Tumgik
jesuismager · 9 years
Text
Moving out!
I’m moving my blogging platform to Wordpress. I’ve been thinking about this for a long time, and the reason I’m doing this is the lack of text-blogging tools in Tumblr (e.g. comment form, autosave). And I’ve swore not to bring up my Cinderella review problem for the nth time. Oh, and almost everyone I know are doing their stuff in wordpress so yeah.
This is not a goodbye. Hit me up at http://jesuismager.wordpress.com.
0 notes
jesuismager · 9 years
Text
[review  + analisis] Pintu Terlarang - SPOILERS UNDER THE CUT
Hari Film Nasional a.k.a. Rejeki Anak Solehah!
Karena dalam satu hari itu, gue mendapat kesempatan langka nonton film Pintu Terlarang dan Modus Anomali. Kedua film garapan Joko Anwar ini, seperti film-film bagus Indonesia lainnya yang berada di bawah radar, hanya tampil di layar lebar sesaat. DVD orinya pun susah dicari.
Dari kedua film, Pintu Terlarang-lah yang lebih mudah gue cerna. Memang Pintu Terlarang belibet dengan simbolisme dan pesan tersirat (TOTALLY MY KIND OF FILM), tapi realisasinya lebih langsung jleb dibandingkan Modus Anomali, yang memang lebih terstruktur, tapi gue sempet mikir lama untuk menemukan kesimpulannya, bahkan harus ditoel temen dulu baru ngerti. Meskipun begitu, justru film ini-lah yang udah bikin gue gelisah nggak bisa tidur karena kepikiran terus. Jadi harus banget dibahas.
Tumblr media
Pintu Terlarang adalah kisah tentang Gambir, seorang pematung ternama dengan hidup yang tampaknya sempurna. Sukses, kaya, dan mempunyai sosok istri yang tampaknya juga sempurna. Namun, tak ada yang tahu apa yang terjadi di balik pintu tertutup. Pada saat yang sama, ia terus merasa mendapatkan pesan minta tolong dari sesosok misterius, yang menuntunnya menuju kenyataan di balik pintu terlarang kehidupan Gambir.
Kalau lo belum nonton film ini, lebih mudah menghitung alasan kenapa lo nggak usah nonton film ini (jumlahnya nol). There is always more than what the synopsis tells. Gue suka cara storytelling Joko Anwar yang pertama-tama menyajikan deretan peristiwa-peristiwa aneh sepanjang film, memberikan dua jam penuh perasaan gelisah untuk penontonnya. You can sense that something wrong is going on. Kemudian, kegelisahan penonton dikonfirmasi dengan hantaman plot twist besar yang menjungkir-balikkan semua yang kita tahu. Semua keanehan sepanjang cerita jadi masuk akal. Lo akan bingung mau bahagia karena ini plotnya bagus banget atau sedih soalnya plotnya fucked-up banget.
Estetika film ini cakep banget, gue suka skema warna merah dan hitam yang mendominasi di setiap adegannya. Suasana vintage dari gedung-gedung tua dan pernak-pernik yang digunakan, dipadukan ke dalam setting zaman sekarang dengan tepat. Hasilnya, cerita seperti berlatar di dalam dunianya sendiri. Special mention untuk opening credits dan scoringnya! Opening credits film ini dibuat dalam bentuk animasi ala jadul, ngingetin gue sama Pink Panther, bukan sesuatu yang biasa untuk sebuah film Indonesia. Pembukaan yang terkesan nakal, menyalakan sinyal bahwa apa yang kita lihat akan menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda. Dan ia menepati janjinya. Scoring 50-an yang mengiringi sepanjang film ini melakukan tugasnya dengan baik--membawa penonton ke arah yang diinginkan sutradara. Dalam kasus ini, membangun suasana intens dan kegelapan yang terus bertambah dengan berjalannya film. 
Meskipun masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya, gue jatuh cinta dengan cast assembly film ini. Fachri Albar di beberapa bagian dialognya terlalu cepat dan kedengaran seperti menghafalkan, tapi menontonnya perlahan-lahan jadi gila adalah sebuah kesenangan sendiri. Marsha Timothy memerankan sosok trophy wife pasif-agresif dengan sangat baik, meskipun kadang rada over, tapi salut banget sama penampilan puncaknya di klimaks film. Jajaran aktor pendukung ternama Ario Bayu, Tio Pakusadewo, dan Henidar Amroe kayaknya sudah menjamin kualitas akting film ini.
Sedikit trigger warning sih, hubungan orang tua-anak yang abusive menjadi salah satu tema utama dalam film ini. Banyak adegan penyiksaan anak yang visual banget, boleh dibilang brutal, salah satu yang sulit untuk ditonton dalam film ini. Some of you might want to think twice before watching this.
Terakhir, simbolisme!!! Gue bahagia banget nonton Pintu Terlarang karena banyak clue-clue kecil ditaburkan sepanjang jalan seperti kepingan puzzle yang akan menjadi gambar utuh pada akhirnya. Sampai harus nonton dua kali (rewatch di yutub) (maaf Om Joko aku hina) untuk bisa bikin analisis sendiri. Gue merasakan indahnya mimpi buruk tiga malam karena kepikiran film ini terus. Spoilers under the cut (and it’s going to be a hella long post), so click at your own risk!
Tipe ending “eh, ternyata cuma mimpi” yang digunakan dalam film ini nggak mengecewakan gue seperti yang sering terjadi pada film atau serial TV lainnya, karena dasar penggunaan ending ini kuat. 
Semua peristiwa yang terjadi pada Gambir si pematung hanya terjadi di kepala Gambir si pasien rumah sakit jiwa, for a start. Ini menjelaskan terjadinya hal-hal nggak masuk akal yang cenderung mistik, seperti pesan minta tolong yang mengikutinya kemana-mana, nenek-nenek yang menghentikannya tiba-tiba di tengah pasar, dan bapak-bapak horror yang pertama kali ngajak Gambir ngobrol di klinik aborsi. Satu lagi clue tentang penyakit kejiwaan Gambir, ada shot yang menunjukkan nama persimpangan jalan tempat Herosase berada, di antara jalan Modus dan jalan Anomali. Bisa jadi ini hanya nod untuk film Joko selanjutnya, tapi gue pernah baca di suatu review bahwa modus anomali dapat diartikan sebagai anomali kejiwaan, yang merupakan poin penting baik dalam Pintu Terlarang maupun Modus Anomali sendiri.
Gambir si pasien rumah sakit menciptakan kehidupan Gambir si pematung di kepalanya sebagai pelariannya dari dunia nyata. Trauma masa kecilnya membuat Gambir desperate untuk memperbaiki masa lalu melalui kehidupan keduanya, menyelamatkan Gambir kecil yang menghadapi siksaan orangtuanya hari demi hari. Kenapa kamu tidak pernah menutup pintu? Kata-kata nenek creepy di pasar yang ternyata sesama pasien RSJ juga. Dalam film ini, pintu terlarang adalah sisi gelap dari hidup seseorang, sebuah masa lalu yang melukainya secara dalam. Sang nenek merujuk ke Gambir sendiri, yang tak pernah bisa melepaskan masa lalunya.
Di monolog Gambir pada malam natal, ia mengatakan bahwa seumur hidupnya orang lain selalu menentukan arah hidupnya. Kalimat ini bisa juga berlaku dalam kehidupan Gambir yang sebenarnya. Ia tidak pernah benar-benar punya kendali, ia tidak pernah hidup; lepas dari siksaan orangtuanya, ia dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa dan nggak pernah kemana-mana lagi. Imajinasinya adalah langkahnya untuk benar-benar hidup, menentukan arah jalannya sendiri. Tapi ia selalu gagal menyelamatkan hidup si anak kecil dalam televisi. Ia gagal menyelamatkan dirinya sendiri.
Kalau kita mau kreatif sedikit, bisa saja Gambir si pematung bukan satu-satunya alter ego di dalam kepalanya. Mungkin ada puluhan alternate universe lainnya di dalam kepala Gambir, segala macam skenario yang disusunnya untuk mengambil kendali hidupnya, tapi tidak ada satupun yang berhasil, kalau dilihat dari kata-kata si anak kecil, kamu gagal lagi, Gambir. Kamu gagal menyelamatkan kita. Bayangkan menjalani kehidupan dalam kepala kayak gini berkali-kali, dan dengan puluhan ending psycho yang berbeda-beda. 
Dalam kehidupan yang ini, ada beberapa adegan yang melambangkan inner conversation di kepala Gambir untuk memotivasinya untuk bisa berhasil dalam "memperbaiki" masa lalunya. Di tempat latihan tenis, Dandung pernah bilang kalau Gambir bisa menang kalau dia mau. Satu lagi adalah Talyda yang mengatakan bahwa Gambir sebenarnya punya motivasi untuk sukses. Tapi, sekuat apapun dia berusaha untuk "menang" dalam kehidupannya, pada akhirnya ia selalu gagal dan kembali lagi ke titik awal. Kenyataan tidak bisa dihindari.
Pesan yang sering diselipkan dalam cerita ini, tidak ada anak yang ingin dilahirkan ke dunia. Ini hanyalah luka batin Gambir yang membekas sedemikian rupa sehingga pesan ini terus berulang di dalam dunia mentalnya dalam segala bentuk. Tema patung-patung Gambir, wanita hamil dan anak laki-lakinya, menggarisbawahi trauma masa lalu yang ia alami dengan ibunya. Kemudian topik ini muncul lagi dalam percakapannya dengan bapak-bapak misterius di klinik aborsi. Keinginan terdalam Gambir yang digambarkan dalam kehidupan keduanya adalah untuk tidak pernah dilahirkan. Ia menyesali eksistensinya sendiri. 
Gambir menggunakan orang-orang di sekelilingnya sebagai aktor di kehidupan keduanya. Bisa jadi karena hanya merekalah wajah-wajah yang ia kenal. Atau mungkin ini adalah salah satu bentuk ketidakpercayaan Gambir terhadap orang-orang di sekitarnya. Mungkin seumur hidupnya yang dia kenal hanyalah kedua orang tuanya, dan yang mereka lakukan hanyalah merusak dirinya. Dengan rusaknya diri Gambir, rusak juga kepercayaannya terhadap orang lain, sehingga ia melihat orang lain seperti melihat musuh dalam selimut. Dalam benaknya, Puspa Ranti, wartawan yang perhatian dan rajin menjenguknya menjadi istrinya yang manipulatif dan menusuk dari belakang. Sipir penjara mz Ario Bayu menjelma menjadi sahabat bermuka dua yang pengkhianat. Cocok dengan gejala penyakit schizoprenia, yaitu perasaan bahwa semua orang adalah musuh si penderita. 
Satu lagi yang menarik dari mind landscape Gambir adalah Herosase, klub masonik dimana anggotanya mendapatkan akses khusus menuju kehidupan pribadi orang-orang yang hidupnya menyimpang (lagi-lagi, jalan Anomali). Dengan cara yang simpel, memencet tombol remote, mereka bisa menyaksikan derita seseorang dari layar televisi. Bisa jadi Herosase adalah visualisasi keadaan hidup Gambir sendiri. Gambir dan orang-orang di sekitarnya seperti beda dunia: tidak ada yang bisa menolongnya, tidak ada yang mau menolongnya. Dulu saat dia masih disiksa orang tuanya dengan sekarang saat ia dikurung di rumah sakit jiwa, sama saja. Satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah menonton dari balik jeruji. Siapa yang tahu apa yang ada di dalam pikirannya?
Ending keduanya sangat menarik. Masih dalam mind landscape, Gambir menjadi seorang romo yang mendengar pengakuan dosa seseorang yang baru membunuh istrinya (ternyata orang itu Rio Dewanto!! Is this another nod to Modus Anomali?), dan ketika ia mengatakan takut disiksa di neraka, Gambir bersabda bahwa neraka itu tidak ada. Kemudian ia menyuruh Rio Dewanto pulang dan menghidupkan kembali istrinya.
Jika ada orang yang kamu takuti melarangmu untuk membuka sebuah pintu, jangan buka pintu itu.
Gue menangkap kata-kata ini sebagai perubahan dalam diri Gambir. Tampaknya dia telah menutup pintu terlarangnya; mengikhlaskan masa lalu. Kalau sebelumnya kita menonton Gambir dengan hidupnya sebagai pematung yang dipenuhi kegelisahan, kini Gambir sebagai romo auranya lebih tenang dan stabil.  
Kedua, bukan hanya menjadi romo, tapi Gambir telah naik pangkat menjadi Tuhan. Mungkin gue cuma analisis asal di sini, tapi tampaknya "menentukan arah jalan hidup" diterjemahkan secara ekstrim sekali dalam ending kedua ini. Adegan yang heartwarming namun sedih, karena di sini Gambir menyadari bahwa satu-satunya cara menolong dirinya adalah dengan menjadi Tuhan. Semua kejadian ini tak akan terjadi kalau ia yang menjadi Tuhan. Gambir pada akhirnya mencapai apa yang benar-benar ia inginkan, yaitu kendali atas kehidupannya. Ia menentukan arah jalannya sendiri.
Pertama kali gue melihat ending ini, gue hanya bisa tertawa dan mikir bahwa ini hanyalah salah satu ending “aneh” yang diinginkan Joko Anwar untuk menutup filmnya, seakan pesan pro-aborsi yang didengungkan sepanjang film ini belum cukup kontroversial. Tapi setelah gue pikirkan lagi, ending ini benar-benar melegakan. Pada akhirnya, Pintu Terlarang hanyalah sebuah kisah tentang jiwa terluka yang berusaha menghapus masa lalunya, sampai ia belajar bahwa satu-satunya jalan untuk bisa sembuh adalah merelakannya.
Well, yes. that’s about it I guess lmao saya hanyalah insan yang sotoy please feel free to tell me what you think about this masterpiece of a film
4 notes · View notes
jesuismager · 10 years
Photo
Tumblr media
Heathers (1988)
740 notes · View notes
jesuismager · 10 years
Text
Project Break Even Point
Ini bagian dimana kamu akan mengangguk takzim dan berpikir, oooh, ini cerita curhat tentang cowok menye-menye gitu, ya. Ya, satu lagi cerita tentang gadis yang dilanda nestapa karena lima kata yang diutarakan mantan pacarnya setelah tiga bulan menggentayangi lorong sekolah bersama sembari berpegangan tangan manis: "Kita udah nggak cocok lagi." Tak ada apa-apa setelahnya, hanya rasa dingin yang selalu hadir di tengkuknya. Kekosongan absolut yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Timbanganku hilang untuk sesuatu yang sia-sia.  Sejak kecil, aku adalah manusia yang dituntun logika. Aku bisa bergaul dengan baik sebagai pribadi yang pendiam dan tertutup, tak seperti Sara atau Gaby yang heboh, lucu, dan menarik perhatian. Dengan cara-cara ajaib, aku selalu bisa memahami pelajaran sekolah, membuatku menjadi cahaya panggilan bagi mereka yang tertatih-tatih memahami konsep pembangunan ekonomi atau teori demand and supply. Aku tak pernah terlibat dalam drama pergaulan. Romansa, popularitas, atau apapun itu hanya pernah kudengar dari Sara jika ia membutuhkan pundakku. Kecintaanku terhadap buku tak pernah membuatku lepas kendali di toko buku. Tak pernah ada cowok yang melirikku, kecuali pada saat ulangan. Singkatnya, hidupku berjalan berdampingan dengan Buddha di jalan tengah menuju pencerahan. Statis. Aku rata-rata. Aku membosankan, dan aku bangga. Tapi aku salah, dan aku selalu salah.
Well hey, I’m writing a short story titled Break Even Point or I Studied Too Much Economy When I Came Up With The Title. It’s about this girl who just went through a break-up over her too-good-too-be-true relationship, and regaining the value of her own company. The main character marathons Doctor Who as her coping method and she was reading Gone Girl when his ex first started talking to her, SORRY I CAN’T RESIST.
I almost forgotten how hard it is to write a short story. It’s rather hard to find my flow and I don’t really know how to write my flashbacks yet. Rule number one to writing is to not criticize yourself too much when you’re writing, but then what can you do to keep your nature against yourself? It’s a really cool challenge for me though, for I had once proclaimed myself as a writer but never really finishes anything. This one might not end up as a complete thing either, but I’m just enjoying my process now.
Fellow writers, anyone? I would love to see your shorts and other works, and also I’m interested to hear about your creative process. I miss being in this side of the prison of words.
0 notes
jesuismager · 10 years
Photo
Tumblr media
TheAvengersIndo bersama dengan komunitas Komrikmania dan MarvelPeople akan mengadakan acara Nonton Bareng The Avengers: Age of Ultron. Acara ini akan diadakan pada:
Hari/Tgl: Minggu, 26 Maret 2015 Waktu: 9:00 - selesai Lokasi: IMAX XXI Gandaria City
Pendaftaran akan kami buka pada hari Selasa, 17 Maret 2015, dengan harga tiket Rp150.000. Harga ini sudah termasuk tiket dan goodie bag. Tiket bersifat non-refundable dan hanya bisa di-refund apabila sesuatu hal terjadi yang menyebabkan acara dibatalkan. Pembayaran dan registrasi diselesaikan selambat-lambatnya Kamis, 23 April 2015.
Cara Pendaftaran:
Transfer uang sejumlah tiket (tiket x Rp150.000) ke rekening (BCA) 0351376022 a.n. Sri Munawarah.
Registrasi ke [email protected] dengan subject Pendaftaran Nobar AOU dengan format: Nama: Jumlah Tiket: Transfer sebesar: Transfer a.n.: (attachment foto/scan bukti pembayaran)
E-mail konfirmasi dan e-ticket akan kami kirim selambat-lambatnya 2x24 jam setelah kamu mengirim e-mail registrasi.
5 notes · View notes
jesuismager · 10 years
Text
RASHOMON: a short reflection
Tumblr media
“I even heard that the demon living here in Rashômon fled in fear of the ferocity of man.” 
Rashomon!!! My first Akira Kurosawa film. I've always wanted to try out classic films, so my friend recommended me this. I watched it one Sunday morning after watching that week’s episode of How To Get Away With Murder (how fitting), and it was really something. The story itself is about a man’s murder, recounted from different perspective, each with different versions of what really happened that day. 
I didn’t really understand the film at first--the acting style is completely different compared to modern-day actors and everything was so long-winded. But as the film progressed, I picked up and started to enjoy it. The oldiness, the cinematography, everything I rarely see in films today. And THAT ending was everything. The way Kurosawa tells his story is genius.
I’m just going to put his quote from his biography here:
“Human beings are unable to be honest with themselves about themselves. They cannot talk about themselves without embellishing. This script portrays such human beings—the kind who cannot survive without lies to make them feel they are better people than they really are. Egoism is a sin the human being carries with him from birth; it is the most difficult to redeem.”
This film reveals the human nature perfectly. Us, the narcissistic, lying, cheating, egoistic, humanity. Abandon all hope, ye who enter. In this Haniballistic world, you better start to eat or get eaten. I, too, have lost my hope in humanity countless times. I remember my bad days when I (seemingly) had nothing to hold on to, nor did anything makes sense. I could not fit in, and I had the notion that my very few friends did not take me as their friend. Nothing seemed to be getting any better. Sometimes I stare at people eyes when they talk and thought stop your bullshit about making the world a better place and why don’t you help ME for a change? 
Over the time, the narrative changed into fuck, what’s the point of all this humanity? We’re already doomed to oblivion. I’ve never asked to be born in this shithole. If a comet crashed down the earth, bound to destroy us all, I would gladly run up to its flames and greet him like an old friend.
[my inner monologues are disgusting i apologize on behalf of my past self]
The rest is (not really) quite interesting but that’s another story. 
Unconsciously, I did represent that rotten part of humanity, although it was really a bad time to me. I victimized myself and didn’t care enough to pull my head out of my ass and SEE things clearly. Life wasn’t always going to be like that. I wish my past self could see that there are still a spark of goodness in the world. There is something beyond the petty high school pretenders and people who ignore your ass. There is something more worth your attention than not getting a group for school project, and all the messed-up news on the TV. You know, sometimes a nice granny would say hello as you run late to school. Maybe after a tiresome day at school, someone would spare you a seat on the bus. Or probably... it took someone who was equally as washed-up as yourself to come along and take you to see the world with a different perspective, and you learned to gain trust all over again. I was the panicked, angsty, monk, not knowing what to believe, until the woodcutter did something right, after the atrocious lies he’d heard for the day. Where the heck has this film been all my life?
Another thing, I was reading Rashomon reviews and analysis and this one pointed out that all the three people who were involved told the story to deceive US. There were no judges shown at the court because WE are the judge. Remember how they testimonied while directly facing the camera? Heck, this film never ceases to blow my mind, really.
[this post is dedicated to my economics midterm grades which will be gone by tomorrow. rest in peace. your act of selflessness by stepping back and allowing the procreation of my stream of thoughts is greatly appreciated.]
1 note · View note
jesuismager · 10 years
Text
logikanya
Sering banget orang bilang "kalau mau ngomong itu dipikir dulu. kalau mau ngapa-ngapain mbok yo dipikir dulu." I know these sayings all too well. Ga terhitung berapa kali gue asal nyerocos atau berbuat secara impulsif sampai gue mengacaukan sesuatu, atau nyakitin orang lain. Aneh sih, di dunia yang segalanya serba bisa diedit, tombol undo bisa diklik dengan mudah, apa-apa tinggal pencet backspace, tapi masih ada hal-hal yang nggak bisa dihapus secara permanen. Serius. Coba lo nangisin orang, terus lo minta maaf. Pertama, minta maafnya bakal awkward banget. Kedua, dia mungkin bisa maafin lo, tapi fakta bahwa lo pernah nangisin dia akan selalu dia ingat, menodai image lo di mata dia, dan bisa dengan mudah dia ungkit-ungkit dalam pembicaraan berikutnya.
Dalam kasus gue, biasanya yang akan lebih kepikiran adalah gue, bukan orang yang gue nangisin. Gue bakal jadi gak enakan banget, dan hati-hati banget kalo lagi ngomong di sekitar orang itu. 
Bagus sih sebenernya. Tapi itu bakalan kebawa terus. Seminggu setelah itu, kalau gue mau ngomong di tengah debat Sosiologi, gue bakal keinget saat dimana gue ngomongnya gak hati-hati. Malu sendiri. Lebih baik gue diam daripada malu-maluin. 
Kelas Sosiologi selesai, dan gue akan terduduk di bangku gue dan mikir, kenapa gue nggak ngomong aja tadi? Padahal topik yang mau gue omongin relevan, masuk akal, dan belum ada yang menyatakan. Ini bakal kepikiran terus sampe besoknya, atau bahkan kelas Sosiologi berikutnya. Coba tadi gue ngomong aja di kelas. Coba tadi gue... coba tadi...
Sekalinya gue udah capek mikir dan mengajukan pendapat, ada dua kemungkinan. Gue ngomong dengan belepotan--ga ada yang ngerti dan diketawain, gue juga ga ngerti gue ngomong apa. Kedua, gue udah capek-capek ngomong dengan jelas, tapi nggak didengerin. Yha.
Kadang gue suka bingung sendiri. Kapan kita harus mengeluarkan isi kepala kita secara blak-blakan, dan kapan kita harus mikir sebelum berbicara--mikirnya sampai batas mana? Apakah apa yang kita ungkapkan bakal selalu diingat orang, atau lima menit kemudian mereka udah lupa? Kita ini penting nggak sih, sebenernya? 
0 notes
jesuismager · 10 years
Text
I can't believe it's already a week since I took a break from Twitter. And I can't believe I've gained one follower since. Also, I can't believe I'm switching my language preference for the umpteenth time.
Well, yes. How's life without Twitter? The point of this whole thing is to increase my productivity, which doesn't really happen, by the way. But it does save my phone battery life big time. I have more time to crochet, and last week I started craving human company and I actually paid attention to my friends and didn't felt left out at all!!
Personal chat with virtual friends becomes more important to me, because I can't really see them on my timeline as usual, so I do want to know what happens to them and whatever is happening in The Outside World. One thing though, my Twitter break didn't let me escape from The Dress internet outbreak.
I only check Twitter via desktop occasionally to check on my faves and notifications. Just a few minutes ago I broke my hiatus and took a look at my timeline, but weird enough it didn't feel all that interesting to me now. I felt like I was left out too far and there was no point to pick up things back again. With Twitter on my phone, I think I constantly feel that fear of missing out of the internet, which costs me missing out real life. (fuck did i really just say that??? The girl who acquired the title 'geek' and 'internet-crazy' on the start of 10th grade??)
Currently I'm having occasional short film / story ideas brainfreeze but I never got the guts to write it down into an actual script or short story so it just kind of piles up. My next shooting schedule with the film club is this Saturday, WISH US LUCK. My friends and I are signing up for yet ANOTHER film competition. I don't even know anymore. I'm kind of nervous but also pretty stoked about the whole thing. I mean, our last film was kind of a wreck and I'm afraid this one will turn into a wreck too if we don't prepare enough for it. Also we had to shoot it on the spot which is like what.
As I mentioned it, I'm doing a crochet project!!!! I'm making a red scarf with the shell stitch crochet technique and i LOVE bringing it to school and public places and have everyone admire my thing. I'm currently reading The Law of Love by Laura Esquivel. The concept is actually quite interesting, an alternate universe where reincarnation and past lives are commonly acknowledged and you have to live through thousands of life and repair your mistakes until you are allowed to meet your twin soul. But I don't really like the humor and the storytelling style--it could either be descriptive as heck or sticky with romantic goo. But the last book I've read, Unaccustomed Earth by Jhumpa Lahiri, was so good.
Other things? I haven't washed my hair in three days. I haven't been feeling well today and this is the longest Monday I've been through since forever. I've got Geography, Chinese language, and PE tomorrow and I'm not in my best study mode. I've been distracted by everything and my head hurts and my feet are shaking with anxiety. I drank some coffee after school but I don't think it made anything feels better. I just want to pause life and watch all my predownloaded films and TV shows and buy more books. THE THIRST IS REAL. And I can't call in sick tomorrow. The fear of missing out and the actual obligation to catch up just adds more to my guilt, plus I've done this countless of times before. I just can't keep missing school for petty reasons.
I don't know why it ended up like this, honestly. I just need to let the air out of me because I'm a fucking balloon. It's 11.56 PM and I'll delete the ranty bits later, probably.
0 notes
jesuismager · 10 years
Text
Manners... maketh... man.
Tumblr media
What you should be expecting from Kingsman:
Brilliantly choreographed (and heavily CGI-ed) fight scenes
Porn. Seriously. Weapon porn, glasses porn, suit porn, BRITISH MEN, and... a fraction of an actual porn.
BAD PUNSSSSS
Destroying the fourth wall with Colin Firth and Samuel L Jackson
A bunch of teenagers training and competing against each other to be an agent of Kingsman, which is by the way, not the point of the film. The point of the film is actually Colin Firth. And puppies.
A new life aspiration that is to be a knife-legged badass who can still be cute while she cuts you in half.
Hardcore violence and gore that doesn't make you cringe or projectile vomit. The violence is portrayed in a kind of comical, fun way that will make you start laughing and feeling horrible after realizing the dark turns you've taken
But also, if you're watching this in Indonesia, expect to get one of the most brilliant scene in this film cut out!!!! Seems like they had to take it out because of the religious sensitivity (pssh) and the violence (boos in the background), but then I don't see any reason why they still leave the booty scene--which I think is pretty degrading for women. Our censoring agency totally needs to reconsider their priority. Here's a fuck you for them.
I probably need to remind you that this is an English spy film, so please do expect highly exciting espionage thingamajig--secret rooms, British spies, with the classic spy film background music!!!!!!
Expect yourselves laughing at more people dying.
An ending that is most likely written when the writer is high. But you'll love it. But I'd still trade the booty scene with the church massacre any day.
28 notes · View notes
jesuismager · 10 years
Video
youtube
Not that anyone would read this (if they hadn't seen me aggresively promoting this short film thing everywhere possible) but yeah. Ini film pendek kami, kru film amatir yang cuma empat biji, yang diikutkan buat perlombaan film pendek bertema Concerning Jakarta. Produksi film pendek pertama yang gue pernah kerjakan. Jujur gue masih ngerasa film ini sangat kurang, dan gue sangat menyesal karena ga terlibat begitu dalam di produksi film ini. Akhirnya gue hanya bisa ikhlas dan menerima kata-kata orang sambil lalu, "namanya juga pengalaman." Sebel banget nggak sih dengernya, kedengerannya pasrah menye-menye naon. Tapi ya.
Mohon di-like videonya! Jempol anda sangat berarti untuk kami! Seorang temen yang memutuskan untuk berperilaku bangsat hari ini mengatakan bahwa film kami nggak bakal menang dari segi isi karena filmnya Kanisius lebih bagus! Jadi sepertinya kami hanya akan mengandalkan kategori Most Favorite saja. Ayo ajak teman-teman anda. Ga bakal dapet piring cantik, tapi dapet kecup sayang dari gue.
(TERUS ADA GUE NYAMPAH DERPFACE CAMEO DI SANA. MORE REASON TO WATCH THIS FILM HELL YES)
0 notes
jesuismager · 10 years
Text
malam
Tak pernah mudah bagiku berpisah dari malam.
Lewat jam sepuluh. Ketika malam menyergap, dan kesepian membungkam. Aku mendamba kesendirian itu. Menyenangkan, membayangkan hanya aku seorang di dunia ini yang terjaga malam ini. 
Malam dan segala misterinya. Waktu yang paling kutunggu, namun juga ingin kulewatkan. Kadang kuharap kantuk tak pernah datang membawaku ke alam mimpi. Aku menikmati jeda ini, diiringi derung AC, melakukan hal-hal remeh yang tak pernah kulakukan di bawah langit siang. Aku bosan mendengarkan suara manusia. Aku suka diam saja, membiarkan sisa-sisa bising metropolitan larut di telingaku. Aku suka bengong menatap langit-langit kamarku yang masih terang. Jeda itu kata yang pas. Tidak bergerak, namun tak berarti selesai.
Di malam hari aku tak harus bergerak. Aku bisa duduk berjam-jam melakukan apa yang kuinginkan. Aku tak ingin tidur selama badanku masih sanggup. Kadang aku merasa seperti ditelan gulita. Gulita seperti air bah gelap yang bertabur bintang. Gulita sahabatku. Aku mengambang dalam gulita tak berujung. Aku bergerak, aku diam, aku sadar. Batas-batas fisik di sekitarku menghilang. Persetan dengan ruang dan waktu. Persetan dengan masalahku kemarin atau bebanku esok. Ini ruang hampa. Yang ada hanyalah ada. Karena mereka tak bisa hilang.
Ketika aku tidur, aku kehilangan kesadaran atas pikiranku, waktu, dan sekitarku. Aku tak ingin bangun dan menjumpai fajar kembali. Fajar yang tak baru. Fajar yang sama seperti kemarin. Aku tahu pasti fajar-fajar itu akan memperanaki peristiwa-peristiwa hidup yang berbeda setiap kalinya, dan aku akan kembali terisap arus kehidupan yang cepat tanpa ampun, dan terhempas di pesisir malam yang sama seperti yang sebelum-sebelumnya. Aku tak mau tahu. Aku tak melihat lagi gunanya harapan. Mimpi indahku adalah suatu saat bumi ini berhenti berputar, dan semua kepahitan, kebahagiaan hidup, dan kesadaran meninggalkan jiwa-jiwa di dalamnya. Aku menanti saat bumi akan menjadi batu tanpa makna yang mengapung di angkasa, dan manusia tak lagi merasa, tak lagi hidup, namun hilang.
Malam penting bagiku. Malam adalah diam. Malam adalah membiarkan diriku terbawa arus tanpa tenggelam di dalamnya. Malam adalah hal terdekat yang kupunya dari ketiadaan.
0 notes
jesuismager · 10 years
Text
cita-cita
Cita-cita gue waktu kecil silih berganti, tapi kandidat yang paling lama bertahan adalah 'penulis', 
Waktu gue TK, gue sering bikin cerita petualangan aneh-aneh di buku kecil, gue gambar juga pake spidol Snowman. Ada yang ceritanya gue punya kakak boongan namanya Ira. 
Tumbuh dalam keluarga yang seneng baca, sejak kecil gue udah disodori berbagai macam buku cerita. Tapi (semacam) novel pertama yang gue baca itu karyanya Izzati yang Kado Untuk Ummi, waktu gue TK B. Itu masuk rekor MURI loh, penulis novel termuda yang waktu itu umurnya 8 tahun (sekarang dia ngeblog di sini). Itu pemahaman pertama gue kalo penulis buku itu ternyata deket banget sama kita, bukan semacam dewa yang tinggal di awang-awang terus ngirim buku ke bumi pake pos merpati atau gimana. Bahkan anak kecil juga bisa jadi penulis! Inspirasi kedua gue adalah JK Rowling, yang serial Harry Potter-nya gue baca sejak kelas 3 SD. Gue nggak pernah tahu kenapa, tapi series itu berarti banget buat gue. Lebih dari 'nilai-nilai luhur' dalam ceritanya, tapi JKR berhasil menciptakan dunia sendiri dan membuat gue merasa ada di dalamnya. Gue bener-bener nungguin surat Hogwarts gue pas umur 11, meskipun gue tahu itu nggak nyata tapi selalu ada sedikit harapan "yah, kali aja." Ajaib aja rasanya kalo penulis buku itu manusia kayak kita juga, nun jauh di sana, lagi nafas dan lagi makan sama seperti kita. Gue pun menetapkan, gue pengen jadi orang itu.
Bapak dan ibu gue sangat antusias menanggapi cita-cita baru gue. Gue diajarin nulis pake Word 2000 di komputer lama yang layarnya gembung itu. Tiap hari gue disuruh nulis. Diingetin jangan main game melulu. Dibeliin buku-buku self-help yang judulnya 'ayo menulis!' atau semacamnya. Bahkan disuruh minta nasihat sama guru gue yang katanya penulis juga, tapi nggak pernah gue minta karena malu sama gurunya. Bersyukur banget sih punya orangtua yang mendukung banget kayak gini, soalnya gue tahu banyak orangtua yang lebih pengen anaknya jadi dokter atau pengacara daripada mengerjakan sesuatu di bidang kreatif. 
Mungkin kalian bertanya, setelah kurang lebih satu dekade, karya apa yang udah gue buat dalam perjalanan Menjadi Penulis ini?
Sampe sekarang gue nggak punya karya apapun, satu cerpen pun, yang gue bisa banggain. Entah kenapa. Gue nyadar banget kalo gue orangnya nggak konsisten, dan susah fokus sama satu pekerjaan dalam satu waktu. Gue cepet bosen. Menurut gue sifat-sifat ini bukan penulis banget, ya gimana lo mau nyelesain kerjaan lo kalo gini caranya. 
Yang paling berbahaya adalah kalo lo mulai nggak suka sama kata-kata yang udah keluar dari tangan lo. Apapun yang lo tulis akan selalu lo baca ulang, lo analisis, dan lo hapus. Nggak ada yang cocok, nggak ada yang lo suka. Akhirnya lo kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan apapun ide yang di kepala lo, dan jadi sebel sama diri lo sendiri. Dan kayaknya ini sudah menjelma jadi stadium 4 di dalam diri gue. Ini sesuatu yang Virgo banget sebenernya--ya gue Virgo. Semua orang bilang Virgo itu perfeksionis dan rapi. Dari dulu gue menolak mentah-mentah ramalan itu, soalnya di kepala gue, diri gue adalah orang yang nyeni banget, berantakan, spontan. 
Ada kutipan bagus dari Ira Glass tentang penyakit ini. Ada yang pernah ngasih tau di blog gue yang lama, tapi sampai sekarang gue masih belum bisa menghayatinya dengan benar.
“Nobody tells this to people who are beginners, I wish someone told me. All of us who do creative work, we get into it because we have good taste. But there is this gap. For the first couple years you make stuff, it’s just not that good. It’s trying to be good, it has potential, but it’s not. But your taste, the thing that got you into the game, is still killer. And your taste is why your work disappoints you. A lot of people never get past this phase, they quit. Most people I know who do interesting, creative work went through years of this. We know our work doesn’t have this special thing that we want it to have. We all go through this. And if you are just starting out or you are still in this phase, you gotta know its normal and the most important thing you can do is do a lot of work. Put yourself on a deadline so that every week you will finish one story. It is only by going through a volume of work that you will close that gap, and your work will be as good as your ambitions. And I took longer to figure out how to do this than anyone I’ve ever met. It’s gonna take awhile. It’s normal to take awhile. You’ve just gotta fight your way through.”
Gue udah nggak tahu lagi sama cita-cita gue jadi penulis. Kebayang kalo temen lama ketemu gue dan nanyain kabar kepenulisan gue, itu bakal pahit banget. Sekarang gue lagi hiatus dulu dari dunia kepenulisan, suatu hari nanti bisa balik lagi, atau nggak. Udah lama banget gue mempertanyakan diri gue sampai gue mengikhlaskan kalo mungkin jalan ini bukan untuk gue. Daripada gue stres sendiri. Agak susah, soalnya jadi penulis itu cita-cita gue dari kecil, dan melepaskannya begitu saja itu seperti mengecewakan masa kecil gue. Sekarang gue lagi coba nulis yang gampang-gampang aja, seperti nulis jurnal, nulis blog, kalo bisa se-candid mungkin. Gue banyak ide untuk bikin cerpen dan novel, tapi nggak yakin gue siap sekarang.
Gue pernah baca entah dimana, ada quote yang bilang being a writer is a lonely job. Mungkin gue hanya perlu melongok jendela dunia lebih sering lagi. 
0 notes
jesuismager · 10 years
Text
LOTR: Frodo dan rombongan harem
Tumblr media
Gue si anak bangsat yang ga masuk sekolah karena mata bengkak, kemudian nonton Fellowship of the Ring.
Ngepost ini berasa aib banget karena... ini baru pertama kalinya gue nonton LOTR secara khusus. Bukan cuma ngeliat muka Orlando Bloom berapa detik waktu gonta-ganti film liburan di TV. Banyak orang yang shock waktu denger gue belum pernah nonton Lord of the Rings. Padahal gue sampah The Hobbit banget. Setiap mendengar atau melihat elang dan kenari nangis. Maaf ya gue karbitan.
Ini bukan review juga sih, apa lagi yang bisa direview? Tapi gue jadi nyesel nggak nonton dari dulu-dulu. Obviously Fellowship lebih keren daripada The Hobbit. Catatan pertama, ini film homo banget. SUMPAH gue sudah berusaha menikmati film ini tanpa memasukkannya ke konteks yaoiisme tapi susah. Emang otak sudah nggak benar. Frodo-Sam dan Merry-Pippin kental banget, tapi justru yang malu-malu tapi malu macam Legorn dan Aramir bikin fangirling nggak jelas. Aragorn sweg banget memang, tak heran dia mengundang harem di dalam harem itu sendiri.
Secondly, STRONG FEMALE CHARACTERS HELL YES. Lelah banget karena Tauriel di BotFA yang mendadak jadi menye-menye dan jatuh ke stereotip karakter cewek yang diselamatkan sang lelaki, lelaki mati, terus balas dendam ke pembunuh sang lelaki. Sayang banget, padahal di film-film sebelumnya dia udah badass. Agak ironis, soalnya Tauriel diciptakan untuk menambah tokoh perempuan di trilogi The Hobbit, tapi malah digunakan untuk menambah cinta segitiga yang nggak penting. Di sini ada Arwen dan Galadriel yang memang bukan diciptakan untuk jadi tipikal simbol feminis, tapi menurut gue mereka lebih berkarakter (iya lah paling nggak mereka canon kan???). Dinamika romance Arwen-Aragorn juga lebih terasa menyentuh dan nggak maksa. Arwen datang dan pergi sesuka-suka dia dan membuat keputusannya sendiri. Harus juga gue tambahkan kecintaan gue terhadap Galadriel, yang sudah tumbuh sejak The Hobbit, dan mekar jadi indah di film ini. Ratu yang mahatahu (dan creepy abis sebenernya), bijak, anggun, tapi juga punya sisi gelap dan hobi kesurupan tiba-tiba. BE MY MOM. Mungkin banyak yang ngeliat Arwen dan Galadriel sebagai karakter mary sue, tapi menurut gue nggak juga. 
Ada adegan-adegan yang berhasil diprekuelkan trilogi The Hobbit dengan baik, yang gue inget saat nonton film ini. Waktu kemaren di BOTFA Saruman bilang "leave Sauron to me,"  sekarang gue hanya bisa ketawa pahit. Kemudian pas Thranduil nyuruh Legolas untuk mencari Aragorn di akhirnya, sekarang waktu Legolas membela Aragorn dari Boromir waktu roundtable-nya Elrond itu jadi cie banget.
Fellowship of the Ring adalah film adventure yang menyenangkan, gue jauh lebih suka nonton filmnya daripada baca bukunya yang ujung-ujungnya terlantar. Salut sama durasinya yang mantap banget tanpa bikin ceritanya jadi membosankan. Durasi juga jadi salah satu kelemahan film ini sih, karena bikin gue males dan susah cari waktu untuk nontonnya. I'm probably the last person on earth to watch this but if you haven't, wait no further and watch this.
0 notes
jesuismager · 10 years
Text
je suis mager dengan kearifan lokal
Astaga. Maap. Gue masih kagok sama layout tambler yang baru, meski ga ada perubahan yang berarti tapi rasanya ga nyaman aja. Tau ga sih, kayak sofa di rumah yang biasa lo tag sebagai properti pribadi (meskipun semua furniture di rumah warisan eyangnya eyang buyut or something) didudukin orang lain. Aneh aja.
Rada kagok juga membiasakan diri kembali ngeblog pake bahasa indo. Dan menggunakan 'gue'. Kosakata yang sangat asing untuk ///gue/// karena semasa SD gue ngomong ke temen pake bahasa Harry Potter terjemahannya almarhumah Tante Listiana Srisanti. Bayangkan culture shock yang gue alami ketika pindah ke SD negeri di kelas 5 yang krucil-krucilnya udah jago maenan warnet dan wawasan kebahasaannya sayang binatang banget. Tapi akhirnya seiring masuk SMP tata bahasa gue berubah jadi "EH EH LO! PINJEM APUSAN DONG!" dan "anjing dompet gue ketinggalan" (sering terjadi). Tapi sebenernya di jaman SMP gue getol-getolnya ngeblog juga masih pake bahasa baku, aku-kamu, berpuisi bahkan. 
I've just had a pretty bad case of Monday: ngerjain ekonomi ga selesai, sejarah gabut banget, dibentak guru yang merasa dirinya Beyonce lagi tamasya ke warteg, mata bengkak sebelah di dalam menyebabkan tampang gue udah nsfw ga jelas, udah berjibaku menembus Tanah Abang ga jadi main ke rumah temen, dsb. Capek banget. Sampe rumah mainan HP sejam sebelum mandi dan nyuruh adek netesin obat mata. Setelah itu gue ngestalk orang, nontonin film pendek, dan nyariin video buat PR temen sampe jam 8. 
Orang melarat kayak apapun pasti ujung-ujungnya lari juga ke internet. 
Agak sulit untuk percaya pada kenyataan bahwa yang bikin internet itu bukan Time Lord atau penghuni-penghuni alam Di Atas Sana. Sumpah, sekarang gue pengen banget menguap ke udara terus ngebrowse hal macem-macem yang udah lama pengen gue browse tapi ga kesampean because ~real life~ dan ~lihat judul blog~. Misalnya baca-baca RookieMag, Brainpickings, buang-buang umur di Buzzfeed, nonton The Hobbit production diary yang saking banyaknya udah bisa jadi TV series sendiri itu, atau detail mengenai jurusan-jurusan dan univ yang pengen gue ambil nantinya. Yha. Masa depan sendiri kok diprocrastinate.
Gue males nulis bahasa indo begini sebenernya, sekalinya jayus jayus banget, dan curhatnya kayak murahan nggak jelas. Kalo curhat bahasa inggris kan kesannya ~elegan~. Menurut gue sih tulisan gue fine-fine aja, cuma kalo orang nganggep blog lo kurang berkualitas karena dipenuhi curhat anak SMA kan... gimana yah. Susah (dan mager) juga cari bahan postingan lain. Karena konflik pribadi dan hal-hal sekitar gue anggap menarik, ya gue tulis di sini. Tapi apa yang menarik buat gue belum tentu menarik buat orang lain, kan. Gue sendiri kadang seneng baca curhatan orang di blog mereka, kalo curhatnya ga ngomongin seputar mantan, ratapan anak jomblo, atau pamer duit. 
Jadi yah maaf kalau beberapa post ke depan gue bakal ga konsisten gonta-ganti dari indo ke inggris (konsisten posting setahun sekali aja udah bagus sebenernya). Dan gue cenderung garing. Tapi menurut kalian gimana, seneng ga sih baca semi-curhatan gue? Sudah siapkah gue ikut audisi SUCI Season 5 dengan tata bahasa gue yang sungguh mengocok perut ini? [teriak-teriak ke pembaca noneksisten]
0 notes
jesuismager · 10 years
Text
Review: ENTROK by Okky Madasari
Tumblr media
Have you ever read a book that gets you so mad you feel the need to stab someone?
I think that's just how big the effect Entrok had on me.
This book tells the story about a mother and daughter, Marni and Rahayu, completely different individuals who grew up in different era, with different beliefs and moral values, yet they are the same. Blood is thicker than water. Living under the corrupted New Order regime, they fought hard against injustice and found their way back to each other, although things doesn't always end the way they wanted.
As a young person who had never tasted Soeharto's regime, this book enraged me so much. It's a known fact that those years violated the freedom of speech and human rights big time, but I've never really considered how it affected the people at the time. Especially people living in villages, who still holds the old-fashioned way of thinking and customs, making it relatively easier for the people in power to control them.
This book provides a much more personal point of view of the dictatorship era. Marni's struggle to run her business and defend her own pride against the patriarchy at the time, only to watch the soldiers and the men in his life taking all her hard work away. Being the only one who questions justice, only to be told to shut up and play along. Rahayu's realization on the terror that had been going on forever in this country, and her courage to step up and defend people's right till the end of the line. 
What hooked me to the story was the harsh truth it spits, the fact that it might've had happened somewhere in the past. It brought the sentences alive, powerful, and drenched with emotion. Everything made me so angry and I felt like a princess living in a fairytale land for not knowing the dark past of my own country. Also I have a soft spot for female characters struggling against the inequality within their traditional customs. Basically, there are lots of reasons of why I love this book so much that I'm letting the frigid writing style (boring, highly descriptive, less showing and more telling) go.
I love the flawed, in-depth characterization: Marni and Rahayu both had the strong feminist traits, they both yearn for justice, but they also had their moments of vulnerability and doubt, and their needs to be loved as a wife. Even they could not tolerate each other's difference, which lead to their parting ways. 
The title itself means 'bra' in Javanese. At the start of the story, Marni, entering her early teenage years, couldn't afford a bra. She worked as a carrier in the market to earn the money, and later she expands her business to reselling household items and owing debts. Bra was literally the first thing that got her into wealth at the first place. I also like to think that the bra is a symbol to growing up--realizing that the world isn't such a perfect place after all, that you're no longer a child and no one could protect you because the authority is fucked up. You take on your own responsibilites and fight for your own rights.
So, yeah, definitely recommended for everyone. Especially if you're concerned about social justice and feminism issues, or New Order cases. This book will piss you off your chair, sure, but as they say: if you're not angry, you're not paying attention.
[Just my personal thing, but I think the ending is hauntingly perfect. It emphasizes the length this life would go through to ruin someone's life just to prove that it is, in fact, not fair. And as soon as you realize what it's got to do with the opening scene, you'll feel goosebumps on your neck and would immediately throw the book away. (At least I threw mine on the floor. I know. Not cool.)]
0 notes
jesuismager · 10 years
Text
blogs
Surprise, surprise, this is not the first blog i've made within my long-standing relationship with the internet. I know, I write so bad and curhat too much I pass as being a first-timer.
the minds we had
I made this blog in fifth grade. My dad, who was a newbie in techno wizz thingy like I was, discovered this form of miracle and told me to make a blog. He'd known my penchant for writing since I was in Kindergarten. I wrote a lot during my elementary years, and everyone thought I was some kind of a prodigy until my dad discovered that I've inherited one of his most valuable traits, procrastination.
I wrote a lot of interesting stuff like movie and book reviews, my thoughts about school and writing and Life. Also recorded some leftovers from my Taylor Swift and Greyson Chance phase. I managed to write on it consistently until... high school, I guess? I got lazy and I've felt like outgrowing that blog, so I left. But I still read it now sometimes, it's nice to know that my thoughts were rather ~mature~ for people my age and stuck to a thing for a few years. 
I've deleted a lot of my posts from fifth grade because I'm ashamed but here is my personal favorite from the okayish posts.
chocococ.multiply.com
Shame they deleted Multiply!!!! I spent most of my fifth-sixth grade here, aside of Facebook. Multiply is actually closer to a social network than a blogging platform, and this is where my online friends phase started. Most of my friends were nice, goody-two-shoes, often religious girls who all have an interest in writing and tinkering their blog into a glitter vomit. I was one of them (I've never been that religious though, even since I'm really young) and I'm hella proud. I made my own blog theme and buttons and everything, I've really considered myself as an HTML expert once. I befriended this girl who likes to write, and I even came to her book release, fun.
we will be remembered
This doesn't particularly counts as a blog actually, but yeah. I made this on middle school where my fellow Potterhead friend introduced me to the miracle of Tumblr. Finding out the fact that it's actually an evil blackhole luring me to pain and sadness, it didn't really bother me. Well, no, actually the only fandom I joined during this period was Harry Potter, Hunger Games and stuff like that, and Taylor Swift. Boy I was a big fan of her. I also made mediocre graphic edits (basically just PSDs and disturbing qualities of gifs) that I'm too lazy to do now. I abandoned it eventually and made a new Tumblr at the start of high school, this time with more fandom and otp and angst, also social justice reblogs.
pandora
This blog was invented during my period of reading Rookie Mag religiously. I added my URL at the bottom of my comment on every posts because duh, and I quickly made some friends. Although I came up with a few deep thoughts upon writing in it, I didn't really like the pressure that came with it. Everyone else's blog were cooler, with their thrifted outfit posts and collections of vintage things, so I'd try to be them. I documented everything I did so it would go up the blog and I'd look cool enough. 
The show-and-tell got tiring, so I quitted and settled for a blogless life, checking only my Tumblr occasionally. I did make a Twitter account to document my fandom-related breakdown and rants about real life. The size and the general lightness of its content made it easier to post, yet it opened my mind to lots of things going on around me. The people are very nice and accepting--actually my friend from this student exchange thing introduced me to the fan community. I gain a lot of interests and different perspective, and it had help me a lot during last year.��
And here is another blog, and I haven't came up with a cool backstory yet, but it's okay I guess.
0 notes
jesuismager · 10 years
Text
Once, my cousin said that at the moment I might look forward to college, I might look forward to "finally being free" and "learning what I want" but actually it's just the same old bullshit--the same way I had resented middle school and thought high school would be more fascinating. I adore her cynicism and brutal honesty, and above all, her guts to use it on me. But getting sassed and being put down to my place like that actually feels awful.
I guess it might be the same old kind of stuff, but the way people look at you will change. They would start to adress you as an actual human being. I realize the responsibilities I'd be having, but I will pretend to overlook them now and juggle with it along the way (which is not how an actual human being should be acting in any way).
Also the freedom to--as cheesy at is sounds, be what you want. Sure, it's not going to be served to you in a silver platter or something, you would have to work for it and stuff. I talked to a college student recently, and she said that people in college generally care less of what others say about them. I guess everyone just grows tired of walking the tightrope of people's mundane whispers and ratty social hierarchy, and just decides to have fun. Which is probably what most of us had been doing since elementary school, but gets opressed for thinking beyond our times.
That's just my fantasy of the land of the higher education. I don't know if it's even going to turn up exactly like this but at least I'd have a better reason to look forward to university rather than merely to get a degree and a normal high-paying job or something.
0 notes