an art worker trying to archive their work—what a lot of work!
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
lately, I've been working to develop my own research-workshop process while surviving my office and collective work. while being occupied with work and constantly polishing my own project about working conditions, which requires a lot of work (repetition on work), I remember there's one project that left quite a poignant chapter in my life: it was Arisan Tenggara.
back in 2018, several collectives based in Yogyakarta initiated Arisan Tenggara as a residency program which was designed as a platform for discussion, development and network expansion between art collectives in Southeast Asia. this idea was developed by Ace House Collective alongside several other collectives, such as Krack! Studio, Lifepatch, Ruang MES 56, Ruang Gulma, and SURVIVE! Garage.
in my goldfish memory, the project was intense, but it was a really good experience to not only organize different activities and talks but also have very rich brainstorming sessions too. I participated as a moderator, facilitator, notetaker, and sometimes translator. these tasks were distributed among several people, and all of us took turns. the participants were not only from Yogyakarta, but also from Manila, Bangkok, Kuala Lumpur, Timor Leste, and Makassar (for more information about the collectives, please read the attached link). if i may highlight one of the initiative that was discussed, it was Commons Credit Cooperativa (CCC).
CCC is a cooperative aiming at supporting the members' artistic production. While in traditional cooperatives the exchange object is money, CCC facilitates its members to exchange time. This is the illustration. One member of CCC may contribute his/her 4 hours of working to support the other CCC members' projects by doing his/her expertise. In return, that particular member can ask for other members' 4 hours of working to provide what he/she needs in his/her own project. (reference here)
note: documentation from Arisan Tenggara
I can't quite remember how we started. but, there's a file that I found in my computer. it was about how much we can allocate the skills we have in order to exchange them with each other was to list out the skills and calculate the remuneration per hour, then transfer it into credits which each member can claim. it sounds confusing, and indeed it was. that was a hard process to calculate how much we can value our own skills. however, we managed to overcome the process by creating a case study to understand how the cooperation is working.
note: the illustration above comes from the meeting notes I took during the preparation for Arisan Tenggara's presentation day
Arisan Tenggara reminds me again that we already tried to imagine how to distribute collective and personal resources "equally". but also, to understand that equal means that everyone can finally meet their goals from exchanging skills with others. the model was not completely successful, as this requires lots of trials and errors. also, it's not really continuing in real life. however, the process of helping each other by sharing and exchanging skills is still going strong, as it's something that's been practiced for so long.
this was a good project with great intentions. personally, this is something that's not entirely impossible. there's an ongoing initiative called Koperasi Kepakaran or a cooperative based on expertise, initiated by ken8, which i thought has the initial spirit that was planned by ccc. if you're interested in their program, please check their activity here: ken8.wiki
for more information about Arisan Tenggara, you can read more through these links:
IVAA - Arisan: Forum Kolektif Seni Asia Tenggara (ID)
IndoArtNow
#storage#art labour#care#art labor#arts worker#labor unions#art#art management#cooperative#cooperative care#art collective
0 notes
Text
Ingin berbagi sumber lain terkait dengan kerja-kerja di kesenian. Arts of the Working Class adalah salah satu portal yang cukup sering aku kunjungi. Ada beberapa alasan kenapa aku merekomendasikan mereka, pertama adalah bentuk komitmen untuk melakukan penerbitan secara berkala dan konsisten, baik itu format cetak maupun digital. Hal ini menjadi penting karena untuk meluangkan waktu dari kerja untuk menulis soal kerja bukanlah hal yang mudah. Juga, memang belum banyak aku temukan kanal yang menampung informasi perihal kerja-kerja di kesenian.
Berikutnya adalah materi-materi yang mereka terbitkan tidak terbatas pada satu bahasa saja. Seringkali banyak yang membuat suatu terbitan dengan berfokus pada bahasa ibu mereka dan satunya masih banyak dalam Bahasa Inggris karena tentu dengan bayangan bahwa ini "bahasa universal". Tentu tidak salah tapi usaha yang dilakukan di Arts of the Working Class menjadi penting. Bahwa ruang yang mereka berikan terbuka pada siapapun dan dalam bahasa apapun, sehingga hampir tidak ada yang membatasinya.
Terakhir tentu akses yang gratis! Bagi yang ingin membaca terbitan mereka tapi jauh dari tanah Eropa, bisa baca edisi-edisi lawas mereka di websitenya. Namun, jikalau ada kesempatan bisa titip teman terbitan fisik mereka akan sangat baik karena bisa membantu kelangsungan penerbitan mandiri mereka.
0 notes
Text
youtube
oh, I haven't told you about the blog's name. it was obviously taken from Dolly Parton's song, 9 to 5. but, I'm sure, not only in the arts but other jobs too, 9 to 5 seems like the ideal life. most of us might be working from 9 am to 10 pm. so, probably the correct way to talk about working hours is by saying "9 to WHAT?". please make sure to put WHAT in uppercase letters, cause it shows the anger and confusion. that's all. thanks bye.
0 notes
Text
instagram
ngomong ngomong soal berbagi, aku mau cerita tentang satu buku yang diinisiasi oleh temanku bernama Gizem. waktu itu dia datang ke Jogja untuk residensi. mendengar residensi biasanya lekat dengan institusi yang mapan tapi banyak juga sebenarnya yang datang dengan pendanaan sendiri. atau kalau mereka mendapatkan pendanaan, biasanya mepet alias hidupnya selama residensi mengirit.
Gizem adalah satu cerita dari kondisi yang terakhir. ia datang ke Jogja sebagai seorang seniman dan juga pekerja seni yang di negara asalnya juga mengalami kesulitan ekonomi. kalau bahasa warga sekarang in this economy siapa yang nggak kesulitan, kan? buku ini merangkum perjalanan residensi Gizem, bagaimana dia memanfaatkan pendanaan residensinya untuk berjejaring dengan seniman serta pekerja seni di Jogja untuk membicarakan tentang kerentanan melalu topik "pekerjaan sampingan". dari buku ini aku membayangkan, mungkin kerentanaan sebagai pekerja seni harusnya perlahan mulai kita obrolkan sebagai bentuk "perentanan" karena ada sistem yang bekerja yang membuat kita (pekerja) bisa berada dalam kondisi rentan. ini tentu refleksi personal tapi aku merekomendasikan kalian untuk baca ini, luv <3
#catalog#rambles#art labor#care#labor unions#labor day#art labour#arts worker#art#art management#Instagram
0 notes
Text
tulisan dari Sukma Smita Grah Brillianesti ini aku pikir jadi salah satu bentuk menarik bagaimana membayangkan mengenai "tools" atau perkakas yang diperlukan sebagai seorang manajer seni. tidak jarang perkakas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang manajer seni diketahui dalam ruang-ruang yang sifatnya informal, sebut saja saat nongkrong.
"Ragam cara penambal bolong yang disebut Ries sebagai tools tidak hanya membuatnya mampu bekerja lebih profesional, namun juga membantu dirinya merawat jaringan dan kemudian menyerap berbagai pengetahuan tentang kerja-kerja kesenian melalui pengalaman kerja bersama dan diskusi-diskusi informal di dalamnya."
bagian penting lainnya adalah di artikel ini juga bisa terbayangkan kerja manajer seni yang sifatnya cair. maksudnya cair adalah tidak terpatok pada satu bentuk saja dan antara faktor internal serta eksternal pun hampir tidak memiliki batas. mungkin batas yang bisa dibuat saat si manajer seni itu membangunnya sendiri. artikel ini menjadi penting karena kesempatan untuk nongkrong dengan mereka yang senior di bidang manajerial seni tidaklah banyak. sehingga jika kalian membutuhkan gambaran awal mengenai kerja sebagai manajer seni, cerita tentang Mbak Ries ini bisa jadi salah satu pengantar.
0 notes
Text
instagram
tahun 2017 adalah awal perkenalanku dengan teman-teman yang mulai berkumpul untuk membicarakan permasalahan yang ada di kesenian. pada waktu itu, cakupannya adalah dari sisi manajerialnya dan mereka yang berkumpul adalah teman-teman yang bekerja di bidang tersebut. mereka telah aktif berkumpul dan berdikusi sejak 2016 dan di bulan Oktober terbentuklah sebuah kelompok belajar PR Seni (Pengelolaan Ruang Seni).
namun, seiring perkembangan di tahun 2022, beberapa anggota yang masih tersisa mengubah format kelompok serta namanya menjadi "After Hours Care Club".
1 note
·
View note
Text

untuk berbagi lebih banyak lagi cuapan terkait dengan keputusan membuat tumblr ini, coba kalian lihat gambar yang aku tautkan di sini. "I am plagued by concepts" dan memang, aku sudah mendengar, berdiskusi, serta terpapar dengan banyak konsep. konsep-konsep terkait seni dan kerja. namun, sayangnya masih sedikit sekali yang menuliskan ini atau bahkan secara rutin membagikannya. terutama, hal-hal yang sifatnya kontekstual dan terkini, yang berhubungan dengan pekerja seni.
kontekstual apa? kontekstual pada permasalahan lokal yang terjadi di sekitar kita. secara lebih spesifik lagi lingkungan dan daerah di mana aku atau kalian bekerja sekarang. jadi harapannya konsep-konsep soal seni dan pekerjanya ini tidak jadi wabah yang mematikan tapi menyatukan (asik).
gambar diambil dari akun @milkstrology
0 notes
Text
hello people, I decided to start this tumblr account separated from my personal blog for focusing on my research or project. the intention of my long and slow project is to start archiving and collecting anything; be it memes, photos, articles, news and many more, related to art labour issues.
my own article (link provided) was my first attempt to assemble my own thoughts about the problems within the art labour. I love working in the arts, though I sometimes hate it but it doesn't made me run away. love is probably the first tools that push me to think about hope and further to solidarity also interdependencies (we'll talk about this later). this page won't be using any formal or correct writing language that requires you to get IELTS band 8.5, but I want to make this page as easy as it can be so anyone can contribute. also, in any language! sometimes, I'll be writing in Indonesian too, so just be open-minded, there are a bunch of translation apps you can use.
anyway, welcome!
1 note
·
View note