Text
Hal terbodoh yang pernah aku lakukan adalah menulis cerita romansa dimana aku tidak pernah sekalipun menjalin hubungan romansa dengan orang lain.
Padahal novel-novel yang aku baca memang kebanyakan aksi. Tapi memaksa untukku menulis cerita romansa itu seperti menyuruh ikan memanjat pohon.
2 notes
·
View notes
Text
Lowongan Kerja Spek Nabi
Hobiku sendiri adalah berselancar di media sosial. Kebetulan saja, aku punya laman Facebook yang aku gunakan untuk mencari tahu kabar terbaru atau apapun itulah, agar aku tidak ketinggalan berita. Nah! Ketika aku buka Facebook baru-baru ini, tiba-tiba saja ada sebuah berita yang… cukup menggemparkan dan buatku melongo sebenarnya.

Jadi, konteks dari percakapan itu adalah orang yang tidak terima dengan lowongan kerja yang mewajibkan calon karyawannya untuk salat lima waktu dan bisa baca Alquran. Dia beralasan kenapa buat lowongan kerja sudah seperti spek nabi saja.
Like, what? Salat lima waktu itu spek nabi? Bukannya salat lima waktu itu bare minimum atau standar terendah seorang muslim, ya?
Padahal salat lima waktu pengikut Rasulullah itu salat yang paling ringan daripada kaum-kaum nabi yang lain. Kaum nabi sebelumnya seperti Bani Israil bisa salat sampai seratus kali dalam sehari. Tetapi saat Isra Miraj Nabi Muhammad diberi keringanan untuk lima kali sehari dalam salat, melihat manusia era Nabi Muhammad tidak sekuat manusia era sebelumnya.
Kalau lima waktu itu spek manusia biasa dan bukan spek nabi, terus spek nabi itu yang seperti apa? Nabi Muhammad sangat suka salat malam sampai kaki-kakinya itu berbekas. Selain itu, masih ada lagi salat rawatib, salat duha, yang ditunaikan juga. Ini baru salat lima kali kenapa dipermasalahkan begitu? Mungkin saya harus pertegas lagi:
“Salat lima waktu itu standar terendah untuk seorang muslim, bukan standar atas apalagi standar nabi!”
Pendapatku soal lowongan pekerjaan yang seperti itu, malah aku senang dan ingin apply di tempat itu. Dengan salat setidaknya selain menunaikan ibadah wajib, di sela-sela waktu itu juga bisa dipergunakan untuk istirahat setidaknya sepuluh sampai lima belas menit. Untuk non-muslim yang dikenai aturan seperti ini harusnya senang. Ini justru ini malah benefit karena mereka bisa istirahat lebih lama sembari menunggu kawan-kawan yang lain salat.
[Outro song: D'Masiv - Diam Tanpa Kata]
2 notes
·
View notes
Text
secret message_2
Yang mana yang benar, yang mana yang salah Aku yang benar, atau kau yang salah, atau sebaliknya Inginkan kemenangan untuk diri sendiri Adalah kesalahan Kejujuranku berkata demikian
Itu artinya, lebih baik aku mengalah… Saja
6 notes
·
View notes
Text
secret message_1
Puzzle-puzzle masa lalu seakan terbentuk kembali Lembaran-lembaran ceritanya ikut tersusun kembali Emosi dari masa-masa yang telah lalu, serta Air mata yang telah lama menghilang tiba-tiba meluap Semua membentuk apa diriku sekarang Entitas manusia yang tidak mengenal dirinya
Sepatu yang aku gunakan Tas yang aku sampirkan Odol dan sabun yang biasa aku basuhkan Parfum serbak akuatik yang biasa aku kenakan
Bagian-bagian itu tidak sepenuhnya kulupakan Egoku pula mulai muncul kembali, juga Indra itu kembali setelah beberapa lama menghilang Namun, saat aku kembali ke dunia ini Guruh hatiku pancar ketidaknyamanan
Ah, aku ini hanya sedang berlari
Lari dari rasa sakitnya untuk membuat aksi nyata Ini tidak pernah aku lakukan sebelumnya Akankah aku menghadapi dan mengatakan kenyataan Rasanya memang sakit, tetapi harus aku lakukan
4 notes
·
View notes
Text
sajak malam kelam
Hanya matahari dan bintang yg tdk pernah mengkhianatiku.
Keluarga, rekan, dan orang-orang berharga kini semua telah tiada.
Pengkhianat yg terus mencariku karena kejahatan yg tidak pernah aku buat,
serta semua kenangan buruk dlm hidupku itu, aku harap semuanya terhapus di dunia ini.
Akan terus ada dalam kenanganku. Pengalaman inilah yg membuatku kuat hingga saat ini.
Semoga mereka,
entah yg berdosa maupun tidak
entah yg masih ada atau telah tiada
diterima di sisi Tuhan.
Sajak Malam Kelam, Morta Santo Revenje 23-12-2095
<<<>>>
“Hanya matahari dan bintang yang tidak pernah mengkhianatiku,”
Pria itu berdiri lamat-lamat memandangi malam yang tidak akan berhenti dalam beberapa waktu ke depan. Di tengah musim dingin yang datang, dia duduk di dalam rumah kabin dengan bebakaran yang tampak menyala di tengah-tengahnya. Di atas rumah kabin itu, terselip sebuah jendela yang menampakkan bintang-bintang dengan rasi yang tidak ia kenal.
Sambil menikmati malam seorang diri, entah mengapa dia mengeja-eja sajak keagungan malam sambil menuliskannya pada secarik kertas yang mulai lusuh dikepul asap pembakaran.
“Keluarga, rekan, dan orang-orang berharga kini semua telah tiada,”
Sejenak, dia membayangkan bagaimana keluarganya terenggut karena ketidakberdayaan dirinya, Juga, rekan dan orang-orang berharga yang telah mati di medan laga yang hanya meninggalkan plat besi bertuliskan nama mereka yang terselip di saku celananya.
“Pengkhianat yang terus mencariku karena kejahatan yang tidak pernah aku buat,”
Sekelebat cerita pahit puluhan tahun lalu, dimana dia dituduh melakukan kejahatan sebelum ditolong oleh mendiang gurunya yang kini sudah tiada.
“Serta semua kenangan buruk dalam hidupku itu, aku harap semuanya terhapus di dunia ini,”
Itulah harapan yang ia panjatkan di bawah langit malam yang entah mengapa begitu bersih di musim dingin ini. Dalam beberapa tahun lalu, musim dingin itu mungkin akan terasa lebih hangat karena kehadiran semua orang. Entah itu keluarganya, rekan-rekan seperjuangan, hingga master yang telah menyelamatkannya.
Tetapi, kini tungku perapian di rumah kabin itu hanya tersisa dia seorang. Berjuang sendirian.
“Ah, tidak. Tidak semua kenangan itu buruk. Bagaimana aku menuliskannya, ya? Karena kenangan itu bisa menjadi pembelajaran.”
Pada keinginannya menghapus kenangan buruk, dia mencoretnya. Kenangan akan terus ada, seperti luka-luka yang dia dapat dalam perang besar umat manusia melawan raksasa yang sedang berlangsung.
“Akan terus ada dalam kenanganku. Pengalaman inilah yang membuatku kuat hingga saat ini.”
Betul, hal itulah yang membuatnya kuat dan bertahan hingga saat ini. Sepuluh tahun berjuang melawan raksasa penghancur manusia, bertahan hingga saat inipun sudah termasuk hal yang bagus. Dari umur sebelas hingga kini umurnya sudah dua puluh satu, itu sudah termasuk panjang. Karena rekan seangkatannya hanya tersisa lima dari seratus lima puluh. Itu artinya hanya satu per tigapuluh yang bisa selamat.
Kematian terakhir rekan seangkatannya adalah lima hari yang lalu. Dimana itu mungkin adalah kesalahannya sendiri. Saat itu, dia mencoba untuk maju sendirian, namun tidak sadar kalau dia sendiri sedang dijebak. Saat itulah teman-temannya mengorbankan dirinya. Walaupun pria itu menyuruh mereka untuk mundur, mereka tetap menyelamatkannya walau nyawa mereka taruhannya. Bukan apa-apa, pria ini adalah petarung terkuat di angkatannya sehingga mereka tidak ingin dia mati duluan.
“Semoga mereka, entah yang berdosa maupun tidak, entah yang masih ada maupun yang telah tiada diterima di sisi Tuhan. Memoir Malam Kelam, Morta Santo Revenje,”
Seiring dengan akhir sajak itu, dia menyelipkan tulisannya pada sebuah dokumen kecil yang berisi dengan memoir-memoir yang ia tulis di tiap hari.
Pria itu, Morta Santo Revenje, memiliki tujuan sendiri alasan mengapa ia menulis memoir itu. Memoir itu seperti monumen kecil bahwa dia telah hidup sampai saat ini.
Seandainya dia sudah tiada, dia berharap ada orang yang menemukan ini entah itu tentara yang baru ataupun siapapun yang ingin berteduh di rumah kabinnya bisa membaca memoir itu, dan juga melanjutkan pesan hidupnya. Dia sudah melakukan ini selama sepuluh tahun dengan sepuluh dokumen memoir yang tersimpan rapi di atas rak yang harusnya diisi buku.
Bukan berarti Morta berharap untuk mati. Dia ingin hidup lebih lama, bertarung melawan prajurit raksasa yang tiba-tiba muncul di dunia ini. Tetapi seandainya Tuhan berkehendak untuknya kembali, setidaknya dia meninggalkan harapan kepada generasi selanjutnya.
2 notes
·
View notes
Text
“Dan dengan surat ini, saya Glibert Verlichten selaku pemangku Kerajaan Verlicht menyatakan penobatan Albert Verlichten menjadi putra mahkota menggantikan mendiang saudara saya Alfonso Verlichten.”
Seorang berpakaian mewah bernama Gilbert Verlichten itu mengucapkan isi surat dengan lantang, diikuti dengan riuh penonton yang tampaknya begitu bahagia disertai tepuk tangan mereka. Beberapa mulai menyebutkan, Hidup Putra Mahkota Albert!
Sedangkan orang disebutkan sebagai Albert Verlichten, pria muda berkacamata dengan rambut klimisnya itu hanya menunduk setengah duduk di depan Gilbert Verlichten. Gilbert Verlichten dan Albert Verlichten adalah ayah dan anak, sehingga ini adalah tindakan yang harus Albert lakukan.
Di depan Albert, sang ayah Gilbert mengangkat tangannya yang sudah mengenggam pedang keramat Kerajaan Verlicht. Setelah itu, Gilbert menyentuhkan sisi lempeng pedang itu pada kepala, bahu kanan, dan bahu kiri Albert. Dengan disentuhnya ketiga tempat itu, Albert resmi menjadi seorang Putra Mahkota Kerajaan Verlicht.
“Albert, mulai hari ini kamu adalah Putra Mahkota Kerajaan Verlicht.”
“Terima kasih, Ayah.”
֎֎֎
Albert, beberapa waktu sebelumnya, masih berfokus kepada penelitian berupa kecerdasan buatan yang digabungkan dengan ilmu sihir. Berbeda dengan adik-adiknya yang lain yang masuk ke militer dan menjadi kesatria, dia justru tertarik dengan teknologi dan sihir. Hal yang dia kembangkan kini adalah kecerdasan buatan yang bisa menggantikan peran manusia dalam beberapa hal dalam kehidupan.
Dan dalam penelitian itu, Albertlah yang mengambil tampuk jabatan ketua. Tentu dia tidak sendiri, dia dibersamai dengan beberapa orang yang ia rekrut dengan total hampir tujuh puluh lima orang. Mayoritas rekrutan Albert adalah warga Kadipaten Ujung Gunung, yang sering dicap sebagai warga separatis di Kerajaan Verlicht. Dalam sepuluh tahun terakhir, mereka melakukan upaya separatis dengan membentuk Republik Ujung Gunung, namun dalam beberapa kesempatan Albert yang kebetulan dekat dengan mereka mencoba datang dan menangani masalah ini.
Ditemukan alasan ketidakpuasan warga Kadipaten Ujung Gunung adalah karena kerajaan selalu mendiskriminasi mereka sebagai orang gunung yang kolot dan menjadikan mereka warga kasta rendah kerajaan. Apalagi ras mereka dikatakan sedikit lebih gelap daripada warga kerajaan lain. Maka dari itu, Albert yang dikatakan sebagai orang nomor dua di suksesi kerajaan menjadi jaminan Kadipaten Ujung Gunung akan setia kepada Albert, selama Albert masih hidup.
Albert memanfaatkan kemampuan warga kadipaten yang cakap dalam permesinan dalam risetnya untuk membuat sebuah kecerdasan buatan yang berbasis penggunaan sihir. Albert begitu kuat dalam penggunaan sihir digabung dengan kemampuan permesinan warga kadipaten membuat kecerdasan buatan, yang akan berguna entah dalam perang menggantikan manusia atau dalam banyak hal.
“Kak Albert, boleh aku masuk?”
“Ya ampun, Linda. Sudah kubilang, selama kita bekerja di divisi riset panggil aku ketua,” ucapnya sedikit kesal. “Ah, saya sendiri memanggilmu Linda. Maafkan aku, Sekretaris Linda,”
“Haha, maafkan saya Ketua Albert. Ini kopi yang barangkali Anda butuhkan.”
Seorang wanita muda bernama Linda dengan rambut pendek datang membawakan secangkir kopi kepada Albert yang masih terpaku pada kertas-kertas riset yang tampaknya menumpuk di meja kerjanya.
“Terima kasih, Sekretaris,” kata Albert dengan sopan menerima kopi dari Linda kemudian menyeruputnya. “Ah! Maafkan aku, Linda. Kalau sebelumnya aku kasar. Aku hanya sedang menghadapi semacam hari-hari hectic,”
“Oh tidak apa-apa, Kak Albert,” ucap Linda riang, menghibur kakaknya itu. Dia melirik Albert yang tampak berbeda hari ini dan bertanya, “Bagaimana baju barumu itu, Kak?”
“Lebih baik daripada baju kerajaan,” balas Albert bercanda. “Jujur saja, pakaian kerajaan cukup panas.”
“Haha, betul juga!”
Berbeda dengan pakaian saat dia di rumah yang serba mewah, pakaian saat bekerjanya kini hanyalah pakaian dinas lapangan berwarna merah gelap seperti baja berkarat. Tidak ada gelar kepangeranan dan kerajaan di bajunya itu, hanya badge bertuliskan Albert Verlicht dan Chief di bawahnya, itu saja. Dia lebih nyaman menggunakan pakaian itu karena dia bisa tiba-tiba pergi dari ibukota kerajaan ke kadipaten yang jaraknya tiga jam perjalanan kereta cepat.
Berbicara soal hubungan Albert dan Linda, mereka tampak dekat karena memang mereka adalah adik-kakak. Linda adalah adik angkatnya dari istri baru ayahnya Gilbert yang menikah sepuluh tahun lalu. Istri baru Gilbert, Amelia Bergrug (sekarang Amelia Verlichten) memiliki seorang anak dari mendiang suami sebelumnya, yaitu Linda Bergrug.
Jarak umur Albert dan Linda adalah tujuh tahun ketika awal bertemu saat Albert masih berumur lima belas tahun. Kini, sepuluh tahun kemudian, Linda yang baru saja lulus dari pendidikan khusus kerajaan langsung didapuk menjadi sekretaris Albert sesuai permintaan Albert sendiri.
Secara darah memang Linda tidak memiliki darah bangsawan karena kedua orang tuanya adalah rakyat biasa. Keberadaan Linda Bergrug di kerajaan adalah pelecehan karena walaupun ibunya kini bangsawan, dia tidak memiliki darah bangsawan dan tidak pantas menyandang nama Linda Verlicht. Tidak ada saudara dan kerabat kerajaan lainnya yang dekat kepadanya kecuali Gilbert, Amelia, Albert, dan adik bungsunya yang masih sepuluh tahun.
Albert sendiri tidak begitu dekat dengan saudara seperti adik pertama dan keduanya yang kembar karena perbedaan cara mereka memandang kehidupan. Tetapi entah mengapa dia merasa lebih dekat secara emosional kepada Linda, adik ketiga sekaligus adik angkatnya ini. Sebagai bentuk terima kasihnya karena sudah diterima, kini Linda mengabdi menjadi pelayan, ajudan, sekaligus sekretaris yang akan menjaga Albert sebagai bentuk terima kasih.
“Kenapa kamu tidak duduk, Linda,” tanya Albert heran, menatap adik angkatnya yang juga memakai pakaian dinas yang serupa, badge nama bertuliskan Linda Verlicht-Bergrug dengan jabatan Secretary terpampang di bawah namanya. “Kamu berdiri di depan sana malah mengganggu orang yang tiba-tiba mau masuk ke dalam, lho.”
“Ya maaf, Kak. Tapi ada hal penting yang harus aku sampaikan ke Kak Albert,”
“Hmm? Apa itu?”
Setelah pertanyaan Albert lontarkan, Linda tampak merogoh sesuatu dari saku belakang celananya yang berbentuk seperti kantong besar. Biasanya itu akan berisi bermacam gulungan dokumen, prototype yang dia kerjakan, hingga laporan singkat dari bawahannya di Badan Percobaan Persenjataan Mutakhir (BPPM) Kerajaan yang berpusat di Groneberg, ibukota Kadipaten Ujung Gunung dimana Albert bisa seminggu tiga kali pergi kesana.
“Ada hal yang ingin saya sampaikan mengenai hal ini,” Linda berjalan ke arah meja Albert, sambil membawa gulungan kertas yang tadi dia ambil dari belakang tubuhnya. Dia mengubah gaya bicaranya yang santai menjadi formal, tandanya ada hal serius terjadi. Albert mengetahui hal itu.
“Gulungan apa yang Anda bawa, Sekretaris?”
“Kerajaan mengirimkan ini kepada Anda, Ketua. Bisakah Anda membukanya.”
“Pasti tentang rencana penobatan saya menjadi putra mahkota, bukan?” kata Albert menerima gulungan itu sambil menaikkan sebelah alisnya. Setelah itu dia membuka gulungan kertas itu. Tampaklah tulisan dari Raja Gilbert, ayahnya yang ditulis dengan tulisan latin.
Untuk
Kepala BPPM, P. Albert Verlichten.
Aku tahu kamu tidak menyukai ini, tetapi demi kerajaan kamu harus menjadi putra mahkota. Apalagi warga Kadipaten Utara adalah loyalismu. Kalau warga kadipaten mendukung ini, maka mereka tidak akan lepas dan membentuk Republik Ujung Gunung. Pikirkanlah demi keutuhan kerajaan.
Rg. K. Gilbert Verlichten
“Hah, surat itu datang lagi,” keluh Albert sambil melemparkan surat it uke bawah. Setelah itu ia menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya dan berkata, “Katakan pada ayah, aku tidak suka memikirkan negara ini terlalu jauh. Lagipula, bukannya Adrian yang mendapatkan pendidikan militer kerajaan dari awal harusnya lebih baik daripada aku yang memilih pendidikan formal rakyat biasa?”
Adik Albert, Adrian Verlicht, secara kemampuan memang memiliki segalanya. Kemampuan dalam memimpin militer, bertarung, bahkan rumor dari rakyat Pangeran Adrian bisa memukul mundur satu kompi pasukan musuhnya seorang diri. Adrian adalah kandidat terkuat untuk menjadi raja, bukan Albert. Lagipula latar belakang pemangku jabatan Kerajaan Verlichten adalah raja dengan pangkat militer yang tinggi. Adrian kini sudah berpangkat Kolonel, naik satu tingkat lagi sudah Letnan Jenderal. Sedangkan Albert sendiri pangkat militer tidak ada, karena dia memang tidak minat di militer.
Albert sendiri pernah mendapatkan pendidikan militer kerajaan sejak umur dua belas tahun, hanya saja saat umur lima belas tahun dia melarikan diri ke Kadipaten Utara (selanjutnya Kadipaten Ujung Gunung kita sebut sebagai Kadipaten Utara). Disitulah dia belajar dan bertemu dengan gurunya dan tertarik dengan dunia permesinan dan sihir karena guru dan orang-orang Kadipaten Utara.
Sepulangnya dari pelarian diri, dia menyatakan ingin membuat sebuah senjata berbasis kecerdasan buatan dan sihir. Gilbert tertarik dengan ide itu dan langsung menyetujuinya. Hal ini tentu menguntungkan dua pihak: Albert bisa mengembangkan dirinya, Kadipaten Utara setia kepada kerajaan. Karena itulah dibuatlah pendidikan khusus untuk Albert dan warga kadipaten terpilih. Dan pendidikan khusus ini juga didapatkan oleh Linda beberapa tahun kemudian, sebagai tangan kanan Albert.
“Ya ampun, bagaimana aku harus menghadapi ayah kalau kamu menjawab seperti ini?” Linda garuk-garuk kepala. “Aku juga harus menyampaikan jawaban pada ayah secepatnya, kau tahu.”
“Katakan, aku tidak tertarik dengan perebutan suksesi kerajaan antara aku, Adrian, atau Vincent,” kata Albert menunjukkan tablet yang menampilkan gambar situasi proyeknya di BPPM Groneberg. “Juga, laporkan pada mereka bahwa BPPM Groneberg sudah berhasil menyelesaikan senjata andalan yang akan menggantikan manusia dalam perang. Kini robot itu akan masuk ke masa percobaan. Medan perang dengan korban jiwa rendah, tak lama lagi akan aku wujudkan,”
Dari tablet itu, tampak banyak sekumpulan robot yang diproduksi massal di BPPM Groneberg yang akan menggantikan peran serta manusia dalam perang di masa depan.
#penulis#Indonesia#draft#cerita pendek#cerpen#penulis indonesia#sastra indonesia#fantasi#sains fiksi#scifi
2 notes
·
View notes
Text
Jurnal 2
Dengan tenagaku yang cukup banyak sejak bangun tidur tadi, aku berlari menuruni bukit yang cukup tinggi ini. Seperti sebuah lagu yang pernah aku dengar di dunia nyata, aku benar-benar menuruni gunung, melewati lembah. Sampai tibalah aku di salah satu hutan lebat yang menyerupai hutan hujan dengan sungai besar yang mengular di sebelahnya.
“Wow, sepertinya aku akan beristirahat disini dulu,”
Walaupun aku memang tidak merasakan letih, waktu yang sudah menuju malam hari menandakan aku untuk istirahat. Aku memutuskan untuk bermalam di salah satu lembah landai dengan sungai yang mengalir dari hulunya. Sampai di pinggir sungai, aku berusaha untuk setidaknya mencuci mukaku atau meminum air yang mengalir dengan jernih dari hulu ke hilir.
“Ampun! Dingin kali,”
Entah mengapa padahal sebelumnya tubuhku merasa biasa saja, tetapi tiba-tiba setelah menyentuh air sungai aku bisa merasakan cuaca dingin pegunungan menembus tubuhku yang hanya dibalut kaos tipis abad pertengahan. Aku lupa kalau cuaca pegunungan akan lebih dingin karena memang semakin tinggi tekanan udara di pegunungan. Logika ini masih terpakai, aku mulai berpikir kalau aku terlempar di masa lalu karena jika aku terlempar di dunia fantasi, dunia itu akan mengesampingkan logika. Kurasakan wajahku yang sedikit berdebu, maka dengan dingin-dingin begini aku membasuh wajahku, disitulah aku melihat wajahku yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
“Oh, wow! Ini wajahku? Rasanya lebih muda daripada wajahku sebelumnya”
Di sungai yang jernih itu, tampaknya aku melihat wajahku pertama kali setelah aku diturunkan di tempat antah berantah ini. Wajahnya memang mirip dengan wajahku saat dewasa sebelumnya: rambut hitam, wajah kuning cemerlang khas Asia Tenggara, dengan tinggi badan yang standar, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.
Sambil terkikih kecil, aku memegang wajahku yang tampak seperti anak remaja ini. Wajahku mirip dengan wajahku saat berumur tujuh belas tahun. Atau memang mungkin terjadi regresi wajah ketika aku diturunkan di tempat yang aku kira sebagai masa lalu ini? Entahlah. Yang penting aku cukup bahagia kalau aku benar-benar dimudakan lagi.
“Kalau logika bekerja,” lanjutku. “Berarti membuat api dengan batu api dan ranting bisa aku lakukan bukan?”
Aku melirik batu-batu putih muntahan vulkanis dan juga ranting dan dedaunan yang tergeletak banyak di pinggir sungai. Aku memutuskan untuk mengumpulkan beberapa ranting dan batu untuk aku buat sebagai api, teman malamku selama berkemah tanpa atap di pinggir lembah landai yang didominasi batu sedimen ini. Setidaknya malam ini aku tidak kesepian, melainkan akan ditemani dengan api, desir hulu sungai nan jernih, dan juga kelip bintang yang tidak akan pernah aku lihat di masa depan.
“Wow, menyala!”
Teoriku benar! Setelah kedua tanganku menggosok-gosok kedua batu api untuk memercikkan api, api itu jatuh dan membakar ranting dan daun kering yang cukup untuk menerangi dan menghangatkan malam. Jadilah api unggun yang menerangiku, satu-satunya yang ada di pinggir sungai itu.
“Ngomong-ngomong, selama aku perjalanan aku tidak membuka tas kecil yang aku bawa,”
Mengabaikan api unggun. Aku melirik tas berbentuk seperti karung kecil ini. Setelah itu aku membuka dan disana ternyata ada beberapa benda: satu buku, satu botol minum kecil, bungkus makanan berisi lima helai roti, dan sebuah jubah tipis yang bisa aku gunakan nanti saat tidur.
“Oh, ada jubah tipis!” teriakku riang. “Kenapa tidak dipakai dari tadi ya?”
Hal pertama yang aku ambil adalah jubah tipis. Karena cuacanya yang semakin malam semakin dingin, maka memakai jubah ini setidaknya mengurangi cuaca dingin yang masuk ke dalam tubuhku.
“Hangatnya,”
Walaupun tipis begitu, entah mengapa bahannya bisa menahan panas tubuh lebih lama. Mirip seperti bahan flanel yang aku kenal, awalnya digunakan untuk bahan taplak. Tetapi setelah beberapa saat, bahan flanel dipakai oleh pendaki karena ringan namun menahan panas keluar dari tubuh.
“Ada satu buku, botol minum kecil, dan lima lembar roti,” kataku sambil memandang ketiga benda itu. “Setidaknya ada lima lembar roti, aku gunakan dua untuk makan malam saja kali ini?”
Dengan panasnya api, aku mulai memakan selembar roti untuk hari ini. Sudah lama aku tidak memakan roti untuk sarapan. Terakhir kali adalah ketika aku berlibur di Eropa karena selama di Asia aku akan sarapan dengan nasi. Dengan lahap, aku memakan selembar roti itu karena itu satu-satunya benda yang aku bisa makan malam ini. Usai makan, aku meminum sedikit air dari botol yang tersedia dalam tasku.
Setidaknya ini adalah hal yang bagus untuk mengakhiri hari, yang sebenarnya aku mulai sejak senja tadi di tanah yang tidak dikenal ini. Dengan remang-remang malam, aku saksikan bukit dimana tempat aku spawn tadi, oke lebih mudah katakan spawn saja. Bukit dengan padang rumput itu sedikit tersinari oleh bulan yang sedang purnama dan juga kelip malam yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
“Wah, indah sekali!” pujiku. “Tetapi tidak mungkin, bukan? Kenapa di bukit itu tumbuh padang rumput. Mungkin ada beberapa pegunungan yang bisa ditanami rumput. Tapi yang lebih penting,”
Aku mengalihkan pandanganku kepada tas yang aku bawa. Di dalamnya ada sebuah buku berwarna hitam yang tampaknya tidak begitu asing. Aku mengambil buku itu, dan melihat di depannya ada tulisan bertuliskan ‘Jurnal dari Orang yang Hilang’
“Buku ini?” kataku sambil membuka halaman depan. “Ini bukannya, jurnalku?”
Buku itu adalah jurnalku ketika aku masih ada di dalam kamarku. Di dalamnya terdapat jurnal yang menceritakan keseharianku sebagai seorang yang berjuang mencari kerja setelah lulus kuliah. Di jurnal itu pula aku menumpahkan keluh kesahku terhadap ketidakadilan, permasalahan keluarga, dan teman-teman yang berkhianat. Aku membuka halaman demi halaman, sampai akhirnya di catatan terakhirku sebelum aku berpindah. Catatan itu tertulis:
‘Seandainya aku hidup di dunia baru, mungkin aku akan lebih bahagia’
“Kenapa tiba-tiba tinta di catatan terakhirku berubah menjadi emas?”
Satu pertanyaan muncul di pikiranku. Belum usai tentang dunia yang baru ini, pikiranku disuruh mencerna apa maksud dari emasnya tinta. Selain itu, ada sepucuk amplop yang menempel di bawah kata-kata itu. Sepertinya di dalamnya ada surat. Tapi, dari siapa?
“Di bawahnya ada amplop putih?” kataku sambil menarik lepas sepucuk surat yang menempel itu. “Kira-kira dari siapa ya?”
Aku membuka surat itu. Dan tertulis:
Untuk Adrian.
Hai, Adrian! Perkenalkan namaku Antara. Seperti namanya, aku adalah dewi yang memperantarai orang yang menyesali kehidupan lamanya dan membawa orang yang menyesal itu untuk bahagia di dunia yang baru agar bahagian. Dengan adanya surat ini, aku ingin memberitahumu.
Kamu telah menukar separuh awal ingatan kehidupanmu, dari saat bayi hingga beranjak SMP, dengan kekuatan yang cukup besar. Kamu juga menukar ingatan saat bertemu denganku untuk berkah Dewi Antara. Kamupun juga memintaku untuk menulis surat ini agar kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Aku berharap dimanapun kamu berada kamu akan menemukan kebahagiaan tidak seperti di duniamu yang lama.
Dan juga, untuk mengetahui mengenai stats, skill, atau inventory, atau tutorial kau cukup melakukan drag down dengan ketiga jari tengahmu. Disitu kamu akan melihat semuanya. Dan ya, mungkin kau akan bertanya-tanya apakah kau akan ada di masa lalu atau dunia lain? Aku pertegaskan: Kamu ada di dunia lain, dan tidak ada hubungan kronologi tempatmu hidup dulu dengan sekarang.
Sebelum turun ke dunia ini, kamu diberikan satu proteksi daripada cuaca dan bahaya daripada serangan hewan liar. Proteksi ini akan hilang ketika tanganmu menyentuh air. Aku, Dewi Antara adalah dewi api. Jadi tolong berhati-hatilah usahakan jangan sentuh air. Kalau sudah menyetuh air, kau akan merasakan panas-dingin, dan juga rasa sakit ketika digigit hewan liar.
Juga aku menyiapkan tas berisi jurnalmu di dunia sebelumnya, persediaan makan dan minum, serta jubah anti-dingin yang aku siapkan apabila berkahku hilang karena kecerobohanmu.
Sekali lagi, aku berdoa semoga keselamatan akan selalu berada di sisimu.
Salam hangat, Dewi Antara.
“Begitu ya?”
Aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh aku sebelum ingatanku hilang setelah bertemu dengan Dewi Antara. Aku juga tidak tahu apa yang aku tukarkan dengan ingatanku sejak kecil. Tapi, setidaknya separuh ingatanku masih ada untuk dijadikan pelajaran dan pengalaman agar aku bisa maju lebih jauh di dunia ini.
“Dan yang terpenting,” aku melirik sungai. “Berkah dewi apiku hilang di hari pertama? Karena sungai?”
Pantas saja sebelumnya aku tidak merasakan dingin walau di puncak bukit, tapi kini dinginnya cukup terasa walaupun memang sudah lebih hangat karena jubah anti dingin. Sepertinya Dewi Antara juga sudah mempersiapkan ini untuk plan B. Apapun itu, terima kasih Dewi Antara.
“Dunia lain, ya?” kataku sambil sedikit terkikih menatap bintang yang berkelip tidak beraturan. “Tidak buruk juga! Inilah dunia baru yang aku inginkan, bukan?”
53 notes
·
View notes
Text
Jurnal 1
Silir angin menerpa tubuhku yang entah mengapa tiba-tiba saja aku mendarat di tempat yang tidak aku kenal. Bagaimana tidak? Beberapa saat sebelumnya, aku ingat kalau malam sudah tiba dan tidur dalam keputusasaan bertemankan masa depan yang gelap. Akan tetapi, kini aku tidur beralaskan rerumputan yang menggelikan sambil menengok langit biru yang mulai berwarnakan senja.
“Ini dimana?”
Itulah pertanyaanku ketika melihat sesuatu yang berbeda di dunia ini. Tidak terlalu lama menatap langit, aku bangkit dari tidurku dan mencoba untuk duduk dan melihat-lihat sebenarnya apa yang telah terjadi. Namun, kedua mataku tidak pernah menyangka kalau semuanya seperti berubah.
“Wow! Yang benar saja?”
Pemandangan yang aku lihat sebelumnya adalah pemandangan perkotaan dengan gedung-gedung tinggi dan manusia-manusia yang berjalan kesana kemari tanpa melirik satu sama lain, menggambarkan kehilangan jiwa sosial mereka. Pemandangan itu membawa kesan mati segan hidup tak mau. laksana zombie yang aku lihat dalam film-film. Apalagi semakin modern dunia manusia, maka semakin hilang kemanusiaan di dunia. Pemandangan itu terhapuskan dengan warna-warna indah nan cemerlang yang aku lihat saat ini dengan mata kepalaku sendiri.
Jika dilihat-lihat secara seksama, pemandangannya mirip seperti kota-kota abad pertengahan yang masih dikelilingi oleh padang rumput dan sedikit gurun yang belum terjamah di beberapa tempat yang jarang. Apalagi ketika aku memandanginya dari suatu tempat tinggi, yang sepertinya mirip seperti bukit.
Kalau dipandang seksama ada sekitar puluhan kilometer di kaki bukit sana, ada jejeran bangunan ramai dengan banyaknya penduduk yang melintas seperti semut-semut yang berjalan. Di tengah kota, ada sungai yang membelah dua bagian itu secara simetris dengan airnya yang jernih, tidak seperti kota yang aku pandang sebelumnya yang hitam legam dengan limbah industri. Ditambah pula dengan satu tembok keliling segi empat yang membatasi, semakin yakin kalau bangunan di dalam tembok itu adalah sebuah kota besar terdekat dengan tempatku duduk kini. Di luar tembok keliling kota, aku juga lihat ada beberapa desa kecil yang berjarak berjauhan satu sama lain.
“Kalau begini, ada dua kemungkinan yang terjadi kepadaku,” kataku sambil menggaruk rambutku, berpikir sejenak. “Antara aku terbawa ke abad pertengahan, atau kemungkinan kedua adalah aku terbawa ke suatu dimensi lain, seperti kisah petualangan antar dunia yang sering aku lihat dalam animasi Jepang,”
“Tapi bukannya itu hal fantasi, ya?”
Situasi ini memang membuatku ada di posisi percaya-tidak percaya. Aku tidak paham tentang apa yang terjadi, apakah aku terbawa mesin waktu ke era abad pertengahan atau malah terlempar ke dunia lain ketika tidur. Aku berusaha untuk mengingat apa yang terjadi sebelum aku terlempar di dunia yang tidak aku kenal ini.
“Kalau tidak salah, terakhir kali aku memang tidur sambil menangisi kehidupanku yang entah mengapa begitu-begitu saja,”
Ya, benar. Sebelumnya aku adalah pria seperempat abad tanpa pekerjaan yang mengeluh karena pekerjaan di era modern ini cukup sulit didapat. Apalagi dengan syarat yang tidak masuk akal dan juga diskriminasi antar-generasi dengan pembagian kastanya. Pembagian kasta ini juga membuat karir generasiku malah tidak berkembang.
Generasi atas menganggap generasiku seperti generasi tidak berguna, gampang kena mental, dan lain-lain. Akibatnya banyak generasiku yang kena mental bahkan ada yang mengakhiri hidup mereka seorang diri dengan menggantungkan tali ke leher, meminum racun, atau menabrakkan diri mereka pada kendaraan yang melaju cepat.
Sejatuh-jatuhnya mentalku, aku tidak pernah berpikir demikian. Aku yang berpendidikan terakhir sarjana filsafat, masih berusaha untuk mencari pekerjaan bahkan melakukan pekerjaan freelance untuk menyambung hidup. Kadang menjadi seorang penulis lepas, penjaja koran, cleaning service, ojek online, aku jalani. Asalkan memiliki uang, aku masih bisa menyambung hidup.
Di satu sisi aku masih melakukan hobiku sejak kecil, yakni selalu membuat sebuah jurnal tentang apa yang aku lakukan hari ini, evaluasi hari ini, dan harus aku lakukan esok. Ya, mungkin ada terbesit satu dua kata mengenai apa yang aku inginkan ketika aku menulis sebuah catatan atau jurnal kehidupanku. Dan itu adalah:
‘Jika aku ingin melakukan reset, maka aku ingin hidup di era sebelum modern dimana manusia masih hidup sebagai manusia. Ataupun seandainya jika aku hidup di dunia lain, maka dunia itu adalah dunia dimana aku bisa berpetualang dengan ceria. Tidak seperti hidupku sekarang yang suram.’
“Ah, begitu rupanya! Apakah karena hal yang aku tulis itu?”
Candaan yang aku tulis dalam jurnal harian, Kalau dipikir-pikir itu malah lebih ke pengandaian saja. Tapi entah mengapa sepertinya Tuhan mengabulkan candaanku yang dinilai antara nyata-tidak nyata ini. Antara aku terlempar ke dunia lain atau aku terlempar di garis waktu lain. Apakah Tuhan lebih suka mendengar candaanku daripada doaku untuk mendapatkan pekerjaan? Yang benar saja!
“Kalau hanya berpikir, tidak akan ada habisnya!” kataku sambil bangkit dari dudukku. “Baiklah, kalau begitu aku akan menyelidiki dengan turun ke kota itu,”
Tidak perlu pikir panjang, aku menuruni bukit itu dengan langkah yang agak ragu. Tetapi setelah dipikir-pikir, entah ini di dunia lain atau di garis waktu lain ini tidak lebih buruk daripada era modern di duniaku sebelumnya.
“Hahaha!”
Aku tertawa sambil dengan berjalan riang, menikmati sore dengan angin yang menerpa.
“Haha! Sepertinya Tuhan mengabulkan doaku!”
Langkahku semakin cepat dan menurun. Dari yang awalnya berjalan, kini aku berlarian tanpa beban. Lepas dari dunia sebelumnya, aku berusaha untuk menikmati kehidupanku yang baru. Akan tetapi pertanyaan mengenai dunia ini, masih ada di dalam pikirku. Tapi, tidak perlu berat untuk dipikirkan karena aku pasti akan menikmati kehidupanku yang baru ini!
#penulis#cerita#indonesia#jurnal#cerita pendek#penulis indonesia#cerpen#sastra#sastra indonesia#fantasi
23 notes
·
View notes