chlomission
chlomission
Carte Blanche
14 posts
dedicated account to complete the mission
Don't wanna be here? Send us removal request.
chlomission · 1 month ago
Text
Berhentilah Mencari
“Tahu.” Seira menyilangkan tangan di depan dadanya. Nadanya seperti mencibir. “Sayang banget. Kenapa sih di kampus kita gak ada yang persis, perfect sesuai yang aku mau, gitu?”
“Kata siapaaa? Mendingan lu stop deh nyari calon pacar kejauhan.” Satoru langsung mencelos. “Ini loh, Sei, persis di depan lu ada paket lengkap gini enggak mau diembat apa? Seira, My Love, coba kasih tahu gue kurangnya di mana?”
A "Jujutsu Kaisen" Fan Fiction
commissioned by Seira
tags: Gojo Satoru/Original Female Character, yumenushi, Local AU, Campus setting, unrequited love
•──────────•°•❀•°•──────────•
HARI INI kebetulan ada mata kuliah gabungan sehingga sejumlah mahasiswa dari berbagai jurusan berbaur di satu ruangan. Sosok perempuan tertentu di ruangan tersebut hampir tidak mendengarkan ceramah dari dosen. Matanya lagi-lagi melirik ke arah pemuda di kelas yang sama. Duduk begitu rapi dan tekun, sampai tidak memedulikan orang di sebelahnya ingin meminta perhatiannya untuk sesaat. Setiap beberapa menit, pandangan Seira mau tidak mau kembali ke arah pemuda itu, melihat apakah ada hal lain yang pemuda itu lakukan.
Seratus menit benar-benar terasa berlalu lambat. Setelah beberapa kata penutup, dosen langsung meninggalkan kelas. Suara-suara yang tertahan sepanjang waktu akhirnya lepas, berganti menjadi lebih hidup. Gerakan perempuan itu menjadi sedikit tergesa-gesa, bahkan roknya sedikit tersangkut sehingga dia tersandung saat melangkah. Pikirannya berfokus hanya pada satu orang sampai di titik dia mengabaikan semuanya.
“Pokoknya coba hari ini,” gumamnya. “Coba dulu, coba dulu kali, abis itu ....” Dia bergumam seolah-olah menyemangati dirinya sendiri. Sepertinya seseorang yang memanggil namanya di belakang, tetapi Seira menutup telinga.
Anindya Seira baru-baru ini naksir pada seseorang. Pihak lain begitu cocok dengan tipe pacar idealnya, jadi perempuan itu langsung tertarik. Sayangnya, sejauh ini Seira tidak pernah di mendapat kesempatan untuk mengobrol dengan pemuda itu. Lebih buruk lagi, hari ini tampaknya bukan hari keberuntungannya. Sebelum Seira sempat berjalan ke arahnya, sudah ada lebih banyak orang yang menyapa pemuda itu.
“Halo, Seira, denger enggak?”
Napas yang menggelitik telinganya sontak membuatnya terkejut. Telinganya memerah, lebih seperti refleks terkondisi karena terkejut. Seira mengomel, “Iiihh, ngapain sih?!”
Kepalanya menoleh dan dia bertemu mata biru yang cerah. Satoru menyeringai melihat reaksi dari perempuan itu. Tentu saja dia tidak menyesal dengan tindakannya. Ada tawa dalam suaranya yang berkata, “Abisnya dipanggilin gak nyahut-nyahut. Salah sendiri.”
Perempuan itu cemberut. Suasana hatinya menjadi sangat buruk. Baiklah, mungkin hari ini bukan waktu yang tepat. Seira perlahan-lahan meredam kekecewaannya. “Eh, Sat, ada kelas lain gak?”
“Mau dianterin?” Satoru menyeringai senang. “Boleh-boleh aja, sih. Tapi temenin makan dulu kali. Belum sarapan nih, laper jadinya.”
“Yaudah, boleh.” Seira yang tidak memiliki acara apa pun hari ini mengiakan saja.
Jika itu laki-laki lain, Seira pasti mau tidak mau merasa sedikit canggung dan malu. Alasan dia lebih santai bersama Satoru adalah karena laki-laki itu teman masa kecilnya. Mereka sudah kenal untuk waktu yang lama dan komunikasi di antara mereka tidak terputus setelah tahun demi tahun.
Oke, ini bukan klise teman masa kecil akan menjadi pasangan masa depan. Setidaknya, Seira tidak memiliki pemikiran apa pun pada Satoru sampai detik ini. Mereka hanya teman, tidak kurang dan tidak lebih. Harusnya seperti itu. Seira pikir akan selalu seperti itu.
Motor meninggalkan area kampus, tetapi segera berhenti di depan warung makan. Sebut saja menu paling klasik untuk dipesan, lalu duduk dan menunggu. Seira menjatuhkan kepalanya ke meja. Pikirannya meratapi ketidakberuntungan dan sifat pemalunya sendiri yang terutama menjadi alasan mengapa perempuan itu terlambat satu langkah.
Di sisi lain, Satoru dapat melihat kalau perempuan itu dalam suasana hati yang buruk. Dia mengangkat suaranya, mencoba untuk mencairkan kekakuan. “Hei, Princess. Kelihatan bete banget? Ada apa, sih emangnya?”
Tentu saja apa yang dia dapatkan hanya mata tidak senang dari perempuan itu. Namun, bukan Satoru Cahyo Adicandra namanya kalau mundur karena hal-hal kecil. Satoru menyibak rambutnya seolah-olah sedang pamer penampilan. Dia berkata, “Gue tebak, deh. Pasti gara-gara gebetan, kan? Bah! Sei, Sei, udah dapet gebetan baru aja? Pantes temennya sendiri dilupain.”
“Mulai, deh. Mulai, deh. Alay.”
“Bukan alay, Sei. Ini namanya percaya diri. Gue mah ganteng,” sanggah Satoru. Meskipun laki-laki itu ada bagian benarnya melihat sosok penampilannya, tetapi rasa percaya diri berlebihan itulah yang membuat orang menggeleng-gelengkan kepala. “Emangnya tipe lu yang kayak gimana, Sei? Kenapa enggak nyari yang lebih bisa dikejar gitu? Hopeless amat lu tiap kali gue lihat.”
Padahal Seira saja belum sempat membenarkan tebakannya. Akan tetapi, pertanyaan itu sudah tepat sasaran, lebih-lebih lagi sudah menusuk titik sakit. “Emang kelihatan se-hopeless itu, ya? Cuma low-key kecewa karena gak bisa ngobrol, padahal.”
“Low-key atau high-key?”
“Iiih! Diem, gak!” Perempuan itu cemberut karena terus digoda. “Aku tanggepin malah begitu. Males, ah.”
“Jangan ngambek dong, Princess.”
Seira memelototi laki-laki itu. Sebutan princess terlalu alami keluar dari bibirnya dalam nada hangat. Jelas-jelas Seira bukan gadis kecil. Tidak diragukan lagi Satoru memang hanya bergurau dengannya. Bertingkah sangat menyebalkan, huh. Sungguh mengherankan anak seperti ini banyak disukai oleh para gadis sejak dulu. Itu mungkin karena mereka belum benar-benar mengenalnya.
Sementara itu Satoru berpikir, apakah perempuan di depannya ini tidak sadar kalau ekspresi yang memelototinya itu tidak menyeramkan sama sekali? Malah lebih tepat dikatakan manis dan menyebabkan jantungnya seolah-olah digelitik oleh bulu halus. Sudut bibirnya terangkat dalam kesenangan. Satoru mengangkat kedua tangannya dalam pose menyerah. “Oke, oke, gak bercanda lagi, gak bercanda lagi.”
“Yaudah, diem. Makan.” Seira menggertak, seolah-olah sendok di tangannya adalah pisau. Dia tidak tahu kalau laki-laki di depannya sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan tadi.
“Tapi tadi pertanyaannya belum dijawab loh, Sayang.”
Serius, Satoru tampaknya sangat menyukai panggilan manis seperti itu. Seira yang terutama mendengar berbagai macam sebutan di bibirnya kadang-kadang merasa jantungnya berdebar sedikit lebih keras, seperti saat ini. Namun, perempuan itu menahan dirinya sendiri, jangan sampai terjerumus pada godaan, karena siapa tahu itu jebakan.
“Tipe ideal, ya?” tanyanya untuk memastikan. Setelah dibalas dengan satu anggukan, Seira sedikit mengerutkan dahi, berpikir. “Yaaa, yang kayak dia. Dia kan hampir kayak tipe aku.”
“Lah, cuma hampir?”
Jari-jari perempuan itu menghitung pemikirannya. “Kan pinter, baik sama semua orang, aktif juga gitu. Wajahnya oke, tinggi juga. Pakaian selalu rapi, gak berantakan, tetep stylish jadi kelihatan keren. Gak ada kebiasaan buruk juga.” Dia sempat berhenti, tidak tahu bagaimana menambahkan lebih banyak untuk mendukung tingkat kesannya.
Satoru ber-“oh” ria. Terdengar tidak terkesan. Seira yang duduk di depannya pun menjadi hanya bisa menghela napas. Sudah terbiasa. Perempuan itu mengakhiri dengan asal-asalan. “Ya pokoknya gitulah.”
“Paham-paham-paham.” Mulut sudah jadi penuh ketika diisi sesuap nasi, jadi untuk sementara waktu, tidak ada dari mereka yang berbicara. Akan tetapi, Satoru berhenti setelah beberapa suap, meneguk air sebelum mau bicara. “Sei, pernah gak sih mikir cari gebetan itu yang gampang dikejar aja? Gak yang bikin udah susah-susah makan ati kayak gebetan lu.”
Dia menjawabnya langsung. “Maunya sih kayak gitu, tapi emangnya ada?”
“Ah, masa gak ada?” Satoru menaikkan alisnya, menyeringai dengan riang seperti biasa. “Pas di depan lu gini masa gak dianggep? Kurang keren apa gua? Lu udah tau gua pinter. Kurang baik apa juga gua sama lu? Udahlah gue cakep, rapi, ganteng banget gak nih.”
Rentetan kata-katanya seperti seorang sales menunjukkan kualitas-kualitas terbaik produknya dengan senyum percaya diri. Perempuan itu menatap Satoru sambil terdiam selama beberapa waktu dengan wajah bercampur heran dan emosi yang tidak diketahui. Seira hanya menghela napas tidak berdaya dan tidak mengatakan apa-apa lagi dan melanjutkan makan. Tidak ada lagi dari mereka yang berbicara.
Lebih dari satu jam berlalu sejak Satoru meninggalkan kampus. Akan tetapi, laki-laki itu terlihat kembali. Ekspresinya terlihat sedikit lebih buruk, tidak seperti Satoru yang selalu cengengesan setiap saat. Akan tetapi, dia masih bisa menyeringai setiap disapa orang lewat.
Sosoknya terlihat oleh Shoko, yang membuat wanita muda itu melaju ke depannya. “Bang, bukannya tadi lo cabut, ya? Kok balik lagi?” tanyanya santai. Sayang tidak digubris sehingga dia dibalas. “Woy, Bang! Bang Sat! Bang!”
Awalnya memang sengaja tidak membalas, tetapi agak menjengkelkan. Satoru mendengkus. “Sengaja banget lu manggil gue gitu.”
“Makanya orang nanya tuh jawab. Ngapain lu balik?”
“Masih ada kelas lain. Untung gak langsung, gitu. Yaudah, bisalah gue makan bareng Seira sekaligus nganterin doi gue pulang.��� Menceritakan hal tersebut, ekspresinya berubah menjadi lebih semringah.
“Heh, emang dasarnya bucin.” Shoko menepuk pundak laki-laki itu. “Jadi, gimana kabarnya? Udah ada progres belum? Katanya dia punya crush baru. Awas kecolongan, Bang. Kasihan banget TTM doang tapi jadian kagak.”
“Bacot lu,” elak Satoru. “Tunggu aja entar juga berhasil.”
“Ah, masa?”
Bukan sehari dua hari Satoru menaruh perasaan pada Seira. Apabila dia ditanya sejak kapan tepatnya, mana mungkin laki-laki itu sadar. Hal yang paling penting adalah naksirnya sudah berlangsung lumayan lama. Sayang sekali menjadi cinta bertepuk sebelah tangan. Seira tidak menyadari perasaannya. Eh, ada juga kemungkinan dia sedikit menyadarinya, tetapi memilih untuk mengabaikan.
Pendek kata, Satoru itu jones—jomlo ngenes. Lantas, kapan situasinya berbalik dan cinta bertepuk sebelah tangan akan terbalas? Entahlah.
•─────•°•❀•°•─────•
Selama satu minggu berikutnya, siapa pun yang memiliki mata dan telinga dapat melihat kalau Satoru dan Seira sedang saling menarik-ulur. Tentunya terbatas pada orang yang berada di sekitar tokoh yang dibicarakan dan memerhatikan. Bagaimanapun interaksi mereka tampak begitu jelas menunjukkan Satoru mencoba mengejar Seira. Meskipun Seira di sisi lain terlihat tersipu, dia juga ragu untuk ikut membalas.
Akhirnya hari di mana mata kuliah gabungan berlangsung kembali tiba. Perempuan itu sudah menaruh perhatian ekstra pada pakaian dan riasan. Menggunakan rok frill favoritnya, tampak imut dan feminim. Penampilannya hari ini pun tidak luput dari pandangan Satoru. Tiba-tiba saja muncul di depan Seira lalu menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Lu mau nge-date abis ngampus, kah?” tanyanya blak-blakan. Meskipun begitu, dia sedikit gugup untuk mendengar jawaban perempuan itu. “Emangnya kalian udah pacaran?”
Seira memutar bola matanya. “Iihh, apa sih? Enggak lah!” Dia menggulum bibirnya dan berkata dengan suara rendah dan malu. “Pengen ngajak ngobrol berdua doang, sih?”
Satoru ingin bersorak dalam hatinya, kalau perlu jungkir balik sambil mengucap syukur kalau Seirandan gebetannya belum berpacaran sama sekali. Akan tetapi, fasad yang dia perlihatkan jauh berbanding terbalik. Dia menyeringai dan menggoda. “Oh, pantes. Kalau kalian berdua udah pacaran pasti lu udah langsung pamer ke gue atau yang lain.”
“Stop, ah. Ngeledekin mulu, bikin bete.” Perempuan itu menyenggol sedikit bahu laki-laki itu, jelas tidak sakit. Hanya saja Seira bisa membuang muka dan mendapatkan jalan pergi ke kelas.
Diam-diam, sudut matanya melirik seorang pemuda yang duduk di tempat yang sama dengan minggu lalu. Seira secara alami memilih tempat di mana dia dapat melihat pemuda itu. Dia sudah seperti penguntit yang ingin memerhatikan target tertentu setiap saat. Tentu saja bukan benar-benar penguntit karena dia tidak akan mencungkil segala privasi yang ada. Seira hanya memanfaatkan setiap waktu dan kesempatan yang dia miliki untuk melihat.
Apabila harus mengutip dari kata-katanya Satoru, tindakannya memang se-hopeless itu. Hari ini dia ingin mencoba berbicara langsung dengan pemuda itu, untuk menebus minggu lalu. Maka dari itu dia mencoba melakukan apa pun untuk membuatnya lebih percaya diri. Seira yang pemalu hanya akan kesulitan mendapat kesempatan.
“Kan gue udah bilang, kejar cowok yang bisa dikejar aja,” bisik Satoru seolah-olah mengerti seluruh proses pemikiran Seira. “Daripada repot-repot begini. Emangnya lu bakal beneran jadi ngomong sama doi lu?”
Napasnya membuat Seira bergidik. Di wajahnya ada jejak terkejut dan rasa malu. Perempuan itu menjawab dengan bisikan pelan, tetapi nadanya tetap kuat. “... Geli, tahu.”
“Eh, sori-sori, maaf gatau.” Tentu saja Satoru langsung meminta maaf, tetapi seringainya menunjukkan dia tidak terlalu menyesali tindakannya. “Tapi saran gue serius loh.”
“Tahu.” Seira menyilangkan tangan di depan dadanya. Nadanya seperti mencibir. “Sayang banget. Kenapa sih di kampus kita gak ada yang persis, perfect sesuai yang aku mau, gitu?”
“Kata siapaaa? Mendingan lu stop deh nyari calon pacar kejauhan.” Satoru langsung mencelos. “Ini loh, Sei, persis di depan lu ada paket lengkap gini enggak mau diembat apa? Seira, My Love, coba kasih tahu gue kurangnya di mana?”
“Ngaco! Kayak kamu naksir aku aja.”
Hanya dalam beberapa menit, atmosfer telah berubah dari santai menjadi serius. Beberapa orang yang tidak serius tentu saja ada, tetapi jumlahnya berkurang secara signifikan sejak kelas dimulai. Seira pun hanya fokus setengahnya saja. Jelas karena setiap beberapa menit sekali matanya akan melirik pemuda itu.
Akan tetapi, pada satu waktu matanya justru melirik kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya. Sementara pihak lain yang selalu sadar diri membalas tatapannya. Sudut bibirnya terangkat dan mata biru jernihnya berbinar, tampak bahagia tanpa cela. Seira memainkan rambut panjangnya. Entah mengapa lagi-lagi rasanya seperti sesuatu telah menggelitik jantungnya.
Begitu kelas sudah selesai, Seira duduk lebih lama. Dia hampir melupakan tujuan awalnya. Tidak lagi mencari-cari pemuda itu dan mencoba untuk mendekat. Perempuan itu justru berkata pada Satoru di sampingnya. “Eh, Sat, anterin aku pulang dong. Please.”
Tentu saja Satoru terkejut dengan perubahan tersebut. “Lah, katanya … mau ngobrol?” Ujung jarinya menunjuk pada pintu. Kebetulan pemuda yang Seira sukai itu memang sudah keluar. “Enggak jadi?”
“Gak berani. Udahlah, aku pulang aja.” Seira menarik pakaiannya dan meminta lagi. “Anterin aku balik mau gak?”
Sebelumnya saat mendengar Seira yang sudah berdandan cantik layaknya bidadari jatuh dari langit itu ternyata belum berpacaran, Satoru bisa jungkir balik kegirangan. Akan tetapi, situasi saat ini lebih menakjubkan lagi. Kapan lagi dia melihat Seira yang sudah secantik ini justru tidak memiliki agenda dan langsung bersama dengannya? Meskipun bukan dalam artian kencan, sih. Paling banyak hanya makan sebelum melaju lagi pakai motor. Kali ini, Satoru bisa berjingkrak-jingkrak kegirangan, salto dan meroda ke sekeliling kampus sambil bersorak-sorak.
Kata orang-orang, Satoru itu alay. Dalam beberapa hal, laki-laki itu menyetujui pendapat tersebut. Dia menyeringai lebih lebar dari biasanya, semangatnya meningkat sepuluh poin. “Mau ke tukang bubur ayam gak? Atau beli lotek? Sarapan dulu kali sebelum pulang.”
“Terserah, ikut aja.”
Jika ditanya mengapa Seira tiba-tiba tidak jadi maju untuk mencoba berbicara pada pemuda itu, sebenarnya dia tidak begitu yakin. Tiba-tiba perasaannya goyah begitu saja. Keyakinan yang dia coba untuk tumbuhkan pun menjadi terasa tidak begitu berarti. Daripada kecewa seperti sebelumnya, anehnya dia merasa lebih biasa saja.
“Sayang banget. Padahal udah dandan secantik gini. Putri kerajaan yang asli pun kalah sama princess yang satu ini.” Deru angin membuat suaranya terdengar agak samar, tetapi setiap katanya masih dapat dikenali. Dibandingkan meratapi kesia-siaan, nadanya justru lebih seperti meledek. “Kalau lu jadi ngobrol kan siapa tahu doi lu udah dibuat klepek-klepek.”
Seira menampar punggung laki-laki itu. “Alay. Udah lah mending diem aja. Awas mulutnya nanti kemasukan tawon.”
“Anjir. Enggak mungkin, lah!” bantahnya. Tidak mau mengalah seperti biasa. “Princess, kok jahat banget sih nyumpahin orang ganteng kayak gue gitu. Gue kan kandidat yang cocok sama tipe ideal lu, alias calon pacar lu sendiri.”
“Idih, narsis!”
Seira bersungut-sungut di dalam hati. Siapa pun yang sedikit peka bisa mengetahui dengan jelas kalau tindakan Satoru selama seminggu terakhir adalah menggoda dan mengejarnya. Bahkan Seira pun mulai meragukan kalau Satoru mungkin menyukainya, kalau tidak dia tidak akan menggodanya sejauh ini selama seminggu berturut-turut. Mempromosikan diri sendiri sebagai pacar bukanlah hal yang bisa dilakukan secara kasual.
“Jangan overthinking.” Seira bergumam untuk memperingatkan dirinya sendiri.
Siapa sangka Satoru masih dapat mendengarnya sedikit. Lebih tepatnya, dia dapat mengetahui Seira berbicara, tetapi tidak tahu apa yang dia bicarakan. “Hah, lu ngomong apa barusan?”
“Jangan kepedean, deh. Gak ada yang bicara sama kamu, tahu.”
Mengingat sifat alami laki-laki di depannya ini, bisa jadi godaan tersebut bukan apa-apa. Jika tiba-tiba Seira mengungkapkan ketertarikan padanya, mungkin saja Satoru tiba-tiba meledek dan menggodanya lebih jauh. Agak menyakitkan untuk dipikirkan, jadi Seira lebih memilih untuk diam. Jangan terlalu dipikirkan dan jangan tergoda. Bukankah akan memalukan jika dia menanggapi godaan secara serius?
Tanpa Seira sadari, semburat merah menyebar dari pipi hingga ke ujung telinganya. Tanpa mengetahui dengan pasti perasaan laki-laki itu, dia sudah tergerak di bawah kata-kata manis dan gurauannya. Ah, dia benar-benar dibuat tersipu oleh Satoru.
0 notes
chlomission · 6 months ago
Text
Past, Present, Future
Pemandangan itu membuat Till tertegun. Mimpi yang dia alami saat ini terasa begitu nyata sampai-sampai dia takut. Pemuda itu bahkan bisa melihat jelas wajah teman-teman masa kecilnya yang sudah lama tidak dia ingat. Firasatnya mengatakan bahwa ini hanya awal dari sesuatu yang mengerikan.
An "Alien Stage" Fan Fiction
tags: NSFW, no romantic relationship, zombie apocalypse AU, graphic description of zombification, blood, injury, past trauma, nonsense element
— [1/4]
Angin dingin berembus membawa debu yang berputar-putar di udara. Pusat perbelanjaan yang ramai selama dua puluh empat jam sampai satu bulan yang lalu sekarang sangat sepi. Sebuah motor melaju dengan cepat di sepanjang jalan. Pengemudinya mana peduli dengan peraturan lalu lintas. Lagi pula tidak ada satu pun manusia di jalan. Siapa pun juga tidak akan peduli dengan peraturan lalu lintas atau hukum lainnya jika berada di posisi pengendara motor tersebut.
Saat itu, sesuatu merangkak dari jalan, menyambar pergelangan kaki pengendara motor tersebut. Bau darah menyengat menusuk hidungnya membuat dia berkerut jijik. Sepeda motor itu oleng dan terguling. Untungnya berkat adrenalin tinggi dari rasa bahaya membuatnya mampu berguling. Dia mengambil tongkat kasti dan memukuli apa yang telah menjebak kakinya.
Daging berceceran, darah memercik ke dagunya membuat pemuda berusia dua puluh satu itu mual. Namun, dia tidak bisa berhenti sampai entitas asing yang mencengkeram kakinya pergi dan dia bisa membebaskan diri. Peduli setan makhluk itu terbunuh atau tidak, prioritas utama adalah lari. Suara gemuruh terdengar dari makhluk yang wujudnya tidak terdefinisikan. Rasanya seperti ada hal-hal lain yang merangkak ke arahnya, membuat pemuda itu merinding.
Pemuda itu mendapat keuntungan karena monster tersebut bergerak dengan sangat lambat. Begitu daging merah busuk itu melepaskan kakinya, dia langsung lari ke motor dan menancap gas pergi. Darah mengalir di balik helm yang dia kenakan. Jika tadi dia tidak memakainya, mungkin leher pemuda itu akan patah sejak awal. Setiap inci tubuhnya sangat sakit, tetapi dia harus melarikan diri karena tempat persembunyian sebelumnya sudah tidak aman.
“Sial! Bentuk zombi di gim jauh lebih baik daripada ini!” umpatnya untuk melampiaskan amarah. Bahunya gemetar. Setelah cukup jauh dari pusat perbelanjaan, dia menarik napas dalam-dalam. Ketegangan tidak bisa mereda sepenuhnya karena pemuda itu masih tidak tahu apakah dia sudah aman. “Sekarang ke mana?”
Sejak fenomena yang disebut bencana zombi itu terjadi dua tahun lalu, negara memutuskan untuk mengisolasi area yang yang sulit untuk dinetralisasi. Tidak peduli berapa banyak manusia yang masih mencoba bertahan hidup di antara zombi di area tersebut, tidak ada bantuan yang akan masuk dan tidak ada cara bagi mereka untuk melarikan diri ke wilayah yang aman. Mereka harus bertahan hidup sendiri atau mati begitu saja.
Sedikit demi sedikit, dunia ini dikuasai zombi yang tidak diketahui asalnya dari mana. Satu bulan yang lalu, area yang diisolasi bertambah. Sungguh tidak beruntung bagi pria itu karena area isolasi tersebut adalah tempat pemuda itu tinggal dengan damai selama ini dan bertahan hidup sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Mungkin tidak akan pernah diselamatkan. Sekalipun begitu, pemuda itu menolak mati di tangan makhluk menjijikkan tersebut ataupun menjadi satu dengan mereka.
Untungnya tidak ada pengejaran lagi. Pemuda itu masuk ke salah satu rumah yang terlihat masih dalam kondisi baik dari luar. Di saat orang-orang mati setiap jamnya, tidak ada yang peduli tentang konsep kepemilikan lagi. Tempat persembunyiannya yang terakhir pun adalah sebuah apartemen di gedung bertingkat. Ironisnya, dia tidak akan bisa tinggal di tempat sebagus itu jika bukan karena bencana zombi.
Setelah memastikan bahwa tidak ada zombi di dalam, pemuda itu mendorong meja yang berat sebagai pemberat pintu dan menutup seluruh jendela. Napasnya tersengal-sengal, rasa sakit berdenyut di sekujur tubuhnya sulit untuk ditahan. Tampaknya pun suhu tubuhnya mulai menunjukkan gejala abnormal dan dia basah oleh campuran keringat dan keringat dingin.
Pemuda itu bersyukur dia memilih rumah yang tepat. Isi kotak P3K yang dia temukan lengkap, kondisi rumahnya bagus, dan listrik masih menyala membuatnya bisa mandi air hangat. Sayangnya dia tidak mampu mengingat detail yang lain. Kegiatan fisik memang tidak cocok untuk pemuda yang jarang bergerak itu. Di rumah tersebut, dia mulai merasa aman dan adrenalin dari naluri bertahan hidup pun mereda menyisakan kelelahan ekstrem.
Entah dari mana dia mendapatkan kekuatan untuk membersihkan diri, mengobati dahinya yang terluka, serta mengganti baju dengan pakaian bersih yang ada. Aroma pelembut kain membawakan ketenangan pikiran. Pemuda itu jatuh ke tempat tidur dan terlelap seolah-olah sudah pingsan.
“Till.”
Ketika pemuda itu membuka matanya, dia tahu bahwa dia masih bermimpi. Langit cerah dan angin lembut yang familiar itu membawa rasa nostalgia. Tubuh kanak-kanaknya sedang berbaring di rerumputan hijau, di bawah pohon berdaun rimbun. Mimpinya saat ini mengambil tempat masa kecilnya dihabiskan. Saat itu adalah masa paling bahagia dalam hidupnya sebelum berpisah dengan teman-teman sepermainannya.
“Till—!”
Till. Itu adalah namanya. Nama yang juga disebut oleh suara bodoh dan kekanak-kanakan itu saat ini. Seseorang memanggil namanya seolah-olah sesuatu yang mendesak terjadi. Till mendengkus, tidak ingin menghiraukan panggilan itu.
“Kenapa tidur lagi—?” Suara yang terus memanggilnya akhirnya tidak memanggilnya lagi dan mengeluh. Kekecewaan bisa terdengar dengan jelas dalam emosi yang mentah. “....”
Tentu saja itu karena Till tahu dia hanya sedang bermimpi tentang masa kecilnya. Dia harus bangun dari mimpinya, jadi dia memejamkan mata dan berharap dia segera bangun. Pemuda itu dapat mendengar gerutuan yang teredam. Entah apa kata-katanya, Till tidak begitu menghiraukan dan memejamkan matanya. Berharap untuk kembali ke kenyataan.
Akan tetapi, jika Till bangun sekarang, siapa yang tahu tentang apa yang akan terjadi berikutnya. Baru satu detik sejak dia memejamkan mata, tetapi kenangan atas pengalaman sebelumnya berbalik. Bahkan bau darah dan daging busuk yang sempat menjeratnya seperti muncul lagi membuat dia membuka matanya lebar-lebar. Till terduduk dan terengah-engah.
Sebuah tangan mendarat di rumput di sisi tempatnya duduk. Wajah seorang anak mendekat padanya dan bertanya, “Ada apa, sih?”
Perasaannya kacau. Jantungnya tidak dapat berhenti berdegup kencang. Dia memalingkan muka sebelum sempat menangkap wajah seperti apa yang dimiliki orang lain. Bisa dikatakan mereka yang berada di mimpinya ini adalah teman baiknya di masa lalu. Sayangnya, mungkin karena waktu sudah terlalu lama berlalu, Till tidak dapat mengingat satu pun wajah teman-temannya.
“Hmm ….”
Begitu kepalanya berpaling, matanya bertemu pada sosok anak perempuan yang berbaring di sebelahnya. Kacamata yang tidak dilepas sudah bertengger miring. Rambut panjang berwarna merah muda itu tersebar di rumput. Salah satu tangannya menggenggam tangan gadis lainnya. Tampaknya dalam mimpinya, mereka berempat sedang tidur bermalas-malasan di bawah pohon.
Pemandangan itu membuat Till tertegun. Mimpi yang dia alami saat ini terasa begitu nyata sampai-sampai dia takut. Pemuda itu bahkan bisa melihat jelas wajah teman-teman masa kecilnya yang sudah lama tidak dia ingat. Firasatnya mengatakan bahwa ini hanya awal dari sesuatu yang mengerikan.
“Till—”
Begitu namanya disebut, Till merasakan sesuatu meluap dalam dirinya. Akhirnya, pemuda itu membentak pada anak di hadapannya. “Berhenti! Diam, brengsek!”
Jelas pemuda itu tidak berniat untuk membentak, apalagi kepada anak kecil. Di mimpinya, Till memang memiliki tubuh anak-anak seperti teman-temannya, tetapi tetap saja dia adalah pemuda berusia dua puluh satu tahun yang sudah dewasa di kenyataan. Jadi, bahunya gemetar saat akhirnya melihat anak laki-laki yang terus memanggilnya.
Meskipun pemuda itu tidak dapat mengingat wajah temannya yang satu itu seperti halnya yang terjadi pada para gadis, dia samar-samar mengetahui bahwa dia tidak pernah bertatapan dengan benar dengan anak itu entah apa alasannya. Mungkin karena untuk menebus kenyataan, Till mencoba untuk menatapnya secara langsung.
Bola mata hitam dan pupil merah itu masuk dalam penglihatannya, menatapnya dengan cara yang tidak dapat didefinisikan saat merengut. Till tersentak. Benar. Dia baru mengingat kalau alasannya tidak mampu berlama-lama menghadapi wajah anak itu adalah karena dia tidak tahan dengan bagaimana mata itu menatapnya. Di saat-saat tertentu, cara anak itu menatapnya tampak sangat asing dan memberatkan. Pada akhirnya, Till memejamkan mata untuk menghindari kontak.
Tidak ada yang terjadi setelah itu.
Begitu pemuda itu membuka mata kembali, dia benar-benar berada di kenyataan. Napasnya menderu secara tidak teratur. Cuaca cerah dan hangat di mimpinya, suasananya pun damai tidak seperti kenyataan yang dia alami, tetapi itu adalah mimpi terburuk bagi Till. Pemuda itu bangun dan mendapati keadaan fisiknya baik kecuali luka yang belum sembuh dan efek mimpi buruk.
Hidup tetap harus berjalan. Till menjelajahi rumah yang digunakannya untuk beristirahat. Berkat kesialan yang menimpanya kemarin, dia belum melihat dengan cermat tempat tersebut. Namun, begitu pemuda itu melihatnya dengan saksama, rumah tersebut berada dalam kondisi yang sangat bagus. Tidak tersentuh oleh zombi, memiliki bahan-bahan lengkap, dan listrik menyala dengan baik.
Salah satu kamar merupakan ruang kerja. Rak buku memuat buku-buku novel terkenal yang Till hanya ketahui judulnya, sisanya adalah teori-teori sastra. Pemuda itu menebak dari keseluruhan rumah tersebut bahwa pemiliknya adalah laki-laki, mungkin juga mahasiswa seperti dirinya. Dia ingin meminjam komputer sebab ponselnya sudah lama hilang, tetapi sedikit tidak nyaman. Meskipun tidak ada lagi konsep kepemilikan di tempat yang kacau oleh bencana zombi, di dalam komputer jelas akan ada privasi orang lain yang terlihat. Till merasa tidak nyaman.
Namun, setelah berkonflik dalam hatinya pun Till memutuskan untuk menyalakan komputer. Dia masuk ke akun surel dan membuka media sosial. Orang-orang mengabari keadaannya lewat media sosial, mungkin untuk mencari dan menghubungi keluarga dan sahabat yang masih hidup di luar sana. Bisa jadi mereka hanya melampiaskan emosi yang menumpuk, membuat jurnal penyintas dengan harapan ada orang yang akan bersimpati dengan mereka.
Jika Till punya setidaknya salah satu di antara itu, dia juga akan melakukan hal yang pertama, tetapi sayang dia tidak memiliki keduanya. Pemuda itu sendiri tidak memiliki niat untuk membuat jejak catatan tentang keberlangsungan hidup di media sosial. Dia terus menggulir linimasa dan membaca sekilas setiap isi yang lewat.
Zombi jatuh dari langit.
Jarinya berhenti menggulir begitu dia sampai di sebuah akun. Bukan pada kalimatnya yang aneh, tetapi pada foto yang diikutsertakan di sana. Tampaknya di suatu tempat, beberapa penyintas berkumpul menjadi satu kelompok. Tentu saja bukan karena Till iri mereka berkelompok sementara dia sendirian tanpa ada seorang pun yang bisa diandalkan. Itu karena pandangannya terpaku pada perempuan berambut merah muda pada foto.
Fiturnya memang jauh lebih dewasa, tetapi Till dapat mengenali itu adalah anak perempuan yang dia lihat dalam mimpi semalam. Teman masa kecil yang wajahnya sudah dia lupakan. Daripada merasa senang, Till justru merasa khawatir mengapa hal-hal aneh semacam ini terjadi satu demi satu. Dia ingin berbaik sangka bahwa semua itu hanyalah pikiran negatif yang muncul setelah pengalamannya menghadapi zombi.
Catatan:
Dalam cerita ini, mereka berempat adalah teman masa kecil yang sudah berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing. Bahkan bencana zombi bukan alat plot bagi mereka untuk bertemu kembali. Maka dari itu, saya akan menyerah pada tagar ship karena tidak akan ada hubungan romantis di antara mereka!
1 note · View note
chlomission · 6 months ago
Text
Pluviam et Dolorem
“Surat pengacara datang dari Shining Group.” Artem menceritakan duduk perkaranya secara langsung.
A "Tears of Themis" Fan Fiction
commissioned by wistaryvonee
tags: Artem Wing/Original Female Character, yumenushi, Canon Divergence, bad ending, minor spoiler alert
Ariesta sedang membaca buku ketika dia menyadari bahwa hujan akan turun. Di luar, langit sudah ditutupi oleh awan kelabu yang menghalangi sinar matahari. Udara lembap menyelinap masuk melalui jendela kamar rumah sakit, membuat tubuh wanita yang tidak sehat itu menggigil. Wanita itu telah berada di rumah sakit selama beberapa hari terakhir karena penyakitnya memburuk.
Entah mengapa, perasaan tidak menyenangkan menyelimuti dirinya. Persis seperti firasat bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Apabila ada seseorang yang harus Ariesta khawatirkan, tentu saja orang itu adalah suaminya sendiri. Artem sangat sibuk akhir-akhir ini. Dia mengurus sidang perceraian antara Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama dari suatu perusahaan ternama, Shining Group. Namun, perceraian mereka bukan perkara mudah. Ariesta dapat mengetahuinya walaupun dia tidak terjun di bidang hukum seperti suaminya.
Masalahnya, Artem terjaga selama beberapa malam terakhir sampai kemarin. Dia menemani Ariesta di kamar rumah sakit sambil bekerja. Wanita itu pun harus menegurnya. “Kenapa kamu tidak pulang dan istirahat saja? Kamu pasti lelah karena harus bekerja dan ke rumah sakit tiap hari.”
Ketika mendengar teguran itu, Artem hanya tertawa lembut dan bertanya balik. “Bukannya kamu akan kesepian kalau hanya sendirian di sini?” Kemudian pria itu juga akan beralasan apa saja, tetapi yang paling dia sebutkan adalah kata-kata, “Lagi pula, aku tidak sesibuk yang kamu pikirkan.”
Tentunya Ariesta tahu bahwa kata-katanya tidak benar. Jika Artem tidak sibuk, dia tidak akan bergadang selama berhari-hari. Tentu saja pria itu juga bisa memilih berada di ruang kerja yang berada di rumah dan tidak melakukan kunjungan rumah sakit agar tidak memotong lebih banyak waktunya. Akan tetapi, Artem selalu berkunjung setiap malam setelah pulang kerja dan memilih bekerja sepanjang malam di kamar rumah sakit.
Betapa banyak kepedulian yang bisa dirasakan dari setiap tindakan dan kata-kata sederhana yang Artem lontarkan. Ariesta mensyukuri hal tersebut. Sayang sekali tidak ada hal yang bisa dia lakukan untuk membantu suaminya yang berada dalam kesulitan. Wanita itu hanya bisa berdoa semoga hal-hal buruk tidak menimpa suaminya.
Malam pun tiba seiring waktu berlalu. Hujan di luar masih tidak berhenti dan angin kencang memukul jendela dengan keras. Petir menyambar membuatnya bergidik. Ariesta terbatuk beberapa kali karena terkejut. Rambut cokelat sepanjang bahu itu luruh begitu kepalanya tertunduk. Sakit kepala membuat pandangan matanya menjadi kabur.
Sebelum Ariesta mendapatkan fokusnya kembali, pintu kamar rumah sakit terbuka. Bahkan sebelum fokusnya kembali, dia dapat mengenali bahwa langkah kaki yang mendekat padanya adalah milik suaminya. “Sayang …?”
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya pria itu.
“Hanya sedikit pusing.” Ariesta memusatkan pandangan pada ujung-ujung jarinya. Matanya masih sedikit tidak fokus, tetapi sakit kepala yang menganggu sudah hilang sehingga dia pun mengangkat kepala. Kekhawatiran terdengar jelas dari suaranya saat bertanya, “Kenapa kamu basah kuyup?”
“Tiba-tiba saja hujan turun dan aku tidak membawa payung.” katanya. Senyum halus terukir di wajahnya. “Tadinya aku ingin menunggu, tapi sepertinya akan terlalu lama.”
Wanita itu samar-samar mengetahui tangan pria itu terulur seolah-olah hendak menyentuh pipinya. Gestur yang biasa dia lakukan setiap kali mereka berdua berhadapan. Akan tetapi, tampaknya Artem menahan diri untuk menyentuhnya karena tangan itu turun kembali. “Aku akan berganti pakaian dulu. Tunggu sebentar.”
“Ya ….”
Setiap kali wanita itu dirawat di rumah sakit, Artem selalu menjadi wali dan penunggunya. Maka secara praktis dia juga tinggal di kamar sehingga beberapa pakaian ganti sudah tersedia sebelumnya. Dari kamar mandi, suara air terdengar, sementara itu Ariesta tenggelam dalam pikirannya. Anehnya, dia merasa bahwa ekspresi pria itu tadi sedikit janggal. Ariesta sampai bertanya pada dirinya sendiri apa sakit kepala memengaruhi penglihatannya.
Beberapa menit berlalu sampai suaminya keluar setelah berganti pakaian. Artem duduk di kursi yang diletakkan sebelah tempat tidur. Wanita itu pun mengulurkan cangkir. “Minum dulu dan hangatkan dirimu.”
Ariesta tidak bisa mencicipi teh, kopi, ataupun minuman semacamnya di rumah sakit. Tidak tersedia pula di kamar rawatnya. Apa yang bisa ditawarkan hanyalah air hangat dari termos yang diinfus oleh buah kering. Meskipun begitu, Artem menerimanya dengan alami. Hening pun menguasai atmosfer kamar rumah sakit tersebut tidak peduli betapa ributnya suara hujan dari jendela.
Begitu Artem menghabiskan setengah dari isi cangkir bersuhu suam-suam kuku itu, dia mulai bicara. “Kondisimu akhirnya stabil setelah beberapa hari, tapi Dokter mengatakan gejalanya muncul lagi tadi siang. Apa kamu sudah beristirahat dengan baik?”
Melihat dari bagaimana suaminya terus bertanya mengenai kondisinya begitu tiba di kamar rumah sakit, wanita itu dapat memahami kalau Artem mengkhawatirkan dia. Itulah alasan mengapa dia nekat untuk segera datang ke sini tanpa memikirkan payung. Di sisi lain, Ariesta terus memerhatikan bahwa ada bagian dari ekspresi pria itu yang tampak salah. Firasat buruk yang dia rasakan dan pemahamannya tentang Artem meyakinkannya
“Apa lagi yang bisa aku lakukan di sini selain istirahat?” Ariesta terkekeh. Mata biru es itu kemudian menatap lurus pada suaminya, isyarat bahwa tidak ada ruang untuk berbohong di antara mereka. “Daripada itu, apa kamu baik-baik saja? Apa sesuatu terjadi saat bekerja?”
Tatapannya tidak membuat Artem menghindar. Pria itu justru tersenyum tidak berdaya saat Ariesta menatapnya begitu lekat. “Ketahuan, ya?”
“Sayang, kamu tahu kalau kamu tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku.”
“Bukannya sengaja disembunyikan,” elaknya. Dia mengulurkan tangannya dan membelai pipi Ariesta yang hangat. “Aku hanya bertanya-tanya bagaimana aku harus menceritakan ini padamu.”
Sangat penting bagi pasangan yang menjalin hubungan untuk berkompromi, menghormati satu sama lain, dan saling memahami. Tidak hanya itu, kedua belah pihak juga perlu memperlihatkan sisi paling jujur dari diri mereka kepada satu sama lain, hal yang mungkin tidak akan pernah diperlihatkan pada orang lain.
“Surat pengacara datang dari Shining Group.” Artem menceritakan duduk perkaranya secara langsung. “Sekarang memang belum memasuki tahap litigasi, tapi surat pengacara itu sendiri bisa dianggap sebagai ancaman yang ditujukan padaku.”
Wanita itu mengedipkan mata biru esnya dalam kebingungan. “Shining Group … bukankah itu perusahaan klien yang pernah kamu sebutkan? Kenapa mereka mau menuntutmu?”
“Berdasarkan isi surat itu, mereka baru akan mengajukan gugatan setelah bukti dikumpulkan. Mereka akan menggugat dengan tuduhan mendorong klien untuk menceraikan istrinya, padahal tujuanku sebenarnya adalah mendapat uang melalui biaya hukum.” Kata-katanya tidak mengandung emosi. Dia menceritakan fakta dan mengesampingkan perasaan pribadi. “Tindakanku dapat ditafsirkan sebagai penghasutan untuk melakukan litigasi dan dianggap sebagai praktik ilegal karena berbisnis melalui cara yang tidak sah.”
“Kenapa? Bukankah persidangan mereka sudah dijadwalkan?”
Wajar saja bagi Ariesta merasa bingung dengan persoalan ini. Melalui pertukaran percakapan dengan Artem selama pria itu bekerja lembur selama beberapa hari, dia tahu kalau perkara yang ditangani oleh Artem adalah mengusahakan perceraian antara pasangan yang memiliki perusahaan tersebut sesegera mungkin. Meskipun begitu, tampaknya situasi di balik perkara tersebut lebih rumit daripada yang Ariesta kira sebelumnya.
“Kebetulan saja media meliput kabar perceraian mereka dan situasi perusahaan mereka menjadi tidak stabil.”
Tentu saja ada banyak detail yang dihilangkan dari kalimat Artem. Mungkin saja ada lebih dari satu niat jahat mengarah pada suaminya. Akan tetapi, kesimpulan dari masalah ini sudah jelas. Artem digugat oleh Shining Group karena situasi perusahaan klien menjadi tidak stabil walaupun itu bukan kesalahan maupun tanggung jawabnya. Hanya dari sana dapat diketahui kalau Artem terpilih sebagai kambing hitam yang sempurna.
Ariesta menatap suaminya yang hanya tersenyum tidak berdaya. Tangan Artem terulur ke pipi wanita itu ketika mereka saling menatap. Akhirnya, Ariesta hanya bisa bertanya, “Jadi, apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan membela dirimu sendiri?”
“Ini adalah perkara yang sensitif. Mungkin saja akan sulit untuk melakukan pembelaan sendiri. Segalanya tidak akan berjalan sesuai keinginanku.”
Meskipun Artem yang berada dalam situasi sulit, tetapi justru pria itulah yang menghibur Ariesta. Entah mengapa dia tidak menunjukkan tanda-tanda khawatir pada situasinya sendiri. Hal itu justru membuat Ariesta makin tertekan untuknya. Artem bangkit dari kursi, berdiri dan mendekatkan wajahnya pada wanita itu.
Dahi mereka saling bersentuhan. Suara guntur yang memekakkan telinga tidak mengganggu mereka berdua. Di luar begitu berisik sehingga sulit mendengarkan suara orang lain. Namun, jarak fisik mereka begitu dekat sehingga suara jernih Artem yang begitu tenang dan lembut tersampaikan dengan jelas di telinganya. “Sayangku, Ari, apa kamu mengkhawatirkan aku?”
Ariesta memeluk suaminya dengan erat sehingga dia perlu duduk di sisinya, di tempat tidur yang sama dengannya. Kepalanya bersandar pada bahu suaminya. Dia menepukkan tangan pada punggung lebar pria itu dalam irama yang konstan. Berharap juga bisa menenangkan kegugupan dan kecemasan yang Artem tidak tunjukkan padanya. Wanita itu dapat merasakan punggung Artem perlahan mengendur dalam rengkuhannya.
Dia pun berbisik, “Tentu saja aku mengkhawatirkanmu. Sayang sekali tidak ada yang bisa aku lakukan untukmu.”
“Kalau begitu, aku berharap kondisimu membaik saat aku menyelesaikan masalah ini.” Artem pun tertawa lembut, sedikit lebih lepas daripada sebelumnya. Kedua pasang mata itu saling menatap begitu memberikan jarak bagi satu sama lain. “Aku harap aku bisa berada di sisimu setiap hari, tapi sepertinya akan sulit setelah hari ini. Maafkan aku, Sayang.”
“Mengapa kamu meminta maaf?” Ariesta menggelengkan kepalanya. “Itu bukan salahmu dan aku juga tidak ingin kamu berada dalam masalah. Aku tidak keberatan harus sendirian di sini untuk sementara waktu.”
Hujan masih turun dengan derasnya, membuat keributan yang membutuhkan waktu lama untuk berakhir. Ariesta tidak dapat melupakan ekspresi yang ditunjukkan oleh Artem malam itu. Bagaimana wajahnya yang indah tampak jauh lebih bahagia daripada waktu dia baru saja datang. Sayangnya begitu pagi berikutnya tiba, wanita itu tidak dapat melihat sosok suaminya lagi di kamar rumah sakit.
Ariesta hanya bisa berdoa semoga keadaan buruk itu berbalik dan Artem akan baik-baik saja.

Ketika fajar baru saja menyingsing, Artem segera bersiap-siap untuk pergi. Kelelahan terlihat jelas di matanya, tetapi dia tidak bisa beristirahat lebih lama. Tidak peduli seberapa lelah tubuhnya, dia jelas khawatir karena segalanya bisa saja mengarah pada hasil terburuk. Berkat penghiburan dari Ariesta, barulah dia bisa merasa sedikit lega.
Sayang sekali kedamaian itu hanya sementara. Rekan kerjanya, Celestine menghubungi Artem semalam. Dia membawa kabar buruk. “Ada yang salah dengan opini publik.”
Wanita itu masih terlelap dalam tidurnya. Masih ada beberapa jam lagi sebelum pemeriksaan pagi dilakukan. Artem sebenarnya ingin menunggu sampai saat itu, tetapi situasinya tidak memungkinkan. Di sisi lain, pergi sebelum istrinya bangun juga pilihan yang bagus karena Ariesta tidak perlu melihat sisinya yang berantakan. Tidak ketika wanita itu sedang sakit dan kondisinya belum sepenuhnya stabil.
Pria itu beruntung masalahnya ditemukan tepat waktu sebelum air menjadi makin keruh. Celestine adalah orang yang berbakat dan dapat diandalkan ketika menyangkut situasi krisis semacam ini. Di mampu meringankan tekanan yang diarahkan kepada Artem. Akan tetapi, tindakan balasan perlu diambil segera untuk menyelesaikan perkara.
“Sampai bertemu nanti, Sayang.” Artem berbisik pada istrinya. Dia menyentuh pipinya yang hangat dan mengusapnya lembut. Kehangatan mengalir di jarinya sehingga membuatnya ingin berlama-lama. Sayang sekali pria itu harus segera meninggalkan kamar rumah sakit
Bernhard Shannon dan Selene Velasquez adalah pasangan suami-istri yang membangun Shining Group bersama dari titik nol, keduanya memiliki jumlah saham yang sama dan tidak bisa berkompromi menyerahkan hak manajemen perusahaan. Itulah alasan utama perceraian mereka menjadi perkara yang rumit. Apalagi jika kabar tersebut berhasil diliput oleh media, hal ini akan berdampak besar pada harga saham perusahaan tersebut.
Sayang sekali, itulah yang terjadi pada mereka pada hari ini. Berita perceraian meledak yang mana membuat harga saham Shining Group menjadi anjlok. Tentu saja harga saham tersebut akan berdampak secara signifikan terhadap total aset. Untuk menekan kerugian lebih jauh dan meminimalisasi fluktuasi harga saham, konsensus untuk menunda perceraian dibuat dan mereka sebuah rencana untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Pada akhirnya, Shining Group memutuskan untuk menekan Artem melalui gugatan. Artem digugat atas perkara melanggar kode etik profesional, tetapi dia telah bekerja dengan jujur selama ini dan gugatan tersebut hanya tuduhan belaka. Artem menerka bahwa dalang dari skema tersebut bukan Bernhard Shannon yang pernah menjadi kliennya, melainkan istri yang awalnya ingin diceraikan.
Maka dari itu Artem mencoba bernegosiasi dengan Selene Velasquez dengan membuat janji temu di Firma Hukum Themis. Wanita itu memiliki penampilan yang sesuai dengan statusnya sebagai wakil direktur utama. Dia mengenakan pakaian rapi dan mewah, menggurat senyum misterius di wajahnya.
“Saya kira Anda ingin berdiskusi mengenai hasutan litigasi Anda, Tuan Wing.” Hanya dari satu kalimat, dia mampu mendominasi atmosfer ruangan tersebut.
“Nyonya Velasquez, saya yakin Anda adalah orang yang paling tahu apa saya benar-benar bersalah sesuai dengan gugatan itu. Bagaimanapun Anda adalah orang yang merancang skema untuk mengkambinghitamkan saya untuk mengembalikan kepercayaan publik.”
Selene Velasquez menatap Artem tajam. Dia terkejut karena Artem memahami rencananya, tetapi ekspresinya kembali tenang seperti semula “Tidak ada pernyataan yang bisa saya berikan.”
Artem memang baru saja bekerja sebentar dengan Bernhard Shannon sebelum dia menarik gugatan perceraian, tetapi dari waktu yang singkat itu dia memahami bahwa Direktur Utama Shining Group bukan orang yang begitu tegas dan tidak memiliki kemampuan untuk skema licik semacam ini. Isi surat pengacara itu akan sangat berbeda jika Wakil Direktur Utama tidak menyetujui skema tersebut.
“Lagi pula, manfaat apa yang bisa Anda tawarkan? Tuan Wing, Anda tahu betul bahwa karir Anda sedang dipertaruhkan.” Selene Velasquez bukan orang yang mudah dibujuk. Meskipun begitu, dia bertanya lagi. “Tawaran menguntungkan apa yang bisa Anda berikan sekarang?”
Ekspresi maupun postur tubuhnya menunjukkan keyakinan bahwa segalanya sudah berada dalam kendali sehingga dia tidak memerlukan intervensi apa pun dalam rencananya. Apa pun yang Artem tawarkan saat ini tidak akan bisa membuatnya mengalihkan atau mengubah seluruh skema yang dia rancang.
Tetap saja, Artem bernegosiasi. “Bagaimana dengan hak manajemen penuh Shining Group?”
Mendengar tawaran tersebut, Selene Velasquez meluruskan punggungnya. Matanya bersinar dengan ketertarikan. “Mari berbicara langsung ke intinya. Saya tidak suka bertele-tele.”
Penjelasan Artem tidak menjabarkan segalanya, melainkan meringkas keseluruhan perkara secara tepat sasaran.
Di antara pasangan suami-istri tersebut, Selene Velasquez adalah orang yang paling tidak menginginkan Shining Group bangkrut. Demi menyelamatkan reputasi perusahaan dan meminimalisasi kerugian, dia pun memutuskan untuk rujuk dengan suaminya lalu membuat rencana untuk menggugat Artem yang menjadi pengacara suaminya dalam isu perceraian.
Tidak peduli kebenarannya, sisi kotor dari seorang pengacara dengan tingkat kemenangan perkara hampir sempurna akan menarik perhatian publik. Pusat perhatian publik dan opini negatif akan tertuju kepada Artem. Shining Group pun akan mengendalikan arus tersebut sehingga dapat mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
Mereka seharusnya tidak mengejar persidangan, melainkan eksekusi melalui opini publik. Situasi internal perusahaan, termasuk kekacauan di antara para pemegang saham dan pegawai akan mereda. Menempatkan Artem sebagai penjahat juga membuat publik percaya bahwa ikatan pernikahan antara pasangan suami-istri tersebut masih sama. Mengikuti kesimpulan tersebut, harga saham perusahaan akan kembali seperti semula.
“Saya mengerti mengapa Anda memiliki tingkat kemenangan yang tinggi sekarang, Tuan Wing. Tampaknya Bernhard masih sedikit berguna dalam mengenali orang berbakat. Untung saja saya berhasil membujuknya membatalkan sidang.” Selene Velasquez mengapresiasi pemahaman pria itu. “Sayang sekali ….”
Ruang negosiasi tampaknya dipenuhi oleh intimidasi dari wanita tersebut. Akan tetapi, Artem bergeming di tempatnya. Negosiasi tersebut masih belum menemukan titik terang.
Selene Velasquez melanjutkan ucapannya yang sengaja dia gantungkan. “Benar kalau saya mengincar hak manajemen penuh atas perusahaan. Sayang sekali, saya tidak membutuhkan bantuan Anda. Tidak ada yang perlu diubah dalam rencana saya.”
Apabila gugatan ini diteruskan, akan sulit bagi Shining Group memenangkan sidang kecuali jika mereka memiliki bukti yang mengarah langsung pada kejahatan yang dituduhkan. Pada akhirnya, Shining Group seharusnya tidak mengejar persidangan, melainkan eksekusi melalui opini publik. Mereka akan jauh lebih diuntungkan daripada meneruskan perkara sampai ke tahap litigasi apa pun.
Meskipun begitu, kata-kata Selene Velasquez menunjukkan bahwa tidak ada ruang sama sekali untuk negosiasi, seolah-olah dia sudah menyiapkan segala bukti yang diperlukan untuk dibawa ke pengadilan. Negosiasi tersebut tidak menghasilkan jawaban yang diinginkan oleh Artem dan wanita itu meninggalkan ruangan tersebut tanpa meninggalkan ruang kompromi lainnya.
Pria itu terhenyak di tempatnya duduk. Kepalanya berdenyut karena akumulasi kelelahan dan kurang tidur selama beberapa hari. Tekanan stres yang dia sejak kemarin menjadi sebagian besar penyebabnya. Segala situasi ini benar-benar mengarah pada kemungkinan terburuk. Artem tidak bisa menjaga ketenangannya lagi. Raut wajah tanpa ekspresi yang dia jaga demi profesionalitasnya pun retak menyisakan ketidakberdayaan.
“Ari ….”
Ketika Artem memejamkan matanya, apa yang terlintas adalah gambar wajah seorang wanita yang tertidur di ranjang rumah sakit. Kehangatan menjalar dari ujung jarinya yang mengusap pipi wanita itu. Bahkan belum satu hari mereka berpisah, tetapi Artem sudah merindukan setiap tetes kenyamanan yang dia dapatkan setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama.
Berada di sisi Ariesta membuat Artem hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Dia tidak perlu menjadi seorang pengacara yang bersikap serius sepanjang waktu dan sesekali menunjukkan sisi ceroboh dan tidak berdaya untuk mendapatkan kenyamanan. Pada kesempatan lainnya, dia ingin menjadi orang yang menawarkan kenyamanan itu pada Ariesta dan menjadi tempat bagi istrinya untuk bersandar.
Apa yang menahannya untuk kembali ke rumah sakit adalah pesan dari dokter yang merawat istrinya. Meskipun dia tidak berada di sana, informasi mengenai pemeriksaan terbaru selalu datang tepat waktu. Kondisi istrinya memburuk dan menjadi tidak stabil. Artem memahami bahwa jika dia datang dalam keadaan berantakan seperti saat ini, hal itu justru akan membuat Ariesta mencemaskannya. Pria itu khawatir kunjungannya hanya akan memperburuk keadaan istrinya yang sudah sakit.

Opini publik telah jatuh ke titik terburuk. Seorang pengacara top dari keluarga terpandang ternyata hanya bajingan yang melakukan apa saja demi uang. Rumor-rumor tidak berdasar menyebar tentang bagaimana orang tuanya menggunakan pengaruhi dan reputasi mereka agar karir Artem berjalan dengan mulus. Tingkat kemenangan perkara 99,9% adalah kisah yang dibuat-buat dan tidak valid.
Belum lagi, departemen hukum Shining Group bekerja keras untuk menggugat Artem. Untuk membawa perkara tersebut ke tahap litigasi lebih lanjut seperti ini, maka perkara ini bukan hanya diusut demi menyelamatkan reputasi dan menekan kerugian lebih lanjut yang dialami oleh Shining Group. Perkara ini juga telah menjadi bagian dari skema untuk mengambil alih hak atas manajemen perusahaan secara penuh.
Celestine bertanya pada pria itu dengan suara yang dipenuhi kekhawatiran. “Sidang akan segera dimulai. Apa kamu baik-baik saja?”
Sidang. Satu kata yang semula mewakili integritas dan keadilan terdistorsi secara mengerikan dalam perkara ini. Ternoda oleh kekejaman dan nafsu akan kekuasaan. Persidangan ini tidak diadakan secara publik, sehingga tidak ada orang lain yang bisa ikut campur. Akan tetapi, publik sudah menunggu hasil akhir yang ditetapkan dalam persidangan tersebut.
Artem menoleh pada Celestine. Senyum diam yang diberikan sebagai jawaban tidak mencapai matanya. Pria itu tidak menunjukkan jejak emosi apa pun. Sebelumnya dia menenggelamkan diri dengan berbagai berkas dan mencoba untuk menanggulangi dampak opini publik, tetapi sejak pagi ini, dia berpaku pada ponselnya dan tidak memedulikan apa pun.
Pria itu pun menyimpan ponsel yang semula terus dilihatnya dan memasuki ruang sidang tanpa berbalik ke belakang. Hasilnya sudah jelas. Kekalahan. Artem bahkan harus menerima tanggung jawab pidana dan lisensi pengacara senior dicabut karena dia telah melanggar kode etik sebagai pengacara. Penjahat yang kotor menerima hukumannya.
Ketika Artem bertatap muka dengan Selene Velasquez lagi, dia berkata, “Saya tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar kode etik pengacara, tapi tidak ada jaminan bahwa orang lain dengan niat jahat tidak akan menemukan celah untuk dieksploitasi.”
Senyum misterius yang sama seperti saat mereka bertemu hari itu terukir di wajahnya. “Apa yang sebenarnya ingin Anda katakan, Tuan Wing?”
“Menurut Anda, Nyonya Velasquez,” tanyanya, “apakah publik akan termakan cerita yang sama dua kali?”
Tanpa meninggalkan kata-kata lebih lanjut ataupun mendengar jawaban, Artem segera keluar dari ruang sidang tersebut. Pria itu memang akan menerima sanksi, tetapi berkat toleransi, dia bisa keluar dengan syarat berada di bawah pengawasan. Bagaimanapun hanya ada satu tempat yang sudah ingin dia kunjungi selama beberapa waktu terakhir.
Artem menuju ke rumah sakit. Ingatannya kembali pada malam hujan tersebut saat dia datang dengan basah kuyup ke salah satu kamar rawat. Saat itu, hujan deras menciptakan suara yang mengerikan dan tidak kunjung berhenti, tetapi tidak ada kenyamanan yang sebanding dengan apa yang diterimanya pada malam tersebut. Tentu saja harus ada seseorang yang terlibat untuk membuatnya merasa demikian.
Ketika dia memasuki kamar rawat, selimut menutupi wajah wanita itu. Artem menyingkap kain tersebut dan menemukan wajah istrinya menutup mata. Sedikit lebih kurus, tetapi selain itu masih tetap serupa dengan saat pria itu meninggalkannya. Tangan Artem terulur untuk membelai pipi istrinya seperti kebiasaan. Namun, yang bisa dia rasakan hanyalah dingin.
Tubuhnya tidak menyimpan kehangatan sedikit pun seperti sebelumnya.
“Aku kembali, Sayang.” Pria itu menghela napas lembut. Akhirnya, dia melepaskan topeng profesional yang terus dia gunakan selama ini. Ada banyak emosi bercampur aduk. “... Maafkan aku.”
Di atas semua emosi yang bercampur aduk, Artem berduka.
Sejujurnya dia sendiri tidak yakin apa yang dia rasakan begitu menerima kabar kematian dari dokter melalui ponselnya saat itu. Namun, ambisi terakhir untuk memenangkan perkara walaupun posisinya sudah berubah menjadi terdakwa pun habis tidak bersisa. Pria itu menggenggam tangan dingin istrinya dengan erat seolah-olah mencari kembali kehangatan yang tidak mungkin bisa dia peroleh kembali.
Malam itu, Artem juga sempat menggenggam tangan kurus tersebut, merasakan kenyamanan mengalir melalui sedikit kehangatan yang dibagikan. Betapa menyedihkan karena Artem tidak merasakan sensasi itu lagi. Satu-satunya tali penyelamat yang tersisa sudah putus dan tidak ada yang bisa pria itu lakukan.
“Kamu sudah tidak sakit lagi dan pekerjaanku juga sudah selesai.” Artem menyatukan dahi mereka. Dibandingkan mencari kehangatan seperti sebelumnya, dia justru ingin memberikan kehangatan pada tubuh dingin istrinya. “Tunggulah sebentar. Mulai sekarang, aku akan berada di sisimu setiap hari, Sayang.”
0 notes
chlomission · 6 months ago
Text
Tentang Mengenali Kasih Sayang dari Alam Bawah Sadar
Till terjebak pada sebuah artikel yang ditulis di sebuah blog secara anonim.
An "Alien Stage" Fan Fiction
tags: Till/Ivan, High School AU
Semester baru sekolah dimulai. Sayang sekali itu bukanlah awal dari kisah masa muda yang diperankan oleh remaja kasmaran. Setidaknya, itulah yang dialami oleh Till. Dia baru saja mengetahui bahwa gadis yang menjadi cinta pertamanya justru jatuh cinta dengan perempuan lain. Mereka bahkan berpacaran dan memamerkan kemesraan mereka secara terang-terangan. Emosinya berubah menjadi campur aduk saat itu. Till bahkan belum sempat menyatakan cinta dan kisahnya berakhir sebelum dimulai.
Meskipun begitu, Till tidak ingin hubungan antara dia dan Mizi menjadi renggang. Cara yang masuk akal adalah move on. Sejujurnya Till sudah terlalu mengenal kepribadiannya sendiri. Pasti sulit baginya untuk berpaling dari cintanya. Namun, setidaknya itu layak dicoba saat berusaha dibandingkan suatu saat perasaannya justru akan membebani Mizi. Inilah alasan mengapa Till terjebak pada sebuah artikel yang ditulis di sebuah blog secara anonim.
“Till, lagi baca apa?” Suara temannya itu terdengar begitu jelas saat wajah pemilik suara mendekat ke telinganya. Bukan hal yang baru untuk mendengarnya mengganggu. “Till? Hei? Till …?”
Till merasakan bahunya berat. Tangannya yang memegang ponsel berusaha untuk menjauhkannya dari wajah orang itu. “Ah, bacot! Jangan ganggu dulu!”
“Fokus apa, sih? Enggak bisa apa ditunda dulu?”
Mendengar suaranya merajuk, Till mendelik pada temannya itu. Ivan menyandarkan kepala dengan nyaman pada bahunya dan terus menggerutu. Entah ekspresi seperti apa yang dia buat karena Till hanya bisa melihat rambut hitam dari bocah bertubuh besar itu. Biasanya Till akan langsung mendorong kepala anak itu menjauh, tetapi hari ini dia tidak melakukan apa-apa.
“Berat. Singkirin kepala lu dulu,” ketus Till.
Akhirnya Ivan mengangkat kepala. Till tidak pernah bisa terbiasa dengan bagaimana mata hitam itu menatapnya lekat setiap kali mereka bertatap muka. Jadi dia berpaling sebelum mereka bertatapan lebih lama. Tentu saja Till tidak begitu yakin kenapa dia berpikir begitu. Anak laki-laki itu pun kembali berfokus pada artikel yang ada di layar ponselnya.
Dia bisa mendengar Ivan mencoba menggodanya dengan kata-kata. “Lu enggak kayak biasanya hari ini.”
Biasanya, Till dengan emosinya yang meluap-luap itu pasti akan adu bacot dengan Ivan. Sayangnya hari ini dia menjadi lebih kalem daripada biasa. Ivan tidak tahu apa yang sedang dibaca oleh Till sampai membuatnya bersikap sedikit berbeda. Bagaimanapun Till tetaplah Till, jadi Ivan hanya menganggap perubahan sedikit itu wajar. Nanti juga segalanya akan kembali seperti semula. Jadi dia berhenti mengganggu dan membuka buku yang telah dia bawa untuk membaca tepat di sebelah Till.
Sementara itu, Till sudah kembali berpaku pada artikel anonim tersebut. Judul artikelnya berbunyi, “Tentang Mengenali Kasih Sayang dari Alam Bawah Sadar” dan intinya berbunyi kalau mungkin saja seseorang memiliki perasaan kasih sayang yang tidak disadari kepada orang lain di sekitar. Mungkin karena tidak begitu jelas dan terdefinisikan, tetapi bukan berarti tidak ada.
Kebanyakan mungkin akan menafsirkannya sebagai artikel tentang cinta, tetapi fakta bahwa penulis menggunakan kata kasih sayang dibandingkan cinta adalah karena artikel itu menyebutkan bahwa perasaan itu tidak harus romantis. Mungkin saja cinta yang lebih platonis atau justru hanya kasih sayang kekeluargaan. Bisa juga mengarah pada hubungan toksik. Apa pun itu yang mungkin muncul di antara hubungan orang.
Adapun kelanjutan isinya adalah bagaimana menyadari perasaan itu. Till berusaha mengasosiasikan perasaannya berdasarkan arah artikel itu. Misalnya siapa orang yang paling menarik di sekitar entah itu secara visual atau kepribadian atau ciri khas lainnya. Contoh lainnya adalah siapa orang yang pertama kali dipikirkan ketika mendapatkan masalah. Ada analogi lainnya tentang orang yang harus selalu diperhatikan, orang yang mungkin kamu pikir sama menempel padamu, orang yang kamu harap menjauh, dan seterusnya. Ada pula perbandingan perandaian subjektif dan objektif terhadap seseorang.
Mengesampingkan keluarganya dan Mizi yang sudah jelas menjadi objek cintanya, sebenarnya hanya satu jawaban. Till benar-benar tidak ingin mengakuinya.
“Orang gila mana yang nulis ginian, anjing?!” Till ingin sekali melempar ponselnya, tetapi untung dia ingat kalau tidak mungkin bisa langsung mendapat ponsel baru jika ponsel berusia empat tahun ini rusak. “Anjir harusnya gua enggak usah baca!”
“Till.” Ivan menyebut namanya dalam teguran itu. “Aneh lu. Kan lu sendiri yang mau baca sampai nyingkirin gua. Lagian baca apa sih memangnya?
Skakmat. Till terdiam. Kata-kata Ivan tidak salah. Memang benar itu salahnya sendiri. Akhirnya dia hanya menyingkirkan ponselnya dan meredam amarah yang sia-sia tadi. Di sisi lain, Ivan kembali membaca buku. Tanpa Ivan menatapnya, Till dengan mudah mengamati wajah temannya itu. Mau tidak mau, dia kembali mengingat analogi yang diberikan artikel itu.
Betapa menjengkelkan temannya yang satu ini. Hanya wajahnya saja yang cantik sampai pada tingkat semua laki-laki dan perempuan sepakat secara objektif. Dari luar, dia terlihat seperti anak sopan pada semua orang dan bergaul dengan siapa saja. Akan tetapi, Till tahu sedikit lebih banyak tentang Ivan yang tidak diketahui anak-anak lain. Misalnya betapa anak ini suka merajuk dan mengganggu Till setiap saat. Kalau diperhatikan dan dipikirkan lebih dalam, itu sisinya yang imut.
“Lah?” Sebuah interjeksi meluncur dari bibirnya, membuat Ivan mengalihkan pandangan dari buku dengan wajah heran. Sebelum bocah itu sempat berbicara apa-apa, Till sudah mengelak. “Enggak! Enggak ada apa-apa! Baca lagi sana!”
Disuruh demikian, Ivan pun menurut saja. Till memastikan mulutnya rapat agar suasana tidak menjadi canggung. Tepatnya menghindari kecanggungan yang akan dia rasakan. Akan tetapi, emosinya masih tidak karuan. Dia bahkan bisa mendengar dengan jelas jantungnya berdetak lebih kencang daripada biasanya.
Anjing! Gila banget gua! Bisa-bisanya gua mikirin Ivan? Dari semua orang selain Mizi?!
Akhir dari artikel itu bertanya kembali pada Till. Jika dia sudah memikirkan satu orang spesifik, apakah secara objektif, apakah akan ada keberatan untuk mendekatkan hubungan yang sudah ada? Dari orang asing menjadi teman, dari teman menjadi pacar. Tentu saja secara pribadi, Till tidak ingin berpacaran dengan Ivan. Masalahnya artikel itu mendesaknya untuk berpikir objektif.
Ivan itu cantik dan dia juga punya kepribadian imut. Siapa pun yang tahu ini pasti mau lebih dari kenalan, lebih dari teman juga. Dia sudah dihitung sebagai teman oleh Till, jadi hubungan yang lebih dekat jelas maksudnya adalah sebagai pacar. Tidak ada yang salah dengan berpacaran dengan Ivan. Bahkan dia bukan homofobia seperti yang sudah dia sadari begitu mengetahui Mizi dan Sua berpacaran. Tidak aneh juga bagi dua laki-laki.
“Till, bisa berhenti enggak ngelihatinnya?” Ivan tampaknya malu karena telah diperhatikan lebih lama dari biasanya. Wajahnya sedikit berkerut dengan bibirnya dimajukan. Selama ini tidak peduli seberapa sering dia mengganggu Till, apa yang dia dapat adalah umpatan dan sikap kasar. Anehnya, hari ini dia mendapatkan perhatian penuh selama tidak melakukan apa-apa. “Asli, deh. Lu kenapa, sih?!”
Imut banget, pikirnya.
Panas juga ikut naik ke wajah Till. Tidak peduli bagaimana Ivan menatapnya dengan wajah tanpa dosa yang benar-benar tidak memahami apa isi pikirannya sejak tadi, Till mengumpat keras-keras. “Anjing! Sialan ini mah! Bangsat!”
“Gua salah apa?!”
1 note · View note
chlomission · 7 months ago
Text
Farewell, My Evil Lady
Satu-satunya orang yang masih berada di sisinya yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi hanyalah Abel.
tags: master-servant dynamic, execution
Di balik jeruji besi penjara bawah tanah, seorang wanita duduk bersandar di dinding batu yang dingin. Gaun biru tua yang konon memiliki harga setinggi satu bangunan kediaman bangsawan itu sudah lusuh dan kotor, beberapa sudut bahkan sudah robek dan tidak bisa diperbaiki. Tidak ada cara untuk menambal atau menjahitnya kembali karena wanita itu tidak diizinkan untuk melakukan apa pun selain diam seperti orang mati sampai hari eksekusi.
Suara langkah kaki dari jauh terdengar cukup jelas. Wanita itu menoleh ke arah jeruji, mendapati sosok seorang pria dengan setelan jas sederhana yang membawa koper kecil muncul bersama dua orang penjaga. Seorang penjaga membuka kunci penjara dan yang lain memberi peringatan yang familiar. “Waktunya hanya dua jam.”
Begitulah pria itu masuk ke dalam penjara. Pria itu menatap gambar seorang wanita yang dipenjarakan, memerhatikannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tidak ada satu tanda pun tentang intimidasi atau penghinaan di matanya, hanya ada simpati. Pria itu terus menutup mulut sampai suara langkah kaki para penjaga itu terdengar jauh.
Sorot mata wanita itu menjadi lebih lembut saat dia memandang pria yang mengunjunginya. Bibirnya mengguratkan senyum lemah. “Hari ini kamu datang lagi.”
“Tentu saja. Saya harus di sisi Lady sebanyak yang saya bisa saya dapatkan,” balasnya. Pria itu menaruh koper dan duduk di hadapan wanita itu. Dia berkata dengan penuh penghormatan. “Bolehkah saya mencuci wajah dan menyisir rambut Lady?”
“Aku sudah lelah menegurmu. Lakukan sesukamu.”
Wanita itu telah dipenjara cukup lama sampai gaunnya sudah rusak dan tidak layak pakai. Tidak ada pakaian ganti, bahkan hanya ada seember air dingin seminggu sekali untuk mencuci selama di tempat tersebut. Kecantikannya sudah lama pudar, dia juga tidak memiliki apa-apa untuk dipertahankan di luar sana. Para pelayan yang dulu melayaninya sudah pasti telah melarikan diri agar tidak terlibat dengan wanita itu lagi.
Antonina Ivanovna Rozhdestvenskiy adalah wanita gila dan kejam yang tidak ada bandingannya. Wanita itu telah melakukan segala macam kejahatan yang bisa dilakukan dengan kecantikan, kekayaan, dan kekuasaannya. Berapa banyak kerugian yang harus ditanggung oleh orang-orang tidak bersalah nyawa yang sia-sia karena ulahnya tidak terhitung. Dia pantas menerima situasinya sekarang. Dikurung dalam penjara bawah tanah di sudut terdingin dan menunggu hukuman penggal pada waktu yang telah ditentukan.
Sebotol air hangat dituangkan pada baskom berisi handuk lembut. Pria itu memeras air agar tidak menetes, lantas membawanya ke wajah wanita itu. Sulit untuk menjaga kebersihan diri karena itu adalah sebuah kemewahan di penjara. Pria itu hanya bisa melakukan ini ketika diizinkan untuk mengunjungi Antonina.
“Abel.”
“Ya, Lady.” Mendengar namanya dipanggil, pria itu tersenyum lembut dan menjawab. Dia masih dengan hati-hati mengusap wajah Antonina dengan handuk basah. “Apakah ada yang Anda butuhkan?”
“Tidak ada,” jawabnya kosong. Pada detik berikutnya, dia pun bertanya balik. “Apa aku masih cantik?”
Dari jarak dekat, pria itu mengamati seluruh fitur wajah wanita tersebut. Tulang wajahnya yang kurus, bibir kering, juga mata sayu tanpa semangat hidup. Kulit wanita bangsawan yang dulunya putih bersih itu telah menjadi pucat kebiruan karena tidak mendapat sinar matahari dan terus berada di bawah pengaruh udara dingin. Bahkan dengan segala kekurangan itu, di matanya tidak ada wanita yang lebih cantik daripada wanita tersebut.
“Anda adalah wanita paling cantik di dunia ini, Lady.”
“Kamu membual, Abel.”
Antonina bukan orang bodoh. Dia telah melihat banyak orang dan mengetahui banyak kepribadian. Pria di hadapannya berkata jujur dan serius dengan ucapannya. Bahkan tanpa pengetahuan itu pun dia akan percaya karena satu-satunya orang yang masih berada di sisinya yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi hanyalah Abel. Padahal dia adalah wanita gila yang telah melakukan banyak perbuatan keji sampai tidak terhitung.
“Anda sudah mengetahui ketulusan saya, Lady.” Abel hanya terkekeh pelan. Ia menyingkirkan handuk basah dan beralih pada sebuah sisir. “Saya akan merapikan rambut Anda.”
Antonina menghela napas berat, tetapi dia berbalik agar Abel bisa nyaman menyisiri rambutnya. Rambut pirang yang bersinar sudah lama kotor dan bau karena sudah lama tidak dicuci bersih tanpa produk perawatan. Namun, pria itu secara konsisten merawatnya seolah-olah seluruh tubuh Antonina layak dihargai.
Sebenarnya, dia tidak begitu membenci rutinitas ini.
Abel tidak pernah absen, dua hari sekali berkunjung selama dua jam dan melakukan pekerjaan remeh semacam ini untuk mengisi waktu. Pria itu tidak berbicara tentang kondisi dunia luar ataupun bertanya kondisi Antonina, tetapi itulah yang wanita itu harapkan. Abel tidak menunjukkan rasa kasihan padanya dalam pembicaraan karena itu tidak berguna. Mereka hanya melakukan apa yang bisa di lakukan dalam sel penjara yang gelap dan dingin tersebut.
Biasanya, Antonina juga tidak repot-repot berbicara tentang situasinya, tetapi hari ini berbeda dari sebelumnya. Bagaimana pun, sejak dia memasuki penjara ini, akhir seorang penjahat seperti dia telah ditentukan. Pihak lain juga pasti sudah mengetahui segalanya, tetapi untuk hari ini, tidak membicarakannya adalah keputusan yang salah. Maka dari itu dia perlu menyinggung topik tersebut atau tidak akan ada waktu berikutnya.
Memunggungi pria itu, Antonina memejamkan matanya dan berkata, “Abel, hari eksekusiku sudah ditentukan. Ini seharusnya menjadi kunjungan terakhirmu, kan?”
Tangan yang menyisiri rambut panjang pihak lain itu berhenti untuk sesaat. “... Ya. Saya tidak bisa menemui Anda setelah ini.”
“Sayang sekali.”
“... Sayang sekali.”
“Tampaknya akan mustahil untuk melihatmu di antara ratusan orang yang menonton eksekusiku nanti. Aku lebih suka jika kamu adalah orang terakhir yang aku lihat sebelum mati.”
Berbeda dengan tanggapan Antonina yang ringan, Abel merasa sangat berat. Seluruh tubuhnya sedikit gemetar. Untung saja hanya punggung wanita itu yang menghadapnya dan dia berusaha menjaga ketenangannya mati-matian. Keduanya diam sampai Abel selesai menyisir rambut Antonina.
Waktu dua jam itu terasa sangat panjang dan berharga. Apalagi tidak ada lagi dua jam berikutnya. Mungkin ketika Abel melihatnya lagi adalah ketika wanita itu dibawa keluar dari penjara ke bawah sinar matahari hanya untuk dipenggal di alun-alun. Tidak ada yang bisa pria itu lakukan selain berbaur dengan ratusan orang yang ingin menyaksikan kematian penjahat keji dan melihat seluruh proses tersebut sampai akhir. Sebenarnya, dia sendiri tidak sanggup melihat.
Mereka berdua akhirnya duduk berdampingan tanpa sepatah kata lainnya. Wanita itu menjatuhkan kepalanya ke bahu pihak lain dan tenggelam dalam kesunyian. Pria itu juga hanya bergeming di tempat dan merasakan hawa tubuh pihak lain untuk terakhir kalinya. Di balik jeruji besi tersebut ada atmosfer yang tidak dapat diganggu gugat.
Pada akhirnya, Abel yang memecah keheningan dengan sebuah gumaman. “... Lady, apakah Anda sama sekali tidak ingin melarikan diri?”
“Tidak.”
“Saya bisa membawa Anda pergi, jauh di tempat di mana tidak ada seorang pun yang mengenal Anda.” Suaranya perlahan menjadi serak dan basah. “Ayo memulai hidup baru.”
Antonina tertawa lepas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia tertawa untuk waktu yang cukup lama. Namun, di dalam tawa itu juga ada keputusasaan dan kehampaan. Jawabannya sudah jelas. “Tidak mungkin aku bisa memulai hidup baru.”
Pria itu meraih bahu wanita yang dipenjara tersebut, membuat kedua pasang mata itu saling bertemu. Dia menatap lurus pada mata biru tua pihak lain yang tampak bagaikan kedalaman laut dan bertanya dengan sungguh-sungguh. “Lady, apa tidak mungkin bagi Anda untuk memercayai saya? Bukannya mustahil bagi Anda melarikan diri karena Anda bisa memanfaatkan saya!”
Apa yang menjawabnya adalah uluran tangan wanita itu yang mengusap pipinya untuk menyingkirkan air mata yang tidak disadari. Antonina berkata, “Tentu saja aku percaya padamu, Abel. Kamu satu-satunya orang yang bisa aku percayai di dunia ini. Hanya saja aku sudah terlalu lelah.”
“Tidak bisakah Anda memikirkan saya? Tidak bisakah Anda melarikan diri dari sini demi saya?” Mungkin juga tujuannya untuk memeras rasa iba dan memohon agar pihak lain berubah pikiran. Abel berbicara lebih banyak dan mengungkapkan keinginannya terang-terangan. “Saya tidak ingin Anda mati. Bahkan jika seluruh dunia membenci Anda, saya menginginkan Anda, Lady.”
“Aku tahu. Kamu memang orang yang seperti itu.”
“Lalu, kenapa? Kenapa Anda hanya diam di sini? Padahal jika Anda mengucapkan satu kata saja, saya akan melakukan segalanya untuk Anda. Saya bisa membawa Anda keluar dari sini, bahkan jika saya harus membunuh semua orang yang menghalangimu. Lady, pergilah dari tempat ini bersama saya. Saya mohon ....”
“Maaf. Jangan menangis untukku, Abel.”
Wanita itu merengkuh Abel dalam pelukan, menghibur pria yang menangis untuknya. Dia sudah siap menghadapi kematian, tetapi satu-satunya penyesalan adalah ketidakmampuannya untuk membuat Abel melupakan dirinya. Andai saja di mata pria itu Antonina bukan seorang wanita yang berharga. Akan tetapi, itu juga alasan mengapa Antonina juga bisa menerima dan mempercayai Abel sepenuhnya. Ini adalah hukum kausalitas di mana selalu ada sebab dan akibat.
Dua jam itu singkat, tetapi juga terasa panjang. Para penjaga masuk dengan langkah tergesa-gesa dan meneriaki pria itu untuk segera pergi, bahkan hampir menyeretnya. Sebelum pergi, Abel berdiri dari luar jeruji, menatap wanita yang terkurung di dalamnya. Sementara itu, Antonina menggurat senyum. Itu adalah senyum penuh makna seolah-olah dia tidak pernah dipenjara dan masih seorang nona bangsawan yang ditakuti semua orang.
“Selamat tinggal, Abel.”
Senyum pria itu tidak mencapai matanya yang masih dipenuhi kesedihan. “Kita akan bertemu lagi, Lady.”
Selamat tinggal, Lady-ku yang sangat kejam.
Pria itu melihat Antonina sebagaimana adanya. Sampai pada titik di mana dia rela melakukan apa pun demi wanita itu. Meskipun begitu, kata-kata tadi bertentangan dengan kejujuran yang selalu dipegang oleh Abel selama ini, tetapi tidak masalah karena yang kebohongan itu akan menghibur wanita yang hari kematiannya telah ditentukan. Setidaknya itulah hal terakhir yang bisa pria itu lakukan demi nona bangsawan yang dia layani.
Ketika Antonina akhirnya ditinggalkan sendirian dalam penjara tersebut, dia tidak bisa melepaskan senyum. Khayalan yang mustahil jelas akan membuatnya lebih bahagia di atas kenyataan pahit. Wanita itu ingin terjebak dalam delusi bahwa masih akan ada hari di mana mereka berdua bertemu lagi. Mungkin tidak sepenuhnya delusi karena walaupun kemungkinannya sangat kecil, Antonina masih menginginkan pria yang setia itu menjadi orang terakhir yang dia lihat sebelum mati.
0 notes
chlomission · 7 months ago
Text
My Hyung Turns Into a Child Whenever He Is Stressed
Inilah masalah serius yang dirahasiakan. Till berubah menjadi anak kecil ketika dia terlalu stres.
An "Alien Stage" Fan Fiction
tags: Till/Ivan, Actor AU, manga reference
Seorang selebriti harus tahu cara menjaga persona publik dan menyembunyikan isu pribadinya. Till adalah seorang aktor dan penyanyi terkenal sehingga dia dianggap senior di industri hiburan. Dia telah menjaga citranya dan dikenal sebagai pria berbakat yang patut dihormati. Tentu saja dia juga memiliki rahasia pribadi yang tidak diketahui orang lain. Hal ini terkait kondisi fisiknya, masalah yang serius dan tidak nyaman untuk disebarluaskan.
“Ah … terjadi lagi.”
Syuting baru saja selesai sore ini. Sosok pria dewasa itu menghilang dan digantikan dengan anak kecil yang mengenakan pakaian kebesaran. Beruntung baginya karena perubahan fisik abnormalnya tidak terjadi di tengah pekerjaan dan mengganggu jadwal seperti beberapa kejadian sebelumnya. Inilah masalah serius yang dirahasiakan. Till berubah menjadi anak kecil ketika dia terlalu stres.
Pada awalnya, manajer pribadinya terkejut dengan perubahan fisiknya. Akan tetapi, hal ini sudah beberapa kali terjadi sehingga dia tahu apa yang harus dilakukan. Dia bertanya, “Haruskah aku menghubungi dia?”
Till menghela napas berat. Nada serius yang dia miliki saat berbicara tidak cocok dengan suara kekanak-kanakan. “Di mana ponselku? Aku akan menghubungi anak itu sendiri.”
“Di sini. Ada juga pakaian ganti untuk berjaga-jaga.” Tentu saja yang dibicarakan bukanlah pakaian ganti normal, melainkan baju ukuran anak-anak menyesuaikan tubuh Till yang berubah. “Kalau begitu saya akan berpamitan kepada kru dan menyiapkan mobil.”
“Bagus.”
Till mengganti pakaian yang kebesaran itu dengan baju ganti yang disiapkan oleh manajernya. Sembari menunggu, dia melakukan panggilan telepon. Sebelumnya ketika dia berubah menjadi anak kecil, Till tidak repot-repot untuk mendapatkan bantuan selain manajer yang mengetahui rahasianya. Paling-paling dia mengambil cuti beberapa hari dan membiarkan tubuhnya kembali seperti semula saat beristirahat di rumah. Akan tetapi, segalanya berbeda sekarang.
“Hyung!” Suara dari sisi seberang terdengar bersemangat. “Kenapa kamu meneleponku? Bukannya kamu ada syuting hari ini.”
“Baru saja selesai. Kamu sedang libur, kan?”
“Tunggu! Suara ini ….” Tentu saja, pihak lain sudah mengetahui kondisinya dan menebak dengan tepat sasaran. “Apa kamu menjadi kecil lagi? Kamu butuh bantuan?”
Till terkekeh. “Ya. Boleh merepotkanmu?”
“Tentu saja! Aku tidak repot sama sekali, silakan datang saja ke rumah, Till-hyung.” Jawabannya positif, seperti yang diharapkan olehnya sejak dia menelepon anak itu. “Aku akan memanjakan Hyung sampai kamu besar lagi.”
“Sangat bersemangat?” Pertanyaan itu retoris dan pihak di seberang telepon pun juga tidak menjawab dan berbicara tentang betapa kehadirannya disambut. “Aku akan datang ke rumahmu segera setelah manajerku kembali.”
“Oke, hati-hati di jalan, Hyung.”
Padahal yang berubah menjadi anak kecil adalah Till, tetapi pihak lain yang justru menunjukkan sifat kekanak-kanakan. Percakapan tersebut diselesaikan untuk saat ini. Manajernya segera kembali dan membawanya pergi tanpa terlihat oleh orang lain. Di sepanjang perjalanan pun, dia juga masih bertukar pesan beberapa kali dengan Ivan.
Sudah malam begitu Till sampai ke rumah tempat Ivan tinggal, tetapi pria yang lebih muda itu menyambutnya dengan senyum cerah dan merentangkan tangan untuk memeluknya. Till membenamkan diri dalam pelukan hangat itu.
“Till-hyung yang menjadi kecil benar-benar manis. Kok bisa selucu ini?!” Bukan hanya dipeluk, sekarang tubuh kecil Till sudah digendong dalam pelukan Ivan sehingga dia menempel seperti koala. “Terima kasih, Manajer-nim, aku dan Hyung masuk dulu. Berhati-hatilah di jalan!”
Begitulah Ivan menyudahi interaksinya dengan orang lain dan fokus terhadap Till. Pintu sudah ditutup, jadi praktis hanya mereka berdua. Sekali lagi, Ivan mengusak pipinya pada puncak kepala Till. Sedikit geli, tetapi itu nyaman.
“Ivan, turunkan aku dulu.”
“Tidak. Kenapa harus?” bantahnya dengan wajah tanpa dosa sambil menyeringai. “Hyung, kamu ingin makan malam dulu atau mandi?”
“Ivan ….”
“Aku akan memanjakanmu semalaman.”
“Ivan.” Till memanggil namanya lagi, membuat pria yang lebih muda  itu diam dan merengut. Till menghela napas. Dia sudah terlalu hafal dengan tabiatnya sehingga sudah terbiasa. “Tidak perlu merajuk. Bukannya aku benar-benar melarangmu.”
“Tahu. Kalau Till-hyung tidak mengizinkan, kamu tidak akan menelepon sejak awal,” katanya dengan gusar. Dia menurunkan Till dan berlutut agar perbedaan tinggi mata mereka tidak terlalu jauh. Namun, kepala Ivan menunduk. “Maafkan aku. Aku pasti membuatmu kesal.”
“Tidak sama sekali.”
“... Hyung-ku berubah menjadi anak kecil dan aku harus memanjakanmu sampai kembali seperti semula, kan?”
Tubuh fisiknya adalah anak-anak saat ini, jadi Ivan jelas sangat besar baginya. Akan tetapi, di mata Till, Ivan adalah orang yang lebih muda dan berhati lembut. Jadi dia berkata dengan hati-hati. “Ini baru kedua kalinya terjadi di depanmu dan baru sekali ini aku memintamu. Aku khawatir kamu keberatan.”
Tangannya terulur dan dia menepuk puncak kepala Ivan. Salon sudah mengubah model rambut anak itu menjadi bergelombang, lembut dan empuk saat berada di tangannya. Till awalnya hanya ingin menghibur Ivan, tetapi sensasi rambut hitam yang lembut dan empuk membuatnya ketagihan dan secara tidak sadar dia terus mengusapnya.
“ … -ng.”
“Till-hyung.” Wajah Ivan sudah terangkat, memperlihatkan rona merah yang menyebar sampai ke telinganya. Barulah suaranya terdengar oleh Till.
“Oh, maaf. Tidak sengaja.” Till menarik tangannya kembali. Dia merasa agak puas dengan ekspresi Ivan yang sekarang. Untuk menutupi itu, dia berdeham sedikit. “Maksudku tadi, ini pertama kali aku meminta bantuanmu untuk kondisi tubuhku, jadi aku khawatir ….”
“Till-hyung tidak perlu merasa khawatir. Aku tidak keberatan sama sekali.” Rona merah di wajahnya belum hilang, tetapi senyumnya yang khas tergurat kembali. “Daripada itu, aku senang bisa diandalkan olehmu.”
Sungguh kekhawatiran yang sia-sia. Di antara mereka berdua, mungkin Ivan yang justru lebih menantikan momen ini. Till berubah menjadi anak kecil ketika dia terlalu stres. Untuk mengembalikan kondisi tubuhnya seperti semula, dia harus dimanjakan orang lain. Meskipun begitu, dia belum pernah dimanjakan sejak dia memiliki kondisi ini sehingga segalanya menjadi sedikit canggung.
“Till-hyung, apa kamu ingin makan malam? Atau mandi?” Ivan kembali menanyakan pertanyaan sebelumnya. “Bolehkah aku menggendongmu?”
“Oke, manjakan aku sekarang.” Tawa terlepas dari bibirnya dan dia memeluk leher Ivan agar memudahkan pria itu membawanya. “Ketika aku sudah kembali lagi, giliran aku yang memanjakanmu.”
2 notes · View notes
chlomission · 7 months ago
Text
I was on the Moon
Meskipun sulit untuk berkencan di luar, menghabiskan waktu di dalam ruangan bukanlah ide yang buruk.
An Original Fiction
commissioned by Hyerin
Suara dering oven terdengar di dapur. Hyerin segera menggunakan sarung tangan tebal dan membuka pintu oven. Di atas loyang tersebut, dough berwarna cokelat terpanggang hingga kering dan permukaannya retak. Dia tidak hanya membuat satu loyang. Di dapur itu sudah ada beberapa loyang kue kering cokelat yang disisihkan. Hyerin menunggu semuanya mendingin sebelum mulai mengemasnya ke dalam toples.
Perempuan itu melepaskan sarung tangannya, dengan cekatan mencabut aliran listrik dari oven yang sudah selesai digunakan. Malam ini dia hanya perlu melakukan penyelesaian dan mengemas semua kudapan yang dia buat sejauh ini dengan cantik. Perempuan itu akan beristirahat sebentar sebelum melanjutkan, jadi dia membuka kulkas dan mengambil salah satu kotak puding buah dan mengambil beberapa sendok vla.
Dilihat lebih jauh, kulkas besar itu telah dipenuhi oleh kudapan dingin seperti cokelat, puding, dan es krim. Belum lagi dengan berbagai macam jenis kue berdiameter sepuluh sentimeter yang dibagi menjadi delapan potongan. Hyerin berniat untuk memotongnya kemudian ditata seperti pesta minum teh yang klasik. Begitulah kira-kira apa yang ada dalam pikirannya.
"Tetap saja aku berpikir lebih baik memiliki sus dan pai juga," gumannya dengan suara rendah. Dia menyendok vla dan menuangkannya di atas puding buah. hingga permukaan puding tertutup sepenuhnya. "Besok hanya bisa membuat parfait."
Sudah tiga hari berlalu sejak Hyerin mempersiapkan kencan rumahnya. Mulai dari berbelanja bahan-bahan hingga memilih kemasan dan kartu ucapan yang akan diberikan, semuanya berjalan dengan baik. Masalahnya karena dia tidak bisa membuat camilan pada hari tersebut, Hyerin harus puas dengan kudapan yang dapat disimpan dingin dan kue kering. Kudapan seperti sus, pai, dan berbagai jenis pastri lainnya yang tidak bisa disimpan tidak akan enak
Perempuan itu juga sangat beruntung karena hari ini adalah hari libur pacarnya sejak syuting terakhir. Meskipun sulit untuk berkencan di luar, menghabiskan waktu di dalam ruangan bukanlah ide yang buruk. Konsep pesta teh ini adalah idenya sendiri yang akan menjadi kejutan besok. Dia telah mengerahkan seluruh pemikirannya untuk ini.
Vla mengalih pada celah di mana puding disendok. Di dalam permukaan rata puding terdapat potongan buah stroberi. Rasa dingin dan manis memenuhi mulutnya. Itu rasa kudapan paling sempurna yang bisa dia buat. Hyerin mengerutkan bibirnya, pipi pucat itu mulai memerah ketika memikirkan apa yang mungkin menjadi reaksi pihak lain ketika makan.
"Semoga dia suka."
Menghabiskan puding, Hyerin kembali ke dapur dan mempersiapkan beberapa kotak kosong untuk makanan ringan. Kue kering cokelat ditata untuk memenuhi dasar toples dan dihias dengan lapisan gula halus. Lapisan kue kering kedua pun menutup lapisan pertama dan ditaburi gula halus lagi. Begitu seterusnya sampai kotak tersebut terisi penuh dan semua kue kering cokelat selesai ditempatkan. Hyerin mengambil potongan pita merah muda yang telah disimpan di salah satu laci dan membuat simpul hiasan pada toples kaca transparan tersebut sebagai sentuhan akhir.
Semua persiapan pesta minum teh sudah selesai.
Hyerin bangun pagi-pagi dalam suasana hati yang baik. Dia berganti pakaian dengan kemeja berenda lengan pendek dan rok selutut. Setelah menambahkan kardigan merah muda di atas pakaiannya, Hyerin berpaku pada cermin untuk menata rambut. Karena ini adalah hari yang spesial, dia tidak bisa tidak berdandan, bukan? Hari ini bukan hanya hari pacarnya libur dari pekerjaannya yang sibuk, tetapi juga hari kencan mereka.
Menjadi pacar seorang aktor cukup sulit. Selain karena mereka tidak bisa mengungkapkan hubungan secara terbuka sampai beberapa tahun, keduanya harus berhati-hati dengan pandangan orang lain ketika berkencan. Belum lagi dia sendiri bisa terlibat dengan sasaeng. Hyerin menghela napas mengingat bahwa dia memiliki tiga pengalaman dengan sasaeng yang mengaku menyukai pacarnya.
Daripada berkencan di luar, memang lebih baik menghabiskan waktu di dalam ruangan. Meskipun ada kalanya mereka ingin menghabiskan waktu mengunjungi tempat-tempat umum, keduanya memiliki pemikiran serupa tentang lebih menyukai rumah.
Menu sarapan hari ini adalah roti panggang dan sup krim. Kuah kental berwarna putih itu penuh dengan potongan sayur-sayuran dan daging. Tepat ketika Hyerin akan mematikan kompor, suara bel yang menandakan kedatangan tamu datang. Perempuan itu melepaskan celemeknya dan berlari dengan senyum di wajah. Dia membuka pintu rumah.
"Kamu akhirnya datang!"
Seorang pria berdiri di luar pintu dengan topi dan masker, dengan lembut memanggil namanya. "Hyerin-ah."
"Cepatlah masuk. Aku baru saja menyiapkan sarapan. Tunggu saja sebentar di ruang makan."
"Hyerin-ah," panggilnya. Dia menahan lengan perempuan itu agar tidak ke mana-mana. "Kamulah yang seharusnya duduk saja setelah memasak. Aku yang akan menyajikan."
Hyerin menggembungkan pipinya. Meskipun dia tidak puas, tetapi dia tidak menolak secara eksplisit. Bagaimana pun dia sendiri lelah setelah bersusah payah membuat berbagai kudapan selama tiga hari sebelumnya. Masalahnya adalah karena pacarnya yang terlalu peka selalu bisa menebak apa yang sedang dia lakukan hanya dengan melihat dirinya sendiri.
"Kamu terlalu peka. Kadang-kadang itu menyebalkan."
"Kalau aku tidak peka, bisa-bisa aku akan membuatmu menderita." Pacarnya tertawa mendengar protes kecil itu. "Pasti kamu bekerja keras beberapa hari hanya untuk hari ini, kan?"
"... Ini bukan sekadar 'hari ini'! Jelas-jelas kamu paham maksudku. Aku bahkan tidak bisa memberikan hadiah Valentin."
Namun, pacarnya hanya tersenyum tak berdaya dengan alasan itu dan pergi ke dapur sambil berkomentar. "Aaah, aku jadi sangat menantikan makanan penutup."
Hyerin menonton pacarnya yang kini sedang mempersiapkan meja. Potongan mentega diletakkan pada permukaan roti panggang yang masih panas. Mangkuk juga diisi dengan sup krim. Keduanya duduk berhadapan. Perempuan itu tidak segera makan dan menunggu pihak lain mencicipi. Mau tidak mau dia sedikit gugup karena antisipasi.
"Sup krimnya hangat dan lembut, kaya rasa, dan sangat lezat. Ini adalah masakan penuh cinta dari pacarku."
Apakah karena dia adalah aktor? Pacarnya sangat pintar memilih dialog yang tepat untuk membuat perasaan Hyerin berbunga-bunga. Meskipun kata-kata romantis tersebut hanya rayuan romantis yang hanya muncul dalam fiksi romansa dan canggung bila digunakan dalam kenyataan, pacarnya dapat menghilangkan rasa canggung itu dalam sekejap mata saat berbicara dengannya. Dia pasti jenius.
Setelah sarapan, keduanya menonton film bersama di ruang tengah. Lampu dimatikan sehingga yang terlihat hanyalah layar. Hyerin lebih suka menonton sambil berbaring dengan layanan bantal paha dari pacar. Di meja ruang tersebut terdapat set peralatan minum teh untuk dua orang serta enam toples berisi berbagai jenis kue kering yang diikat dengan simpul pita merah muda. Setiap jenis kue kering dibuat lebih dari satu toples, sisanya sudah disimpan dalam rak lain.
Apa yang dibuka pacarnya adalah kue kering yang dibuat dengan rasa lemon. Rasanya tidak manis melainkan asam dan serpihan kulit lemon yang tercampur memperkaya aroma. Selain mengambil tiap keping kue untuk dirinya sendiri, pacarnya juga menyuapinya satu demi satu. Hanya saja Hyerin lebih lambat dalam mengunyah kudapan saat berbaring, jadi jelas ada lebih banyak yang dimakan pacarnya. Teh hitam adalah pasangan terbaik untuk menikmati kudapan. Untuk melembutkan rasa kuat dari teh, gula dan susu dapat ditambahkan, tetapi tidak akan bisa menjadi semanis kue.
"Oh, aku lupa mengatakannya padamu," kata Hyerin saat film setengah berjalan. "Pokoknya untuk kudapan sore, kamu tidak boleh membantu sedikit pun. Ini adalah jamuanku."
"Baiklah."
Hyerin dapat melihat senyum lembut pacarnya, yang menatap dengan penuh kasih sayang memanjakan. Mata itu seolah-olah menyiratkan dia tidak akan berkata apa-apa jika itu yang Hyerin inginkan. Perempuan itu merasakan pipinya panas dan dengan cepat kembali memfokuskan diri pada film. Di dalam hatinya, dia sedikit menyesali mengapa wajahnya terlalu tampan. Daya tariknya terlalu besar untuk diabaikan!
"Sebagai gantinya," dia menambahkan, "aku saja yang membuat makan siang."
Jika Hyerin tidak mengungkit masalah lebih dulu, pacarnya pasti saat ini sedang berpikir untuk tidak membiarkannya melakukan apa pun lagi. Hyerin mendecih sebal, tetapi berkompromi dengan keputusan tersebut. Sementara pria itu sudah mulai membicarakan apa yang ingin dia buat di dapur rumah Hyerin sebagai menu makan siang. Film berdurasi lebih dari tiga jam tersebut selesai pada waktunya untuk memasak makan siang.
Rumahnya secara keseluruhan besar. Hal yang pasti karena dia menginginkan dapur yang luas. Tiga kamar dan dua kamar mandi, pencahayaan yang bagus, serta halaman yang luas. Berkat ibunya yang sering mengucapkan spesifikasi rumah yang ideal sejak kecil, Hyerin yang sudah mampu hidup mandiri akhirnya membeli rumah seperti yang disebutkan walaupun dia hanya tinggal sendiri.
Melihat pacarnya sibuk di dapur, perempuan itu tidak menyesal dengan keputusan sebelumnya. Lihatlah betapa tampan dan seksi pacarnya, sampai-sampai perempuan itu terkadang merasa kurang percaya diri dalam beberapa hal kecil. Jika dia hanya memiliki apartemen kecil, rasanya tidak pantas bagi pacarnya menghabiskan satu hari kencan di sini.
Melepaskan makanan bergaya barat, menu makan siang hari ini adalah makanan lokal. Nasi merah, tumis tauge, rebusan lobak, sup kimchi, serta ayam goreng. Kali ini, Hyerin lah yang lebih dulu mengisi perutnya. Dia hanya bisa mengangguk dalam kepuasan. Ya, pacarnya pintar memasak. Dia sangat beruntung memiliki pacar dengan daya tarik begitu besar. Memasak hanyalah salah satu pesonanya. Pacarnya sangat tampan, berbakat, dan juga terkenal.
"Jangan melihatku seperti itu." Merasakan tatapan Hyerin, pacarnya terkekeh. "Tahu tidak kalau sekarang kamu terlihat seperti baru saja jatuh cinta."
Hyerin mengangguk tanpa sanggahan. Dia menyandarkan kepalanya pada meja dengan berbantal lengan. "Sepertinya aku memang jatuh cinta padamu lagi. Pacarku terlalu memesona, daya tariknya terlalu kuat. Apa kamu sebenarnya melatunkan mantra pemikat?"
Di bawah pancuran kasih sayang, hari ini benar-benar memuaskan. Pada siang hari, keduanya melakukan pekerjaannya masing-masing. Sementara Hyerin sedang mengutak-atik kamera, pacarnya mulai bekerja meninjau naskah yang harus dipilih untuk pekerjaan selanjutnya. Lensa mulai memfokuskan pada gambar seorang pria yang sibuk menggulir layar tablet.
Apabila naskah yang diinginkan cepat ketemu, manajemen jadwal dapat segera dikukuhkan. Sebagai seorang aktor, nilainya berada di layar. Apabila dia terlalu lama menganggur, popularitasnya menurun, dan naskah yang bagus akan menjauh dari jangkauannya. Jadi, liburan pria itu akan lebih santai ketika pekerjaan selanjutnya sudah ditentukan.
Diafragma yang menangkap jumlah cahaya disesuaikan, diikuti dengan kecepatan pengambilan foto. Setelah memastikan sudut dan komposisinya tepat, Hyerin pun menekan tombol rana. Perempuan itu puas dengan hasilnya. Dia berpikir bahwa sore ini harus ada lebih banyak gambar untuk diambil.
Ketika sudah waktunya, Hyerin mengambil secarik kain dan mengendap ke belakang pacarnya. Pria itu jelas tahu bahwa Hyerin akan melakukan sesuatu, tetapi tidak berbuat apa-apa. Itu adalah kepercayaan bahwa perempuan itu tidak akan melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan apalagi merugikan.
"Baik, waktu kerja sudah habis. Tunggu di sini, aku akan menjemputmu tidak lama lagi!"
Penglihatannya dihalangi, jadi pria itu hanya bisa menebak-nebak apa yang sedang dilakukan Hyerin. Setidaknya dia tahu bahwa itu terkait dengan jamuan yang disebutkannya pada pagi hari. Tampaknya tempat jamuan diadakan bukan ruang tengah karena langkah kaki Hyerin terdengar jauh. Teras adalah tempat yang mungkin. Tembok pembatas halaman rumah ini cukup tinggi, jadi hanya orang yang sengaja mengintip yang akan tahu kegiatan orang-orang di dalam. Secara relatif, rumah Hyerin lebih aman.
"Ayo, ikut aku dulu. Bagian penting dari kencan kali ini akhirnya dimulai!" Suara cerah Hyerin dipenuhi kebahagiaan yang tidak terlukiskan.
Pria itu berjalan dengan bimbingan Hyerin. Dia dapat mencium aroma manis dari makanan penutup bercampur dengan wangi segar dari rumput basah di taman. Sambil tertawa, dia bertanya, "Apa aku sudah boleh melepasnya sekarang?"
"Ya!"
Halaman rumah di sisi ini memiliki gazebo bata putih. Di sanalah perempuan itu menyiapkan pesta tehnya. Tentu saja tidak ada bunga-bunga karena Hyerin selalu menganggapnya norak dan sulit untuk dirawat. Jadi tidak ada pengaturan khusus pada taman yang dibuat. Itu masih sebagaimana adanya. Sementara itu di dalam gazebo sudah terdapat berbagai makanan penutup yang diatur dengan konsep pesta minum teh.
Pandangan pria itu kemudian tertuju pada kartu tulisan kursif. Itu adalah sesuatu yang ditambahkan sebagai dekorasi. Melihat betapa hati-hatinya Hyerin memeilih kertas dan menulis di atasnya, dapat dilihat dia menaruh perhatian khusus pada satu ini. Hyerin sendiri terlihat bersemangat ketika dia mengambil dan membaca isinya. Kartu itu sendiri hanya berisi satu kalimat.
J'etais sur la lune.
Kalimat berbahasa Prancis itu terdengar seperti ungkapan yang menyiratkan sesuatu. Berdasarkan selera Hyerin, dia mencobva memilih puisi romantis atau semacamnya. Pria itu tidak tahu apa maksud metafora dari kalimat tersebut, tetapi dia tahu makna literalnya.
I was on the moon.
"Memangnya ada apa di bulan?" tanyanya pada Hyerin. Dia berbisik dengan cara sedikit menggoda, menuntut penjelasan secara tidak langsung. "Mengapa kamu berada di sana?"
"Haruskah aku memberitahu?" Hyerin terkikik. Pipinya memerah karena kebahagiaan dan semangatnya.
Bukannya menjawab, dia justru balik bertanya kepada perempuan itu. "Apa kamu lebih suka aku tidak mengetahuinya?"
Tangan yang terampil itu dengan cerdik menarik pacarnya untuk duduk di kursi. Keduanya duduk saling berhadapan dengan parfait buah segar. Perempuan itu mengangkat sendok bergagang panjang untuk menggaruk es krim di lapisan teratas parfait. Rasa manis menyebar di mulutnya sama seperti betapa rasa manis memenuhi setiap sudut hatinya. Hyerin menikmati tatapan pacarnya memerhatikan setiap gerakan, sementara dia masih menggantung jawaban.Semburat merah tidak padam dari pipi perempuan itu.
"Hmm ... bagaimana ya ...?" gumamnya saat menyelesaikan sendok pertama. Akan tetapi, topik yang terucap justru berbelok. "Hari ini ada terlalu banyak gula untuk dimakan. Yah, karena ini hanya satu hari, jadi tidak apa-apa, kan? Lagi pula kencan seperti ini bahkan tidak terjadi sebulan sekali. Mungkin kita akan mengadakannya setelah setahun atau dua tahun lagi."
"Kencannya memang memiliki banyak gula." Pacarnya menyeringai licik. "Apa kamu berbicara makna literal atau metafora?"
"Aku sangat menyukaimu, tahu." Arah pembicaraan tersebut tidak bisa diprediksi, tetapi pacarnya tampaknya baik-baik saja dengan segala pembelokan yang ada. Hyerin merasa hatinya tergelitik. "Sejak hari di mana hatiku terguncang dan aku terjatuh tanpa sadar, aku seperti sedang berada di bulan."
Hari ini adalah kencan yang manis dengan banyak gula. Selain itu, mengambil konteks dari bagaimana Hyerin menggunakannya, maka jelas maksud tersirat dari frasa tersebut. Bahkan ungkapan romantis pun hanya bisa dipahami setelah diketahui.
I was in love.
In olden days or now, I'm in love.
1 note · View note
chlomission · 2 years ago
Text
As Snow Comes Upon a Winter Night
Zima menemukan dirinya terpikat padanya. Dia merasa tidak layak, tetapi perasaannya berada di luar kendali tanpa bisa ditekan.
A "Reverse: 1999" Fan Fiction
commissioned by Yuki
tags: Zima/OC, yumenushi, implied sex (versi publikasi dipotong berdasarkan permintaan klien)
“Bagaimana dengan menghabiskan waktu bersamaku? Aku yakin hari ini akan menjadi pengalaman yang tidak terlupakan seumur hidup.”
Itu adalah sebuah tawaran yang intim dan penuh godaan. Pria yang tidak dikenalnya meraih jari-jemari Yuki. Sorot mata yang terlihat di balik lensa kacamata itu entah mengapa memiliki gairah. Setiap gerak-geriknya menunjukkan sensualitas yang asing bagi perempuan itu.
Apakah orang asing selalu menunjukkan ketertarikan mereka dengan cara seperti ini?
Yaminaga Yuki berasal dari negeri di timur, jadi dia tidak terlalu yakin bahwa tindakan pria di hadapannya adalah sesuatu yang wajar dilakukan atau tidak. Meskipun begitu, menolak secara terang-terangan tampaknya akan terlalu mencolok. Perempuan itu menekan bibirnya. Menarik katana di pinggangnya adalah pilihan terakhir, dia harus mencari jalan keluar lain.
Sebelum sempat mencari cara, sebuah suara menginterupsi proses berpikirnya. “Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Kenapa kamu berada di sini?”
Suara tegas itu berasal dari seorang perempuan muda berpakaian hitam dengan rambut platinum yang disanggul. Yuki tidak melihat wajahnya itu dengan jelas berkat topi, tetapi walaupun bisa melihat, dia juga yakin bahwa perempuan muda itu benar-benar orang asing.
“Maaf, Tuan. Teman saya cukup pemalu, jangan mengganggu dia lagi.” Tampak yakin bahwa Yuki akan melepaskan kesempatannya sendiri, perempuan asing itu kini mengambil pergelangan tangan yang disentuh oleh pria itu. “Kami permisi dulu.”
Seorang pria aneh yang tidak dikenal dan perempuan muda yang asing. Yuki tercengang dengan kecepatan perubahan situasinya dan dibawa pergi oleh perempuan itu. Melihat sikap perempuan asing itu, tampaknya dia belum akan membiarkannya pergi dalam waktu dekat karena dia diajak duduk bersama begitu menjauh dari pria tadi.
“... Maaf, aku pikir kamu salah orang?” Yuki memutuskan untuk berbicara. Dia tertawa hambar untuk menekan kecanggungan. “Aku tidak mengenal siapa pun di sini.”
Dia dapat merasakan bahwa perempuan muda itu menatapnya dengan tajam. Sikap tegasnya membuat Yuki menjadi gugup tanpa alasan. Pada akhirnya, perempuan berpakaian hitam menghela napas dan melontarkan satu kata.
“Vertin.” Melihat wajah lawan bicaranya penuh ketidaktahuan, dia menambahkan. “Namaku Vertin.”
“Ah, rupanya namamu. Tentu saja.” Yuki mengembuskan napas lega. “Aku Yaminaga Yuki. Di negara asalku, nama keluarga selalu diletakkan di depan, jadi namaku adalah Yuki.”
“Jadi, Miss Yuki, apa kamu adalah Arcanist?”
Perempuan bernama Vertin itu memiliki aura yang begitu mendominasi, bahkan bagaimana Vertin mengangkat cangkir tampak elegan sehingga Yuki merasa bahwa dia tidak berada pada tempatnya seolah-olah dia sedang diinterogasi.
“Ya.” Yuki tidak menyembunyikan apa pun. Bagaimana pun dia masih menyadari bahwa saat ini dia berpenampilan sangat mencolok dengan hakama. Apalagi dia masih membawa katana di pinggangnya sehingga menyangkal membuatnya tampak tidak alami. Hanya saja, dia memiliki dua pertanyaan. “Mengapa kamu menolongku?”
Pertanyaan lainnya adalah mengapa Vertin perlu menanyakan bahwa dia adalah salah Arcanist?

Beberapa bulan sudah berlalu sejak hari pertama Yuki mulai terlibat dengan Vertin dan rekan-rekannya. Dia telah berkenalan dengan banyak orang baru dan menyentuh dunia yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehnya.
Langkahnya terhenti. Napasnya tercekat, tetapi Yuki mencoba untuk berbicara dengan lancar. “Rupanya itu kamu. Sudah cukup lama sejak kita bertemu, sayangnya aku jarang melihatmu. Kenapa kamu jarang keluar kamar?”
Perempuan itu terpesona pada penampilan pria itu yang telah memenuhi hatinya. Bagaimana dia harus menggambarkannya dengan cara yang tepat? Yuki bukan orang yang mampu menggunakan kata-kata puitis seperti pihak lain. Satu fakta pasti, segala sisi darinya itu indah. Baik itu penampilan maupun karakter pria itu, Yuki tidak memiliki rasa penolakan sama sekali.
Nama pria itu adalah Zima, diartikan sebagai musim dingin. Yuki bisa merasakan keintiman tertentu hanya dari sana, karena namanya sendiri berarti salju. Seolah-olah segala hal dari pria itu sengaja diciptakan sepenuhnya sesuai dengan Yuki. Perempuan itu kesulitan menghilangkan fantasinya.
“H-hanya saja ... um, sulit.” Zima berbicara bahasa Inggris dengan terbata-bata. Matanya tidak fokus untuk menatap Yuki yang berbicara dengannya. “Ak-aku, tidak, menulis ... puisi.”
Perkamen dan pena bulu yang lusuh itu tidak dapat bergerak karena Zima tidak dapat menuliskan apa yang sedang dipikirkannya. Yuki menganggukkan kepalanya, memahami dengan jelas maksud pria itu. Sudut matanya menangkap burung putih di bahu Zima yang tampak memerah.
Apakah sejak awal burung itu punya kepribadian pemalu? Entah kenapa, Yuki ikut merasa gugup karena dia juga sama pemalunya.
Meskipun begitu, dia tidak bisa meninggalkan kesan buruk dan meninggalkan pembicaraan. “Kamu berusaha dengan keras untuk menulis puisi itu, pasti hasilnya akan sangat bagus.”
Saat itu, mata sayunya menatap lurus ke arah Yuki, tidak seperti sebelumnya. “Akan, akankah ... k-kamu meli-lihat, -nya?”
Yuki merasakan jantungnya berdetak terlalu cepat sehingga dia khawatir akan terdengar. Perempuan itu meraih pergelangan tangan dengan tangan lain dan menggenggamnya dengan erat untuk menahan diri. “Tentu saja. Aku sangat menantikannya.”
Tidak seperti loncatan emosi yang dia miliki, Zima terlihat sangat tenang sehingga Yuki merasa agak kecewa dalam hati karena perasaannya hanya sepihak. Melihat burung putih di bahunya melompat dengan antusias, Yuki mau tidak mau berpikir, alangkah baiknya jika dia bisa mengetahui emosi Zima dengan jelas seperti dia melihat burung tersebut.
“Segera .... B-berpikir, banyak ... aku um, akan ... tunjukkan ....”
Pria itu berjalan melewati Yuki, kembali memasuki kamarnya dan menutup pintu dengan rapat. Sayang sekali mereka hanya berbincang sebentar. Setiap kali Zima mengurung dirinya, artinya Yuki tidak bisa melihat barang satu helai pun rambut putihnya.
Meskipun itu diawali karena perempuan itu tidak tahu harus berbicara apa, Yuki bersyukur karena dia bertanya basa-basi. Padahal sejak awal, perempuan itu sudah mendengar dari Sonetto bahwa Zima jarang keluar karena tidak suka diganggu. Karena dia sendiri yang membawakan makanan untuk pria yang mengasingkan diri ke kamarnya, dia juga sudah tahu bahwa Zima sulit keluar walaupun hanya untuk makan.
Yuki bertanya-tanya, puisi apa yang ditulis oleh Zima sampai dia merasa kesulitan seperti itu? Dia menantikannya.

“... Yuki.”
Di tengah kamar yang gelap, seorang perempuan terbangun dari tidurnya. Sudah dua hari ini dia merasakan ada seorang yang memanggil namanya. Tangan lembut itu memegang selimut dengan erat, berusaha menenangkan dirinya. Bagaimana bisa ada hantu di tempat yang tidak bisa dimasuki sembarangan orang di koper Vertin?
Itu masuk akal. Akan tetapi, alasan itu tidak cukup untuk membuat Yuki merasa lebih baik. Yuki merapatkan bibirnya, bergumam pada dirinya sendiri. “Tidak, tidak bisa mengganggu orang lain.”
Pikirannya melayang pada sosok pria yang telah memenuhi hatinya. Hanya dengan memikirkannya seorang, Yuki merasa lebih baik. Suara itu tidak terdengar lagi. Namun, masih ada sisa rangsangan dari ketakutan barusan. Ruangan gelap di mana tidak ada seorang pun melihat, dan aroma parafin yang tersisa di lampu minyak yang dimatikan. Semuanya menciptakan kombinasi yang membuatnya mulai melupakan ketakutan dan memikirkan hal lain.
“... Zima.”
Akan lebih baik jika Zima bersamanya sekarang. Itu adalah pikiran yang tidak sopan, tetapi Yuki tidak bisa menahan diri. Bagaimana rasanya dan apa yang terjadi jika hal semacam itu terjadi? Pria itu adalah orang yang canggung sekaligus manis.
Dalam imajinasi liar itu, aroma parafin berubah menjadi aroma lembut yang datang dari Zima. Hanya sekali. Perempuan itu berpikir bahwa ini adalah pertama dan terakhir kalinya dia berfantasi, dengan begitu dia tidak akan menjadi orang yang serakah dan menyinggung pihak lain.
Yuki tidak membenci Zima yang dikenalnya saat ini. Dia hanya berfantasi seandainya hal-hal tersebut dapat terjadi. Perempuan itu tidak bisa tertidur pada sisa malam tersebut.

Meskipun Yuki kurang tidur selama dua hari, tidak banyak penampilannya yang berubah. Perempuan itu mengenakan hakama dengan rapi dan menyiagakan katana di pinggangnya. Rambut hitam khas sepanjang pinggang itu dibiarkan tergerai. Mungkin karena pengaruh warna kulitnya, dia tidak mudah mendapatkan lingkaran hitam di bawah mata.
Rutinitas tiga kali sehari yang dilakukannya berjalan lagi. Sudah menjadi kebiasaan bagi Yuki membawakan makanan ke kamar Zima. Lebih tepatnya, dia hanya akan meninggalkannya di depan setelah mengingatkan pihak lain untuk tidak melewatkan makan. Namun, entah mengapa dua hari terakhir ini, Zima sama sekali tidak menyentuh makanannya.
“Zima, apa kamu ada di dalam?” Yuki mengetuk pintu perlahan, sebisa mungkin tidak begitu mengejutkan. “Apakah kamu baik-baik saja? Tidak sakit?”
Yuki cemas karena hal semacam ini belum pernah terjadi. Dia juga tidak bisa menebak apa yang pria itu lakukan. Zima terlalu tenang. Bahkan di malam yang sunyi, Yuki tidak bisa mendengar suara dari kamar Zima padahal berada tepat di depannya. Haruskah dia bersikap tidak sopan untuk sekali saja?
Mungkin karena itu Zima, pikiran tentangnya saja membuat Yuki terus berpikir untuk melakukan hal-hal di luar kebiasaan.
Perempuan itu menarik katana dari pinggangnya. Kedua tangan memegang erat gagang dan mengarahkan mata pedang bermata satu itu ke kunci untuk membobol pintu. Suara besi yang dihancurkan terdengar nyaring, tetapi Yuki tidak peduli. Dia hanya perlu melihat kondisi Zima sekarang juga.
Kertas-kertas berhamburan di mana-mana. Sebagian kertas lusuh itu tampak basah sehingga tinta yang ditorehkan luntur. Ada pula serpihan-serpihan kertas yang terbakar. Pria itu berusaha sangat keras demi sebuah puisi. Yuki ingin tahu, apakah puisinya sudah selesai sekarang?
Zima yang dipanggilnya dari tadi tertidur di meja. Posisinya tampak tidak nyaman bagi punggung. Tanpa pakaian luar, hanya dengan kaus lengan panjang dan celana panjang biasa, sosok Zima terlihat lebih kurus dari dugaan. Melihat wajah yang pucat dan lelah dengan kantung mata membuat Yuki mengurungkan niat untuk membangunkannya untuk makan.
“Bagaimana ini? Aku jadi tidak ingin pergi.” Yuki berbicara tanpa jawaban, berlutut di sisi Zima, memerhatikan wajah tidur pria itu yang menghadap ke bawah sehingga kedua wajah saling bertatapan. Perempuan itu merasa enggan meninggalkannya maupun membiarkan orang lain melihat wajahnya.
Segala hal tentang pria itu terlalu sesuai dengan preferensi Yuki sampai dia secara egois ingin mengeklaim Zima sebagai miliknya. Itu adalah cara berpikir yang terlalu mendominasi dan dibuat tanpa berpikir tentang pendapat pihak lain tentangnya. Sayangnya, sulit untuk melepaskan hasrat terpendamnya.
“... Yuki?”
Suara Zima terdengar di tengah lamunannya. Perempuan itu tersentak mendapati Zima telah membuka mata dan posisi mereka membuat ekspresi satu sama lain terlihat jelas. Yuki dapat melihat keterkejutan dan gugup di mata pihak lain dari jarak sedekat ini, tidak seperti saat mereka berbasa-basi sebelumnya.
“Ah, itu.” Yuki hampir saja kehilangan kemampuannya untuk berbicara. “Aku datang untuk memastikan keadaanmu. Syukurlah kamu baik-baik saja. Kalau begitu, aku pergi dulu!”
Yuki berbicara dengan tergesa-gesa dan hendak melarikan diri, tetapi gerakan itu tertahan. Tidak ada tenaga kuat di telapak tangan yang meraihnya. Itu hanya sentuhan biasa, tetapi perempuan itu sudah mabuk dengan kontak tersebut.
“... Ya, ada apa?”
“A-aku, me-nulis, um, puisi.” Zima terpatah-patah saat menutur maksudnya. “Dengar, dengarkan isinya. Banyak, ber-berpikir, men-, -nulis. Zima ... bersemangat.”
Pandangan perempuan itu beralih dari wajah Zima kepada burung putih yang malu-malu. Entah kenapa itu membuat pikirannya lebih jernih walaupun dia masih gugup. Yuki masih ingat bahwa Zima berkata akan menunjukkan puisi yang akan dikerjakannya. Dia sendiri juga menantikan hal tersebut.
“... Aku akan mendengarkanmu.”

Zima berpikir bahwa dia terpikat pada hangatnya sinar matahari yang menerpa bunga yang layu. Perasaannya kalut. Sekumpulan kata dalam pikirannya bukan kalimat yang tepat untuk menggambarkan sosok itu. Dia bukan sumber kehangatan yang mencolok seperti suar dikelilingi oleh ngengat, tetapi memiliki pesonanya sendiri.
Tidak peduli berapa banyak tinta yang coba dia torehkan atau lembaran kertas yang dia gunakan, pria itu tidak menemukan solusi. Aroma parafin berubah menjadi bau hangus dari kertas. Pikirannya melayang ke tempat yang tidak diketahui. Mungkin di bawah cahaya rembulan atau di tepi kolam tanpa riak. Zima mencari kata yang tepat untuk menggambarkan emosinya saat itu.
“Sulit.” Terkadang, sepatah kata dari bahasa ibunya keluar tanpa disadari.
Yuki telah menyatakan bahwa dia menantikan puisinya dan Zima sendiri tidak ingin mengecewakannya dengan menunjukkan puisi yang buruk. Pada akhirnya, dalam kegundahan tanpa akhir, Zima meletakkan pena bulu usangnya. Lagi-lagi, torehan tintanya juga merupakan kesalahan.

Zima telah memikirkan untuk waktu yang lama bagaimana cara menggambarkan perasaan yang dia miliki kepada Yuki. Puisinya kali ini dibuat untuk menyatakan betapa dia menyukai perempuan itu dalam segala hal.
Keberadaan Yuki seperti salju yang turun pada malam musim dingin. Keindahan yang tidak terlihat oleh banyak orang. Kemudian, orang seperti dirinya terpikat padanya. Dia merasa tidak layak, tetapi perasaannya berada di luar kendali tanpa bisa ditekan.
Pendar keindahan tanpa cacat bisa tidak terlihat
Sebagaimana salju turun dan menimbun
Iblis rendahan terpikat pada yang tak hangat
Dalam malam musim dingin di luar kabin
Bukan berpikir bagaimana, melainkan mengapa
Yuki tidak dapat mengerti perumpamaan yang digunakan dalam puisi itu, tetapi itu tidak menghalanginya untuk mengetahui bahwa segala frasa indah ditujukan pada dirinya. Perempuan itu merasa sedang terbuai dalam mimpi. Bahkan berpikir bahwa mungkin saja dirinya belum terbangun sejak pagi.
Namun, melihat reaksi diam Yuki, Zima menjadi kaku. Jari-jarinya yang memegang kertas mengeras hingga lembaran itu pun menjadi kusut. “T-tidak, berg-guna, um, maaf.”
Pria itu sedikit terhuyung saat berdiri, tergesa-gesa keluar untuk melarikan diri. Sayangnya, Yuki bereaksi lebih cepat. Dia melangkah dengan suara yang kasar dan mengulurkan tangannya, memeluk Zima dari belakang erat-erat agar dia tidak pergi. Jika Yuki tidak menahannya sekarang, mungkin dia akan melewatkan kesempatan terbaik.
“Dengarkan. Jangan pergi dulu.” Yuki tidak bisa melihat ekspresi apa yang dibuat oleh pria itu, tetapi dia tetap berbicara. “Sebenarnya, aku sangat menyukai Zima. Sungguh. Aku hanya tidak menyangka kalau kamu akan menulis untukku. Aku sangat bahagia, jadi jangan pergi.”
Merasa bahwa Zima tidak akan pergi sekalipun dia melepaskan pelukannya, Yuki akhirnya menarik tangan dari pinggang pria itu. Tentu saja Zima tidak melarikan diri, tetapi dia masih bergeming di tempatnya.
“Zima?”
Memikirkan lagi apa yang telah dia perbuat, Yuki merasa malu. Seluruh wajahnya terasa panas sehingga rona merah menyebar. Belum lagi atmosfer ruangan benar-benar canggung setelah semua yang terjadi. Bukan berarti Yuki menyesali hasil akhirnya, hanya saja itu proses yang memalukan baginya.
“Benarkah?”
“Apa?”
Zima membalikkan tubuhnya, mendapati seorang perempuan berambut hitam yang tampak malu. Setelah mendengar pernyataan langsung seperti itu, bagaimana mungkin dia tidak tergoda? Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Yuki. Tekstur yang halus dan lembut menggelitik hati nuraninya.
Keduanya telah didorong oleh hasrat yang terpendam dalam lubuk hati, secara alami saling mendekat hingga bibir mereka bersentuhan. Ciuman pertama itu murni tanpa nafsu apa pun, tetapi menyalakan bara api untuk langkah berikutnya.
1 note · View note
chlomission · 2 years ago
Text
Be Happier Than Me
Aku berharap dengan sungguh-sungguh bahwa kamu akan menjadi lebih bahagia daripada aku.
An Original Fiction
tags: disability
Sudah empat tahun sejak hari itu terjadi.
Kamu adalah cahaya yang mampu bersinar terang walaupun berada di tengah kegelapan. Mengapa kamu selalu lebih peduli padaku setiap saat? Sebenarnya kamu sangat putus asa dan kamu tidak ingin membuatku cemas. Itu lebih menyakitkan bagiku daripada jika kamu melemparkan tantrum kepadaku. Mengapa kamu tidak bersikap lebih baik pada dirimu sendiri?
Maaf. Aku tidak ingin membuatmu peduli dengan kecemasanku. Aku ingin berbalik menjadi orang yang peduli padamu. Seharusnya kamu bisa hidup dengan tenang tanpa memikirkan segala kekhawatiran seperti itu. Kamu adalah orang yang pantas menjadi lebih bahagia. Aku berharap dengan sungguh-sungguh bahwa kamu akan menjadi lebih bahagia daripada aku.
Di bawah langit kemerahan, rumah besar tanpa cahaya menjadi lebih mencolok dibanding lingkungan sekitarnya. Pagar berkarat yang sudah lama tidak diganti mengeluarkan derit yang aneh saat dibuka. Meski begitu, gadis itu tetap melangkah masuk dengan membawa kotak merah muda berlabel sebuah toko makanan penutup populer. Kecuali beberapa orang, tidak ada yang tahu bahwa rumah besar tersebut masih menjadi tempat tinggal seseorang, bukan hanya rumah kosong bernuansa angker seperti yang disebutkan dari mulut ke mulut.
Shee tahu bahwa tidak ada yang akan keluar dan membukakan pintu untuknya, tetapi dia tetap membunyikan bel dua kali sebagai isyarat masuk. Gadis itu membuka pintu yang tidak terkunci. Untuk sesaat dia bersyukur tempat ini tampak angker yang dikunjungi saat uji nyali karena jika penjagaan sangat longgar, hal-hal buruk mungkin saja akan terjadi. Shee juga tidak akan masuk ke tempat seperti ini jika saja dia tidak mengenal si pemilik rumah.
“Ain, di mana kamu?” Suara Shee terdengar begitu jelas, memantul sehingga menciptakan gema. Shee memanggil lagi. “Ain?”
Bagian dalam rumah gelap gulita tanpa setitik sumber cahaya. Untungnya gadis itu sudah sering berkunjung dan mengenal seluruh sudut interior dengan baik. Nuansa horor pun berkurang setengahnya ketika lampu dinyalakan tanpa hambatan. Shee mengerjap-ngerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan lampu yang sangat terang. Kotak merah muda diletakkan di meja, kemudian gadis itu mempercepat langkahnya, setengah berlari saat lampu lorong dinyalakan dan jalannya menjadi jelas.
Shee menaiki tangga melingkar yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai di atasnya. Gurat kasar dari pisau merusak sisi tangga dalam jarak konstan sepanjang pagar tangga, segaris dengan setiap anak tangga. Itu dibuat berdasarkan kesengajaan di masa lalu, jadi tidak tampak baru baginya. Gadis itu sangat yakin bahwa orang yang dicari berada di atas.
Lantai kedua hanyalah aula besar dengan pencahayaan sangat bagus. Ada cukup banyak kaca dan sirkulasi udara juga sempurna. Shee juga tahu bahwa terdapat beberapa kandelir sebagai sumber cahaya selain sinar matahari. Sayangnya lantai dua yang dia kunjungi sama gelapnya dengan lantai pertama. Jelas sekali pihak lain tidak ingin repot-repot menyalakan lampu saat sedang sendirian.
“Shee? Apa itu kamu?”
Di tengah kegelapan itu, ada suara yang memanggil nama Shee. Kakinya berpijak pada anak tangga terakhir. Gadis itu berjalan dengan hati-hati ke sisi dinding untuk mencari-cari sesuatu di tengah kegelapan. “Ain, aku akan menyalakan lampu, oke?”
Kandelir menyala dan seluruh lantai dua menjadi terang benderang. Tempat itu adalah sebuha studio yang lebih mirip galeri seni yang dipenuhi kanvas berbagai ukuran baik yang dipajang dengan bingkai di dinding maupun diletakkan di atas penyangga kayu. Studio yang dibangun khusus untuk seniman muda yang menghabiskan waktu luangnya untuk melukis Di tengah-tengah semua lukisan itu ada satu kanvas besar dengan lukisan yang belum selesai dan seorang pemuda bersurai cokelat berdiri di depannya, memunggungi gadis itu.
Ketika melihat sosok pemuda itu, Shee merasakan jantungnya berdenyut seolah ditusuk sesuatu. Dia bergegas mengambil lengan pemuda itu dan membawanya dalam pelukan. Shee berkata, “Aku tidak bisa menemukanmu di lantai pertama dan ternyata berada di sini sendirian. Sudah beberapa bulan sejak terakhir kali aku datang, bagaimana keadaanmu?” Gadis itu menekan kegelisahan dalam nada suaranya begitu kuat. Nadanya sangat alami seolah-olah dia hanya berbicara, tetapi matanya terus berputar dengan cara yang gelisah.
“Aku baik-baik saja,” jawab pemuda itu. Tangannya terulur untuk mengusap rambut gadis itu sehingga Shee bisa lebih nyaman. Pertanyaan berikutnya diwarnai rasa penasaraan pemuda itu. “Bukankah kamu seharusnya datang beberapa hari lagi? Atau aku melewatkan sesuatu?”
“Aku sudah bersiap-siap lebih awal, makanya aku langsung berangkat begitu kuliah berakhir. Tentu saja karena aku ingin bertemu lebih cepat. Sudah berbulan-bulan sejak kita bertemu terakhir kali. Apa kamu tidak merindukanku?” tanyanya dengan cara agak genit.
Pandangan yang diarahkan tepat pada Shee tampak gelap dan hampa. Jawaban pemuda itu datang agak terlambat. “Aku juga merindukanmu.”
Hati nurani Shee berkonflik, tetapi dia tidak bisa menunjukkannya pada pemuda itu. Gadis itu mengalihkan topik dan tersenyum lebar. “Karena ada banyak hal yang mengganggu selama Ain tidak ada, sekarang suasana hatiku sangat buruk. Ayo kita turun dan menikmati kue. Jumlahnya banyak karena aku ingin menghabiskan semua uang di dompetku. Aku juga sampai membeli semua jeni- ...”
Shee adalah mahasiswa yang menempuh pendidikan di luar negeri, jadi dia tidak bisa berada di sisi pemuda yang paling disukainya. Jelas setelah sekian lama tidak bertemu dan dengan situasi di antara mereka, Shee akan menempel pada pemuda itu dan bertingkah manja. Dia akan cepat merasa gelisah ketika sesuatu tidak dirasa benar.
Sudut penglihatan Shee menangkap kuas di dekat kaki pemuda itu. Shee tertegun, bertanya pada satu-satunya orang yang berada di lantai dua sebelum dia datang. “Bukankah semua peralatan melukis sudah disimpan?”
“Aku hanya sedang melihat peralatan lukis lagi setelah sekian lama. Tadi sempat terjatuh karena aku ceroboh.” Rambut cokelat muda menutupi wajah pemuda yang tertunduk itu. “Sepertinya masih ada yang belum dibersihkan, ya?”
“Tidak apa-apa. Aku yang akan menyimpannya.” Karena dia harus membungkuk dan pergi ke tempat penyimpanan melukis di sudut ruangan, Shee harus melepaskan tangan pemuda itu. Dia sedikit enggan, tetapi membereskan itu adalah hal yang harus dilakukan olehnya. “Semuanya akan dilakukan dengan cepat.”
Gadis itu pun membungkuk, mengambil kuas besar yang tergeletak di lantai. Napasnya tertahan begitu melihat beberapa dua kuas dengan ukuran berbeda lainnya di bawah salah satu penyangga lukisan. Shee melirik lukisan di kanvas besar. Tampaknya dia bisa mengerti mengapa pemuda itu berada di sini dan apa yang ingin dia lakukan. Akan tetapi, Shee sama sekali tidak mengungkitnya.
Shee berlari ke sudut, menyimpan peralatan lukis yang berjatuhan, lalu kembali mengambil lengan pemuda itu dalam pelukan untuk membawanya pergi. Setelah mematikan lampu, keduanya turun bersisian. Sementara salah satu lengan pemuda itu dikunci Shee, tangan yang lain berpegangan pada pagar tangga. Perut tangannya menyapu setiap bekas goresan pisau yang merusak bentuk ukiran halus pada tangga tersebut sehingga guratan itu terasa sangat jelas di permukaan tangan.
Mereka berdua terjebak dalam keheningan sampai kembali ke ruang depan. Shee sibuk membongkar isi kotak merah muda yang dia tinggalkan sebelumnya. Aroma yang kuat dari beberapa jenis kue tercium. Gadis itu bersenandung ketika mengambil jarak dari pemuda itu demi menata meja agar terlihat cantik. Meskipun tindakan kecil semacam itu bukan sesuatu yang akan dipedulikan oleh orang itu.
Ketika Shee hendak menjauh lagi, kali ini pemuda itu menangkap bahunya. “Kamu belum mengatakannya padaku,” ucapnya tiba-tiba.
“Apa maksudmu, Ain? Mengatakan apa?” Pertanyaan itu terdengar sangat polos. Padahal bahu gadis itu seketika menegang. Senyumnya hampir pudar karena kecemasan berlebihan, tetapi dia lagi-lagi menekannya. Pandangan mata yang gelap dan kosong dari pihak lain membuatnya panik.
“Kamu belum mengatakan apa pun tentang apa yang membuat suasana hatimu buruk.” Pemuda itu menatapnya untuk beberapa saat sebelum melepaskan bahu gadis itu. Dia terseyum lembut. “Hal-hal yang mengganggumu selama kamu tidak berada di sini.”
Shee yang telah menahan napas selama menunggu pemuda itu selesai berbicara menghela napas lega. Kedua tangannya terkepal erat. Khawatir pemuda itu akan memiliki firasat buruk terhadapnya dia buru-buru berbicara. “Aku-aku-aku, aku berniat menceritakannya di tengah makan, oke? Bukan maksudku menyembunyikan apa pun. Sungguh!”
“Tidak masalah jika ada beberapa rahasia. Bukan kewajibanmu untuk berbicara tentang segalanya.” Pemuda itu terkekeh, mengusap rambut Shee dengan canggung. “Kenapa kamu secemas itu?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Maaf. Aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir dengan masalahku sendiri.”
Ain yang dikenal oleh Shee selama sepuluh tahun terakhir adalah pemuda yang lembut dan selalu bersikap baik padanya. Terkadang dia menjadi canggung, tetapi gadis itu dapat melihat ketulusannya. Lebih daripada itu, Ain adalah orang yang terlalu peka. Karena hal-hal yang telah dialami Ain selama ini, Shee tidak ingin terlihat berantakan di depan pemuda itu dan menekan semua kecemasannya sendirian. Meskipun itu tidak berarti dia berhasil karena Ain selalu mengetahui kapan dia menyembunyikan kegelisahan batinnya.
“Apa yang harus disesali?” Kebaikan pemuda itu membuat Shee makin tidak nyaman. Dia meminjamkan bahunya pada gadis itu untuk bersandar. “Jangan terlalu cemas akan apa pun. Aku bisa mendengarkanmu kapan saja.”
Justru itulah yang membuat Shee merasa kalau dia telah bersikap jahat pada Ain. Masalah yang dia alami tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang telah Ain alami selama ini. Shee tidak ingin begitu tidak tahu malu bergantung secara emosional. Apalagi setelah segala yang dia lihat di lantai kedua. Jelas-jelas Ain mengalami kesulitan, tetapi dia masih bersikap baik padanya.
“Kamu seharusnya tidak sebaik ini padaku,” keluh Shee. Dia menenggelamkan wajahnya ke bahu pemuda itu. “Kalau kamu sebaik ini, aku akan menjadi lebih egois. Bukankah kamu juga mengalami kesulitan?
Ain menjawab tanpa banyak berpikir. “Tidak ada masalah. Aku lebih suka mendengarkan Shee dibandingkan peduli dengan itu. Masalahku sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu dan tidak ada yang bisa mengubah masa lalu. Jika aku mendengarkan apa pun dari Shee, aku bisa melupakan keluhanku sendiri dan kamu juga akan merasa lega karena sudah bercerita, bukan?”
“Itu ....” Shee bungkam dan tidak meneruskan ucapannya. Gadis itu segera menenangkan diri sendiri dan meraih satu potong kue. “Nah, buka mulutmu.”
Rasa pahit dari kopi yang kuat berpadu dengan tekstur lembut dari sebuah kue tar. Ain tidak terlalu suka rasa manis, jadi Shee selalu memberikan makanan penutup yang tidak memiliki rasa manis padanya. Setelah potongan kue kue di piring Ain habis, gadis itu pun dengan senang hati meletakkan kue sus dengan isian vla lemon. Dia kembali bersandar pada bahu Ain sambil mengunyah kue krimnya.
“Ain ....” panggil gadis itu dengan suara pelan. Dalam benaknya, terlintas gambar di mana pemuda itu berdiri di depan lukisan yang belum selesai di depan kanvas besar. “Bagaimana kamu akan melanjutkan lukisan itu?”
Pemuda itu menjawab setelah dua detik keheningan. “Itu tidak bisa dilanjutkan.”
“Jika kamu berpikir itu tidak bisa dilakukan, seharusnya kamu tidak memegang kuas lagi. Tapi hari ini kamu masih memegang kuas.” Suaranya dipenuhi kepahitan. Pada akhirnya, gadis itu berterus terang akan kegelisahannya yang muncul sejak dia memasuki rumah ini. “Jika kamu tidak secara putus asa memikirkan cara untuk menyelesaikan lukisanmu, pasti kamu tidak akan berada di studiomu.”
Bola mata cokelat muda itu tampak gelap. Pandangannya kosong dan tidak memiliki fokus. Shee selalu panik setiap kali mengingat kecelakaan yang menimpa Ain hingga dia kehilangan penglihatan yang berharga untuk seorang pelukis. Pemandangan di mana pemuda itu berdiri di studio pun memberinya rasa takut. Maka dari itu, apa pun masalah yang Shee miliki, dia menjadi enggan untuk bercerita daripada saat hari-hari sebelum kecelakaan terjadi.
“... Ain?” Shee memanggilnya pelan saat waktu berlalu tanpa suara pemuda itu. Jantungnya berdetak cepat hingga dia mengira bisa saja melonjak dari dadanya. “Maaf. Aku tidak, tidak bermaksud .....”
“Tidak apa-apa.” Tidak yakin ke mana tangannya harus diletakkan, tangan yang mengusap kepala gadis itu menjadi canggung sebelum menentukan di mana dia harus mengurai helaian rambut gadis itu. Ain berkata, “Aku hanya tidak tahu apa yang bisa kulakukan sendiri sekarang. Sebelum itu, aku hanya menghabiskan waktu di studio.”
Rasa manis dari krim sudah menghilang dari bibir Shee. Sekarang yang tersisa hanyalah rasa pahit tidak peduli sebanyak apa pun gula yang dia makan. Pemuda di hadapannya terlalu lembut dan baik hati padanya. Shee sudah bersamanya selama bertahun-tahun. Sama seperti bagaimana Ain mengenalnya dengan sangat baik, Shee juga mengenal pemuda itu dengan sangat baik.
Saat ini, Ain sangat putus asa. Shee berharap bahwa daripada Ain melupakan keluhan dengan mendengarkan kecemasan Shee, dia lebih berharap Ain bisa keluar dari beban pikirannya. Ain yang baik hati dan lembut seharusnya bisa menjalani hidupnya dengan lebih bahagia, menjadi hidup lebih bahagia daripada dia yang memiliki kecemasan sepele dari waktu ke waktu. Itulah hal yang selalu dia pikirkan selama ini ketika mereka menghabiskan waktu bersama.
“Ain, buka mulutmu lagi.” Supaya gadis itu tidak membebani pemuda itu lagi, dia menekan semua kegelisahannya dan tersenyum lebar. “Bagaimana? Apa rasanya aneh?”
Ain merespon setelah selesai mengunyah apa yang diberikan. “Sedikit aneh, tetapi tidak buruk."
Apa yang dia ambil adalah piring kue teh hijau. Aroma dan rasa kuat dari teh hijau sedikit aneh saat pertama kali dimakan. Responnya membuat Shee tertawa. Detak jantung yang tidak baik-baik saja sedikit demi sedikit mereda, membuat dia merasa lega. Harus seperti itu, karena mereka berdua harus melewati hari yang menyenangkan dengan senyum dan tawa.
Tersenyum dan tertawa dengan cara yang wajar. Berbicara tentang banyak hal tanpa perlu mengeluh. Jangan biarkan hari-hari suram datang. Shee selalu menjaga dirinya seperti itu selama empat tahun terakhir. Terkadang dia akan lengah dan membiarkan orang lain tahu, tetapi perlahan-lahan semuanya bisa berubah. Tujuan Shee tidak akan pernah berubah. Ain harus lebih bahagia dari dirinya sendiri.
0 notes
chlomission · 2 years ago
Text
A Silly Liking
Hubungan di antara mereka berdua selalu berjalan ambigu. Ada garis tipis yang memisahkan hubungan lebih dalam lagi, tetapi baru kali ini garis tersebut benar-benar diinjak.
commissioned by Nat
“Selamat pagi, teman-teman!” Pemandu wanita berdiri di depan bus yang bergerak ke tujuan. Pengeras suara membuat suaranya terdengar hingga ke bagian belakang bus. “Terima kasih karena telah berpartisipasi dalam perkemahan musim panas kami! Tema perkemahan musim panas kali ini adalah ... survival game!”
Pemandu wanita itu menyeringai sebelum melanjutkan perkataannya yang makin mengejutkan para remaja di bus. “Perkemahan musim panas kami selalu menyajikan kegiatan-kegiatan menantang yang tidak pernah ditemui di perkemahan lainnya. Omong-omong, agenda kegiatan yang ada itu palsu. Hahaha! Tentu kalian terkejut, bukan?”
Perkemahan musim panas itu benar-benar penipuan. Brosurnya mengatakan bahwa mereka hanya akan melakukan perkemahan di hutan lindung seperti pramuka pemula, tetapi apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Siapa yang akan mengira kalau ini akan menjadi semacam permainan bertahan hidup di alam terbuka?
Penyelenggara acara penipuan ini yang seharusnya disalahkan. Scarlett menggerutu saat mendengar aturan main dari permainan bertahan hidup. Dua puluh peserta dipisahkan ke sekitar hutan lindung. Masing-masing peserta akan diberikan jam tangan untuk memantau lokasi dan kondisi kesehatan mereka dan sejumlah drone juga bergerak memantau langsung pergerakan peserta. Apabila peserta ingin menyerah, mereka harus membunyikan alarm di jam tangan dan panitia akan menuju lokasi peserta untuk membawanya keluar.
Masalah utamanya adalah bagaimana permainan itu berjalan. Tidak ada makanan dan minuman, bahkan peralatan kemah. Mereka harus menemukan tenda dan makanan yang tersebar di penjuru hutan. Lebih menyesakkannya lagi adalah fakta bahwa tidak ada peta dan petunjuk. Artinya jelas bahwa permainan bertahan hidup ini bergantung pada keberuntungan dan bisa diperkirakan seberapa mustahilnya menjadi penyintas di antara penyintas.
Intinya, setelah melalui berbagai macam hal dengan berbagai macam cara selama satu minggu, Scarlett akhirnya menyelesaikan permainan bertahan hidup tersebut. Lalu, saat ini mereka sedang berada dalam bus untuk perjalanan pulang.
Gadis itu bersadar pada kursinya, mengembuskan napas lega dan mengeluh. “Mulai sekarang aku tidak akan pernah mengikuti perkemahan musim panas lagi.”
Sebenarnya, meskipun Scarlett tidak terlalu buruk dalam olahraga, bukan berarti dia menyukainya. Gadis itu lebih suka mengurung diri di kamar dan bermalas-malasan. Paling banyak dia akan melakukan senam ringan untuk mengendurkan otot. Jika bukan karena teman yang mengajaknya adalah Marvin, dia tidak akan mengikuti kegiatan yang melibatkan banyak kerja fisik seperti perkemahan musim panas.
Kursi di sebelahnya kosong. Itu dimaksudkan sebagai tempat duduk Marvin, tetapi lelaki itu belum naik juga. Scarlett menggerutu pelan dan mengalihkan pandangannya pada jendela. Hutan lindung itu sebenarnya tempat yang bagus kalau bukan karena penyelenggara yang menjebak para pesertanya. Dia menjadi kesal lagi.
“Kamu masih marah?” Sebuah suara lembut seorang laki-laki berada dekat dengan Scarlett. Lelaki itu mengambil tempat duduk di sebelahnya dan memberikannya minuman dingin. “Maafkan aku. Kalau saja aku lebih teliti, aku tidak akan mengajakmu dan membuat kamu terlibat.”
Scarlett membenci perkemahan musim panas tersebut, lebih tepatnya gadis itu tidak senang dengan agenda kejutan permainan bertahan hidup dari penyelenggara. Namun, Marvin adalah orang yang mengajaknya untuk ikut serta, jadi dia juga merasa bersalah dan merasa bahwa Scarlett juga marah padanya.
Botol minuman dingin di tangan gadis itu mudah dibuka seolah sudah dibuka sejak awal. Scarlett tersenyum. “Sudahlah. Lagi pula ini bukan salahmu juga. Kalau kamu minta maaf lagi, aku akan pulang sendiri.”
Marvin tentu saja akan menolak. Dia akhirnya tidak mengatakan maaf lagi, tetapi masih menawarkan beberapa camilan ringan untuk diambil. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke kaca bus, memerhatikan ekspresi dari lelaki di sebelahnya melalui bayangan samar kaca. Hal itu cukup untuk menyingkirkan pikiran buruk sebelumnya.
Bus bergerak meninggalkan lingkungan perkemahan musim panas. Penyelenggara memberikan banyak kemewahan setelah permainan terakhir di hari terakhir supaya sepadan dengan penderitaan seminggu. Ada banyak hadiah bonus juga untuk dibawa dan akomodasi perjalanan pun nyaman. Scarlett tertidur di kursinya sampai tiba di tujuan.
—o0o—
Dalam acara permainan bertahan hidup di perkemahan musim panas, titik awal bagi setiap peserta berbeda-beda. Marvin tentu saja dipisahkan dari Scarlett. Namun, mungkin karena dia adalah orang yang cukup beruntung, akhirnya dia bisa bertemu di hari kedua.
Marvin menyadari bahwa gadis itu tidak menyukai situasi saat ini dan itu berubah menjadi rasa bersalah untuknya karena telah mengajak Scarlett. Wajar saja apabila lelaki itu terus mengatakan jika dia lebih teliti lagi, dia tidak akan mengajak Scarlett ikut serta.
“Kalau begitu katakan padaku. Apa niatmu mengajakku pada awalnya?” Scarlett adalah orang yang terlalu berterus-terang. Dia menanyai Marvin dengan kesal. “Kalau ajakanmu adalah ajakan biasa, tidak perlu merasa bersalah sampai seperti itu, kan?”
Lelaki itu merasa konyol karena saat itu dia langsung percaya diri mengatakan, “Tentu saja untuk menembakmu.” Tidak tahua apa yang merasukinya. Marvin yang biasanya bungkam tentang perasaannya sendiri justru membalas dengan cara sok. Pada akhirnya, dia sendiri yang malu atas tindakan gegabah itu.
Permainan bertahan hidup dengan berpetualang di hutan itu berlanjut. Namun, dia sama sekali tidak mendapatkan jawaban dari Scarlett. Marvin bertanya-tanya apakah karena kata-katanya tidak terdengar seperti pernyataan dan terlalu impulsif sehingga tidak bisa dihitung atau karena alasan lain. Apa pun yang terjadi, dia malu dengan tindakannya hingga ingin memutar waktu kembali.
Pemandu wanita yang sama berada di depan bus, mengucapkan terima kasih banyak atas partisipasi mereka. Ketika Marvin dan Scarlett sudah tiba di tujuan mereka, pemandu itu juga mengatakan hal yang sama. “Hati-hati di jalan. Kami harap kalian tidak menyesal dan bersedia mengikuti perkemahan musim panas lagi tahun depan!”
“Pokoknya aku pasti tidak akan ikut lagi.” Scarlett mengerang tidak puas saat bus sudah meninggalkan mereka. Gadis itu melirik dua kali pada lelaki di sebelahnya. “Hei ....”
“... Ada apa?” Marvin menjawab panggilan pelan tersebut.
“Ayo kita pergi ke tempat lain sebelum pulang.”
Sebelum Marvin menjawab, Scarlett sudah berjalan duluan. Lelaki itu mempercepat beberapa langkah untuk menyesuaikan. Bukan hanya sekali dua kali mereka menghabiskan waktu berdua saja, belajar bersama ataupun menghabiskan akhir pekan berdua saja sudah terjadi beberapa kali. Lagi pula tidak ada larangan konyol untuk berteman dengan lawan jenis. Akan tetapi, itu hanyalah pembenaran dalam pendekatan canggung.
Lelaki itu merasa ragu sebelum dia dapat memanggil nama perempuan itu. Pipinya terasa panas karena malu mengungkit kembali. “Scarlett. Apa kamu masih ingat kata-kataku pada hari kedua?”
“Yang mana?” Gadis yang ditanyai justru heran dan bertanya balik.
“Aku mengajakmu ke perkemahan musim panas karena ingin menembakmu,” ulangnya. Setelah mengatakan hal yang sama sebelumnya secara impulsif, dia tidak terlalu merasa malu. Meskipun masih ada perasaan bahwa perkataannya benar-benar memalukan. “Apa perkataanku saat itu belum dihitung? Sepertinya aku harus mengulang—”
“Behenti! Jangan dikatakan lagi!” Scarlett menyela dengan paksa. “Itu memalukan, tahu. Jangan mengatakan hal yang membuat canggung di tengah jalan.”
“... Kamu menolakku?”
“Itu ... itu .... Yah, kita sudah sering berdua. Menurutku tidak buruk.” Kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Scarlett tidak bisa menjelaskan dengan benar. Wajahnya bahkan memerah, tidak seperti Scarlett yang biasanya. “Aku bukannya suka, tapi... itu ....”
Hubungan di antara mereka berdua selalu berjalan ambigu. Ada garis tipis yang memisahkan hubungan lebih dalam lagi, tetapi baru kali ini garis tersebut benar-benar diinjak. Marvin tidak terlalu percaya diri untuk bertindak lebih dulu dan canggung. Scarlett juga bertindak tidak konsisten antara menerima atau menolak pendekatan pihak lain.
Sekarang, semuanya sudah diludahkan. Hal-hal ceroboh membuatnya menjadi kacau. Apabila saat ini Scarlett benar-benar menolak pernyataan walaupun bukan itu maksudnya, berteman kembali saja akan menjadi mustahil. Marvin dapat melihat dengan jelas bahwa Scarlett tidak akan mengeluarkan kata-kata persetujuan dengan lugas seperti gayanya. Saat ini perasaannya agak murung dan kecewa.
“Ah, sungguh!” Scarlett berdecak. Dia menarik tangan Marvin dan berjalan tanpa melihat ke belakang. Lebih tepatnya, dia tidak berani melakukan kontak mata langsung. “Lupakan perkemahan musim panas. Ayo kita melakukan kencan yang benar sekarang.”
“Eh?!”
0 notes
chlomission · 2 years ago
Text
Trumpery
Pertemuan mereka bukanlah takdir ataupun cinta pada pandangan pertama. Hanya sebuah kebetulan dan omong kosong seperti isi pembicaraan mereka.
Ada kesenjangan sosial yang sangat besar di antara rakyat miskin, rakyat biasa, serta bangsawan. Setiap celahnya sangat besar hingga menimbulkan masalah-masalah lain. Mereka yang tidak mampu menghidupi dirinya sendiri harus mencuri, merampok, dan melakukan kejahatan lainnya untuk dapat bertahan hidup. Setiap harinya terjadi banyak laporan tindak kejahatan. Pencurian atau perampokan justru menjadi hal yang wajar.
Kerajaan Albion bukanlah negeri yang aman.
Anak-anak jalanan dapat terlihat di sepanjang gang ibukota. Panti asuhan pun tak mampu menampung mereka, bahkan menyuruh mereka untuk hidup mandiri setelah memasuki usia dewasa dengan modal yang tidak memadai. Ibukota yang paling dekat dengan istana justru merupakan tempat terburuk.
Gadis berambut pendek mengutuk dengan suara samar hingga tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Entah ada berapa banyak sumpah serapah yang telah dilontarkannya. Ia berdecak dan menghela napasnya kasar, amarahnya terasa sia-sia. Meskipun begitu, ekspresinya yang tidak senang itu tidak sepenuhnya hilang,
Maka, gadis itu menguatkan genggaman pada tumpukan kertas-kertas di hadapannya dan membantingnya dengan segenap emosi. “Bisa-bisanya mereka menaikkan harga kebutuhan pokok musim ini lagi! Mereka gila, hah?!” Dia berteriak frustrasi dengan interjeksi yang tidak umum seperti orang yang telah kerasukan sesuatu.
Jika terdengar oleh bangsawan, ucapannya sudah termasuk sebagai penghinaan terhadap bangsawan dan pantas untuk dihukum gantung. Namun, gadis itu sama sekali tidak berniat menjaga mulutnya. Ia mengelola sebuah bar yang kurang terkenal dan hampir tidak ada pengunjung di sini hingga gadis itu bisa berteriak sesuka hati seperti itu. Bar itu akan ditutup sekitar tiga hari lagi karena sudah tidak harapan. Tidak mungkin ada bangsawan yang berkunjung ke sini.
“.... Permisi?”
Sebuah suara membuat gadis yang berteriak dengan segenap jiwa dan raganya itu menjadi kaku.
“Apa aku mengejutkanmu, Nona?”
Sosok yang datang secara tiba-tiba ke bar sepi dan mengejutkannya itu adalah seorang pria muda. Ia yang mengenakan jubah membuka tudungnya, memperlihatkan wajah lembut khas dari kalangan atas. Sekali lihat saja, si gadis sudah tahu dengan jelas bahwa dia merupakan seorang bangsawan.
Gadis itu terkekeh. Ia mengubah posisi tubuhnya dan bersandar pada meja panjang yang membatasi ruang pengunjung dan tender bar. “Seharusnya tidak perlu memanggil saya nona, Tuan. Itu sebutan yang agak menggelikan. Apa yang ingin Anda minum?”
“Bar ini benar-benar masih buka?” tanya pria muda itu sambil melihat keseluruhan bar kecil yang kosong tersebut. Kemudian ia berakhir mengamati isi rak alkohol di belakang si gadis. Bukan pada jenis alkohol, tapi sesuatu yang hilang di sana. “Di mana tendernya?”
Gadis itu menutup mulutnya, tertawa terpingkal-pingkal. “Astaga! Maafkan saya, tapi sayalah pemilik sekaligus tender barnya!” Ia tidak tersinggung, malah merasa wajar dengan perkataan pria muda itu. Jari telunjuknya pun mengetuk-ngetuk meja bar. “Apa Anda tidak keberatan jika saya melompati mejanya dibandingkan lewat pintu di samping?”
“... Ya. Tidak apa-apa.” Pria muda itu tercengang hingga tidak bisa berkomentar. Di sisi lain dia juga merasa bersalah karena menyinggung gadis itu. “Oh. Aku belum menjawab pertanyaanmu. Aku ingin minuman yang cukup keras untuk mabuk dalam waktu singkat.”
Gadis yang memiliki kesan sangat impresif. Ia juga sampai terkejut dengan cara gadis itu melompati meja tanpa menginjakkan sepatunya pada meja maupun kursi di sana. Aneh, tetapi juga mengesankan di saat yang bersamaan. Gadis itu pun juga tidak menunjukkan sedikit pun tanda bahwa ia tersinggung dengan perkataannya, seolah-olah sudah terbiasa dengan itu.
“Itu permintaan yang cukup aneh, tapi baiklah.” Tangannya mengambil gelas, juga salah satu wiski dari rak. “Meskipun begitu, Anda tidak terlihat orang yang punya toleransi alkohol tinggi.”
“Aku punya toleransi yang agak tinggi, lho. Akhir-akhir ini pekerjaan pemerintah menumpuk, jadi aku merasa cukup tertekan.” Pria itu menaruh kepalanya ke meja dengan tangan sebagai bantalnya. “Aku sedang jalan-jalan di dekat sini untuk observasi dan anehnya ada bar di tempat seperti ini.”
Gadis itu tertawa, menaruh alkohol terakhir dalam campuran minumannya dalam rak. “Bar ini memang seperti lelucon. Karena itulah tidak ada orang yang datang ke sini. Pelanggan setiap bulannya pun bisa dihitung jari. Meski tidak perlu pelayan, tetap saja saya bangkrut.”
“Sayang sekali ....” Pria muda itu telah mendapatkan minuman alkohol tepat di depan wajahnya, tetapi dia tetap tidak mengangkat kepalanya. “Oh, iya. Saat aku masuk, kenapa kamu berteriak aneh?”
Hanya tawa lagi yang bisa pria muda itu dapatkan sebagai respon awal gadis itu. “Itu karena aku benar-benar sangat kesal karena harga kebutuhan pokok melonjak terlalu tinggi. Tempat ini juga tidak punya harapan, jadi aku harus menutupnya.”
“Situasi pemerintahan juga tidak begitu baik. Atasan ingin kami mengatasi semuaya, tapi sangat sulit untuk menyelesaikan banyak masalah di saat yang bersamaan.” Pria itu mulai meregangkan tubuhnya. Ia pun menyesap alkoholnya pelan-pelan. “Karena itu aku ingin mabuk di tempat yang tidak terlihat.”
Si gadis mendengarkannya sambil membuat gelas alkohol yang lain. Kelihatannya tidak memiliki kadar alkohol yang tinggi karena lebih didominasi oleh perasan jeruk. Ia membuat itu untuk dirinya sendiri.
“Kalau aku boleh mengatakannya, kerajaan ini sudah tidak ada harapan. Mana mungkin kami bisa menyelesaikan banyak masalah sekaligus?” keluh pria itu. “Membuat berbagai tindakan pencegahan pun hampir tidak ada gunanya. Rasanya aku ingin keluar dari pekerjaanku dan pindah saja.”
Seringai gadis itu terlihat seolah ia merendahkan keputusannya. “Saya memang tidak tahu tentang pemerintahan, sih. Tapi pada dasarnya, sudut pandang penyelesaian masalah itu sama, bukan?” Ia meletakkan gelas alkohol yang telah jadi di samping pria itu. Sekali lagi dia melompati meja untuk duduk di sebelah satu-satunya pengunjung bar hari ini. “Seperti bar ini yang tidak punya harapan, tetapi bukan berarti tidak ada cara untuk menyelesaikan masalahnya.”
“... Oh?”
Melihat pria bersurai pirang yang menatapnya dengan bingung, gadis itu terkekeh. “Bar ini punya banyak masalah. Harga barang yang melonjak tinggi, tempat yang tidak pernah dikunjungi, serta kerugian yang besar. Lantas, bagaimana saya harus menyelesaikannya?” Meskipun gadis itu bertanya, itu adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. “Masalah utama dari semua masalah itu adalah lokasi. Jika lokasi bar ini dipindahkan, maka setidaknya hal-hal yang saya sebutkan hanya menjadi masalah, bukan masalah besar.”
“Jadi maksudmu, aku harus melihat masalah utamanya dulu baru menyelesaikan masalah yang lain?” tanya pria itu memastikan. Wajahnya terlihat memerah karena mulai mabuk, tetapi dia masih dapat berpikir jernih.
“Benar!” Gadis itu pun meminum seluruh isi gelas alkoholnya dengan satu tegukan dan meletakkannya kembali dengan keras seolah sedang meminum bir dengan gelas kayu. Namun, minuman itu bukanlah bir sama sekali. “Tapi karena saya tidak pernah berhubungan dengan pemerintahan, mana mungkin saya tahu masalah kalian.”
Kenapa kasus kejahatan terjadi? Itu karena pelakunya miskin. Kenapa kemiskinan terjadi? Itu karena mereka tidak mendapatkan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kenapa gaji mereka tidak cukup? Karena atasan tidak bisa membayar mereka lebih tinggi dari hitungan gaji biasanya.
Seharusnya hitungan gaji pekerjaan seperti buruh saja sudah cukup untuk menjalani hidup walau secara pas-pasan. Namun, harga barang melonjak naik selama beberapa tahun terakhir sementara gaji mereka juga tidak ditingkatkan. Maka, apa yang membuat harga barang melonjak naik secara tidak wajar?
Pria itu tersenyum cerah. Ia sudah tahu jawabannya.
“Apa Anda akan pergi?” tanya si gadis begitu melihat pria itu berdiri setelah menghabiskan alkoholnya. “Dalam kondisi mabuk seperti itu?”
“Di luar ada beberapa temanku yang masih mengobservasi wilayah.” Kali ini pria itu yang tertawa lepas mengikuti cara gadis itu tertawa sebelumnya. Ia meletakkan satu koin emas di meja. “Ini hari yang baik. Terima kasih karena telah menjadi teman mengobrolku.”
“Saya tidak punya kembalian untuk uang sebesar itu, Tuan.”
“Aku tahu. Anggap saja bayaran karena telah menceritakan sudut pandangmu.”
Bukan sebagai tip, melainkan bayaran. Gadis itu tersenyum puas saat mendengarnya. “Kalau begitu saya akan menerimanya dengan senang hari.” Ia tidak punya alasan untuk menolak sebuah pembayaran.
Pria itu keluar dari bar sepi tersebut. Ia melihat-lihat sekelilingnya. Sebuah gang sempit yang hanya dilewati oleh anak-anak jalanan. Beberapa toko kecil dengan barang-barang murah. Mau dilihat bagaimana pun, sesuai perkataan si gadis, tempat ini bukanlah lokasi yang tepat untuk mendirikan sebuah bar.
Ia berjalan keluar seraya mengenakan kembali tudung jubahnya, mengarah ke jalan yang lebih besar di mana banyak pertokoan dan restoran-restoran kecil. Beberapa orang bertudung terlihat berdiri di tepi jalan. Pria itu pun menghampiri mereka.
“Yang Mulia! Anda ke mana saja?!” Salah satu dari mereka berseru, memegang kedua bahu pria itu erat-erat. Ekspresi horor terlihat jelas di wajahnya. “Sejak tadi saya dan yang lainnya sibuk mencari Anda yang menghilan begitu saja. Mengapa Anda pergi ke bar di saat-saat seperti ini?! Kami sangat mencemaskan Anda, Yang Mulia Pangeran!”
Gadis itu telah salah jika dalam hati hanya menganggapnya sebagai bangsawan. Dia berada di atas posisi tersebut. Pria bersurai pirang itu berasal dari keluarga kerajaan yang memimpin negeri yang tengah kacau ini. Ironisnya, ini bukanlah kisah cinta klasik di antara pasangan yang sulit untuk bersatu karena kasta. Ini hanyalah pertemuan tidak sengaja antara seorang pria dan seorang gadis sambil membicarakan sesuatu yang sederhana.
Mereka tidak membicarakan sesuatu yang sulit seperti politik dan pemerintahan, melainkan keluhan akan pekerjaan yang mereka miliki. Mereka tidak membicarakan kondisi negeri ini dengan sungguh-sungguh, melainkan pandangan pribadi yang tanpa dilandasi pengetahuan yang cukup. Siapa pun yang mendengarnya hanya menganggap itu tidak lebih dari sekedar basa-basi dan omong kosong.
Pria itu tersenyum lembut. “Aku hanya menemukan sebuah bar di tempat yang tidak terduga. Karena itulah aku masuk dan minum sebentar.” Dia menjawabnya dengan ringan seolah-olah tidak sedang berbuat suatu kesalahan. “Oh, iya, tarik saja semua detektif resmi yang menyelidiki kondisi Ibukota.”
“Apa?!” Orang yang sama dengan yang mencengkeram kedua bahunya itu bereaksi paling serius di antara semuanya. “Apa Anda yakin dengan keputusan Anda, Yang Mulia?”
“Aku sudah sangat yakin,” balasnya sembari menggulum senyum. “Selain itu lebih baik kita memusatkan penyelidikan pada daftar para bangsawan itu. Seseorang mengatakan padaku untuk menyelesaikan masalah utamanya dulu agar masalah lain tidak terlalu mengganggu.”
“Seseorang ...?”
“Dia hanyalah gadis yang suka tertawa.” Sang Pangeran tertawa cekikikan saat mengingat tawa gadis itu. “Alkohol yang dia buat sangat enak. Minggu depan aku harus pergi ke sana lagi.”
Namun, sang Pangeran tidak tahu bahwa bar itu sudah ditutup sebelum ia bisa datang ke sana lagi. Bar yang tidak punya harapan, pun itu merupakan usaha yang tidak bisa dilanjutkan karena si gadis telah kehabisan uang. Sudah wajar jika mereka tidak bertemu lagi, karena pertemuan mereka bukanlah takdir ataupun cinta pada pandangan pertama. Hanya sebuah kebetulan dan omong kosong seperti isi pembicaraan mereka.
0 notes
chlomission · 2 years ago
Text
Just A Little Bit
Tadi pagi, semuanya masih berjalan baik-baik saja. Hubungan mereka seperti biasanya.
commissioned by Aya Flavia
tags: pomegaverse
Hari-hari di kediaman Masahito tidak pernah berubah. Tsuyu bangun lebih awal, membangunkan suaminya, serta duduk dan sarapan di meja yang sama dengannya. Seraya mengunyah makanannya, wanita bersurai hijau muda itu mengangkat kepalanya dan mengintip wajah pria yang duduk di hadapannya itu.
Shion, suaminya kebetulan juga melayangkan arah pandangnya pada wanita itu. “Ada apa, Tsuyu?” tanyanya. Tangan kanannya yang memegang sumpit berhenti di tempatnya. “Apa ada yang salah dengan makananmu?”
Pada dasarnya dia bukan orang yang peka untuk ditatap begitu saja. Akan tetapi, pria itu selalu berusaha merespon apa yang dia sadari. Senyum tipisnya terlihat agak canggung, tetapi di sisi lain juga lembut. Setidaknya wanita itu sangat mengetahui kalau Shion adalah pria yang baik.
Tsuyu terkekeh. “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat wajahmu,” ujarnya.
Pagi di mana mereka bisa menghabiskan waktu berdua itu berlangsung dengan singkat. Shion harus berangkat ke perusahaannya untuk bekerja. Tsuyu akan duduk dan memerhatikan pria itu memeriksa jadwal dan berkas yang harus dibawanya ke kantor.
Tsuyu tidak membantu secara langsung, tetapi mengawasi pelayan-pelayan lain yang membantu suaminya berpakaian lengkap. Wanita itu mengembuskan napasnya perlahan, mengikuti aktivitas kecil yang secara alami terjadi sendirinya karena mereka tinggal di atap yang sama. Biasanya di saat-saat seperti ini, salah satu dari mereka akan memancing obrolan kecil.
“Hari ini katanya adik laki-lakimu datang? Kamu tidak mengundang orang lain lagi?” Shion mengawali pertanyaan saat salah satu pelayan membantunya memasangkan dasi. “Kenapa kamu tidak mengundang teman-temanmu ke sini atau ikut pergi berjalan-jalan ke luar?”
Wanita itu menggeleng untuk merespon pertanyaan itu. “Sejauh ini aku menolaknya, soalnya aku tidak tertarik untuk pergi bersama mereka,” jawabnya dengan terus terang. “Tapi kalau kamu yang mengajak keluar, mana mungkin aku menolaknya?”
Pria bersurai putih itu tersenyum tipis. “Pokoknya, bilang saja kalau mau pergi ke suatu tempat. Aku yang akan mengantarmu sendiri.”
Itu bukan jawaban yang Tsuyu inginkan. Wanita itu menggembungkan pipinya. Meski umurnya sudah lebih dari dua puluh tahun, tingkahnya masih agak kekanak-kanakan. “Aku tidak suka jalan-jalan sendiri!” tukasnya.
Harus diulangi sekali lagi, Shion bukan pria yang benar-benar peka. Dia bahkan tidak menyadari bahwa Tsuyu mengisyaratkan keinginannya untuk pergi berdua dengannya. Karena itulah jawaban yang Shion berikan bukanlah jawaban yang dia inginkan.
Sementara itu, pria itu sudah selesai berpakaian dan menghampiri istrinya yang merajuk. Yah, Shion tahu kalau ada yang salah dengan perkataannya barusan, tetapi dia sama sekali tidak tahu yang mana persisnya. Jadi, pria itu lebih memilih bungkam, karena dia bingung bagaimana berhadapan dengan istrinya sendiri.
“Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik, Tsuyu,” ucapnya pelan dengan nada canggung seraya mengusap tengkuknya. Pria itu memang agak kikuk ketika mengucapkan ucapan semacam selamat jalan atau selamat datang pada wanita itu.
“Ponselnya ketinggalan.”
“... Eh?”
Belum beberapa langkah dia melewati Tsuyu, wanita itu kembali menegurnya. Shion berbalik, mendapati wanita itu tertawa hambar dengan tangan kanan yang memegang sebuah ponsel. Tidak salah lagi, itu ponsel milik Shion.
“Nanti bisa kerepotan kalau tidak bisa dihubungi dengan ponsel, lho.”
“Terima kasih, Tsuyu.” Shion menerima ponselnya yang terlupa itu. Manik matanya menelusuri wajah istrinya yang tersenyum seolah-olah kekesalannya tadi sama sekali tidak ada. “Kamu tidak marah?” Shion bertanya untuk memastikan.
“Tidak!”
Pria itu lega, tetapi di sisi lain juga heran dan bersalah di saat yang bersamaan karena Tsuyu memaafkannya dengan mudah. Ia tersenyum kaku, mengucapkan terima kasih untuk kedua kalinya.
“Hati-hati di jalan!”
Tsuyu mengantarkannya sampai ke pintu, melambaikan tangannya dan mengucapkan selamat jalan. Pagi biasa itu telah berakhir sampai di sana. Wanita itu harus menunggu sampai malam untuk kembali berbincang bersama suaminya lagi.
Wanita itu menurunkan sudut bibirnya untuk sesaat. Dia memang selalu begini, tersenyum di hadapan orang-orang seolah tidak terjadi apa-apa. Ada sisi lain dalam dirinya yang ingin lebih diperhatikan oleh suami yang telah tinggal di bawah atap yang sama dengannya, sementara dia juga tidak ingin menjadi beban pikiran orang lain.
Mungkin karena itulah, hari-hari di kediaman Masahito mulai berubah.
░░░░░░░░░░░░░░░
Tadi pagi, semuanya masih berjalan baik-baik saja. Hubungan mereka seperti biasanya, kecuali tentang kenyataan bahwa untuk beberapa saat, Tsuyu merasa kesal dengan ucapannya. Selama seharian ini, Shion terus terpikirkan situasi tadi pagi. Itu bukan hanya sekali dua kali. Sebelum hubungan pernikahan mereka semakin renggang, dia harus bertindak langsung.
Pria itu menghela napasnya berat. Mobil terus melaju di antara jalan raya dan dia hanya duduk menatap pemandangan luar. Kalau diingat-ingat, dia dan Tsuyu sudah lama tidak berjalan-jalan ke luar dan wanita itu hampir tidak pernah keluar rumah, bahkan tidak mengundang siapa pun.
“Mungkin aku akan mengambil libur untuk Tsuyu,” guman Shion. “Aku harus cari tahu tempat yang bagus untuk berlibur.”
Shion membuka ponselnya dan menelusuri internet. Akhir-akhir ini, ada fenomena aneh di mana manusia dapat menjadi anjing berjenis pomeranian. Menurut berita-berita yang beredar di televisi dan internet, keganjilan itu hanya akan terjadi ketika seseorang merasa stress atau tertekan terhadap sesuatu. Mereka dapat kembali lagi menjadi manusia jika pemicunya diatasi.
Stres atau tertekan.
Jari-jarinya terus menggulir berita yang lewat di layar ponselnya sampai mobil telah sampai ke  kediamannya. Shion sedikit menaikkan sudut bibirnya, ia ingin mengatakan rencananya untuk libur pada Tsuyu. Wanita itu biasanya akan menjadi orang pertama yang menyambutnya di rumah ini ketika ia telah membuka pintu.
“... Tsuyu?”
Akan tetapi, berbeda dari biasanya, Tsuyu tidak ada di balik pintu tersebut. Shion terdiam, ia tidak menyangka kalau ini akan terjadi. Pria itu mulai berpikir tentang kejadian tadi pagi. Mungkin saja itulah yang menjadi penyebabnya.
Shion memasuki ruang tengah. Sementara itu, pikirannya sibuk menduga-duga apa yang sedang dilakukan oleh istrinya. Mungkin saja Tsuyu sedang mandi jadi lupa menyambutnya. Pria itu merebahkan tubuhnya ke sofa dan menghela napas berat. Di juga menjadi agak sedih karena hal kecil seperti ini.
“Wang! Wang!”
Pria itu tersentak. Ia tidak bisa berkata apa-apa begitu mengetahui apa yang membuatnya terkejut itu. Shion mengerjapkan matanya berkali-kali, bibirnya agak terbuka karena terkejut hingga dia hanya bisa mengeluarkan interjeksi aneh.
Shion mendapati seekor anjing kecil yang menatapnya seraya mengibas-ngibaskan ekornya.
“Sejak kapan ada anjing di rumah ini ...?”
Jawabannya sudah ia ketahui dengan pasti. Itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Shion teringat dengan artikel-artikel populer di internet yang dibacanya selama perjalanan. Seekor anjing kecil yang berbulu tebal dan panjang tiba-tiba datang dan menyalak dengan riang padanya, sementara istrinya yang biasanya menyambutnya menghilang begitu saja.
“Tidak mungkin ....” Shion hampir tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Pria itu mulai mengangkat anjing kecil itu yang menatapnya langsung ke matanya. “... Apa kamu Tsuyu?!”
░░░░░░░░░░░░░░░
Ada fenomena aneh di mana manusia dapat menjadi anjing berjenis pomeranian karena perasaan stres dan tertekan. Mereka hanya dapat kembali lagi menjadi manusia jika pemicunya diatasi. Karena fenomena inilah suasana di kediaman Masahito jauh lebih ramai daripada biasanya hanya dalam semalam. Bahkan, sulit dipercaya kalau keributan itu disebabkan karena kedua pemilik rumah yang selalu menjalani hari-hari biasa dengan tenang.
Selama tiga hari, Shion bekerja lembur agar ia bisa fokus pada urusan di kediamannya. Jadwalnya dikerjakan lebih cepat, ditunda untuk sementara, dan dihapus. Pria itu sama sekali tidak tahu penyebabnya, jadi selama waktu liburnya, dia harus bisa mengetahui penyebab istrinya berubah menjadi anjing dan mengembalikannya.
Shion membuang napasnya dengan berat dan gusar. Ini masih pagi, tetapi dia terlihat sudah memiliki beban berat di kepalanya. Suasana sarapan yang tenang sudah tidak ada lagi. Pria bersurai putih itu menatap anjing kecil berbulu di hadapannya.
“Stres atau tertekan, ya ....” Shion mengulangi apa yang telah dibacanya melalui internet. Ia mengulurkan tangannya, membuat anjing kecil itu berada dalam pelukannya. “Jadi, apa yang harus aku lakukan ...?”
“Wang! Wang!”
Anak anjing itu menyalak. Akan tetapi, mana mungkin Shion bisa berbicara dalam bahasa anjing. Pria itu menghela napasnya lagi, kali ini diikuti dengan senyum tipis. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tapi setidaknya kita bisa mencari tahu solusinya bersama-sama, Tsuyu.”
“Wang!”
“Apa kamu sedang menghiburku? Kamu memang selalu baik padaku, Tsuyu.” Meski tidak memahami ucapannya, tetapi Shion mungkin mengetahui apa yang ingin Tsuyu sampaikan kepadanya. Ia tersenyum lebar. “Terima kasih.”
Ini sudah hari keempat sejak Shion menemukan Tsuyu berubah menjadi anjing pomeranian.
Pria itu hanya berdiam diri di ruang tengah. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Televisi menyala dan menyiarkan berita, tetapi Shion tidak tertarik dengan isinya. Perhatiannya hanya tertuju kepada anjing kecil jelmaan istrinya dan tangannya hanya mengusap-usap punggung anjing kecil itu.
“Apa aku harus mengatakan apa yang terjadi pada keluargamu? Sebenarnya aku juga bingung, sih tentang apa yang terjadi.” Shion mengangkat Tsuyu dan membuat wajah mereka saling berhadapan. “Aku juga tidak tahu kenapa kamu bisa menjadi pomeranian seperti ini. Kamu sudah tahu alasannya?”
“Wang! Wang!”
Tentu saja, meskipun anjing di hadapannya adalah istrinya sendiri, mana mungkin seekor anjing bisa menjawab dengan bahasa manusia? Akan tetapi, Shion masih melanjutkan pembicaraan, walaupun hanya terlihat seperti percakapan satu arah.
Ini benar-benar krisis terbesar dalam sejarah kehidupan seorang pria bernama Masahito Shion. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Niat awalnya memang ingin mengembalikan Tsuyu secepatnya, tetapi dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa.
Pelayan dan pekerja sibuk dengan urusan masing-masing, jadi ruangan ini kosong. Waktu pun berjalan terlalu lambat. Bahkan ini belum saatnya makan siang. Shion masih berbicara dan Tsuyu menyalak untuk meresponnya
Pembicaraan mereka—atau lebih tepatnya monolog Shion berubah ke arah yang abstrak dan tidak nyambung sama sekali. Mungkin karena anjing kecil itu adalah Tsuyu, jadi dia masih mendengarkan dan menyahutinya walaupun tidak dalam bahasa manusia.
“Bagaimana pun aku sudah mengambil cuti. Jadi haruskah kita pergi ke suatu tempat? Apa ada tempat yang ingin kamu datangi?”
“Wang! Wang!”
Sekarang, pria yang seharusnya duduk di meja kerja sebagai CEO justru menengkurapkan diri di lantai, berhadapan dengan Tsuyu versi anjing kecil yang duduk manis di hadapannya. Ini adalah krisis terbesar dalam komunikasi, mereka berdua saling berhadapan, tetapi berkomunikasi tanpa arah dan tujuan dalam jangka panjang.
“Oh, benar juga, kemarin kamu bilang tidak ada tempat yang ingin dituju. Tapi, bukannya bosan dalam rumah terus?” Shion terus bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri. “Kalau bosan ‘kan harusnya bilang padaku. Aku bisa mengantarmu ke mana saja.”
“Wang! Wang! Wang!”
“Bagaimana kalau meminta saran? Sepertinya aku akan bertanya pada seseorang tempat mana yang cocok untuk jalan-jalan.”
“Wang!”
“Aku belum memikirkan cara bagaimana jika ada seseorang yang meneleponmu. Siapa saja orang yang sering meneleponmu?”
“Wang! Wang!”
Tidak ada apa pun yang terjadi. Tidak ada yang pria itu lakukan selama seharian penuh selain melakukan percakapan satu arah seraya menengkurapkan diri di lantai. Sudah jelas tidak ada pula hasil yang ia dapatkan.
░░░░░░░░░░░░░░░
“Kakak Ipar, apa kamu bisa membantuku? Hari ini Kakak tidak menjawab panggilanku, padahal sudah ditelepon belasan kali.”
Salah satu hal yang dikhawatirkan Shion kemarin terjadi. Pada pagi berikutnya, ada orang yang tidak bisa diabaikan yang menelepon Tsuyu. Pria itu berusaha untuk mengabaikan panggilan, bahkan mematikan ponsel Tsuyu. Dia benar-benar bingung bagaimana harus mengatakannya pada keluarganya.
“Sebenarnya, ponsel Tsuyu mati. Kebetulan aku sedang libur dan berada di rumah. Apa yang ingin kamu sampaikan padanya, Chika?” Pria itu terkekeh pelan. Merutuki dirinya dalam hati karena tidak mungkin berbohong kepada keluarga Tsuyu, apalagi adik laki-lakinya sendiri.
Ada interjeksi yang terdengar dari pemilik suara di seberang telepon itu. “Oh, jadi pada akhirnya kalian berkencan setelah sekian lama menikah?” Chika tertawa, seolah ingin menggoda suami kakak perempuannya itu. “Aku tidak jadi dengan urusanku. Nikmati saja kencan kalian. Tenang, aku bisa menyampaikan ini pada Ayah dan Ibu.”
“Tunggu! Tunggu! Aku tidak sedang berkencan atau semacamnya untuk hari ini!” Shion segera membantah. Ia memijat keningnya sendiri. “Memang benar aku libur, tapi kami hanya di rumah. Aku memang mau mengajaknya keluar, tapi aku sama sekali belum menentukan tujuan.”
Tidak ada jawaban dari ponselnya walaupun masih terhubung dalam panggilan. Shion mulai merasa canggung setelah ia secara tidak langsung mengungkapkan kebodohannya sendiri.
“Kakak Ipar, apa kamu bodoh?” Pertanyaan Chika yang singkat dan jelas itu cukup menusuk sampai Shion tidak bisa berkata apa-apa lagi. “Bukannya kamu bisa bertanya saja pada Kakak tempat apa yang mau dia kunjungi?”
Tentu saja tidak bisa. Kakak perempuannya telah menjadi seekor anjing.
“Itu ... karena ... Tsuyu bilang dia tidak berminat pergi ke mana pun.” Pria itu menyebutkan alasan yang bisa dia sebutkan untuk menutupi fakta aslinya. Lagipula Tsuyu memang benar pernah berkata seperti itu padanya. “Makanya aku sedang berpikir tempat yang akan kami kunjungi ”
Kali ini, Shion bisa mendengar helaan napas berat dari sana. “Kakak Ipar, ternyata selain bodoh, kamu juga suka mencemaskan hal yang tidak penting, ya?” Ucapan Chika menusuknya untuk kedua kalinya. “Pikirkan saja tempat yang sederhana. Taman bermain atau pantai atau apalah. Kakakku tidak akan menolak jika kamu yang mengajaknya.”
“Apa itu tidak masalah?”
“Mana mungkin Kakak menolak ajakannya Kakak Ipar? Bukannya yang penting kalian menghabiskan waktu berkencan tanpa gangguan?”
Jika diingat-ingat sebelumnya, istrinya juga pernah menyatakan tidak akan menolak ajakannya. Seperti kata Chika di telepon tadi. Shion hanya membalasnya dengan akan mengantarnya, bukan menemaninya. Karena itu Tsuyu sempat merajuk padanya karena tidak ingin sendirian.
Shion menggigit bibirnya sendiri. Telepon dari Chika berakhir tidak lama setelah itu. Pria itu menghela napasnya pelan, sementara kepalanya menunduk menatap lantai. Shion menyadari bahwa dia terlalu tidak peka dengan istrinya sendiri.
Jadi, pria itu memutuskan untuk kembali dari teras di mana dia menerima telepon ke ruang tengah di mana Tsuyu berada. Anjing kecil itu berlari kecil dan menghampirinya, serta menyalak dengan riang. Persis seperti Tsuyu yang selalu menyambutnya ketika memasuki rumah mereka.
“Wang! Wang!”
“Aku tidak tahu apa-apa tentangmu, tetapi mulai sekarang aku ingin lebih banyak mengetahui segalanya yang berkaitan denganmu, Tsuyu.” Shion tersenyum tipis. Tangannya terulur, mengangkat anjing kecil itu hingga wajar mereka saling bertatapan. “Maaf karena suamimu ini benar-benar tidak peka. Pasti kamu marah.”
“Wang! Wang! Wang!”
Anjing kecil itu menyalak dengan nada lebih tinggi daripada biasanya. Pria itu sudah tahu. Wajar saja jika Tsuyu marah padanya. Namun, selama ini wanita itu tetap tersenyum dan tidak berkata apa-apa hingga wujudnya menjadi yang sekarang ini.
“Tolong berikan aku kesempatan untuk menebus ketidakpedulianku. Aku akan menjadi lebih baik lagi padamu.” Pria itu mengatakan apa yang ingin dikatakannya secara langsung. Ia mengatakan semua itu dengan tulus. “Ada sebuah tempat di mana aku ingin mengajakmu pergi. Bagaimana kalau hari ini kita menghabiskan waktu di sana?”
Ini hanyalah sedikit perubahan kecil, tetapi Shion satu langkah lebih dekat untuk mengembalikan istrinya menjadi manusia lagi. Mereka juga melangkah ke arah hubungan yang lebih dalam lagi. Hari-hari di kediaman Masahito mungkin tidak akan pernah menjadi sama seperti biasanya.
0 notes
chlomission · 2 years ago
Text
Heart Connection
Betapa romantisnya pasangan baru ini hingga mengumbar cinta mereka di hadapan orang lain.
A "Bungou Stray Dogs" Fan Fiction
tags: shoukoku, Dazai Osamu/Nakahara Chuuya, fem!Nakahara Chuuya, Nobility AU
“Apa kamu merasa senang sampai bersikap malu seperti ini?”
Upacara pernikahan mereka berjalan dengan lancar. Sumpah telah terucap dan mereka berdua telah bertukar cincin. Pipinya terasa panas, sepertinya telinganya juga ikut memerah selama upacara. Chuuya hampir tidak berani lagi bertatap wajah dengan Dazai dengan ekspresinya saat ini.
Tubuhnya menegang, suara Dazai terdengar sangat dekat di telinganya hingga membuat perempuan itu dapat pingsan setiap saat. “Diamlah!” Chuuya mendengus kesal, hampir saja dia memekik karena rasa malunya.
Bukannya segera menghentikan candaannya, Dazai justru semakin menggodanya. Pria itu kemudian membisikkan sesuatu di telinga Chuuya. “Aku tidak tahan untuk memakanmu malam ini,” bisiknya dengan nada misterius. “Istriku terlihat sangat manis sampai aku tidak bisa menahan diri lagi.
Chuuya mengambil langkah mundur. Bukan karena dia takut, justru karena dia malu mendengar ucapan itu dari Dazai sendiri. Wajahnya telah sempurna menjadi merah. Bibirnya hanya terbuka dan tertutup tanpa bisa mengatakan apa-apa.
“Awas saja, kamu yang akan kubuat tidak bisa bergerak lagi malam ini!” Setelah mengatakan itu, Chuuya menutup mulutnya sendiri. Ia menyatakan hal itu dengan suara keras sementara para tamu masih memerhatikan bintang utama dari acara ini. “Tidak. Tidak. Bukan begitu ....”
Nasi sudah menjadi bubur. Para tamu tersenyum, berbisik-bisik tentang betapa romantisnya pasangan baru ini hingga mengumbar cinta mereka di hadapan orang lain. Bahan perbincangan yang sangat menarik untuk kaum wanita di lingkaran pergaulan mereka.
Dazai sendiri malah tertawa terbahak-bahak karena jawaban dari perempuan yang dinikahinya itu. Pria itu kemudian mengulurkan tangannya, memberikan senyumnya pada Chuuya yang kini benar-benar terlihat sangat manis karena merasa malu. “Maukah Anda berdansa dengan saya, My Lady?”
Selain upacara pernikahan, masih ada acara perjamuan. Acara itu akan dimulai dengan dansa pertama dari pasangan suami-istri yang baru saja menikah. Selain dansa mereka, tentu ada dua sesi dansa berikutnya yang dapat dilakukan oleh seluruh tamu yang hadir dan ingin berdansa dengan pasangannya.
Chuuya tidak tahu harus mengekspresikan perasaannya seperti apa. Ada perasaan bahagia yang merayap di hatinya, perasaan hangat yang menyelimuti tubuhnya, dan juga perasaan malu yang menggelitiknya. “Ya ...,” jawabnya lirih. Bibirnya bergetar. Ia menerima ajakan dansa dari Dazai dengan menyambut uluran tangannya.
Meskipun dia saat ini merasa bingung dan pikirannya mulai menjadi kosong, sesi dansa pertama adalah dansa yang mau tidak mau harus Chuuya ikuti. Dengan perasaannya yang campur aduk saat ini, perempuan itu tetap harus menerima uluran tangannya dan berdansa dengan disaksikan seluruh tamu undangan.
Dazai menuntunnya ke tengah-tengah aula, tempat di mana semua orang yang hadir pada saat ini dapat menyaksikan mereka. Alunan musik mulai terdengar ke seluruh aula. Orkestra memainkan lagu yang berirama tidak terlalu cepat. Lagu yang digunakan untuk dansa memang kebanyakan bernuansa romantisme, apalagi ini adalah sebuah pesta pernikahan.
Langkah pertama ke kanan, mereka berdua saling membungkuk untuk memberikan salam. Satu putaran membuat gaun yang dikenakannya juga mengikuti tubuhnya. Senyum yang terkembang di wajahnya membuat siapa pun dapat terpana, termasuk pria di hadapannya.
Tangan kiri perempuan itu terulur, menarik perlahan tangan kanan pria itu menyentuh pinggulnya dan dia berpegangan pada bahunya. Sementara tangan mereka yang lain saling berpegangan. Tubuh mereka berputar berlawanan arah dengan jarum, mengikuti alunan musik dan mulai mendominasi aula.
Sensasi itu sangat lembut dan juga sedikit menggelikan. Padahal bukan hanya sekali itu dia menggenggam pernah menyentuh tubuhnya, tetapi ini adalah pertama kalinya menyentuh tubuh istrinya. Hanya dengan memikirkan hal kecil seperti itu, Dazai tersenyum dengan sendirinya.
“Aku tidak mau kakiku terinjak atau semacamnya jika kemampuan berdansamu buruk.” Di tengah-tengah itu, Dazai memberikan komentarnya. Setengah dari perkataannya adalah candaan, tetapi memang benar jika Dazai merasa kalau bisa dia tidak ingin kakinya diinjak.
Wajah perempuan berambut jingga itu menekuk. “Aku juga bisa berdansa, tahu. Kamu yang akan tercengang oleh kemampuanku!” bantahnya dengan cepat. Ia memalingkan wajahnya dari Dazai sebelum “Bu-bukan berarti aku mau dipuji oleh orang semacammu.”
Chuuya menarik tangannya yang berpegangan pada bahu pria itu, mengambil jarak dan berputar kembali ke arah pria itu yang akan menangkap tubuhnya kembali. Kepalanya menoleh, saat itu pula mata mereka saling bertemu. Itu memalukan. Chuuya membuang wajahnya kembali.
Tentu saja Dazai menyadari kalau wajah istrinya saat ini memerah. Ekspresi manis yang sering dilihatnya saat keduanya saling berinteraksi, terutama saat dia sedang menggoda perempuan itu. Mereka berdua saling mengambil jarak agar dapat saling berhadapan lagi.
Nada musiknya mulai meninggi. Ia tergelitik, Dazai merengkuh pinggang perempuan itu dan mengangkatnya seraya berputar, membuat para tamu yang menontonnya terkesiap.
“Whoah!”
Tangan kanan perempuan itu kembali menggenggam tangan Dazai, dan kemudian pria itu pun kembali ke posisi awalnya yang bergerak. Langkah cepat mengitari aula tersebut. Tubuh perempuan itu berayun mengikuti musik.
Dansa memang tarian yang sederhana, tetapi juga sulit karena menekankan pada keselarasan di antara pasangan dengan musik agar tak terlihat canggung sekalipun ada improvisasi di dalamnya.
“Lihat, aku sama sekali tidak menginjakmu, bukan?” Chuuya menyeringai karena ucapan Dazai tidak benar-benar terjadi.
Pria itu terkikik dan tersenyum hangat. “Baiklah, baiklah.”
Kepribadian Chuuya terbilang cukup sarkas untuk seorang perempuan, tetapi di balik itu sikapnya yang mudah malu dan mengungkapkan hal yang jelas-jelas bertentangan dengan perasaannya membuat Chuuya terlihat lucu di mata Dazai.
Mungkin memang karena itulah dia bisa jatuh hati pada perempuan yang kini berada di hadapannya sebagai pasangan dansa. Untuk ke depannya pun, mereka akan melakukan ini lebih sering di lain waktu.
Satu ayunan tubuh, diikuti dengan langkah ke depan, sebelum akhirnya Dazai mengangkat tubuh perempuan itu lagi. Pria itu merasa gemas ketika melakukannya, karena pada saat itulah Dazai bisa merasakan seperti apa tubuh kecil istrinya di balik gaun dengan rok yang mengembang itu dengan kedua tangannya.
“Kecil sekali.”
“Si-siapa yang kamu sebut kecil?”
Dazai tidak menjawabnya. Ia melangkahkan kakinya untuk mundur seraya menarik tangan perempuan itu. Perempuan itu mendengus kesal, meskipun di waktu yang bersamaan, bibirnya justru menggulum senyum.
Perempuan itu mungkin merasakan sensasi yang sama saat kedua tangan Dazai menyentuh pinggangnya. Pada irama yang memungkinkan, Chuuya segera menarik dirinya dari pria itu dengan sebuah putaran. Tubuhnya merasa geli, tetapi Chuuya sama sekali tidak membenci sensasi itu.
Lalu, kakinya menekuk. Dengan gaun yang dikenakannya, Chuuya lebih terlihat terduduk di lantai aula. Sebuah senyum terlempar pada pria itu, bagai bunga yang bermekaran.
Pada detik itu, Dazai merasa waktu di sekitarnya berhenti. Iris birunya yang menatapnya langsung serta senyum lebar di wajahnya. Perempuan itu tidak memalingkan wajahnya seperti yang selama ini dia lakukan. Ekspresinya saat ini bukanlah ekspresi malu-malu yang selama ini diperlihatkan padanya. Dazai terlarut dalam perasaan yang membutakannya.
“Cantik sekali ....”
Pujian yang terlontar secara tiba-tiba itu membuat Chuuya terdiam. Seperti halnya perempuan itu yang tidak memalingkan wajahnya, Dazai yang tidak menggodanya dan justru memujinya terang-terangan adalah hal yang asing. Namun, pujian dari pria itu telah membuat perasaannya semakin bahagia.
Perempuan itu berdiri, sekali lagi berputar mengikuti musik yang hampir usai. Saat wajah mereka saling berhadapan, ia mengangkat tangannya, membelai pipi pria bersurai gelap yang kini tersenyum begitu tulus padanya. “Terima kasih untuk pujiannya.”
Satu putaran lagi untuk mereka dan keduanya mengambil jarak. Lengan bawah Dazai diangkat dan dia membungkuk untuk memberikan salamnya. Chuuya pun juga menarik sedikit rok gaunnya seraya menekuk sedikit lututnya, tubuhnya juga turun mengikuti salam tersebut. 
Sebelum dia berdiri tegak, Dazai sudah mengambil langkah lebih dulu dan perlahan menggenggam kedua tangan perempuan itu. “Terima kasih, karena telah bersedia menikah denganku.”
“Aku juga.” Tangannya melepaskan diri dari genggaman Dazai. Bukan karena menolaknya, tetapi Chuuya benar-benar menghilangkan jarak di antara mereka. Ia memeluk pria itu erat-erat. Suaranya berbisik pelan di telinga pria itu, mengungkapkan perasaannya dengan tulus. “Aku mencintaimu, Dazai.”
Para penonton terpukau dengan romantisme di antara mereka. Pasangan yang benar-benar sempurna, kisah-kisah manis—atau mungkin diikuti juga dengan cerita yang panas—mereka berikutnya akan menjadi topik pembicaraan yang hangat di antara bangsawan yang hadir di sana dan berbagai rumor baik tentang akan tersebar luas.
Dazai kembali menuntunnya menepi. Lagu kembali dimainkan, kali ini para tamu juga ikut berdansa dan selain yang tadi, sesi dansa itu bukanlah hal yang wajib untuk dilakukan oleh mereka berdua.
“Kamu tidak mau berdansa lagi?” tanya Dazai pada perempuan itu, yang kini duduk di kursi yang dipersiapkan untuk mereka pada aula tersebut. “Siapa tahu justru ada pria lain yang mau berdansa denganmu.”
“Kalaupun ada, aku akan menolaknya,” perempuan itu menjawabnya dengan cepat. Raut wajahnya mengerut, tampaknya Chuuya tidak suka apabila pria itu membicarakan hal tersebut. “Ka-kamu juga tidak lelah berdiri terus?” tanyanya seraya memalingkan wajah.
Saat ini istrinya sedang mencoba untuk bersikap peduli padanya. Akan tetapi, karena biasanya dia selalu menolak  perlakuan Dazai dan berpura-pura tidak peduli, ekspresi yang ditunjukkan saat Chuuya menunjukkann kepeduliannya secara langsung justru menjadi lucu.
Dazai dapat melihat bahwa di balik rambut jingganya, ujung telinga Chuuya berubah menjadi merah. Akan tetapi, itu tidak lama karena atensinya teralihkan pada hal lain. Meskipun tidak ikut, iris biru perempuan itu mengarah ke tengah aula. Ia mulai memerhatikan pasangan lain yang mulai berdansa pada sesi tersebut. Sekali lagi pria itu berpikir bahwa istrinya yang polos ini manis sekali.
Para pasangan itu mulai dansa dengan saling mengaitkan lengan dan berputar tiga kali searah jarum jam dan tiga kali berlawanan dengan arah jarum jam mengikuti dua baris melodi yang berulang. Ada banyak orang yang menari dengan gerakan yang sama, bahkan melihat putaran mereka yang anggun dan rok yang mengembang dan mengikuti gerakan wanita menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat
“Apa kamu sebegitu tertariknya dengan dansa? Tadi saja kamu memarahiku di tengah-tengah.”
Komentar Dazai membuat Chuuya mengerucutkan bibirnya sebal. “Ini berbeda. Ada banyak orang yang berdansa, bukankah seru untuk melihat mereka?” Perempuan itu merasa tidak terima karena Dazai mengomentarinya seakan Chuuya tidak suka dengan dansa.
Tiga sesi dansa bukanlah hal yang bisa dilakukan oleh seorang pasangan berturut-turut. Wajar saja jika mereka hanya mengikuti satu atau dua sesinya saja. Paling-paling, mereka berdua akan berdansa lagi pada sesi berikutnya. Itu jika mereka berdua saling menginginkannya.
Saang pria menyentuh pinggul sang wanita untuk menyeimbangkan tubuhnya dan berputar selama nada lagu yang cepat. Tangan mereka yang diluruskan dengan saling menggenggam terangkat, rok para wanita itu berdesir saat berputar di bawah lengan pasangan dansanya. Salah satu tangan sang pria akan berada di balik punggungnya selama tangan yang lain terangkat untuk membantu sang wanita berputar secara bergantian.
Wajah Chuuya terlihat bersemangat. Terlihat jelas kalau dia menyukainya. “Bagaimana kalau sesi terakhir kita berdansa lagi?” Perempuan itu menoleh kepada Dazai yang duduk di sebelahnya dengan bersemangat.
Dazai sebenarnya tidak terlalu memerhatikan para tamu yang berdansa. Ia lebih suka menontoni ekspresi wanitanya yang sangat antusias dengan hal tersebut. Kebahagiaan yang tercermin di wajahnya membuat Dazai buta dengan dunia di sekeliling mereka berdua.
“As you wish.” Pria itu mengiakannya dengan mudah.
Sang pria dan wanita mengambil jarak dengan merentangkan tangan mereka yang saling menggenggam. Tangan kiri sang wanita mengangkat gaunnya sementara tangan kiri sang pria berada di balik punggungnya. Saling mendekatkan diri, dan kemudian mengambil jarak lagi. Melodi yang sama membuat gerakan itu terulang kembali.
Gaun sang wanita kemudian berdesir seiring tubuhnya berputar dan pasangan yang berdansa bertukar posisi. Gerakan yang sama terulang kembali. Musik terdengar semakin berat dan kembali lagi seperti semula. Sang wanita berputar beberapa kali sementara sang pria akan melangkah memutari pasangan dansanya seolah dunia hanya milik mereka bedua.
Tangan Chuuya terangkat, menutupi bibirnya yang menggulum senyum. Mungkin saat ini Dazai hanya menganggap perempuan itu hanya tertarik dengan dansa. Namun sebenarnya Chuuya sedang membayangkan jika orang yang saat ini dia lihat adalah mereka berdua. Perempuan itu tertawa kecil saat imajinasinya memperlihatkan hal itu.
“Chuuya ....”
“Apa?” Perempuan itu menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. Pada detik berikutnya, ia terkejut dengan apa yang berada di depannya. “A-apa maksudmu?!” Chuuya hampir saja memekik karena salah satu tingkah suaminya itu.
“Buka mulutmu. Aah ....” Di antara ibu jari dan telunjuknya, terdapat sebuah macaroon dan dia hendak menyuapi Chuuya dengan tangannya sendiri. “Apa kamu malu?”
Bahkan tanpa ditanyai, Chuuya tahu bahwa Dazai sudah tahu jawabannya. “Tentu saja. Ini agak memalukan,” protesnya pelan. “Kalau mau melakukan hal ini, kamu bisa melakukannya saat tidak ada yang melihat.”
Dazai terkesiap mendengar jawaban tersebut. Ia tidak menyangka kalimat seperti itu keluar dari perempuan di hadapannya. Hari ini adalah hari penuh kejutan untuknya. “Aku mengerti ....”
Awalnya, pria itu akan menurunkan tangannya karena tidak jadi. Namun, istrinya telah menahannya. Ia membuka mulutnya dan memakannya. Ada sensasi yang menyenangkan saat kedua jarinya itu berada dalam mulut Chuuya.
“Bu-bukan berarti aku tidak mau, kok!” ujarnya cepat-cepat dan kembali menonton para tamu yang masih berdansa. 
Pria bersurai gelap itu tersenyum lebar atas respon yang ia dapatkan. Dazai tidak mengatakan apa-apa lagi. Saat ini, ia merasa lebih baik menghentikan semua tingkahnya yang mengusik perempuan itu. Apalagi mereka telah menikah, dan hubungan di antara mereka telah berkembang sampai sejauh ini.
Gerakan pertama terulang dan kemudian, putaran pada nada cepat berganti dengan sang pria yang mengangkat tubuh sang wanita. Kemudian mereka berdua mengambil jarak, kali ini tidak ada tangan yang saling menggenggam. Para pasangan dansa itu menari dalam putaran dunianya masing-masing dengan kedua tangan pria tersembunyi di balik punggung dan kedua tangan wanita mengangkat gaunnya.
Lagu sesi itu sudah hampir habis. Salah satu tangan sang wanita mulai berpegangan pada bahu pria, tangan kanan sang pria menyentuh pinggulnya, sementara tangan lain menyatu dan diluruskan. Beberapa putaran menghiasi aula perjamuan sebelum musik berakhir.
Tangan mereka terangkat kembali dan sang wanita berputar di bawahnya lagi. Tepat pada saat seluruh langkah terhenti, orkestra pun juga telah selesai menyajikan lagunya. Tepuk tangan yang meriah menyambut para pasangan yang selesai berdansa di bawah atmosfer musik orkestra, termasuk dari mereka yang menjadi tokoh utama dalam perjamuan ini.
Dazai akhirnya mengangkat suaranya lagi. “Chuuya, kamu benar mau berdansa denganku di sesi yang berikutnya?” tanyanya untuk memastikan.
“Tenntu saja. Memangnya siapa lagi selain ...,” nada suaranya merendah sebelum melanjukan, “selain ... su-su-suamiku ....” Mereka baru menjadi suami-istri beberapa jam yang lalu, tentu saja agak canggung baginya untuk mengatakan kata itu untuk pertama kalinya.
Pria itu tertawa kembali. Dazai bangkit lebih dulu dari kursinya dan menawarkan lengannya pada Chuuya seperti pada sesi dansa pertama. “Istriku yang malu-malu memang sangat manis. Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya.”
Chuuya menerima uluran tangan tersebut dan mereka berdua kembali ke tengah aula untuk dansa pada sesi ketiga, diikuti dengan para tamu lainnya yang ikut berdansa di sesi yang terakhir ini. Keduanya saling menatap satu sama lain dan saling mengungkapkan kebahagian mereka lewat ekspresi.
Tangan kanan Dazai memegang pinggang Chuuya sementara tangan kirinya berada di balik punggung. Posisi-posisi dan gerakan dansa pada waltz sudah cukup umum dan mudah dipelajari, tetapi yang membedakan adalah kombinasinya pada tiap lagu.
Chuuya melangkah searah dengan pasangan dansanya begitu musik mulai dimainkan kembali. Langkah ke kanan dan ke kiri sebanyak dua kali. Keduanya berputar dalam lingkaran, membangun harmoni terhadap musik dan mengulangi gerakan awal.
“Aku sangat senang karena kamu mau menikah dengan perempuan sepertiku.” Chuuya memulai percakapan, mengungkapkan perasaannya.
Saat berdansa, sebagian pikirannya akan tertuju pada gerakan yang harus ia lakukan seiring berjalannya musik. Secara alami, perempuan itu melupakan rasa malunya saat mengungkapkan hal itu saat mereka berbicara.
“Sepertinya aku juga merasakan hal yang sama denganmu,” tanggap pria itu. “Kamu sudah tahu seperti apa kepribadianku, dan kamu mau menerimaku menjadi suamimu.”
Dazai mengganti tangannya saat Chuuya berputar ke arahnya sehingga arah pandang lurus mereka menjadi sama dan mereka tidak saling berhadapan, kemudian dia menggiring perempuan itu untuk saling berhadapan kembali.
Pria berperan mendominasi dan mengarahkan pasangannya dengan isyarat, ia mengangkat lengan kanan Chuuya dan menurunkannya kembali seiring dengan langkah. Baris musik yang lain dimainkan dan dengan salah satu tangan mereka yang terangkah, Chuuya berputar di bawahnya.
Suara desir gaun para wanita yang berputar terdengar dengan jelas saat mereka berada di antara pasangan dansa yang lainnya. Dengan satu tangan untuk menyeimbangkan gerakan antara pria dan wanita, para pasangan melangkah berputar diikuti dengan para wanita yang memutarkan tubuhnya.
Ekspresi Chuuya melembut. Ia merespon pernyataan suaminya seiring dengan dansa mereka yang masih berlanjut.“Entahlah, aku juga tidak mengerti. Perasaan manusia itu rumit.” 
Emosinya saat ini pun juga telah dipengaruhi musik. Pembicaraan mereka terdengar alami, tidak seperti yang sudah-sudah sebelumnya. Waltz kali ini lebih lambat dengan gerakan yang sederhana dan berulang-ulang. Namun, kesederhanaan itulah yang menjadi daya tariknya dan telah mengubah suasana percakapan di antara mereka.
Kedua tangan kiri mereka yang saling menggeggam terangkat dan terentang, mempengaruhi jarak di antara mereka saat terus melangkah dalam putaran.
“Aku tidak tertarik untuk mencari tahu alasannya. Tapi aku tahu dengan pasti bahwa aku sangat mencintaimu.” Dazai kembali menyatakan cintanya, dengan tingkat emosi dan cara yang lebih lembut daripada yang sudah-sudah seperti halnya melodi dansanya.
Pada saat tangan mereka terangkat, akhirnya posisi tangannya berubah kembali. Tangan kanan Dazai kini berada atas pinggang kiri pasangannya dan tangan kirinya terentang menggenggam telapak tangan Chuuya. Jarak mereka begitu dekat. Tangan kiri prempuan itu juga berpegangan pada bahu suaminya.
“Aku juga mencintaimu tanpa alasan,” balas perempuan itu dengan lembut. “Tidak tahu apa alasannya, aku sudah merasakannya begitu.”
Satu langkah ke kanan, satu langkah ke kiri belakang, dan satu langkah ke kiri depan. Chuuya melangkah berkebalikan dengan langkah Dazai agar mereka yang saling berhadapan tidak saling bertabrakan. Beberapa langkah dan putaran yang pelan.
Tangan mereka berdua terentang lagi untuk menciptakan jarak, dan Chuuya berputar saat tangan mereka terangkat. Musik yang lembut itu mencapai klimaksnya. Bahkan meskipun ada banyak pasangan lain yang berdansa mereka bersama, dunia ini terasa hanya milik mereka berdua saja, tanpa ada orang lain yang dapat menganggu mereka.
Gaunnya selalu berdesir setiap kali berputar. Kali ini Chuuya berputar beberapa kali ke dua arah yang berlawanan sejarak kedua lengan mereka yang direntangkan. Kemudian, Dazai menariknya tubuh pasangannya ke arahnya dan memeluk pinggang perempuan itu. Langkah mereka berputar lagi dalam lingkaran.
Menyapu seluruh aula, mereka beputar. Oktaf pada tiap barisnya semakin meninggi saat mulai mencapai akhir dan tiap putaran menjadi lebih cepat. Pada tiap akhir dari baris lagu, sang pria mengangkat tubuh pasangan wanita.
Terakhir, mereka berdua kembali melangkah dalam putaran. Tangan kiri Dazai yang memegang tangan kiri Chuuya terangkat, membawa perempuan itu berputar kemudian terayun lebih dalam. Agar tidak terjatuh, tangan pria itu menahan punggung Chuuya dan membawanya untuk berdiri tegak kembali.
Lagu telah berhenti dan sesi dansa ketiga mereka selesai. Dazai menyeringai, melihat wajah pasangannya itu. “Apa pun yang akan terjadi ke depannya, aku tidak akan pernah menyesal memilihmu menjadi pasangan sehidup semati.” Pernyataan cintanya saat ini lebih dalam dibandingkan pada dansa tunggal mereka. Pria itu mencium punggung tangan kanan Chuuya dengan penuh perasaan. “Aku hanya akan mencintaimu baik dalam keadaan senang maupun susah. Seperti halnya sumpah pernikahan kita.”
Upacara pernikahan mereka sudah berjalan dengan lancar. Sumpah telah terucap dan mereka berdua telah bertukar cincin. Selain itu, mereka juga telah berdansa bersama dan mengungkapkan perasaan. Namun, yang lebih penting dari kewajiban-kewajiban itu, kedua hati pasangan yang menikah telah terhubung lebih dari apa yang dapat dilihat oleh orang lain.
0 notes
chlomission · 2 years ago
Text
Hallucination
monolog pria yang tidak bisa melepaskan pikirannya dari seseorang tertentu.
commissioned by Ecstasy
tags: major depression
Saya bertemu dengannya secara tidak sengaja, seolah-olah takdir menuntun. Sebenarnya saya tidak percaya takdir, tetapi untuk satu kali saja, saya ingin mempercayainya. Jangan berpikir itu adalah hubungan yang sangat romantis. Sangat jauh. Saya bahkan tidak memikirkan kemungkinan itu sama sekali.
Pada tahun-tahun di mana saya masih menjadi orang yang naif dan tidak ada yang peduli dengan keberadaan saya—itu juga tahun-tahun di mana saya masih bisa menunjukkan diri saya yang sesungguhnya. Suatu hari, saya bertemu dengan seseorang yang gila. Saya tidak menyebut dia gila sebagai ejekan, tetapi orang itu tidak memiliki akal sehat.
Dia adalah orang yang aneh. Sangat aneh. Saya dapat mengatakannya dengan penekanan karena begitulah adanya. Selama ini, saya belum pernah melihat orang seperti dia.
Kesan pertama yang saya miliki tentangnya adalah penampilan. Bisa diakui bahwa dia memiliki wajah cantik dan memesona—seandainya dia tampil pada hari-hari terbaiknya. Sayangnya, orang yang berada di hadapan saya itu sangat pucat dan kurus. Ketika saya tidak menemuinya selama beberapa hari—tidak terlalu lama, dia sudah kehilangan banyak berat badan sehingga bentuk tulangnya makin jelas.
Orang itu tidak banyak bergerak, menghabiskan hari demi hari dengan duduk dan melamun dengan pandangan kosong. Nada bicaranya lambat dan halus, tetapi tidak ada emosi yang dicurahkan di sana. Daripada manusia, dia lebih terlihat seperti boneka sempurna berwujud manusia atau hantu gentayangan. Saya tidak bercanda ketika mengatakan hal ini sebab saya sempat mengira dia adalah hantu sampai seorang perawat muncul untuk mengembalikan dia ke kamarnya.
Alasan mengapa dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa terlepas dari masalah tidak ada yang merawatnya di rumah juga karena tidak ada yang mengerti apa yang dia katakan. Orang itu berbicara tentang hal-hal yang tidak masuk akal untuk didengar dan sulit dimengerti. Diagnosis menyatakan bahwa dia mengalami halusinasi dan tidak bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi.
Dia mengatakan bahwa dia sudah mati dan dibunuh. Kronologi yang sangat jelas dan akurat juga dipaparkan, tetapi hal-hal tersebut nyatanya tidak pernah terjadi setelah penyelidikan latar belakangnya. Katanya, dia dibunuh walaupun dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Paradoksnya, dia juga merendahkan diri sendiri. Semua kata-kata yang orang itu ucapkan adalah hal-hal yang menyalahkan mengapa dia tidak melakukan hal sebaliknya agar kejadian dalam halusinasinya tidak akan pernah terjadi.
Seorang aktor papan atas telah melewati masa kejayaannya dengan cara yang menyedihkan. Tidak ada yang tahu pasti mengapa seseorang yang dulu sangat terkenal itu berakhir di rumah sakit jiwa tanpa ada seorang pun yang merawatnya. Hal-hal yang hanya merupakan tebakan semata tanpa bukti konkret dari hasil investigasi tidak akan saya sebutkan.
Saya heran pada diri saya sendiri. Tidak tahu alasan mengapa saya terus memikirkannya dan tidak bisa melepaskan pandangan darinya. Terkadang saya berpikir, alangkah baiknya jika dia hanya berakting menjadi orang gila selama ini. Dia telah sukses besar menarik perhatian orang lain dengan cara itu. Namun, gangguan mental yang dia alami bukanlah semata-mata akting.
Maka dari itu, saya sangat muak dengan sikapnya.
Saya tidak suka melihat wajah tanpa ekspresi itu. Dia mengatakan dia putus asa sampai pada titik bersedia berlutut untuk memohon belas kasihan, tetapi wajah dan suaranya tetap tenang. Tidak ada air mata atau lebih banyak mengatakan seberapa banyak dia menderita. Semuanya hanyalah fakta dan angan-angan yang dia miliki dalam halusinasi.
Awalnya, saya melontarkan kata-kata kasar untuk melihat reaksi orang itu di luar sikapnya yang biasa. Akan tetapi, hati nurani saya menolak untuk melanjutkan tindakan tersebut hanya untuk memuaskan keinginan agar saya tidak melihat wajah tanpa ekspresi itu. Tidak nyaman untuk sengaja menyakiti hati orang lain untuk alasan yang tidak masuk akal. Lagi pula dia tidak melakukan kesalahan apa pun pada saya.
Orang itu membuat saya merasa bersalah karena telah menganiaya seseorang yang tidak melakukan apa-apa. Namun, keinginan untuk melihat sisi lainnya tetap tidak pudar. Bukan sosok seperti hantu yang bisa menghilang pada detik berikutnya, saya ingin melihat dia terlihat seperti manusia yang hidup. Saya tidak tahu cara untuk memuaskan keinginan pribadi saya tanpa menyakiti dia.
Lalu saya berpikir, masih ada cara lain untuk membuat dia menunjukkan emosinya tanpa menyakiti hatinya. Bagaimana jika saya membantunya bahagia dalam halusinasi itu.
Biarkan saja saya terlibat dalam sandiwara di kepalanya. Orang itu mengatakan bahwa dia akan bebas dari masa lalu setelah melakukan balas dendam. Meskipun balas dendamnya benar-benar terlalu berlebihan untuk dirinya sendiri, begitu sepele, ceroboh, dan sia-sia. Bahkan hantu pendendam lain memiliki metode yang lebih bagus daripada cara balas dendam yang dia miliki. Saya masih ikut serta. Selama orang itu berkata bahwa dia bisa memulai kehidupan yang lain setelah melakukan hal semacam itu.
Orang itu tampak berusaha keras untuk tujuannya dan saya memuji dia karena telah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, situasi membuat dia kembali terpuruk, membuatnya histeris dan lepas kendali. Sulit sekali untuk menyamakan ritme dengan orang seperti itu dan menghiburnya setiap kali diperlukan.
Wajah lega yang dia miliki setelah berhasil melalui langkah demi langkah pertumbuhan juga membuat dada saya sesak oleh kegembiraan. Padahal dia tidak benar-benar tersenyum atau tertawa, tetapi saya tetap merasa senang. Mungkin saja itu karena saya berhasil melihat ekspresi lain selain wajah seperti orang mati yang tidak bisa menunjukkan emosinya. Tujuan saya menghabiskan waktu bersamanya pun tercapai sedikit demi sedikit.
Seiring berjalannya waktu, saya merasakan sesuatu yang salah. Pada titik tertentu dalam hubungan kami, saya menyadari bahwa saya tidak hanya ingin melihat dia sebatas bahagia. Ekspresi apa pun itu tidak masalah. Tidak masalah jika dia menangis, membentak saya, dan melontarkan trantrum. Saya merasa nyaman dengan itu selama dia tidak memiliki wajah seperti yang dia tunjukkan pertama kali.
Aktor papan atas itu terjebak dalam sandiwara yang berasal dari halusinasi. Tenggelam dalam rawa kesengsaraan yang tiada habisnya sampai pada titik keputusasaan. Meskipun masih terjebak di antara kenyataan dan khayalan, saya masih ingin terlibat dan melihatnya lebih dekat. Saya ingin melihatnya hidup bagaimana pun juga dan melihatnya tampil sampai adegan terakhir.
Saya ingin melihatnya menjadi hidup dan tampil lebih bersinar lebih terang daripada siapa pun.
1 note · View note