerbangan Citilink, edisi September 2014.
Penulis: Yoseph Kelik
*Didokumentasikan dari twit berseri dengan tagar #tipsrawatbatik di akun Twitter @ullensentalu pada Rabu, 8 Oktober 2014
0 notes
Text
'Jogja' atau 'Yogya', 'Jogjakarta' atau 'Yogyakarta'?

'JOGJA' atau 'Yogya', 'Jogjakarta' atau 'Yogyakarta'? Di antara sebutan-sebutan tadi manakah yang sering anda pakai?
Tetapi, pertanyaan lain juga, dari sekian penyebutan tadi mana istilah yg paling tepat: 'Jogja' atau 'Yogya','Jogjakarta' atau 'Yogyakarta'?”
Ternyata, jika ditinjau secara etimologis, istilah 'Yogyakarta' dan 'Yogya' lebih tepat dibanding 'Jogjakarta' maupun 'Jogja'. Pasalnya, 'Yogyakarta' berasal dari
kata dasar 'Yogya' dan sebenarnya merupakan turunan dari kata 'Ayodya', yakni negara Sri Rama dalam epos Ramayana.
Untuk ‘Jogjakarta’ dan ‘Jogja’, itu sebenarnya adalah versi pengucapan orang Belanda/Barat yang kesusahan mengucapkan ‘Yogyakarta’ maupun ‘Yogya’. Hal tersebut kurang lebih mirip sebagaimana dulu Belanda pada masa awal kolonialisme mereka di Nusantara mengelirukan penyebutan Jayakarta menjadi Jacatra dan lalu menjadi Jakarta. Lalu, kini orang Barat melanjutkan selip lidah tersebut menjadi Jekardah.
Bahwa ‘Yogyakarta’ dan ‘Yogya’ sebenarnya lebih tepat dan lebih asli secara bahasa Jawa dapat dilihat dari adanya istilah ‘Yoja’. ‘Yoja’ adalah versi penyebutan jelata untuk ‘Yogyakarta’ & ‘Yogya’ yang beredar di kalangan orang-orang pedesaan sekitar kota yang lahir 1755 ini. ‘Yojo’/’Yoja’ itu versi penyebutan sehari-hari yang lebih merakyat serta masih banyak banget dipakai di kampung-kampung.
Hanya saja, biarpun ‘Yogyakarta’ dan ‘Yogya’ merupakan istilah yang paling tepat, tapi penyebutan ‘Jogja’ tak perlu terlalu dipermasalahkan. Toh ‘Yogya’ dimaklumi terucap sebagai ‘Yoja’ kan? Mari anggap saja ‘Jogja’ sbg istilah lisan atau tak formal yang bagaimanapun lebih familiar bagi banyak orang, termasuk yang non Jawa maupun dari mancanegara.
Namun, sebaiknya,apa lagi untuk hal-hal formal, jangan pernah tukar ‘Yogyakarta’ maupun singkatan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) dengan ‘Jogjakarta’ maupun DIJ (Daerah Istimewa Jogjakarta). Itu tidak pas secara etimologis maupun filosofis. Menukar ‘Yogyakarta’ & DIY dengan ‘Jogjakarta’ & DIJ sejatinya semacam tindak tidak hormat terhadap visi filosofis Sultan Hamengkubuwana I. Pilihan Sultan Hamengkubuwana I menamai negara dan ibukotanya dengan ‘Yogyakarta’,merujuk kepada ‘Ayodya’ dari wiracarita Ramayana bukanlah pilihan sembarangan. Sultan Hamengkubuwana I berharap Yogyakarta dapat menjadi seperti Ayodya: negeri besar dan kaya yang damai, juga melahirkan serta diperintah titisan Dewa Wisnu.
Pun, perlu diingat bahwa dalam bahasa Indonesia’seyogyanya’ bersinonim dengan ‘sebaiknya’. Itu berakar dari kata ‘yogya’ yang dalam bahasa Jawa Kuna memiliki arti ‘baik’.
Penulis: Yoseph Kelik *Didokumentasikan dari twit berseri #EduUS di akun Twitter @ullensentalu pada 2 Agustus 2014.
0 notes
Quote
Urip Iku Urup (Hidup Itu Nyala / Jadikan Hidupmu Sebagai Terang Bagi Sesamamu)
0 notes
Text
Seminar "Topeng Panji" di Balai Soedjatmoko, Solo
PADA Senin, 15 September 2014, di Balai Soedjatmoko, Jalan Slamet Riyadi, Solo berlangsung acara Seminar "Topeng Panji".
Sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Timbul Haryono (Guru Besar Arkeologi Universitas Gajah Mada), Lydia Kieven (Peneliti Cerita Panji dari Goethe Universitat, Frankfurt, Jerman), serta M Dwi Cahyono (Sejarawan dari Universitas Negeri Malang). Hadir pula sebagai keynote speaker pada acara itu adalah Juju Masunah PhD (Direktur Seni Pertunjukan dan Industri Musik, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif). Moderator pada seminar ini adalah Henri Nurcahyo, budayawan dan penulis dari Sidoarjo, Jawa Timur.

Seminar "Topeng Panji" merupakan bagian dari perhelatan Indonesia Internasional Mask Festival (IIMF) dengan acara-acara pertunjukannya dipusatkan di Benteng Vastenburg, Solo.
Seminar yang dalam penyelenggaraannya dihadiri sekitar 40 orang ini merupakan buah kerjasama antara Balai Soedjatmoko, Semarak Candrakirana Foundation, Panitia IIMF serta Pemerintah Kabupaten Malang. Seminar "Topeng Panji" mengulas aneka variasi topeng panji serta seni pertunjukan yang berkaitan dengannya di seantero Jawa, khususnya di seputaran daerah Malang.


Dari uraian para pembicara selama berlangsungnya seminar, ada banyak hal menarik yang dapat meningkatkan pemahaman terhadap kekayaan budaya dan sejarah bangsa Indonesia.
Timbul Haryono contohnya menguraikan bahwa seni topeng memiliki akar keberadaan di Jawa paling tidak sejak tahun 840 Masehi atau pada masa Mataram Kuno. Imbuh Timbul, seni topeng pada masa Jawa Kuno itu tak semata pertunjukan, tetapi lebih berkaitan dengan ritual, juga menjadi bagian dari acara-acara penting dan sakral, contohnya adalah pada peresmian Sima, yaitu daerah perdikan yang dibebaskan dari pungutan pajak. Sedangkan untuk dokumentasi awal dan terhitung lengkap tentang cerita Panji, yang merupakan kisah percintaan Panji Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana, ada dalam kitab Smaradahana karangan Mpu Dharmaja, yang ditulis pada zaman Kerajaan Kediri.
Lydia Kieven, yang telah meneliti cerita Panji tak kurang dari 19 tahun, menjelaskan tentang keberadaan relief cerita Panji di komplek Candi Penataran, Jawa Timur. Di komplek candi tersebut, cerita Panji antara lain terpahatkan di bagian pendopo, juga bagian yang dianggap sakral bagi penganut Hindu-Buddha masa itu, yakni di bagian petirtaan. Lydia juga menguraikan relief dan patung Panji dan Candrakirana di berbagai candi kecil di Gunung Penanggungan, Jawa Timur. Lydia sempat mengudar kekhawatirannya tentang kelestarian relief-relief Panji di Penanggungan karena ia mendapati timbulnya kerusakan pada beberapa bagian dari mereka.
Dwi Cahyono, yang sejak lama meneliti tentang pembuatan topeng gaya Malang-an dan berbagai seni pertunjukan yang menggunakannnya, memaparkan bahwa bukti keberadaan seni topeng pada masa Jawa Kuno pada abad IX dan X Masehi ada dalam catatan prasasti Dinoyo serta Himad. Hanya saja, tidak bisa dipastikan bahwa seni topeng abad IX dan X itu telah mementaskan cerita Panji.
Kurang lebih demikian beberapa catatan poin penting dari Seminar "Topeng Panji"
Oh ya, hadir dalam Seminar "Topeng Panji" di Balai Soedjatmoko memang tidak rugi. Apa lagi, seluruh peserta seminar diberi secara cuma-cuma buku berjudul Topeng Panji: Mengajak kepada yang Tersembunyi. Buku 204 halaman ini merupakan hasil penulisan secara keroyokan dari Wisnu Kisawa, Purnawan Andra, Yunanto Sutyastomo, Sigit Purwanto, Timbul Haryono, Lydia Kieven, Dwi Cahyono, serta Sindhunata.


Ditulis oleh Yoseph Kelik (Periset di Museum Ullen Sentalu)
0 notes
Quote
"Al heb Ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf Ik in de allereeste plaats Javaan" ("Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa")
Sultan Hamengkubuwana IX pada upacara penobatannya, 18 Maret 1940.
0 notes