Aku harap aku mempunyai banyak impian. Sehingga jika suatu saat salah satu impianku hancur aku tidak akan ikut hancur bersamanya. Karena aku akan mewujudkan impianku yg lainnya.. #yuanaf #GoingOn19th
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Compass
How can someone be so sure about what they want in life?
I want to be a great teacher. I want to be a manager. I want to have my own school. I want to be a civil servant. I want to get married next year.
But what do I truly want?
I'm doing my best, but I’m still unsure of who I want to become. What job is right for me? When should I get married? Or should I even get married?
How can someone be so certain?
I’m still wondering. Still walking. Still searching for a direction that feels like mine.
0 notes
Text
Dominos
I’m sightseeing from inside the TransJakarta Corridor 1, watching all the ads along the road. I’m just lost in thought. And again, that friend’s words linger in my heart. Yes — in my heart, not in my mind. I know she didn’t do anything wrong, but it still hurts. Was I just in a bad mood when she said that? Or was I simply not ready to hear it? Or do I just not have a strong sense of self? She said I’d get married by the end of this year. Maybe it was meant as a good wish or a prayer. But I don’t know — I just didn’t want to hear it, even if it was just a joke.
It was just a word. But it felt like a domino, knocking down all the blocks of events. And now, I’m not allowed to live alone by myself. Now, I have to find a life partner. Now, it feels like my life is incomplete without one. Now, I’ll feel miserable if I can’t find one. Now, I don’t know how to detach this feeling from my heart. Now, I feel like crying inside the TransJakarta. Now, I’m just sightseeing the road, holding back my tears— like standing at the end of the line of falling dominos.
0 notes
Text
I am so tired. I am tired of people. The wrong person or is it just my expectation too high. I feel like I didn't hurt anyone, but why do I keep getting hurt?
1 note
·
View note
Text
Profile Picture
A homey night with a cool air conditioner running. It’s past midnight, but I still have work to do. I created the timeline myself, but I struggle to fulfill it. I don't know why I still have work to do. Is the workload too much? Or am I not capable enough to finish everything during work hours? The same question has been lingering for the past nine months.
Staying up until midnight always makes me overthink useless things. Yeah, that's what overthinking is for. The same question over and over. Are people always unhappy every day? Like how I feel? I feel happy in the morning and throughout the day. Everything completely changes when I am alone after work. Suddenly, I just feel like it’s not fair that I have no one to talk to after working hours. Hence, I still think that if no one makes a move on me first, it's better to stay alone for the rest of my life.
Every move in this life has many possibilities, from the best to the worst. I know if I keep slacking like this, most likely, I won't finish it by the deadline. Yeah, that's the worst thing that can happen. I still have the courage to not do the job. Or stay up late, come late to the office, and get a salary deduction from it. I can handle it. What's the worst that can happen, right? It's not a big deal. But when it comes to love, I completely don't want to get hurt. I don't want to make a move. I don't love anyone. I don't meet anyone. I don't want to get hurt in a relationship. It's uncontrollable.
I often wonder, am I that bad? Am I really that unattractive? How come really no one has tried to get closer to me for years? What's wrong with me?
I am scrolling through WhatsApp chats to check if there are any unread messages. A lot of profile pictures, and then I take a moment and think, what's my profile picture? Oh yeah, none. It's empty. I used to change my profile picture quite often back then. Now, as I am older, I hate when people try or act like they know me through my profile picture, my working style, my Instagram posts, my stories. They don’t really know me. I am tired of being misunderstood. It's better not to show anything so they can’t observe or see me.
My profile picture isn’t me. But, on the other hand, it is me. Me, who is a blank page. Me, who doesn’t want people to see me through a profile picture. I am empty on the outside. Don’t try to read me or observe me. If you want to understand me, let’s be serious and don’t read my social media.
0 notes
Text
Drifting
This is my first menstruation day in March 2025. I just randomly checked the Instagram of a boy from my past. He’s doing well. He just got a new job, a very good job. Actually, it’s not literally his Instagram. I checked his wife’s Instagram. I blocked him when he said he would get married to his wife now. So cruel. I didn’t love him that much. I just loved him because he said he loved me. I thought that I was too good for him, but looking at my life now, I guess he's too good for me. I have always been realistic. I was a dreamer, but it turns out I became a failure when I was a dreamer.
I have nowhere to go. I want nothing. Even though I want something, I feel like most likely I won’t get it. I am not stupid. Ironically, I am a high performer in school, college, and also at work. That’s what people saw. Everything looks like nothing to me because even though it is good, none of them was something I really wanted. So, I decided to give up. I didn’t go to college that I wanted. I can’t pursue my master’s degree that I wanted. I can’t be a lecturer as was my dream since I was very young. I can’t work in the data field. I can’t work as a programmer. I can’t work in the math industry. I don’t know where I belong. Everything seems so random.
Love story, work life, family, nothing turns out good. I feel like I lost myself. I have no energy to chase something. What can I chase? I don’t even know where I am. I can’t even see what’s around me. I am drifting here and there. I am lost.
1 note
·
View note
Text
I was a dreamer, but it turns out I became a failure when I was a dreamer
1 note
·
View note
Text
Balon Air Kecil
Pagi menjelang siang ini dihiasi dengan aroma tea tree oil yang terhirup di sekitar wajahku. Sudah hampir seminggu ini menggunakan obat jerawat menjadi rutinitas baru yang menyenangkan. Perasaan satisfying ketika menemui jerawat yang berhasil pecah setelah memakai obat jerawat menjadi candu baru akhir-akhir ini. Tapi jika mengingat komentar Fara di hari pertamanya bekerja di kantor, perasaan kesal muncul sesaat. Budaya kerja kantor, siapa orang freak di kantor, cara mengambil teh, tempat makan siang yang enak atau sekedar jalan menuju toilet. Dari sekian banyak pilihan topik yang ada, dia lebih memilih mengomentari jerawatku? Pilihan yang unik batinku. Oh baiklah, mungkin pikiran liarnya tak sengaja terucap. That’s okay mungkin dia tak sengaja melewati boundaries. Begitu awal mulanya. Sekarang sudah tidak. Setelah sudah satu tahun, dia justru menjadi lebih terang-terangan dalam mengomentari wajahku. Apakah aku memakai toner, pelembab apa yang aku pakai, mengapa aku jerawatan, obat jerawat apa yang aku pakai, dan pertanyaan lainnya. Mengapa tidak sekalian bertanya apakah aku mencuci muka setiap hari.
Aku bahagia dengan jerawat-jerawat di wajahku. Balon air berbentuk mini di wajahku ini terlihat lucu ketika aku bercermin sebelum berangkat ke kantor. Rasanya ingin aku tusuk dengan jarum pentul setiap kali melihatnya. Tapi bayangan akan bakteri yang akan menyebar kemana-mana membuatku urung melakukannya. Bekas jerawat kemerahan di pipi kanan ini pun terlihat estetik di wajah kuning langsat. Jejak-jejak merah di wajah ini terlihat lucu. Warnanya sangat kontras seperti ada yang sengaja memercikkan cat merah di wajahku.
Selama hampir 30 tahun aku hidup, banyak orang di sekelilingku yang mempunyai jerawat parah dan berjuang keras untuk mengobatinya. Apakah selama Fara hidup, tidak ada manusia berjerawat yang dia jumpai? Atau jangan-jangan dia pun selalu mengomentari semua orang berjerawat yang ia temui? Memiliki banyak jerawat tidak pernah ada dalam sejarah hidupku sebelumnya. Semenjak pindah di kantor ini aku seperti mengalami puber kedua dengan semua jerawat ini. Pengalaman yang cukup seru sebenarnya, karena aku tidak pernah merasakan ketidakadilan ini sebelumnya. Iya, ketidakadilan. Aku hidup dengan cara yang sama selama ini, tetapi semenjak di kantor ini mukaku sering berjerawat. Bagaimana awal mulanya? Apakah bekerja di kantor ini membuatku stres? Iya, memang. Iya, sepertinya itu adalah benang merah dari semua ini! Jadi, semua ini adalah salah kantor ini. Kantor ini harus memberiku asuransi atas semua jerawat-jerawat di wajahku! Oh iya, beserta asuransi bekas jerawat kemerahannya! Baiklah, khayalanku terlalu jauh. Apa yang bisa diharapkan dari kantor yang meminjamiku laptop Dell batu bata yang engselnya dikaitkan dengan cable tie seperti bungkusan makanan. Tapi pengalaman ini cukup menyenangkan, ada hal baru dalam hidupku yang kata orang-orang (Fara) membosankan.
Don’t get me wrong. Selain masalah jerawat, hubungan kita baik-baik saja. Jika dia terlalu banyak mengoceh hal tak penting, aku hanya pura -pura mendengarkan dan menjawab hmm sesekali. Aku tau dia tidak terlalu butuh didengarkan dengan seksama, dia hanya sedang berusaha memenuhi target kata hariannya. Dia justru lebih terkejut jika aku ingat detail kecil tentang hidupnya. Dia terkejut aku tau bahwa dia sangat suka ice cream rasa stroberi. Mengapa terkejut? Aku bahkan tidak bisa menghitung berapa banyak dia bercerita tentang hal itu. Tak bisa dibayangkan jika dia tahu aku mengingat warna pakaian mantan pacarnya di saat mereka putus. Aku akan menyimpannya sampai suatu saat dia butuh kejutan.
0 notes
Text
The Ending - 3 Hours on a Sunday
Besok adalah hari libur. Malam ini tidak ada sesi les privat karena masih libur sekolah sekaligus libur natal. I feel like a crap. Aku bingung dengan apa yang harus aku capai di hidup ini. Membahagiakan orang tua? Terlihat mustahil. Mereka terlalu sibuk dengan permasalahan mereka sendiri. Membahagiakan pasangan? Aku tidak punya. Membahagiakan diri sendiri, mungkin? Aku tidak tahu bagaimana caranya. Entah mengapa nasihat Kak Maulana selalu terngiang jelas di sat-saat seperti ini. Dia memintaku untuk bersabar. Terdengar klise, tapi bisa jadi itu jawaban atas segala overthinking tak berguna malam ini.
Berada di dalam kos sendirian terkadang membuat jiwaku melayang. Seperti sendirian di dunia ini. Setelah sekian lama tidak pernah menyukai laki-laki, hatiku langsung terpatahkan karena ternyata kak Maulana sudah memiliki pacar. Terima kasih pada jiwa detektifku yang bisa stalking akun Instagram pacarnya dengan mencari suspect di following instagramnya. Tipikal perempuan gaul ibukota dengan rambut panjang disemir kemerahan dan bergelombang khas catokan rumahan. Sayang sekali sebelum sempat aku melihat semua postingannya secara detail, akunnya sudah dikunci. Apakah dia tau bahwa aku memata-matai akun Instagramnya? Sepertinya imajinasiku terlalu berlebihan.
Tanpa sadar aku menemukan diriku mulai membandingkan diriku dengan pacar kak Maulana. Aku tidak lebih cantik, rambutku tidak lebih bagus, skill makeup ku yang hanya menggunakan concealer jelas kalah telak dengan perempuan cantik dengan followers lebih dari tiga ribu itu. Apakah dia lebih pintar? Ehm dilihat dari postingan instagramnya yang penuh selfie satu wajah, dia tidak terlihat seperti orang pintar. Ah, tapi siapa aku bisa melihat kepintaran seseorang hanya dengan postingan selfie Instagram. Bahkan jika dilihat dari jumlah followers, dia jauh lebih pintar dalam menarik orang-orang untuk mengikuti akun instagramnya dibandingkan denganku. Kak Maulana hari ini mengganti foto profil instagramnya. Haruskah aku mengganti foto profil whatsapp ku? Terdengar tidak penting. Tapi apa artinya, dia tetap tak bisa kumiliki. Kata siapa hidup ini tidak melulu soal cinta? Aku selalu teringat Kak Maulana setiap merebahkan tubuhku di kasur setelah pulang kerja. Dulu aku memiliki cita-cita untuk menikah umur 25 tahun. Menurutku 25 tahun adalah usia yang sangat tua untuk menikah karena ibuku menikah pada usia 17 tahun. Apa karena cita-cita bodoh itu sekarang aku merasa sangat menyedihkan di usia 27 tahun? Pegawai kontrak, single, berusia 27 tahun, menyukai pria yang sudah memiliki pacar, dan yang paling penting adalah aku masih miskin.
0 notes
Text
3 Hours on Sunday
Hari Minggu adalah hari yang santai bagi sebagian besar manusia di bumi. Tetapi tidak dengan orang-orang yang harus bekerja di hari Minggu. Hanya ada segelintir pegawai di kantor setiap hari Minggu. Tak banyak yang harus kukerjakan di hari itu. Ingin rasanya aku bermalas-malasan seharian di kantor. Bukan karena aku malas atau benci dengan pekerjaan ini. Ide bahwa aku harus masuk di hari Minggu sudah menjadi alasan yang cukup besar mengapa moodku selalu hancur di setiap Minggu.
Hana, sebut saja dia Hana. Pegawai perempuan yang juga harus masuk di hari Minggu. Dia lebih dulu masuk di kantor ini dibandingkan aku. Kulit putih bersih, senyum manis dan proporsi tubuh yang sesuai. Mungkin itu yang dipikirkan para lelaki jika melihatnya, begitu juga denganku pada awalnya. Namun sekarang, aku tidak betah lama-lama berada di dekatnya. Bukan karena aku iri dengan kecantikannya. Aku sangat lelah dengan banyaknya kata-kata yang keluar dari mulutnya. Mulai dari ceritanya tentang seblak favoritnya yang seharga seratus ribu hingga keisengannya membeli handphone IPhone seri terbaru dengan cash tanpa cicilan.
Maulana, sebut saja dia Kak Maul. Aku lebih sering memanggilnya Kak Maulana, sekedar untuk formalitas karena kita tidak terlalu dekat. Laki – laki kurus berkulit bersih kuning langsat yang kini mulai berubah kecoklatan karena sinar matahari. Dia selalu datang terlambat 15 menit. Sungguh memaksimalkan toleransi keterlambatan yang bisa kantor berikan. Pagi itu seperti biasa dia datang dengan jaket jeans dan helm full face bak seorang pembalap. Jika kalian kira dia laki-laki gaul yang sok asik, kalian salah besar. Tak seperti kelihatannya, Kak Maulana terlihat kalem dan santai.
Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Beberapa jam lagi sebelum jam pulang. Aku hanya tinggal berdua dengan Kak Maulana di ruang kantor yang luas ini. Hana dan pegawai lain sibuk bergosip di ruangan sebelah. Sudah tidak ada yang ingin aku kerjakan. Tersisa beberapa pekerjaan administrasi yang tidak harus kukerjakan hari itu. Fokusku mulai buyar, beberapa kali memandang kosong ujung ruangan dan berkali-kali mengecek handphone yang terdiam. Kegusaranku sepertinya terbaca oleh Kak Maulana. Melihatku yang tidak sesibuk sebelumnya, dia mulai menanyakan pertanyaan basa-basi. Mulai dari daerah asal, jumlah saudara, makanan kesukaan dan banyak pertanyaan lainnya. Entah bagaimana alurnya, kini Kak Maulana sedang sibuk menceritakan kehidupan di desanya yang sangat jauh dari perkotaan. Desa tempat tinggalnya berjarak 2 jam dari pusat kabupaten. Hamparan padi, dan perkebunan adalah pemandangan yang selalu dilihatnya di desa tempatnya lahir. Semua teman sebayanya berada di Jakarta. Hanya tersisa para orang tua yang menikmati masa tuanya di kampung dan sebagian keluarga sederhana yang bertani di desa.
Entah darimana dia memiliki banyak energi untuk menceritakan kehidupannya di desa dari A-Z hingga kepindahannya di Jakarta. Apakah aku pendengar yang baik? Atau memang dia menumpahkan segala keluh kesahnya pada setiap orang yang terlihat senggang? Selama dia bercerita, mataku selalu mengikuti matanya. Ada magnet di dalam matanya yang membuatku enggan berpaling dari sorot matanya yang teduh. Ketika saatnya aku bercerita, dia juga tak pernah memalingkan matanya dariku. Sepertinya itu gesture kesopanan yang ditunjukkan oleh orang baik pada umumnya. Tapi dengan bodohnya aku tidak bisa berhenti tersenyum. Berkali-kali, aku menahan diri untuk tidak tersenyum ketika dia menunjukkan ekspresi teduh dan sabar khas orang jawa. Ya, Tuhan kenapa dia sangat menyejukkan, batinku dalam hati. Sebentar, apa aku jatuh cinta? Semudah ini?
0 notes
Text
7 am in the Morning
I spent the night without sleeping again. I wasn’t expecting that last night would be another sleepless night. Everything looked normal-washing clothes, eating and munching my food for quite a long time while watching YouTube shorts. Until this gen Z person texted me via WhatsApp, consulting about her thesis. I am always happy to help, especially if I can add value to her work or even just give people courage, strength, motivation, or consolation. Long story short, she said thank you and wrapped up with a good wish “Hope you’ll meet someone good soon”. Not a bad word-really, truly a nice wish. But, it made me wonder, why are you wishing me that? I am tired of hearing those words at the end of every long conversation. It is a good wish, but hearing it a lot is pretty annoying. My life’s not about getting a partner or getting married. My life is more than that. Thanks to that I couldn’t manage to close my eyes throughout the night. And here I am in the morning, writing it all down and documenting it in the Tumblr so I can remember how annoying it is to hear that sentence over and over.
0 notes
Text
(Pretty) Annoying
Can people stop wishing 'Hope you meet someone soon, don’t worry, you’ll get married soon' after ending a conversation? I know it’s a good thing, but hearing it a lot is pretty annoying. Do you think my whole existence in this world is only to GET MARRIED? My life’s more than that.
0 notes
Text
Dear U
Someone once said that we can't begin a relationship with the intention of changing someone else's life.
I don't know. I really don't. I easily fall in love with someone who has a good attitude and mindset. One positive aspect of this is that I have a keen eye for recognizing the goodness in people. However, the downside is that I'm unsure of what kind of person truly suits me. I suppose it's still an unanswered question in my life. I may not know now, but someday I'll discover the type of person I truly need in this life.
Let's talk about the man who is five years younger than me, whom I recently fell in love with. I've regained my clarity and am no longer in love with him, knowing that it would be difficult for him to accept me and all my problems. I've come back to my senses.
See? It's crazy how I could fall in love with him in just three days and then forget him in a single day.
0 notes
Text
Three Days to Fall
It only takes me three days to fall in love. How clumsy of me.
But that's not the craziest part. The craziest part is he's five years younger than me. It's wild, isn't it? Even my brother is only one year younger than me. How could I fall in love with someone five years my junior? I must be out of my mind.
I tried so hard to forget him, convincing myself it was just a fleeting feeling that would fade quickly. But it's been a week, and I still can't get him out of my mind. At this point, I have to accept that I might actually be in love.
0 notes
Text
Setangkai Mawar Merah
Mungkin kita bisa saja saling melupakan. Tapi, bagaimana dengan kisah kita yang lalu. Sebuah kisah yang kusebut 'cinta' itu. Ya, kisah tentang cinta. Tentang cinta yang pernah kurasakan dan cinta yang pernah kuberi. Bagaimana bisaaku melupakannya?
0 notes
Text
Teman
Kita harus banyak bersukur. Aku membuat banyak sekali kesalahan, tapi ada orang-orang yang tetap berpikir positif bahwa aku pasti bisa memperbaikinya, ada orang-orang yang tetap bertahan dan tidak meninggalkanku sampai sekarang. Ada orang-orang yang menunggu sampai aku memperbaiki kesalahan itu. Meski beberapa hanya diam. tetapi mereka tidak pergi. Mereka menunggu kamu untuk berubah menjadi lebih baik. Terima kasih untuk semuanya yang selalu sabar menghadapiku, menerimaku, dan menungguku untuk berubah menjadi lebih baik. Teman itu bukan seseorang yang selalu chat sama kamu tiap hari. Teman itu bukan seseorang yang kalian pamerkan di media sosial. Teman itu bukan seseorang yang selalu hang-out bareng sama kamu. Teman itu seseorang yang mengingatmu di saat bahagia dan mengkhawatirkanmu ketika kamu sedih. Mungkin dia nggak selalu ada di sisimu, tapi dia selalu ada di hatimu. Segala sesuatu yang kamu miliki itu harus dijaga. Begitu juga dengan pertemanan. Teman itu harus dijaga. Cari temen itu gampang, tapi menjaga pertemanan itu ga gampang. Suatu hal yang menjaga pertemanan bukanlah jarak, tetapi hati yang selalu berbaik sangka. Berbaik sangka bahwa dia akan selalu menyayangi dan mengingat kita meski jauh. Berbaik sangka bahwa dia akan selalu berbahagia atas kebahagiaan kita meskipun ..:)
0 notes
Text
Three Hours on a Sunday
Hari Minggu adalah hari yang santai bagi sebagian besar manusia di bumi. Tetapi tidak dengan orang-orang yang harus bekerja di hari Minggu. Hanya ada segelintir pegawai di kantor setiap hari Minggu. Tak banyak yang harus kukerjakan di hari itu. Ingin rasanya aku bermalas-malasan seharian di kantor. Bukan karena aku malas atau benci dengan pekerjaan ini. Ide bahwa aku harus masuk di hari Minggu sudah menjadi alasan yang cukup besar mengapa moodku selalu hancur di setiap Minggu.
Hana, sebut saja dia Hana. Pegawai perempuan yang juga harus masuk di hari Minggu. Dia lebih dulu masuk di kantor ini dibandingkan aku. Kulit putih bersih, senyum manis dan proporsi tubuh yang sesuai. Mungkin itu yang dipikirkan para lelaki jika melihatnya, begitu juga denganku pada awalnya. Namun sekarang, aku tidak betah lama-lama berada di dekatnya. Bukan karena aku iri dengan kecantikannya. Aku sangat lelah dengan banyaknya kata-kata yang keluar dari mulutnya. Mulai dari ceritanya tentang seblak favoritnya yang seharga seratus ribu hingga keisengannya membeli handphone IPhone seri terbaru dengan cash tanpa cicilan.
Maulana, sebut saja dia Kak Maul. Aku lebih sering memanggilnya Kak Maulana, sekedar untuk formalitas karena kita tidak terlalu dekat. Laki – laki kurus berkulit bersih kuning langsat yang kini mulai berubah kecoklatan karena sinar matahari. Dia selalu datang terlambat 15 menit. Sungguh memaksimalkan toleransi keterlambatan yang bisa kantor berikan. Pagi itu seperti biasa dia datang dengan jaket jeans dan helm full face bak seorang pembalap. Jika kalian kira dia laki-laki gaul yang sok asik, kalian salah besar. Tak seperti kelihatannya, Kak Maulana terlihat kalem dan santai.
Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Beberapa jam lagi sebelum jam pulang. Aku hanya tinggal berdua dengan Kak Maulana di ruang kantor yang luas ini. Hana dan pegawai lain sibuk bergosip di ruangan sebelah. Sudah tidak ada yang ingin aku kerjakan. Tersisa beberapa pekerjaan administrasi yang tidak harus kukerjakan hari itu. Fokusku mulai buyar, beberapa kali memandang kosong ujung ruangan dan berkali-kali mengecek handphone yang terdiam. Kegusaranku sepertinya terbaca oleh Kak Maulana. Melihatku yang tidak sesibuk sebelumnya, dia mulai menanyakan pertanyaan basa-basi. Mulai dari daerah asal, jumlah saudara, makanan kesukaan dan banyak pertanyaan lainnya. Entah bagaimana alurnya, kini Kak Maulana sedang sibuk menceritakan kehidupan di desanya yang sangat jauh dari perkotaan. Desa tempat tinggalnya berjarak 2 jam dari pusat kabupaten. Hamparan padi, dan perkebunan adalah pemandangan yang selalu dilihatnya di desa tempatnya lahir. Semua teman sebayanya berada di Jakarta. Hanya tersisa para orang tua yang menikmati masa tuanya di kampung dan sebagian keluarga sederhana yang bertani di desa.
Entah darimana dia memiliki banyak energi untuk menceritakan kehidupannya di desa dari A-Z hingga kepindahannya di Jakarta. Apakah aku pendengar yang baik? Atau memang dia menumpahkan segala keluh kesahnya pada setiap orang yang terlihat senggang? Selama dia bercerita, mataku selalu mengikuti matanya. Ada magnet di dalam matanya yang membuatku enggan berpaling dari sorot matanya yang teduh. Ketika saatnya aku bercerita, dia juga tak pernah memalingkan matanya dariku. Sepertinya itu gesture kesopanan yang ditunjukkan oleh orang baik pada umumnya. Tapi dengan bodohnya aku tidak bisa berhenti tersenyum. Berkali-kali, aku menahan diri untuk tidak tersenyum ketika dia menunjukkan ekspresi teduh dan sabar khas orang jawa. Ya, Tuhan kenapa dia sangat menyejukkan, batinku dalam hati. Sebentar, apa aku jatuh cinta? Semudah ini?
0 notes