crustagracean
crustagracean
crusta(gra)cean
32 posts
catatanrandomunikserutiadaakhirnya graceanindya. mulut kadang hanya berbisik tapi isi otak lebih berisik. tulisan lama bisa dibaca di http://crustagracean.blogspot.co.id
Don't wanna be here? Send us removal request.
crustagracean · 6 years ago
Text
Film Imperfect: It is okay not to be okay
*berpotensi spoiler*
“Nanti kalo anak gue ternyata kulitnya cokelat kaya gue, tapi matanya sipit kaya cowo gue, gimana ya? Padahal maunya kan sebaliknya, matanya belo kaya gue, tapi kulitnya putih kaya doi?”
“Kenapa sih kamu malah dapetnya rambut keriting susah diatur sama kulit gampang jerawatan dari papa, terus paha gelambir dari mama?”
Kedua pernyataan dalam tanda kutip di atas seolah bergema dalam pikiran saat saya memutuskan untuk menonton Imperfect, film kelima milik Ernest Prakasa, yang kali ini ide ceritanya berasal dari kegelisahan milik Meira Anastasia, istri tercintanya, tentang proses penerimaan diri di tengah masyarakat yang bahkan tidak mengerti tentang diri mereka sendiri, namun merasa sudah cukup pantas menilai diri orang lain.
Tumblr media Tumblr media
Pernyataan pertama di atas dilontarkan oleh seorang kawan yang sudah menjalin hubungan pacaran cukup serius, bisa dibuktikan dengan percakapan tentang ‘buah hati impian’ yang kadang muncul dalam obrolan kami. Sementara pernyataan kedua dilontarkan oleh ibu saya sendiri, yang kadang bingung, mengapa anak-anaknya seolah kebagian yang ‘jelek-jelek’ dari kedua orangtuanya.
Film-film Ernest Prakasa sebelumnya mengambil plot penceritaan tentang kehidupan sebuah keluarga, dengan spektrum dan sudut pandang yang berbeda-beda dan menjadi ciri khas dalam setiap filmnya. 
Film pertama, Ngenest, mengambil sudut pandang tentang proses untuk bisa diterima mayoritas dengan cara mematahkan apa yang sudah mendarah daging dalam keluarga dan memulai sesuatu yang baru. 
Tumblr media
Film kedua, Cek Toko Sebelah, bercerita tentang konflik kakak beradik yang penceritaannya dibalut dengan adat dan budaya yang cukup kental namun jenaka. 
Tumblr media
Film ketiga, Susah Sinyal, memotret kehidupan ibu dan anak dalam lingkungan modern yang semua terlihat sudah maju, namun ironisnya relasi mereka malah semakin mundur. 
Tumblr media
Film keempat, Milly dan Mamet, yang merupakan spin-off dari kisah fenomenal Ada Apa dengan Cinta, memasang konflik berumah tangga yang rumit, karena setelah menikah, bukan hanya suami atau istrinya saja yang dipersunting, tapi seluruh kehidupan yang mengikutinya.
Tumblr media
Dalam Imperfect, menarik bahwa proses pencarian jati diri dan pembentukan identitas seorang manusia bukan dimulai dari individu manusia itu sendiri, melainkan lewat pihak terdekat yang pertama kali bersinggungan dengan individu tersebut, keluarga. Di konteks pernyataan pertama yang dilontarkan kawan saya, bahkan sudah dimulai jauh sebelum individu manusia itu lahir. Aneh dan kadang bisa jadi miris, seorang bayi yang baru lahir saja seolah sudah bisa ketahuan lebih mirip bapak atau ibunya. Yang dicari dan dikomentari hanya fitur-fitur bagus dari kedua belah pihak, padahal tak jelas juga standar bagusnya dari mana.
Erik Erikson dalam teori perkembangan psikososial menjelaskan bahwa seorang manusia akan mengalami konflik dan krisis yang akan menjadi titik balik dalam setiap tahap perkembangan hidupnya. Di setiap tahap usia, diharapkan seorang manusia akan mencapai sebuah virtue (maaf saya kesulitan mencari padanan bahasa Indonesianya) dan dianggap sukses melewati tahap tersebut. 
Tumblr media
Salah satu tahapannya adalah, saat seorang manusia berusia di antara 6 sampai 12 tahun, atau yang dikenal dengan istilah industry vs inferiority. Dalam tahap ini, seorang anak diharapkan mendapat motivasi yang positif dan membangun dari orangtua dan guru agar kelak menjadi seorang yang percaya diri dan mampu bersaing secara positif untuk terus mengembangkan diri. Kemudian dilanjutkan ke tahap identity vs role confusion di usia antara 12 sampai 18 tahun. Sesuai namanya, diharapkan setelah melalui tahap industry vs inferiority, di tahap ini seorang manusia dapat berproses untuk mencari jati dirinya sendiri.
Saya sangat terkesan bagaimana babak awal film Imperfect menceritakan bagaimana perjuangan Rara, tokoh utama, untuk melawan rasa inferiornya sudah dimulai sejak usia dini. (saya berinterpretasi bahwa mungkin usia Rara saat film dimulai ada di tahap industry vs inferiority dan identity vs role confusion) Bersyukur bahwa ia masih memiliki sosok ayah tangguh dan bersahaja yang seolah ‘bertanggung-jawab’ atas bentuk fisik yang dianugerahkan kepada Rara. Sampai kemudian, sang ayah wafat dan di rumahnya tinggal Rara sendiri yang kondisi fisiknya berbeda. Hampir tidak ada lagi yang mengingatkannya bahwa memiliki hati yang baik jauh lebih penting dibandingkan fisik yang cantik.
Singkat cerita, Rara tumbuh dewasa dan berada dalam tahap intimacy vs isolation. Pertanyaan yang sering muncul dalam tahap ini adalah, “Apakah aku akan dicintai orang lain?” atau “Apakah aku akan hidup sendirian?” Rara beruntung karena pertanyaan pertamanya terjawab oleh Dika, pacar super baik hati yang menerima dan menyayanginya apa adanya. Namun, sekali lagi saya berinterpretasi bahwa Rara tidak sampai pada tahap mencapai virtue nya, hingga masih ada rasa tak nyaman dan percaya diri yang meliputinya.
Tumblr media
Bukankah apa yang terjadi pada Rara juga banyak terjadi pada manusia kebanyakan? Yang kurang beruntung karena tidak ditolong oleh keluarga dan orang terdekat untuk mencapai virtue dalam tahap kehidupannya, lalu diperburuk dengan orang-orang di sekitar yang merendah dan menertawakan, bahkan keluarga sendiri yang seharusnya berkontribusi baik?
Tumblr media
Bagi saya, film Imperfect cukup berkontribusi membantu saya, (setidaknya bagi saya, gak tahu kalau yang lain) untuk mencapai virtue dalam perkembangan psikososial saya. Seolah diingatkan bahwa masih ada si B yang mendukung, ketika saya berharap si A akan mendukung, tapi nyatanya tidak. Ceritanya sederhana, komposisi drama dan komedinya juga agak mudah ditebak, tapi entah kenapa tetap ada perasaan lega selepas menonton film ini. Ikut menangis sesenggukan saat Rara bilang ‘Lo gak akan ngerti, ini masalah orang jelek.’ atau ‘Iya Lulu (adik Rara) gak pernah salah, mana pernah Lulu salah?’ juga ikut terharu saat Dika mengaku bahwa ia terlanjur cinta dengan ketidaksempurnaan Rara. Oh iya, untuk orang-orang yang merasa bahwa manusia seperti Dika sudah langka, bahkan tidak ada, c’mon, it’s the time for you to be like him, then.
Pesan penting film ini juga sangat kuat tersampaikan dalam adegan terakhir. Sayang sekali ingatan saya yang semakin lama semakin serupa Dory ini sulit mengingat apa nama perusahaan tempat Rara bekerja. Yang jelas arti namanya adalah teman baik. 
Tumblr media
Saya juga lupa persisnya isi pidato Rara di akhir adegan. Yang jelas, teman baik adalah teman yang menerima dan mendukung. Kalau masih ada orang-orang dengan tipe seperti Wiwid, Marsha dan Irene atau teman-teman mama Rara di sekelilingmu, hampiri saja mereka, berikan senyuman terbaikmu, lalu dekatkan wajahmu ke telinga mereka, dan teriakkan:
“Kadang kala tak mengapa, untuk tak baik-baik saja.....
....maaf sisa liriknya saya lupa lagi. Saya sudahi dulu tulisan ini, mau cari kelanjutan liriknya.
0 notes
crustagracean · 6 years ago
Text
(not) Knowing the Unknown
“Kamu inget waktu pertama kali kita ketemu?”
Mata Mutia menerawang. Ia bergeming sejenak namun tatapannya tak kosong. Pikirannya mengembara, berusaha mencari kenangan yang masih disimpannya tentang pria kurus berambut putih yang sekarang duduk di sebelah kanannya.
Kenangan tentangnya masih menggenang. Keriput dan mata yang makin menyipit tak menutupi kehangatan dan kebersahajaan yang masih terpancar dari wajahnya, membuat Mutia semakin larut dalam pikirannya.
Mutia mengingat pertemuan pertamanya dengan Sebastian kala itu. Sebastian yang memukul kepalanya dengan buku cerita Sangkuriang di perpustakaan sekolah saat mereka masih sama-sama mengenakan bawahan merah. Sebastian yang langsung lari terbirit-birit karena rupanya ia salah menjahili orang. Untung saja buku cerita itu tipis dan Mutia tak sampai menangis dibuatnya.
Sejak saat itu, anak-anak lain yang sering dijahili oleh Sebastian yang nakal sepatutnya berterima kasih pada Mutia. Sebastian tak pernah lagi mengganggu mereka. Sebastian juga harus berterima kasih pada Mutia karena tak mengadukannya ke guru atau orang tuanya.
“Anakmu mirip sekali denganmu.” Belum sempat Mutia menjawab pertanyaannya, Sebastian langsung mengalihkan pembicaraan mereka, sadar kalau pertanyaannya barusan akan membuat suasana bertambah canggung dan dingin.
Mutia hanya tersenyum tipis. Sorot matanya tampak sendu, guratan di sisi matanya juga terlihat mengencang.
“Gak disisakan sama sekali ya wajah dari Mamanya.” Lanjut Sebastian, berusaha mengalihkan pembicaraan lagi.
Bermula dari pukulan di kepala, berlanjut ke perasaan di hati Sebastian. Dari kembang gula merah berbentuk bunga hingga sekotak cokelat murah berbentuk hati pernah diberikan oleh anak laki-laki berusia 9 tahun itu pada Mutia. Semua teman ramai meledeki Sebastian dan Mutia, namun Sebastian sedikit kecewa karena Mutia malah membagi-bagikan cokelat dan kembang gula itu pada teman-teman perempuannya. Tak menyerah, sepulang sekolah Sebastian membeli setangkai bunga mawar plastik dan diam-diam diletakkan dalam tas Mutia, beserta dengan secarik kertas lusuh bertuliskan, “Boleh minta nomor telepon rumah kamu?”
Di luar sana mungkin ada berbagai penelitian yang mengklaim bahwa cinta monyet atau cinta masa kanak-kanak jarang ada yang berhasil. Kalaupun berhasil, paling hanya sepersekian persen. Sebastian dan Mutia adalah sepasang dari sepersekian persen tersebut. Dari pukulan di kepala, berlanjut ke perasaan di hati. Dari bermain kejar-kejaran, berlanjut ke berjalan beriringan di pelaminan. Dari drama putus nyambung karena berbagai hal termasuk restu orang tua Mutia, keduanya akhirnya berkomitmen untuk selalu bersama.
“Floren mirip sekali dengan Clementine, Mut.” Ucap Sebastian lagi. Wajah Mutia semakin mendung. Matanya terlihat berkaca-kaca namun ia berusaha tetap tegar dan tersenyum meski getir.
Sebulan setelah pernikahan mereka, Mutia hamil. Keduanya tentu saja sangat gembira. Mutia ingin anak perempuan, sementara jenis kelamin apapun tak masalah untuk Sebastian. Yang penting sebentar lagi ia jadi ayah. Sembilan bulan kemudian, Tuhan seolah mengabulkan permintaan Mutia. Sabtu, lewat jam malam, lahirlah seorang bayi perempuan, anak pertama Sebastian dan Mutia.
“Siapa namanya, Bu?” tanya seorang perawat selepas persalinan Mutia.
Keduanya belum sempat memikirkan nama untuk anak mereka. Lalu kemudian Sebastian melirik majalah bekas yang tergeletak di sisi ranjang Mutia. Halaman depannya menampilkan seorang fotomodel berwajah kebarat-baratan yang cantik dan tertulis dengan besar dan tebal nama ‘Clementine’ di sana.
“Clementine..” jawab Sebastian dengan mantap dan Mutia yang masih lemah setelah melahirkan hanya menatapnya heran.
Pada akhirnya, Mutia setuju juga dengan nama anak pertama mereka. Dengan kehadiran Clementine, sukacita mereka terasa bertambah walau seiring dengan sukacita itu, Sebastian dan Mutia jadi lebih sering bertengkar. Selama bertahun-tahun saling mengenal, Sebastian baru sadar bahwa begitu banyak hal dalam dirinya dan Mutia yang saling bertentangan, apalagi dalam urusan mendidik Clementine. Meskipun lama kelamaan sukacita itu terasa terkikis, Sebastian berusaha memaklumi Mutia karena ia tahu keduanya sama-sama punya maksud yang baik untuk masa depan anak mereka.
“Aku tinggal sebentar ya. Awas, jangan ajak dia main sepeda dulu.” Mutia pamit kepada Sebastian karena ia ingin pergi sebentar. Sebenarnya akhir-akhir ini ia kurang memercayai Sebastian untuk menjaga Clementine, tapi kali ini ia tak punya pilihan lain.
“Iya tenang aja. Udah sana, nanti kamu terlambat.” Jawab Sebastian.
Sebastian benar-benar menuruti kemauan Mutia, tapi sepertinya putri mereka tidak.
“Pa, ajarin aku sepeda lagi, yuk.” ajak Clementine yang saat itu masih berusia 5 tahun. Sebastian memang sudah berjanji untuk mengajari Clementine bermain sepeda lagi. Namun karena terakhir kali Clementine jatuh dan terluka lumayan parah hingga membuat Mutia marah besar, Sebastian juga jadi ragu. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin anaknya tumbuh menjadi seorang yang pemberani dan mau mencoba segala hal. Inilah salah satu perbedaan besar di antaranya dengan Mutia yang tak pernah ia sadari sejak dulu.
“Nggak deh. Besok lagi ya. Nanti Mama marah.” Jawab Sebastian yang sebenarnya tak begitu suka memberi ancaman pada anaknya.
“Ayolah, kan Mama lagi gak ada, Pa... kapan aku bisanya?” Clementine terus merajuk dan akhirnya membuat Sebastian tak tega.
Sebastian menghela napas, kemudian tersenyum. “Ya udah, tapi harus dengerin Papa ya.” ujar Sebastian yang disambut dengan anggukan antusias dari Clementine.
“Waktu kamu gowes, jangan liat ke bawah, liat ke depan. Gak usah takut jatuh, Papa pegangin dari belakang.�� dengan sabar Sebastian mengajari Clementine. “Kalo mau rem, kamu turunin kaki, atau tekan ini ke dalam.” Kemudian ia menuntun tangan kanan Clementine ke rem sepeda dan menekan remnya. “Ngerti?” lanjut Sebastian.
“Kok ini keras Pa?” tanya Clementine sembari berusaha menekan remnya.
“Emang begitu kok.” Jawab Sebastian sambil ikut menekan rem sepeda mini itu. “Yuk, coba ya. Ayo, naikkin kakinya ke pedal.”
Senyum dan tawa Clementine membuat Sebastian sejenak terlupa dengan masalahnya. Hingga kemudian jeritan Mutia memecahkan kegembiraan mereka. 
“Kan aku udah bilang, belum boleh naik sepeda!” Mutia langsung memarahi Sebastian.
Sebastian akhirnya tak tahan dan meluapkan isi hatinya. “Mau sampai kapan Mut? Nanti dia kalo udah besar jadi penakut kalo kamu larang-larang terus!” Baik Mutia dan Sebastian sendiri terkejut karena nada bicara Sebastian tak pernah setinggi itu sebelumnya.
“Tapi kan dia masih kecil, masih banyak waktu buat belajar. Kamu emang gak ngerti ya! Pantes aja dulu Mama gak gitu suka sama kamu. Sekarang aku baru tau kenapa.” Sahut Mutia sinis.
“Kenapa Mutia? Karena apa? Kenapa baru sekarang kamu nyeselnya?” tanya Sebastian tak kalah pedas dan ia bahkan sudah tak tahu lagi bagaimana mengendalikan emosinya. Setelah adu mulut mereka berlangsung babak demi babak, keduanya baru sadar Clementine dan sepedanya sudah tak bersama mereka.
“Clementine mana, Bas?” tanya Mutia.
Air mata Mutia tak terbendung lagi. Ia menangis tersedu-sedu. Sementara Sebastian hanya diam. Ia juga sedih luar biasa namun tak setetes air matapun bisa menetes dari pelupuk matanya.
“Maaf...” ucap keduanya kompak dengan getir. Kemudian mereka diam lagi. Hanya ada isak tangis Mutia yang sesekali memecah keheningan.
Sebastian dan Mutia tak lagi saling bicara sejak gundukan tanah terakhir menutupi peti mati Clementine. Pertengkaran membuat mereka tak sadar Clementine terus mengayuh sepedanya dan benar-benar tak kembali. Bayang-bayang sepeda yang sudah terguling dan darah Clementine yang tumpah ke aspal tak akan pernah lepas dari benak Sebastian dan Mutia.
3 hari setelah pemakaman Clementine, Mutia pergi meninggalkan Sebastian tanpa sepatah kata pun. Perasaan Sebastian sangat hancur. Namun rasa sedih dan bersalah yang mendalam anehnya tak sekali pun mampu membuatnya menangis atau meluapkan kesedihannya. Raganya hidup, namun jiwanya serasa mati. Bahkan tak ada hasrat dan tenaga untuk mengakhiri hidup sekalipun.
Sebastian tak pernah melihat Mutia lagi hingga dua tahun kemudian ia mendengar kabar kalau wanita itu sudah dinikahi seorang ekspatriat dan pindah keluar negeri. Sementara Sebastian masih berjuang melawan kesedihan dan rasa bersalahnya. Namun di tengah kesedihannya, Sebastian bersyukur karena Mutia mungkin sudah sembuh dari luka hatinya dan menata kehidupannya yang baru.
“Kalau Clement mirip Andrew ya, Mut. Tinggi, putih..” Sebastian berusaha membuat nada bicaranya terdengar biasa saja, seolah ia sedang ngobrol dengan teman lama yang baru dijumpainya kembali.
“Gak seharusnya aku pergi dan nyalahin kamu..” ujar Mutia lirih. Sebastian diam saja, kemudian berusaha menyunggingkan senyumnya.
“Udah ada jalannya masing-masing Mut untuk kita.” Jawab Sebastian bijak walau ia tak memungkiri perasaannya masih sama setelah akhirnya bertemu Mutia kembali. Air mata perlahan membanjiri mata Sebastian bagai hujan yang turun di gurun pasir.
“Tapi emang harusnya aku cek dulu rem sepedanya.” Lanjut Sebastian sambil tercekat. “Maaf...” lanjutnya dan air matanya mengalir semakin deras.
Mutia tak berkata apa-apa. Tangan kanannya bergerak ingin menyentuh Sebastian, tapi diurungkannya. Memang sudah ada jalan masing-masing bagi mereka selepas kepergian Clementine. Mutia memilih pergi bersama Andrew sang ekspatriat dan Sebastian belajar merelakan kepergian Mutia dengan mencoba menata kembali hidupnya bersama Dian, sahabat lama yang ternyata pernah menyimpan rasa padanya namun mundur teratur setelah Sebastian memilih Mutia. Walau luka hatinya mungkin tak bisa sepenuhnya sembuh, Sebastian bersyukur karena ia bisa menjadi jawaban atas doa dari orang yang ternyata sudah lama menaruh hati padanya.
Air mata Mutia menetes kembali. Keduanya tenggelam dalam tangisan mereka. Kini setelah sama-sama ditinggal oleh Andrew dan Dian, Sebastian dan Mutia seolah bertemu lagi di ujung jalan yang sama, setelah sekian lama menempuh jalan pintas yang berbeda. Rasa yang ternyata masih sama tapi keduanya sadar bahwa mereka tak bisa kembali.
******
“Florentine Hadiwijaya..”
“Clement Andrew Fisher...”
“aku mengambil engkau menjadi istriku...”
“aku mengambil engkau menjadi suamiku...”
“untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya...”
“pada waktu susah maupun senang..”
“pada waktu kelimpahan maupun kekurangan...”
“pada waktu sehat maupun sakit...”
“untuk saling mengasihi...”
“untuk saling menghargai...
“sampai maut memisahkan kita...”
“dan inilah janji setiaku yang tulus.”
Semua hadirin bertepuk tangan menyambut janji setia Clement dan Florentine, termasuk Sebastian dan Mutia yang juga menyambutnya dengan tangis haru mereka. Terutama saat keduanya datang dan memeluk Sebastian juga Mutia, kedua orangtua mereka, yang tak pernah mereka ketahui kisah sesungguhnya.
1 note · View note
crustagracean · 6 years ago
Text
Ogoh yang Bodoh
Tumblr media
Ogoh tak henti-henti menatap sekelilingnya dengan bingung. Walau bingung, ia tak berani bertanya apa-apa kepada dua pria berdada bidang di sebelah kanan dan kirinya, karena wajah keduanya sangat tegang dan garang.
Sembari terus berjalan entah kemana, Ogoh memikirkan serangkaian kejadian yang akhirnya menuntunnya ke tempat ini. Ogoh tertangkap tangan saat sedang berusaha menggasak mesin ATM di seberang gang tempatnya tinggal. Ogoh terinspirasi dari sebuah adegan di film aksi tentang perampokan bank yang sering ia tonton dari DVD bajakan bersama dengan beberapa warga di pos ronda. Di film, perampoknya selalu berhasil dan langsung kaya raya. Namun Ogoh terlalu takut dan tidak percaya diri untuk merampok bank, jadi ia mulai dari mesin ATM terlebih dahulu.
Apa mau dikata, namanya juga film bajakan. Ogoh tak pernah tuntas menonton filmnya karena film selalu macet saat adegan pamungkas, di mana semua perampoknya akhirnya tertangkap. Yang Ogoh ketahui hanya sekadar sukses merampok dan kaya raya. Sudah berpura-pura ramah pada tukang parkir yang berjaga di depan ATM agar si tukang parkir tak curiga, lalu masuk dan berhati-hati menggunting kabel CCTV tanpa ketahuan, tapi nahas, ia ketahuan juga karena membobol mesin ATM dengan palu, hingga dentumannya terdengar sampai keluar bilik ATM. Nasib Ogoh masih beruntung, karena ia tidak habis dipukuli bahkan dibakar warga, seperti yang sudah-sudah.
‘Aduh, sue bener ini nasib.' Gumam Ogoh dalam hatinya. Bila ia lebih berhati-hati dan cerdas, mungkin ia bisa berhasil seperti Pak Doy, ketua RT di tempatnya tinggal, yang setiap menjelang Maghrib selalu membawa pulang sesuatu, entah itu antena televisi, kasur lipat, bahkan karpet mewah yang katanya diimpor langsung dari Arab. Ogoh tahu betul, bapak-bapak kate dengan kumis tebal yang bernyanyi Indonesia Raya saja tak becus itu tak mungkin membeli barang-barang tersebut dengan uangnya sendiri.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, Ogoh harus tinggal di ‘Rumah Pembinaan.’ Dasar Ogoh bodoh dan polos, tentu saja ia tak tahu bahwa ‘Rumah Pembinaan’ hanyalah nama lain untuk penjara, agar katanya terkesan lebih manusiawi dan modern. Ibarat seorang penjahat yang memakai nama alias atau samaran, padahal isi dan penampilannya masih tetap sama, kira-kira seperti itulah ‘Rumah Pembinaan’ ini.
Selesai melamun, rupanya Ogoh belum sampai juga ke tempat tujuannya. Lorong dihadapannya begitu panjang dan seolah tak ada ujungnya. Di sisi kanan serta kiri mereka hanya ada pintu-pintu yang tertutup rapat. Hingga kemudian, dua orang pria berdada bidang itu menghentikan langkah mereka. Ogoh ikut berhenti. Salah seorang dari mereka membuka pintu dan mempersilakan Ogoh masuk tanpa berkata apa-apa. Ogoh masuk, dan baru saja ia ingin bertanya, pintu sudah ditutup kembali.
Ogoh menoleh. Sudah ada dua orang pria di ruangan yang baru saja ia masuki. Ogoh melihat sekelilingnya lagi. Ruangan ini sedikit lebih luas dibandingkan dengan kos-kosan sempit tempatnya tinggal, namun lebih gelap dan pengap. Kedua pria itu menatapnya sekilas, lalu seolah tak peduli dan asyik dengan urusan mereka masing-masing. Yang satu melamun, yang satu lagi juga sedang melamun, tapi kemudian tertawa sendiri, hingga membuat Ogoh bergidik ngeri.
“Udah dari kapan Mas di mari?” Ogoh mendekati pria yang satu yang terlihat ‘lebih waras’ dan berusaha membuyarkan lamunannya.
Pria kurus berkumis tipis itu hanya mengacungkan jari telunjuknya.
“Setaon?” tanya Ogoh lagi. Pria itu hanya mengangguk.
Ogoh kemudian berusaha menjabat tangan kanan pria kurus itu. “Ogoh.” Ia memperkenalkan dirinya.
“Panjul.” Tak disangka, kali ini pria bernama Panjul itu merespon Ogoh.
Sepersekian detik kemudian, Ogoh dikejutkan dengan suara musik keras yang sepertinya terdengar dari atas kepalanya. Ogoh menoleh kemudian berusaha mencari-cari dari mana sumber suara itu. Namun ia tak melihat apa-apa selain lampu pijar 10 watt yang ada di atas kepalanya.
“Wes biasa. Ada pesta.” Panjul berkomentar setelah melihat Ogoh yang terus celingukan.
“Pesta? Gokill! Jelek-jelek gini, ada pesta juga ya di mari.” Kata Ogoh takjub. “Kite boleh ikut kagak nih?” lanjut Ogoh lagi.
Tiba-tiba pria gempal bertelanjang dada yang dari tadi Ogoh tak ketahui namanya tertawa keras. “HAHAHAHA... tong ngimpi, Goh.. Goh! Aya aya wae!” katanya, membuat Ogoh terkejut bukan kepalang.
Ogoh menatapnya sinis kemudian mengarahkan wajahnya pada Panjul. “Ngomong apa sih?” bisiknya pada Panjul, namun ia tak berani menanyakannya langsung pada si pria gempal.
“Ojo ngeguyon, Goh... Goh…Situ punya duit? Sanggup mbayar buat ikutan?” tanya Panjul.
“Heh belekok, kalo punya duit, manehna gak mungkin di dieu.” timpal Ujang, memarahi Panjul.
Ogoh mengerutkan dahinya. “Bayar? Ngapa bayar dah? Kan bukan mau naek angkot..” protesnya.
Belum sempat Panjul menjawab, gemuruh terdengar lagi dari atas. Kali ini beserta riuh tepuk tangan dan Ogoh juga mendengar komat-kamit serta desahan keras namun tak jelas.
“AMPUN DIJEEEE!” suara tinggi melengking terdengar dan musik keras mengalun kembali, membuat Ogoh semakin penasaran.
“Ah ikutan ah! Diem-diem bae di mari. Kagak bosen ngapa?” Karena Panjul dan Ujang tak menjawab, Ogoh hanya mengangkat bahunya, kemudian berusaha membuka pintu ruangan, tapi terkunci.
Ogoh berusaha mengintip lewat lubang kecil di pintu, kemudian mata sipitnya menangkap sosok pria kurus yang sedang lalu lalang di depan ruangannya. Jika dilihat sekilas, pria kurus berkacamata itu terlihat sedikit lebih ramah dibandingkan dengan dua pria berdada bidang yang tadi menggiringnya ke ruangan ini.
“Pakkkkk! Buka pakkkk!” Ogoh mengetuk pintu dengan keras dan heboh, berharap agar pria itu mendengar suaranya.
Ogoh bersyukur karena pintu akhirnya terbuka, namun dugaannya salah karena wajah pria itu justru lebih tegang dan garang.
“Ada apa?!” tanyanya galak.
“Anu, Pak.. katenye ada pesta ya di atas? Saya mau ikut dong, bosen di marimulu...” kata Ogoh tanpa dosa.
Tanpa tedeng aling-aling, si pria kurus berkacamata langsung menempeleng kepalanya hingga Ogoh hampir terjatuh. Ogoh sangat terkejut karena tak menyangka tempelengan pria kurus itu begitu kuat.
“Sampeyan ini gendheng ya? Sana masuk!” bentak pria itu sembari mendorong Ogoh, kemudian mengunci pintu kembali.
“HAHAHA... belegug maneh mah!” Ujang langsung menertawakan Ogoh kembali setelah melihatnya ditempeleng pria kurus berkacamata tadi.
Ogoh kembali menatap Ujang sinis, tapi kemudian ia sadar, tak ada gunanya meladeni orang  tak waras seperti Ujang.
“Wes dikasih tahu toh, Goh.. Goh... Kalo mau ikut pesta di atas, situ harus punya duit, mbayar, ora gratis! Mereka di atas itu lho ya, ‘tukang obat’ semua, punya pohon duit, tiap malam Minggu yo pasti pesta. Sampeyan kalo ndak punya duit, ojo ngarep bisa pesta!” Panjul mengingatkan Ogoh.
“Apaan sih? Duit? Tukang obat? Kagak ngarti, ah!” keluh Ogoh bingung. Dari mana ia bisa dapat uang? Sebelum masuk ke ‘Rumah Pembinaan’, Ogoh tak boleh membawa masuk apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuhnya. Jangankan uang, cadangan kutang pun Ogoh sudah tak punya. Ogoh juga tak mengerti apa hubungannya tukang obat dengan uang. Mak Reot, dukun tua di gangnya saja terkenal bukan karena kemampuannya meracik obat, tapi karena rumahnya yang sudah reot dan hidupnya yang terlalu miskin.
“Ya, uang....... Duit....... Puuu...luuuuussss......” Ujang menanggapi pertanyaan Ogoh sembari menggesekkan jari jempol dan telunjuknya. “Hadeh, kumaha atuh, gitu aja ga ngarti. Karunya teuing.”
“Sudah toh Goh. Sing penting koe banyak-banyak ikhlas kalau sudah di sini.” Panjul menghibur Ogoh.
Ogoh mengerutkan dahinya. Belum ada sehari, tapi ‘Rumah Pembinaan’ ini sudah membuatnya bingung dan pusing tujuh keliling.
Suara ribut-ribut yang tadi didengarnya mendadak berhenti. Kemudian Ogoh mendengar derap langkah kaki di luar ruangan. Melalui lubang kecil, ia melihat sangat banyak orang di luar. Ada beberapa pria berdada bidang, ada juga pria kurus yang tadi menempelengnya, kemudian ada banyak orang-orang yang tak Ogoh kenal, lalu Ogoh juga melihat beberapa dari mereka membawa kamera, entah itu kamera sungguhan atau kamera ponsel. Mereka terlihat sedang mengerubungi sebuah ruangan yang tadi Ogoh lewati, tapi kali ini pintunya terbuka.
Seorang wanita berambut pendek dan berpakaian rapi kemudian keluar bersama dengan beberapa pria di belakangnya yang terlihat sedang mengangkat dispenser air. Dispenser itu sangat mirip dengan dispenser yang pernah dibawa pulang oleh Pak Doy. Tak hanya dispenser, Ogoh juga melihat sebuah kulkas kecil, dan sebuah kotak besar berisi sesuatu yang tak pernah Ogoh lihat sebelumnya. Semuanya dibawa keluar dari ruangan itu.
Seorang pria tegap dan berkumis kemudian bertanya pada pria kurus yang tadi menempeleng Ogoh. Ogoh bisa melihat dan mendengarnya dengan jelas karena mereka tepat berada di hadapannya sekarang.
“Penjara apa warnet ini? Kok ada komputer?”
Pria kurus itu tak menjawab dan wajahnya berubah pucat, tak segarang tadi.
Suasana semakin riuh karena semakin banyak orang mengerubungi si pria kurus berkacamata.
“Pak, apa benar dari empat puluh lima petugas, ada empat puluh satu yang terlibat dalam transaksi ini?”
“Pak, apa benar Anda salah satu dari empat puluh satu orang tersebut?”
“Pak, apa benar Anda yang mengkoordinir semua transaksi?”
“Pak...Pak!”
Ogoh buru-buru memalingkan wajahnya dari lubang pintu, karena takut ketahuan mengintip.
“Itu ngapa dah Jul?” tanya Ogoh pada Panjul.
Panjul mengangguk. “Wes biasa juga itu Goh.” Jawabnya pasrah.
“Yang penting…..
…….puuuuu......luuuuuusssssss.........” timpal Ujang bersama dengan Panjul sembari menggesekkan kembali jari jempol dan telunjuknya. Bahkan Panjul yang terlihat waras pun mulai tertular gila. Atau memang ia sudah gila sejak awal?
Ogoh menghela napas. Hari-harinya di ‘Rumah Pembinaan’ ini sepertinya akan terasa sangat membingungkan.
0 notes
crustagracean · 7 years ago
Text
Cek Toko Sebelah the Series: Don’t Laugh at Me. Laugh with Me.
Sebastian dan Samantha berteman baik. Mereka sudah bertetangga sejak kecil, hingga sekarang sama-sama duduk di bangku kuliah semester 7. Walaupun sama-sama, duduknya di bangku yang beda-beda ya, bukan satu bangku didudukin bersama-sama. Saking dekatnya, Samantha lebih mengenal Sebastian dengan nama kecilnya, Aloy. Sebastian juga lebih mengenal Samantha dengan nama kecilnya, Ah Wei. Memang sudah jadi kebiasaan orangtua mereka, memberikan nama kecil yang sering jauh berbeda dengan nama aslinya. Suatu hari, seperti biasa, Aloy dan Ah Wei sedang dalam perjalanan pulang dari kampus ke rumah masing-masing. Mereka senang membicarakan banyak hal, mulai dari skripsi yang gak kelar-kelar, sampai urusan percintaan masing-masing yang juga gak kelar-kelar. Kadang mereka juga membicarakan nasib kehidupan percinaan (iya, percinaan, Anda tidak sedang salah baca) mereka yang absurd, contohnya sekarang...
“Wei, emangnya lo dulu pas kecil gak pernah main sama tetangga-tetangga di depan rumah lo ya?” tanya Aloy. Ah Wei berpikir sejenak, kemudian ia menggelengkan kepala. “Gak pernah. Tiap abis dari luar terus masuk ke rumah, pasti langsung disuruh tutup pintu rapet-rapet. Apalagi kalo di luar lagi ada yang main bola, wah kalo ketendang kena pintu pager, itu bola bisa jadi mangkok sama bokap gue.” Jelas Ah Wei.
“Kok jadi mangkok?” “Iya, dibelek jadi dua, kan jadi mangkok.” Aloy mengangguk-angguk. “Iya juga sih ya. Tapi kadang seru tau main sama fan nyin. Dulu gue waktu kecil sering tuh nyari ikan cere di got bareng-bareng, terus ya main bola juga kaya anak-anak kecil depan rumah lo. Kalo diomelin juga bareng-bareng, yang ngomelin juga encek-encek kaya bokap lo gitu deh..” Aloy balik menceritakan pengalamannya. “Bokap lo kan juga encek-encek, Loy. Ya fan nyin deket rumah lo enak kalo kaya gitu. Di deket rumah gue rese-rese. Malesin. Makanya mendingan di rumah terus itu pintu ditutup rapet-rapet aja deh. Tau sih emang gak semua orang kaya gitu, tapi kalo gue berasanya sih lebih banyak yang rese daripada yang baik..” “Semua orang mah pasti gitu lah Wei. Kita yang Cina-cina ini juga banyak yang rese kok. Lagian kadang seru lagi main sama mereka juga.” Tanpa terasa, mereka sudah sama-sama sampai di tempat parkir, lalu Ah Wei menatap motor Aloy dengan serius. “Loy, motor lo tuh!” Ah Wei tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Kenapa Wei?!” Aloy mendadak panik karena takut terjadi sesuatu pada motornya yang masih kredit 10 kali. “Motor lo... rodanya dua.... hehehe..he..” jawab Ah Wei terkekeh dan Aloy hanya memelototi Ah Wei dengan mata segarisnya.
********
*mild spoiler alert*
Beberapa bulan yang lalu��lupa persisnya kapan—Ernest Prakasa, pemilik toko yang di sebelahnya pasti ada toko lain (karena judulnya Cek Toko Sebelah), mengumumkan kalo film keduanya yang rilis di bulan Desember 2016 akan dibuat versi serialnya. 
*ulasan versi filmnya pernah saya tulis di sini
Wah, senang sekali perasaan ini saat tahu, karena Cek Toko Sebelah masih jadi film terfavorit saya bila dibandingkan dengan 3 karyanya yang lain. Versi serialnya dirilis di Hooq—aplikasi streaming berbayar—sebanyak 12 episode, yang tiap episode nya rilis hari Senin dan Rabu.
Tumblr media
Tokoh-tokoh utama dan yang mencuri perhatian di filmnya tentu saja masih ada, bahkan ada beberapa tokoh baru yang gak ada di filmnya. Seperti yang pernah dijanjikan juga, porsi komedi di serialnya jauh lebih banyak dibanding dramanya. (Tapi tetep aja endingnya sedih-sedih gimana gitu) Bahkan Koh Afuk, Koh Yohan dan Mbak Ayu yang karakternya dibuat serius di filmnya, dibuat lebih santai dan lucu di serialnya. 
Tumblr media
Konfliknya pun juga lebih kecil skalanya, hanya berkisar di usaha Erwin untuk memajukan toko papanya. Sama seperti filmnya, variasi komedinya juga beragam, mulai dari jokes receh ala Yadi-Ojak, slapstick macam Naryo jatoh dari bangku atau digulingin dari rolling door toko, bahkan isu ‘agak’ serius macam demo buruh sampai perdebatan tentang penciptaan alam semesta pun dibuat jadi lucu.
Tumblr media Tumblr media
Di film pertamanya yang berjudul Ngenest, Ernest berfokus pada kehidupan pribadinya sebagai Cina minoritas yang terpinggirkan. Di versi buku dan filmnya diceritakan bagaimana ia berusaha berbaur dengan lingkungannya yang ujung-ujungnya jarang berakhir dengan mulus. Suksesnya Ngenest sepertinya ditandai dengan semakin banyak orang yang mungkin sadar kalau ternyata orang-orang keturunan Cina pernah sesakit hati dan seberjuang itu untuk bisa diterima. 
Tumblr media
Kemudian, Cek Toko Sebelah juga sukses, bahkan melampaui kesuksesan karya sebelumnya. Buktinya, sampai dibuat versi serialnya.
Tumblr media
Kalau Ngenest bercerita tentang derita dan struggling nya Cina untuk diterima di masyarakat, Cek Toko Sebelah juga masih menceritakan tentang uniknya kehidupan orang-orang keturunan Cina, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Di film dan serialnya digambarkan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang dari suku lain, dan terlihat bedanya, kalau mereka sudah berhasil berbaur.
Tumblr media Tumblr media
Membahas isu identitas (dalam konteks ini Cina) di suatu karya baik itu film, buku, atau serial emang udah jadi hal yang umum. Tahun lalu, ada film Crazy Rich Asian yang juga menceritakan tentang struggling nya keturunan Cina dalam skala yang lebih luas yaitu di belahan dunia bagian Barat. Filmnya memang bagus dan cukup menggambarkan kehidupan orang-orang keturunan Cina super kaya yang punya filosofi untuk selalu bekerja keras dan gak boleh malas.
Tumblr media
Crazy Rich Asian berusaha membuktikan bahwa tidak semua orang Asia itu bodoh dan selalu terpinggirkan dengan cara yang terkesan mewah. Ya judulnya saja, crazy rich, jadi tentu saja digambarkan dengan orang-orang kaya yang mampu membeli apa saja. ‘Karena kami kaya, kamu tidak boleh lagi memandang kami dengan rendah.’ Begitu kira-kira salah satu maksud yang saya tangkap selepas menonton film ini.
Namun, ada sedikit degraded standard dalam film ini. Bila misinya adalah untuk mematahkan isu rasisme terhadap orang Asia, orang-orang keturunan Cina yang menjadi tokoh utama di film ini malah melakukan hal yang sama terhadap orang Asia yang berasal dari suku lain. Orang India hanya pantas menjadi satpam penjaga rumah, sementara orang Filipina hanya pantas menjadi pembantu rumah tangga. Sedikit kekurangan dari film ini, bila mereka tidak mau direndahkan oleh kaum Barat yang kesannya superior, mereka juga tidak boleh merendahkan orang Asia lain yang berbeda dari mereka. Judul Asian pun jadi rancu, karena jadinya lebih cocok Crazy Rich China.
Walau begitu, filmnya sih tetep enjoyable.
Tumblr media
Oke, balik lagi ke Cek Toko Sebelah. Seperti yang ditulis di atas, Cek Toko Sebelah baik versi film dan serialnya menggambarkan bahwa orang-orang keturunan Cina yang hidup di Indonesia sudah berhasil membaur bersama masyarakat lainnya. Ernest terlihat melakukan pendekatan berbeda dengan merangkul yang lain untuk membangun kelucuan, baik itu di film maupun serialnya. Dibandingin sama Ngenest yang pusat kelucuannya tentu saja ada di kehidupan Ernest sebagai keturunan Cina, di Cek Toko Sebelah, setiap tokoh punya kelucuannya masing-masing sesuai karakter dan asal suku mereka. Jadilah komedi yang jujur, apa adanya, dan walaupun premisnya tetap bercerita tentang keluarga keturunan Cina, jokes nya gak mandeg di seputaran percinaan saja. (iya, Anda gak salah baca lagi)
Tumblr media
Menurut saya, yang menarik di versi serial yang tidak ada di versi filmnya adalah, tokoh ibu-ibu gosip yang kebanyakan berasal dari Timur Indonesia (Ambon dan Manado), juga tokoh Martin yang jelas banget asalnya juga dari Timur, dari Papua ya kalo gak salah? Sepertinya karakter-karakter dari Timur ini masih jarang ada di sinetron atau serial TV (walaupun udah ada acara sendiri sih di salah satu TV swasta) karena biasanya penokohan dibuat terjebak di identitas yang mainstream-mainstream saja, baik itu Jawa, Sunda, atau Batak. Walau begitu, yang mainstream tadi tetap diajak, malah jadinya makin lucu. Di adegan pas Naryo lagi ngegosip sama ibu-ibu kayaknya salah satu bukti kalau gosip bisa jadi pemersatu bangsa. Rispek banget sama penulis skenario dan sutradaranya, yang kalo ga salah ada Arie Kriting juga.
Kalau Crazy Rich Asian memilih untuk bercerita secara eksklusif, kedua versi dari Cek Toko Sebelah ini menceritakan kisah tentang keturunan Cina di Indonesia dengan pendekatan yang fun, merangkul, dan keluar dari keeksklusifan Cina itu sendiri. Ya, gak bisa dipungkiri sih kalau masih banyak keturunan Cina yang memilih untuk bersikap seperti Ah Wei, tertutup dan yang penting aman juga nyaman. Tapi, tentu saja masih ada sebagian yang kayak Aloy, contohnya ya cerita di Cek Toko Sebelah ini.
Well, intinya adalah, kalau di Ngenest, Cina masih jadi bahan ketawaan. Di Cek Toko Sebelah, semuanya bisa ketawa bareng. Kalau di bagian pembukaan filmnya Crazy Rich Asian mengutip pernyataan Napoleon Bonaparte: “Let China sleep, for when she wakes she will shake the world.”, mungkin kutipan yang pas setelah nonton Cek Toko Sebelah (baik versi film atau serialnya adalah): “Don’t laugh at me. Laugh with me.”
Tumblr media
0 notes
crustagracean · 7 years ago
Text
Pergi Tanpa Pesan
“Pak, ini nggak bisa lebih cepet lagi ya?”
Aku melirik jam tanganku gusar. Seharusnya aku sudah sampai di tempat tujuanku 20 menit yang lalu, namun waktu seolah terhenti di tempat ini. Kendaraan-kendaraan di sekelilingku tak bergerak, termasuk ojek yang sedang kutumpangi.
“Ya nggak bisa atuh, Mbak. Masa mau saya tabrakin ini motor-motor di depan?” sahut si tukang ojek berhelm hijau itu ketus. Sebenarnya aku sudah tahu kalau ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, tapi rasa takut terlambat akhirnya memaksaku untuk menanyakan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab itu.
“Emang ada apa sih Pak?” tanyaku setengah berteriak karena suasana di sekeliling sangat berisik. Kendaraan mulai maju perlahan, termasuk ojek yang  ku tumpangi, dan semuanya berlomba-lomba membunyikan klakson mereka, lagi-lagi termasuk juga ojek yang sedang ku tumpangi.
“Mbak kan sering lewat sini, masa nggak tahu gara-gara apa?” jawabnya tambah ketus. Sepertinya ia mulai kesal. Akhirnya aku diam dan tak mau bertanya apa-apa lagi, daripada nanti diturunkan di tengah jalan.
Perlahan akhirnya aku menyadari apa yang membuat jalanan menjadi sangat macet. Kereta api baru saja lewat dan sekarang di depan kami ada rel kereta api tanpa palang pintu yang hanya diberi beton pembatas seadanya. Beton pembatas itu hanya memberi sedikit ruang untuk dilewati kendaraan sehingga jalannya menjadi makin sempit. Ditambah lagi dengan polisi cepek yang berlomba-lomba membunyikan kaleng biskuit bekas berisi uang logam dan menghalangi jalan, membuat kendaraan jadi makin sulit untuk melewati rel kereta ini. Aku melihat sebuah papan bertuliskan “Hati-hati, kereta pergi tanpa pesan” dipasang di sebuah beton pembatas.
Bukankah jadi berbahaya jika rel kereta itu tidak diberi palang pengaman dan tidak ada lagi sirine tanda bahaya?
“Sekarang kereta kalo lewat udah nggak ada suaranya Mbak. Palang pintunya juga dilepas tuh. Jadi mesti dijagain tuh sama yang goyang-goyangin kaleng itu. Saya juga heran sih mereka tahu dari mana kalo keretanya bakal dateng. Makanya kalo udah sore kaya gini, amsyong nih jalanan. Macetnya udah kaya neraka. Semuanya tumplek jadi satu disitu.” Setelah sukses melewati rel kereta yang semrawut barusan, si tukang ojek seolah mampu membaca pikiranku dan menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi. Nada bicaranya juga terdengar lebih tenang dibandingkan dengan beberapa saat yang lalu, walaupun masih setengah berteriak karena suasana di sekeliling kami sangat berisik.
“Terus kenapa palang pengamannya dilepas Pak kalo kaya gitu?” tanyaku penasaran.
“Wah saya juga kurang tahu sih Mbak. Tapi dulu katanya ada aturan kalo kendaraan lain udah nggak boleh lewatin rel kereta api, bahaya. Sempet ditutup pake papan kayu tuh dulu, tapi seadanya. Mungkin banyak yang protes, jadinya papan kayunya hilang tuh sekarang. Eh, saya juga nggak ngerti sih kenapa palang pintunya juga dicopot, terus suaranya juga dirusakin kali ya. Ah nggak tahu juga deh saya.”
Aku mengerutkan dahiku. Kalau relnya ditutup, mau lewat mana lagi?
“Lagian aneh juga sih Mbak, kalo relnya ditutup, kita semua mau lewat mana lagi? Terbang?” lagi-lagi si tukang ojek seolah bisa membaca pikiranku. Aku hanya mendiamkannya dan membiarkannya mengantarku sampai ke tujuan tanpa berkata apa-apa lagi.
□□□□□□□□□□□□□□□
“Disty!!!! Kok baru nongol sekarang lo?”
Aku mengusap rambutku yang lepek dan melirik jam dinding di hadapanku. Bagus, aku sudah terlambat hampir satu jam. Padahal aku sudah berangkat satu jam lebih awal dari rumah. Jalanan di Jakarta memang sangat sulit ditaklukan.
“Sorry, Sha. Biasa, macet banget jalanan. Gue udah jalan satu jam sebelumnya padahal. Gue boleh langsung masuk nggak nih?”
“Telat lo. Tuh anak-anak yang biasa lo ajarin udah gue kasih ke Edward. Lo nanti aja, kelas yang jam 7. Lagian tuh anak-anak mana bisa nunggu sih? Tadi aja mamanya si siapa tuh yang bandel….?”
“Thomas?”
“Iya, mamanya si Thomas udah ngoceh-ngoceh, kok lesnya belom mulai, katanya. Ya udah mumpung si Edward udah dateng duluan, gue tuker jadwal lo sama dia.” jelas Marsha, teman seperjuanganku di tempat kursus ini. Kami sudah kenal sejak SMA dan kuliah, namun terpisah karena aku drop out di semester 2. Bukan karena bodoh dan malas ya, tapi karena saat itu keuanganku sangat menipis dan hmm… ada hal lain yang belum bisa kujelaskan. Hingga akhirnya aku bertemu Marsha kembali disini. Bila tugasku mengajar anak-anak, tugas Marsha adalah mengatur jadwal guru-guru sepertiku ini.
“Padahal belom satu jam telatnya.” Aku berusaha mencari alasan.
“Ya mereka kan bayar, mau telat cuma 5 menit juga hitungannya udah rugi lah.”
Aku hanya tersenyum kecut dan melirik jam lagi. “Yah, jam 7 banget nih Sha? Masih 2 jam lagi dong? Kalo 2 jam di rumah, gue udah bisa ngajarin Theo nih. Bisa nih gue ngajarin dia nama-nama binatang di Ragunan pake Bahasa Inggris sampe hafal.” Keluhku. Aku tidak bisa menunggu sesuatu sambil berdiam diri untuk waktu yang lama. Setidaknya harus ada sesuatu yang bisa kuselesaikan sambil menunggu.
“Ya salah lo sendiri. Kenapa telat? Lo mau pulang lagi juga nanggung. Mendingan traktir gue makan, sambil nunggu.” Marsha meledekku.
“Alah, itu mah maunya elo. Lagian harusnya lo yang traktir gue. Katanya baru menang arisan lo.”
Marsha terkekeh. “Ya udah yuk, temenin gue makan dulu. Iya deh, gue yang bayarin.”
“Beneran? Ayo deh kalo gitu. Gue titip tas gue ya di belakang meja lo.” Aku meletakkan tas besarku di kursinya. “Gue nggak usah bawa dompet nih ye?” lanjutku.
“Yeh, tetep dibawa lah Dis. Kan gue cuma bayarin minumnya aja.” sahut Marsha jahil.
□□□□□□□□□□□□□□□
Jam menunjukkan pukul 9 malam. Aku masih di tempat kursus dan baru ingat belum mengajari Theo untuk ulangannya besok. Ditambah dengan tidak ada tukang ojek yang mau menjemputku, membuatku tambah pusing.
“Balik duluan ya Dis. Hati-hati lo.” Marsha berpamitan padaku.
Aku meliriknya heran. “Pulang sama siapa lo?” tanyaku.
Marsha menunjuk Edward yang berdiri di sebelahnya. “Bareng doi.”
“Ciee, sekarang sama Edward lo?” ledekku.
“Apaan sih lo?” gerutunya kemudian mendekatkan wajahnya padaku. “Masa gue sama berondong? Masih mahasiswa lagi. Kere. Nggak level lah.” Bisiknya.
Aku tertawa. “Parah lo.”
“Dah ah. Pulang ya gue, bye.” Pamitnya.
“Duluan ya Mbak Disty. Coba saya bawa mobil, bisa saya anterin sekalian.” Edward ikut berpamitan padaku.
Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka. Sepeninggal Marsha dan Edward, tiba-tiba sebuah mobil melintas dihadapanku. Kaca depannya kemudian terbuka perlahan.
“Disty, pulang sama siapa kamu?” ternyata itu mobil Pak Ian, pemilik tempat kursus ini. Sebenarnya dia tidak tua-tua amat, mungkin usianya hanya terpaut dua atau tiga tahun denganku, namun karena ia sosok yang punya jabatan disini, ia jadi dituakan dan semua orang akhirnya memanggilnya ‘Bapak.’
“Lagi nunggu ojek nih Pak.” Sahutku, kemudian aku baru sadar kalau ponselku sudah mati dari tadi. Pantas saja tidak ada tukang ojek online yang mengambil pesananku.
“Udah, pulang sama saya aja.” Pak Ian kemudian membuka pintu mobilnya. “Malem-malem bahaya pulang sendirian. Anak kamu juga lagi sendirian kan di rumah?” lanjutnya.
“Ada tetangga sih Pak yang jagain.” Aku malah mengelak ucapannya. Masih bagus diberi tumpangan. Disty… Disty….
“Tapi kan kamu juga harus cepet-cepet pulang.” Ujarnya kemudian. Nada bicaranya sangat sabar, aku jadi tidak enak bila harus menolak ajakannya.
“Boleh deh Pak. Makasih banyak ya.” Aku akhirnya masuk ke mobilnya.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Selain karena sudah capek, aku juga agak segan bila harus memulai percakapan dengan Pak Ian. Apalagi tadi aku terlambat datang ke kursus dan aku juga tidak mau membuatnya tahu kalau aku terlambat.
“Rumah kamu dimana Dis?” akhirnya Pak Ian yang memulai percakapan.
“Eh, deket kok Pak. Ini tinggal lurus, sampe ketemu rel kereta api, lewatin rel kereta api, nah lurus lagi sampe ketemu pemadam kebakaran, nah di sebelahnya ada gang kecil, nanti saya turun aja di depan gang itu.” Aku keasyikan melamun sampai lupa memberi tahu rumah tempat tinggalku.
“Oke deh. Nanti kalo misalnya saya salah jalan, kamu tolong kasih tahu saya lagi ya.”
“Iya, pasti Pak.”
“Anyway, nggak usahlah pake Bapak. Panggil aja Ian langsung. Saya tahu, umur kita nggak beda jauh kan? Berasa tua tahu sayanya.” Pak Ian berusaha mencairkan suasana di antara kami.
“Aduh, nggak enak tapi Pak. Udah kebiasaan juga.” jawabku tak enak hati.
“Kalo kamu ngerasa nggak enak, ya udah di kursus nggak papa tetep pake Bapak deh. Tapi kalo misalnya di luar, nggak usah pake Bapak lagi.”
“Ya udah deh Pak… eh, Ian.” Aku terkekeh dan memilih untuk mengiyakan saja ucapannya. Yang penting aku bisa sampai di rumah dengan cepat dan selamat.
“Gitu dong..” Pak I… eh Ian kedengarannya senang dengan ucapanku barusan.
Aku hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa lagi. Pikiranku melayang entah kemana. Mengingat Theo yang sendirian di rumah, hmm… secara teknis ia tidak sendiri karena aku titipkan di rumah Bu Nia, tetangga dekat rumahku yang rumahnya juga dibuat kos-kosan. Theo seharusnya aman karena suasana rumah Bu Nia pasti ramai, ditambah dengan beberapa anak kosnya yang ku kenal dengan cukup baik, mereka selalu tak keberatan bila kutitipkan Theo pada mereka. Tapi tetap saja aku merasa sedikit tidak tenang.
“Kenapa Dis? Kayanya ada yang lagi dipikirin nih.” rupanya Ian memperhatikanku.
“Ya biasa Pak.. eh Ian… tuh kan masih nggak biasa. Mikirin anak di rumah, sendirian.” Jawabku, berusaha membuat suasana terasa santai, padahal sebenarnya aku sudah tidak betah karena ada perasaan awkward yang juga sulit ku jelaskan.
“Tuh kan, emang harusnya kamu pulang sama saya. Coba tadi kalo kamu tetep tungguin ojek, bakal lebih lama lagi kan pulangnya.” Ia mulai membanggakan dirinya lagi. “Ngomong-ngomong anakmu sekarang kelas berapa?” tanyanya lagi.
“Masih SD kelas 1.” Sahutku singkat dan seadanya. Entah kenapa aku jadi semakin merasa tidak nyaman.
“Oh, masih kecil ya. Cewek atau cowok? Siapa namanya?” lama-lama Ian jadi seperti petugas sensus saja.
“Theo namanya. Cowok.” Jawabku lagi. “Hmm, itu udah keliatan gangnya. Saya turun disini aja ya.” Untungnya gang rumahku sudah terlihat, walaupun aku masih harus berjalan sedikit lagi.
“Loh, kan masih dikit lagi. Nggak apa-apa nih turun disini?” tanya Ian sembari menghentikan mobilnya perlahan.
“Iya, nggak apa-apa. Saya juga gak bisa langsung masuk gang, mau jemput Theo dulu di rumah ini.” Aku menunjuk sebuah rumah Bu Nia yang sekarang tepat berada di hadapan kami. “Lagian nanti kalo kelewatan, puter baliknya susah lagi.” Lanjutku.
Untungnya Ian tidak memaksa. Alasanku sudah cukup jujur dan logis, jadi tak seharusnya ia memaksa untuk mengantarkanku langsung sampai di depan rumah. Ia menghentikan mobilnya, lalu membuka pintu mobilnya untukku.
“Makasih ya Ian.” Aku turun dan berterima kasih padanya.
“Sama-sama Dis. Sampai ketemu besok ya.” Jawabnya, lalu menutup kaca jendela mobilnya dan langsung pergi.
Aku bingung dengan ucapannya yang terakhir. Besok aku tidak ada jadwal mengajar di kursus, bagaimana bisa kami bertemu besok?
□□□□□□□□□□□□□□□
“Mama, aku pulang…”
Aku baru saja ingin bersiap mengambil tasku dan menjemput Theo di sekolahnya saat ia tiba-tiba muncul di hadapanku dengan wajah imut nan menggemaskannya.
“Theo, kamu pulang sama sia…pa…?” aku tak mampu melanjutkan kata-kataku saat aku melihat siapa yang ada di sebelahnya.
“Sama Om Raka, Ma.” Jawabnya polos sembari menggerakkan tangan kanannya yang digenggam oleh seorang pria dewasa bernama Raka di sebelahnya.
Aku buru-buru menarik tangan Theo dari Raka, lalu berjongkok dan membisikkan sesuatu padanya. “Mama kan udah pernah ajarin kamu, jangan mau pergi sama orang yang ngnggak kamu kenal. Kalo ternyata dia orang jahat gimana?”
“Tapi Om Raka nggak jahat Ma, buktinya dia anterin aku sampe rumah. Terus katanya Mama itu temen baiknya Om Raka.” Theo malah membantah ucapanku dengan lantang dan jelas membuat Raka mendengarnya. Aku melirik Raka sekilas. Ia hanya tersenyum kecil.
Aku menghela napas. Namun baru saja aku ingin menasihati Theo lagi, seseorang yang tak kusangka akan datang, muncul di hadapanku.
“Sore, Disty..” Ian, si juragan kursus langsung masuk dan menghampiriku. Aku bisa melihat Raka meliriknya dengan tatapan kurang suka. Bodohnya, pria itu tidak juga beranjak dari tempatnya.
“Ian… ada apa ya?” aku agak bingung dengan kehadirannya. Ditambah juga, dari mana ia tahu rumahku? Namun karena ia masih bosku, aku tidak enak juga menanyakannya. Rupanya ini yang ia maksud dengan ‘sampai bertemu besok’.
“Nggak apa-apa, mau main aja.” Sahutnya singkat, kemudian melirik Theo. “Ini yang namanya Theo ya?” lanjutnya, bertanya pada Theo. Ian juga seolah tidak mempedulikan Raka yang sedang berdiri di belakangnya.
“Theo, kamu masuk dulu ya, sana sama Om Ian. Mama mau ngomong dulu sama Om Raka.” Aku berbisik pada Theo. Walau kelihatan takut pada Ian, Theo akhirnya menurut juga. Aku juga tidak mau membiarkan Theo lama-lama bersama Ian yang baru ku kenal beberapa bulan—itu pun hanya kenal seadanya—tapi aku juga tidak punya pilihan lain.
“Masuk aja, tunggu di dalem dulu ya.” Aku mempersilakan Ian masuk dan akhirnya ia masuk bersama Theo.
Sepeninggal Ian dan Theo, aku tidak tahu harus mulai dari mana dengan Raka.
“Pacar baru kamu?” ia langsung memulai percakapan dengan pertanyaannya yang menurutku anggak sinis.
“Emangnya kenapa?” aku bertanya balik, tidak mengiyakan, juga tidak mengelak.
Raka malah terkekeh. “Disty, Disty. Orang yang baru kamu kenal bisa langsung kamu kasih masuk, aku yang masih suami kamu malah kamu suruh berdiri disini.” Ia melanjutkan perkataan kurang ajarnya masih dengan senyum menyebalkannya. Yang dulu pernah membuatku jatuh cinta.
Aku mendekatkan diriku padanya. Perkataannya barusan membuatku sangat marah, tapi aku tidak mau Ian apalagi Theo mendengar kami ribut-ribut. “Heh Raka, masih berani lo nyebut diri lo suami?” aku menunjuk wajahnya dengan jari telunjukku. “Suami itu nggak ada yang tiba-tiba pergi ninggalin istri sama anaknya. Kemana aja lo selama ini? 7 tahun gue ngurus Theo sendirian, terus sekarang lo tiba-tiba dateng dan masih nganggep lo itu seorang suami? Lo sinting apa gimana sih?” lanjutku marah.
Raka malah diam saja. Aku semakin gereget melihatnya. Rasanya aku ingin meninju wajahnya keras-keras, tapi bila kuperhatikan lagi, penampilan Raka agak berubah. Awalnya aku sempat tak mengenalinya. Tubuhnya jauh lebih kurus dibandingkan dengan 7 tahun lalu, saat kami terakhir kali bertemu. Wajahnya juga pucat. Aku jadi tak tega dan berusaha menahan amarahku, meskipun sulit.
“Kamu nggak pernah cerita ke Theo ya kalo aku ini Papanya?” ia lanjut bertanya lagi, seolah tak mempedulikan pertanyaanku barusan. Intonasi suaranya malah semakin melembut, meskipun ia terlihat tak terima karena Theo memanggilnya ‘Om’ bukan ‘Papa’.
“Ya buat apa? Emangnya lo masih nganggep dia anak lo?” jawabku sinis. Aku memang tidak pernah memajang foto Raka di rumah. Sepertinya semua kenangan tentangnya sudah kubuang jauh-jauh dan dengan kurang ajarnya, sekarang ia datang lagi.
“Adisty.. oke, aku minta maaf. Aku nggak bisa nyalahin kamu kalo kamu marah sama aku. Maaf karena dulu aku pergi tanpa pesan apa-apa sama kamu…”
“Pesan-pesan, emangnya gue tukang nasi goreng?” aku menanggapinya kesal.
“Denger dulu Dis.” Raka langsung memotong ucapanku dengan serius. “Sorry, kalo aku pergi dan nggak bilang apa-apa sama kamu, tapi sekarang, aku ngaku salah.” Lanjutnya.
“Terus apa? Kalo lo udah say sorry, mau apa lagi?” aku tak tahu lagi harus bagaimana menanggapi Raka. “Nih ya, elo kalo cuma say sorry tanpa ngejelasin apa-apa, sama aja kaya ngerjain soal Logaritma, tapi lo jawabnya pake rumus Simple Present Tense. Ngawur, terus lo cuma dapet nol besar.” Lanjutku, menggunakan analogi yang aneh untuk menanggapi Raka.
“Mentang-mentang udah jadi guru, pake bawa-bawa rumus segala Dis.” Raka malah mengomentari analogi tak pentingku.
“Intinya, sekarang jelasin kenapa lo dulu tiba-tiba pergi tanpa ngomong apa-apa, jangan cuma say sorry doang!” lanjutku to the point, agar ia mengerti dengan apa yang ku maksud.
Raka malah diam saja. Ia menunduk.
“Ya udahlah. Gue nggak punya banyak waktu. Lo kalo mau pergi, silakan. Gue masih ada urusan lain yang lebih penting.” Aku akhirnya tidak mau lagi berurusan dengannya. Tanpa menunggu Raka pergi, aku langsung masuk dan menutup pintu. Urusan dengan Raka ku anggap selesai, dan sekarang aku harus berurusan lagi dengan Ian yang tak kalah anehnya.
Tak kusangka, Theo malah asyik bermain dengan Ian. Ia yang semula takut, sekarang malah sedang tertawa-tawa dengan Ian.
“Theo, kerjain PR dulu sana.” Aku berusaha membujuknya.
“Ya mama, tadi disuruh nemenin Om Ian. Nanti aja ah kerjainnya.” Theo malah membantah ucapanku.
“Kerjain dulu PR nya, nanti kita main lagi ya. Nanti Om Ian beliin coklat deh.” Baru saja aku ingin memarahi Theo, Ian malah berhasil membujuknya.
“Beneran Om? Ya udah, aku kerjain PR ku ah sekarang.” Benar saja, Theo langsung menurut dan dalam sekejap ia sudah meninggalkan kami.
“Sorry ya, jadi repot.” Aku jadi tidak enak dengan Ian. Bukan hanya tidak enak karena Ian jadi harus keluar uang untuk membelikan Theo coklat, aku juga tidak enak menegur Ian karena aku sendiri jarang memanjakan Theo. Theo itu tipe anak yang bila sekali dijanjikan sesuatu, ia akan terus memintanya lagi dan lagi. Mengingat tindakan Ian barusan, sekarang Theo pasti jadi akan lebih berani meminta sesuatu dariku.
“Nggak apa-apa lah Dis. Anak kamu lucu ya, pinter lagi.” ia memuji Theo. “Mirip mamanya.” Lanjutnya.
Aku tak tahu harus bagaimana, jadi aku hanya tersenyum saja setelah mendengar ucapannya barusan. “Oh iya, mau minum apa? Sorry ya tadi kelamaan di luar.”
“Nggak usah repot-repot Dis, saya bawa minum sendiri kok.” Ian mengeluarkan botol minum dari tasnya. “Duduk dong Dis, mau ngobrol sama kamu.” Ian mempersilakanku duduk, seolah ia tuan rumahnya.
Agak canggung, aku duduk di kursi di sebelahnya. Untunglah di antara kami ada sebuah meja kecil yang memisahkan, jadi aku tidak harus dekat-dekat dengannya. Aneh juga, padahal Ian tidak salah apa-apa, tapi aku tidak betah bila harus lama-lama berdua dengannya.
“Jadi kamu sehari-hari ngapain aja Dis?” Ian mulai bertanya, seperti pemandu acara di televisi yang sedang berkunjung ke rumah selebriti yang dikunjunginya.
“Ya gitu deh, ngurusin Theo, ngajar kursus, terus kadang ada anak-anak yang dateng ke sini, saya ngajar privat juga.” Jawabku.
Ian mengangguk-angguk. “Ohh, emang kamu suka ngajar ya?”
Aku hanya mengangguk mengiyakannya. Memang rasanya hanya itu yang bisa kulakukan saat ini untuk membiayai hidupku dan Theo. Berbekal nilai bagus selama sekolah, juga sedikit ilmu yang kudapat dari kuliah yang hanya sebentar, serta kesukaanku pada anak-anak, akhirnya aku memutuskan untuk menjadi guru.
“Kalo boleh tahu, yang tadi itu siapa Dis?” tak kusangka, sekarang Ian malah menanyakan Raka.
“Hmm, temen lama.” Jawabku agak gelagapan.
Ian mengangguk-angguk lagi. Kemudian ia diam sebentar. Kelihatannya ia ingin bertanya lagi tentang Raka, tapi sepertinya ia tak enak denganku. Atau mungkin hanya aku yang geer?
“Btw, buat hari ini, kalo misalnya ninggalin Theo sendirian kamu masalah nggak?” tanya Ian lagi, tapi kali ini ia terdengar agak grogi.
“Hah? Maksudnya?”
“Hmm, iya. Saya mau ajak kamu pergi.. deket aja kok, nggak lama. Cuma saya mau ngobrol berdua aja sama kamu.” jawab Ian agak terbata.
Aku sangat terkejut mendengar ajakannya, namun berusaha mengendalikan ekspresiku. “Aduh, gimana ya?” aku berusaha mencari alasan untuk menolaknya. Diantar pulang berdua saja sudah membuatku tak nyaman, apalagi bila harus sengaja pergi berdua dengannya?
“Eh, tapi kalo kamu nggak bisa hari ini, ya nggak apa-apa. Next time kan bisa kita atur lagi.” Ian buru-buru menambahkan.
“Iya nih, kayanya nggak bisa.” Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. “Oh iya, saya baru inget mau bikin soal buat anak les saya. Terus mau ngajarin Theo perkalian. Maaf ya…” lanjutku, memberi penjelasan semasuk akal mungkin.
Ian terlihat kecewa, tapi kemudian terlihat kalau ia berusaha menyembunyikan kekecewaannya. “That’s okay, tapi lain kali bisa ya?”
Aku hanya mengangguk saja, supaya cepat. Lain kali aku harus memikirkan alasan lagi untuk menolaknya, atau seandainya bila harus pergi dengannya, aku harus mengajak Marsha juga.
“Ya udah deh, saya pulang dulu ya. Kayanya masih banyak yang harus kamu kerjain.” Ian akhirnya berdiri dari tempat duduknya, padahal aku tak bermaksud mengusirnya.
Aku akhirnya ikut berdiri untuk mengantarnya keluar. “Lain kali, kalo mau ketemuan di tempat kursus aja ya, atau di tempat lain. Nggak usah sampe ke rumah juga, jadi repot kamunya.”
“Nggak apa-apa, kan mau tahu juga rumah kamu dimana.” Jawab Ian.
Aku hanya tersenyum dan kemudian membukakan pintu rumahku untuknya. Tak kusangka, Raka masih ada di depan rumah. Kukira ia menyerah dan sudah pergi dari tadi.
“Temen kamu, Dis..” ujar Ian sesaat setelah ia melihat Raka.
Aku menatap Raka sinis, kemudian mengalihkan pandanganku pada Ian.
“Jadi nanti kita kemana? Nanti Theo belajar sama Nana aja, anak kos tetangga saya.” Tanpa berpikir panjang, kalimat itu langsung meluncur dari mulutku.
Ian tersenyum lebar, sementara Raka hanya terbelalak.
□□□□□□□□□□□□□□□
Sepanjang perjalanan bersama Ian, hatiku sangat tidak tenang. Apalagi saat aku bersiap pergi dan bergegas menitipkan Theo pada Nana, Raka masih tetap di tempatnya. Ia tidak menatapku apalagi Ian. Raka hanya tersenyum pada Theo, tanpa berkata apa-apa. Aku juga pura-pura tak menganggapnya ada. Namun sekarang sebersit rasa bersalah muncul dalam benakku. Aku tidak yakin apa penyebabnya. Entah karena meninggalkan Theo, atau karena aku mendiamkan Raka dan sengaja pergi bersama Ian yang sebenarnya tidak kusukai, namun aku memilih mengiyakan ajakkannya agar Raka sadar kalau aku tak mau lagi kembali padanya.
“….jadi ya gitu deh. Sayang banget cafe nya tutup. Padahal makanannya enak.” Aku tidak mendengarkan lagi apa yang dikatakan Ian karena sibuk melamun. Ian juga sudah berhenti berbicara. Sepertinya ia mulai sadar kalau aku tidak mendengarkannya.
“Dis? Kenapa? Makanannya nggak enak ya?” tanya Ian, berusaha membuyarkan lamunanku.
“Eh, nggak kok. Enak..” jawabku gelagapan kemudian memakan makananku.
“Kalo beneran nggak enak jujur aja Dis.” Ujar Ian kemudian menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya. “Kayanya gara-gara pengeluaran nggak nutup jadi bangkrut deh itu cafe. Makanannya agak mahal sih, tapi gara-gara ada wifi, jadi banyak yang cuma pesen minuman terus nongkrongnya berjam-jam. Kadang ada juga yang cuma duduk terus pergi tapi nggak pesen apa-apa.” Lanjutnya, menceritakan tentang cafe yang tadinya akan menjadi tujuan kami, tapi ternyata tempatnya sudah tidak ada. “Pantesan aja di depan restoran ini ditulis, ‘dilarang pergi tanpa pesan!’ Aneh juga..”
Aku hanya mengangguk seadanya. Papan peringatan yang tadi Ian sebutkan membuatku jadi ingat dengan percakapan dinginku dengan Raka tadi sore.
“Kamu kenapa sih Dis? Kayanya temen kamu yang tadi ganggu pikiran kamu banget ya?” Ian seolah sedang membaca pikiranku.
“Hmm, sorry kalo saya lancang… tapi saya mau nanya, kamu ada apaan sih, tiba-tiba dateng ke rumah, terus ngajak saya pergi berdua, nggak boleh ajak Theo juga? Sorry nih sekali lagi kalo kedengerannya lancang, tapi saya juga mau tahu.” Aku tak sanggup lagi berbasa-basi dengan Ian, jadi lebih baik langsung saja kutanyakan, juga tidak mau menjawab pertanyaannya.
Ian menghela napas. “Jadi gini, Disty. Saya dan beberapa teman saya bikin yayasan baru, dan kami udah mendirikan sekolah. Ya, pengembangan dari tempat kursus tempat kamu ngajar, tapi sementara ini sekolah kami baru ada Taman Kanak-Kanak sama Sekolah Dasar aja dan kami coba buat dengan standar nasional plus….”
Aku mulai tertarik mendengarkan penjelasan Ian. Awalnya kukira ia akan mengakui perasaannya padaku, atau hal-hal lainnya. Atau memang aku yang terlalu geer. “Terus?”
“Jadi, saya mewakili yayasan, mau rekrut kamu buat jadi tenaga pengajar di sekolah kami. Penghasilannya jelas lebih besar dari gaji kamu di kursus. Bukannya menghina ya, tapi saya tahu kamu juga pasti butuh uang lebih buat keperluan Theo kan? Nah, kamu juga punya minat besar buat ngajar anak-anak kan? Mungkin ini kesempatan kamu.” lanjut Ian.
Aku berpikir sejenak. Terdengar menjanjikan, tapi kemudian aku merasa sedikit aneh. “Kamu yakin? Saya cuma lulusan SMA lho, bukannya aneh ya kalo sekolahnya standar nasional plus, tapi gurunya aja nggak sarjana?”
“Lho, emangnya kenapa? Selama kamu cukup kompeten, anak-anak dan orangtua murid juga nggak akan ada yang tahu kan kalo kamu cuma lulusan SMA?” sahut Ian.
“Kamu udah diskusi sama temen-temen kamu belum? Ya masa keputusan merekrut guru cuma sepihak dari kamu sendiri?” tanyaku lagi.
Ian agak gelagapan. “Ya belum sih, tapi saya yakin mereka juga pasti suka sama kinerja kamu, Disty.” Jawabnya akhirnya. “Jadi kamu tertarik nggak?” lanjutnya.
Aku tak mengerti dengan jalan pikiran Ian. Kalau memang ia mau merekrut pengajar yang sudah ia kenal, jauh lebih banyak guru yang lebih baik dariku di tempat kursus. Aku memang cukup percaya diri dengan kemampuan akademisku, tapi teladan dan ketepatan waktuku bisa jadi mendapat angka merah bila setiap guru di tempat kursus punya raport mereka masing-masing. Bahkan Edward yang mahasiswa itu mungkin masih lebih baik dariku.
Aku percaya, dalam mendidik orang lain, aku juga harus memberikan contoh pada mereka bahkan dalam hal sekecil apapun. Bila dalam lingkup kecil seperti tempat kursus saja aku masih sulit, apalagi bila aku dipercayakan sesuatu yang besar seperti yang ditawarkan Ian? Ah, atau memang aku saja yang terlalu idealis.
“Gimana Dis?” tanya Ian lagi karena aku melamun.
“Kayanya nggak dulu deh..” jawabku akhirnya.
Ian terlihat kecewa. “Kenapa? Jarang loh ada kesempatan kaya gini.” Ia berusaha meyakinkanku lagi.
“Kalo kamu mau rekrut dari orang yang udah kamu kenal, masih banyak orang yang lebih baik dari saya, Ian.” Aku berusaha memberikan alasan yang sesingkat namun sejelas mungkin.
“Tapi menurut saya, kamu yang paling baik, Disty.” Ian mempertahankan argumennya.
“Oke, kalo saya nanya balik, kenapa kamu pilih saya? Kasih saya alasan yang spesifik, jangan cuma karena saya yang paling baik.” Aku menantangnya lagi.
“Ya karena kinerja kamu, saya kan udah bilang tadi.” Jawab Ian.
“Ah masih kurang spesifik itu.” Aku mengelak alasannya.
“Karena saya mau bantu orang yang saya sayang.” Ujarnya akhirnya dan kalimat terakhirnya membuatku hampir menyemburkan es teh yang sedang kuminum ke wajah Ian.
“Apa? Sorry?” tanyaku, pura-pura tidak mendengarkan ucapannya barusan.
“Ya gitu Dis. Saya nggak mau kalo cuma ngomong doang, kalo saya bener-bener punya perasaan sama kamu, ya saya juga harus punya sesuatu buat bantu kehidupan kamu biar bisa lebih baik.” Jawab Ian. Baru kali ini aku melihat sisi lain dari seorang Ian.
Aku terdiam. Ketakutanku ternyata terbukti. Memang dari segi manapun, Ian jauh lebih baik dari Raka, setidaknya untuk saat ini. Tapi perasaan tak bisa dipaksa kan? Bukan berarti aku memilih untuk kembali pada Raka, namun sekarang aku jadi bingung dengan perasaanku sendiri.
“Sorry Dis, jadi nggak enak kamunya.” Ian jadi tak enak hati. “Tapi kalo kamu nggak mau ya saya nggak akan maksa.”
“That’s fine. Saya pikirin dulu ya.” Jawabku, padahal aku juga tak tahu apa yang harus kupikirkan. Cara Ian menyatakan perasaannya sungguh di luar dugaanku.
□□□□□□□□□□□□□□□
“Makasih ya Ian. Hati-hati.” Ucapku sesaat setelah aku turun dari mobilnya. Malam sudah sangat larut. Theo mungkin tertidur di rumah Bu Nia. Aku harus berhati-hati menggendongnya agar ia tak bangun.
“Nana, Theo mana?” tanyaku saat aku tiba di rumah Bu Nia. Aku baru saja ingin menegurnya karena masih mengajak Theo menonton televisi jam segini, tapi kemudian aku baru sadar kalau anak laki-laki yang sedang bersamanya itu bukan Theo. “Saya kira ini Theo.” Lanjutku.
“Loh, Theo udah pulang Kak dari tadi. Nggak lama setelah Kakak nitip dia kesini, udah dijemput dia. Aduh, saya lupa nanya lagi siapa namanya. Pokoknya cowok, tinggi, seumuran Kak Disty kayanya. Ini mah adik saya, baru aja saya ajak dari Surabaya.” Jelas Nana.
Sudah jelas, pasti Raka dari tadi masih di rumah. Ia sudah tahu kalau kunci cadangan kutitipkan pada Nana, dan kemudian ia membawa Theo kembali ke rumah saat aku sudah pergi. Setelah berpamitan pada Nana, aku cepat-cepat pulang.
Sesampainya di rumah, aku buru-buru mencari Theo. Ia sudah tidur pulas dan Raka duduk di samping tempat tidurnya. Setelah melihatku pulang, Raka langsung mengajakku keluar kamar.
“Main pergi aja kamu. Theo ditinggal gitu aja.” Ia menegurku.
Aku diam saja dan hanya memasang wajah galak padanya. Aku sudah sangat lelah, tapi mengapa Raka tak juga pergi dari sini?
“Kamu aneh ya Dis. Kamu guru, ngajar banyak anak-anak, tapi masa nilai anak kamu sendiri jeleknya bukan main? Nggak sempet kamu ngajarin Theo?” Raka menegurku lagi.
Aku sudah setengah mengantuk saat mendengar ocehannya. “Terus lo udah ngapain aja selama ini? Ajarin dia lah sekarang sana. Terima jadi doang bisanya.” Jawabku asal.
“Dis, kalo seandainya kita udah nggak bisa sama-sama lagi dan kamu jadi sama orang itu, silakan. Tapi Theo harus ikut aku.” Raka tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat kantukku hilang dan berganti menjadi amarah.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung menampar wajahnya keras-keras sampai Raka tersungkur ke lantai.
“Mau lo apa sih?! Waktu dia masih bayi lo tiba-tiba pergi, nggak bilang apa-apa, terus gue yang ngurusin dia setengah mampus, sekarang lo mau ambil dia gitu aja? Wah, udah gila ya lo? Gue nggak mau anak gue jadi nggak bertanggung jawab kaya lo!” aku sangat marah sampai aku tak tahu lagi apa yang harus kukatakan.
“Ya ini kesempatan aku buat didik dia, Dis. Kesempatan terakhir.” Raka masih beralasan. Tubuhnya jadi terlihat lemah karena sepertinya ia tak mampu lagi berdiri setelah aku memberinya tamparan keras barusan.
“Heh, gue kurang kasih kesempatan apa lagi ke lo? Lo kira gue nggak tahu kalo selama ini lo diem-diem ngajak dia pergi, beliin dia ini itu, terus gue bisa nahan diri buat nggak maki-maki lo di depan Theo, masih kurang? Gue juga udah kasih lo kesempatan buat jelasin, kenapa dulu lo tiba-tiba pergi tanpa bilang apa-apa, tapi lo malah diem aja. Sekarang lo masih minta kesempatan lagi? Lo emang brengsek ya, Ka.” Tanpa kusadari, air mata mengalir di wajahku, saking kesalnya diriku.
“Satu-satunya hal yang bikin gue nyesel banget ya Ka, gue nyesel kenapa dulu gue tolol banget, gue tolol karena milih buat hidup sama lo. Terus setelah gue milih buat hidup sama lo yang brengsek ini, lo malah pergi gitu aja. Lo sadar dong Ka!” aku sangat kesal sekaligus sedih. “Gue nggak mau Theo jadi tolol sama brengsek kaya orangtuanya…” aku tak mampu melanjutkan kata-kataku.
Raka juga diam saja. Tapi kemudian aku mendengarnya mengerang kesakitan. Sedetik kemudian, ia jatuh tak sadarkan diri di pangkuanku.
□□□□□□□□□□□□□□□
“Mama, jadi sebenernya Om Raka itu siapa sih? Emang bener dia Papa aku?”
Aku diam sejenak, kemudian mengangguk. Sepulang dari pemakaman, hujan turun dengan sangat deras sehingga aku dan Theo harus cepat-cepat pulang. Sepanjang perjalanan pulang kami, Theo terus menggenggam album foto yang dibawakan Raka untuknya. Aku tak tahu pasti kapan Raka memberikan itu untuk Theo, mungkin di hari yang sama saat aku pergi bersama Ian, dan kemudian bertengkar dengan Raka untuk yang terakhir kalinya. Aku tak menyangka pertemuan terakhir kami malah diisi dengan pertengkaran.
“Lo kok nggak cerita-cerita sih Dis?” tanya Marsha padaku. Kali ini ia meminjam mobil sepupunya, demi mengantarkanku dan Theo ke pemakaman.
Aku menoleh sejenak untuk memastikan kalau Theo sudah tertidur di jok belakang, agar ia tak mendengarkan percakapan kami dan benar saja, ia sudah tidur. Semua hal ini mungkin membuatnya bingung dan lelah. “Lo juga nggak pernah cerita kalo lo udah sering banget ketemuan sama dia.” sahutku.
“Ya sorry Dis. Abisnya dia juga nggak mau lo tahu. Gue sampe bosen, dia nanyain lo sama Theo terus, tapi tiap gue suruh samperin aja, nggak pernah mau. Pusing juga gue kadang-kadang.”
“Emang kaya gitu deh dia. Tolol.” Gerutuku sinis.
“Hush, parah lo! Udah nggak ada masih dikatain lagi.” Marsha menegurku.
“Ya gimana nggak tolol coba? Mana gue tahu kalo dia pergi tiba-tiba gara-gara sakitnya makin parah? Kan dia tinggal bilang aja, gue juga ngerti kali.” Aku masih sangat kesal pada Raka. Kesal bercampur sedih.
“Ngomong nggak segampang ngelakuin lah Dis. Terus lo sama Theo bisa ketular kan?” Marsha berusaha menenangkanku. “Anyway, sorry ya Dis kalo gue nyinggung lo, tapi mungkin Raka juga nggak enak kali sama keluarga lo. Ibaratnya dulu lo ninggalin keluarga lo demi nikah muda sama Raka, terus ternyata dia penyakitan, tapi harus hidupin lo sama Theo. Gue kalo jadi Raka mungkin udah bunuh diri kali Dis.” Sambungnya. Aku, Raka, dan Marsha sama-sama sudah kenal sejak SMA. Lalu kemudian Raka tidak lanjut kuliah, jadi tinggal aku dan Marsha, dan akhirnya tinggal Marsha seorang karena aku drop out. Jelas kalau Marsha sangat mengenal kami berdua.
“Emang sih, keputusan buat pergi gitu aja juga nyebelin banget, tapi mungkin itu satu-satunya cara terbaik yang bisa dia lakuin kan Dis? Daripada dia terus-terusan hidup sama lo sama Theo, terus amit-amitnya kalian ketular penyakitnya, beban lo di depan keluarga lo bisa makin gede lagi kan Dis?” Lanjut Marsha lagi.
“Kok lo jadi ngebelain dia sih?” tanyaku ketus.
“Gimana sih, katanya kan elo mau tahu apa yang sebenernya mau dia jelasin?” jawab Marsha. “Lo juga nggak bilang-bilang kalo dia akhirnya nyamperin lo.”
“Nggak tahu lah Sha. Semuanya all of sudden. Gue masih nggak terima sih kenapa dia nggak cerita apa-apa. Selama 7 tahun itu nggak bisa dihubungin sama sekali. Begitu balik eh ternyata udah begini.” Ujarku lirih. “Coba kalo dia jujur dari awal, gue nggak akan mikir negatif atau yang aneh-aneh kan ke dia?”
“Jadi sekarang lo masih marah nggak sama Raka?” tanya Marsha.
“Mau marah juga buat apa? Orangnya juga udah nggak ada.” Jawabku apa adanya. Tapi memang rasa bingung, marah, juga sedihku seolah sudah ikut terkubur bersama dengan jasad Raka.
“Seenggaknya dia udah ninggalin pesen buat lo kan sebelum pergi, walaupun bukan dia langsung sih yang nyampein.” Ujar Marsha lagi.
Aku tersenyum tipis. “Ya, emang cemen dia. Nggak berani ngomong langsung.”
Marsha terkekeh. “Terus lo gimana sama Ian? Ada kelanjutan nggak?” ia mengalihkan pembicaraan.
“Apaan sih lo?” aku menepuk lengannya perlahan.
“Eh, ini kalo nabrak salah lo ya!” Marsha menegurku karena aku menepuk lengannya saat ia sedang mengemudi. “Kan gue cuma nanya, emangnya salah?”
“Ya menurut lo gimana?” aku bertanya balik. Tadi Ian sempat datang ke pemakaman Raka, dan ia akhirnya tahu kalau Raka masih suamiku. Setelah tahu kenyataan yang ada, aku merasa kalau Ian agak menarik diri.
“Menurut gue sih ya, kalo lo emang suka juga sama dia, ya jalan aja. Tapi kalo lo nggak suka, jangan tiba-tiba pergi, tapi nggak bilang apa-apa ya…”
□□□□□□□□□□□□□□□
0 notes
crustagracean · 8 years ago
Text
Posesif: Pergeseran Makna Cinta
Apa yang muncul pertama kali dalam pikiranmu ketika kamu mendengar kata ‘cinta pertama’? Apakah kamu akan mengingat semua pengalaman yang manis? Atau pahit? Atau bahkan menegangkan sampai dapat membuatmu menggigil ketakutan ketika mengingatnya?
Lala mungkin merasakan ketiganya sekaligus. Pertemuan pertamanya dengan Yudhis memang manis dan tak terlupakan, namun siapa sangka, pemuda imut nan rupawan itu justru perlahan menarik Lala masuk ke dalam dunianya yang kelam. Kisah cinta pertama yang manis perlahan berubah menjadi rumit, bahkan menegangkan dan berbahaya.
Tumblr media
Selama 102 menit, saya dibawa ke dalam kisah cinta Lala dan Yudhis yang penuh gejolak dan siap ‘mengombang-ambingkan’ pikiran penontonnya. Jeritan dan pekikan mainstream ala film remaja pada umumnya (‘Aww, so sweet!’, ‘Duh romantisnya’, ‘Halah, gombal!’, ‘Halah, sepik ae!’ dll) berpadu dengan kerutan dahi dan pertanyaan-pertanyaan aneh macam: ‘Lho kok gitu?’, ‘Kok bisa?’, dsb. Well, nonton film ini serasa naik roller-coaster yang menegangkan, tapi sambil ngeliat orang pacaran dan mesra-mesraan di depanmu. Ada pemandangan manis berbalut dengan ketegangan dan sedikit ‘kengenesan’ (apalagi kalo nonton filmnya sendirian).
Saya cukup menikmati film ini, walau mungkin tidak semua orang akan memiliki ‘cangkir teh’ yang sama dengan saya. Ada beberapa adegan yang mungkin terkesan menggantung dan banyak mengundang pertanyaan, namun saya rasa jawabannya kembali kepada kita semua sebagai penontonnya. Justru akhir yang terkesan menggantung selalu menjadi kesukaan saya, tidak semua sutradara atau penulis skenario harus langsung ‘menyuapi’ penontonnya sampai kenyang, kadang para penontonlah yang harus mencari tahu dan mengenyangkan isi pikiran mereka masing-masing.
Tumblr media
Walau terkesan rumit, film ini sangat cerdas. Semua elemen dibuat seolah tanpa unsur kesengajaan atau asal diletakkan saja. Bahkan simbol pinguin dan paus yang menjadi hewan kesukaan Lala dan Yudhis pun seolah punya arti tersendiri, walau mungkin beberapa orang akan menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele, atau tidak begitu penting. Jajaran aktor, aktris, sinematografi apik, dan soundtrack asyik juga turut serta membangun mood film. Penokohan dan karakter Lala dan Yudhis juga tidak sekadar hitam dan putih. Yudhis yang terlihat ‘gila’ dan bengis ternyata memiliki ‘lingkaran setan’ yang tanpa sadar tidak ia putuskan dan dibuat kembali dalam hubungannya dengan Lala. Lala juga tidak sepenuhnya gadis tangguh yang pendiriannya selalu kuat. Cinta dan hubungan tak logisnya dengan Yudhis juga akhirnya membuat Lala ikut ‘gila.’
Tumblr media
In the end, Posesif bukan film tentang drama percintaan remaja biasa. Pantas bila tahun ini Posesif diganjar 10 nominasi Piala Citra, bahkan sebelum tayang secara luas. Ia menggali jauh lebih dalam, bahwa cinta tidak selamanya indah dan manis. Cinta yang berlebihan juga bisa beracun dan membuat penikmatnya gila.
Tumblr media
0 notes
crustagracean · 8 years ago
Text
Benang Merah
“TIIIIINNN TIIIIINNNNNN!!!!!” “WOIII! NYAWA LO SEMBILAN YA?! MINGGIR! NANTI KALO MATI KETABRAK GUE YANG REPOT!!!” Sri tersadar dari lamunan setelah deru mesin motor yang membuat telinga sakit itu berlalu dari hadapannya. Sumpah serapah yang diteriakkan oleh si pengemudi berjaket kulit itu tidak ia dengar sama sekali. Sepertinya suara dalam otak dan hatinya terdengar lebih keras daripada teriakan orang tadi.
Harusnya Sri sadar, pindah ke kota besar ini tidak langsung membuat nasibnya berubah menjadi lebih baik. Tapi keputusan untuk hijrah ke kota ini bagaikan disuruh memilih calon presiden yang paling tidak jahat di antara calon yang jahat lainnya.
‘Lho? Mikir opo toh kamu Sri? Wong deso mau ngomong-ngomongin presiden? Gak pantes lah.’ Suara hatinya seolah membalas suara lain yang tadi muncul dalam kepalanya.
Lalu sekarang apa yang harus ia lakukan? Sri terus berpikir kalau ia tidak punya masa depan dimana-mana. Ya tinggal tunggu nanti matinya dimana dan bagaimana caranya. Rasa penyesalan lalu perlahan muncul dan semakin menguatkan kesadarannya bahwa pindah ke kota besar ini malah membuat keadaannya makin buruk. Sri menyesal karena terlalu mudah percaya dengan kata-kata manis dari Ningsih, tetangga sebelah yang pindah duluan kesini dan sesampainya ia di kota ini, nama itu tidak lagi Sri temui. Ternyata Ningsih sudah berubah menjadi Nancy, penyanyi dangdut paling kontroversial karena ketahuan menjadi orang ketiga seorang produser rekaman yang juga mengorbitkan kariernya.
“Kamu tuh kalo mau cepet kaya, ya begini caranya.” Sri masih ingat kata-katanya saat ia akhirnya bertemu dengannya di kota ini. “Gimana? Tidur sama suami orang? Ya aku gak mau lah.” Sri langsung membantah ucapannya.
Ningsih menyulutkan api ke rokoknya, kemudian menghisap dan menghembuskan asapnya ke wajah Sri. “Yo weis lah, terserah kamu. Tapi sekarang liat aku dong.” Ningsih kemudian berdiri dan membentangkan tangannya, berusaha memamerkan setelan baju, tas, dan aksesoris yang ia pakai, yang harganya mungkin setara dengan satu ekor kerbau di kampung.
“Sekarang aku kudu piye? Kerja apa?” Sri tidak peduli dengan usaha pamer Ningsih dan mendesaknya agar mampu memberikan solusi supaya ia tidak mati kelaparan dan sia-sia di tempat ini. Ningsih kemudian memelototi Sri. “Kamu ke sini mau minta duit kan? Heleh dasar.” Ia kemudian mengeluarkan beberapa lembar seratus ribuan dari dompetnya. “Nih, buat bayar kos. Tapi kamu cari kerja sendiri. Aku lagi gak ada channel.”
Sri mengerutkan dahi, tak mengerti dengan kata terakhir yang Ningsih ucapkan. “Channel?” lidahnya semakin ‘kota’ saja semenjak meninggalkan kampung.
“Ya pokoknya begitu lah. Kecuali kalo kamu mau nemenin om-om.” Ningsih terus berusaha membujuk Sri agar mau melakukan hal seperti yang ia lakukan.
“Ning, ning. Kamu kan tau sendiri. Kamu mau om-om nya mati habis nidurin aku?” akhirnya Sri balas menjawab bujukan Ningsih.
Ningsih akhirnya diam. Sri juga diam. Lalu mereka berpisah dan Sri tidak pernah melihatnya lagi sejak hari itu. Ningsih juga mungkin malu punya teman seorang perempuan miskin dan terkutuk seperti Sri.
Sri memang tidak berlebihan saat mengatakan dirinya seorang yang terkutuk. Tahun memang terus berganti, zaman semakin modern, namun kehidupan di kampungnya rasanya masih mundur beberapa tahun. Terbukti dengan banyak yang masih percaya hal-hal klenik dan mitos. Sri yang sejak lahir tinggal di kampung mau tak mau terbawa arus dan kadang juga ikut percaya. Banyak yang bilang kelahirannya adalah sebuah kutukan untuk keluarga. Sri terlahir dengan bentuk bahu melengkung seperti busur panah, juga ada bulatan besar berwarna hitam di bahu kirinya. Warga sekitar menyebutnya sebagai perempuan berbahu laweyan, yang konon katanya bila menikah dengan seorang pria, pria itu akan meninggal dengan cara tidak wajar. Begitu terus sampai ia menikah untuk yang ketujuh kalinya, maka kutukan itu hilang. Meskipun kutukannya hilang, tapi wanita berbahu laweyan tetap tidak akan mampu menghasilkan keturunan, konon begitu katanya.
Awalnya Sri tidak sadar sampai usianya menginjak 17 tahun. Saat gadis-gadis kampung seusianya sudah menikah bahkan punya anak, Sri jelas belum. Jangankan menikah, yang dekat-dekat saja hampir tidak ada. Ditambah dengan latar belakang keluarga yang miskin dan pendidikan yang hanya sampai bangku SMP, sudah pasti tidak ada pria yang mau dan sudi untuk dekat-dekat. Ibu Sri depresi, karena Sri anak pertama, tapi tak kunjung juga mendapatkan suami hingga hari ini, bahkan adik keduanya akhirnya melangkahinya dan menikah duluan.
Tapi setidaknya nasib Sri sedikit lebih beruntung karena ia merasa jiwanya masih cukup waras. Sri tidak seperti Munaroh, wanita gila di kampung yang juga terlahir dengan kondisi sama sepertinya. Munaroh juga mulanya tidak percaya dengan mitos itu, namun setelah dua kali gagal menikah karena kedua calon suaminya selalu meninggal satu minggu sebelum akad nikah, ia depresi, lalu jadi gila dan kadang meresahkan warga kampung.
Langkah kaki Sri kemudian membawanya ke depan sebuah rumah yang cukup besar, walaupun tidak semewah rumah yang ditempati Nancy. Ukuran rumah besar itu agak kontras dengan gang sempit yang ia lalui. Di depan pintu besi yang sudah berkarat tertempel sebuah kardus yang sudah dipotong kecil dengan tulisan ‘Butuh tukang obras wanita’ di permukaannya. Agak ragu, Sri mendorong pagar yang tidak dikunci. Saat ia masuk, beberapa pasang mata menatapnya agak heran. Seorang pria yang duduk di dekat jendela menghentikan pekerjaannya lalu berdiri dan menghampirinya.
“Mau kerja Mbak?” tanyanya dengan suara agak keras karena di dalam sangat berisik. Deru mesin jahit seolah beradu dengan musik dangdut yang diputar cukup keras dari radio.
Sri mengangguk ragu. Ia tidak punya pengalaman sebelumnya, tapi kalau tidak dicoba, Sri tidak akan pernah tahu.
“Cik, ada yang nanya-nanya nih!” pria itu masuk dan memanggil seseorang yang sepertinya adalah pemilik rumah ini. “Mau kerja katanya!” lanjutnya kemudian menoleh lagi pada Sri. “Masuk aja Mbak.” Ia mempersilakan Sri masuk, seolah ia adalah pemilik rumah ini.
Seorang wanita kurus berusia kira-kira empat puluhan keluar dan menghampiri Sri. Dia adalah Cik Meili, pemilik rumah sekaligus usaha konveksi ini.
“Lagi butuh tukang obras… Cik?” karena tidak tahu harus memanggilnya apa, Sri akhirnya ikut-ikutan saja.
Ia mengangguk sambil mengecilkan volume radio yang dari tadi membuat telinga Sri sakit.
“Hmm, hari ini udah bisa mulai kerja?” Sri bertanya lagi.
“Boleh.” Jawab Cik Meili singkat. Biarpun responnya singkat-singkat, kelihatannya ia senang karena akhirnya ada juga yang mengisi posisi yang ia cari.
Sri mendekati mesin obras yang di pinggirnya penuh dengan kain-kain, juga beberapa potong baju yang sepertinya harus segera ia kerjakan setelah ini. Pria yang tadi menyambutnya menekan tombol ON dan mesin pun menyala.
“Satu baju 5000 ya. Nanti kalo udah selesai, taro disini, terus kasih tau saya udah berapa banyak yang di obras.” wanita bermata sipit itu menunjukkan tempat dimana Sri harus meletakkan baju-bajunya, kemudian ia masuk lagi ke dalam.
Bukan angka yang besar, tapi setidaknya Sri menemukan cara untuk bertahan hidup di kota ini.
□□□□□□□□□□□□□□□□□□
“Kampungnya dimana Neng?”
Sri menoleh. Rupanya pertanyaan itu berasal dari Ujang yang mesin jahitnya persis berada di sebelah kanannya. Ujang juga yang tadi bertingkah seolah ia adalah pemilik rumah ini.
“Jepara, Mas.” Jawab Sri.
“Oh, wong Jowo.” Ia menyahut lagi dan kali ini diikuti oleh gumaman yang lain. Dari cara bicara mereka, Sri bisa menyimpulkan bahwa ia adalah satu-satunya orang Jawa disini. Kadang Sri tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan karena mereka lebih sering ngobrol dengan bahasa Sunda, apalagi saat mereka mulai membicarakan Cik Meili.
“Si Udin mana? Udah dapet borongan?” gadis seusia Sri yang posisi mesinnya tepat di belakang mesin obras memulai percakapan lagi. Entah ia bertanya pada siapa, tapi pasti ada saja yang menjawab pertanyaannya.
“Pulang kampung dia. Gawe disana.” Ujang yang menjawabnya. “Habis pilih gubernur, dijanjiin usaha, biar cepet kaya cenah. Jadi balik kampung aja.” Lanjutnya. Mulutnya luwes berbicara seiring dengan tangannya yang cekatan bekerja. Sri salut, karena ia tidak bisa sepertinya. Bekerja ya bekerja, ngobrol ya ngobrol, tidak bisa dilakukan bersamaan.
“Halah, aya aya wae.” Yang lain ikut memberi komentar.
Sri diam saja tapi ikut berkomentar dalam hati. Mau gubernur atau walikota atau siapapun yang sehebat bagaimanapun dan mampu memutarbalikkan kemiskinan di kampungnya rasanya Sri tidak akan pernah kembali ke sana. Kecuali bila seluruh warga kampung tidak lagi percaya pada kutukan aneh itu.
“Sri wis nikah durung?1” si Ujang bertanya lagi. Tak Sri sangka ia bisa bahasa Jawa juga.
Sri menggelengkan kepala sambil serius mengerjakan pekerjaannya. Topik pembicaraan seperti ini yang sangat tidak ia sukai, tapi demi kesopanan, Sri mau tak mau menjawabnya. Untungnya ke-20 potongan baju sudah selesai diobras, jadi Sri bisa ‘melarikan diri’ sebentar masuk ke tempat Cik Meili. Ruangan tempat menjahit dan tempat Cik Meili menyelesaikan pekerjaan dipisahkan dengan sebuah triplek besar, pantas saja mereka dari tadi sangat leluasa ngobrol bahkan bercanda, karena tidak akan langsung ketahuan, kecuali bila Cik Meili keluar.
Namun saat Sri berdiri dan bergegas untuk menyerahkan hasil pekerjaannya, ia masih sedikit mendengar lanjutan dari ucapan Ujang.
“Opo artine cantik nek ora payu-payu.2”
Ucapannya barusan diikuti oleh gelak tawa yang lain. Tidak semuanya tertawa sih, tapi tetap saja Sri merasa sedikit sakit hati. Seandainya mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kalau pun mereka tahu juga tidak ada gunanya.
“Sri.” Cik Meili memanggil Sri sesaat setelah ia meletakkan baju-baju itu seperti biasa. “Tolong bantu buang benang, bisa? Obrasan lagi gak banyak kan? Nanti dibayar.”
Sri mengangguk. “Bisa.” Setidaknya ia bisa menjauh sebentar dari yang lain. Kemudian tanpa ragu Sri duduk di seberang Cik Meili.
“Nanti yang udah beres ditaro sini aja. Terus bilang saya udah berapa potong.” Cik Meili memberitahu Sri tanpa sedikitpun memalingkan wajah dari pekerjaannya. Ia terlihat sedang menyusun dan melipat baju-baju yang selesai dijahit dan dibuang benang, kemudian memasukkannya satu per satu ke dalam sebuah plastik bening. Lalu Sri mencoba memulai dengan mengangkat sebuah baju. Ternyata pekerjaan ini sangat mudah karena hanya tinggal menggunting sisa-sisa benang di pinggir baju dengan sebuah gunting khusus. Hanya dibutuhkan ketelitian dan kesabaran karena harus duduk di lantai untuk waktu yang lama. Sri senang karena setidaknya ia tidak harus menanggapi celotehan tukang jahit yang lain. Sembari mengerjakan pekerjaannya, Sri diam-diam memperhatikan Cik Meili.
Cik Meili sangat serius mengerjakan pekerjaannya. Tangannya sangat gesit dan sejak tadi sepertinya ia mengerjakan semuanya sendiri. Sejak awal memang usaha konveksi ini adalah idenya. Seperti yang banyak dilakukan oleh perantauan kelas menengah yang satu kampung dengannya. Kun tien nyin, biasa Cik Meili menyebutnya untuk perantau dari sebuah kota di daerah Kalimantan Barat.
Di dalam gang ini setidaknya ada lima rumah yang melakukan usaha yang sama. Persaingan semakin ketat, namun Cik Meili sedikit bersyukur karena usahanya masih bisa bertahan selama 11 tahun. Sejak anak pertamanya masih duduk di kelas 5 SD hingga sekarang sudah kuliah semester 6, usaha konveksinya masih bisa berjalan walaupun sekarang semakin tersendat dan sangat menguras tenaga juga energinya karena hampir semua ia lakukan sendiri. Cik Meili tidak punya toko baju sendiri untuk menjual baju-bajunya, semua potongan kain ia ambil dari pemotong kain yang juga kun tien nyin sepertinya. Setelah semua potongan kain itu menjelma menjadi baju-baju, baru kemudian diantar lagi pada si pemasok kain, karena mereka yang menjual baju-baju itu.
Kebanyakan orang menganggap apa yang ia lakukan hebat dan bisa cepat kaya karena banyak yang beranggapan usaha konveksi bisa mendatangkan untung yang sangat besar. Pendapat seperti itu yang sering membuat Cik Meili berkonflik dengan beberapa tukang jahitnya. Mereka mengganggap Cik Meili mengambil untung besar karena harga baju per potong untuk para tukang jahit tidak ia patok tinggi-tinggi. Jelas di posisi ini para tukang jahit yang dirugikan. Cik Meili sudah sangat bosan menjelaskannya. Usaha konveksinya ini adalah usaha konveksi ‘prematur’ karena tidak sehebat konveksi yang lain. Untungnya kecil, kalah dengan pengeluaran membeli benang, listrik, dan lain-lain, bahkan pernah tidak untung sama sekali.
Lalu selain masalah untung dan rugi, melakukan pekerjaan ini sangat besar bebannya. Rumah yang cukup besar ini sebenarnya bukan rumah miliknya. Cik Meili dan Koh Abun, suaminya, sangat berhutang budi pada Indira, adik perempuan Koh Abun. Rumah ini dibeli dengan uangnya, lalu Cik Meili dan Koh Abun diminta untuk tinggal disini, karena saat itu Indira masih bekerja di sebuah kantor sebagai pimpinan direksi, jadi jarang pulang dan ia tinggal di sebuah paviliun yang disediakan oleh kantor. Cik Meili kemudian berinisiatif untuk membuat sebuah usaha konveksi karena Koh Abun di-PHK setelah puluhan tahun bekerja di sebuah perusahaan. Koh Abun juga Indira setuju, jadilah mereka memulai usaha ini hingga sekarang.
Masalah muncul ketika kantor tempat Indira bekerja bangkrut, kemudian wanita itu mengalami kecelakaan hingga kaki kanannya lumpuh dan tidak dapat bekerja lagi. Beberapa tahun belakangan, Indira akhirnya tinggal bersama mereka. Awalnya Indira masih bersikap baik dan pengertian pada mereka, tapi semakin lama tingkah dan perkataannya seolah mengisyaratkan bahwa mereka harus tahu diri karena rumah ini bukan milik mereka. Ditambah lagi kondisi rumah yang semakin tua dan lapuk disana-sini karena usaha konveksi yang dilakukan, membuat Cik Meili merasa semakin tertekan.
Usaha ini juga sempat mengalami pasang surut. Jauh sebelum Sri datang, ruangan yang penuh dengan mesin jahit pernah kosong melompong selama beberapa bulan. Entah karena tidak ada bahan yang bisa dijahit karena para pemasok kain juga sedang lesu usahanya, atau karena tukang jahit yang minggat karena pendapatan yang mereka terima tidak sesuai. Saat itu Koh Abun sangat stress karena Veronica, anak pertama mereka baru mendaftar kuliah dan butuh biaya yang cukup besar. Gadis itu sudah mengakali dengan kuliah sambil bekerja, namun tetap saja kurang. Cik Meili jelas tidak bisa berdiam diri. Ia punya ide untuk menjual minuman dingin, susu kacang dan kacang hijau di depan rumah mereka. Gang rumah mereka sering dilalui orang banyak, jadi usaha baru itu bisa menjadi peluang yang bagus. Cik Meili awalnya tidak mau memberitahu Koh Abun, karena ia sudah tahu apa respon pria paruh baya itu.
“An nan. Ng si lah.3”
“Siapa yang mau beli?”
“Mereka mana suka minum beginian?”
Cik Meili berusaha mengabaikan gema suara Koh Abun yang dari tadi terdengar di telinganya. Ia memutuskan untuk diam-diam saja. Sedotan, gelas plastik, es batu, dan beberapa bungkus minuman siap saji sudah ia siapkan. Hingga akhirnya niatnya ketahuan juga. Koh Abun jelas marah dan tidak berhenti mengoceh. Ujung-ujungnya, sedotan, gelas plastik dan minuman siap saji itu teronggok begitu saja di lemari kayu. Es batu jelas sudah mencair, ikut mendinginkan otak dan hati Cik Meili yang panas dan geregetan karena Koh Abun sangat mudah putus asa. Ia mau tak mau harus mengikuti apa mau suaminya.
Beberapa hari berselang Cik Meili juga Koh Abun shock karena rumah di sebelah rumah mereka membuka usaha minuman dingin dan laku keras. Selama beberapa malam, Koh Abun tidak bisa tidur karena menyesal melarang Cik Meili berjualan. Cik Meili diam saja. Ia tidak marah, tidak menyalahkan Koh Abun, juga diam saja saat Koh Abun menyampaikan penyesalannya.
Untungnya bisnis konveksi mereka kembali merekah. Koh Abun berinisiatif mencari pemasok kain baru dan usaha mereka bisa berjalan lagi sampai sekarang. Cik Meili bekerja lebih keras dan lebih banyak diam. Ia bosan dan sudah kenyang ribut dengan Koh Abun saat bisnis mereka tengah melesu. Cik Meili juga seolah sudah kebal dengan sindiran dan tingkah Indira yang semakin hari semakin dingin padanya. Cita-citanya sekarang hanyalah melihat Veronica dan Jonathan—kedua anaknya—sukses, dan bisa melakukan apapun tanpa bergantung dan harus membalas budi pada orang lain. Itulah yang berkali-kali ia tekankan sampai kedua anaknya mungkin sudah bosan mendengarnya.
“Kamu tinggal dimana Sri?” Cik Meili akhirnya bertanya setelah mereka dari tadi diam saja. Tumpukan baju-baju itu secara ajaib sudah dilapisi dengan plastik bening dan Cik Meili terlihat bersiap melakukan pekerjaan lain.
Sri terlihat kaget, sepertinya ia bekerja sembari melamun. “Di gang 3, Cik. Deket kok.” Jawab Sri agak gelagapan.
Cik Meili mengangguk-angguk. “Udah punya anak?” ia bertanya lagi.
Sri menelan ludah. Ternyata Cik Meili sama saja dengan yang lain. Sri hanya menggeleng. Kemudian mereka diam lagi.
“Cik, ini benangnya pake yang mana?” Ujang muncul memecah keheningan mereka. Ia terlihat memegang sebuah kain dan kemudian menunjukkannya pada Cik Meili.
“Yang merah tua aja.” Sahut Cik Meili. “Itu pake yang udah dibuka.” Lanjutnya.
“Sri, obras dong.” Ucap Gadis yang Sri tidak tahu siapa namanya.
Sri bangkit dari duduknya kemudian menghela napas perlahan karena harus mendengar percakapan tak penting mereka lagi.
□□□□□□□□□□□□□□□□□□
Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Tidak terasa, karena seharian ini Sri terus berkutat dan berkonsentrasi pada pekerjaannya. Sri baru sadar tinggal ia seorang yang berada di ruangan penuh debu itu. Tak lama kemudian, Cik Meili keluar dan bersiap mematikan kipas angin juga lampu, tapi kemudian tidak jadi karena ia melihat masih ada Sri yang sedang bekerja.
“Belum selesai, Sri?” tanyanya. Sri agak takjub karena Cik Meili mengingat namanya. Sri kira ia tidak begitu peduli dengan pekerja sepertinya. Sri bisa berpikir seperti itu karena menguping pembicaraan tukang jahit yang lain tadi siang.
Sri menggelengkan kepala, sembari mempercepat pekerjannya. Ia tidak enak karena ditunggui, juga takut Cik Meili akan menganggap kerjanya lamban, dan besok ia akan disuruh pergi.
Namun Cik Meili hanya berlalu tanpa berkata apa-apa. Tidak jadi mematikan kipas, juga mematikan lampu. Sri kembali melanjutkan pekerjaannya, sembari bertanya-tanya. Seharian ini ia melihatnya bekerja sendirian. Kalau memang Cik Meili adalah bos, mengapa tidak menggaji tukang atau pekerja yang lebih banyak, jadi bisa santai dan terima beres? Tapi sudahlah, bukan urusannya juga. Sepertinya Sri mulai tertular kebiasaan suka membicarakan dan mengurusi orang lain dari teman-temannya barusan.
Beberapa menit berselang, Sri meletakkan potongan baju-baju itu di lantai. Potongan baju itu sempat menyenggol triplek lapuk yang memisahkan ruangan yang penuh dengan mesin jahit dan ruangan tempat Cik Meili bekerja. Oh iya, Sri lupa, dari tadi ia tidak tahu siapa nama encik-encik di hadapannya ini. Namanya juga tidak pernah disebut-sebut oleh tukang jahit yang lain. Hanya Cik, Cik, dan Cik.
“15 ya Cik.” Setelah meletakkan baju itu, Sri memberitahunya berapa banyak baju yang baru ia obras tadi. Cik Meili mengangguk kemudian mencatat hasil pekerjaan Sri di buku besarnya. Sri terus memperhatikannya hingga ia selesai mencatat dan kemudian Cik Meili menatap Sri heran.
“Kenapa?”
Sri menggelengkan kepala. “Besok datengnya jam berapa Cik?” Sri bertanya untuk mengalihkan keheranan Cik Meili. Sebenarnya Sri ingin langsung saja menanyakan namanya, tapi rasanya sangat canggung.
“Jam 8 aja.” Jawabnya, lagi-lagi singkat. Benar, sepertinya ia malas berbicara dengan orang-orang seperti saya, pikir Sri. Tadi saat ia buang benang pun Cik Meili tidak terlalu banyak bicara.
Sri mengangguk, namun tidak segera beranjak dari tempatnya berdiri. “Cik, kalo boleh tau namanya siapa? Biar enak saya manggilnya.” Akhirnya Sri memberanikan diri untuk bertanya. Sejak kecil memang ia dididik untuk berkenalan dan harus tahu dengan nama orang lain yang diajak kenalan. Jadi aneh saja rasanya bila ia tidak tahu nama wanita yang akan menjadi atasannya.
“Panggil aja Cik Meili.” Sahutnya acuh, kemudian mengambil sapu dan bersiap menyapu ruang menjahit yang penuh dengan debu.
Sri termangu saat melihat Cik Meili mengambil sapu. “Mau saya bantu Cik?” spontan, Sri menawarkan bantuan padanya.
Cik Meili menatap Sri sekilas. “Beneran?” Wajahnya agak curiga.
Sri hanya mengangguk dan kemudian Cik Meili menyerahkan sapu itu padanya. Tak disangka, Cik Meili tersenyum meskipun senyumnya sangat tipis. “Makasih ya.” Sri ikut tersenyum kemudian langsung menyapu ruangan penuh debu itu. Baru kali ini ia merasa dirinya bisa berguna untuk orang lain.
□□□□□□□□□□□□□□□□□□
Beberapa minggu, kemudian satu bulan berselang, Sri seolah mulai ‘menemukan dirinya’ selama bekerja di rumah Cik Meili. Ia sedikit lupa dengan beban hidup dan ‘kutukan’ yang melekat pada dirinya selama di kampung karena sibuk bekerja dan langsung tidur sepulang kerja. Bersosialisasi juga seperlunya, namun Sri merasa kalau ia sudah tidak sependiam dulu dan keberadaannya cukup bisa diterima oleh yang lain. Intinya, Sri baru merasa keputusannya pindah ke kota Jakarta ini tidak buruk-buruk amat. Ia masih bisa bekerja dan mendapat uang halal, tidak harus menjadi seperti yang Ningsih lakukan.
Cik Meili juga tidak lagi sedingin saat pertama kali mereka bertemu. Semua hal yang dibicarakan oleh tukang jahit yang lain tidak sepenuhnya benar. Sri juga bertemu Koh Abun, suami Cik Meili yang sifatnya ternyata tidak segarang wajahnya. Koh Abun sangat humoris dan sering mengajaknya bercanda dalam taraf yang sopan dan wajar. Sri akhirnya tahu kalau Cik Meili tidak melakukan semuanya sendiri, ada Koh Abun juga yang bekerja bersamanya. Melihat mereka membuat Sri berpikir, seandainya ia bisa seperti itu. Sri memang benci dan setengah tidak percaya dengan kutukan bahu laweyan yang menimpanya, tapi rasa takut untuk memulai sebuah hubungan dengan pria tetap ada, sekalipun sekarang ia sudah berada jauh dari kampungnya. Bagaimana bila memang kutukan itu benar? Sri juga tidak tega membunuh orang lain karena keegoisannya.
Kehadiran Sri sangat membuat Cik Meili tenang. Gadis itu sangat baik dan berbeda dengan pekerja-pekerja lain yang dulu pernah ia temui. Tidak cerewet, rajin, jarang tidak masuk, dan pintar karena cepat mengerti dengan apa yang Cik Meili mau ia kerjakan. Sri juga tidak banyak menuntut dan mengeluh, sepertinya gadis itu memang terlihat mencintai pekerjaannya. Tapi masalah baru muncul lagi. Ujang yang izin beberapa hari yang lalu untuk pulang kampung tidak pernah kembali. Cik Meili stress karena akhir-akhir ini ia sangat mudah kehilangan pekerja. Ia mengeluarkan kembali kardus bertuliskan ‘Dicari tukang jahit baju model’ dan memasangnya di pagar besinya.
“Sri, kalo kamu ada temen di kampung yang nganggur, suruh kesini aja.” Koh Abun berbicara pada Sri yang sedang sibuk buang benang. Sepertinya pria paruh baya itu juga sama stressnya.
Sri mengangguk saja, padahal ia sama sekali tidak pernah berinteraksi lagi dengan warga kampungnya. Dengan keluarganya saja jarang karena pulsa mahal.
Tak lama berselang, suara gaduh yang cukup memekakkan telinga terdengar dari lantai atas. Koh Abun buru-buru naik, sementara Cik Meili dan Sri hanya saling berpandangan.
Seorang anak laki-laki turun bersama dengan Koh Abun. Ia hanya menunduk lesu dan wajahnya merah.
“Kenapa lagi sih Jo?” Cik Meili bertanya dengan volume suara yang dikecilkan. Sri masih mengerjakan pekerjaannya, namun telinganya berusaha mendengar percakapan mereka.
Jonathan—anak Cik Meili—tidak menjawab. Ia masih menunduk lesu.
“Kan udah dibilang jangan main bola di atas. Susah amat sih dibilangin.” Belum sempat Jonathan merespon, Koh Abun sudah memarahinya.
Tak disangka Jonathan malah menangis. Sri ikut kaget melihatnya, karena tak menyangka anak laki-laki sebesar itu masih menangis juga.
“Emang kamu diapain?” Cik Meili bertanya lagi. Ia seolah berusaha mengatur agar nada bicaranya terdengar setenang mungkin. “Ki kong mai?4” lanjutnya dengan bahasa daerah yang tidak Sri mengerti. Sepertinya sengaja agar Sri tidak menguping pembicaraan mereka.
“Sri, obras dong!”
Sri mau tak mau bangkit dari duduknya dan keluar menuju ke ruang menjahit. Percakapan keluarga Cik Meili tak lagi ia dengar.
“Katanya… ini kan rumah saya… Saya gak suka kamu begitu…” jawab Jonathan terbata-bata. “Tapi tadi cara ngomongnya udah marah banget dia.” lanjutnya.
Cik Meili menghela napas. Koh Abun memalingkan pandangannya dari Jonathan.
“Aku udah minta maaf…” Jonathan melanjutkan perkataannya. Suaranya agak gemetar, pertanda ia sangat takut dengan Indira.
Cik Meili tidak berkata apa-apa, kemudian ia naik ke lantai dua dan langsung menemui Indira. Sesampainya diatas, ia melihat Indira sedang membereskan pecahan beling yang berserakan di lantai.
“Ngai aja. Ka ha tin to nya kiok.5” Cik Meili mengambil sapu dan pengki yang sedang dipegang oleh Indira.
“Udah gak papa, Ce.” Indira terlihat bersikeras ingin membersihkan semuanya sendiri. Ini sifat Indira yang paling tidak disukai oleh Cik Meili.
“Nanti kakimu tambah parah.” Jawab Cik Meili singkat. Indira kemudian menyerahkan sapu dan pengki pada Cik Meili. Cik Meili kemudian menyapu pecahan beling itu.
“Tui ng chu ya.6 Ngai udah kasih tau Jojo jangan main bola, tapi dia bandel. Nanti gelasnya diganti.” Ucap Cik Meili lagi masih sembari menyapu.
Indira diam saja. Biasanya ia akan menolak dengan kata-kata sok halusnya, seolah ia tidak apa-apa, padahal beberapa hari kemudian ia akan mengungkitnya bila sedang kesal. Tapi kali ini ia diam, mungkin ia benar-benar marah sampai tidak bisa berpura-pura tidak kenapa-napa. Cik Meili sangat tahu akan hal ini. Setelah selesai, Cik Meili langsung turun tanpa berkata apa-apa.
Sesampainya dibawah, Cik Meili langsung menghampiri Jonathan. Wajahnya terlihat serius.
“Kamu, kalo mau main bola di rumah, makanya nanti beli rumah sendiri. Bikin lapangan yang gede, biar bisa sepuasnya main.” Bisiknya pada Jojo. “Kalo masih tinggal di rumah orang, gak bisa Jo. Udah sana, naik. Minta maaf sama Kuku.” Jonathan terlihat takut, tapi akhirnya ia menurut juga. Cik Meili dan Koh Abun kembali melanjutkan pekerjaan mereka. “Kalo Jojo udah SMA, Vero udah sukses, aku gak mau lagi kerjain beginian.” Celetuk Cik Meili pada Koh Abun. Entah sudah berapa kali ia bicara seperti itu.
□□□□□□□□□□□□□□□□□□
“Sri! Aduh, piye kabare kamu nduk? Apik-apik wae toh?7”
Sri tersenyum. “Apik-apik wae, Bu.” Setelah melihat Cik Meili dan anaknya tadi siang, Sri jadi ingin menelepon keluarganya. Sebenci-bencinya pada kehidupan kampungnya, Sri tetap tidak bisa melupakan keluarganya.
“Kok jarang telpon sih? Gimana disana?”
“Baik Bu. Sri betah.” Jawab Sri masih sambil tersenyum.
“Syukur alhamdulillah, kalau kamu betah.” Terdengar Ibu Sri ikut bahagia mendengar kabarnya. Sri jadi rindu dengan keadaan di rumahnya. Ia hanya bisa berharap Ibunya baik-baik dan sehat-sehat saja. “Kapan pulang lagi? Ibu kangen Sri.”
Sri diam saja. Ia justru sudah bertekad ingin tinggal selamanya saja disini. Sri sudah cukup yakin dan beriman kalau kota ini akan ramah dan bersahabat padanya.
“Nanti Sri telpon lagi ya Bu. Udah malem, assalamualaikum.” Sri langsung menutup telepon karena masih tidak tega memberitahu Ibunya perihal niatnya tersebut.
Sri mencoba memejamkan matanya. Sembari berusaha untuk tertidur, ia berkhayal. Sri yakin bisa bertahan hidup selama masih bekerja di tempat Cik Meili. Lalu perlahan tapi pasti ia akan mengumpulkan uang, membeli rumah yang lebih besar dari rumah Ningsih, dan bila uangnya sudah banyak, ia ingin menghilangkan tanda lahir besar di bahu kirinya. Kalau perlu bentuk bahunya juga akan ia permak sedemikian rupa agar orang-orang tidak mengenalinya lagi sebagai perempuan berbahu laweyan yang terkutuk. Kemudian membeli aneka riasan wajah dan baju mahal sampai semua pria takluk padanya. Sri senyum-senyum sendiri membayangkan bila suatu hari nanti akan ada banyak pria yang mengejarnya. Ia tidak pernah sepercaya diri ini sebelumnya. Bukankah semua impian bisa menjadi nyata di kota ini?
□□□□□□□□□□□□□□□□□□
Keesokan harinya, Sri berlari tergopoh-gopoh menuju rumah Cik Meili. Semua khayalannya semalam membuatnya jadi bermimpi indah dan sekarang ia bangun kesiangan. Bisa-bisa Cik Meili tidak mau lagi mempekerjakannya. Tapi ia kaget karena sesampainya di rumah Cik Meili, ruang menjahit yang biasanya sudah ramai dan berisik kini kosong melompong. Padahal seharusnya sudah setengah jam yang lalu ia juga pekerja yang lain datang, tapi sekarang dimana yang lain? Apa memang seharusnya hari ini ia libur?
“Permisi…” Sri memberanikan diri untuk masuk. Mesin obras tempatnya biasa bekerja juga rapi, tidak seperti biasanya. Tidak ada lagi tumpukan baju atau kain yang menunggu untuk dikerjakan.
Saat masuk, Sri melihat Cik Meili dan seorang gadis yang baru pertama kali ia lihat hari ini. Mungkin itu anak pertama Cik Meili yang pernah Sri dengar ceritanya dari penjahit yang lain.
“Pada kemana Cik?” Sri memberanikan diri untuk bertanya.
Cik Meili diam saja. Veronica—gadis yang barusan Sri lihat—hanya menatap Sri sekilas, lalu kembali melakukan pekerjaannya. Pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan oleh Sri.
“Kamu bisa jahit gak Sri?” Cik Meili bertanya pada Sri.
“Jahit? Gak pernah sih.” Sri masih tidak menngerti dengan apa yang sesungguhnya terjadi sekarang.
“Mau coba gak?” Cik Meili bertanya lagi.
Sri agak ragu, tapi kemudian ia menganggukan kepalanya. Tapi ternyata semuanya tidak semudah yang biasanya ia lihat. Jahitannya sangat berantakan, dan Sri jadi tidak enak pada Cik Meili.
“Maaf ya Cik.” Sri meminta maaf dengan tulus.
Cik Meili tersenyum, kemudian menyerahkan buku kecil yang isinya jumlah baju yang pernah diobras juga dibuang benang oleh Sri. Di selipan buku itu ada beberapa lembar uang.
“Buat kamu Sri. Makasih ya. Sekarang cari tempat yang lain aja. Kamu rajin, pinter, pasti bisa dapet yang lebih baik.” Baru kali ini Sri mendengar Cik Meili memujinya. Ralat, mungkin baru kali ini Sri mendengar ada orang yang memujinya dengan begitu tulus. Pertama kali juga Sri mendengar Cik Meili bisa mengatakan sesuatu sepanjang barusan. Biasanya hanya satu atau dua kata.
Sri termangu dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa sangat beruntung karena pengalaman pertamanya di kota ini cukup baik. Cik Meili benar-benar tidak seperti apa yang dibicarakan oleh teman-temannya, sesama penjahit yang lain. Walaupun Sri masih tidak yakin harus bagaimana setelah ini, ucapan terakhir dari Cik Meili cukup membuatnya bersemangat.
“Pamit dulu ya Cik.” Sri akhirnya pamit dengan sopan.
Sepeninggal Sri, Cik Meili kembali mengerjakan pekerjaannya, ditemani oleh Veronica. Pagi tadi ia baru bertengkar lagi dengan Koh Abun. Koh Abun sekarang pergi entah kemana, para penjahit juga ikut minggat, ada yang pulang kampung ada juga yang sudah menemukan tempat baru yang lebih baik. Pas juga stok kain mereka habis dan belum mengambil kembali ke pemasok kain.
“Habis ini mau ngapain Ma?” Vero bertanya pada Cik Meili.
Cik Meili diam saja. Wajahnya terlihat sedih. Vero menatapnya dan tidak bertanya apa-apa lagi.
“Nanti kerja yang sukses ya. Jangan kaya begini.” Cik Meili kembali mengulang nasehatnya. Vero hanya mengangguk-angguk bosan.
“Cari suami yang kaya, yang sukses.” Lanjut Cik Meili. Selama ini ia hanya diam di depan Koh Abun, juga Indira. Nasehatnya barusan seolah mengisyaratkan bahwa ia menyesal menikah dengan Koh Abun.
“Aku kayanya gak mau nikah deh Ma. Cuma nambah masalah baru.” Tanpa Cik Meili sangka, Vero membantah nasehatnya. “Aku udah punya masalah, terus nanti pacarku juga punya masalah, nah kalo kita digabungin, masalahnya tambah banyak dong.” Lanjutnya.
Cik Meili diam lagi. Anaknya yang satu ini memang keras kepala dan pendiriannya.
“Lagian kalo kaya sama sukses emang pasti bahagia apa?” tambah Vero lagi.
“Ya daripada miskin terus menderita kan?” potong Cik Meili cepat.
“Ah gak tau deh. Pusing aku.” Vero malah pusing sendiri.
Cik Meili kemudian berdiri dari duduknya. “Mau kemana Ma?” Vero bertanya namun tak dijawabnya.
Cik Meili membuka pintu pagarnya, kemudian melihat sekilas kardus-kardus yang semuanya bertuliskan mencari tukang jahit baru. Selama bertahun-tahun kardus itu menghiasi pagarnya. Lalu akhirnya ia melepas kardus itu hingga pagar pun kosong tanpa pajangan apa-apa. Pagarnya ia tutup kembali.
Footnote: 1.Wis nikah durung? = Sudah menikah belum? 2. Opo artine cantik nek ora payu-payu. = Apa artinya cantik tapi gak laku-laku atau Percuma cantik tapi gak laku-laku. 3. An nan. Ng si lah. = Susah. Gak usah lah. 4. Ki kong mai? = Dia bilang apa? 5. Ngai aja. Ka ha tin to nya kiok. = Saya aja. Nanti kena kakimu. 6. Tui ng chu ya. = Maaf ya. 7. Piye kabare kamu nduk? Apik-apik wae toh? = Apa kabar kamu, Nak? Baik-baik aja kan? Gawe = kerja Ngai = saya Cenah = katanya Aya aya wae = ada ada aja
0 notes
crustagracean · 8 years ago
Text
The Birthday Girl with Her Birthday Cake
“Ya gak bisa main batalin gitu dong, Mbak? Kan saya juga udah bilang dari tadi kalo ngantri?”
“Ah, saya gak mau tau, Mas. Udah, kuenya buat Mas aja.”
Sambungan telepon terputus. Marcel kemudian meletakkan handphonenya gusar. Dasar sialan, tidak bisa bersabar sedikit, lalu tinggal marah-marah dan tidak mau bertanggung jawab. Marcel kemudian membanting plastik besar berisi kue ulang tahun yang dari tadi ia pegang ke jalanan. Ia tidak peduli mau kuenya hancur kek, toh uangnya juga tidak akan kembali ke dompetnya.
“Mas, kalo misalnya gak suka jangan dibanting gitu dong.” Tiba-tiba seorang pramuniaga toko kue keluar dan melihat Marcel membanting kardus kue.
Marcel hanya meliriknya sekilas lalu mengambil plastik itu dan pergi dengan motornya tanpa bicara apa-apa. Motor bergerak perlahan, kejadian menyebalkan tadi membuatnya sangat kesal dan tidak bersemangat.
Hampir satu jam Marcel mengantri di toko kue tadi untuk membelikan pesanan dari pelanggannya. Risiko ngantri dan pelanggan yang tidak mau tahu memang sudah pasti terjadi dan benar saja, saat Marcel sampai di toko, antrian sudah mengular panjang, beberapa di antaranya memakai jaket hijau seperti yang dikenakannya.
Melihat antrian sepanjang itu, Marcel sudah memberi tahu pelanggan yang menggunakan jasanya, bahwa kuenya akan sampai dalam waktu yang cukup lama. Si pelanggan sudah mengiyakan, tapi saat kue sudah Marcel terima bahkan dibayar dengan uangnya dulu, pelanggan yang menyebalkan itu malah membatalkan pesanan.
Dan sekarang beginilah nasibnya. Uangnya di dompet tinggal satu lembar lima puluh ribu, tadinya masih ada tiga lembar seratus ribuan yang menemani lima puluh ribuannya, namun ketiganya sudah berpindah tempat ke kasir toko kue. Ingin rasanya Marcel menelepon pelanggan itu kembali dan memakinya sampai puas, namun percuma karena uangnya tidak akan pernah kembali, bahkan pulsanya juga ikut berkurang.
Setelah satu jam berkeliling, Marcel baru sadar tidak ada order lagi yang masuk ke handphonenya. Biasanya dalam hitungan menit sudah ada order baru yang menanti untuk diambil, tapi kali ini tidak. Lalu Marcel melihat sesuatu di layar handphonenya yang membuatnya makin kesal dan tidak terima.
“Brengsek, kok account gue di-suspend?” gerutunya entah pada siapa. Ternyata tingkah pelanggan tadi yang membuatnya kehilangan pekerjaannya. Diberi rate bintang satu, lalu ada keterangan yang seolah menjatuhkannya. Pantas saja tidak ada order lagi yang masuk ke handphonenya, ya account nya saja sudah dinonaktifkan.
Lalu sebuah pesan singkat masuk lagi ke handphonenya. Dari manajemen yang memintanya untuk kembali ke kantor dan mengembalikan semua atributnya, entah itu helm, jaket, atau yang lainnya. Ah, benar-benar hari yang menyebalkan dan sial buatnya. Apalagi jarak kantor dan tempatnya berhenti sekarang lumayan jauh. Marcel lalu menonaktifkan handphonenya dan menambah kecepatan motornya.
Tiba-tiba suara ledakkan yang mengejutkan dirinya juga orang-orang di sekitarnya terdengar sangat keras. Marcel mematikan mesin motornya lalu buru-buru turun. Ban belakang motornya rupanya melindas ranjau paku jadi meledak seperti barusan. Marcel mengacak-acak rambutnya. Hari ini benar-benar sial buatnya. Apalagi untuk membetulkan ban ini jelas membutuhkan uang lebih dari lima puluh ribu rupiah. 
Dengan lesu Marcel akhirnya mendorong motornya. Mau tak mau ia harus mencari bengkel terdekat. Soal bayarnya bagaimana, untung hari ini ia membawa kartu ATM nya yang saldonya juga tidak seberapa, tapi setidaknya cukup untuk membayar biaya membetulkan bannya. 
“Jadi kira-kira berapa nih Bang?” tanya Marcel setelah ia membawa motornya dan ‘diperiksa’ oleh montir bengkel.
“Ini sih lumayan parah. Yah, kira-kira pekgo lah.” 
Marcel langsung melotot. “Hah? Gak salah Bang? Mahal bener? Mau meres saya ya?”
“Ya mau dibetulin gak? Kalo gak mau ya gak papa, pergi aja cari tempat lain.” tak Marcel kira, si montir malah balik mengancamnya.
Marcel menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit. Benar juga sih, mau tidak mau ya ia harus membetulkan ban motornya hari ini. Duh, sial benar nasibnya.
“Ya udah. Boleh deh.” tukasnya, lalu kemudian membuka dompetnya. Sekarang satu lembar lima puluh ribuannya juga bersiap untuk pindah ke tas pinggang si montir. 
“Ini pegang dulu Mas bawaannya.” si montir tadi kemudian menyerahkan plastik berisi kue ulangtahun yang tergantung di stang motor pada Marcel. 
“Gara-gara elo nih semuanya.” bisik Marcel kesal pada kue itu. Marcel merasa sangat marah tiap kali melihat kue itu, tapi ia juga tidak mau membuangnya. Iyalah, bila dibuang, sama saja dengan membuang uang tiga ratus ribunya sia-sia. Tapi bila terus-terusan bersamanya, ia malah makin kesal. Serba salah.
Tiba-tiba seorang gadis muda menghampiri motornya yang sedang diperbaiki. Mata gadis itu juga seolah mencari-cari siapa pemilik motornya. Marcel lalu berdiri dan mendekatinya. 
“Ngapain Mbak?” tanyanya masih dengan nada agak ketus.
“Ojek ya? Anterin saya dong Mas.” Jawab gadis itu. Ia seolah tidak sadar bahwa yang diajak bicara sedang kesal.
Marcel tidak menjawab dan terus menatap gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Wajahnya masih full make-up, rambutnya juga terurai dengan cantik. Dress putih dengan corak bunga-bunga yang bagian roknya terkembang membuat penampilannya terlihat makin anggun. Namun gadis itu bertelanjang kaki dan tangannya menenteng sepasang heels berwarna putih yang hak sebelah kirinya ternyata patah, juga menenteng tas berukuran dompet, atau dompet berukuran tas ya? Entahlah, yang jelas meskipun penampilannya cantik, ekspresi wajahnya terlihat sedih dan muram. Lalu aneh juga melihatnya mencari ojek disini, padahal tepat di sebelah bengkel ada pangkalan ojek.
“Motor saya kan lagi dibetulin, Mbak. Tuh, sama yang lain aja.” Marcel menunjuk pangkalan ojek di sebelah mereka. Sebenarnya sih ia mau saja mengantarkan gadis itu, lumayan hitung-hitung ia masih bisa dapat uang walaupun account nya sudah dinonaktifkan. Namun gadis itu tidak bergeming. Marcel jadi agak takut. 
“Hmm, boleh deh Mbak, tapi tunggu motor saya beres ya.” Marcel kemudian mengiyakan permintaan gadis aneh itu, kemudian ia membisikkan sesuatu pada gadis itu. “Tapi nanti tolong bayarin uang ganti ban saya ya, jadi nanti gak usah bayar ongkos lagi.” lanjutnya agak malu. 
Gadis itu kemudian tersenyum. “Gampang itu.”
□□□□□□□□□□□□□□ 
“Mau kemana?” tanya Marcel setelah motornya selesai diperbaiki. 
Gadis itu tanpa ragu langsung duduk di jok belakang. “Keliling aja Mas. Terserah kemana.”
Marcel terkejut mendengarkan jawaban gadis itu. Jangan-jangan gadis ini juga sama menyebalkannya seperti pelanggannya yang tadi. Tapi baru saja ia ingin protes, gadis itu buru-buru menambahkan.
“Nanti saya bayar berapa aja, Mas. Tenang aja. Ini di luar ongkos betulin ban.” 
Marcel tidak berkata apa-apa dan menuruti saja apa yang gadis itu mau. Lagipula, kelihatannya gadis ini cukup berduit dan semoga saja tidak akan mengingkari janjinya.
“Mbak, gak mau pulang aja?” Marcel akhirnya memberanikan diri memulai percakapan. Bila sedang membawa penumpang, ia paling tidak tahan untuk diam lama-lama, kecuali bila penumpangnya hanya merespon singkat-singkat pertanda sedang tidak ingin banyak bicara.
“Udah jalan aja Mas.” Jawab gadis itu lagi. “Kalo saya suruh berhenti, baru berhenti.” Lanjutnya.
Marcel hanya menghela napas. “Okelah.” Jawabnya akhirnya.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Saat berhenti di sebuah lampu merah, gadis itu bicara lagi.
“Mas laper gak?”
“Hah? Apa Mbak?” Marcel sedang melamun jadi tidak begitu jelas mendengarkan pertanyaan gadis itu.
“Laper gak?” ulangnya lagi.
Marcel belum menjawab namun perutnya sudah bunyi. Untung jalan sedang ramai dan bising jadi gadis itu tidak mendengar suara perutnya.
“Ya laper sih. Emang mau traktir saya Mbak?” tanya Marcel iseng.
“Yuk. Nanti lurus, terus nanti berhenti di restoran yang deket tikungan ya.” Tanpa Marcel duga, gadis itu malah mengiyakan pertanyaannya.
Tak lama kemudian, mereka sudah sama-sama masuk ke restoran itu. Karena tidak enak hati sekaligus takut bila ujung-ujungnya harus membayar makanannya sendiri, Marcel akhirnya memesan menu dengan harga paling murah.
“Nama lo siapa?” gadis itu bertanya pada Marcel setelah mereka sama-sama selesai memesan makanan mereka masing-masing.
“Marcel. Mbak?”
“Karin. Gak usah pake Mbak. Tapi panggil aja Ririn, biar lebih akrab.”
“Kok jauh banget sama nama aslinya? Takut dikira selebgram ya?” Marcel mencoba mencairkan suasana.
Ririn hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Marcel, tanda bahwa ia sedang tidak ingin diajak bercanda. Marcel pura-pura menggaruk kepalanya sambil mengalihkan pandangannya. “Rame juga ya restorannya.” Ujarnya asal.
“Itu kue lo mau ditinggal di luar? Takutnya hujan.” Ririn mengalihkan pembicaraan.
Marcel melongok keluar jendela. Tempat duduk mereka cukup strategis, ada di dekat jendela dan motor Marcel juga terlihat jelas dari dalam.
“Bentar ya.” Mau tidak mau Marcel keluar dan membawa kue itu masuk. Kue yang sejak tadi sebenarnya tidak ia inginkan.
Tak lama kemudian Marcel kembali bersama dengan kardus kuenya. Makanan pesanan mereka juga sudah datang. Ririn sedang menyeruput cappuccino nya.
“Ngapain bawa kue kemana-mana?” tanya Ririn setelah Marcel duduk kembali di kursinya.
Marcel menghela napas. Malas juga menceritakan kejadian itu lagi. “Tadinya pesenan orang. Tapi ya gitu, kabur gitu aja orangnya.”
Ririn malah tertawa kecil. “Semua yang kabur gitu aja emang nyebelin yah.” ujarnya sembari memotong-motong steak di hadapannya. Marcel menatapnya ngeri karena tatapannya sangat dingin saat memotong-motong daging itu. Ia juga tidak mengerti arah pembicaraan Ririn namun nyengir saja. Tapi tak ia sangka, wajah Ririn malah tambah mendung.
“Terus mau lo apain kuenya?” Ririn bertanya lagi.
Marcel mengangkat bahunya. “Gak tau deh. Lo mau?” Marcel akhirnya menawarkan kue itu pada Ririn. Daripada ia bawa kemana-mana tanpa nasib yang jelas.
“Kenapa gak lo bawa pulang aja?”
Nanya mulu, kaya pembantu baru. Gerutu Marcel dalam hatinya, tapi tentu saja ia tidak mengatakannya pada Ririn. “Gak ada yang makan juga. Gue kan tinggal sendirian, ngekos. Terus gak suka yang manis-manis kaya gini juga.”
Ririn nyengir lagi. “Iya, kalo kebanyakan makan yang manis-manis emang suka bikin eneg kok. Apalagi janji manis. Bisa bikin muntah saking enegnya.” Ia bicara lagi dan kali ini nada bicaranya terdengar sinis dan pedas.
Marcel tambah bingung setelah mendengar ucapan Ririn barusan. “Gue makan dulu ya.” Marcel akhirnya mengalihkan pembicaraan dan mulai memakan makanannya.
“Hari ini gue ulang tahun.”
Marcel berhenti mengunyah kemudian menatap Ririn. “Oh, happy birthday. Ya udah buat lo aja kuenya.” Ia menyodorkan kue itu, namun wajah Ririn masih terlihat ragu. “Tenang aja, gak ada racunnya kok. Paling ancur dikit, dari tadi gue banting-banting.” Kemudian Marcel meminggirkan piringnya, lalu membuka kardus kue. Coklatnya sebagian sudah meleleh dan menempel di pinggir kardus, tulisannya di permukaan kue juga hampir tidak terbaca. Ia lalu mengeluarkan lilin dan pisau kuenya.
“Lilinnya sama gak kaya umur lo?” Marcel bertanya lagi sebelum ia menancapkan lilin ke kuenya.
Ririn tersenyum tipis kemudian mengambil lilin itu dan menancapkannya sendiri. “Ternyata gak semua cowok brengsek yah. Ada juga yang baik.”
“Maksud lo?” Marcel tidak mengerti dengan kalimat Ririn barusan.
“Gak papa. Lupain aja.”
Marcel diam saja dan memilih untuk melanjutkan makannya. Sepertinya ada yang aneh dengan gadis ini. Lebih baik ia cepat-cepat makan dan segera mengantarkan gadis ini pulang.
“Lo pernah gak sih, udah sabar nungguin seseorang, tapi yang ditungguin malah ilang gitu aja?”
Marcel berhenti makan lagi dan menatap Ririn heran. “Hah? Gimana-gimana?”
Ririn hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan Marcel.
Marcel yang masih bingung kemudian mengeluarkan koreknya dan menyalakan lilin yang menancap di kue yang sudah setengah benyek itu.
“Nih tiup dulu.” Ia mendorong kue itu ke arah Ririn. Gadis itu hanya menatapnya dengan tatapan kosong, lalu meniupnya.
Marcel kemudian bertepuk tangan perlahan untuk mencairkan suasana awkward. Setidaknya uang tiga ratus ribunya bisa berguna untuk orang lain. Mungkin orang-orang yang tidak tahu kondisi mereka akan mengira bahwa Ririn adalah pacarnya. Well, siapa juga sih yang bisa menolak gadis secantik Ririn?
Ririn kemudian mengeluarkan handphonenya. “Tolong fotoin dong.” Ia menyerahkannya pada Marcel dan Marcel langsung memotret Ririn. Gadis itu masih terlihat cantik walaupun make-up nya mulai luntur dan rambutnya berantakan.
Ririn melihat hasil fotonya dan tersenyum puas. Kemudian ia memanggil waiter restoran yang lewat di sebelahnya. “Mas, tolong fotoin kita dong.” Ia menyerahkan handphonenya.
Marcel heran memperhatikan tingkah Ririn. “Ngapain?” Seaneh dan serewel-rewelnya penumpang yang pernah ia antar, semuanya tidak ada yang seperti Ririn ini.
Ririn kemudian mengajak Marcel untuk duduk di sebelahnya. Marcel agak canggung namun ia menurut saja. Pelayan restoran tadi akhirnya mengambil gambar mereka berdua. 
Marcel terus memperhatikan Ririn yang asyik mengutak-atik handphonenya. Lalu gadis itu memotong kuenya dan memberi sebuah potongan besar untuk Marcel. “Mau disuapin?”
Marcel hanya menggeleng dengan canggung. “Gak papa, buat lo aja.” ia mengembalikannya kembali pada Ririn. “Kan tadi gue udah bilang gak suka yang manis-manis.”
Ririn sempat menunjukkan ekspresi tak suka selama sekian detik, tapi kemudian gadis itu tersenyum lagi dan memakan kuenya. 
“Habis ini sibuk gak? Temenin nonton yuk. Udah beli dua tiket, sayang kalo gak kepake.” ujarnya lagi dan membuyarkan lamunan Marcel.
□□□□□□□□□□□□□□
“Kok elo mau sih pergi sama orang yang baru lo kenal?” tanya Marcel setelah mereka sampai di teater bioskop. Filmnya baru dimulai 15 menit lagi, namun mereka sudah duduk di kursi masing-masing. Dalam hati Marcel juga heran karena ia mau saja mengiyakan permintaan Ririn, tapi gadis ini seolah punya sesuatu yang membuat semua orang tidak bisa menolak permintaannya.
Ririn melirik Marcel. “Kenapa emangnya? Aneh ya? Lo sendiri kenapa mau nemenin gue?”
“Ya, awalnya kan gue cuma mau nganterin elo. Kirain mau langsung pulang, ternyata keliling-keliling dulu. Lagian gue juga gak bisa nolak apa yang penumpang gue mau kan? Apalagi tadi muka lo asem gitu, nyeker lagi. Kalo gue nolak, bisa-bisa hak sendal lo yang sebelah kanan patah juga, terus nancep di kepala gue.” Jawab Marcel panjang lebar sembari melirik kaki Ririn yang sekarang memakai sandal jepit kumal miliknya. Ia tersenyum kecil, awalnya gadis itu juga tidak mau memakainya, tapi mau tidak mau, daripada telanjang kaki dan masuk ke mall?
Ririn tersenyum kecut dan seolah sadar dengan apa yang sedang dilihat oleh Marcel. “Nanti sendal lo gue balikin. Tenang aja.” Ujarnya.
“Padahal gue gak maksud gitu loh. Kok sendal lo bisa patah gitu sih haknya?”
Ririn tidak menjawab. Tak lama kemudian, lampu bioskop perlahan meredup dan film dimulai.
Mereka menonton dengan serius. Baik Marcel dan Ririn sama-sama terbawa dengan alur cerita film. Kalau Marcel memang karena ia sudah sangat lama tidak menonton film di bioskop, kalau Ririn, mungkin karena gadis itu suka dengan film seperti ini. Ketika adegan sedang lucu, mereka sama-sama tertawa terbahak-bahak.
Saat Marcel sedang asyik menonton, tiba-tiba ia merasakan tangannya dipegang oleh Ririn. Tangan gadis itu dingin, bisa jadi karena mereka duduk di dekat AC. Marcel menoleh, Ririn masih fokus menonton, mungkin gadis itu juga tidak sadar tangannya memegang tangan Marcel. Marcel menggerakan tangannya perlahan, tapi tidak enak juga karena takut membuyarkan konsentrasi Ririn. Akhirnya ia mendiamkannya saja.
Lalu adegan film berubah menjadi serius, menegangkan, sekaligus haru. Tangan Ririn juga semakin erat memegang tangan Marcel. Sembari menonton Marcel juga sedikit mencuri pandang melirik Ririn. Kelihatannya gadis itu terbawa perasaan. Ririn juga akhirnya sadar kalau Marcel meliriknya. Kemudian ia cepat-cepat menarik tangannya.
“Eh, sorry.” Bisiknya karena tidak mau mengganggu yang lain, lalu ia lanjut menonton. Marcel juga lanjut menonton sambil menggeser tangannya. Meski gadis ini agak aneh, ia tidak mau Ririn menganggapnya mengambil kesempatan. Setidaknya ia ingin menjadi orang yang berguna untuk orang lain, walaupun Ririn juga baru ia kenal selama beberapa jam. Intinya, Marcel berusaha keras agar ia tidak baper.
Credit film kemudian bergulir. Beberapa penonton bahkan bertepuk tangan pelan termasuk Ririn. Lampu mulai dinyalakan. Seisi bioskop kemudian riuh membicarakan film tadi sambil pelan-pelan membubarkan diri. Ririn terlihat menghapus air mata dengan tangannya.
“Suka nonton film yang kaya begini ya?” tanya Marcel setelah film selesai.
Ririn mengangguk masih sambil menyeka matanya. Marcel lalu berinisiatif mengambil saputangan dari kantung celananya. “Nih, pake ini aja.” Ia menyodorkannya pada Ririn dan langsung diterima olehnya.
“Ya ampun gue kira dia bakal sama Sebastian tau gak.” Ririn mulai berpendapat tentang film yang barusan ia tonton pada Marcel sambil berjalan keluar dari teater bioskop. 
Marcel mengerutkan dahinya. “Sebastian? Yang mana ya?” ia sebenarnya juga suka dan terlarut dengan cerita film yang baru mereka tonton, namun Marcel paling tidak bisa mengingat nama tokoh dalam film sekalipun filmnya baru ia tonton beberapa menit yang lalu.
“Yang main piano itu loh. Ah, gue sedih, kampret nih.” Keluh Ririn lagi. Meskipun dia berkata kalau ia sedih, wajahnya mulai terlihat ceria, tapi agak pucat. 
Marcel terkekeh. “Oh dia. Iya, gue juga tadinya mikirnya bakal sama dia. Tapi ya namanya juga film.”
Mereka lalu diam lagi. Masih sambil berjalan keluar bioskop, namun tidak saling bicara.
“Tapi kayanya iya juga ya, orang yang lama sama lo, orang yang keliatannya selalu dukung semua impian lo, belum tentu bakal sama lo sampe akhir.” Ririn tiba-tiba bicara lagi.
Marcel mengangguk-angguk. “Ya, bisa jadi sih.”
Kemudian mereka diam lagi. Mall mulai sepi pertanda bahwa hari mulai larut. Mereka lalu berjalan menuju parkir motor. Plastik berisi kue sisa tadi masih tergantung rapi di motor Marcel. Marcel mengambilnya kemudian menyerahkannya pada Ririn.
“Nih, buat lo. Bawa pulang aja. Bagi-bagi ke orangtua lo di rumah atau siapa kek.”
Ririn menerimanya, kemudian melepas sandal jepit milik Marcel yang tadi ia pinjam dan menyerahkannya sambil tersenyum.
“Lo ngasih gue kue, gue malah ngasih lo sendal.” Ia terkekeh. Marcel baru sadar, walaupun aneh, tapi Ririn cantik juga bila sedang tersenyum.
“Udah pake aja dulu. Nyeker lagi nanti kaki lo lama-lama dekil loh.” Marcel menakut-nakuti Ririn.
“Ya udah, tapi nanti kalo udah pulang gue balikin ya.”
Marcel mengangguk. “Iya, gampang lah itu. Yuk naik.” Setelah menyalakan mesin motor, ia kemudian memberi isyarat pada Ririn untuk naik.
Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari parkiran mall. Jam digital besar di gedung seberang mall menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
“Gile udah malem juga ya. Lo mau kemana lagi? Langsung gue anter pulang aja kali ya?” Marcel bertanya pada Ririn.
Ririn terdiam sebentar, lalu kemudian mengiyakan pertanyaan Marcel. “Ya udah.”
“Rumah lo dimana?”
“Lurus aja terus. Nanti gue arahin.”
□□□□□□□□□□□□□□ 
Motor Marcel kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang cukup mewah, meskipun bangunannya terlihat agak tua. Ia sudah menduga kalau ini memang benar rumah Ririn.
“By the way, thanks yah. Buat waktu lo terus sendal sama kue ulang tahunnya.” Ujar Ririn setelah ia turun dari motor Marcel.
Marcel tersenyum. “Sama-sama. Makasih juga ya traktirannya.” jawabnya ramah sekaligus heran karena corak bunga di dress Ririn terlihat bertambah. Ada semburat merah di bagian perut yang sepertinya tadi tidak ia lihat. Atau mungkin tadi ia tidak begitu memperhatikan ya?
“Lo pasti mikir kalo gue aneh kan. Maaf ya jadi ngerepotin lo. Lo juga jadi gak bisa nyari penumpang lain.”
“Emang udah gak bisa juga kok. Santai aja.”
Ririn mengerutkan dahinya. “Kenapa emangnya?”
Marcel lalu menceritakan semua kesialan yang menimpanya. Tentang account nya yang dinonaktifkan dan juga sebab detailnya mengapa kardus kue ulang tahun itu ia bawa terus sepanjang hari. 
Selesai bercerita, Ririn malah tertawa. Marcel agak tersinggung dengan respon yang diberikan gadis itu. 
“Kok malah ketawa?”
“Kalo nggak kaya gitu, lo gak bisa ngasih gue apa-apa dong? Kuenya udah buat pelanggan lo, bukan buat gue.” 
“Hah? Maksud lo?” Marcel makin heran dengan Ririn, gadis ini seolah punya banyak kepribadian, terlihat dari bagaimana cara ia merespon segala sesuatu. Kadang manis seperti umumnya gadis normal, tapi lebih sering anehnya, seperti sekarang.
“Gak papa, makasih ya kuenya.” sahutnya. 
Marcel diam lalu mencoba tersenyum walau senyumnya awkward. Mungkin Ririn sedang mengajaknya bercanda. “Ya udah sana masuk.” ia kemudian menyuruh Ririn masuk. Walaupun gadis itu aneh, ia cukup berjasa bagi Marcel untuk melupakan sejenak segala kesialannya hari ini. Mungkin pertemuannya dengan Ririn hari ini menjadi yang pertama sekaligus yang terakhir, oh kecuali bila ia melakukan ini. Marcel mengeluarkan handphonenya dan mengaktifkannya kembali. Beberapa pesan dari manajemen kembali masuk dan ia abaikan dulu.
“Boleh minta kontek lo?”
Tapi Ririn sudah menghilang dari hadapannya. Ia bahkan tak mendengar suara pintu yang terbuka. Gerbang sebesar dan setua itu harusnya bersuara ketika digerakkan atau disentuh. Penasaran, Marcel akhirnya turun dan mendekati rumah itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat dinding sudah dipenuhi sarang laba-laba, pertanda sudah lama tidak ditinggali.
“Cari siapa, Mas?” tiba-tiba seorang pemuda paruh baya berseragam datang mengejutkannya.
“Ngg, anu, yang tinggal di rumah ini…hmm.. siapa?” Marcel tergagap.
“Rumah ini udah lama kosong, Mas. Dijual gak laku-laku. Katanya sih dulu ada yang mati bunuh diri disini. Cewek cantik Mas. Siapa ya namanya, aduh saya lupa.”
Keringat dingin tiba-tiba mengucur di kening Marcel. “Ririn?” 
“Nah iya tuh! Mas, ngomong-ngomong sekarang tanggal berapa ya?” pria itu bertanya balik pada Marcel.
“30 Maret. Kenapa emangnya Pak?” Marcel masih berusaha mencerna informasi yang barusan ia dengar.
“Iya, berarti bener itu Ririn. Setiap tanggal segini dia sering muncul, keluar dari rumah. Ngasih tau orang-orang kalo hari ini hari ulang tahunnya. Biasanya ngasih taunya ke cowok-cowok seumuran Mas gitu deh. Ada yang bilang, biar gak diganggu lagi, yang dikasih tau harus ngasih sesuatu buat dia. Pernah loh Mas, ada yang hilang, gak balik-balik lagi sampe sekarang setelah ketemu sama Ririn. Katanya sih gara-gara kabur terus gak ngasih apa-apa.” 
Bulu kuduk Marcel seketika merinding. Ririn sangat cantik tadi, siapa yang menyangka kalau ia hanyalah arwah. Apalagi kadang tingkahnya sangat manis, bahkan tadi mereka bisa kok menonton film bersama. Marcel masih merasa semuanya tidak masuk akal.
“Tapi tadi….kakinya napak tanah kok Pak. Terus masa sore-sore setan udah keluar sih?” Marcel masih berusaha memberikan pembelaan karena dari tadi ia melihat Ririn sebagai sosok manusia yang normal, tidak seperti penampakan hantu yang sering dibahas di film-film atau cerita kuno. 
Tapi pria paruh baya itu malah tertawa. “Aduh Mas, sekarang hantu-hantu sama arwah-arwah juga bisa apa tuh, standarisasi, glalalisasi, apa sih Mas, namanya saya lupa?”
“Globalisasi?”
“Nah itu yang saya maksud. Arwah sekarang juga udah maju kali Mas, ibarat kata gak mau ketinggalan sama kita-kita yang manusia. Arwah yang kakinya gak napak mah ndeso. Terus munculnya udah gak malem-malem lagi Mas, kapan aja dia mau, bebas.” pria paruh baya ini terlihat ingin mengajak Marcel bercanda tapi Marcel malah tambah takut.
“Berarti tadi Ririn seneng sama Mas.” lanjutnya dengan nada bicara serius. “Katanya kalo dia marah atau gak suka sama orang yang dia datengin, perutnya bisa keliatan bolong, serem deh. Udah, mendingan Mas cepet-cepet pulang aja sekarang. Hati-hati ya Mas.” pria paruh baya itu akhirnya pamit.
Marcel masih bengong. “Itu bapak tadi hantu juga bukan tuh?” bisiknya perlahan kemudian cepat-cepat kabur dengan motornya. Sepanjang perjalanan ia masih merenungkan kejadian hari ini, terutama pertemuannya dengan Ririn yang benar-benar janggal. Lalu Marcel ingat dengan kata-kata bapak tua tadi tentang hal memberikan Ririn sesuatu. Ia kemudian sadar, bahwa semua kesialannya hari ini ternyata ada gunanya juga. Bila memang cerita tentang arwah Ririn ini benar, ia beruntung karena sempat memberikannya hadiah, yaitu kue tadi. Bahkan sampai menemani gadis itu nonton bioskop. Marcel baru ingat tadi tangannya sempat dipegang oleh Ririn. Bulu kuduknya merinding lagi. 
Tanpa ia sadari, di spion motor Marcel kembali terlihat bayangan rok putih bercorak bunga-bunga yang sedang duduk di jok belakangnya. Perlahan dan dengan lembut sepasang tangan putih pucatnya memeluk perut Marcel.
□□□□□□□□□□□□□□ 
“Happy birthday, sayang… Udah kangen ya?”
Ririn tersenyum salah tingkah. “Eh, masih belum tau. Masih setengah jam lagi. Kamu offside ngucapinnya.”
Wajah di layar handphonenya tertawa. “Biarin aja, biar pengucap pertamanya selalu aku. Kamu kok belum tidur sih? Kasian si dede juga tau.”
“Ya kalo aku tidur aku gak bisa angkat telepon kamu dong. Gimana sih, emang dasar bego yah kamu.”
“Biar bego tapi ngangenin kan?”
Ririn terkekeh lagi. “Besok jadi pulang kan?”
Suara disana terdiam sejenak lalu ia perlahan tersenyum. “Pokoknya, besok jam 5 kita ketemu di tempat biasa. Atau mau aku ke rumah kamu?”
Ririn malah diam. Sayup-sayup suara orang yang sedang bertengkar juga lewat di telinganya. Ririn pura-pura tidak mendengar.
“Kok diem aja Rin?”
“Kali ini kamu beneran pulang kan?” nada bicaranya berubah. Sebenarnya ia cukup bosan mendengar janji-janji terus tanpa bukti dan realisasinya. “Aku gak mau waktu dia lahir, dia gak liat papanya.”
Pemuda itu gantian diam setelah mendengar pernyataan terakhir Ririn.
“Aku gak maksa kamu buat cepet-cepet nikahin aku Roy. Aku percaya kamu pasti tanggung jawab.” Ririn mengelus perutnya yang walaupun terlihat masih kecil, namun sudah ada kehidupan lain di dalam sana. “Tapi kamu juga harus pulang secepatnya, demi dia Roy.” ia menunjukkan perutnya pada Roy, pacarnya.
“Iya beneran kok.” Lagi-lagi Roy berhasil meyakinkannya. “Mau di tempat biasa apa aku ke rumah kamu?”
“Di tempat biasa aja.”
Roy tersenyum. “Besok aku balik, terus kita ketemu orangtua kamu juga ya.”
Ririn diam lagi dan suara orang-orang yang sedang bertengkar di luar kamarnya kembali terdengar. Roy juga sudah menutup teleponnya.
Sepanjang malam itu, Ririn tidak bisa tidur. Ia terlalu antusias dan saat pagi tiba, Ririn langsung mempersiapkan semuanya, padahal mereka janjian jam 5 sore. Dress putih bercorak bunga-bunga yang sengaja ia beli untuk bertemu dengan calon suami yang sudah lama tidak ditemuinya langsung dikeluarkan dari lemari. Alat make-up juga ia siapkan dan Ririn berpenampilan sebaik-baiknya. Ririn bahkan sampai memesan dua tiket bioskop untuk mereka berdua dan sengaja tidak membawa kendaraan pribadi karena yakin Roy akan mengantarnya pulang dan menemui kedua orangtuanya nanti, walaupun Ririn sudah tahu kedua orangtuanya tidak akan pernah setuju. 
Tapi setelah tiga jam berlalu, yang ditunggu tidak juga datang. Ririn sudah sempat menduga kepercayaannya akan dikhianati lagi, dan lagi-lagi ia merasa bodoh karena begitu mudah luluh. Apalagi beberapa hari yang lalu ia sempat mendengar gosip kalau Roy selingkuh disana. Ia makin percaya karena teleponnya tak kunjung diangkat. Roy memang brengsek, namun ia tidak bersalah karena kebrengsekannya, tapi memang Ririn yang salah karena ia terlalu bodoh. 
Akhirnya Ririn menyerah. Ia memang sudah kenyang dikecewakan dan sudah muak memaafkan terus, namun Ririn tak menyangka Roy tega mengecewakannya di hari ulang tahunnya. Ririn akhirnya berjalan kaki pulang ke rumah, ia tidak memperhatikan lagi jalan yang ia lalui hingga sandal hak tingginya tersangkut dan patah di besi pembatas selokan. Ririn tidak peduli. 
Sesampainya di rumah, kedua orangtuanya sudah menunggunya dengan wajah muram. Tumben, hari ini mereka duduk berdampingan, sindir Ririn dalam hati. Bila sudah urusan menghakimi anaknya, mereka memang paling bersemangat. 
“Sini kamu!” Papanya membentak Ririn.
Ririn baru ingin mendekatinya, namun pria paruh baya itu langsung mendorongnya ke sofa. Mamanya terlihat kaget dan mendekatinya. 
“Kan udah janji tadi, gak pake dorong, gak pake mukul.” Mamanya balas memarahi Papanya.
“Sana, ngomong tuh sama anakmu.” Papa Ririn terlihat tidak sudi memandangnya.
Ririn hanya menunduk, ia sedih namun rasanya tidak bisa menangis lagi, jadi ia diam saja. 
“Buang aja Rin. Mumpung masih kecil.” 
Ririn menatap Mamanya tak percaya. “Tapi.. Roy udah janji Ma.” 
Mamanya menggelengkan kepalanya. “Dia gak akan pernah dateng lagi.” ujarnya lalu memberikan sebuah amplop pada Ririn. 
Ririn membuka amplop itu dan membacanya dalam hati. Air matanya sekarang mengalir deras. Kemudian ia melempar kertas itu ke lantai dan masuk kembali ke kamarnya. 
Keesokan harinya, mobil polisi, ambulan, dan garis kuning muncul memenuhi rumah Ririn. Ririn ditemukan sudah meninggal dengan beberapa luka tusuk di bagian ulu hati dan perutnya. Ia masih memakai dress putih cantik sisa semalam, wajah bekas make-up nya juga belum dibersihkan. Kedua orangtuanya histeris dan menyesal karena terlalu menekan anak semata wayang mereka dan menjadikan Ririn seolah bahan pertengkaran mereka. Bila mereka mau mengerti sedikit saja posisi Ririn, mungkin gadis itu masih hidup sampai sekarang. 
Saat sedang olah TKP, salah seorang petugas menemukan secarik kertas yang tergeletak di lantai. Ia mengambilnya, siapa tahu bisa dijadikan petunjuk penyebab Ririn bunuh diri. 
Dear my beloved Karina Alexandria
Mungkin ini akan jadi hal tersulit yang pernah aku lakuin, tapi aku harap, suatu hari nanti kamu tau gimana caranya buat maafin aku. 
Aku merasa, hubungan kita selama ini salah. Salah besar. Maafin aku karena aku baru sadar sekarang setelah ada kehidupan lain yang jadi saksi hubungan kita. Aku emang bangsat, pengecut, tapi aku yakin kalau makin lama kita sama-sama, kamu akan makin hancur. Aku bukan Roy yang kamu harapkan, aku sama sekali bukan orang yang baik. Aku gak siap, Rin. Gak akan pernah siap. Orangtua kamu udah tau hal itu. Gimana mungkin kita bisa dengan bahagia hidup bersama setelah membuat orang yang juga kita sayangi kecewa? Aku gak mau orangtua kamu kecewa karena kamu milih buat hidup sama aku. 
Walaupun kita gak akan pernah ketemu lagi mungkin untuk selamanya, aku selalu berdoa akan ada orang yang lebih baik di luar sana yang mau menerima kamu, juga dia yang sekarang hidup di dalam diri kamu. Sekali lagi aku bener-bener minta maaf. Oh iya, selamat ulang tahun, Ririn. Sekarang aku jadi pengucap yang pertama juga sekaligus yang terakhir buat kamu.
Pecundang terhebat,
Roy
0 notes
crustagracean · 8 years ago
Text
Silence : Kontemplasi Sebuah Iman
Tumblr media
“I pray but I’m lost. Am I just praying to silence?”
Dua orang pastur muda asal Portugis, Rodriguez dan Garupe menjalankan misi rahasia menuju Nagasaki, Jepang untuk mencari guru mereka, Pastur Ferreira yang dikabarkan murtad karena kebencian dan siksaan dari Jepang terhadap keyakinan yang dianutnya. Lalu kemudian apa yang mereka lakukan bukan sekadar pencarian guru yang hilang, tapi juga pencarian iman bahkan mempertanyakan kembali keputusan mereka untuk mengikut Kristus.
Dengan latar sejarah sekitar tahun 1630 dimana ajaran bahkan simbol Kristen sangat ditolak keras oleh pemerintah Jepang, menurut saya film ini berhasil menciptakan ambience yang mencekam, bahkan lebih menegangkan dari film horor yang ngagetin dan penampakan seseram manapun. Film ini sangat tidak direkomendasikan untuk penyuka film komedi, kisah romantis dengan akhir yang bahagia, orang yang kagetan dan eneg melihat darah (ada sedikit bagian yang sadis dan ngeri memang), action yang seru dimana superhero pasti menang, juga untuk orang-orang yang butthurt, karena ada beberapa adegan yang terkesan provokatif dan akan membuat penontonnya mengerutkan dahi, kemudian menggumam: “Ah, ini film sesat! Penistaan agama Kristen! Jangan ditonton! Dan sebagainya.” Padahal bila mau bersabar sedikit saja, banyak sekali adegan dan dialog dalam film yang mungkin akan membuat kita merenungkan tentang sejauh mana iman kita pada Tuhan Sang Pencipta segala sesuatu. Makanya, gak rekomen untuk yang gak sabaran dan mau filmnya cepet-cepet habis :p
Sesuai judulnya, Silence banyak memberikan ruang sunyi bagi setiap penontonnya untuk ikut merenung dan berdoa dalam diam seperti yang dilakukan oleh tokoh utamanya. Bahkan beberapa menit adegan di awal film dibuka dengan tanpa suara, saya sampai mengira speaker laptop saya rusak lagi hehehe, ternyata memang betulan gak ada suaranya, mungkin mau konsisten dengan judulnya. Kalau dikaitkan dengan konteks zaman sekarang yang serba sibuk, bising, hingga tidak punya waktu untuk berdiam diri untuk memohon hikmat Tuhan, film ini berusaha mengingatkan penontonnya untuk tenang sejenak di tengah kebisingan dunia, karena bisa saja di tengah keheningan justru suara Tuhan akan terdengar sangat keras (hmm, iyalah ya).
Ketika film selesai, mungkin akan tersisa banyak pertanyaan di benak penontonnya. Kalau begitu standar iman seperti apa yang diterima oleh Tuhan? Lalu sampai sejauh mana kita harus bertahan pada iman dan tidak menyerah dengan dunia ini? Atau pertanyaan yang saya cetak miring di baris pertama: Selama ini saya sudah berdoa, tapi saya malah tersesat. Apakah saya hanya berdoa pada keheningan dan bukan Tuhan yang mendengar doa saya? Semua itu sedikit terjawab di akhir film, bahwa semua kembali hanya kepada otoritas dan kedaulatan Tuhan. In the end, what we can do is keep and fight for our faith, even the only thing we can do is just pray in the silence.
0 notes
crustagracean · 8 years ago
Text
Cerita Pendek Tentang Kehidupan yang Masih Panjang
Jatuh dan tersungkur di tanah aku Berselimut debu sekujur tubuhku Panas dan menyengat Rebah dan berkarat 
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti Yang hancur lebur akan terobati Yang sia-sia akan jadi makna Yang terus berulang suatu saat henti Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi Yang patah tumbuh, yang hilang berganti 
Di mana ada musim yang menunggu? Meranggas merapuh Berganti dan luruh Bayang yang berserah Terang di ujung sana 
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti Yang hancur lebur akan terobati Yang sia-sia akan jadi makna Yang terus berulang suatu saat henti Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi Yang patah tumbuh, yang hilang berganti  Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
lyrics from Banda Neira - Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti
Tumblr media
Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki disini. Setelah menyusuri beberapa deret gundukan tanah, akhirnya aku tiba di tempat yang ingin kutuju. Aku berjongkok di depan tanah merah yang permukaannya masih sedikit basah. Beberapa kelopak bunga juga terlihat masih baru, menghiasi permukaan tanah merah itu.
Untuk pertama kalinya juga aku menyingkirkan segala kebencian, sakit hati, dan rasa enggan yang selama ini menyelimutiku. Pertama kalinya lagi aku merasa benar-benar kehilangan. Bila sebelumnya, aku tidak pernah menganggap itu sebagai masalah, kali ini rasa hampa itu benar-benar terasa. Memang benar kata pepatah bahwa penyesalan selalu datang belakangan. Kemudian kuletakkan tiga tangkai bunga mawar segar yang baru kubeli di atas tanah merah itu.
□□□□□□□□□
Aku baru saja jatuh tertidur saat handphoneku tiba-tiba berdering. Buru-buru kuangkat, karena siapa tahu itu dosen pembimbingku yang menelepon. Tapi ternyata nomor tak dikenal yang tidak ada di daftar kontakku. Karena sudah keburu bangun akhirnya kuangkat saja.
“Halo?” aku ragu-ragu mengangkat telepon.
Hening. Karena sudah sampai satu menit masih tidak ada suara, aku siap-siap menutup telepon. Bisa saja kepencet atau emang iseng.
“Nana?” baru aja aku mau tutup telepon sampai akhirnya suara di seberang sana menjawab. Suaranya serak-serak agak lemas dan aku tidak mengenali siapa pemiliknya.
“Iya, siapa ya ini?” tanyaku bingung.
“Nana? Lupa sama aku?” suara disana terdengar semakin jelas.
Aku mengerutkan dahiku. “Siapa sih?” tanyaku agak ketus karena kesal diganggu tengah malam begini.
“Fitri, Na. Tetanggamu loh.” Akhirnya dia menyebutkan namanya.
Aku menepuk dahiku. Bisa-bisanya aku lupa padanya. “Oalahh, sorry. Abis suaramu kok lain sih? Terus kok nomornya beda lagi?” tanyaku sembari mencari alasan kenapa aku tidak mengenali suaranya. Aneh juga padahal dua hari yang lalu dia masih meneleponku, kok aku sudah lupa dengan suaranya.
“Sora-sori, sora-sori. Kamu nih, keasyikan disana ya? Gak pernah kesini lagi, telepon juga gak pernah. Mamamu baru meninggal juga adem-adem aja. Pulang lah Na, kasihan adikmu ini lho.” Fitri mulai menceramahiku.
Aku mengacak rambutku sembari memikirkan alasan untuk menjawab Fitri. Ia seumuran denganku, namun bawelnya bisa mengalahkan bawelnya Mamaku, mungkin juga bawel dan cerewetnya ibu-ibu lain.
“Dia sekarang di rumahmu?” bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik.
“Dia siapa?” Fitri bertanya lagi.
Aku menarik napas singkat kemudian menghembuskannya, sebelum menjawab pertanyaan Fitri. “Aldi.”
“Iya. Habisnya dia sendirian sekarang di rumah. Kamu ke sini lah.” Jawab Fitri.
“Iya. Aku pasti pulang Fit.” Tapi gak sekarang, tambahku dalam hati. “Titip Aldi dulu ya.” Lanjutku kemudian bersiap-siap menutup telepon.
“Terus tadi Papamu juga dateng Na. Ikut ngubur Mamamu.” Fitri tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang membuatku tidak jadi menutup telepon.
Papa? Mau ngapain lagi dia?
“Tadi juga maksa-maksa mau bawa Aldi ikut dia, tapi adikmu gak mau.” Karena aku tidak merespon perkataannya, dia lanjut berbicara. Aku bisa merasakan dia agak memelankan suaranya. “Makanya, mendingan kamu pulang sekarang.”
“Besok aku telepon lagi ya Fit.” Akhirnya aku buru-buru memutus sambungan telepon sebelum Fitri sempat menjawab. Handphone juga langsung ku non-aktifkan.
Rasa ngantukku hilang seketika. Rasanya seperti habis minum satu gelas kopi hitam dan cuci muka pakai air es. Aku menghela napas perlahan dan bangun dari tempat tidurku. Kepalaku sakit lagi, badanku masih pegal-pegal, tapi mata keburu melek dan gak bisa tidur lagi, padahal capeknya sudah luar biasa. Jendela kamar perlahan kubuka dan membiarkan semilir angin malam masuk memenuhi kamarku.
Pikiranku kemudian ikut melayang bersama dengan asap rokok yang kuhembuskan perlahan ke luar jendela. Semoga Bu Nia, pemilik kos-kosan ini sudah tidur dan aku gak ketahuan sedang merokok.
Rasanya semua tetangga di sekitar rumah semakin tahu bahwa ada yang tidak beres dengan keluarga kami. Ditambah dengan tingkah Aldi tadi yang sok-sok drama. Akhirnya makin bikin mereka tau kalau hubungan Papa dan Mama emang udah gak baik.
Tapi kalau dipikir-pikir, memang dari awal semuanya itu salah mereka. Senang sekali bertengkar sampai didengar tetangga, bahkan lebih norak dari sinetron kelas paling buruk sekalipun. Bikin pusing, dan rasanya kabur ke sini adalah keputusan terbaik yang pernah kuambil. Walaupun harus setengah mati cari uang sendiri, pinjam sana-sini, tapi setidaknya aku tidak perlu berada di antara mereka lagi.
Sejak kecil aku memang sering merasa kalau aku gak seharusnya lahir di tengah keluarga ini. Satu hal yang kutahu, Papa tidak suka dengan kelahiranku. Dia mau anak pertamanya laki-laki, hmm ralat, dia mau anaknya laki-laki dan malah aku yang lahir. Seolah tidak peduli dengan jenis kelaminku dan emang tidak ada jalan lain, akhirnya Papa mendidikku dengan cara yang dia mau, mungkin cara yang sudah ia persiapkan sebelum aku lahir. Dididik dengan keras, seolah aku tetap anak laki, diajari naik motor padahal saat itu aku masih kelas 5 SD, dan akhirnya membuatnya sering bertengkar dengan Mama. Aku bingung harus mendengarkan siapa. Bila aku mengikuti nasihat Mama, Papa yang akan marah besar, begitu juga sebaliknya. Semua kebingungan itu yang sepertinya membuatku jadi apatis dan tidak mau ambil pusing dengan apapun.
Sebelum Aldi lahir, dua tahun di bawahku ada Renata. Dia juga terlahir sebagai perempuan, tapi aku bisa merasakan kalau Renata lebih beruntung. Papa memang sama kerasnya saat mendidiknya, tapi di sisi lain aku merasa Papa lebih sayang pada Renata. Mungkin karena dia mirip dengan Mama yang penurut, hmm tidak juga sih. Ah aku juga tidak mau tau kenapa Papa dan Mama lebih sayang sama Renata. Hubunganku sama Renata juga biasa saja, tidak terlalu akrab, tapi kami juga jarang bertengkar atau kebanyakan bertingkah ‘drama’ yang aneh.  
Kebanyakan flashback akhirnya membuatku mengantuk lagi. Kali ini handphone sudah kunonaktifkan, jadi tidak akan ada yang mengganggu lagi. Aku membuang puntung rokok kemudian menutup jendela kamar dan kembali tidur.
□□□□□□□□□
Hari ini aku pulang dengan seragam dekil dan lecet di lutut, seperti biasa. Rok biruku penuh dengan debu yang hampir menutupi warna aslinya, juga seperti biasanya. Aku berjalan perlahan karena luka di lututku masih basah, kadang darahnya juga masih keluar.
Tak lama kemudian, aku bisa merasakan ada motor yang melaju perlahan di belakangku. Mencoba mengikutiku dan aku berusaha mempercepat langkahku.
“Nana, pulang bareng aja.” Suara anak perempuan yang begitu familiar di telingaku kemudian terdengar.
Aku tidak peduli dan terus mempercepat langkahku, namun tak lama kemudian si pemilik suara sudah mengendarai motornya tepat di sampingku. Ia kemudian melajukan motornya perlahan dan sekarang berhenti di depanku.
“Ayo Na, pulang bareng lah.” Itu Renata. Aku menatapnya sekilas. Penampilannya juga tak kalah dekil denganku. Hanya bedanya, dia masih memakai rok merah dan roknya lebih dekil dariku. Rambut pendeknya terlihat berminyak, wajahnya juga berkeringat. Aku heran, sebenarnya dia ini habis sekolah atau habis membajak sawah? Tapi kusimpan pertanyaan itu dalam hatiku karena aku sedang tidak ingin banyak bicara dengannya.
Aku tidak menggubris permintaannya kemudian mencari jalan kosong yang tidak dihalangi motornya. Baru saja aku berdiri membelakanginya, ia kemudian menarik tanganku.
“Nana! Kamu kenapa sih? Aku salah apa sama kamu? Kamu kayanya gak suka banget ya sama aku?” tanyanya setengah berteriak. Ia memang tidak pernah memanggilku dengan embel-embel ‘Kakak’, ‘Cici’, ‘Mbak’ atau yang lainnya. Mama sering menegurnya, tapi sekali lagi, aku tidak peduli.
Aku menoleh dan kembali hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Kemudian perlahan aku melepaskan tangannya yang masih dengan erat memegang tanganku. “Pulang duluan lah sana.” Akhirnya aku mengatakan sesuatu padanya. Lalu aku berbalik badan dan melanjutkan langkahku.
Kemudian Renata lewat lagi di sampingku bersama dengan motor bebeknya. Namun kali ini ia tidak lagi memanggilku dan secepat kilat berlalu dengan motor itu. Motor yang kadang kurasa terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus dan kecil. Tapi kalau Papa sudah berkehendak, siapa lagi yang bisa mencegahnya?
Lalu aku sampai di rumah. Anehnya, Renata belum sampai, padahal harusnya ia sudah sampai duluan dengan kecepatan sebesar itu. Ah mungkin dia mampir dulu ke rumah temannya. Rumah kelihatan sepi. Papa pasti belum pulang, Mama mungkin lagi di dapur dan aku gak mau ganggu.
Saat aku sedang meneteskan betadine ke lututku, tiba-tiba Fitri, tetanggaku, masuk tergopoh-gopoh ke rumah.
“Nana, gawat Na!!” ia memanggilku dan wajahnya terlihat pucat.
“Kenapa?” tanyaku tanpa sempat menyeka sisa betadine yang akhirnya mengalir sampai ke betisku.
“Renata… Renata.. Naa…” saking paniknya, Fitri tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Iya, Renata kenapa?” tanyaku lagi dan perasaanku mendadak tidak enak karena mengingat ia belum sampai juga di rumah.
Belum sempat Fitri menjawab pertanyaanku, Mama keluar dari dapur. “Fitri? Kenapa kamu?” Mama juga menanyakan hal yang sama sepertiku.
“Renata, kecelakaan….”
Setengah jam kemudian, kami sampai di Rumah Sakit tempat jenazah Renata di otopsi. Ya, saat kami sampai, Renata sudah tinggal jasad dan namanya. Mama menangis histeris. Aku hanya menatap jasadnya yang sudah terbungkus kain putih dengan tatapan kosong. Aku juga sedih, namun tidak bisa menumpahkan air mataku. Aku tidak menyangka percakapan kami beberapa jam yang lalu adalah percakapan terakhir, itupun bukan percakapan yang baik dan selayaknya kakak-beradik.
Tiba-tiba Papa juga masuk ke ruang jenazah dan Mama langsung menghardiknya habis-habisan. Kepalaku pusing, aku tidak lagi mendengarkan percakapan mereka. Diam-diam aku mencari pintu keluar dan kabur. Tapi lorong Rumah Sakit terasa lebih panjang. Aku tidak sanggup lagi berjalan, lututku yang lecet berdarah lagi.
Aku langsung terbangun dari tidurku. Keringat mengucur deras dari wajahku, seolah aku benar-benar habis berlari. Aku mengatur napasku yang masih tersengal-sengal. Renata sudah lama meninggal, ingatan tentang wajahnya bahkan hampir kabur dari ingatanku, tapi baru kali ini kejadian itu terpampang jelas kembali dalam ingatanku.
Kejadian yang kulihat dalam mimpi barusan adalah puncak pertengkaran Papa dan Mama. Renata baru saja lulus SD saat Mama histeris melihat anak kesayangannya akhirnya tinggal jasad dan namanya. Kecelakaan motor. Kecelakaan tunggal, jadi tidak ada pihak luar yang bisa disalahkan. Mama akhirnya cuma bisa menyalahkan Papa yang selalu ngotot ngajarin anak-anak ceweknya ngendarain motor, padahal umur belum cukup. Belum lagi hal ini dan itu yang sebenernya gak layak untuk dilakukan seorang cewek, menurutnya. Mereka berantem hebat, saling menyalahkan, hampir setiap hari aku bisa denger teriakan Papa, lemparan dan bantingan barang-barang pecah belah di rumah, pusing lah pokoknya.
Aku menghela napas panjang. Kenapa semua kejadian buruk di masa lalu harus kembali muncul sekarang?
□□□□□□□□□
“Naaa!! Kamu dengerin aku gak sih?”
Lamunanku buyar dan semangkok bakso yang dari tadi ada di hadapanku sudah dingin sebelum ku makan. Dion yang duduk di depanku juga menatapku dengan tatapan dinginnya.
“Kamu kenapa sih? Sekarang setiap aku lagi cerita pasti bengong. Kalo kamu ada masalah juga cerita-cerita dong.” Sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya, dia sudah bertanya lagi.
Aku menggelengkan kepalaku sambil menyuapkan sesendok kuah ke mulutku. Biasanya bakso ini enak, tapi kali ini aku tidak selera makan, jadi bakso terasa tawar.
“Kamu gak pernah cerita apa-apa sama aku deh kayanya. Selama ini aku yang cerita terus. Gantian dong.” Kali ini Dion memaksaku. Baru kali ini dia bicara seperti itu. Dion memang pacar yang pengertian dan tidak suka memaksakan apa yang dia mau, walaupun cemburuan dan protektifnya kadang kebangetan.
“Emang iya ya?” tanyaku heran sambil mengingat-ingat apa benar aku sama sekali tidak pernah terbuka tentang kehidupanku pada Dion, padahal dia pacarku. Seandainya kami menikah nanti, dia juga pasti akan tau semuanya. Loh, kok baru sekarang aku mikir begini, biasanya yang melintas di otakku tentang pacaran ya buat seneng-seneng aja.
“Iya lah. Aku cuma tau keluarga kamu semuanya di Surabaya. Udah, habis itu aku gak tau apa-apa lagi.” Sahutnya. Mungkin dia merasa aneh, pacaran sama orang yang kehidupannya misterius kaya aku gini.
Aku gak merespon ucapannya barusan. Aku memang punya banyak teman yang mudah dimintai bantuan dan aku juga bersedia bantu mereka, tapi bukan berarti aku akan menceritakan semua permasalahanku terang-terangan pada mereka. Termasuk Dion, padahal statusnya sedikit lebih tinggi dari teman-temanku yang lain.
“Nana! Dih bengong lagi.” Dion kembali membuyarkan lamunanku. “Kamu kenapa sih? Stress skripsi? Bukannya proposal kamu udah tembus?”
Aku hanya menggelengkan kepalaku sembari mengeluarkan sebatang rokok dari tasku. Baru saja ingin memasukkannya ke mulutku, Dion langsung mengambilnya.
“Kamu masih ngerokok? Duh Nana, mau sampe kapan? Kamu inget kan Papa aku meninggal gara-gara kanker paru-paru? Setiap hari ngebul udah kaya kereta uap jadul.” Dion kembali menceramahiku. Sialnya, aku lupa untuk tidak merokok di depan Dion.
Aku menghela napas. “Kamu kalo mau putus, putus aja.” Akhirnya aku menjawab semua perkataannya dengan satu kalimat yang berhasil membuatnya diam seribu bahasa.
Dion masih menatapku tidak percaya. Aku tahu dan bisa merasakan kalau dia benar-benar peduli dan tulus. Itu yang membuatku tak tega untuk minta putus duluan. Seandainya dia lebih brengsek sedikit saja, pasti aku sudah minta putus dari kemaren, seperti mantan-mantanku yang sebelumnya.
“Ya udah. Aku gak ganggu kamu dulu.” Tanpa kusangka dia membalas ucapanku barusan. Lalu dengan gentle dia mengambil tasnya dan langsung pergi tanpa menoleh lagi padaku. Sepeninggalnya, aku hanya menundukkan kepala sembari mengacak-acak rambutku. Tak lama kemudian sebuah pesan singkat masuk ke handphoneku.
Tapi kalo kamu udah siap cerita, bilang aku. Aku pasti dengerin dan bantu sebisaku.
Bener kan, dia cowok yang pengertian.
□□□□□□□□□
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Aku meregangkan tubuhku. Padahal aku baru bangun tidur siang, tapi tubuh dan pikiranku malah tambah lelah. Handphoneku berdering lagi, kembali membuyarkan lamunanku. Nomor tak dikenal lagi. Baru saja ingin kuangkat, telepon kemudian terputus, lalu sebuah pesan singkat muncul di layar ponselku. Lagi-lagi dari Fitri yang terus memintaku untuk segera pulang.
Aku menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Apa memang aku tidak bisa lari selamanya dari rumah? Aku termenung dan memikirkan banyak hal. Satu-satunya hal yang tidak bisa kulepas dan kuputus adalah hubungan keluarga yang sebagian darah mereka mengalir dalam tubuhku. Sebenci apapun, akan ada saat aku harus kembali. Apa mungkin sekarang waktunya? Aku penasaran juga karena Fitri terus-terusan memintaku pulang karena Aldi yang mau aku untuk pulang. Aku setengah tidak percaya dan jadi ingin membuktikannya sendiri.
Aldi, adikku yang jarak usianya terpaut tiga belas tahun denganku. Awalnya Papa juga tidak mau punya anak lagi di usianya yang semakin tua, tapi setelah empat bulan kehamilan, baru ketahuan Mama akhirnya mengandung anak laki-laki. Mungkin bahagianya Papa saat itu seolah berhasil menang undian setelah sebelumnya berkali-kali taruhan dan kalah terus. Akhirnya walaupun aku juga tidak mau punya adik lagi, aku agak berterima kasih sama adik kecil ini karena seenggaknya frekuensi berantem Papa dan Mama berkurang.
Singkat cerita, Aldi lahir. Benar kataku barusan, Papa terlihat senang dan bangga dengan anaknya yang satu ini. Mama juga pasti sibuk nyusuin, bangun tengah malam, dan intinya mereka seolah lupa lagi kalau aku juga anak mereka. Tapi sekali lagi, aku tidak mau ambil pusing, karena ternyata dunia di luar rumah jauh lebih menyenangkan. Akhirnya aku jarang menghabiskan waktu di rumah, pergi saat matahari belum benar-benar terbit dan pulang saat matahari sudah terbenam. Aku punya banyak teman yang sebagian besar anak laki-laki, nilaiku di sekolah bagus, dan membuatku punya kesempatan untuk lanjutin kuliah di Jakarta.
Suatu hari, aku mulai sadar ada sesuatu yang aneh. Papa tidak pernah lagi pulang ke rumah. Awalnya aku cuek dan sedikit senang karena tidak harus mendengar pertengkaran mereka, tapi lama-lama heran dan penasaran juga. Aldi juga tidak pernah bicara apa-apa padaku, padahal umurnya sudah hampir lima tahun.
Sampai kemudian, Mama baru ngasih tau aku kalau Aldi bisu atau tunawicara. Kukira selama ini ia marah atau tidak kenal padaku, jadi tidak pernah mau bicara. Kalaupun bicara, suaranya keras dan artikulasinya tidak jelas. Papa jelas tidak terima dengan kondisi Aldi dan memilih untuk pergi. Egois.
Setelah Papa pergi, Mama akhirnya baru sadar kalau dia masih punya aku, anak sulungnya yang terlupakan. Sudah terlambat, tapi ya mau gimana lagi. Aku juga tidak bisa bantu banyak karena keputusanku untuk kuliah di Jakarta udah bulat. Tiga bulan kemudian, aku benar-benar meninggalkan rumah, membawa semua barang-barang serta tabunganku dan pergi. Mama tidak marah, juga tidak bicara apa-apa, dan aku bisa melihat sedikit kekecewaan bercampur kekhawatiran dari sorot matanya.
Dan disinilah aku sekarang. Apa yang dibilang di film-film yang pernah kutonton tentang kerasnya ibukota ada benarnya juga. Agak susah membedakan siapa yang benar-benar teman sama yang mana yang cuma pura-pura jadi teman. Cari uang apalagi. Untungnya aku bertemu dengan Bu Nia dan tempat kos ini.
Sampai akhirnya dua hari yang lalu aku mendapat kabar, Mama meninggal. Anehnya, aku tidak terlalu sedih. Yang sedih malah Fitri, dia meneleponku sambil menangis gak karuan. Mungkin harusnya dia saja yang jadi anak Papa dan Mamaku. Katanya Mama jatuh terpeleset di kamar mandi. Dan tidak ada satupun yang melihat jenazahnya secara langsung. Sudah ada di rumah duka dan anehnya ada Papa disana. Bahkan menurut kabar yang beredar, Papa sempat membawa Mama ke rumah sakit sebelum disemayamkan di rumah duka. Hmm, mungkin Papa masih peduli. Atau masih sayang? Entahlah.
Tapi yang membuatku sedikit bingung, kenapa Papa tidak pulang saja kalau memang dia masih peduli dengan Mama atau Aldi? Buat apa ngotot bawa Aldi pergi segala ya? Selama ini aku juga gak pernah tau dimana Papa tinggal selepas dia pergi dari rumah kami. Jelas lah aku tidak tahu apa-apa karena saat itu aku langsung kabur kesini. Aku makin penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Mungkin ini saatnya buatku untuk tahu keadaan di rumah.
□□□□□□□□□
Matahari bersinar sangat terik saat aku tiba di Bandara Juanda. Sepertinya sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kaki disini. Terakhir kali ya saat aku memutuskan untuk pindah ke Jakarta kurang lebih dua tahun yang lalu. Untung saja aku berangkat pagi-pagi buta dan pesawat gak delay, jadi saat aku sampai hari masih siang. Lalu sekarang tinggal mencari taksi dan menempuh perjalanan kurang lebih dua jam bila jalan sedang macet untuk sampai di rumah.
Awalnya aku ingin memesan taksi online, tapi berhubung sinyal sedang tidak bersahabat, aku terpaksa naik taksi biasa. Setelah menyampaikan pada supir tujuanku, taksi kemudian melaju. Beruntungnya supir kali ini diam saja, tidak banyak bertanya atau mengajak ngobrol, dia seolah tahu kalau aku sedang tidak ingin banyak bicara. Pikiranku sibuk dengan segala hal, memikirkan apa yang akan aku lakukan setelah aku sampai di rumah. Mungkin menengok Aldi sebentar, ziarah ke kubur Mama, lalu melihat keadaan rumah, kemudian mungkin akan menitipkan Aldi pada Fitri. Semua masih kuawali dengan kata ‘mungkin’ karena aku sendiri juga gak yakin dengan semua rencanaku. Terdengar jahat sih menitipkan Aldi pada seseorang yang notabene tidak ada hubungan keluarga dengan kami. Jahat buat Aldinya, jahat juga buat keluarganya Fitri. Tapi mengajak Aldi ke Jakarta dan tinggal berdua di kos-kosan sempit juga makan pas-pasan sepertinya terdengar lebih kejam. Lagian keliatannya orangtua Fitri juga lebih sayang pada Aldi. Kalau keluarganya Fitri tidak bersedia, ya mungkin aku akan mencari panti asuhan terdekat yang mau menampung Aldi. Duh, jahat sekali ya rencanaku ini, tapi mau gimana lagi. Kalau aku sudah punya rumah mewah sendiri di Jakarta, tentu saja aku akan mengajak Aldi tinggal disana.
Setelah urusan Aldi selesai, mungkin rumah itu akan kubiarkan kosong. Kurasa Papa juga cepat atau lambat akan turun tangan mengurus rumah itu, entah dijual atau dibangun kembali, aku tidak begitu peduli. Yang penting setidaknya aku cukup bertanggung jawab atas kehidupan Aldi, adikku satu-satunya. Hmm, baru kali ini aku memikirkan nasib anak kecil itu.
“Dari sini belok kemana Mbak?” pertanyaan si supir taksi membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh keluar jendela. Dari sini sudah lumayan dekat. Tak kusangka cepat juga sampainya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang.
“Jalanannya lancar Mbak, jadi cepet sampainya.” Lanjut sang supir seolah bisa membaca isi pikiranku.
“Belok kanan, nanti berhenti di depan rumah yang pagernya coklat tua ya Pak.” Sahutku memberikan informasi sedetail-detailnya, karena hanya rumahku yang punya pagar berwarna coklat.
Supir taksi yang mengantarku hanya mengangguk, kemudian tidak berkata apa-apa lagi. Aku juga sibuk merangkai kata-kata apa yang akan kuucapkan sesampainya di rumah. Aku ragu Aldi masih mengenaliku atau tidak ya? Lalu bagaimana caranya untuk ngobrol dan bertanya tentang kondisinya? Kemudian aku bersiap mengeluarkan sebuah notes kecil dan pulpen milikku. Aldi memang kesulitan bicara, tapi semoga dia bisa membaca dan menulis.
Taksi kemudian berhenti di depan rumahku. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, aku keluar dan masih termangu di depan rumah. Rumah yang sepertinya sudah lama sekali aku tinggalkan. Beberapa kenangan buruk kembali melintas dalam pikiranku namun berusaha kuabaikan setengah mati. Sudah jauh-jauh kesini, masa mau menyerah dan pulang lagi? Aku menelan ludah, kemudian melangkah maju mendekati pagar rumah.
Terkunci. Pagar digembok. Aldi jelas tidak mungkin sendirian di rumah yang sedang digembok seperti ini. Akhirnya aku memberanikan diri untuk datang ke rumah Fitri yang hanya beda beberapa rumah dari rumahku. Sambil melangkah, aku mempersiapkan jawaban apa yang akan kuberikan bila Fitri banyak bertanya padaku. Mamanya yang sudah tua dan lebih tua dari Mamaku tidak sebawel anaknya. Kadang aku heran darimana sifat bawel Fitri itu berasal.
“Assalamualaikum..” suaraku mungkin tidak cukup keras untuk menembus dinding rumah Fitri, tapi pintu rumahnya terbuka, jadi seharusnya orang di dalam rumahnya bisa mendengar suaraku.
“Waalaikumsalam..” seseorang membalas salamku, suaranya terdengar familiar dan sudah lama sekali tidak kudengar. Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang mulai memutih keluar dari rumah. Ia tersenyum padaku, namun sepertinya berusaha mengingat siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya.
“Tatyana, Bu..” aku kemudian membantunya mengingat dan senyumnya mengembang semakin lebar.
“Nana? Ya Allah, akhirnya pulang juga kamu.” Tanpa ragu ia kemudian memelukku. Sesuatu yang mungkin tidak akan dilakukan Mamaku bila aku pulang ke rumah saat ia masih hidup. Eh, gak tau juga sih, kan selama ini aku tidak pernah pulang lagi kesini.
“Masuk Na. Aldi ada di dalam.” Kemudian tanpa ragu ia mengajakku masuk. Rumahnya memang lebih kecil dari rumahku, namun aku bisa merasakan ada kehangatan yang lebih di dalam rumah ini. Ibu Asti—mamanya Fitri—juga mengingatkanku pada Ibu Nia, pemilik kos-kosan tempatku tinggal yang menganggap semua penghuni kosnya seolah anaknya sendiri.
Lalu kulihat sosok anak laki-laki kurus yang sedang duduk di lantai sembari menggambar. Itu Aldi. Aku lupa berapa umurnya sekarang. Bu Asti menepuk bahunya, kemudian berbicara padanya. Tangannya juga ikut bergerak agar Aldi bisa mengerti apa yang ingin ia maksud. Selesai berbicara, Aldi kemudian menoleh padaku.
“Kaaa…kakk…mu….” Kemudian Bu Asti mengucapkan kata-kata terakhirnya sejelas mungkin.
Aldi diam saja. Aku juga diam saja namun terus menatapnya. Sepertinya benar, anak itu tidak mengenaliku lagi. Wajar saja, karena saat aku ‘minggat’ Aldi masih sangat kecil dan sebelum pergi aku juga tidak banyak berinteraksi dengannya.
Sekian detik kemudian, tak kusangka Aldi menyunggingkan senyumnya padaku. Aku ragu, namun kubalas senyumannya. Sekilas aku bisa melihat raut wajah Renata terpancar dari wajahnya. Ah, mikir apa sih aku barusan. Kemudian anak kecil itu bangun dan memeluk pinggangku. Seolah ia baru saja melihat orangtuanya pulang setelah bekerja seharian. Walaupun ragu, aku balas melingkarkan tanganku ke kepalanya. Kemudian aku perlahan merasakan pinggangku basah dan menghangat. Aldi menangis? Pelukannya juga semakin erat, seolah tidak ingin aku melihat air matanya. Kubiarkan saja ia memelukku, lalu kemudian aku menatap Bu Asti dengan tatapan penuh tanya.
“Dia kangen. Eh, akhirnya kakaknya pulang.” Bu Asti seolah tahu apa yang ingin kutanyakan.
□□□□□□□□□
Cukup lama aku berada di rumah Fitri hingga saat aku kembali ke rumahku, hari sudah sore. Benar, gadis itu langsung menceramahiku panjang kali lebar saat ia tiba di rumah dan melihatku ada di rumahnya. Tapi ia bersyukur juga akhirnya aku mau pulang, itupun setelah ditelepon dan diteror berkali-kali. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya aku dan Aldi pulang. Ternyata kunci rumahku dipegang oleh Bu Asti, ia juga yang berinisiatif untuk mengajak Aldi menginap di rumahnya, karena tidak baik juga anak kecil tinggal sendirian di rumah sebesar itu.
Setelah aku membuka gembok pagarku dan bersiap masuk, Aldi menarik tanganku. Seolah ingin mencegahku untuk kembali ke rumah. Aku mengerutkan dahiku, tapi bingung bagaimana caranya untuk meminta penjelasan darinya.
“Keee…naaa..paaa?” aku membuka mulutku lebar-lebar, menirukan cara Bu Asti tadi untuk berbicara dengan Aldi.
Aldi berusaha menjawab pertanyaanku, tapi aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan. Sudahlah, hari juga sudah mulai gelap, akan lebih baik kalau kami masuk dulu ke dalam rumah.
Sesampainya di dalam, rumah sedikit berantakan. Aku jadi teringat kembali saat Papa dan Mama kembali bertengkar hebat dan Aldi hanya menangis di sofa. Lantai juga berdebu, cepat sekali kotornya, padahal logikanya rumah mungkin baru ditinggal kosong dua hari yang lalu. Aldi memegangi belakang kaosku erat-erat. Melihat tingkahnya, aku jadi tidak tega untuk menitipkannya ke keluarga Fitri, bahkan ke panti asuhan.
Aku meletakkan tas besarku ke lantai, kemudian mengambil sapu dan membereskan rumah. Sesuatu yang dulu hampir tidak pernah kulakukan. Aldi masih memegangi kaosku, aku melepaskannya pelan-pelan, kemudian menunjuk ke sofa, memberi isyarat agar ia duduk dulu.
Sembari menyapu, aku juga mengingat-ingat apa saja yang tadi kubicarakan bersama Fitri di rumahnya. Tentang Papa yang ikut datang di pemakaman Mama dan terus memaksa Aldi untuk ikut dengannya.
“Aldi takut sama Papamu. Tapi waktu ditanya, dia gak mau bilang apa-apa.”
Ada hal yang masih tidak kumengerti. Bila dulu Aldi selalu jadi sumber pertengkaran Papa dan Mama karena Papa yang tidak terima dengan kecacatan Aldi, kenapa sekarang Papa malah ngotot mau membawa Aldi pergi?
“Papamu dateng sama orang lain…” tadi Fitri keliatan ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Aku juga sudah mengerti kemana pembicaraannya akan mengarah dan tidak memintanya untuk melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba Aldi terlihat panik mencari-cari sesuatu. Ia mengerang-erang hingga membuatku kaget dan menjatuhkan sapuku. Aku buru-buru menghampiri dan berusaha menenangkannya. Tapi bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengannya? Aku merogoh kantung celanaku dan baru ingat sempat menyelipkan notes kecil juga pulpenku disana. Aku menuliskan sesuatu disana dan menyodorkannya pada Aldi, berharap ia bisa membaca tulisanku.
Syukurlah, Aldi bisa membaca tulisanku dan balas menulis sesuatu di bawah tulisanku. Tak kusangka, tulisannya bagus dan rapi, untuk ukuran anak seusianya.
Baju mama mana?
Aku bingung. Baju Mama? Tentu saja ada di lemarinya. Aku menarik tangannya kemudian berjalan ke kamar Mama. Kubuka lemari pakaian, dan mengeluarkan satu per satu baju milik Mama, berharap salah satunya adalah yang Aldi cari.
Namun Aldi terus menggelengkan kepalanya. Berarti baju yang ia cari tidak ada di lemari ini. Aku berpikir keras, lalu kembali menuliskan sesuatu di notes ku.
Ada di rumahnya mbak Fitri?
Aldi diam saja, kemudian mengangkat tangan dan bahunya, pertanda ia juga tidak yakin. Tanpa berkata apa-apa, aku menarik tangannya dan berjalan kembali ke rumah Fitri.
“Permisi, assalamualaikum Bu Asti. Nana, Bu.”
Bu Asti segera keluar dan menghampiri kami.
“Waalaikumsalam. Ada apa lagi Na? Ada yang ketinggalan?” tanyanya, seolah memang benar ada barang milik kami yang tertinggal di rumahnya.
“Iya Bu. Tapi yang tau barangnya Aldi, bukan saya.” Aku lalu memberi isyarat pada Aldi untuk masuk dan mencari sendiri baju Mama yang siapa tahu tertinggal disana.
Tak lama kemudian Aldi kembali sembari membawa sebuah daster batik yang motifnya mulai kumal. Walau sudah dekil dan kumal, Aldi terlihat senang setelah menemukan daster itu. Ia memegang tanganku dan mengajakku pulang.
“Udah ada Bu, makasih ya. Assalamualaikum.” Pamitku.
□□□□□□□□□
Tubuhku terasa pegal setelah membereskan rumah. Aldi sudah tidur pulas di sebelahku. Ia tidur di tempat tidur yang sebelumnya ditempati Mama. Walaupun seluruh tubuhku sakit semua, aku tidak mengantuk sama sekali.
Aku duduk di kasur sembari merenungkan seluruh kejadian hari ini. Semua yang terjadi sama sekali tidak sama dengan apa yang kubayangkan dan kurencanakan. Aku tidak menyangka Aldi benar-benar membutuhkan kehadiranku. Pantas saja Fitri berulang kali menghubungiku dan terus memintaku pulang. Tapi aku belum bisa benar-benar kembali. Kuliahku yang sedikit lagi selesai belum bisa kutinggal. Juga pekerjaan yang baru saja kudapat dengan susah payah, jelas tidak mau kulepas begitu saja. Lalu, hmm sebenarnya aku agak malu dengan yang ini, aku juga belum mau putus dengan Dion. Jelas aku harus kembali ke Jakarta untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dengan kehidupanku. Kurasa ini saatnya untuk membagi bebanku dengan seseorang yang bisa kupercaya.
Bosan karena hanya melamun di kamar, aku keluar dan menyeduh kopi hitam di dapur. Kulihat masih banyak stok makanan siap saji di lemari dan kulkas. Setidaknya aku dan Aldi tidak akan kelaparan untuk beberapa hari ini. Uangku jelas makin lama akan menipis. Di ATM sih masih ada, tapi itu juga uang tabungan untuk skripsi dan wisudaku.
Aku menyulut api ke rokokku dan perlahan asap rokok membumbung memenuhi dapur. Bodoh memang karena merokok di sini, ruangan tanpa jendela dan ventilasi, tapi aku terlalu malas untuk berjalan ke teras. Sebodo amat lah. Toh Aldi juga sudah tidur dan posisi dapur juga jauh dari kamar.
Sembari menyeruput kopiku, aku memperhatikan seisi dapur. Lalu pandanganku berhenti saat aku menatap kamar mandi yang pintunya terbuka. Katanya Mama meninggal setelah terpeleset di kamar mandi yang kulihat barusan. Anehnya, tidak ada yang tahu apalagi melihat langsung. Fitri dan Bu Asti bahkan tidak. Mereka hanya tahu Mama sudah tiba-tiba ada di rumah duka. Papa yang membawanya. Dan setelah semua proses pemakaman Mama selesai, Papa ngotot ingin membawa Aldi pergi dan pindah dari rumah itu.
“Iya sih, Papa kamu yang ngurus semuanya. Tapi..”
“Tapi apa?”
Fitri tidak jadi melanjutkan kata-katanya. “Nggak jadi. Perasaan aku aja kayanya.”
Semakin lama, aku merasa ada sesuatu yang aneh disini. Lalu setelah dipikir-pikir, hanya Aldi seorang yang tahu semua kejadian yang sesungguhnya. Ya, anak laki-laki berusia 8 tahun itu pasti tahu semuanya. Aku juga harus mencari tahu kenapa Aldi sangat takut dan gak mau ikut Papa.
Aku tidak berselera lagi dengan kopiku. Perutku mulai kembung dan akhirnya kopi hitam yang tinggal setengah gelas itu kubuang ke bak cuci piring. Aku berjongkok mencari sabun cuci piring, tapi yang kutemukan malah sebuah botol kecil yang sepertinya tidak seharusnya ada disana. Tulisan istilah kimia di botolnya tidak ada yang kumengerti satupun. Kuletakkan kembali botol itu di tempatnya dan balik mencari sabun cuci piring.
Selesai mencuci, aku kembali ke kamar. Menatap Aldi sembari memikirkan apa yang akan kulakukan besok. Daster kumal milik Mama masih dipeluk dengan erat olehnya. Aku heran, dari sekian banyaknya baju milik Mama, kenapa hanya itu yang Aldi cari-cari sejak tadi? Kalau memang ia benar-benar kangen dengan Mama, kan masih banyak benda peninggalan Mama yang lain?
Iseng, aku perlahan-lahan menarik daster itu dari genggaman Aldi. Untungnya ia juga sedang bergerak jadi daster itu akhirnya terlepas dari genggamannya. Daster ini agak berminyak dan sedikit tercium bau. Bau keringat bercampur dengan bau minyak angin. Pertanda daster ini bekas dipakai. Atau jangan-jangan daster ini adalah daster yang terakhir kali Mama pakai sebelum ia meninggal? Aku mencium baunya lagi. Bau minyak angin masih tercium kuat. Aku memeriksa keadaan daster yang walaupun berminyak dan agak bau, dasternya masih mulus, tidak ada noda atau bekas robekan.
Kalau memang Mama meninggal karena kehabisan darah setelah terpeleset dan ini adalah daster terakhir yang ia pakai sebelum meninggal, kenapa dasternya bersih tanpa noda apapun?
Keringat dingin tiba-tiba mengucur dari tengkuk sampai ke leherku. Sejak kecil aku suka membaca komik detektif atau misteri, dan sekarang pikiranku menjalar kepada gagasan yang aneh dan terkesan mustahil. Bisa jadi Mama meninggal bukan karena jatuh terpeleset, dan ada yang mencoba merekayasa penyebab meninggalnya Mama. Papa. Papa berbohong pada semuanya tentang penyebab kematian Mama? Papa mau bela-belain mengurus kematian Mama karena dia gak mau semua orang tahu penyebab meninggalnya Mama?
Tanganku tiba-tiba gemetar. Gemetar takut bercampur sedikit amarah. Lalu aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Bisa saja aku terlalu berprasangka karena sudah terlanjur stress dan pusing dengan semua masalah ini. Tiba-tiba aku teringat dengan botol kecil aneh yang kutemukan di dapur. Buru-buru aku kembali mengambilnya dan memperhatikan nama yang tertulis di permukaan botol. Aku mengambil handphoneku dan mencari apa sesungguhnya arti dari nama yang tercantum di botol itu.
Zat kimia berbahaya tapi bermanfaat untuk membersihkan keramik dan bahan dari kaca lainnya. Jangan ditelan! Bukan untuk dikonsumsi, karena dapat membunuh seorang manusia dewasa dalam waktu kurang dari 3 menit.
□□□□□□□□□
Aku tidak tidur semalaman. Mataku sudah sangat bengkak dan merah. Aku menunduk, menatap meja di hadapanku dengan tatapan kosong. Aldi yang baru selesai memakan mi instan buatanku ikutan menatapku. Notes kecil dan pulpenku sengaja kuletakkan di dekat kami agar kami bisa dengan mudah berkomunikasi.
Aldi kemudian menyodorkan notes itu dan membuyarkan lamunanku.
Kamu kenapa?
Aku mengangkat kepalaku dan menggelengkan kepala. Sejak kemarin aku sudah sangat tidak sabar menunggu Aldi bangun agar aku bisa menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi, tapi sekarang aku malah bingung harus mulai bertanya dari mana. Aku menuliskan sesuatu dan menyodorkan notes kembali padanya.
Kamu gak sekolah?
Aldi menggeleng lalu balas menulis.
Sudah berhenti.
Aku tertegun. Mungkin sekarang Aldi masih duduk di bangku kelas 3 SD, kalau dihitung dengan selisih beda umurnya dengan umurku. Tapi untuk sekarang ini aku belum mau membahas kenapa dia berhenti sekolah. Lalu kuberanikan diri untuk bertanya apa yang dari tadi ingin kutanyakan padanya.
Daster itu bekas dipakai Mama?
Aldi diam saja saat membaca tulisanku. Aku menunggunya menjawab, tapi ia juga masih diam. Lalu ia mengangguk perlahan.
Aku ikutan mengangguk-angguk. Aku lalu berasumsi, mungkin Aldi sangat melindungi daster itu bukan semata karena ia kangen dengan Mama, tapi bisa jadi ia tidak mau menghilangkan barang bukti. Pintar juga dia.
Mama bener jatuh di kamar mandi?
Aldi lalu terlihat terkejut. Wajahnya terlihat takut dan aku tidak mengerti apa sebabnya. Tapi aku percaya, dia tidak akan berbohong kali ini.
Lima menit berselang, Aldi baru menggelengkan kepalanya. Kemudian ia menuliskan sesuatu dengan cepat dan agak gemetar.
Mulut Mama berbusa-busa. Aldi takut. Papa juga marah-marah. Jangan bilang siapa-siapa katanya. Tante Mia juga ikut-ikutin Papa terus.
Tatanan bahasa yang ditulis Aldi berantakan, tapi aku bisa mengerti apa yang dia maksud. Mama meninggal bukan karena jatuh dari kamar mandi, tapi karena ia mengkonsumsi zat kimia itu. Singkatnya, Mama diracun! Dan pasti tidak ada orang lain lagi selain Papa yang melakukan itu. Tapi bagaimana membuktikan ini ke semua orang? Terus kenapa Papa harus sampai hati melakukan itu? Dua hal ini yang masih tidak kumengerti. Lalu siapa lagi Tante Mia itu?
Ingat Rumah Sakit tempat Mama dibawa?
Aldi menggeleng. Mungkin nama Rumah Sakit itu terlalu sulit untuk ia ingat. Oh iya, Fitri pasti tahu.
□□□□□□□□□
Aku duduk di ruang tunggu dengan gusar. Aku tidak menyangka semuanya akan jadi seperti ini. Mulanya aku hanya ingin pulang, memastikan kondisi Aldi baik-baik saja, menitipkannya pada Fitri atau mencarikan panti asuhan, lalu pulang ke Jakarta. Kalau benar itu semua yang kulakukan sejak kemarin, mungkin hari ini aku sudah ada di kamar kosku.
Seorang petugas Rumah Sakit yang tadi kutanyai lewat di hadapanku dan aku buru-buru mencegatnya.
“Mas.. mas tunggu Mas.”
Pemuda berkumis itu berhenti. “Iya, ada yang bisa dibantu Mbak?”
“Tadi saya yang nanya tentang proses otopsi Mas. Gimana, bisa nggak?” tanyaku tidak sabar karena sepertinya ia lupa denganku.
Ia menepuk dahinya. “Oh iya, maaf ya Mbak. Atas nama siapa ya tadi?” ia malah bertanya balik.
Aku memutar bola mataku kesal, lalu memberikan secarik kertas yang berisi nama Mamaku, kapan ia masuk ke Rumah Sakit ini, dan informasi lengkap lainnya yang kudapatkan dari Fitri.
“Nih Mas, biar gak lupa.”
“Sebentar ya Mbak, saya cek dulu.”
Aku duduk lagi sembari menunggu dengan gusar. Aldi tidak kuajak dan kutitipkan saja ke rumah Fitri. Aku hanya memainkan handphone sembari mengusir kegelisahanku. Ada beberapa pesan dari Dion yang belum sempat kubaca apalagi kubalas. Sepertinya ia masih benar-benar peduli denganku. Aku jadi agak membandingkan Aldi dengannya. Yang sama-sama anak paling terakhir, tapi seolah tidak diinginkan oleh Papanya. Mungkin kehidupan Dion lebih parah, karena Papanya jarang pulang ke rumah. Mamanya sibuk kerja, baru pulang saat dia sudah tidur. Kakak-kakaknya juga cuek. Lalu Papanya meninggal saat dia masih kelas 6 SD karena kanker paru-paru.
Aku bisa ingat karena dia sering banget cerita tentang keluarganya. Dulu aku cuma iya-iya aja saat menanggapi ceritanya, tapi baru kali ini aku sadar kalau dia mau mempercayakan semuanya padaku. Lalu, walaupun punya Papa juga kakak yang cuek-cuek, aku sama sekali gak denger ada nada marah bahkan kebencian dari cara dia menceritakan semua cerita tentang keluarganya.
Aku jadi sadar, kayanya yang selama ini aku lakuin ke Aldi ada miripnya dengan apa yang kakak-kakaknya Dion lakukan. Mungkin selama ini aku terlalu marah dan sibuk sama diriku sendiri. Emang aku gak bisa terima dengan perlakuan Papa dan Mama saat aku masih tinggal di rumah, tapi kalau melampiaskan semuanya ke Aldi bahkan ke Renata yang udah meninggal, rasanya gak fair juga. Baru kali ini aku merasa bener-bener bersalah.
“Mbak Tatyana ya?” Mas-mas berkumis tadi kembali menghampiriku.
Lamunanku buyar dan aku cepat-cepat berdiri. “Iya Mas. Gimana, bisa gak?”
“Bisa Mbak, tapi kalau bisa ada anggota keluarga yang lain untuk menandatangani formulir prosedur otopsinya. Lalu hasil otopsi keluar paling cepat dua minggu ya.”
Aku menggaruk kepalaku. “Harus ada anggota keluarga lain?” tanyaku gusar.
Ia mengangguk dan pamit pergi. “Maaf ya Mbak, saya tinggal lagi. Kalau ada pertanyaan, tanya aja ke bagian informasi. Terima kasih ya.”
 □□□□□□□□□
Petir mulai menyambar saat aku berhenti di depan rumah Fitri. Sebentar lagi hujan deras pasti turun, untung saja aku sudah sampai di rumah. Kemudian pemandangan yang tidak ingin kulihat malah muncul di hadapanku. Papa kembali datang dan memaksa Aldi untuk ikut dengannya. Aku langsung lari menghampiri mereka. Aku belum sempat mengatakan apa-apa, tapi Papa langsung berhenti menarik tangan Aldi dan balas menatapku.
“Ngapain Pa?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
Papa tidak langsung menjawab pertanyaanku. Karena ia tidak juga menjawab pertanyaanku, aku langsung menyodorkan formulir otopsi dari Rumah Sakit pada Papa, sekalian mengetes reaksinya setelah melihat formulir itu.
“Pa, tanda tangan disini ya. Buat otopsi Mama.”
Papa diam saja namun wajahnya memucat. Tuh kan, semakin terasa ada yang gak beres.
“Buat apa kamu pulang lagi?” Papa balik bertanya padaku.
“Terus Papa sendiri ngapain ke sini?” aku balas menanyakan pertanyaanku yang tadi tidak dijawab olehnya. Baru sekarang aku langsung bertatap muka dan berkonfrontasi dengannya.
Aldi langsung berdiri di belakangku. Terlihat jelas ia takut pada Papa. Karena Papa diam lagi, aku semakin menyodorkan formulir itu. Formulir itu seolah seperti jimat yang mampu membuat vampir diam, saking takutnya.
Papa tidak berkata apa-apa, lalu pergi meninggalkan kami. Ia langsung tancap gas dengan mobilnya. Kabur. Petir kembali menyambar dengan keras, lalu hujan perlahan turun. Takut kebasahan, aku tidak sempat pamit pada Fitri atau Bu Asti, dan buru-buru masuk ke rumah bersama Aldi.
Formulir otopsi itu buru-buru kuamankan. Untung tidak kena basah. Aku juga memikirkan cara bagaimana agar Papa mau menandatangani formulir itu. Kelihatannya ia takut saat aku menunjukkan formulir itu. Rencanaku juga berubah. Proses otopsi ini harus segera kuselesaikan, lalu setelah semua beres, aku akan kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan kuliahku. Aldi mau tak mau kutitipkan dulu pada Fitri, tapi untuk kali ini, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan lebih sering pulang.
Tiba-tiba handphoneku berdering dengan keras. Padahal suara hujan yang deras sudah terdengar sangat kencang, tapi ringtone handphoneku juga tidak mau kalah.
“Halo, Nana! Nana!” lagi-lagi itu Fitri kembali meneleponku dengan suara paniknya. Padahal aku sudah di rumah, buat apa dia meneleponku lagi dengan nada panik seperti itu?
“Kenapa? Kan tinggal ketok aja, ngapain telepon lagi?” sedetik kemudian aku baru ingat, di luar kan sedang hujan, jadi ia mungkin tidak bisa mengunjungiku.
“Papa kamu Na, Papa kamu kecelakaan…”
 □□□□□□□□□
Aku dan Aldi berlari-lari di koridor Rumah Sakit. Tubuh kami sama-sama basah kuyup, tapi aku tidak peduli. Papa dibawa ke Rumah Sakit yang sama dengan yang tadi sore kudatangi. Papa mengalami kecelakaan tunggal. Menurut keterangan saksi, dia ngebut di jalan licin dan tiba-tiba mobilnya udah terperosok ke sungai. Mungkin takut kusuruh buat nandatangani formulir otopsi.
Aldi gak keliatan sedih atau takut. Bahkan tadi dia gak mau saat kuajak ke Rumah Sakit. Mungkin dia juga udah mati rasa dan gak peduli lagi. Fitri dan Bu Asti yang sudah sampai duluan kemudian menghampiri kami.
“Aduh, kalian basah kuyup begini. Ibu gak bawa baju ganti.”
“Gak apa-apa Bu.” Jawabku santai dan berusaha terdengar tenang.
Orang-orang yang membantu Papa ke Rumah Sakit sudah tidak terlihat. Papa juga sudah masuk ke ruang ICU. Rasanya proses otopsi Mama akan tertunda. Lalu kalau buruk-buruknya Papa juga tidak selamat, gimana kelanjutan proses otopsi Mama?
“Keluarga Bapak Ronald?” dokter yang menangani Papa kemudian muncul di hadapan kami.
Aku berdiri. “Saya. Jadi gimana Pak, hasilnya?”
□□□□□□□□□
Aku bangkit berdiri. Langit mulai mendung dan sebaiknya aku bersiap-siap pulang. Saat aku berbalik, sosok wanita yang tak ku kenal hampir menabrakku.
“Tatyana?” ia memanggil namaku.
Aku mengerutkan dahiku. Darimana ia tahu namaku? “Siapa ya?” aku balik bertanya.
Wanita itu tidak menjawab. Lalu aku melihat seorang anak laki-laki kecil berdiri di belakangnya. Wajahnya sangat mirip dengan Papa.
“Kamu yang namanya Mia?” aku lalu teringat sesuatu. Tante Mia-Tante Mia yang pernah Aldi ceritakan padaku.
Wanita itu mengangguk, kemudian menyerahkan sebuah amplop padaku. “Dari Papamu.” Tanpa menunggu responku, ia langsung pergi. Aku menoleh, dan sepertinya ia juga mau berziarah ke makam Papa. Untung saja beberapa menit sebelum aku meletakkan bunga di makam Mama, aku sudah sempat disana, menaburkan beberapa kelopak bunga dan menyiram tanahnya dengan air.
Kusimpan amplop itu dalam tasku. Mungkin nanti akan kubaca di pesawat. Aku menenteng tas besarku, berjalan keluar sampai handphoneku berdering lagi.
“Halo?”
“Hai Na. Gimana? Hari ini jadi ke Jakarta kan?”
Aku tersenyum simpul. “Iya. Udah kangen ya?”
Suara di seberangku terkekeh. “Kirain gak jadi, abis gak ada kabar lagi. Terus si Aldi gimana?”
“Tinggal sama Fitri dulu sementara.”
“Ohh. Kapan-kapan ajak kesini dong, mau ketemu.”
Senyumku semakin mengembang. “Iya. Kapan-kapan ya, tunggu dia gedean dikit.”
“Ya udah, dua jam lagi kujemput ya.” Tanpa menunggu responku, ia menutup teleponnya.
Aku tersenyum, kemudian melambaikan tanganku ke arah taksi kosong yang lewat. “Taksi!” Taksi berhenti, kemudian aku segera masuk.
“Bandara Juanda ya Pak.” Supir taksi itu mengangguk dan menjalankan taksinya. Hujan rintik-rintik mulai turun saat taksi melaju perlahan.
“Pelan-pelan aja ya Pak, jangan ngebut.” Aku mengingatkan supir taksi yang mengantarku. Ia mengangguk lagi.
Lalu aku teringat dengan sesuatu yang dititipkan Mia padaku. Kubuka amplop itu perlahan dan kubaca isinya. Surat wasiat dari Papa yang isinya warisan darinya. Sebagian besar jatuh padaku, dan Papa juga memintaku yang membagi sisanya sama rata untuk Aldi dan anak-anaknya dari Mia. Aku meletakkannya kembali ke amplop. Ternyata di bawahnya masih ada secarik kertas kecil lagi. Kubaca tulisan itu perlahan dan seteliti mungkin, lalu sengaja kutinggal di jok taksi, karena tidak ingin kubawa pergi. Papa begitu pengecut. Dulu dengan keras ia mendidik anak-anaknya yang jelas seorang perempuan untuk memiliki mental dan kebiasaan seperti laki-laki, tapi sekarang ia seolah ‘kabur’ dari tanggung jawabnya, bahkan kabur untuk selamanya karena ia akhirnya pergi menyusul Mama dan Renata.
Hujan ternyata tak menghalangiku untuk cepat sampai di bandara. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, aku buru-buru keluar. Sayup-sayup aku bisa mendengar sang supir taksi berteriak memanggilku.
“Mbak, ada yang ketinggalan, Mbak…”
Aku pura-pura tidak mendengar dan terus melanjutkan langkahku. Si supir taksi kemudian melihat sekilas apa yang kutinggalkan di jok taksinya.
Tatyana.
Rasanya tidak ada kata lain yang bisa saya ucapkan selain maaf. Itupun mungkin tidak akan pernah cukup buat kamu, Renata, Aldi, bahkan Mamamu. Saya memang manusia paling egois yang pernah hidup di dunia ini, dan mungkin saat kamu baca tulisan ini, satu orang manusia paling egois sudah lenyap dari dunia. Tidak ada gunanya menutupi sebuah kebohongan. Iya, memang benar saya yang bertanggung jawab atas semuanya. Kelahiran kamu, Renata, Aldi, meninggalnya Renata, lalu Mamamu. Saya sudah mencoba perbaiki semuanya, walaupun terlambat dan saya sampai harus membuat Mamamu pergi menyusul Renata. Semua memang sudah terlambat, saya sangat menyesal, tapi percuma dan saya siap menerima konsekuensi apapun. Saya sudah menitipkan pesan pada Mia untuk memberikan tulisan ini bila konsekuensi dan hari itu tiba. Saya tahu, kamu pasti tidak akan pernah memaafkan saya, saya terima. Yang penting sekarang, lanjutkanlah kehidupanmu sesuai dengan apa yang kamu mau.
0 notes
crustagracean · 8 years ago
Text
Motivasi
Dalam postingan ini, saya bukan mau memberikan serangkaian kata-kata indah ala motivator berambut ‘gondrong’ yang siapa sih yang gak kenal dia, lalu diakhiri dengan salam something apalah itu.
Tulisan ini saya buat saat pilpres tahun 2014, tepatnya tanggal 9 Juli, tapi tetap berharap semoga masih relevan.
Motivasi. Menurut saya motivasi adalah sesuatu yang membuat seseorang ingin meraih sebuah tujuan. Akhir-akhir ini saya sering mendengar ada satu kata yang mengekor kata motivasi. Salah. Salah motivasi.
Saya mengartikan salah motivasi ini sebagai satu keadaan dimana kita terkesan memaksakan sesuatu. Contoh, seseorang yang terlihat taat beragama, terlihat saleh. Orang yang naif menilai ia terlihat taat beragama karena ia ingin dekat dengan Tuhannya, karena ia memiliki relasi yang baik dengan Tuhannya, intinya ia punya motivasi yang baik dibalik kesalehannya itu.
Tapi bukankah kita ini hanya manusia? Yang tidak sempurna dan pasti ada celah dimana kita ingin terlihat lebih dibandingkan dengan orang lain? Menurut saya inilah tahap dimana salah motivasi itu lahir. Bisa saja ia ingin terlihat saleh karena ia ingin terlihat hebat? Ingin agar ia mendapat nilai lebih diatas orang lain.
Dan salah motivasi ini dapat menghasilkan ‘irrational believe’ yaitu satu keadaan dimana harapan kita yang terlalu tinggi atau terlalu muluk-muluk sehingga saat orang lain melakukan hal yang jauh diluar harapan kita, kita akan sangat kecewa. Lalu bagaimana dengan orang yang terlihat saleh tadi namun motivasinya salah? Ia berharap agar ia disanjung karena kesalehannya, ia mendapatkan banyak pujian karena kesalehannya, namun bagaimana jika kenyataan berkata lain? Bagaimana jika ternyata tidak ada orang lain yang memujinya? Bahkan orang lain ternyata tidak peduli? Atau yang lebih parah lagi, ada orang lain yang mengetahui bahwa motivasinya salah? Tentu ia akan lelah memakai topeng dan tanpa ia sadari topengnya pun lepas, dan terlihatlah wajah aslinya. Dan dari sini lahirlah suatu pemikiran: ketika kita melihat orang yang kita kenal berubah 180 derajat, tidak, belum tentu ia berubah, bisa saja perubahan itu adalah wujud aslinya, wujud asli yang bersembunyi dibalik topengnya.
Namun, ada hal yang juga sama berbahayanya dengan salah motivasi, yakni lupa motivasi awal. Contoh.
Seorang kepala keluarga dengan istri dan anak-anaknya. Ia tentu harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Ingat, motivasi awalnya bekerja adalah untuk menghidupi keluarga. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya keadaan memaksanya untuk melupakan motivasi awalnya. Pekerjaan yang menumpuk, lembur sana-sini akhirnya membuatnya tidak punya waktu dengan keluarganya. Dan bagaimana? Motivasinya berubah dan tentunya ini tidak baik. Terdengar lucu sih, ia bekerja demi keluarganya tapi kok keluarganya malah berantakan karena pekerjaannya.
Sekarang hari Rabu, 09 Juli 2014. Jam dirumah saya menunjukkan pukul 21:30 malam. Hari ini negeri kami tercinta baru saja bersama-sama memilih siapa yang akan menggantikan Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai orang nomor satu di negeri ini. Suara-suara kami tengah dihitung.*) Satu harapan saya, semoga orang yang terpilih nanti tidak salah motivasi dan tidak lupa motivasi awal. Semoga pemimpin negeri ini nanti tidak bertopeng, tidak salah motivasi, tidak lupa pada kesejahteraan rakyat yang digadang-gadangkan sebagai motivasinya memimpin negeri ini, tidak terlena pada hal-hal yang membuat motivasinya berubah.
Footnote: Bagian yang dicetak miring lalu diberi tanda bintang di akhir akan saya ganti, mengingat situasi sekarang juga udah beda hehehe.
Sekarang hari Rabu, 15 Februari 2017. Hari ini kota Jakarta tercinta juga beberapa daerah di seluruh Indonesia baru saja memilih pemimpin daerahnya masing-masing. Suara-suara kami tengah dihitung. Satu harapan saya, semoga orang yang terpilih nanti tidak salah motivasi dan tidak lupa motivasi awal. Semoga para pemimpin daerah masing-masing nanti tidak bertopeng, tidak salah motivasi, tidak lupa pada kesejahteraan rakyat yang digadang-gadangkan sebagai motivasinya memimpin negeri ini, tidak terlena pada hal-hal yang membuat motivasinya berubah. 
Salam su.....eh lupa, tadi kan di awal udah bilang gak pake salam-salaman :p
0 notes
crustagracean · 9 years ago
Text
Wreck-it Ralph : It’s okay not to be okay
Tumblr media
Jauh sebelum Awkarin dan Young Lex ‘memproklamirkan’ diri bahwa mereka adalah bad guy and bad girl, Rich Moore bersama dengan Jennifer Lee dan Phil Jonston dibawah produksi Walt Disney Pictures sudah duluan memperkenalkan tokoh Ralph si penghancur (the bad guy) dan Vanellope si ‘cacat’ (the bad girl) dalam Wreck-it Ralph (film rilis tahun 2012).
Tumblr media
Ralph dan Vanellope hidup dalam virtual game yang dikenal dengan nama Litwak Arcade. Bayangkan kalian sedang ada di Timezone atau arena main ding-dong (ketauan tuanya, ups) dan ketika Timezone tutup, semua tokoh dalam game ternyata hidup dan berinteraksi layaknya manusia biasa. Seperti itulah kurang lebih kehidupan dalam Litwak Arcade.
Ralph sendiri hidup dalam game Fix-it Felix. He’s the villain in this game, dan suatu hari para villain—tokoh jahat—dari semua Arcade ngumpul (sedikit bocoran beberapa di antaranya ada Naganya Mario Bross, hantu Pac-Man, sisanya saya lupa dan gak tau itu siapa). Di perkumpulan ini Ralph curhat kalo dia bosen jadi penjahat terus. Ingin sesekali bisa jadi pahlawan, dapet medali emas seperti yang didapatkan oleh Felix—pahlawan dalam game Fix-it Felix—dan diakui juga disanjung banyak orang. Tapi para penjahat game lainnya berulang kali mengingatkan dia kalau setiap tokoh dalam game sudah diciptakan menurut perannya masing-masing, and for this context, it’s okay for being bad.
Tumblr media
Singkat cerita, Ralph berusaha keras untuk mendapatkan medali pengakuan itu sampai nekat masuk ke game lain. Doi masuk ke game Heroes Duty karena menurut informasi yang beredar disana dia bisa dapet medali emas dengan mudah. Medali emas berhasil dia dapetin, tapi karena kecerobohannya, isi game Heroes Duty jadi kacau dan Ralph akhirnya malah masuk ke Sugar Rush, permainan balap mobil yang mobilnya terbuat dari kue dan permen. Disana dia bertemu dengan gadis kecil bernama Vanellope. Vanellope ini tokoh game yang visualnya kabur (suka macet-macet gitu macem game rusak), semua tokoh dalam Sugar Rush mengucilkan dia dan manggil dia ‘Si Cacat.’ Ternyata Vanellope juga butuh medali emas yang bisa dia pake buat bayar ‘biaya pertandingan’ yang diselenggarakan oleh King Candy, pemimpin Sugar Rush. Konon katanya setelah memenangkan balap mobil, kecacatannya itu akan sembuh dan semua orang akan berhenti mengejeknya. Akhirnya Ralph dan Vanellope sama-sama berebut untuk mendapatkan medali emas itu, tapi tanpa sadar mereka jadi saling mengenal dan mengerti bahwa ada kesamaan dalam diri mereka. Di sisi lain, nasib seluruh Arcade World ada di tangan Ralph.
Tumblr media
Film ini technically keren abis! Grafiknya bagus, bahkan detail glitch nya Vanellope ini meyakinkan banget, sampe pas pertama kali nonton saya sampe ngira filmnya beneran rusak hahaha. Semua tokoh juga saling berkaitan, alurnya utuh, apa ya itu istilahnya, full-circle atau one-circle, lupa. Intinya, semua tokoh baik dari yang utama maupun yang paling minor sekalipun semuanya punya peran yang jelas dan kepake sampe akhir film.
Tumblr media
Lalu dari karakter tokoh, sisi bad dari Ralph dan glitch-nya Vanellope seolah menggambarkan bahwa manusia gak ada yang sempurna. Walau gak sempurna, semua manusia tetap unik, punya peran mereka masing-masing dan jangan pernah coba-coba jadi orang lain. And the creators bring that strong message with cute characters, amazing computer graphic image without patronizing the audience nor being so preachy. Just let the story flows smoothly with the moral lessons. As always, Disney productions never fail me. Can’t wait for the sequel!
0 notes
crustagracean · 9 years ago
Text
Unforgettable
“Aku termasuk orang yang percaya dengan takdir. Ketika kita dipertemukan dengan seseorang atau dengan suatu keadaan, semua itu terjadi diluar kendali kita. Gak ada yang kebetulan, semuanya sudah diatur.”
“Kenapa ya cewek-cewek itu ngeribetin banget? Jadi mau kalian apa sih, girls? Gak semua cowok-cowok punya skill se-dewa dukun atau paranormal, bisa tau apa yang kalian mau tanpa harus kalian kasih tau? Gimana kami bisa ‘peka’ kalau kalian aja gak mau bilang apa yang kalian rasain ke kami, please lah.”
“Termasuk saat aku pertama kali ketemu dia. Dan bikin aku semakin yakin bahwa takdir itu ada. Takdir bahwa kami akhirnya dipertemukan, walau di belakangnya juga mungkin ada saatnya kami dipisahkan. Hmm, aku masih belum siap dengan kalimat terakhir yang barusan ku ucapkan. Kadang takdir itu lucu, dari 7.2 miliar manusia di dunia ini yang tersebar di 7 benua dan dipisahkan oleh 5 samudera, aku masih gak ngerti kenapa takdir memilih dia?”
“But, I have to admit this, suatu hari saya sadar bahwa keribetan itu lah yang membuat saya malah semakin rindu. Saat-saat dimana saya senang, semakin hari diminta buat semakin ‘peka.’ Saat-saat dimana saya mau membuat dia bahagia, tanpa harus menunggu dia yang meminta saya untuk membahagiakan dia…”
Rahel
“Rahel! Mama gak masak! Kalo mau makan beli aja ya! Jangan lupa beliin buat Dina sama Lea. Oh iya, kalo mau beli makanan, Mama nitip bakso botak sebungkus yah! Pake tahu, sambel yang banyak! Kalo gak ada duit ambil aja di laci!”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku sembari tersenyum kecut. Padahal udah sepuluh menit yang lalu aku masuk ke kamar dan sempet melihat Mama duduk di ruang tamu sambil nonton TV. Dia pasti lagi serius banget, sampe gak sadar kalo aku udah pulang dari tadi.
“Bakso emang semuanya botak kali Mah! Gak ada yang gondrong, kalo gondrong, banyak rambutnya mana enak!” sahutku iseng dan seneng aja denger reaksi mamaku kalo diganggu pas lagi asyik-asyiknya nonton. Kadang sih dia diem aja, tapi lebih sering balik ngoceh-ngocehin aku.
“….lagi seru nih, padahal si Boy udah mati! Aneh kok malah makin seru ya?” mamaku berteriak lagi dan kayanya gak kepancing dengan keisenganku barusan, karena dia malah seolah cari alasan kenapa hari ini dia gak masak, padahal dari kemarin-kemarin juga udah begitu
“Lama-lama bisa beli motor Ninja tuh, ikut trek-trekan di jalan.” Celetuk Lea, adik keduaku sambil asyik main handphone di tempat tidurnya. Ia paling senang menyindir Mama yang setiap hari keranjingan nonton sinetron Anak Jalanan. “Siap-siap lo, bentar lagi dikasih makan oli sama bensin tiap hari.” Lanjutnya lagi.
“Sana lah, ngomong langsung di depan Mama.” Sahutku. “Mau nitip apa?” tanyaku lagi. Padahal tadinya aku mau masak Indomie aja di rumah, karena udah tau Mama pasti gak masak. Huh, kalo tau orang rumah pada mau dibeliin makanan, tadi aku mampir dulu di deket kantor sebelum pulang.
“Ikutin punya lo aja lah. Bebas.” Jawab Lea cuek.
Aku hanya mengangkat bahu dan bersiap mengambil dompetku. Namun aku baru sadar, benda kotak berwarna pink lusuh itu tidak ada di tas ku. Panik, aku menumpahkan semua isi tas ku ke lantai dan membuat Lea kaget.
“Kenapa lo? Mau jadi anak jalanan juga?” tanyanya heran.
Aku tidak menjawab dan masih mengacak-acak semua barang-barangku yang sekarang berserakan di lantai. Udah kaya kapal pecah. Bener, dompetku nggak ada disana.
“Dompet gue kemana ya?” tanyaku entah pada siapa.
Lea mendengus. “Hmm, udah biasa ini mah. Itu kepala lo kalo gak nempel bisa ilang juga kali, kelupaan ditaro dimana.” Sindir Lea. Dia sudah tau dan hafal betul dengan sifat ceroboh dan pelupaku.
“Heh, bantuin gue sini. Kalo nggak gak makan nih kita.” Gerutuku panik.
Lea meletakkan handphone nya dan kemudian ikut membantuku mencari. “Ketinggalan di kantor kali.” Ujarnya sambil membuka semua resleting tas ku.
Aku diam dan mencoba mengingat-ingat. Benar juga, jangan-jangan ketinggalan di kantor. Aku kemudian melirik jam dinding kamarku. Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Lima belas menit lagi kantor tutup! Aku langsung tancap gas keluar dari kamar tanpa membereskan barang-barangku yang masih berserakan di lantai.
Ernest
Saya berulang kali menggaruk kepala saya yang sebenarnya dari tadi tidak gatal. Kesal dengan sifat pelupa saya yang makin hari makin nyusahin. Kok bisa saya lupa dengan deadline rekap penjualan barang yang harus diserahkan malam ini juga? Dan bodohnya, ini udah yang kesekian kalinya saya lupa. Walaupun saya pelupa, saya masih ingat dengan jelas kata-kata bos tadi siang.
“Kalo hari ini gak ada di meja saya, siap-siap beresin barang-barang kamu, terus besok gak usah kerja di sini lagi.”
Sialan, belum ada sebulan kerja, masa saya sudah diancam mau dipecat? Tapi kata-kata bos memang tidak bisa dibantah. Apalagi kalau bos mu perempuan yang konon katanya gak pernah salah. Kelar lah hidup ini.
Sambil menyusun laporan, pikiran saya melayang-layang entah kemana. Kadang saya bingung dengan diri saya sendiri, kok saya mau yah bersusah payah bekerja dari nol di tempat seperti ini. Bukannya sombong, tapi pekerjaan lain yang lebih baik sudah menanti saya di luar sana, tapi bila saya ambil, berarti saya melanggar sumpah saya untuk menjadi pria sejati. Sounds cheesy, but you must know my situation. Saya bukan tipe anak yang akan dengan senang hati menerima warisan keluarga dan langsung kaya mendadak. Lebih bangga aja kalau saya bisa mendapatkan apa yang saya mau dengan usaha dan keringat saya sendiri.
Well, semua itu bukannya tanpa risiko. Cewek-cewek yang pernah saya pacari dulu dengan mudah meninggalkan saya, memang semudah saat saya bisa mendapatkan mereka sih. Alasan mereka aneh, bilang saya terlalu sibuk lah, kurang perhatian lah, kurang uang lah. Gak sedikit juga dari mereka yang merasa bahwa saya gak serius pacaran dengan mereka, contoh simpelnya, masa lupa tanggal jadian, atau tanggal ulang tahun? Meskipun saya pelupa, lagi-lagi saya malah bisa ingat dengan jelas pengalaman-pengalaman buruk yang terjadi dalam kehidupan percintaan saya. Salah satunya, diputusin cewek hanya karena saya lupa tanggal ulang tahunnya. Jelas lah, kami baru pacaran sebulan waktu itu, dan toh saya tetep ngucapin juga kok walaupun setelah di ambekin seharian plus ngasih kado parfum Victoria apa lah itu yang harganya setara dengan uang sekolah di sebuah SMP swasta selama satu bulan. Besoknya, diputusin juga. Alasannya, saya gak perhatian lah, dan yang paling bikin gondok adalah, dia merasa kalau saya main-main. One thing that you girls should know is, I don’t have any time to play around. Pria dengan usia 27 tahun hampir kepala tiga ini masih kalian anggap main-main? Wow.
“Mas, udah mau tutup, mas.” Tiba-tiba Pak Diman, satpam kantor muncul di hadapan saya.
Saya melirik jam kantor yang lima menit lagi menunjukkan pukul tujuh. Sebenarnya jam bubar kerja sudah sejam yang lalu, tapi kantor baru akan benar-benar ditutup pukul tujuh, mengantisipasi ada karyawan yang akan lembur seperti yang saya lakukan sekarang. Untungnya tinggal satu tabel lagi yang harus saya copy, lalu tinggal saya print dan ditaruh di meja Ibu Bos.
“Bentar lagi ya Pak.” Jawab saya sembari berusaha tersenyum ramah pada Pak Diman yang sudah keliatan bete nungguin saya. Pak Diman kemudian berlalu tanpa berkata apa-apa.
Saya kemudian mempercepat kerja saya. Semua udah beres, tinggal di print. Gawatnya, printer di lantai bawah tempat saya bekerja udah mati semua, dan buat nyalainnya saya harus menyalakan semua komputer, juga router Wi-Fi di ruangan ini. Terlalu canggih dan jadinya nyusahin emang. Kemudian saya memutuskan untuk meng-copy nya di flashdisk dan di-print di lantai dua saja. Printer yang lebih kuno, namun kali ini kekunoan itulah yang malah menolong saya.
Karena printer dan komputer nya ada di dekat tangga, saya malas menyalakan lampu ruangan. Untuk menghemat waktu juga. Cepat-cepat saya print data berjumlah sepuluh halaman itu dan pulang sebelum Pak Diman ngunciin saya di dalam ruko ini. Hanya ada suara printer dan mungkin hembusan nafas saya yang mengisi ruangan ini. Sampai kemudian saya mendengar suara aneh yang semakin mendekat ke sini.
“Sebentar lagi Pak, tunggu ya. Jangan dikunci dulu.” Saya langsung menoleh dan berbicara pada Pak Diman yang sepertinya bersiap mengusir saya. Namun ternyata pemilik langkah kaki itu bukan Pak Diman, tapi milik seorang gadis yang wajahnya familiar tapi saya gak tau namanya. Dia keliatan gak peduli dengan kehadiran saya dan langsung menyalakan lampu. Saya hanya mengangkat bahu dan lanjut mengerjakan pekerjaan saya. Untung semua sudah tercetak dan tinggal saya letakkan di ruangan bos.
Sekembalinya dari ruangan bos, saya masih melihat gadis itu di lantai dua. Wajahnya keliatan panik dan beberapa kali mengobrak-abrik meja yang kayaknya adalah meja kerjanya. Penasaran, akhirnya saya datengin dia.
“Cari apa?”
Dia gak jawab, masih sibuk membuka tutup laci meja dan berjongkok di kolong meja. Saya hanya diam perhatiin dia. Lalu pandangan saya tertuju ke meja seberang. Ada sesuatu yang aneh dan gak seharusnya ada disana.
“Cari ini?” saya menyodorkannya pada gadis itu yang langsung diterimanya dengan gembira.
“Ya ampunnn!! Ini diaaa!! Makasih lohhh!” ujarnya riang kemudian memeluk saya tanpa canggung. “Gila, ini isinya uang sekolah Dina buat sebulan.” Lanjutnya kemudian melepaskan pelukannya seolah tidak terjadi apa-apa di antara kami barusan.
“O…okay..” saya gak tau harus merespon apa.
Setelah mengecek isinya, ia kemudian melirik saya. “Kok belum pulang? Eh lo baru ya? Kayanya gue baru liat.” Tanyanya. Wajahnya tak lagi sejutek tadi sebelum menemukan dompetnya. Sepertinya usianya jauh lebih muda dari saya, terlihat juga dari warna dan motif dompet yang dia pakai.
“Ya gitu deh. Lembur. Udah yuk, keluar. Udah diusir Pak Diman.” Jawab saya seadanya karena saya paling tidak tahan dengan situasi canggung seperti ini.
“Okay. Makasih loh udah nemuin dompet gue.” Ujarnya lagi dengan riang. “Gue Rahel.” Kemudian ia menyodorkan tangan kanannya.
“Ernest.” Saya balas menyalaminya sambil tersenyum tipis. Dari pertemuan pertama saya dengannya, entah kenapa firasat saya mengatakan gadis ini menyenangkan dan akan sulit untuk ditaklukkan. Eh, mikir apa sih saya barusan?
Rahel
Setelah lari-larian dan gondok karena angkot yang kutumpangi lama banget ngetemnya, akhirnya aku sampe juga di kantor. Aku lupa bawa handphone dan lagi gak pake jam tangan jadi gak tau sekarang udah jam berapa. Yang jelas aku agak lega karena masih liat Pak Diman di depan pintu kantor, berarti belum jam tujuh. Walaupun mukanya agak asem, karena pasti ada yang lagi lembur, jadi dia gak bisa langsung nutup kantor.
“Aduh, Neng Rahel ngapain lagi kesini? Udah mau tutup loh. Lembur juga?” bener kan, dia langsung bete pas liat aku dateng.
“Nggak Pak. Aduh Pak, saya seneng banget liat bapak masih disini. Ada yang ketinggalan Pak di dalem, menyangkut hidup mati saya nih.” Jawabku berusaha kedengeran sesedih dan sememelas mungkin, padahal yang tadi aku bilang itu cuplikan dialog yang aku denger dari sinetron yang tadi Mama tonton.
“Ya udah, buruan ya Neng.” Akhirnya ia mengizinkan aku masuk.
Aku langsung buru-buru masuk, tapi gak ada siapa-siapa di dalam. Mungkin yang lagi lembur udah pulang. Ah bodo amat, aku cepet-cepet naik ke atas, sambil inget-inget dimana terakhir kali aku taro dompetku. Waktu naik, aku agak kaget dan takut karena tiba-tiba ngeliat ada yang lagi berdiri di deket tangga, baru aku mau teriak, dia kayanya udah tau kalo aku mau naik.
“Sebentar lagi Pak, tunggu ya. Jangan dikunci dulu.”
Syukurlah, itu ternyata karyawan yang lagi lembur, bukan hantu. Tapi suaranya agak asing, baru kudenger hari ini, ah nanti dulu deh. Yang penting sekarang cari dompetnya dulu. Aku langsung menyalakan lampu dan tancap gas ke meja kerjaku. Heran juga kok dia betah ya gelap-gelapan.
Sialnya, yang kucari kok malah ga ada. Aku bener-bener lupa dimana terakhir kali aku taro dompet itu. Biarpun udah dekil karena gak pernah diganti sejak SMA, yang penting kan isinya. Di laci gak ada, di kolong juga. Aku mulai panik.
“Cari apa?” si cowok tak dikenal itu ikut nyamperin aku. Aku gak sempet lagi ladenin pertanyaannya saking paniknya. Penasaran, akhirnya aku coba cari lagi di laci, semua map aku keluarin, tapi gak ada juga. Di kolong juga sama aja. Gimana pula ini? Mama pasti marah besar kalo tau, bisa lebih marah daripada pas aku ganggu kalo dia lagi nonton sinetron.
“Cari ini?�� aku menoleh dan seneng saat ngeliat si pinky dekil dipegang sama cowok itu.
“Ya ampunnn!! Ini diaaa!! Makasih lohhh!” saking senengnya bahkan aku peluk dia. Ini emang respon mendadakku, saking senengnya. “Gila, ini isinya uang sekolah Dina buat sebulan.” Lanjutku lagi, gak peduli mau dia ngerti apa nggak dengan omonganku, dan akhirnya aku lepas pelukanku.
“O…okay..” bener kan dia gak ngerti sama omonganku barusan. Mukanya keliatan bingung, entah karena omonganku yang tadi atau karena tiba-tiba kupeluk.
Setelah ngecek lagi isi dompetku dan syukurnya gak ada yang hilang, akhirnya aku bisa liat mukanya dengan lebih jelas. Ganteng juga. Cool nya mirip Nicholas Saputra di Ada Apa dengan Cinta, brewok nya mirip Reza Rahadian, body nya tinggi kaya Jo In-sung. Tuh kan buat hal remeh temeh gini aku bisa inget, tapi kenapa aku sering banget lupa bawa pulang sesuatu atau lupa taro barang-barangku sendiri? Kayanya cuma orang aneh dan kurang kerjaan aja yang bisa inget sama tinggi badannya artis Korea, sampe brewok nya Reza Rahadian segala, tapi sering lupa sama barang-barang sendiri taronya dimana. Scumbag brain.
“Kok belum pulang? Eh lo baru ya? Kayanya gue baru liat.” Aku langsung memulai percakapan dengan ekspresi dan nada seramah mungkin. Selain seneng karena dia yang nemuin dompetku, cowok ganteng begini sayang juga kalo dijutekin.
“Ya gitu deh. Lembur. Udah yuk, keluar. Udah diusir Pak Diman.” Jawabnya serius dan kayanya udah gak betah banget sama tempat ini.
“Okay. Makasih loh udah nemuin dompet gue.” Aku berterima kasih lagi. Oh iya, aku belum tau namanya. “Gue Rahel.” Lanjutku, mengajaknya kenalan.
“Ernest.” Sahutnya singkat, kali ini pake bonus senyum.
Lima belas menit kemudian kami—iya kami, bukan aku doang—akhirnya baris di antrian bakso botak. Sebenernya ini bakso biasa, dijual di gerobak yang abang penjualnya botak. Karena waktuku udah habis buat balik ke kantor dan ngambil dompet, gak ada pilihan lain selain bakso botak ini yang bisa dibeli. Selain karena deket kantor, harganya juga murah. Agak kaget karena si Ernest-Ernest ini mau ikut. Kaget karena dari tadi doi serius dan jutek banget, eh malah mau ngikut juga. Well, kayanya sifatnya gak sejutek mukanya sih.
“Enak gak sih baksonya?” tanyanya padaku saat kami masih nunggu giliran.
“Sebenernya sih biasa aja. Tapi sambelnya enak. Pedes.” jawabku. Sebenernya aku gak gitu suka makan bakso disini, yang doyan sih Mama. Ini aja aku cuma mau beliin buat Mama, Lea sama Dina. Kalo buatku sendiri, nanti makan Indomie aja di rumah. Lagi ngidam Indomie Soto pake telur setengah mateng sama cabe rawit tiga potong. Hmmmm……
“Ya namanya sambel pasti pedeslah, Nona. Kalo gak pedes berarti itu permen.” Sahutnya meledekku. “Jadi kamu makan bakso apa sambelnya nih?” tanyanya lagi.
“Ya dua-duanya lah. Emang salah kalo lebih suka sama sambelnya daripada sama baksonya?” sahutku tak mau kalah.
“Ya kalo gitu kamu makan aja pake sambel, gak usah beli bakso.” Ernest balas meledekku lagi.
Aku tersenyum kecut. Nyebelin banget sih orang ini? Tapi bener juga sih, gak sejutek yang kukira pertama kali.
“Manyun aja, ngambek nih?” tanyanya karena dari tadi aku diam aja.
Aku meleletkan lidah padanya. “Rese banget sih lo. Kirain jutek, cool-cool gak jelas kaya di film, ternyata gesrek juga.” Sahutku apa adanya, mengutarakan apa yang ada dipikiranku.
“Cool-cool? Kembali ke laptop dong?”
“Itu Tukul!” sahutku geregetan dan reflek memukul lengannya. Orang-orang yang mengantri di dekat kami ikut menoleh dan ngetawain kami. Untunglah akhirnya giliran kami tiba juga jadi aku gak harus dengerin ke-gesrekan orang ini lagi.
Ernest
Menyenangkan juga menghabiskan waktu sama Rahel ini. Benar juga ada pepatah yang bilang, terkadang menghabiskan waktu bersama dengan orang yang kita kenal selama 5 tahun gak menjamin semua obrolan akan nyambung, dan menghabiskan waktu bersama dengan orang yang kita kenal selama 5 menit gak menjamin semua obrolan akan tidak nyambung. Eh apa sih? Saya lupa intinya apa, kan saya pelupa. Tapi yang jelas, saya agak bersyukur dapet kesempatan lembur hari ini. Bukannya sombong lagi, tapi feeling saya jarang meleset. Cewek ini bener-bener unik, walaupun agak childish sih.
“Umur kamu berapa sih?” saya memberanikan diri bertanya setelah kami selesai beli bakso dan jalan kaki balik ke kantor lagi karena motor saya diparkir di depan kantor.
“Hmm tahun ini 21. Eh nggak deng udah 21.” Jawabnya.
“Masa umur sendiri lupa sih? Oh iya, dompet aja bisa lupa ya di taro dimana, apalagi umur.” saya meledeknya lagi, seolah tidak berkaca bahwa saya juga pelupa.
Ia terkekeh. “Bener kok. Baru inget ini udah akhir tahun, jadi ulang tahun ke-21 gue pasti udah lewat.” Jawabnya santai, bahkan berani ‘ber-gue elo’ dengan saya, padahal dari tadi saya hanya ‘ber-aku kamu’ dengannya. “Lo emang berapa?” ia bertanya balik.
“Lebih tua dari kamu lah.” Sahut saya merahasiakan umur saya. Gak heran sih tingkahnya masih childish dan ceria bercampur bawel, umurnya masih sangat muda, seumuran dengan Dion, adik bungsu saya. “Kok umur segitu udah kerja, gak kuliah?” saya bertanya lagi.
“Emangnya kalo mau kerja harus setua elo dulu apa?” ia balas meledek saya. Wah, sudah berani dia. Kemudian ia tertawa. “Bercanda lagi. Nggak lah. Gak ada duit.” Lanjutnya, kemudian saya bisa melihat senyumnya agak memudar.
“Hmm, sorry.” Saya buru-buru meminta maaf karena sepertinya mulai menyinggungnya. Alarm tanda berhati-hati saya mulai berbunyi karena saya tidak pernah tahu apa yang saya katakan bisa begitu berdampaknya pada seorang perempuan. Sensitif, katanya.
Tapi kemudian ia malah nyengir lagi. “Sorry kenapa? Lebaran udah lewat, udah gak musim minta maaf-maafan.” dia gak tersinggung rupanya.
Saya hanya tersenyum dan akhirnya kami sampai juga di depan ruko tempat kantor kami bernaung. Pak Diman sudah tidak ada dan rolling door ruko sudah ditutup. Motor saya masih terparkir rapi di depan kantor. Lalu kemudian saya melihat Rahel berdiri membelakangi saya dan berusaha menghentikan angkot yang lewat.
“Eh, ngapain kamu?” tanya saya heran. Saya kira ia sudah tahu bahwa saya akan mengantarnya pulang—walaupun tadi saya belum mengajaknya—seperti yang biasa saya lakukan pada mantan pacar atau gebetan saya sebelumnya. Hmm, perempuan memang sulit dimengerti.
Rahel menoleh. “Mau pulang lah. Masa nginep?”
“Bareng aja. Rumahmu dimana?” jawab saya sembari menyalakan mesin motor.
“Gak papa nih? Emangnya searah?” ia bertanya lagi.
“Udah naik aja. Lagian malem-malem gini bahaya pulang sendiri.” Saya mengeluarkan kata-kata yang dulu sering saya katakan pada pacar-pacar saya terdahulu. Yang membuat image saya sebagai pria gentle semakin nyata di hadapan mereka.
“Halah, biasa juga pulang sendiri, gak ada apa-apa.” Sahut Rahel seenaknya dan agak beda dari ekspetasi saya. "Tapi kalo ada yang gratis kenapa nggak.” Lanjutnya kemudian langsung duduk di jok belakang.
“Eh, siapa yang bilang gratis?” saya meledeknya. Entah sudah berapa kali hari ini saya meledeknya, padahal kami baru saling kenal hari ini.
“Ya udah gak jadi.” Nothing to lose, dia turun lagi.
Saya terkekeh. “Naik lah. Gitu aja ngambek.”
Rahel
“Kok lama sih baliknya Hel?” aku langsung disambut Mama sesampainya di rumah. Ernest menurunkan aku di depan gang karena motornya susah untuk masuk, jadi ia tidak bisa melihat rumahku.
“Padahal mau liat rumahnya dimana.” Katanya barusan, sesaat setelah kami sampai.
“Terus kalo udah liat kenapa? Lagian rumahnya kecil. Lo kalo mau gerakin tangan disana, temboknya bisa langsung retak, kesenggol tangan lo, saking sempitnya.” Jawabku ngasal.
Ia tertawa. Aku senang sekali melihat senyum manisnya. “Lebay. Udah ah, balik ya. Thanks for today. Kalo baksonya gak enak, awas ya.” Ia pamitan sekaligus mengancamku.
“Eh, ditanya malah senyum-senyum sendiri. Abis pacaran ya?” pertanyaan Mama barusan membuyarkan lamunanku.
“Apaan sih, nggak lah.” Sahutku salah tingkah. “Emang Anak Jalanannya udah abis Ma?” aku mengalihkan pembicaraan karena kulihat televisi sudah mati.
“Ya iya lah. Kamu pulangnya malem bener. Mama udah laper nih. Si Dina sampe ketiduran. Udah yang jatah dia ditaro di kulkas aja, buat besok dipanasin.”
Aku jadi merasa tidak enak. Seandainya dompetku tidak tertinggal di kantor, mungkin aku sudah pulang dari tadi. Eh tapi aku jadi gak punya kesempatan ketemu Ernest dong? Hmm, serba salah.
“Abis tadi ngantri banget Ma si botak.” Sahutku akhirnya, mencari jawaban yang paling aman. Dan untunglah Mama sepertinya percaya.
Keesokan paginya, aku lebih bersemangat untuk berangkat ke kantor. Bangun lebih pagi, sarapan lebih kenyang, dan mandi bersih-bersih. Pertemuan dengan Ernest kemarin membuatku lebih ceria dan semangat. Ada hikmahnya juga dibalik sifat pelupaku. Atau emang semuanya murni hanya takdir.
“Tumben bener lo jam segini udah bangun?” Lea keheranan melihat tingkah anehku.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Lalu kemudian aku baru ingat, bodohnya, kemarin kami lupa untuk tukeran nomor handphone atau ID Line. Nanti akan kuminta.
Ernest
“Hai!”
Saya baru saja ingin meletakkan tas, saat ia menyapa saya. Itu Rahel. Sapaannya barusan sampai membuat semua yang ada di lantai bawah menoleh dan menatap kami heran.
“Tumben banget lo main ke bawah Hel?” tanya Elga, rekan kerja saya yang juga bekerja di lantai bawah.
“Ya gakpapa.” Jawab Rahel masih dengan intonasi cerianya. “Gimana, enak kan baksonya?” ia bertanya lagi pada saya.
Saya agak salah tingkah karena dilihat oleh banyak orang, jadi saya hanya mengangguk. Rahel agak kecewa dengan respon cuek saya barusan, kemudian ia hanya menyerahkan secarik kertas pada saya, lalu pergi.
“@Rahelxxxxx. Di-add ya.”
Saya tersenyum saat membaca isi kertas itu. Saya juga baru ingat kemarin saya lupa meminta kontaknya, dan sepertinya ia juga demikian. Pelupa bertemu dengan pelupa. Pelupa united.
Rahel
“Uhh nyebelinnn!” saking kerasnya aku menggerutu di mejaku, semua orang menoleh.
“Kenapa lo?” Tania yang duduk di seberangku sampai bertanya.
Aku hanya menggeleng. Malas juga menjawab pertanyaannya. Tadi Ernest jutek lagi padaku. Aku curiga jangan-jangan dia punya kepribadian ganda. Untuk meredam kekesalanku, akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanku. Lalu tak sampai lima menit kemudian, handphone ku berdering. Ada sebuah pesan masuk. Wah dari Ernest rupanya.
“Baksonya gak enak. Bener kata kamu, yang enak itu sambelnya. Jadi semalem aku makan nasi pake sambel aja deh. Tapi kok rame ya, jangan-jangan main dukun.”
Aku tertawa keras-keras setelah membaca pesannya dan membuat sekitarku menoleh lagi karena kaget. Aku hanya menutup mulutku dan memberi isyarat permintaan maaf ke mereka, kemudian membalas pesan Ernest tadi dengan tumpukan sticker Line. Dasar cowok cemen, aku baru sadar ia mungkin malu karena tadi dilihat oleh teman kantorku, jadi ia menanggapi pertanyaanku seadanya dan baru bawel lagi di chat Line.
“Nanti mau pulang bareng lagi gak?”
“Mau lahh…” aku membalas pesannya sembari menyelipkan sticker motor.
Aku jadi gak sabar nunggu jam pulang kerja. Kayanya kali ini aku jatuh cinta sama Ernest. Emang tadinya cuma karena mukanya yang ganteng sih, tapi cowok ini nyenengin. Lovable. Dan mirip sama almarhum Papa. Tapi dianya juga suka sama aku gak ya?
Ernest
“Tumben gak lembur lagi nih?” baru turun saja Rahel sudah meledek saya lagi.
“Nggak dong. Dompet kamu udah dibawa belum?” saya balas meledeknya.
Ia tersenyum kecut. “Udah lah ya.”
“Ngomong-ngomong, gue lupa nanya, kemaren lo lembur kenapa? Jarang-jarang ada karyawan baru lembur.” Sembari berjalan ke luar, ia bertanya lagi pada saya.
“Lupa ngerjain deadline.” Sahut saya apa adanya. “Kalo gak lembur aku gak bakal ketemu kamu lagi. Udah dipecat.” Lanjut saya.
“Alah, sama-sama tukang lupa aja saling ngeledek.” Rahel akhirnya jadi tahu kalau saya juga pelupa, but that’s okay. I think I’m falling in love with her.
“Rumah gue masih inget kan dimana?” tanyanya lagi, menguji saya sesampainya kami di parkir motor.
Saya mendekatkan wajah padanya. “Kalo gak inget, kan kamu bisa kasih tau dimana.” Jawab saya lembut sekaligus mengeluarkan jurus maut saya. Seperti feeling saya kemarin, gadis seperti Rahel ini sepertinya sulit didapatkan. Dan sesuatu yang lama dan sulit didapatkan biasanya akan bertahan lama juga ketika sudah berhubungan.  
Tapi sepertinya ia tidak tersentuh. “Iya deh iya. Terserah lo deh.” Jawabnya nyeleneh, seperti biasa. Malah raut wajahnya keliatan geli setelah denger saya ngomong gitu.
Saya hanya tersenyum sembari berkata dalam hati, ‘Tuh kan, susah.’
Rahel
Ernest diem aja sepanjang perjalanan pulang kami. Aku juga gak bisa banyak ngomong kali ini. Tingkah dia barusan yang tiba-tiba deketin mukanya kaya di film-film bikin baper dan aku speechless. Aneh, padahal waktu pertama kali ketemu aku bisa santai aja meluk dia. Cuma tadi sebisa mungkin aku bertingkah biasa aja pas denger dia ngomong.
Perjalanan pulang juga jadi berasa lebih cepet. Tiba-tiba udah sampe aja di depan gang. Aku baru mau turun, tapi Ernest gak berhentiin motornya. Malah dia terobos aja itu gang sempit.
“Awas ya kaki kamu, nanti kepentok.” Dia ngingetin aku.
“Ih kan udah dibilangin sempit, di depan gang aja.” Aku bales ngomel.
Dia kayanya gak peduli sama omelanku barusan. “Yang mana rumah kamu?”
Karena udah ‘terlanjur basah’, akhirnya aku biarin aja dia nganterin sampe depan rumah. “Itu yang temboknya pink. Yang gak ada pagernya.” Sahutku.
“Kamu bener-bener suka pink ya? Sampe rumah aja dicat pink juga.” Ujarnya lagi.
“Hah? Maksudnya?” aku gak ngerti sama kata-katanya barusan.
“Iya, dompet warna pink, rumah juga dicat pink.” Sahutnya.
“Oalah. Kirain apa.” Aku gak tau mau jawab apa. Tuh kan, dia yang pelupa aja kok bisa inget warna dompetku. Bikin baper.
Sesampainya di depan rumah, Ernest akhirnya menghentikan motornya. Aku buru-buru turun. “Tuh kan, udah dibilangin sempit. Masuk dulu yuk, ketemu nyokap gue.” Aku mempersilahkannya masuk. Tapi gak lama kemudian Mama keluar juga, mungkin dia bingung ada ribut-ribut apa di luar.
“Tante..” Ernest langsung menyalami Mama ku dengan sopan, tapi ekspresi Mama agak kaget dan keliatan kurang suka, apa perasaanku aja ya?
“Masuk dulu yuk.” Aku mengajaknya masuk lagi, tapi kayanya dia gak mau. Mungkin karena rumahku kecil, sempit pula.
“Nggak papa. Aku langsung pulang aja ya. Gak enak ganggu. Yuk Tante…” ia berpamitan padaku, juga pada Mama.
Setelah motornya menghilang dari depan rumah, Mama buru-buru menarik tanganku masuk ke dalam rumah. Perasaanku agak gak enak.
“Itu siapa?” tanya Mama serius, gak seperti biasa.
“Temen kantor.” Jawabku.
“Bukan pacar?”
“Ya… bukan lah. Hmm, belom kali Ma. Mungkin nanti.” Aku berusaha menebak-nebak isi pikiran Mama, biasanya kan suka nyuruh anaknya cepet-cepet nyari pacar, jadi aku kasih aja jawaban itu.
“Jangan deket-deket dia lagi.” di luar dugaanku, Mama malah ngomong begitu. Raut mukanya agak serius, bener-bener gak kaya biasanya.
“Ke..kenapa emangnya?” tanyaku tergagap.
“Pokoknya jangan. Mama udah ingetin kamu ya. Nanti kamu sendiri yang tau akibatnya.”
Ernest
Rahel ini anak mamanya banget. Mirip. Kayanya saya makin jatuh cinta sama cewek ini. Semoga kali ini dia gak nganggep saya main-main, gak kaya mantan-mantan saya yang sebelumnya. Oh, mungkin sekarang gantian saya yang ajak dia ke rumahnya.
“Hai Nest…”
Gila, emang jodoh, dia langsung ngirim chat. Dan pasti langsung cepet-cepet saya bales.
“Sorry ya, tadi nyokap gue kayanya jutek ke lo.”
OMG, that’s okay, Rahel. Mungkin dia khawatir ngeliat anak perempuannya dideketin cowok, I think I know the feeling. Akhirnya saya coba memberanikan diri, mengajak dia ke rumah besok.
“Besok, pulang kantor kosongin waktu ya. Mau ajak kamu jalan-jalan.” Saya mengirim pesan ke dia, lalu handphone saya matiin, biar surprise liat jawaban dia apa. Saya cepat-cepat tidur, gak sabar besok mau ketemu dia lagi. Lalu tanpa saya sadari, dia cuma me-read chat saya. Tanpa dibalas.
Rahel
“Besok, pulang kantor kosongin waktu ya. Mau ajak kamu jalan-jalan.”
Chat itu udah berulang-ulang kubaca tanpa kubalas. Bingung mau bales apa. Apalagi aku agak mempertimbangkan kata-kata Mama semalam. Tapi penasaran juga sih kenapa Mama kok gak suka sama Ernest, padahal kan mereka baru ketemu kemarin. Apa karena Ernest gak seganteng Boy di Anak Jalanan?
Aku masih bingung, mau aku iyain aja ajakan Ernest atau cari alasan buat nolak, tapi apa? Aku gak bisa nolak dia. Hmm, siapa tau lewat pergi-pergi hari ini aku bisa ketemu alasan kenapa Mama gak suka sama Ernest.
Bener aja, di jam pulang kantor dia udah nungguin aku.
“Kok gak dibales sih semalem?” tanyanya memulai percakapan.
“Ketiduran. Terus lupa. Kan gue pelupa.” Jawabku setelah memikirkan alasan selogis mungkin.
Dia cuma nyengir lalu mempersilahkan aku naik ke motornya.
“Kita mau kemana sih?” tanyaku karena jalan yang kami lewatin agak sedikit asing.
“Tungguin aja.” Sahutnya.
Kemudian kami berhenti di depan sebuah rumah megah. Aku melongo saking takjubnya. “Ini rumah lo?” tanyaku.
Gerbang kemudian terbuka, lalu Ernest melajukan motornya masuk ke teras. Rumah ini mungkin sepuluh kali lipatnya rumahku. Tapi aku heran, Ernest sudah sekaya ini, tapi kok dia mau kerja di ruko kecil macam tempat kerja kami?
Ia kemudian menggandeng tanganku setelah kami turun dari motor. “Masuk yuk.”
Aku ngikut aja sambil bertanya-tanya dalam hati. Kalo cowok udah ngajak cewek ke rumahnya, berarti?
“Mama gak di rumah ya Bi?” Ernest bertanya pada seorang asisten rumah tangganya dan yang ditanya cuma geleng-geleng kepala. Mukanya agak kecewa pas tau Mamanya lagi gak di rumah.
“Padahal mau kenalin kamu sama Mama.” Ujarnya padaku. “Kan kemaren aku udah ketemu Mama kamu, sekarang gantian.”
“Ya udah sama bokap lo aja.” Aku menanggapi seadanya.
Ernest terkekeh. “Papa udah gak ada. Oh iya, kemaren aku lupa mau ketemu Papa kamu juga.”
Aku ikutan nyengir. “Bokap gue juga udah gak ada. Lagi main sama bokap lo kali disana.” Aku lupa, aku pernah cerita soal Papa gak yah ke dia?
Dia nyengir juga. “Duduk di situ dulu ya kamu. Aku mau ke dalem sebentar.” Ia kemudian menuntunku ke ruang tamunya yang super luas itu.
Aku duduk di sofa putihnya sembari ngeliat sekeliling. Ada lemari kaca yang isinya pajangan-pajangan, di tembok juga dipajang foto keluarganya Ernest. Sekilas aku cuma bisa liat di situ ada papanya, mamanya, Ernest, lalu ada dua cowok lain, mungkin itu adik-adiknya yang pernah dia ceritain. Mamanya keliatan cantik dan badannya tinggi, biarpun aku gak bisa liat mukanya dengan jelas. Akhirnya, karena mataku minus, aku deketin foto itu, penasaran juga mau liat Ernest kecil, apa sejak kecil dia udah seganteng sekarang, tapi aku langsung tersentak kaget saat ngeliat ada sosok yang bener-bener aku kenal disitu.
Papa.
Aku masih gak percaya sama apa yang aku liat. Kudeketin lagi mukaku dan yang kuliat malah makin jelas. Ngapain Papa ada di foto keluarganya Ernest?
Scumbag brain ku kembali mengingatkanku ke sebuah drama Korea yang pernah ku tonton sampe mewek-mewek bareng Mama dulu. Ceritanya tentang dua orang yang saling jatuh cinta, tapi ternyata mereka saudara jauh. Entah ketuker di Rumah Sakit, atau salah satu orangtuanya ada yang kawin lagi, aku lupa apa penyebabnya. Tapi masa iya, yang kualami sekarang sama kaya drama itu?
“Deket amat ngeliatinnya?” tiba-tiba Ernest muncul mengagetkanku. Dia mungkin heran kenapa aku ngeliatin foto keluarganya terus-terusan.
“Itu…. bokap lo?” tanyaku ragu.
Dia cuma ngangguk. “Ganteng kan? Mirip aku.” Jawabnya masih dengan iseng dan kepedean, kaya biasa.
Aku cuma tertawa miris, gak tau mau ngerespon apa.
“Dia meninggal pas aku baru lulus SMA, kanker paru-paru.” Jelasnya lagi dan sekarang kami berdua malah sama-sama ngeliatin foto keluarganya.
Kanker paru-paru, sama dengan penyebab kenapa papaku juga meninggal. Ya iyalah, orangnya aja sama. Tapi bedanya, Papa meninggal saat aku masih kelas 6 SD. Berarti beda umurku dengan Ernest lumayan jauh juga ya. Sekarang aku baru tau kenapa dulu Papa jarang pulang ke rumah. Berarti pas Papa lagi gak di rumah, ya Papa ada disini. Dan pantes juga Ernest bener-bener mirip sama Papa.
“Kok bengong aja?” tanyanya lagi karena dari tadi aku diem aja.
Aku berusaha menahan air mataku. Udah lama banget aku gak nangis, seingetku kayanya terakhir kali pas nonton drama sedih itu. Dan sekarang drama sedih itu malah jadi kenyataan. Sialan bener.
“Terus elo ngapain kerja di kantor, kalo lo ternyata anak orang kaya? Banyak duit..” pertanyaan itu meluncur gitu aja dari mulutku, saking usahanya buat nahan air mata, suaraku kedengeran gemetar.
Parahnya, Ernest tau ada yang gak beres sama aku. “Kamu kenapa?” dia gak jawab pertanyaanku barusan dan malah nanya balik, juga reflek nyamperin dan mau ngerangkul aku, tapi aku juga reflek ngejauh dari dia.
“Kayanya gue harus pulang sekarang. Pala gue pusing.” Tapi yang kupegang malah perut, saking stress nya.
Ernest
Agak lama saya memperhatikan Rahel. Dia keliatan terkesima banget sama foto keluarga saya. Mungkin makin jatuh cinta sama kegantengan saya.
Sayang banget Mama lagi gak ada di rumah. Padahal niat saya sebelumnya, saya juga mau kenalin Rahel ke keluarga saya. Kan dia kemarin udah. Dion juga belum pulang dari kampus. Victor pasti lagi sibuk ngurusin wedding nya. Iya, adik kedua saya itu dua minggu lagi married dan saya dilangkahi. Untung saya bukan perempuan, kalau saya perempuan mungkin udah habis jadi bahan omongan banyak orang.
“Deket amat ngeliatinnya?” saya akhirnya gak tahan buat nyamperin Rahel. Mungkin selangkah lagi dia bisa ikutan masuk ke dalam foto keluarga saya, saking deketnya dia ngeliatin.
Dia keliatan salah tingkah waktu saya samperin. “Itu…. bokap lo?” tanyanya tapi kedengeran agak ragu dan setengah gak percaya, menurut saya sih.
Saya mengangguk sambil senyum. “Ganteng kan? Mirip aku.” Mungkin setelah ini dia akan kegelian habis denger jawaban saya barusan. Tapi dia cuma nyengir, dan gak jawab apa-apa.
“Dia meninggal pas aku baru lulus SMA, kanker paru-paru.” Karena dia diem aja ya saya ngomong lagi. Saya lupa selama kenalan dan chatting-an sama Rahel, saya pernah atau nggak ya cerita tentang keluarga saya, apalagi tentang Papa. Papa yang meninggal karena kanker paru-paru akut. Gimana nggak, sehari bisa tiga bungkus rokok habis. Papa yang setiap hari Sabtu-Minggu atau beberapa hari lain pasti gak di rumah, sibuk kerja katanya.
Tapi Rahel masih diem aja. Kalo saya gak salah liat, matanya agak berkaca-kaca. Apa jangan-jangan dia ikutan sedih setelah denger penjelasan saya barusan? Duh, cewek-cewek ini emang susah banget dimengerti. “Kok bengong aja?”
“Terus elo ngapain kerja di kantor, kalo lo ternyata anak orang kaya? Banyak duit..” dia tiba-tiba ngelantur dan suaranya agak gemetar. Saya berasa ada yang gak beres.
“Kamu kenapa?” saya bertanya balik dan berusaha deketin dia, tapi dia malah ngejauh. Loh, salah apa saya?
“Kayanya gue harus pulang sekarang. Pala gue pusing.” Ujarnya akhirnya. Saya mau ketawa karena yang dia pegang malah perut, tapi kayanya sekarang bukan waktu yang pas buat ngajak dia bercanda, jadi saya cuma turutin aja apa yang dia mau.
Sepanjang perjalanan pulang, saya jadi berasa makin gak enak karena dia diem aja. Saya mikir keras apa yang udah saya lakuin tadi yang bikin dia marah kaya sekarang. Atau mungkin dia beneran gak enak badan ya? Aduh, cewek-cewek kok suka banget sih bikin pusing?
“Masih sakit gak kepala kamu?” saya memberanikan diri untuk bertanya.
“Lumayan.” Jawabnya singkat dan beda dari biasanya. Tuh kan, saya makin yakin dia marah beneran sama saya. “Nanti di depan gang aja ya, gak usah di depan rumah lagi.” lanjutnya lagi.
“Okay.” Jawab saya singkat, karena gak tau mau jawab apa lagi.
Sesampainya di gang rumah Rahel, dia masih diem aja. “Thanks ya.” Ujarnya singkat sebelum masuk ke rumah. “Oh iya.” Tapi kemudian dia balik badan lagi dan balas ngeliatin saya. “Lo pelupa kan?” kenapa hari ini dia sering banget nanyain pertanyaan aneh, tapi saya ngangguk.
“Kalo gitu pasti gampang kan lupain gue. Mulai sekarang kita gak usah ketemuan lagi.”
Rahel
Aku nangis sejadi-jadinya sesampainya di kamar. Mama, kaya biasa masih asyik nonton sinetron kesukaannya. Lea sama Dina untungnya lagi gak di kamar, jadi kamar bisa kubajak hari ini. Masih gak percaya kalau ternyata aku dan Ernest masih sedarah. Ada darah Papa yang sama mengalir di dalam tubuh kami berdua. Segala perasaan campur aduk, sebel karena Mama gak pernah cerita, berasa bego karena selama ini gak pernah curiga kenapa Papa dulu jarang pulang plus berasa dibohongin abis-abisan sama Papa-Mama, masih gak terima kenyataan, karena aku masih cinta sama Ernest, tapi ada sedikit rasa bersyukur juga karena untungnya kami belum lama berhubungan, jadi mungkin bakal lebih gampang buat saling lupain.
Atau malah makin susah?
Tiba-tiba aku ngerasain seseorang duduk di belakangku. Paling itu Lea. Aku cuekin karena gak mau siapapun di rumah ini tau kalo aku lagi nangis. Gila, ini muka pasti udah gak karuan saking sedihnya.
“Masih deket sama dia?”
Aku kaget karena ternyata itu Mama. Tumben banget dia mau bangun dari bangku, padahal aku tau sinetron itu jam segini belum habis. Aku menoleh. Biarin aja, biar Mama liat kalo anaknya ini lagi sedih.
“Tumben Ma, filmnya udah habis?” gak tahan, aku nanya juga ke Mama.
“Lagi iklan. Untung iklannya lama.” Jawab Mama ngocol. Sekarang aku tahu bakat iseng dan asal jawabku ini nurunnya dari mana. Semua orang emang bilang kalo aku lebih mirip Mama, kurang mirip Papa. Itu juga mungkin yang bikin Ernest gak ngeh kalo aku ini adik tirinya. Damn, jadi sedih lagi aku.
“Udah tau kan?” nada bicara Mama berubah serius.
“Mama kenapa gak pernah bilang?” aku bertanya balik. Aku masih gak ngerti ada apa di antara Mama, Papa dan Mamanya Ernest, dan untuk sekarang ini kayanya otakku juga gak minta buat ngerti.
“Toh sekarang kamu tau sendiri kan? Udah ya, jangan deket-deket dia lagi. Demi kebaikan kamu juga.” Mama kembali ngingetin aku, lalu dia pergi. Mungkin sinetronnya udah mulai. Kayanya Mama juga enggan atau mungkin malu buat ceritain masa lalunya sama Papa. Dia cuma pengen anaknya ini gak jatuh ke kesalahannya yang sama, mungkin? Semuanya serba kemungkinan.
Ernest
“Rahel..”
“Rahel…”
“Aku salah apa?”
“Rahel….”
Saya sampai lelah mengetik karena gak ada satupun chat saya yang dibalas oleh Rahel. Well, seenggaknya dia kasih tau kek, jelasin kek salah saya dimana, jadi saya gak harus ngerasa stress kaya sekarang. Tanpa angin, tanpa hujan, tanpa petir menyambar, tiba-tiba seenaknya aja dia bilang, kita gak usah ketemu lagi. Kata-kata yang paling saya benci dari cewek yang mau hubungannya udahan.
Saya juga masih mikir keras apa yang bikin Rahel tiba-tiba berubah. Tadi dia cuma ngeliatin foto keluarga saya, lalu jadi begini. Emang apa yang salah? Apa karena dia liat muka saya dulu yang lebih jelek daripada sekarang? Atau apa sih? Kayanya emang lebih gampang bikin penelitian gimana caranya buat ngerti seluruh alam semesta ini, daripada bikin teori buat ngertiin seorang cewek.
Besoknya, she’s completely different. Emang sih masih senyum waktu muka kami saling bertemu, tapi setiap kali saya ajak ngomong, dia menghindar. Aneh memang. Saya tarik lagi kata-kata saya waktu pertama kali ketemu dia. Ternyata semua cewek emang sama aja, bikin pusing, ngerepotin.
Rahel
Ernest masih getol banget, usaha buat ngajakin aku ngobrol. Pengen banget nanggepin ajakannya, tapi gak bisa. Yang ada aku malah makin susah ngelupain dia. Karena gak tega, aku juga gak bisa sepenuhnya jutekin dan cuekin dia. Ketika mata kami saling bertemu, aku cuma bisa menyunggingkan senyum tipisku. Apa mungkin aku harus pindah kerja biar gak usah ketemu dia lagi?
Aku gak ngerti, dari sekian banyak laki-laki di muka bumi ini, kenapa aku malah ketemunya sama Ernest? Sosok yang setengah mati berusaha aku cintai dan aku ingat kebiasaan-kebiasaannya, tapi sekarang malah setengah mati mau aku lupain?
“Ada teori yang pernah bilang, lupa sih ini udah teruji secara ilmiah atau belum, sesuatu yang baru kita kenal emang akan lebih gampang buat dilupain. That’s why, orang-orang yang sakit Alzheimer akan lupa dengan hal-hal yang baru mereka tahu dan inget selama 3 bulan terakhir. Jadi kasian tuh yang baru nikah selama 3 bulan, tapi akhirnya lupa dengan suami/istri yang baru mereka nikahin, malah ingetnya sama mantan yang dipacarin 5 tahun yang lalu, misalnya. Kalau aku? Antara bersyukur karena Ernest mungkin akan dengan gampang aku lupain dan gak rela karena pertemuan kami berakhir dengan begitu cepat.”
“Dan beginilah akhirnya. Kayanya semua usaha saya sebagai seorang pria sia-sia (lagi). Saya gak pernah bisa ngerti apa yang seorang wanita mau. Dan lagi-lagi, si cewek gak pernah mau bilang apa yang sebenernya dia mau. Mungkin Rahel akan sama kaya cewek-cewek yang sebelumnya saya kenal. Cuma bedanya, saya gak akan bisa lupa pertama kali saya bisa ketemu dan kenal dia. How amazing, dia satu-satunya gadis yang masuk ke daftar otak saya untuk hal yang gak bisa dilupain.”
“Kehidupan harus terus berjalan, Hel. Masih banyak cowok lain yang bukan saudara tiri lo, yang nunggu lo di luar sana. Walaupun aku merasa Ernest cowok yang paling baik, serius, dan gak main-main dibandingin sama semua cowok yang pernah kutemui, buktinya nekat aja mau ngajak gebetan yang dipacarin aja belum ke rumah, buat ketemu orangtuanya. Dia belum bilang langsung sih kalau dia suka sama aku, tapi bukannya ge-er, mungkin sebentar lagi dia akan bilang. Kalau aja kemarin dia gak ngajak aku ke rumah, mungkin hari ini kita udah jadian, berasa jadi pasangan paling bahagia sedunia, tanpa tahu fakta yang sesungguhnya. Hmm, bukannya bakal lebih nyakitin kalau kita baru tahu kenyataan yang sesungguhnya ketika kita udah makin deket?”
“Tapi seenggaknya, lewat kata-katanya kemarin, saya jadi tau, dia gak serius sama saya. Mungkin dia sama aja kaya cewek lain, still think that I’m just playing around. Ya udahlah, mungkin emang cewek-cewek diciptakan dengan template yang sama. Susah ditebak.”
“Ya pada akhirnya, dua orang pelupa….”
“…harus saling melupakan.”
1 note · View note
crustagracean · 9 years ago
Text
Cek Toko Sebelah : Belanja di ‘Toko Serba Ada’
“Eh tau gak dia jadinya kuliah di mana?”
“Di mana emangnya?”
“Di ****** (ceritanya sensor). Ambil psikologi.”
“Heh? Kok psikologi? Emang dia sukanya psikologi?”
“Ya nggak tau juga. Katanya sih yang penting kuliah, punya gelar sarjana dulu. Jurusan apa aja bebas, yang penting ada gelar. Toh ujung-ujungnya juga jaga toko punya nyokapnya. Tau kan lu, toko bajunya yang di Tanah Abang itu. Gede loh tokonya.”
“………..”
Tenang-tenang, cuplikan dialog di atas bukan cuplikan dialog dari film yang baru aja saya tonton dan akan saya buat review nya sebentar lagi. Cuplikan dialog di atas adalah transkrip (cie transkrip) pembicaraan saya dengan salah seorang teman beberapa waktu yang lalu. Doi lagi cerita tentang salah seorang temennya yang ternyata adalah saudara sepupu jauh saya. (agak kayak FTV tapi ini beneran, I swear!) Kuliah mahal-mahal dan lama-lama tapi ujung-ujungnya nerusin bisnis keluarga. Jaga toko. Horang kayah.
Nah, fenomena seperti inilah yang ditangkap dengan jeli oleh Pak Ernest Prakasa (gak dipanggil ‘Koh’ karena konon katanya doi gak suka dipanggil demikian, gak dipanggil ‘Kakak’ karena doi lagi gak belanja di Mangga Dua, gak dipanggil ‘Om’ juga karena nanti malah disangka mau minta telolet). Isu sosial berbalut budaya etnis Cina inilah yang akhirnya jadi benang merah film keduanya, Cek Toko Sebelah.
Tumblr media
Cerita film ini berpusat pada Koh Afuk, bapak beranak dua—masing-masing bernama Erwin dan Yohan—yang punya usaha toko kelontong. Istrinya, Cik Lili udah lama meninggal, dan Koh Afuk sekarang juga sakit-sakitan. Karena tau mungkin udah waktunya untuk pensiun, Koh Afuk memutuskan untuk mewariskan tokonya ke Erwin, anak bungsunya yang lulusan Sydney dan sebentar lagi akan kerja di Singapura. Yohan yang anak sulung kecewa, karena dia pengen banget nerusin toko, tapi gak dipercaya sama papanya sendiri. Sedangkan Erwin yang dipercaya sama papanya, justru gak mau dapet warisan toko. Ya iyalah, kuliah mahal-mahal, punya karier cemerlang, di-promote keluar negeri pula, tapi ujung-ujungnya malah nerusin toko, bo cuan lah.
Tone drama di film CTS ini agak ditambah dan lebih banyak daripada Ngenest, filmnya Pak Ernest yang sebelumnya. Tapi biar begitu, ini bukan drama yang ngebosenin dan norak, karena semua konfliknya bener-bener relate dengan kehidupan sehari-hari. Bagian serius di dramanya juga berkolaborasi dengan cukup baik sama komedinya. Jokes-jokes nya lengkap, mulai dari jokes garing nan receh ala becandaan om-om sampai jokes kekinian zaman sekarang, dan semuanya lucu. Iyalah ya namanya juga joke. Kalo gak lucu berarti itu joke motor. Atau joke mobil. Oke ini gak lucu beneran.
Kolaborasi antara drama dan komedi yang baik itu didukung dengan aktor dan stand up comedian yang bisa pas banget dengan karakter yang mereka perankan. Even karakter minor yang tampilnya sebentar pun bisa menghibur dengan porsi masing-masing.  Paling ngakak di bagian geng capsa, they remind me to pray before do everything hahahaha, adegan pas KoHan-MbakYu nabrak supir taksi (bisa ditonton sendiri kenapa), juga pas Koh Afuk babbling in Hokkien accent, ngakak abis. 
Kesan mendalam juga saya rasakan di chemistry Yohan-Ayu juga Koh Afuk-Cik Lili (walaupun yang ini sebentar dan cuma flashback doang, oke spoiler). Setiap liat kedua pasangan itu selalu bikin saya senyum-senyum haru, maybe it’s because I can see a reflection of my dad and mom from them, I think. Reminds me to cherish everything in my life too, especially my family. Karena harta yang paling berharga adalah keluarga, kata Bu Sonya. Don’t take it for granted.
Oh iya, pendeskripsian karakter juga kondisi dari tokoh utamanya (terutama hubungan antara Koh Afuk-Cik Lili-Yohan-Ayu) ini detail banget dan bikin saya berkali-kali bergumam ‘oh iya juga yah’ atau ‘oh ternyata begitu’. Contohnya, Ayu yang kurang disuka sama Koh Afuk ternyata malah mewarisi sifat sabar dan kuatnya Cik Lili. Ayu juga seolah diciptakan hanya untuk Yohan, cie elah. (Dion Wiyoko and Adinia Wirasti are too cute, minta dipelukin banget dua-duanya hahaha, terutama  Adinia Wirasti yang kalo minjem istilah musik, dia yang biasanya ‘main di kunci mayor’ sekarang tampil di ‘kunci minor’. Meski begitu ‘kunci minor’ pun tetep bisa menyumbang suara yang merdu. Walau perannya kecil, tapi tetep bisa ngasih kesan dan vibe yang manis, semanis nastar-nastar buatannya.)
Tumblr media
Tapi sayangnya, perpindahan antara komedi dan dramanya agak kurang smooth. Baru pengen sedih, udah dibikin ngakak lagi, padahal kalau seandainya dikasih jeda sedikit sebelum masuk ke komedi lagi, mungkin akan lebih dapet feel dramanya. Juga penyelesaian konfliknya yang emang lucu sih, tapi kesannya agak maksa dan a bit weird, but that’s okay. Mungkin Pak Ernest ingin konsisten dengan jati diri karya-karyanya yang punya sense of comedy yang kuat, detail, dan memorable, jadi konflik juga harus diselesaikan dengan cara yang lucu pula. Karena hidup kadang harus ditertawakan, bro, begitu kata dia. Bravo Pak Ernest! Setelah Ngenest, film ini kembali mengingatkan saya kenapa duluuuuuuuuuu banget (biar kesannya karyanya udah banyak hahaha) saya memutuskan untuk suka dengan karya-karyamu. Saya yang sejak kecil dididik oleh keluarga untuk diam dan gak boleh ngomong sembarangan tentang etnis saya di depan orang banyak sekarang malah dikejutkan dengan karya-karyamu yang dengan lantang menyuarakan kegelisahan itu. At the first time I heard your jokes about ‘ada enci-enci di dalem mesin ATM’ and that ‘leging macan tutul’ thing, I was like, “Gila ini orang berani banget, gak takut dikeroyok massa apa yah?” Tapi ajaibnya semua itu bisa diterima dengan baik sama banyak orang, termasuk film ini yang gak menutup kemungkinan akan masuk ke Top 10 film dengan penonton terbanyak, I guess.  
Jadi intinya, film ini ibarat toko beneran yang menjual banyak barang-barang dan pernak-pernik. Ada konflik antar keluarga, hubungan sama pacar juga suami atau istri, kebersamaan dengan sahabat, dinamika di dunia kerja, sampai isu pelecehan seksual yang umum terjadi tapi gak ada yang berani bersuara juga ditawarkan di toko ini. ‘Interior’ toko dipercantik dengan komedi, drama, bahkan soundtrack yang pas dengan situasi toko. Semuanya terserah pembeli, mau beli apa dan nikmatin yang mana, karena saya yakin setiap pembeli pasti punya kebutuhan masing-masing dan kesan yang beda-beda setelah berkunjung ke toko ini, dan gak menutup kemungkinan setiap pembeli yang udah berkunjung akan datang lagi dan membeli hal yang beda. Misalnya, hari ini dia dateng buat ketawa-tawa karena komedinya, siapa tau besok dia dateng lagi buat nangis-nangis karena kangen keluarganya, or something like that. This movie is really worth to watch, oh iya, jangan langsung keluar pas credit masih jalan, ada sesuatu yang membuat kita makin engaged dengan film ini dan bukti juga bahwa film ini bener-bener digarap dengan cinta dari lubuk hati yang terdalam, cieelah. Dan semoga film ini bisa membawa senyuman dan harapan baru untuk setiap orang yang terlibat di dalamnya, baik itu kru, pemain, maupun semua penontonnya. Cheers!
0 notes
crustagracean · 9 years ago
Text
In the Absence of the Sun : There’s no place for us here
“Kenapa sih semua orang di Jakarta harus punya lebih dari satu telpon?”
"Di Jakarta, kalau gue pura-pura jadi foreigner, segalanya lebih gampang."
"You can't walk in Jakarta. There's no sidewalk in Jakarta."
"Let's just restart all over. Like in video games? Just press a button, and restart.."
Sesuai janji saya di postingan sebelumnya, saya akan mulai rajin-rajin membuat beberapa review film untuk film-film bagus yang sudah saya tonton. Disclaimer, sekali lagi, ini bukan review yang akan mengkritisi segala detil film ala-ala situs review film komersil, just share pengalaman apa aja yang saya dapatkan sepanjang nonton film ini.
Tumblr media
Quotes-quotes di atas saya dengarkan setelah saya menonton film Selamat Pagi, Malam (judul internasionalnya In the Absence of the Sun). Judulnya unik dan paradoks, harusnya bisa memancing orang buat nonton hehehe. Filmnya rilis kalo gak salah tahun 2014, tapi saya baru punya kesempatan nonton di penghujung 2016 ini. A bit late memang, but that’s okay. Cuma agak nyesel karena gak nonton langsung di bioskop.
Inti cerita dari film ini adalah tentang tiga orang wanita yang punya masalah dan kehidupan yang beda-beda, namun mereka semua dipersatukan di kota Jakarta. Kota Jakarta di malam hari seolah jadi saksi bisu atas perjuangan, pergolakan batin, dan masalah mereka masing-masing. Di saat semua orang yang mereka kenal hanya bisa men-judge mereka dari luar, hanya kota Jakarta yang seolah hadir dan menyaksikan semua yang mereka rasakan dan alami dalam diam, tanpa men-judge.
Setting waktu film ini semuanya terjadi di satu malam, satu malam yang mengubah hidup semua tokoh dalam film.
Tumblr media
Yang pertama ada Anggia, cewek berumur 32 tahun yang baru pulang dari New York dan mengalami culture shock sepulangnya dari sana. Doi berasa kota Jakarta yang jadi kota kelahirannya ini banyak berubah, dan dia gak bisa terima dengan perubahan itu. Bukan cuma itu, Naomi, soulmate nya yang dulu juga tinggal di New York dan pulang duluan ke Jakarta juga ikut berubah, seiring dengan berubahnya kota Jakarta. Gia berasa bahwa kota Jakarta, juga Naomi, yang sebelumnya mungkin adalah home sweet home buatnya, bukan lagi rumah untuknya.
Tumblr media
Lalu ada Indri, cewek yang bekerja sebagai penjaga handuk di tempat gym yang struggling untuk bisa naik ke kelas sosial yang lebih tinggi dengan cara blind date dengan cowok-cowok yang akhir-akhirnya malah mengecewakan buat dia. Dan kemudian pandangannya soal cinta dan cara menyikapi hidup berubah setelah ketemu dengan Faisal, waiter restoran mewah yang baru dia kenal di malam itu (ala-ala FTV gitu nih ketemuannya).
Tumblr media
Yang terakhir ada Cik Surya, wanita paruh baya yang baru aja ditinggal mati suaminya, Koh Surya. Selama ini Cik Surya begitu setia dengan suaminya, bahkan semua orang mengenalnya dengan nama ‘Cik Surya’, tanpa pernah ada yang tahu siapa nama aslinya yang sebenernya, sampai akhirnya ia tahu bahwa suaminya ternyata punya wanita simpanan bernama Sofia yang bekerja di sebuah nite club di daerah Kota (please correct me if I’m wrong). Karena kecewa, sakit hati, sekaligus penasaran juga, Cik Surya akhirnya memberanikan diri untuk menemui Sofia secara langsung ke tempat kerjanya. Namun tanpa bisa ia cegah, bukannya bertemu dengan Sofia, ia malah mengalami kejadian yang akhirnya juga mengubah hidupnya. (Sumpah bagian yang ini twist nya gak disangka banget!)
Tadinya saya mau nonton film ini karena tau yang main Adinia Wirasti. Omg, I love her since her role in Ada Apa dengan Cinta, dan masih berharap akan dibuat spin-off tentang Karmen someday hehehehehe. In my opinion, her act in this movie is the best among all of her movies, bahkan saya lebih suka dengan perannya sebagai Gia daripada Karmen, tapi Karmen tetap di hati kok, hahaha, abaikan ke-randoman saya.
Tumblr media
Tapi memang keseluruhan ceritanya bagus, enak dinikmati, jadi ibaratnya saya beli satu gratis satu, nonton film yang aktornya saya idolakan sekaligus dapet cerita dan pelajaran yang bagus juga hahaha. Filmnya sexy, baik secara harafiah (yupp memang ada beberapa adegan yang begitulah, tapi percayalah bukan hanya bagian itunya aja yang mau disampaikan oleh para pembuat film), maupun secara tersirat. Sudut-sudut kota Jakarta ditampilkan dengan menarik, mulai dari jalan-jalan macet Kemang dan Sudirman, daerah elit Bunderan HI-mall Grand Indonesia, cantiknya Monas di malam hari (I’m laughing so hard when I saw deretan Mas-Mas wearing Mickey Mouse’s ears headband, ada lampu-lampunya segala lagi), warung Indomi di pinggir jalan, sampai wilayah Mangga Besar-Kota juga ikut disorot di film ini. Selama 90 menit saya cuma duduk diam, tapi berasa ikut jalan-jalan keliling Jakarta bareng sama tokoh-tokoh di film. Gak nyangka bahwa kota tempat saya hidup selama 20 tahun bisa ditampilkan dengan begitu cantik, dan saya beberapa kali jejeritan norak karena melihat jalan yang setiap hari saya lewatin ada di film hahaha. It’s like, ya ampun, itu kan jalan yang biasanya gue lewatin, itu kan deket rumah banget huahahaha, norak ya emang.
Penggambaran karakter tiga tokoh sekaligus kota Jakarta sebagai setting tempatnya seolah mau mendeskripsikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan kehidupan di kota besar ini. Banyak orang-orang yang kelihatan keren, fancy, namun krisis identitas yang sesungguhnya. Lalu ada yang setengah mati ‘panjat sosial’ agar bisa diterima oleh lingkungannya, sekalipun usahanya itu nyakitin perasaan dan harga dirinya sendiri (I’m a bit sad di bagian Indri yang dikata-katain sama cowok yang baru aja dia kenal di BBM), dan yang gak kalah sedihnya, banyak orang yang berusaha untuk setia, namun setianya itu kalah juga dengan perubahan yang tak henti-hentinya terjadi di kota ini, termasuk perubahan soal urusan hati. Isu-isu sosial yang lazim terjadi di Jakarta seperti lesbian, bedah plastik, keranjingan sosial media, big role of religion in every part of life, juga jadi pemanis yang menarik buat cerita film ini. Sampai akhirnya membuat kita terkadang berpikir sesuai dengan tagline filmnya, there’s no place for us here.
Tumblr media
Tapi memang tetep ada sedikit kekurangan dalam film ini. Entah kenapa saya merasa ada beberapa penggambaran situasi tokoh yang jomplang, juga ada beberapa konflik yang agak aneh dan penyelesaiannya cenderung dipaksain, but terlepas dari sedikit kekurangannya, film-film yang mengedepankan unsur humanity dan penggambaran karakter yang kuat emang selalu jadi favorit saya, ditambah lagi dengan setting kota Jakarta yang begitu relate dengan kehidupan sehari-hari akhirnya membuat saya sangat menikmati film ini. Sampe kaget karena film tiba-tiba habis, padahal lagi enak-enaknya nonton. Dengan jajaran cast yang keren, story-telling yang ringan membuat film ini worth to watch banget :)
Tumblr media
0 notes
crustagracean · 9 years ago
Text
Moana : The Ocean Chooses Me
Haiii selamat datang di review kedua saya setelah yang ini http://crustagracean.tumblr.com/post/152410897448/review-film-surat-dari-praha . Seperti review yang sebelumnya, kali ini saya kembali merasakan sensasi ‘magis’ sepanjang nonton sebuah film (bagus). Saking magisnya, saya sampai lupa kalo saya nontonnya sendirian huehehehe :p
Tumblr media
Tadaaaaa… ini dia, Moana. Film Disney kesekian yang selalu sukses menyenangkan hati setiap penontonnya (walaupun saya pribadi agak kecewa sama The BFG, karena gak dapet aja feel khas Disney nya).
Alur cerita film ini berpusat pada tokoh Moana (iyalah, secara judulnya aja Moana hahaha), putri kepala suku Motunui yang kelak juga akan menggantikan ayahnya sebagai kepala suku. Sejak kecil Moana punya pengalaman magis dengan laut, seolah laut itu selalu mengajaknya bicara dan hidup di dalam hatinya, tapi ayahnya gak setuju dan lebih fokus mengarahkan Moana untuk jadi kepala suku dan minta dia lupain aja hal-hal tentang laut itu. Sampai suatu hari masalah terjadi di Pulau Motunui. Kelapa yang siap panen selalu busuk tanpa sebab yang jelas. Mereka juga gak bisa lagi menangkap ikan di sekitar pulau. Moana sebagai calon kepala suku pun secara ga langsung dituntut untuk mampu menyelesaikan masalah ini. 
Semua kejadian aneh ini mengingatkan Moana ke dongeng yang sering diceritakan neneknya, bahwa ada seorang dewi bernama Te Fitti yang kehilangan jantungnya karena dicuri oleh Maui, manusia setengah dewa. Konon Te Fitti ini adalah pencipta seluruh kehidupan, termasuk pulau Motunui yang dihuni oleh Moana. Dan karena jantungnya dicuri, otomatis Te Fitti mati dan kehidupan manusia sesudahnya ikut terganggu. Singkat cerita, akhirnya Moana sadar bahwa hanya ialah yang bisa mengembalikan jantung Te Fitti, sekaligus menyelamatkan kehidupan pulaunya dan hanya ia sendiri juga yang bisa mengungkap apa sesungguhnya panggilan hidup dia (cieelahh). 
Tiga puluh menit di awal film, saya gak bisa berhenti tersenyum. Entah kenapa hati terasa tenang aja selama nonton film ini, seolah beban hidup dan keluhan-keluhan terlupa untuk sementara. Visualnya cantik, dialog-dialognya juga lucu dan konyol, didukung dengan soundtrack yang asyik banget di telinga. Ibaratnya kaya lagi makan cupcakes manis yang topping nya penuh sama coklat warna-warni dan gak rela buat habisinnya cepet-cepet :p
Setelah sukses dengan tokoh Merida di Brave (2012), Moana seolah ikut berhasil lepas dari stereotype bahwa kebahagiaan sejati seorang putri adalah ketika ia menikah dengan seorang pangeran tampan. Salut buat Disney yang melakukan pembaharuan atas tokoh-tokoh princess nya. Seorang putri gak lagi harus ‘bergaun indah’, terlihat lemah dan rapuh, dansa dengan pangeran, lalu menikah dan hidup bahagia selamanya. Kebahagiaan yang sejati emang gak bisa diukur dengan ketampanan dan harta, man! 
Tumblr media
Karakter dan penokohan setiap peran digambarkan dengan matang dan jelas perannya apa. Aaaaaa, Moana nya juga cantik eksotis gimana gitu, dan doi jadi karakter princess favorit terbaru saya setelah Rapunzel di Tangled, Tiana di The Princess and the Frog, dan Merida di Brave. Setiap karakter seolah seperti koin bermata dua yang akan keliatan beda kalau dipandang dari sisi yang berbeda juga (well, iyalah ya). Contohnya Moana yang super pemberani tapi tetep punya kegalauan akan panggilan hidupnya dan Maui yang nyentrik, ceria, tapi punya kepahitan di masa lalunya. Karakter pendukung juga lucu dan punya tempat di hati penonton, contohnya Heihei si ayam jago yang gak jago-jago amat karena keliatan ‘idiot’ sepanjang film. Bisa ditonton sendiri kenapa idiotnya hehehe. 
Kultur dan budaya Polinesia sangat terasa sepanjang film ini. Beberapa soundtrack nya bahkan ada yang menggunakan bahasa asli suku Polinesia. It’s a great job untuk tetap menampilkan budaya asli sebuah suku yang notabene jarang terekspos di film-film modern. (correct me if I’m wrong)
Yepp, benang merah film ini emang sebenernya gak jauh beda sama film Disney pada umumnya. Konflik keluarga dan leluhur, proses pencarian jati diri dan kebahagiaan yang dibalut dengan petualangan seru memang bukan makanan baru Disney, tapi entah kenapa Disney selalu berhasil menciptakan sesuatu yang baru dengan resep lama. Aaaa, makin cinta sama Disney *blush* Ohiya, bocoran sedikit, dianjurkan untuk tepat waktu masuk ke teater saat nonton film ini, karena ada film pendek karya Disney juga: Inner Workings, yang sayang banget kalo kelewat, plus jangan langsung keluar di credit scene yah, ada after credit scenenya :p
Intinya film Moana ini bagus banget! Menginspirasi sekaligus menghibur, jadi buat kamu-kamu yang butuh hiburan asyik tanpa mikir keras silahkan nonton ini, juga yang masih galau dengan panggilan hidup masing-masing, siapa tau langsung tercerahkan setelah nonton. Maybe someday your own ocean will choose you :p
0 notes
crustagracean · 9 years ago
Text
Official Account
Tumblr media
NOTES:  Postingan ini bukan endorse atau branding LINE. Postingan ini ada murni karena dapet ide dan terinspirasi dari platform chat asal Jepang ini. Terus kalo ada kemiripan nama, karakter dan keadaan, semua hanya fiktif belaka tanpa ada unsur kesengajaan. Happy reading! :D
□□□□□□□□□□□□□□□□□
”Bertemu denganmu adalah takdir, menjadi temanmu adalah pilihanku, tapi jatuh cinta denganmu itu di luar kemampuanku.” --- 10,001 likes , 4,980 shares 
“Tahukah kamu perbedaan antara rasa kantuk dan merindukanmu? Rasa kantuk bila kubawa tidur maka aku akan berhenti menguap. Merindukanmu, mau berkali-kali kubawa tidur, rasa rindunya tidak akan pernah menguap.” --- 15,845 likes , 6,278 shares
“Tarulah hatimu jauh di dalam hati Tuhan, agar bila ada seseorang yang ingin mendapatkan hatimu, dia harus tenggelam di dalam hati Tuhan.” --- 19,004 likes , 8,589 shares
“Gila, ini siapa deh yang bikin kata-katanya? Galau bener…”
 “Liat tuh udah 20,567 followers aja! Hebat bener, account curhat gini doang ya padahal.”
“Itu setiap kali gue buka line pasti ada aja yang nge-share quotes nya. Kadang-kadang gue juga sih, lumayan buat ngode.”
 “Eh bisa curhat juga loh disana. Kirim-kirim kode sama salam-salam ke gebetan juga bisa. Adminnya seru deh.”
 Aku senyum-senyum saja mendengar perkataan teman-temanku. Hampir setiap pagi sebelum kelas dimulai, hal inilah yang menjadi topik pembicaraan mereka, selain PR kemarin yang belum sempat dikerjakan di rumah masing-masing.
 “Ajeng! Senyum-senyum aja pagi-pagi.”
Aku menoleh pada asal suara yang baru saja memanggilku. Suara cempreng melengking yang khas itu adalah milik Tatyana, sahabat karibku. Ia langsung duduk di kursinya yang terletak persis di depan kursiku.
 “Kenapa lo? Seneng banget kayanya.” Tanyanya, kemudian mendekatkan wajahnya padaku. “Gimana sama doi?” bisiknya karena tak enak bila temanku yang lain apalagi ‘doi’ yang ia maksud mendengar pembicaraan kami.
 “Ssst, nanti dia denger.” Aku mengingatkannya sembari melirik kembali ke arah kerumunan teman-temanku yang tadi asyik membicarakan official account line galau itu. Kemudian pandanganku tertuju kepada seseorang yang hanya duduk saja sembari menulis sesuatu. Melihat wajahnya saja mampu membuat senyumku muncul kembali.
“Tuh kan senyum-senyum lagi. Kalo jadian beneran bisa jadi gila kali ya lo.” Tatyana meledekku lagi.
 “Apaan sih? Nggak lah. Seneng dong, masa gila.” Jawabku.
“KRINGGGGGGG………” suara bel yang tidak ingin kami dengar akhirnya muncul juga memecah gendang telinga kami. Semua teman-temanku menggerutu kesal dan mau tak mau kembali ke tempat duduknya masing-masing, termasuk ‘dia’ yang tadi sibuk menulis. Jantungku sedikit berdebar saat ia kembali duduk di sampingku.
“Kok… tadi duduk disana?” aku memberanikan diri bertanya padanya, mumpung belum ada guru yang masuk ke kelas kami.
 “Gak papa. Tadinya enak masih sepi. Eh lama-lama malah pada ikut-ikutan duduk di situ, berisik juga jadinya. Tapi udah tanggung, dikit lagi selesai soalnya.” Jawabnya dengan suara yang selalu mampu membuatku terpesona.
 “Ohh..” sahutku singkat karena bingung mau merespon apa lagi, saking groginya.
 “Lo gak ikut-ikutan main line juga? Buka-buka official account kaya gitu?” ia tiba-tiba bertanya padaku.
 Aku terdiam sebentar, memikirkan harus menjawab apa. “Hmm, buka juga kok, tapi gak sesering mereka aja.” Jawabku akhirnya.
 Percakapan kami terputus karena akhirnya guru Kimia kami masuk ke kelas. Ini adalah pelajaran kesukaannya, jadi tak mungkin kami akan mengobrol lagi sekarang.
□□□□□□□□□□□□□□□□□
 “Ajeng! Kok lama banget sih gak main kesini lagi? Padahal rumah deket juga. Wah gak berasa ya udah SMA aja. Nanti SMA nya bareng sama Kenzie loh.”
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Tante Widya, tetanggaku. Hari ini seperti biasa ibuku memintaku untuk mengantarkan kue buatannya ke tetangga di sekeliling kami. Tante Widya tentu saja kebagian, karena kami sudah bertetangga sejak lama sekali.
“Iya nih tante. Besok udah masuk sekolah. Ken nya mana?” tanyaku berbasa-basi.
“Lagi pergi sama temen-temen SMP nya katanya. Sebentar lagi juga pulang.”
 Benar saja, tak sampai lima menit, sosok pemuda tinggi jangkung seusiaku muncul di hadapan kami. Dialah Kenzie, tetangga sekaligus teman mainku sejak kecil. Saat masih SD, hampir setiap hari ia main ke rumahku, atau sebaliknya aku yang main ke rumahnya. Banyak sekali yang bisa kami mainkan dulu. Kejar-kejaran, bermain sepeda, main catur, sampai bermain lompat tali atau congklak pernah kami mainkan bersama. Dulu tubuhnya gemuk dan kulitnya sedikit kecoklatan, sering menjadi bahan ejekan bila kami sedang bermain bersama teman komplek yang lain. Aku masih ingat ia sering menangis dan mengadu pada Tante Widya setiap kali kami selesai bermain. Akhirnya Kenzie hanya mau bermain denganku, karena hanya aku satu-satunya temannya yang tidak pernah mengejeknya.
Seiring berjalannya waktu, kami mulai tumbuh dewasa dan dipenuhi dengan kesibukan kami masing-masing. Aku sedikit takjub dengan penampilan Kenzie yang sekarang. Ia semakin tampan, orang yang tidak mengenalnya pasti tidak menyangka bila dulu ia sangat cengeng, dan tentu saja ia masih ingat dan bersikap ramah, bahkan semakin bersahabat padaku. Aku takut ia tak ingat padaku lagi karena sepengalamanku banyak teman-teman lamaku yang jadi sangat sombong bila kami sudah lama tidak bertemu lagi.
 “Hai Ajeng! Lama banget ya gak ketemu.” Sapanya saat melihatku duduk di ruang tamu rumahnya. Tanpa canggung dan malu-malu ia akhirnya duduk di seberang kami, hingga wajahnya makin bisa kulihat dengan jelas. Kenzie semakin tampan saja. Aura cool dan charming sangat jelas terpancar dari wajahnya.
“Hai juga…. Ken.” Aku agak salah tingkah menanggapi sapaannya. “Masuk SMA 30….juga?” lanjutku berusaha memulai percakapan.
“Iya. Lo juga kan? Semoga nanti sekelas ya.” Jawabnya ceria.
Aku tambah deg-degan sekaligus senang mendengar ucapannya barusan. Ia ingin sekelas denganku? Tentu saja aku juga ingin, namun aku terlalu malu untuk mengatakannya. Aku kemudian tersadar, sekarang aku memang tak bisa lagi mengajaknya main kejar-kejaran seperti dulu, namun kali ini hati dan perasaanku lah yang meminta untuk bermain dengan hati dan perasaannya. Atau kata lainnya, aku jatuh cinta pada Kenzie.
Keesokan harinya, hari pertama kami di SMA. Pertama kalinya mengganti celana dan rok biru kami menjadi celana dan rok abu-abu. Doaku juga doa Kenzie seolah terjawab. Kami ditempatkan di satu kelas, bahkan duduk sebangku. Aku langsung berpikir macam-macam, apakah ini sebuah pertanda bahwa semesta juga mendukung perasaanku padanya? Hahaha, aku tidak mau tahu jawabannya, tapi yang jelas aku sangat senang dan mulai setuju dengan pendapat orang-orang bahwa masa-masa SMA adalah masa-masa yang paling indah.
Setelah tiga hari pertama orientasi, akhirnya kami benar-benar memulai fase kehidupan baru kami. Kenzie sangat populer karena keramahan dan ketampanannya, sangat terbalik dengan kondisinya saat kecil dulu. Ia seolah berhasil membalaskan dendamnya karena akhirnya dikaruniai wajah yang tampan juga fisik yang ideal. Aku turut senang bersamanya, meskipun terkadang aku merasa ia sedikit menjadi sosok yang berbeda.
Semakin hari ia juga semakin ramah dan dekat padaku. Kami sering mengerjakan tugas sekolah bersama, kadang di rumahku, kadang di rumahnya. Bila ada tugas yang mengharuskan kami untuk mengerjakannya berdua-berdua—tugas membuat dialog misalnya—selalu ia duluan yang mengajakku untuk berpasangan dengannya.
Bahkan ada satu hari dimana ia pernah mengantarkan makanan untukku. Bila biasanya aku yang ke rumahnya untuk mengantarkan kue buatan ibuku, hari itu ia mengantarkan lasagna—makanan kesukaanku—langsung ke rumahku. Dengan bangganya ia berkata bahwa itu adalah buatannya sendiri, karena kedua orangtuanya sedang pergi, jadi tidak ada yang memasak untuknya, membuatku semakin jatuh hati padanya.
Pokoknya semakin hari aku semakin terpesona padanya. Aku tidak berani menyebut peraasanku sebagai cinta sejati atau cinta yang sesungguhnya, karena aku tidak pernah tahu bagaimana perasaannya padaku. Aku ragu apa motivasi dibalik sikap ramah dan perhatiannya, apa memang ia punya perasaan yang sama denganku, atau semua ini murni hanya karena ia menganggapku sebagai sahabat sejatinya?
Bodohnya lagi aku tidak berani untuk bertanya langsung. Meskipun kami punya hubungan persahabatan yang dekat, tapi seolah tetap ada tembok pemisah di antara kami. Baik aku dan Kenzie tidak pernah membahas masalah perasaan yang lebih dari sekedar persahabatan ini. Aku sering mendengar dari teman-temanku yang lain Kenzie banyak dekat dengan anak-anak perempuan di sekolah kami, namun aku tidak berani bertanya padanya karena sepertinya ia enggan membahas masalah itu.
Aku mencari jalan lain. Hampir setiap malam aku selalu membuka sosial media yang Kenzie miliki. Ia bukan tipe orang yang senang menghabiskan waktu bermain sosial media, buktinya Facebook nya sudah lama tidak aktif, Instagram nya juga jarang ada post terbaru. Lalu pilihan terakhirku jatuh kepada line account miliknya. Aplikasi yang setiap hari kubuka dan nama yang paling pertama muncul adalah namanya. Timeline nya juga tidak begitu aktif, hanya berisi pemberitahuan bahwa ia sudah mengganti foto profilnya. Aku bosan dan baru saja akan keluar, berhenti men-stalk akun line nya, sampai aku akhirnya memperhatikan, setiap kali ia mengganti foto profil atau ada aktivitas terbaru, selalu banyak komentar yang mengikutinya. Nama yang sama selalu muncul dan selalu dibalas oleh Kenzie. Itu berarti Kenzie sering membuka line nya, padahal terkadang chat ku tidak dibalas dan hanya dibaca olehnya. Penasaran, akhirnya aku membuka profil nama yang selalu muncul untuk mengomentari setiap aktivitas Kenzie. Rupanya itu Sharon, siswi kelas sebelah yang juga populer. Dari komentar-komentar yang muncul, aku bisa merasakan Kenzie tertarik padanya.
Perasaan cemburu yang aneh tiba-tiba muncul dan membuatku malas untuk melihat line Kenzie lagi. Aku heran mengapa aku langsung cemburu, padahal aku tidak tahu pasti apa hubungan di antara mereka. Aku ragu, apakah aku cemburu karena iri, akhirnya ada orang lain yang bisa menjadi teman dekat Kenzie, selain diriku atau cemburu karena memang aku benar-benar jatuh cinta dengan Kenzie dan tidak mau kehilangannya?
Rasa kasmaran sekaligus bingungku akhirnya kutuangkan ke dalam setiap status sosial mediaku, seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak muda zaman sekarang. Tapi karena tak tahan banyak yang bertanya-tanya apa yang terjadi denganku, aku memutuskan untuk membuat akun baru yang semua isinya adalah curahan hatiku, entah itu dalam bentuk gambar atau tulisan, entah itu kurangkai sendiri, atau kutipan dari puisi, lagu, film karya orang lain. Tidak ada yang tahu bahwa pemilik akun itu adalah aku. Banyak yang memberi komentar, men-share postinganku, hingga curhat denganku lewat akun itu karena aku juga membuka sesi curhat di jam tertentu. Lucu juga, aku jadi tahu kondisi teman-teman sekolahku, juga orang lain di luar sekolah. Ada yang bingung dengan perasaannya sama seperti yang kualami, ada yang saking galaunya sampai ingin bunuh diri, hingga ada juga pasangan sering yang kirim-kirim salam lewat official account segala, padahal mereka bertemu setiap hari di sekolah. Kadang aku tidak bisa menahan tawaku bila melihat wajah mereka langsung di sekolah. Menariknya bahkan ada yang berhasil ‘jadian’ setelah curhat denganku dan malam harinya ia tak henti-hentinya berterima kasih padaku.
Namun dari sekian banyak orang-orang yang curhat ataupun men-share postinganku, aku belum pernah sekalipun melihat nama Kenzie masuk ke notifikasiku. Mungkin Kenzie sangat cuek dan tertutup dengan masalah ini. Aku yang bodoh juga karena terus-terusan mengharapkan hal yang mustahil. Aku sering berharap ia akan curhat ke akun ini perihal hubungan persahabatannya denganku, ataupun kedekatannya dengan orang lain selain diriku. Ya siapa tahu bila ia tidak ingin cerita denganku, ia ingin cerita dengan orang lain, contohnya akun curhat ini.
Seiring berjalannya waktu, hubungan kami perlahan merenggang. Masuk ke semester dua, Kenzie semakin tertutup. Ia memang terlihat lebih giat belajar dan tidak menghindariku, namun aku jadi canggung dan tidak enak bila terus mengganggunya. Buruknya lagi, ia semakin dekat saja dengan Sharon, dan lebih sering meminta bantuan padanya daripada padaku. Kami memang masih duduk sebangku, tapi pembicaraan kami tidak lagi sesering dan sehangat dulu.
Meski begitu, perasaan yang sama tetap melekat di hatiku. Aku tetap merasa bahagia saat melihat wajahnya, tersenyum bila ia memanggil namaku, dan kesal bila ada yang membicarakan perihal kedekatannya dengan orang lain. Perasaanku yang tidak jelas kemana akan bermuaranya ini juga menjadi bahan bakar dan nutrisi untuk setiap postingan di official account ku.
□□□□□□□□□□□□□□□□□
Hingga suatu hari akhirnya aku melihat namanya muncul di layar ponselku. Bukan ke akun personalku, tapi masuk ke akun curhat yang kubuat. Aku senang sekaligus ragu, apa yang mau ia katakan ke sini.
“Hai…” ia memulai percakapan. Ketikannya sangat khas, selalu diakhiri dengan tiga titik.
Aku berusaha merangkai kata-kataku sebelum membalas chat nya. Selain memikirkan kata-kata apa yang akan kubalas, aku juga berusaha membuat agar aku tidak terlihat sebagai ‘Ajeng’.
“Hai juga Kenzie :):):):)” balasku sambil menaruh banyak emoji di luar kebiasaanku.
Kemudian tak ada balasan, namun ia sudah membaca balasanku. Agak lama aku memelototi layar ponselku. Akhirnya setelah kurang lebih 10 menit ia membalas pesanku.
“Ini adminnya anak 30 juga ya?”
Aku sedikit kaget. Bagaimana bisa ia tahu? Aku berusaha mengingat-ingat apakah aku pernah keceplosan bercerita padanya bahwa aku sedang sibuk menjadi admin sebuah official account, tapi sepertinya tidak pernah, karena kami saja tidak pernah lagi mengobrol seintens dan selama dulu lagi.
“Becanda deh… Pasti bukan… Itu ide-ide kata-katanya darimana sih?” sebelum aku membalas chat sebelumnya, ia sudah membalas lagi.
Aku lega, karena setidaknya aku tidak perlu menjelaskan yang sebenarnya. “Makasih :). Bisa dari film, dari puisi, dari lirik lagu, tapi seringnya sih dari pengalaman pribadi.” Jawabku berusaha sedikit mencari celah agar aku berkesempatan menceritakan perasaanku tanpa harus memberitahu siapa diriku sebenarnya. Terdengar pengecut ya memang.
“Oh, pengalamannya galau-galau ya. Hehehe…” kali ini ia dengan cepat membalas chatku.
“Iya, kalo lagi deket sama orang tapi hubungannya begitu-begitu aja emang bikin galau ya.” Balasku berusaha menyindirnya, tak tahu apakah ia sadar atau tidak.
“Iya nih… Saya juga begitu…” Balasnya singkat.
Aku terpaku dan tidak langsung membalasnya. Apakah kali ini ia ingin bercerita tentang persahabatannya denganku, atau hubungannya dengan orang lain?
“Kalo cuma nyaman aja gak cukup ya… Jadi ya begitu-begitu aja…” Lanjutnya sebelum aku membalas pesannya yang terakhir.
Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraannya. “Maksudnya gimana ya?”
“Saya malu sih ceritainnya… Tapi janji ya jangan dibocorin kemana-mana atau dijadiin bahan quotes kamu…”
Jantungku berdegup kencang. Akhirnya kali ini Kenzie mau menceritakan isi hatinya, meskipun ia tidak mau langsung menemuiku untuk bercerita. “Iya, tenang aja.”
“Saya bingung… Saya punya sahabat deket dari kecil, jadi dia tetangga saya, terus sekarang satu sekolah, satu kelas, duduk sebangku pula...” percakapannya terhenti disitu.
Aku mengerti ia sedang membicarakan diriku. “Terus?”
“Tapi kenapa ya, biarpun deket, saya gak pernah bisa cerita yang bener-bener dalem sama dia…Hmm, istilahnya gimana ya, ada hal yang kayanya canggung aja kalo saya ceritain ke dia, jadi walaupun deket, rasanya saya gak bisa jujur 100% sama dia…”
Aku belum mengerti kemana pembicaraan Kenzie akan mengarah, tapi aku merasakan sesuatu yang tidak beres akan terjadi. Dadaku perlahan mulai terasa sesak. “Gak jujur dalam hal apa?” tanyaku lagi.
“Saya nyaman sama dia. Tapi kaya yang saya bilang di atas, nyaman aja gak cukup kan? Dan itu terbukti, saya ketemu orang lain yang kalau sama dia saya juga bisa merasa nyaman, lebih nyaman dari sahabat saya itu… dan sama orang yang baru ini ya saya berasa lebih aja.”
Balasannya barusan membuatku serasa seperti disambar petir. Namun aku berusaha mengendalikan diriku dan terus menggali informasi sejelas-jelasnya dari Kenzie. “Lebihnya gimana nih? Lebih cantik, lebih kaya, apa lebih gimana?” balasku terdengar sedikit sarkas. Pasti yang ia maksud adalah Sharon.
“Bukan lebih secara fisik sih…Kalo sama dia saya berasa saya bisa lebih terbuka aja, lebih jujur. Nah soal saya deket sama orang ini, saya gak berani cerita ke sahabat saya. Kita emang deket, tapi gak tau kenapa kita gak pernah saling cerita, lagi deket sama siapa atau suka sama siapa? Karena dia juga gak pernah mulai, saya juga gak enak buat mulai duluan.”
Aku terdiam. Dadaku terasa semakin sesak. Tak kusadari air mataku jatuh membasahi layar ponselku. “Kalo perasaan kamu sendiri ke sahabatmu gimana?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
Kenzie tidak langsung membalas pesanku. Aku sedih karena akhirnya paham bahwa ia saja ragu dengan perasaannya sendiri.
“Saya bingung… Saya nyaman sih sama dia…” entah sudah berapa kali ia mengulangi kata nyaman itu. “Tapi gak bisa lebih dari sahabat, itu sih apa yang saya rasain.” Lanjutnya lagi.
Akhirnya terjawab juga pertanyaanku selama ini. Kenzie memang tidak pernah menganggapku lebih dari sahabatnya. Aku saja yang bodoh dan naif dalam menanggapi setiap perhatian dan sikap ramahnya.
“Saya takut kalo misalnya sahabat saya ternyata punya perasaan yang lebih, agak ge-er sih, tapi kalo misalkan iya, saya bingung harus gimana…” Kenzie melanjutkan percakapannya. “Apa saya jauhin aja ya dia? Biar gak salah paham...”
Aku tidak terima dengan perkataannya yang terakhir.”Gak bisa gitu dong. Kalo yang awalnya baik-baik aja terus tiba-tiba menjauh, bukannya malah bikin hubungan kalian jadi aneh? Apalagi udah sahabatan sejak kecil kan?” aku mengetik pesanku sembari gemetar.
“Iya juga sihh.. Jadi saya harus gimana?”
“Ya bilang lah yang sebenarnya.” Balasku, padahal aku belum siap bila harus mendengar kenyataan yang sesungguhnya dari Kenzie. “Kamu kan cowok, harus gentle dong. Terus jangan nilai sebuah hubungan dari nyamannya aja dong. Kamu kan bukan pacaran sama sofa atau kasur.” Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk menegurnya. Pesan yang ia kirimkan berikutnya tidak kubalas lagi saking tak sanggupnya. Bodohnya aku karena semuanya hanya imajinasi dan halusinasiku saja.
□□□□□□□□□□□□□□□□□
“Bila kelak ternyata kita hidup dalam rumah yang berbeda, kunjungi aku sebagai teman baik. Yang pernah memimpikan sebuah atap bersamamu.” --- 14,890 likes , 8,321 shares
“Aku mencintaimu. Biarlah, ini urusanku. Bagaimana kamu kepadaku, terserah, itu urusanmu.” --- 10,245 likes , 4,789 shares
“Months ago, we stayed up till 3am talking. And today I don’t even know how to say Hi.” --- 9,003 likes , 3,901 shares
“Aku masih ingat, bagaimana perasaanku ketika pertama kali kita memulai untuk saling berbicara.” --- 16, 789 likes , 7,985 shares
“Ajengg? Lo kenapa? Kok manyun aja?” Tatyana menepuk-nepuk bahuku, berusaha membuyarkan lamunanku.
Aku tersentak dan hanya menggelengkan kepalaku. “Eh, tempat lo kosong kan? Gue pindah ya ke depan.” Tanpa menunggu responnya aku memindahkan tasku ke kursi kosong di sebelahnya. Aku tak sadar Kenzie yang baru datang melihatku saat aku memindahkan tasku.
“Kok pindah Jeng?” tanyanya heran.
Aku menoleh dan memalingkan wajahku lagi karena tak sanggup menatap wajahnya lama-lama. Ironisnya wajah yang dulu selalu membuatku tersenyum dan betah untuk kulihat lama-lama sekarang malah membuatku sedih dan untuk meliriknya sedikit saja aku sudah tak sanggup.
“Gak apa-apa. Pengen lebih deket sama guru aja.” Jawabku asal dan pura-pura mengajak Tatyana bicara. Aku tahu Kenzie pasti sedang menatapku heran, atau bila ternyata ia tidak peduli pun aku bisa apa?
0 notes