Photo
RPGs, or relentlessly persistent girls by cassandrha
147K notes
·
View notes
Text
when you’re with me, what do you feel? (curiosity doesn’t kill a cat, you know)
Ikeuchi Sae dan Emiya Sorei adalah kombinasi yang aneh, jika dipikir-pikir.
Sorei bukanlah tipikal pemuda yang bisa kamu temukan dekat dengan orang asing, yang selalu memasang raut muka tak bersahabat dan punya kata-kata tajam untuk diucapkan. Sementara Sae sendiri adalah gadis yang pemalu dan pendiam, lebih sering bersembunyi di balik bayang-bayang sementara orang lain bersinar dengan terangnya. Sae mengerti bahwa dasarnya dia dan Emiya-kun akan sulit untuk bercengkrama, lebih-lebih menjadi akrab, namun takdir selalu punya cara lucu untuk mewujudkan suatu skenario agar berjalan sesuai kehendaknya.
Sesi tutoring-lah yang pada akhirnya menjembatani kesenjangan antara dua teman sekelas yang nyaris tak pernah saling bicara sebelumnya itu. Sebuah kejadian ketika karya wisata-lah yang menjadi katalis hingga orang-orang tahu bahwa Emiya Sorei dan Ikeuchi Sae bisa dikatakan dekat.
Gadis Ikeuchi itu seringkali kepikiran… mengapa Sorei mau dekat dengannya? Reputasi sang dara sebagai korban penindasan sudah diketahui khalayak umum. Si pemuda pernah melihat dia disiram gula ketika pulang dari Shibata. Orang-orang pun sudah sering berkata nyinyir mengenai kedekatan mereka, Sae dengar, mempertanyakan apa yang Emiya Sorei lihat dari sosok Ikeuchi Sae sehingga mau dekat-dekat dengan si gadis aneh? (Meski demikian, rumor tak enak tentang Sorei pun sampai ke telinga Sae—tentang bagaimana pemuda itu aslinya berandalan, anak pemilik bar yang mengakomodasi prostitusi, dan lain sebagainya. Mempertanyakan mengapa Ikeuchi Sae tidak takut pada sosok Emiya Sorei yang mengerikan lagi misterius?)
Ia tahu reputasi Emiya Sorei di sekolah.
Tak sedikit orang yang menatapnya aneh, seolah bertanya lewat binar mata dan sorot menghakimi: dari semua orang, kenapa Emiya Sorei? Setelah berpikir, gadis Ikeuchi bisa mengatakan kalau dia melihat Sorei dari bagaimana pemuda itu memperlakukannya. Dan Sorei… selalu baik pada Sae. Tidak pernah memaksa. Selalu perhatian, lewat caranya sendiri yang perlahan bisa Sae pahami dan terima, juga selalu punya kata-kata baik untuknya. (Jangan bilang siapa-siapa… namun, tak hanya sekali dua kali perlakuan maupun ucapan Sorei padanya membuat jantung Sae melewatkan satu degupan. Memerahkan rona pipi, membuat senyumnya tertarik lebih lebar.)
“Emiya-kun.”
Masa ujian sebentar lagi. Sorei meminta Sae untuk menemaninya belajar di perpustakaan kota. Karena memang sedang senggang, sang dara menerima ajakan itu dengan mudah. Tak menyangka bahwa si pemuda akan menunggu di depan gedung dan menggandengnya serta ke dalam. Ketika mereka pada akhirnya menemukan meja kosong dan sudah mendudukkan diri dengan manis, Sae memutuskan untuk memanggil pemuda teman sekelasnya itu untuk menanyakan sesuatu.
Sorei menanggapi pertanyaan itu dengan kepala yang tertengadah, menatap tepat ke mata Sae—dan gadis berambut panjang itu harus menahan rinding dengan susah payah. Berusaha menemukan kembali keberanian yang mendorong dara untuk menyebut nama si pemuda, berusaha mengenyahkan kaku pada lidah ketika pada akhirnya bertanya juga.
“Emiya-kun… benar tidak apa-apa? Belajar bersamaku?”
Menggandeng tanganku? Berlaku baik padaku? Membiarkan aku tahu seberapa hangat genggaman tanganmu, seberapa cerah senyummu yang langka itu? Sae tidak bodoh. Ia tahu Sorei dekat dengan pemuda aneh dari kelas yang sama dengan mereka, yang terobsesi dengan puzzle dan tebakan, juga sang queen bee yang tak pernah ragu untuk melingkarkan lengannya pada bahu Sorei.
Tapi, tetap saja Sae ingin tahu… dari semua orang, kenapa dia?
Pemuda Emiya yang kini cat rambutnya perlahan luntur itu menelengkan kepala dan membiarkan kelopak matanya terkerjap. Satu, dua kali kerjapan. Bahu kurus Emiya belia kemudian terangkat dengan acuh tak acuh sementara tangan-tangannya sibuk mengeluarkan catatan dari dalam tas. Sae masih menunggu jawaban, semata karena ia ingin tahu apa yang membuat Sorei mau bercengkrama dengannya selama ini. Alasan dibalik mengapa pemuda Emiya itu selalu mengulurkan tangan padanya, apa yang dilihat oleh mata tajam Emiya Sorei atas sosok Ikeuchi Sae.
(Biar begitu, Sae tak akan mengingkari kalau sebesar apapun rasa penasarannya, ia juga takut untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan itu. Karena ia… tak berani, tak berani berharap.)
“Daijoubu.” Pada akhirnya, Sorei bersuara. Masih, masih menatap Sae dengan mata sipitnya yang tajam. “Nggak apa-apa, Ikeuchi. Aku senang kok, bersamamu.”
Ikeuchi Sae kemudian hanya menganggukkan kepala dan membiarkannya tertunduk. Bibir terbelah untuk membiarkan sebuah, “Oke…” lolos dari celah bibir. Merasakan detak jantung yang bertalu-talu. Perasaan kelewat campur aduk dalam hati, dalam pikiran, tanpa bisa difilter. Kalimat yang diucapkan Sorei bergaung dalam kepala, membuat Sae menyembunyikan senyum.
Senang bersamamu… ya, Emiya-kun?
0 notes
Quote
I write so as not to suicide. And yet – I suicide. I stop writing. Whenever I don’t write I commit violence to myself. I write instead of kicking and screaming. I write instead of dying.
Kate Zambreno, from Apoplexia, Toxic Shock, and Toilet Bowl: Some notes on why I write (via lifeinpoetry)
972 notes
·
View notes
Quote
you are walking in a forest and it is darkand the sky is raining stars upon you;you are walking in a forest and the wolvesare howling a symphony of storms;you are walking in a forest and you are aloneand stones are cutting into your feet,you think you swallowed the scent of sun-and-ashbecause it is lingering in your mouth like a forgotteni love you that you never did manage to sayyou are wondering if maybe red riding hood lovedthe wolf in another world, or maybe the wolfloved her so much he would tear apart her worldand you wonder if that is truly love or if it isanother beast entirely; you wonder if love is supposedto taste the way rain does in the afterglow of a stormand you are walking in a forest and wishing you couldturn back time and live again and live better and lovemore than you ever did in the days when youwere still alive.
post mortem [maliahaling] (via maliahaling)
her, about him.
258 notes
·
View notes
Quote
there are gods inside your mind gods and monsters, angels and devils (it’s true what they say – where’s there’s one there is always the other) oh, your blood is sickly sweet to the divine ruby rivers of sins and saints and storms they’d eat you up for dinner, my dear if you give them a penny, you give them a pound your pulse purrs to pains and pleasures such sinewy secrets slithering down your spine your body is a dream for the demons and the deities a cage of crimson curls and cuts all to catch a little ballerina girl balancing on breaths he says, trust me, trust this start, trust your heart and you think, trust is not for a woman made weapon here you are, sharp steep slopes and spinning stars a heart made of hollow hopes and hissing hurts life is limitless and loud and lonely for little girls who only ever learned how to run
en pointe | m.j. | commission a poem (via fairytalesques)
1K notes
·
View notes
Quote
you are growing roots into his heart and planting forests in his hands the best way to love a broken boy is to hold on tight and let him build a kingdom out of you
treehouses | m.j. (via fairytalesques)
from my broken boys to the girl(s) they love.
761 notes
·
View notes
Photo

Lee Som - InStyle Weddings Magazine October Issue ‘13
21 notes
·
View notes
Photo

Min Hyo Rin - J Style Magazine 2011
8 notes
·
View notes
Photo

Min Hyo Rin - Arena Homme Plus Magazine March Issue ‘15
81 notes
·
View notes
Text
“You’re the only one.”
You're the only one they ever loved, the only one that cared.
You're the only one that ever mattered, the only one there.
You are the only one.
Hiragaishi Seiryuu membuka mata dan merasakan peluh dingin jatuh menuruni pelipis. Ada napas yang ditarik berat sementara tubuhnya yang semula terbaring kini telah berubah posisi menjadi duduk. Bulan masih menggantung di langit malam. Jam digital yang bertengger di almari menunjukkan bahwa fajar belum menyingsing dan akhir minggu baru saja dimulai. Seiryuu berusaha untuk mengatur napas agar dirinya tak sampai hyperventilating, namun hal tersebut dirasa berat untuk dilakukan.
Mimpi buruknya kembali lagi.
Padahal, Seiryuu kira, setelah Tousan tak lagi tinggal bersama Kaasan, mimpi-mimpi itu tak akan pernah datang lagi. Dia sudah merasa senang, merasa lega, merasa aman. Sei sudah berkata pada Yumi agar tak lagi mengkhawatirkan sesi-sesi malam yang dipenuhi jeritan karena hal itu tak akan terjadi lagi, percaya saja padaku. Tapi kenyataan berkata lain. Belum setahun sejak perpisahan itu, naga marun dan penyihir jahat kembali menyerang. Lebih gelap, lebih membuat putus asa, segala hal yang tidak bisa bungsu Hiragaishi itu tangani seorang diri.
Tidak ada Ume yang kasurnya bisa dia susupi. Mengganggu Kaasan pun dia takut karena... ini suatu hal yang remeh, mimpi-mimpi buruknya itu. Cuma manifestasi dari segala perasaan negatif yang berkembang selama ini. Pikiran-pikiran yang mengendap mengenai his father issues, usahanya yang seolah tak pernah berhasil untuk masuk tim utama di klub, performa akademisnya yang belum membaik juga. Segala hal yang berkaitan dengan--
“Seikkun?”
Kuso.
Dia lupa kalau jendelanya terbuka dan tetangga sebelahnya biasa bangun pada jam-jam seperti ini. Pemuda itu bisa melihat sosok sang gadis yang terbingkai oleh jendela, melongok dengan khawatir kearah kamarnya. Kerutan di dahi, binar mata cemas, bibir yang mengerucut; semuanya ada dalam ekspresi wajah Yumika Kitahara dan Seiryuu Hiragaishi merasa sangat, teramat, bodoh. Seiryuu mengangkat tangan dan mendekatkan diri ke jendela yang menghadap ke kamar anak perempuan Kitahara. Menghela napas selagi jari-jarinya mengacak rambut sebelum berujar, “Gomen. Teriakanku keras ya, barusan?”
Dara menggelengkan kepala. Air mukanya masih cemas, kali ini diindikasikan dengan bibir bawah yang tergigit juga kelopak mata yang terkerjap. Seiryuu menahan impuls untuk melompat dari jendela ini dan menginfiltrasi kamar Yumika, mengurungkan niat untuk memeluk si teman masa kecil karena, ayolah, hal itu malah akan membuat masalah. Orangtua mereka pasti akan mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Seiryuu dan Yumika sudah bukan anak kecil, sudah tidak bisa memamerkan keakraban mereka tanpa mengundang kesalahpahaman diantara teman-teman mereka, tapi...
“Seikkun,” namanya kembali dipanggil. Seiryuu mendongak, menemukan tangan gadis itu terentang lebar seolah hendak memeluk dan bungsu Hiragaishi merasa tenggorokannya tercekat karena berbagai alasan. “Kan aku udah bilang, kalau mimpi buruknya datang lagi Seikkun boleh kesini.” gadis itu berkata dengan senyum halus. “Nanti aku yang usir mimpinya supaya nggak ganggu Seikkun lagi.”
Bungsu Hiragaishi mendenguskan tawanya. Berlaku defensif.
“...apaan, sih, Yumicchan.”
Gadis Kitahara masih merentangkan tangan, masih mengulas senyum yang sama. Seolah berkata, kemarilah; tidak apa-apa. “Seikkun yang apa.” Tawa pelan merincing. Anak lelaki yang rambutnya masih berantakan itu mengalihkan pandangan, memalingkan wajah. Berusaha menyembunyikan malu. Berusaha menyamarkan akselerasi degup jantung dan perasaan hangat yang menjalar dari hati ke seluruh bagian tubuh. “Sini, sini.”
Napas terembus, tanda menyerah. Kepala pemuda Hiragaishi kembali diangkat, menahan pandangannya agar bertemu dengan milik gadis Kitahara di seberang sana. “...jangan nyesel, lho.” itu diucapkan dengan pelan dan raut wajah tanpa ekspresi biasa yang khas Seiryuu, sebelum anak laki-laki itu mengambil ancang-ancang dan melompat dari jendelanya ke balkon kamar Yumika yang berjarak hanya dua meter dari rumahnya. Seiryuu langsung menabrak Yumika, membuat anak perempuan itu otomatis melingkarkan kedua tangannya pada punggung si pemuda. Mereka jatuh diatas kasur sang gadis, sehingga efeknya tak begitu menyakitkan, tapi Seiryuu tetap khawatir atas keadaan sang osanajimi.
“Daijoubu?”
Tanya itu terlontar bersamaan dari bibir dua insan yang berbeda. Sepasang anak adam itu bertukar pandangan dan senyum yang sama mulai menghias paras mereka. Tunggal Kitahara kemudian mengelus puncak kepala bungsu Hiragaishi dan pemudanya hanya memutar bola mata sebelum menarik tubuh gadis itu mendekat. Puncak kepala Yumika tepat berada dibawah dagu Seiryuu dan dia memeluk sang gadis seperti ketika mereka berdua berumur sepuluh atau sebelas tahun lebih muda daripada saat ini. Ada lullaby yang terdengar, digumamkan oleh gadis yang berada dalam rengkuhan. Seiryuu dapat merasakan detak jantungnya melambat, napasnya lebih lambat, dan pikirannya mengosong dengan begitu cepat...
“Oyasumi, Seikkun.”
--dan mimpi buruknya tak lagi menghantui ketika Seiryuu kembali jatuh terlelap.
0 notes
Text
i don't expect much, really.
dalam rangka merayakan munculnya youngjae dan chanmi di let's go dream team yang menandakan resmi berlayarnya crackship saya. #pentink kurang lebih berdasarkan rolechat sama manda... pada... suatu masa. #... didedikasikan juga buat manda, yang mau aja ngeladenin saya (....) aku sayang kamuh dek. yugyeom/yerin kapan-kapan ya. #heh title credit goes to bestie's love options, yang juga soundtrack resmi (...) fic ini. . . . "Youngjae-yah." Gadis yang sedang duduk diatas pembatas tangga itu memanggil seorang pemuda yang tengah duduk menyadar pintu, tatapan dari mata sayunya datar. Ada gelembung permen karet yang mengintip dari celah bibir delima dan sebelah telapak tangan si anak perempuan terangkat untuk menghalangi sinar matahari yang menusuk mata. Yang namanya dipanggil mendongak dari tempatnya duduk bersandar, mulut pemuda Choi itu penuh dengan nasi dan nori dan Chanmi tidak bisa untuk tidak merengut ketika Youngjae mengerjapkan matanya dengan lagak sok imut. "Hwapwah." ...terkadang Kim Chanmi mempertanyakan alasannya membiarkan Choi Youngjae menjadi temannya hingga saat ini. Gadis berambut panjang itu menahan keinginan untuk facepalm ketika ia mengunyah permen karetnya dengan berisik, seolah hendak bersaing dengan tampang bego Youngjae dengan mulut penuhnya. Anak perempuan Kim mendecak sebelum ia melompat turun dan mengubah posisinya hingga sang dara kemudian berjongkok dihadapan Youngjae. Pemuda itu juga sudah berhenti mendongak, kini menatap balik anak gadis yang sudah dikenalnya sejak menginjak bangku SMA. Chanmi tersenyum miring sebelum memindahkan kotak bento yang ada di pangkuan Youngjae ke lantai, mendudukkan diri di pangkuan si pemuda, dan menutup paksa mulut Youngjae yang masih terbuka itu dengan mendorong dagunya. Youngjae tersedak. Matanya yang sudah terbelalak jadi makin bulat. "Mukamu jadi makin jelek kalau nggak jaim tahu, Youngjae-yah." Chanmi menyeringai, masih dari tempatnya di pangkuan pemuda Choi. "...apaan sih kamu ah bikin kaget aja." Misuh-misuh, Choi Youngjae kita. Merasa tersindir dan tertohok oleh ujaran Chanmi barusan. "Mukaku gak jelek." Cubitan untuk pipi si gadis dilayangkan, dengan sumpit sakti yang masih ada di tangan. Ada sebutir nasi yang kemudian menempel di pipi putih sang dara. "Kamu aja yang gak tahan sama kegantenganku, Chanmi-yah. Ngaku aja." Cengiran sok ganteng menghias paras si anak lelaki. Chanmi memutar mata sebelum mencondongkan tubuhnya dan menyentil dahi Youngjae, yang kontan saja membuat si pemuda meneriakkan sebuah, "YAH!!" sekeras yang ia bisa. Anak perempuan itu cuma tersenyum tipis sebelum mengerucutkan bibir dengan lagak mengejek, "Jangan narsis." sebuah dengusan mengikuti. "Nggak pantes." Youngjae cuma bisa mengelus dahinya sambil mencebik, dalam diam merutuki bagaimana Kim Chanmi itu anarkis dan seharusnya tidak ada anak perempuan yang begini dan mengapa dulu aku mau berteman dengannyaaa. Sementara itu Chanmi cuma menontoni perjuangan batin si teman dengan seringai amused yang masih terpasang di wajah, kali ini tangannya bergerak untuk mengelus puncak kepala si pemuda--yang sukses membuat anak lelaki Choi itu mendengus biar ekspresi wajahnya tak semasam sebelumnya. Ini hal yang biasa dalam keseharian mereka berdua, pertengkaran kecil dan sindiran juga halus. Youngjae dan Chanmi punya cara mereka sendiri untuk berkomunikasi, untuk berkata kalau mereka peduli, untuk membuktikan pada dunia bahwa mereka ada.
Kim Chanmi bukan orang yang bisa dengan mudah melakukan skinship, yang punya lidah tajam dan tatapan mata tak bersahabat, tapi ada sesuatu dari kecerobohan Choi Youngjae dan kepercayaan dirinya yang halus dan tawa si pemuda yang membuat gadis belasan tahun itu merasa nyaman dan mau membuka hati. Bukan hal yang aneh, sesungguhnya, jika kau mendengar gosip mengenai dua sejoli ini--biasanya selalu kabar jelek, dengan Chanmi sebagai antagonisnya dan Youngjae sebagai korban. (Andai saja mereka tahu, bagaimana Chanmi membasahi pundak Youngjae dengan airmata tatkala ia mendengar kabar bahwa kakaknya, Seolhyun, mengalami kecelakaan yang membuatnya cacat; bagaimana Youngjae berteriak dan melemparkan barang ke dinding sementara Chanmi mengeratkan pelukannya pada si pemuda ketika ia dan Jackson bertengkar. Bahwa hubungan mereka tidak sesederhana yang nampak pada publik. Selalu ada kompleksitas yang berbeda, yang membuat ikatan ini jadi milik Kim Chanmi dan Choi Youngjae saja--bukannya yang lain.)
"Chanmi-yah." Si pemuda berkata kemudian, menepuk pipi gadis yang dipangkunya dengan jari, ketika matahari sudah berada tepat diatas kepala. Dara cuma menggumam sembari menyenderkan kepalanya pada dada si anak lelaki, matanya mengerjap dan membuka bergantian. Youngjae terkekeh, meletakkan tangannya disekitar bahu Chanmi sehingga secara tak langsung memeluk gadis itu, dan menundukkan kepala. "Nggak mau balik ke kelas? Bentar lagi bel masuk bunyi, lho." Ekspresi gadis Kim yang semula tenang kemudian berubah masam. Kening gadis itu berkerut sementara kepalanya digelengkan, menolak. "..nggak mau." jawab si gadis, masih sibuk menyamankan diri. "Nggak mau. Temani aku bolos saja, ya?" Ada helaan napas yang keluar sementara Youngjae menarik Chanmi lebih dekat lagi pada dirinya, membuat dara memekik namun ikut menghela napas juga kala ia melihat cengiran jahil menghias paras polos Youngjae. "Sekalian tidur siang?" tanya Youngjae lagi, cengiran belum terhapus dari wajah. "Tidur siang." jawab Chanmi, sudah menyerah dengan apapun yang tengah pemuda itu rencanakan dibalik cengirannya. "Baiklah." Dan mereka pun bertahan pada posisi itu, di sisi yang tertutup oleh bayang bangunan di atap sekolah, menikmati tidur siang bersama; Chanmi yang bergelung bak kucing di pangkuan Youngjae, Youngjae yang memeluk Chanmi sementara mereka berdua terlelap dan terbawa ke dunia mimpi. Sampai nanti sore menjelang, hingga baik kakak-kakak perempuan Chanmi atau para hyung Youngjae mencari dan membangunkan mereka, ketenangan yang kini ada cuma milik mereka berdua.
Milik Youngjae dan Chanmi saja.
0 notes
Note
suga/jin — i am alone in our living room and feel your absence filling the room. i miss you like i would miss my skin (i just want to hear you breathe).
Black and white photographs scattered on the floor. They’re smiling in each of them, they’re laughing in monochrome and Seokjin runs his fingers over the glossy surface of the paper. They’re caught in the free second between night and dawn, still frame of happiness and sweet dreams, wishes upon too many falling stars, coins tossed in fountains, and careless decisions.
His eyes follow familiar patterns on pictures, Yoongi is barely visible on some of them, his existence slowly fading away, reduced to washed-out memories. Seokjin gathers the photos in the hands, there are too little of them, they’re neatly placed on his palms, they’re all in monochrome because Yoongi always said that colors are not for people like him, that vibrant tones of warm palettes are for people like Seokjin, full of life, of happiness and too many unspoken words hidden in timid smiles and trembling lips.
-
Yoongi’s fingers are knobby; the camera resting between them is heavy but he lifts it up like many times before. Seokjin isn’t smiling, his hands covered with orange paint, ugly beige and lifeless white behind his back. Their small apartment is nothing but vertical lines and empty walls, there are no photographs, no furniture and Seokjin frowns when the paint drips on his shirt. Yoongi observes but says nothing, taking picture after picture after picture of his boyfriend.
“How about you help me?” Seokjin asks.
“I’m helping you, I’m documenting this event,” Yoongi answers with a smile on his pale features and Seokjin hears the familiar click of the camera once again.
He splashes paint on Yoongi and bright drops land on the camera lens.
“A bit of color,” he laughs. “Your photos are always in black and white.”
“The ones of you are always in color,” Yoongi responds and his voice is laced with so much Seokjin still doesn’t know.
He leaves it at this and turns his back to Yoongi, focusing once again on painting the walls with many cracks and many stories hidden in bricks and cement holding them in place.
-
Silk curtains are dancing on the spring breeze and through open windows Seokjin hears buzzing of life on the streets, children’s laughter and chatting of housewives on their way home. He listens to the cacophony of sounds, a small part of him hoping that among them he’ll hear the familiar voice, rough on edges yet warm in cold winter days when they sleep late and Yoongi plants butterfly kisses on his temples mumbling something about building a snowman.
Seokjin carefully listens but doesn’t hear it, all syllables foreign, all words losing their meaning as they disappear in thin air, as they decompose to letters and signs.
The photographs surrounding him tell too many different happy stories, Yoongi’s messy handwriting on their back – date, time and occasion scribbled in crooked letters. There are too many pictures of Seokjin and too little of Yoongi. Using his fingers, Seokjin can count all the photos of them together, all lines blurred, camera shaky in his unskilled hands, slight smile on Yoongi’s face, a bright one of his.
Yoongi is monochrome, precision and sharp outlines; he’s cold, black and white, blank canvas Seokjin has no right to paint on. And yet Seokjin wants him back, willing to trade all colors of the world for a still frame of perfection that Yoongi is.
#yoonjin#i love this#it's so dreary but still heart wrenching#ugh monochrome and then the bit of colors ugh#i have so many feelings for this yeah#you won't know#you really won't
44 notes
·
View notes
Text
scientists say we are made of dead stars i could not believe it until i felt your lips
a million galaxies in the space of a breath a thousand light years in a glorious instant
i never thought i could be an astronaut until i met you
41K notes
·
View notes
Text
단말 머리
"Anya, kamu udah denger belum?!" Anak gadis yang namanya dipanggil pun menoleh ke sumber suara, menelengkan kepala dalam prosesnya. Pradnya Nugroho, gadis yang baru saja diajak bicara, kontan menggelengkan kepalaㅡtanda tak mengerti. Kantin sekolah masih ramai dan pertanyaan yang diajukan begitu mendadak oleh Anindya membuat Pradnya tertegun. "Emang ada apa...?" tanya si gadis, langsung melupakan seporsi batagor yang tengah disantap. Anindya, yang semula masih berdiri sembari berpegangan ke ujung meja dengan napas terengah, kemudian mendudukkan diri disebelah teman sekelasnya. Gadis berbandana itu melirik takut-takut kearah pintu masuk kantin sebelum menundukkan kepala, membuat Pradnya turut menundukkan kepalanya. Ia dapat melihat Nindya menggigit bibir dan kembali menggeliat tak nyaman di kursi. Mau tak mau, Pradnya jadi ikut gugup dan tegang karena lagak teman dekatnya ini. "Nin, ada apaan sih?" gadis setengah Korea itu ikut melirik ke pintu kantin, mendapati orang berduyun-duyun mengantre untuk membeli makanan. Tak ada hal yang aneh. Tak ada tanda-tanda gebetan Anindya muncul didekat mereka. Pradnya mengerutkan hidungnya. "Kalau ini soal Bimoㅡ" "Radith jadian sama Sonya dari kelas sebelah, Anya." potong si sobat cepat-cepat, membuat kalimat yang hendak bungsu Nugroho ucapkan kembali tertelan dan gadis itu menatap kawan dekatnya itu dengan mata melebar dan bibir yang terbuka sehingga membentuk huruf o. Pradnya mengerjapkan matanya. Sekali. Dua kali. Lalu terdiam lama sekali. "Anya...?" Nindya mengibaskan tangannya dihadapan gadis Nugroho, merengut ketika yang bersangkutan tak bereaksi. Tangannya kemudian diulurkan, baru saja hendak mencubit pipi tembam milik kawan sekelasnya itu ketika Pradnya menggelengkan kepala dan menepis tangan sang kawan baik. Buru-buru bangkit dari kursinya, dan mengabaikan batagornya yang belum habis, Anya melemparkan satu senyum hampa pada Nindya sebelum pamit. "...duluan, Nin." Mendadak selera makannya hilang. . . . Bel pulang sudah berbunyi dan sesuai dengan kesepakatan, Pradnya menunggu kembarannya didekat gerbang. Kembar Nugroho memang ditempatkan di kelas yang sama, namun kali ini Radithya mendapat tugas piket sehingga si gadis memilih untuk kabur duluan. Gadis itu sibuk menonton orang lalu lalang hingga tak menyadari kalau kakak-beda-beberapa-menitnya itu sudah dekat ketika ia mendengar tawa khas Radithya. Si bungsu nyaris berteriak ketika menolehkan kepala, siap menceramahi kakak kembarnya itu karena telah membuatnya menunggu lama, namun kata-kata yang nyaris terlontar itu mati diujung lidah tatkala ia menyadari kalau Radithya Nugroho tak sendirian. Adalah Sonya Dewandari yang bergandengan tangan dengan kakaknya, yang menanggapi banyolan garing (...apa, lelucon Didith memang kriuk selalu, kok) Radithya dengan tawa ringan dan mata yang menyipit manis. Banyak anak lelaki memanggil Sonya Putri Keraton dalam kasak-kusuk mereka, dan banyak dari mereka pula yang iri pada sulung Nugroho karena berhasil mendapatkan suka sang tuan putri. Belum sehari penuh mereka jadian juga sudah banyak gosip berhembus dan membuatnya, sebagai kembaran Radithya, kemudian ditanyai macam-macam mengenai hubungan Radith dan Sonya. Namun melihat Radithya terlihat begitu bahagia didekat Sonya secara langsung begini membuat Pradnya meradang. Mendadak merasa kesepian, kehilangan, ditinggalkan. "Dek! Lama nungguin nggak?" Here he comes, her dearest brother and his girlfriend. Pradnya melihat senyum abangnya mengembang lebar dari sudut pandangan dan gadis itu cuma mendecak dengan tangan terlipat didepan dada. Radith kemudian mengusap puncak kepala sang adik setelah melepaskan genggaman tangannya pada pacarnya, membuat si kembaran mencebik dan menepis telapak tangan Radithya dari kepalanya. "Berisik." ujar Pradnya tajam. Melirik sadis sulung Nugroho yang akhirnya hanya cengar-cengir tidak jelas dan Sonya yang nampak bingung harus berbuat apa. Terjebak diantara kembar Nugroho memang bukan ide yang brilian. "Ayo pulang. Capek tau, nungguin abang piket leletnya kayak koneksi sm*rtfr**nd." lanjutnya, masih mencebik. Radith tertawa, lebih pelan kali ini, sebelum merangkul Pradnya dan melambaikan tangan pada gadis berambut panjang itu. "Duluan, yak. Dedek kecil udah rewel minta pulang nih," Pradnya melotot dan menyikut rusuk sang kakak, membuat Radithya mengaduh tapi masih tersenyum dan sang kekasih mengerutkan dahinya bingung. "Ketemu besok, Sonya." tandasnya, menarik adiknya menjauh sembari melemparkan kiss bye pada si pacar yang wajahnya kemudian bersemu dengan manis dan balas melambai. Anya tidak pernah merasa sesebal ini pada Radith, tapi sekarang ia benar-benar ingin menendang si kembaran tepat di perut. Damn, damn feelings. . . . Pradnya akan merasa lebih baik kalau topik Radith Punya Pacar tidak sampai ke rumah karena mendengarnya di sekolah saja sudah cukup memuakkan, namun serahkan saja pada si bego Didith untuk curhat pada ibu mereka soal pacar barunya. Jadi, sekarang putri bungsu keluarga Nugroho itu mendapati dirinya terjebak di ruang keluarga, mendengarkan sesi wawancara dari Jojo Puspitasari mengenai kekasih Radithya. Ayah mereka, Oh Sungjoon, tidak menyumbang banyak dalam perbincanganㅡsama saja dengannya. Anya bosan dan capek. Ia membiarkan Radithya berbusa-busa menyanjung si Putri Keraton dan menonton mama menelan bualan putranya bulat-bulat. Gadis itu sama sekali tidak keberatan menjadi kambing congek. Toh ia masih punya majalah untuk dibaca dan saluran televisi untuk didengarkan. Nggak masalah sama sekali. Setidaknya itu yang coba ia yakini hingga akhirnya kepala keluarga mereka angkat bicara. "Nanti coba ajak pacarmu kesini, Nak. She seems nice." Dara belia kontan tersentak hingga majalah dipangkuan jatuh dengan debum yang lumayan, membuat tiga pasang mata menatap kearah si bungsu dengan penasaran dan khawatir. Si bungsu buru-buru berdiri dan pamit dengan setengah hati, "Pa, aku nggak enak badan. Ke kamar duluan, ya." lalu berlari sekencang yang ia bisa ke kamarnya di lantai dua; mengabaikan panggilan khawatir dari sang abang dan menahan diri agar tidak menangis. (바보처럼, 채미야.) . . . Perubahan itu gradual, namun tetap saja mudah disadari oleh mereka yang mengenal Nugroho bersaudara. Pradnya yang biasanya akan menempeli Radith kini menghindari kakak kembarnya seperti virus, selalu pulang sendiri dan tak lagi menunggui sang abang selesai berkegiatan. Di kelas juga tak jauh berbeda, bahkan gadis mungil itu sampai pindah tempat duduk supaya tak bisa melihat Radith lagi. Di rumah juga sama saja, bungsu Nugroho lebih memilih untuk mengurung diri di kamar dan keluar ketika diperlukan. Kalau ditanya apa ia merasa bersalah karena menjauhi kembarannya sendiri karena alasan sesepele kakaknya punya pacar, Anya akan menjawab ya. Sejujurnya, ya. Terutama tatkala gadis itu melihat ekspresi mirip kucing terlantar Radithya, melihat senyum pemuda itu tak lagi seerah biasa. Pradnya memang merasa bersalah, tapi dia melakukan ini demi kebaikan mereka berdua, kok. Karena gadis kecil itu tak bisa paham atas perasaan terkhianati yang kemudian mekar di hati, atas keposesifan yang kemudian muncul membuat gadis itu takut untuk berada didekat kakaknya lagi. . . . "Anya, pernah kepikiran potong rambut buat buang sial, nggak?" Topik pembicaraan itu muncul begitu saja ketika Pradnya dan Anindya tengah mengobrol sambil makan siang di sebuah gerai restoran siap saji dekat sekolah mereka. Dara ingat kalau sebelumnya mereka tengah memperbincangkan drama yang baru saja ditayangkan di stasiun tv lokal, sehingga perputaran topik yang begitu mendadak membuat Pradnya gelagapan. "Kenapa? Kok tiba-tiba nanya gitu, Nin?" Yang ditanya menggelengkan kepala, memainkan sedotan untuk mengaduk es batu dalam gelas. "Nggak apa, tiba-tiba kepikiran aja..." jawabnya. Anya mengangguk, kembali sibuk dengan kentang gorengnya, namun pikiran si gadis tidak bisa berhenti memikirkan perkataan Anindya barusan. Potong rambut, ya... . . . "Ma, Anya mau potong rambut. Boleh?" . . . "Hmm," Ada seorang gadis yang tengah mematut diri didepan cermin, rambutnya yang semula mencapai pundak kini telah terbabat hingga setengkuk. Anak perempuan itu menghela napas, mengelus rambutnya yang sekarang jadi pendek, dan mencoba untuk tersenyum. Senyum yang terpantul di cermin merupakan suatu pemandangan yang akrab bagi Pradnya sendiri, yang normal dan wajar. Bahunya jadi lebih rileks, senyumnya lebih mudah, dan beban pikirannya... mulai berkurang. Such is the power of a hair cut. Bahkan ketika pintu kamarnya diketuk dan kepala kembarannya kemudian muncul dari balik pintu, gadis itu mendapati dirinya tertawa dan mencebik jenaka seperti biasa; membuat Radithya terperangah dan pelan-pelan ikut tersenyum juga. Si kecil Pradnya tak lagi merasa gamang ketika Radithya menghampirinya dan memeluknya dari belakang, membuat gadis kecil itu kembali tertawa dan menyenderkan kepalanya di bahu sang kakak. "Aku kangen Anya yang begini," itu dibisikkan oleh Radithya dengan halus dan gadis itu cuma membalasnya dengan, "Aku kangen abang juga." dan membiarkan sang kakak mengecup dahinya sebagai ganti dari permintaan maaf yang tak sempat terucap karena sudah berlaku jahat beberapa minggu kebelakang. (She's happy, for now. And that's enough.)
0 notes
Text
dear darling beloved;
Ketika Taira Raiden pertama bertemu dengan Morita Ayaka, itu adalah hari pertama dirinya masuk ke SMP Rakuzan di tahun kedua mereka. Si pemuda, dengan segala kecanggungan khas anak baru yang begitu wajar, sempat-sempatnya tercenung dibawah pohon sakura yang menaungi jalan menuju sekolah. Raiden mendesah sementara jemari panjang kemudian mengacak-acak rambut kecoklatan yang berantakan, menimbang apakah harus dia melangkah masuk melewati gerbang itu dan memulai hidup baru di sekolah baru (dan meninggalkan segala kenangan buruknya di sekolah lama), hingga kemudian dia merasakan punggungnya yang bebas tas (karena Raiden selalu membawa ranselnya dengan cara disampir, bukan digendong) terantuk oleh sesuatu—seseorang. Anak lelaki Taira itu membalik badan, siap dengan tampang bosan-menjurus-mengintimidasi yang biasa, namun tatkala biner coklatnya bersirobok dengan bola mata sewarna madu yang ada pada paras manis berpipi gembil yang dibingkai rambut gelap milik seorang anak perempuan. Baru saja dia mengerjap, berusaha menyusun kalimat dalam kepala, hanya saja... "Ah, gomen, gomen!" —belum sempat si pemuda jangkung buka mulut, gadis itu berlalu dengan bungkukan buru-buru dan gumam-gumam cemas. Ketika dara belia berlari melewati diri, Raiden dapat mencium harum stroberi yang begitu manis hingga membuat anak lelaki itu mengerenyit. Bukan karena Taira belia itu tidak menyukai wanginya, bukan. Bukan pula karena kekesalan yang memuncak hingga ke ubun-ubun. Yang membuat si jangkung mematung bak orang bodoh adalah fakta (yang baru dia akui nantinya) bahwa dirinya, Taira Raiden ini, baru saja merasa terpesona akan keberadaan seorang hawa berambut kopi, beriris bak madu dengan harum stroberi yang bahkan tak ia kenal. Raiden baru sadar dari lamunan impromptu itu saat bel masuk berdentang, membuat dirinya otomat menepuk dahi dan lari pontang-panting ke ruang guru untuk tahu di kelas mana si anak pindahan yang berani-beraninya terlambat di hari pertama masuk ini akan ditempatkan.
. .
Seharusnya Raiden tidak terkejut ketika pandangan mata itu menemukan sosok si gadis diantara kerumunan orang-orang yang diperkenalkan sebagai teman sekelas si pemuda yang baru. Namun mengingat betapa mungilnya tubuh anak perempuan itu dan bagaimana raut wajah yang... manis itu tidak menunjukkan tanda bahwa dia seumuran dengan Raiden pribadi jelas membuat tebakan anak lelaki ini meleset seratus persen. (Tapi, tidak akan ada orang yang menyangka kalau Raiden ini murid kelas dua SMP kalau melihat tinggi badannya yang diatas rata-rata, duh. Mungkin skornya imbang, sekarang.) Anak perempuan berambut ikal dengan warna kopi itu memperkenalkan diri sebagai Morita Ayaka dan senyum yang memancar dari wajah sang dara begitu cerah sampai-sampai Raiden harus berusaha keras untuk tidak memicingkan mata ketika mereka bertatap muka. (Gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia mengenali Raiden. Entah mengapa, ada kekecewaan yang merayap sesaat sebelum hilang begitu saja.) "Aku Taira Raiden," si pemuda akhirnya menemukan suaranya setelah diam begitu lama, tatapannya tak lepas dari sosok mungil gadis yang berdiri dihadapan—masih dengan senyumnya yang membutakan—dan mengangguk pelan. "Salam kenal, Morita-san." Morita membalas salam kaku Raiden dengan satu "Mou, salam kenal juga, Taira-kun~" yang membuat mata si gadis menyipit dan tepi garis bibirnya jadi makin naik dalam usaha untuk membentuk senyuman. Lalu, lama setelah bel masuk berbunyi dan Morita Ayaka kembali ke bangkunya, Raiden menyadari kalau dia menyukai senyum yang tercetak pada muka sang dara. ...yang kemudian sukses membuat kepala anak lelaki itu bertemu dengan permukaan meja dalam satu gerakan keras. Sakitnya tidak seberapa dibandingkan dengan tawa Morita yang berkumandang halus kemudian, mungkin geli dengan tingkah si anak baru, yang terdengar bagai denting genta angin di musim panas di telinga Raiden.
. .
Bulan-bulan berjalan dan Raiden sudah bisa menjadi manusia normal ketika berada didekat Morita Ayaka, dalam artian tidak menjedukkan kepala ke bidang datar terdekat ketika dirinya gugup dan lain sebagainya. Dan hal itu terus berlangsung hingga mereka naik ke kelas sembilan, kapan Raiden sudah bisa mengobrol dengan normal dengan si gadis Morita, sesekali melempar canda dan membantu si gadis mungil mengerjakan tugas atau apa. Si pemuda masih menganggap kalau sensasi yang menjalari tubuhnya ketika melihat senyum seratus megawatt Morita atau mendengar tawanya adalah hal yang... wajar. Tidak aneh. Tidak mengindikasikan apa-apa. Ya, begitulah.
(Denial, denial, denial.) . .
Pemuda itu baru mau mengakui perasaannya sendiri ketika kabar angin mengenai pemuda lain menyukai Morita Ayaka berhembus ke kelas mereka di awal musim gugur pada tahun terakhir mereka di SMP. Raiden sadar kalau Ayaka itu manis, dengan tubuh mungil dan laku energik dan tak lupa tutur kata bak berbalur gula-gula, dan tidak akan aneh pula kalau ternyata pengagum rahasia gadis itu ada banyak. Tapi... Pemuda Taira terdiam, menghentikan langkah yang diambil sebelum mencapai perpustakaan di suatu siang. Dia semacam tidak suka ketika mendapati kemungkinan bahwa ada pemuda lain yang berusaha mendekati Morita Ayaka—berkata kalau mereka menyukainya, membuat pipi gadis itu bersemu merah muda dan mendapatkan seluruh perhatian Ayaka yang manis. Karena tanpa disadari, Taira Raiden ingin memiliki Morita Ayaka dan segala hal mengenai gadis itu. Hanya saja Raiden masih terlalu ragu untuk melabeli perasaan macam apa yang dia miliki terhadap sang gadis; apakah ini sebuah suka yang platonik atau romantis, pemuda itu tak yakin. Makanya, daripada larut terlalu lama dalam dilema tak penting macam ini, Raiden lebih memilih untuk kembali melanjutkan langkah ke perpustakaan sekolah saja. Masih ada tugas Matematika dan Bahasa Inggris yang menunggu untuk dikerjakan, toh.
. .
Sayangnya sesi mengerjakan tugas Taira Raiden kemudian berubah menjadi sesi mengajari-Morita-Ayaka, yang kemudian berubah lagi ketika si gadis mengungkit soal kekasih dan si pemuda tak sengaja membocorkan perasaannya sendiri. Membuat Raiden kemudian 'menembak' Ayaka dan mencium bibir sang dara, melihat bagaimana paras yang biasa meretas senyum kemudian basah oleh rinai air mata dan manis yang rasanya tak akan hilang di mulut itu akan selalu terkenang. Lagipula, mungkin kalian sudah tahu bagaimana ceritanya berjalan.
. ...and so that continues, to the story that we all know. Maybe. .
0 notes
Text
Of Owls, Shadows, and Tears
Owls
Clifford Osbourne selalu memiliki ikatan tersendiri dengan hewan nokturnal itu, entah karena burung hantu adalah binatang suci sang ibunda immortal atau hanya karena ia menyebutnya sebagai hewan favorit. Cliff jelas tahu kalau burung hantu adalah simbol kebijaksanaan, alasan mengapa aves tersebut menjadi hewan simbolisme Athena, dan dia menemukan sedikit saja harapan kalau dengan menyukai—atau setidaknya menatap sesuatu yang berhubungan dengan si burung maka secara tak langsung Athena pun melihatnya. (Memperhatikannya.) Itu kepercayaan manis nan naif yang sering ia sesali; mengapa hal-hal ingenuous macam itu bisa muncul dalam otak penuh logika Clifford, yang si empunya sendiri pun tak tahu alasan dibalik kemunculannya. Kini tiap kali iris kelabu dalam maniknya menemukan ukiran atau patung sebentuk hewan itu, dia merasakan sedikit kehilangan. Kekosongan kecil yang mungkin saja hanya perasaan selewat, beterbangan diatas kepala dengan ringan dan selalu datang dan pergi—namun dugaan itu selalu salah: karena dia masih merasai sepi yang meraja tiap kali melihat sesuatu yang berhubungan dengan burung hantu. (...atau ibunya, sang Dewi Kebijaksanaan itu.) Dia menatap patung burung hantu yang lagi-lagi menyambutnya ketika kembali ke Kabin Enam setelah pesta pembukaan awal musim. Kemudian perasaan kosong itu muncul kembali.
Shadows
Bayangan adalah satu hal yang mungkin dapat dikatakan identik dengan Katarina Morgenstern. Setidaknya, itulah hal yang sering dia pikirkan ketika membandingkan diri dengan kembaran tercinta. Bagaimana mereka begitu mirip namun juga begitu berbeda disaat yang bersamaan. Seperti cahaya dan bayangan yang selalu menyertai kemanapun terang itu pergi dengan setia. Layaknya air yang selalu dapat memadamkan api yang menyala kelewat liar. Persis konsep yin dan yang pernah disebutkan seorang kawan lama sekilas: dua yang berbeda, dimana perbedaan itu membuat persamaan mereka menyolok, dan laiknya magnet mereka pun saling tarik menarik. Dia tidak pernah bisa berpendar seperti bintang karena Katarina tidak pernah pandai dalam hubungan antar manusia pun dia juga tak begitu cantik dan pintar dan lucu dan. Deskripsi atas segala sesuatu yang bersinar lebih tepat kalau kau sematkan ketika membicarakan Vienna Morgenstern yang ramah dan baik hati itu. Katarina tak memancarkan sedikit cahaya pun (pikirnya begitu), maka dia selalu menaungi Vienna dan menjadi kegelapan agar adiknya itu bisa berpijar lebih terang, makin terang. Sebuah peran yang sepertinya sudah disiapkan semenjak kelahiran Katarina ke dunia—menjadi sesuatu yang dapat membiarkan aura adiknya berpendar lebih cerah. Biar kadang dia membenci peran yang diserahkan padanya ini, to be her sister's shadow, namun Katarina juga sudah mulai belajar untuk menerimanya. Karena Katarina Morgenstern menyayangi Vienna sepenuh hatinya mampu mengizinkan. (Because without the dark, we'll never see the stars.)
Tears
Hal yang membuat hubungan diantara Clifford Osbourne dan Katarina Morgenstern menjadi dekat adalah air mata. Kala itu Katarina sedang menyendiri di pinggiran danau Long Island, menumpahkan segala bentuk penyesalan terhadap pertengkaran besar yang baru saja terjadi diantara dia dan si kembaran yang berujung pada perginya Vienna Morgenstern dari perkemahan. Dia menangis, menangis sampai ia tak bisa bernafas dan lelah—hingga Clifford kemudian muncul dan mencoba memberikan konsolidasi dengan perkataan bijaknya sebagai putra Athena. Terlebih ketika anak lelaki itu kemudian membiarkan si putri Hephaestus bersandar pada pundaknya. (Katarina tidak akan berkata kalau dia menyukai hal ini, bagaimana rasanya segala yang berhubungan dengan Clifford dan sentuhan-sentuhan kecilnya terasa begitu benar—karena Katarina tak akan berani berharap atas sesuatu yang lebih dari ini, waktu itu.) Lalu ada lagi kenangan lain antara mereka dan bulir-bulir tangis. Kali ini sebabnya berbeda; bukan karena Katarina lagi-lagi bertengkar dengan Vienna dan pergi menumpahkan rasa pada sang putra Athena, namun sebuah tangis murni yang disebabkan oleh ketidakmampuan dara Morgenstern untuk membendung rasa dan menyampaikannya secara tepat. Ini tentang Clifford dan tangan robotiknya, yang membuat hati Katarina sukses serasa dijadikan origami, lalu tentang bagaimana awan mendung selalu menghiasi paras ramah yang juga penuh kebijaksanaan itu. Katarina menangis karena ia tak tahu lagi dia harus berbuat apa. (Itu pelanggarannya yang pertama pada janji yang ia buat di pinggir danau waktu itu untuk Clifford: I won't cry again, I promise. Tapi bagaimana Katarina bisa.... kalau ini menyangkut dia?) Yang terakhir adalah ketika gadis itu menemui sang pemuda lagi setelah kematiannya dalam bunga tidur yang indah itu. Mata biru itu tetap secantik langit musim dingin yang tak akan pernah membuat Clifford bosan untuk memandanginya, bahkan ketika tubuh putri Hephaestus tersebut terlihat agak kelabu dan mengingatkannya atas waktu mereka yang terbatas. Bagaimana penyesalan selalu datang terlambat. Bagaimana segala sesuatunya terasa salah namun juga benar pada saat yang bersamaan. Satu pernyataan cinta dan kecupan penutup akan menutup tirai kisah mereka selamanya, namun bening yang menggenang pada mata biru Katarina dan titik-titik kecil yang jatuh dari kelabu Clifford kemudian lah yang menjadi ending sesungguhnya dari lakon ini. (Namun dia tetap hidup. Selamanya, dalam hati Clifford dan mereka yang mencintai sang gadis seperti dirinya.)
0 notes
Note
jimin/v/jungkook — "i want all that is not mine // i want him but we're not right." any rating is fine with me. ((something bittersweet, please? thank you if you fill this! ;w;))
Everybody is starry-eyed.
Supernovas burn out in the depths of Taehyung’s dark irises only to be reborn as the sparks of light in Jungkook’s chocolate brown eyes.
-
Jimin watches as the night sky changes with seasons that pass, as constellations shine brighter just few moments before dawn, before the sun paints the world in the rich palette of bright colors. But Jimin doesn’t like long sunny days because the night has always been prettier, more mysterious, because the night has been filled with Taehyung’s laughter during long hours they’ve spent chasing stars on the outskirts of their small town.
-
A firefly lands on Jungkook’s hand and he watches as it struggles to prevent light it carries to fade away, to disappear in the darkness, last few sparks mixing with cold autumn air that smells like rain and freshly cut grass.
“It’s almost like a fallen star, but not quite,” he whispers, his voice trembling and small, weak almost, as if afraid that the sound would chase the firefly away.
“But still you can make a wish,” Jimin looks in his direction, his eyes trained on Jungkook’s faintly illuminated features. He’s young, still too young and pure, his heart made of unspoken wishes and dreams that should come true, that have to come true. His eyes are like liquid chocolate, different from Taehyung’s, warmer, softer.
Jungkook laughs and the sound of his laughter strangely resembles Taehyung’s, just an octave higher, but undertones still the same. “Don’t be silly,” he says but Jimin notices small hint of sadness lacing his voice, slipping between syllables.
“Do it anyway,” he insists and Jungkook closes his eyes, long eyelashes brushing against high cheekbones and taking a deep breath, he makes a wish.
“Want to tell me?”
“It won’t come true,” he softly smiles, sparks in his eyes illuminating the black infinity above them.
-
Taehyung is made of stardust and broken glass, his edges are sharp and yet they don’t leave cuts behind, Jimin has no scars on his palms, on his lips.
“If I’m like the Little Prince, what are you?” he asks on a hot summer night, breeze caressing his skin, his voice serious, his eyes not meeting Jimin’s. “Are you the rose or the fox?”
Jimin has no answer to his question. Usually he has no answer to any of Taehyung’s questions, all of them too vague, too unreal; crossing the border between dreams and reality so often that Jimin has to make sure that Taehyung is real, that he’s sitting next to him, within the reach of his fingers.
Taehyung is like a puzzle with too many lost pieces and Jimin never sees the big picture, just the details. He prays that the details are enough.
-
There’s an universe hidden inside Taehyung’s dark eyes, galaxies and millions of stars reflecting in his irises, but supernovas are dying, burning out with his every heartbeat, every breath he exhales. Jimin watches as the stars fall on the ground in front of his feet leaving a bright trail on the night sky that suddenly seems too dark, too cold.
“Up there,” Taehyung’s fingers are painting dimensions on the black canvas above them, “there is no air, no roses under bell jars and small planets with few people living on them. There is no solid ground on a star, nothing to keep you alive, safe. But they are beautiful. Dead and beautiful,” he smiles and looks at Jimin, their fingers interlaced, their heartbeats in sync. Jimin wishes to say something but all right words are lost so he stays silent not meeting Taehyung’s eyes, afraid of the darkness in them.
-
Jungkook is light - warm and bright like a sun. He’s unconditional support and small assuring smiles that everything will be okay. He’s summer rain and first snow, all first experiences that shouldn’t be forgotten and all reckless mistakes. He’s youth and dreams and so many other things that Jimin wonders if he’ll ever really know him.
He and Taehyung are two ends of the same color palette, perfect contrast between them, their virtues and flaws melting in the different shades that separate the ends of the small spectrum.
Jimin gets caught somewhere in between, in ugly and lifeless greys that resemble ash, he gets lost in no man’s land with no compass or stars to guide him home.
#bangtan sonyeondan#maknaeline#ot3#vmin#vkook#jikook#...just#lemme cry#because this is perfect#UGLY SOBBING FOREVER AND EVER AND EVER AND---#okay i need to stop wow
51 notes
·
View notes