nurulfiatussh
nurulfiatussh
Her page
24 posts
She has million things to be written, but mostly it stays in her head
Don't wanna be here? Send us removal request.
nurulfiatussh · 2 months ago
Text
Bila Takdir Menyayangimu Lewat Cara yang Tak Kamu Pahami
Tak semua kehilangan itu benar-benar kehilangan. Dan tak semua yang ditunda adalah penolakan. Kadang, yang tenggelam bukan untuk dihancurkan — tapi untuk diselamatkan dari arah yang salah. Allah menenggelamkan kapal bukan karena ingin melihatmu terombang-ambing.
Tapi karena Dia tahu: Kapal itu, jika berlayar terlalu jauh, akan membawamu ke pelabuhan yang justru mencelakakanmu. Maka Dia tenggelamkan — bukan untuk menyakitimu, tapi agar kau kembali memeluk daratan-Nya.
Kadang, cara Allah melindungimu adalah dengan mematahkan keinginanmu. Kadang, cara-Nya menyelamatkanmu adalah dengan memisahkanmu dari sesuatu yang terus kamu perjuangkan.
Bahkan ketika kamu merasa, "Aku sudah cukup berdoa, sudah cukup baik, kenapa tetap tidak diberikan?" Maka jawabannya adalah: Karena Allah mencintaimu — dengan cinta yang tahu persis kapan waktu terbaik untuk memberi. Dan kadang… cinta itu datang dalam bentuk penolakan.
Semua yang Allah tetapkan — meski menyakitkan — tetaplah yang terbaik. Karena pilihan Allah untukmu, selalu lebih tahu, selalu lebih tepat, selalu lebih menyelamatkan, dibandingkan semua pilihanmu sendiri.
Selamat bercerita dengan doa, gapapa, semua akan baik-baik saja
@jndmmsyhd
505 notes · View notes
nurulfiatussh · 4 months ago
Text
Sadar dan Pergi
Dalam proses menjadi dewasa, aku kerap berbenturan dengan sesuatu yang tidak sesuai value, tidak sesuai dengan kata hati, dan mudah bagiku untuk memutuskan tidak lalu pergi. Tapi, ternyata, seiring bertambah dewasa, kompleksitas pengambilan keputusan tidak semudah itu.
Aku sempat ragu dengan diriku, apakah aku harus pergi atau tidak. Pergi dan melepaskan semua hal yang telah kuupayakan, atau bertahan dengan berusaha mengubah keadaannya. Aku memaksakan diriku untuk bertahan, berujung pada seringnya aku kehilangan kewarasan.
Aku tahu, ternyata jawabannya tetap sama untuk hal-hal yang tak lagi sesuai dengan value dan kata hati. Pergi.
Aku telah belajar, untuk ke depannya akan jadi lebih mudah lagi. Tidak perlu mempertahankan sesuatu yang tak lagi sesuai dengan value yang diyakini, cukup pergi dan lupakan. Biarkan mereka dengan segala pembenarannya.
Meski, semuanya harus dimulai lagi dari awal. Tetaplah pergi, ketika menyadarinya. (c)kurniawangunadi
251 notes · View notes
nurulfiatussh · 7 months ago
Text
Tumblr media
Wanita dan kekhawatirannya itu unik dan ajaib, sebagaimana hati mereka yang mudah berbolak balik, tidak menentu dan mudah goyah meski dengan angin kecil. Semakin ia menunduk akan semakin kencang pegangannya, semakin ia menjaga dirinya dan hatinya akan semakin kuat pondasinya.
- repost tumblr jndmmsyhd | pict from pinterest
30 notes · View notes
nurulfiatussh · 11 months ago
Text
Tumblr media
وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلْمَـٰكِرِينَ
“And Allah is the best of planners.” [8:30] 🤍
quote: @soulflowrss
833 notes · View notes
nurulfiatussh · 2 years ago
Text
Tak Perlu Terburu-Buru
Belakangan ini rasanya aku mendapati banyak orang terburu-buru untuk memberikan simpulan atas orang lain, terlebih pada ranah yang sebenarnya dia tak perlu untuk melakukan hal tersebut.
Misalnya saja pesta pernikahan yang dibuat sederhana dengan hantaran makanan yang bisa dikatakan ala kadarnya, beberapa manusia langsung berkomentar. Padahal mereka tak mengetahui alasan di balik itu semua. Bisa saja keluarga memang hanya mampu menyuguhkan walimah yang sederhana agar menghindari hutang di kemudian hari. Tak salah memang hutang tapi tidak semua orang siap untuk itu.
Hal lain yang tak luput dari simpulan secara terburu-buru adalah tentang keharusan ini dan itu seolah hidup memiliki template yang harus dipatuhi oleh orang lain. Jika tidak sesuai template maka kamu harus menerima cibiran.
"Setelah lulus itu harus kerja. Setelah itu menikah dan memiliki keturunan."
Jika memang hidup begitu teratur mengapa diciptakan manusia dengan pemikiran yang berbeda hingga muncul prioritas yang beragam antarmanusia?
Berhentilah mendikte orang lain untuk menyusun rencana hidup sesuai dengan hidupmu. Setiap orang berhak atas pilihannya. Ada yang memilih menikah dulu baru bekerja. Ada pula yang ingin mencapai puncak karir terlebih dahulu. Itu bukan hakmu untuk terburu-buru membuat simpulan atas pilihan orang lain.
Jangan karena kamu merasa hidupmu sesuai dengan "alur" hidup orang-orang di muka bumi maka kamu berhak untuk memberikan label buruk atas orang lain.
Commuterline, 24 Juli 2023
Rajuami
137 notes · View notes
nurulfiatussh · 2 years ago
Text
The Wounded Ego
Kala itu aku menunggunya datang, memberanikan diri mendatangi rumah yang telah kususun rapi untuk menyambutnya. Dia datang dalam keadaan tidak baik-baik saja, berpenampilan lusuh, tampak gores luka sini sana dengan raut masam menghiasi wajahnya. Aku mempersilahkannya duduk di hadapanku, sembari aku melemparkan senyum terhangatku. Ia semakin menunduk malu, namun dapat aku lihat guratan senyum tipis sekali, senyum yang canggung.
“Hi, apa kabar?” tanyaku memecah suasana hening ini.
“Hehe, as you could see.” aku tau jawabannya serius, sekalipun diselingi tawa yang ia paksakan.
“Why? is it still hard to say that you are not fine?” dia mengangguk, tak bersuara.
“Kamu penasaran gak sama responku?” kepalanya mendongak sedikit mencoba melihatku, ahh aku tau dia penasaran. Responnya cukup membuatku semakin melebarkan senyum.
“Tidak, aku tidak marah. Aku tahu kalau ini pun bukan sepenuhnya kemauanmu, tapi mungkin akan sulit untuk aku bisa lebih mengerti kalau kamu pun tidak jujur.” Kalimat yang membuatnya malah semakin menundukkan kepala dan bahu, yang ditopang kedua tangan menutupi wajah mungilnya.
Suasana menjadi semakin senyap, tapi di ujung sana aku melihat bagaimana pundak kecil itu bergetar. Aku menghampirinya perlahan. Kemudian memposisikan diriku dalam posisi setengah duduk bertumpu pada kedua lututku di sampingnya, memiringkan kepalaku mencoba mencari celah untuk melihat wajahnya. Memastikan, meski aku sudah yakin, dia sedang menangis sekarang.
“It’s okay fi, it’s okay.” aku mencoba menenangkannya sembari mengusap-usap punggungnya.
“We’re safe now, it’s okay.” Iya, aku terus-menerus memberikannya kalimat reassurance, karena itulah kalimat yang paling ia ingin dengar sekarang. Terlebih, dia memang menyukai kalimat-kalimat tersebut, termasuk ‘iya, gapapa.’
“Kamu tahu, aku jauh lebih baik sekarang. Mungkin itu yang membuatku bisa dengan lebih tenang mempersilahkanmu hadir, menyambutmu dan berbicara denganmu sekarang.” tanganku masih mengusap punggungnya lembut.
“Lihat aku, kita semakin mendewasa, aku bertumbuh dan menguat, begitu pula kamu. Aku senang melihatmu tak lagi bersembunyi seperti dulu, mengatasnamakan banyak hal sebagai alasan untuk menutupi kenyataan, atau memilih kabur.” Kini bahu yang semula bergetar itu, kian lebih tenang. Sepertinya, sekarang ia lebih bisa berfokus pada pembicaraanku.
“Aku tahu, kamu terluka. Aku juga tahu kamu sedang tidak baik-baik saja, bahkan sebelum kamu datang menampakkan diri. Menurutmu, kenapa coba aku tahu?” Kalimat yang kuucapkan ini, malah membuat aku tersenyum sendiri.
“Mungkin untukmu, kejadian kemarin tidak mudah untuk diterima. Bukankah kejadian itu sudah beberapa bulan yang lalu, kenapa masih marah?” Kali ini, aku berhasil membuatnya mengangkat kepala, melihat ke arahku.
“Aku malu, aku tampak seperti seorang yang bodoh.”
Matanya tegas menatapku, tampak kilatan amarah disana, tapi suaranya lirih. Aku tahu dia masih mencoba menahan tangisnya disana.
“Kenapa?” Aku mulai tahu kemana aku akan mengarahkan pertanyaanku.
“Aku baru mengetahui kebenarannya setelah selama ini.” 
Pandangan matanya sayu disertai dahi yang mengerut, menandakan gejolak amarah yang bercampur nestapa.
”Lalu, kalau memang baru tahu, memangnya kenapa?” Aku masih berbicara dalam nada yang lembut, sama seperti awal aku mempersilahkannya singgah.
“Ya, kenapa gak dari dulu.” Semakin nampak rasa kesal di benaknya.
“Memang kamu rugi apa, kalau baru tahu?”
”Aku tau aku tidak terlalu merugi jika dibanding dia, tapi aku malu. Aku merasa menjadi makhluk paling bodoh. Kenapa aku gak bisa mengetahui itu dari dulu.” 
Ternyata, dia masih merutuki diri.
“Oke, memang ada yang bilang kamu bodoh?” Matanya kini menjadi jauh lebih sayu.
“Ya gak ada, orang-orang yang tau cerita inipun juga masih menerimaku. Gak banyak yang berubah dari mereka, malah mereka mendukung keputusanku kemarin.”
“Oh bagus dong, berarti kamu sudah dapet validasi. Terus apa yang buat kamu belum bisa terima?”
“Mmm...”
”Menurutmu, mana yang lebih menyiksa sekarang? perbuatannya beberapa waktu yang lalu atau persepsimu terhadap dirimu sendiri?”
Pertanyaan yang bak sambaran petir, menyerangnya telak. Kini kepalanya tertunduk kembali, tapi tak lagi ia sembunyikan dariku. Air matanya yang berjatuhan kini tlah terlihat.
“Maaf yaaa, gapapa gapapa.” sembari aku membuka tangan dan memeluknya kemudian, merebahkan kepalanya dalam pundakku, kembali mengusap punggungnya.
“Kita manusia biasa fi, kita memang tidak ditakdirkan untuk mengetahui semuanya. Banyak hal berada di luar kendali kita. Kamu tidak berada dalam sepatunya, dan begitupun sebaliknya. Dulu, memang pertimbangan kita berujung banyak yang salah, pun ternyata solusi yang kita pikirkan matang-matang, berharap bisa membantu ternyata sepertinya juga sia-sia. Tapi kita sudah bertindak berdasarkan sebatas informasi yang kita tahu, meskipun apa yang kita tahu ternyata semu. ”
“Hei, gaada satu pun manusia di dunia ini yang gak pernah berbuat salah kan? Iya, perkiraan kita salah kemarin, yang ternyata berdampak ke beberapa sikap dan pengambilan keputusan yanng salah. Maaf ya, jadinya kita mencoba memperbaiki sesuatu yang bahkan bukan dalam kontrol. Kita konyol ya? hehehe.�� Pundakku terasa basah, nampaknya air matanya masih lancar mengalir.
“Manusia itu fi, selalu melakukan kesalahan, sekalipun menurutnya sudah melakukan upaya maksimal sesuai sumber dayanya kala itu. Terkadang juga, bukan tentang upaya yang kurang maksimal, tapi juga banyak faktor yang mempengaruhi. Salah satunya, kayak cerita kita kemarin. Pun nanti ke depannya, kita gak akan terlepas dari kesalahan, gak akan ada ceritanya kita selalu benar dan tepat, yaaa?”
“Udah lebih baikan sekarang?” tanyaku memastikan, dan ia mengangguk meskipun pipinya basah tidak karuan.
“Setelah ini, kita pelajari soal kamu lebih jauh ya. Aku juga masih terus belajar dan berusaha untuk lebih sering pakai self defense yang lebih sehat dan dewasa ya.” Dia tersenyum sambil mengangguk pelan. Kali ini, dia tidak defensif seperti yang lalu-lalu, karena aku pun tak lagi memaksanya untuk menerima apa yang terjadi, akupun tak memintanya memaafkan yang lalu. I just let it be.
Dia tidak beranjak pergi dari rumah ini, pun aku tidak mengusirnya. Iya, kini dia menetap dalam bentuk yang lebih indah, seiring aku jauh lebih mempelajarinya, memahaminya dan menerimanya. Tidak, dia tak selalu nampak dalam pandanganku, hanya aku tahu dia memang disini, menjadi bagian dari diriku.
Tulisan di atas adalah percakapan imajiner antara aku dan egoku, bagaimana kemudian aku bisa menemukannya merupakan perjalanan berharga, dan bagaimana berdamai juga berkompromi dengannya menjadi bentuk seni hidup yang indah. Egoku di atas kugambarkan sebagai sosok yang sedang kupeluk, di balik sosoknya yang mencoba garang, she’s that fragile.
September, 2022
0 notes
nurulfiatussh · 2 years ago
Text
Merayakan Patah Hati
Aku merayakan patah hati kembali di usia dua puluh lima tahun, di saat perahu yang ku tumpangi rasanya sudah ku kayuh jauh, penuh usaha, penuh peluh. Rasanya? Bohong jika aku baik-baik saja.
Tapi, aku bangga...
Bukankah manusia tercipta sebagai makhluk kompleks. Bagaimana dua hal yang tampak kontradiktif mampu dirasakan bersamaan? Iya, aku merasakan perasaan bangga terhadap diriku yang telah lebih berani mengambil keputusan penting, sekalipun hatiku rasanya sudah berkeping-keping.
Kala usia dua lima, disaat cara pandang, pola pikiran dan ragam pengalaman hidup jauh lebih berkembang dibanding usia belia, membuat patah hatiku kali ini lebih bermakna dan berperan penting dalam perjalanan bertumbuhku sebagai seorang manusia.
Alih-alih menghindari pembicaraan tentang kisah dibalik patah hatiku, aku memilih menelan segala pelajaran pahit namun baik di baliknya. Ya, bagai menenggak jamu herbal yang dipercaya menyehatkan. Aku berjalan mempelajari diriku dalam kisah-kisah yang lalu.
Rasanya, pelajaran-pelajaran itu tiada habisnya sampai detik ini. Ya, aku menjadikan kisah pahit itu menjadi referensi berharga. Bagian paling terpentingnya, kini aku jauh mengenal diriku dan menerimanya seutuhnya.
April, 2022
1 note · View note
nurulfiatussh · 2 years ago
Text
Perihal memaafkanmu adalah tentang memaafkan diriku sendiri
Sekian malam dan aku masih menggerutu perihal apa yang pernah engkau lakukan Marahku membuncah tiap kali aku ingat kalimat tak elok yang pernah engkau ucapkan Perasaan kesal yang menggunung karena bagaimanapun analisaku terhadap tindakanmu hanyalah berakhir asumsi
Aku tak kunjung menemukan jawaban yang kucari
Berputar dalam kalimat “Kenapa ya kamu ambil keputusan semacam itu?” dan kalimat lain serupa tak pernah lepas mengusik pikiranku
Mempertanyakan alasan di balik keputusan-keputusanmu kala itu, seperti menjadi bagian dari keseharianku
Bukan aku tidak pernah mencoba bertanya, oh bukannya acap ratusan kali jua
Namun sekian alasan dan bentuk-bentuk rasionalisasi lah yang kerap kau lontarkan
Masih dengan lugunya aku berharap permintaan maaf, tak ayalnya aku harus menelan mentah-mentah hal sebaliknya
Aku tidak pernah kemana-kemana dengan kalimat yang berfokus padamu sebagai subjeknya
“Mengapa ya kamu melakukan hal ini padaku?”
“Mengapa ya kamu harus bersikap sampai sejauh itu padaku?”
“Apa ya kamu tidak mempertimbangkan bagaimana dampak perlakuan itu terhadapku?”
“Bagaimana bisa seseorang menjadi se-egois itu?”
Dan seterusnya… iya kalimat-kalimat semacam itu berkembang dan menggulungku dalam kekalutan
Sampai kerap kali aku berbicara pada diri sendiri, bertanya-tanya
Mengapa ya aku terus-menerus menanyakan pertanyaan yang aku pun tak kunjung tahu jawabannya, atau bahkan ya tidak akan pernah berujung tahu
Bukankah itu semua tidak menjadikanku bertumbuh
Mengapa aku tidak menanyakan pertanyaan yang aku bisa jawab untuk diriku sendiri?
Mengapa aku tidak mengganti semua subjek itu menjadi 'aku'?
Mengapa aku lupa bahwa sebagaimana aku tidak bertanggung jawab atas hidupnya, juga berlaku sebaliknya?
Sampai kemudian aku mengubah caraku bertanya,
“Mengapa aku masih menyimpan amarah terhadap orangnya, bukankah kita tidak lagi bersinggungan?”
“Bukankah dia sudah menjalani konsekuensi atas keputusannya di masa lampau, tapi mengapa aku masih meributkannya?”
Dan pertanyaan serupa kian bergulir
Menyadari, aku kini kenal bahwa rasa amarah yang tak kunjung selesai itu karena betapa aku merasa bodoh atas keputusanku di kala lalu, bagaimana rasanya harga diriku terinjak, bagaimana aku membenci diriku yang begitu naif dan bagaimana aku begitu sulit menerima bagian itu dalam diriku
Menyadari, aku masih mengolok-olok diri ini dan tak kunjung berhenti menyebutnya si dangkal
Menyadari, jauh dari memaafkanmu sungguh aku belum memaafkan diri sama sekali
Sungguh dengan kesadaran yang mulai terbentuk itu aku kini jauh lebih kokoh berjalan
Aku belajar keluar dari penjara yang aku bentuk terhadap diriku sendiri, di kepala
Dengan berfokus penuh menerima dan memaafkan diriku, bayanganmu kian luruh
Aku menerima diriku yang salah mengambil keputusan di masa lalu
Aku menerima bahwa aku pun menyakitimu
Aku menerima bahwa dalam perjalanan hubungan kemarin, aku memiliki andil dalam kesalahan
Pun aku menerima diriku yang jauh dari kata berilmu
Lalu tanpa sadar, perihal memaafkanmu rasanya tidak pernah semudah ini
Beban yang dulu kerap bertengger di kepala, lepas entah kemana
Ternyata aku tidak perlu bersusah payah memaafkanmu, ketika aku sudah mampu memaafkan diriku sendiri
Juni, 2022
0 notes
nurulfiatussh · 2 years ago
Text
JARAK AMAN
Hidup, kata John W. Gardner, ialah seni menggambar tanpa penghapus. Apapun yg kita jalani hari kemarin, tak akan bisa kita hapus, bila kemarin berjalan baik bagimu, ia akan mengesankan, bila sebaliknya, ia hanya akan melahirkan penyesalan. Tersebab demikian, rasanya penting bagi kita menjaga jarak aman, jarak yang melahirkan keseimbangan, berhenti pada titik cukup, tidak berlebihan.
Kata orang jawa, "Kesusu ngoyak opo, kesuwen nunggu opo?" (Terburu-buru, apa yang dikejar? Terlalu lama, nungguin apa?). Karena dasarnya ini adalah hidup kita, maka tidak ada yang paling mengerti apapun soal diri kita melainkan diri kita sendiri. Ada masanya orang lain jadi kaya lebih dulu, ada kalanya kita lulus lebih dulu, ada waktu orang lain bahagia lebih dulu, ada kalanya karir kita melonjak lebih dulu. Hal semacam itu pada akhirnya tidak akan kita risaukan secara berlebihan bila kita tau apa yang kita kejar, apa yang kita tunggu, dan seberapa besar jarak aman kita sehingga tidak membuat hidup kita tidak seimbang.
Kalau sedang berkendara, kita akan paham jarak aman akan membuat kita terhindar dari celaka. Memahami rambu akan menjadikan kita selamat.
Tapi ini bukan hanya soal berkendara.
579 notes · View notes
nurulfiatussh · 2 years ago
Text
Entah Kau Sebut Aku Apa
“Panggil aku perempuan gila,
Hantu berkepala keji membunuh kasihnya.”
- Rayuan Perempuan Gila
Di kala aku mengambil peran antagonis dalam kisah yang kau ceritakan, lalu bukankah aku perempuan gila itu?
Atau entah kau sebut aku apa tepatnya
Bahkan kalimat penutup yang kusematkan segala harap tak ayal pantas dibalas rasa muak dalam dua butir kalimat paling menohok
Membuatku meragukan diri sendiri, lagi dan lagi
Rasanya bangkitku jatuh
Lantas menenggelamkanku dalam rasa rendah diri
Berkali-kali aku menyesali permintaan maafku yang tak harus
Menyalahkan diri berulang atas ekspektasi yang entah tumbuh atas dasar apa
Jika balas dendam adalah yang kau usahakan?
Mengapa tidak sekalian?
Dalam edisi menjadi cegil dalam rangka terinspirasi lagu Nadin Amizah terbaru.
4 notes · View notes
nurulfiatussh · 3 years ago
Text
Kemarahan
Salah seorang temanku bercerita bagaimana buruknya hari yang dilaluinya saat itu, ia menceritakan bagaimana partner kerjanya seakan menusuknya dari belakang. Lalu, saat aku menanyakan perasaannya, dia kebingungan dan bertanya balik “sedih?”, bahkan ia kebingungan mendefinisikan perasaannya. Setelah lega ia menumpahkan emosinya dan menuangkan detail-detail tiap ceritanya, dia mengkonfirmasi kembali “Apa yang aku rasain itu apa bener sedih ya? tapi aku tuh kesel liat orangnya.”
Aku menanyakannya kembali “kalau sedih, darimana dong tenaga buat bercerita berapi-api seperti tadi?”
Setelah pertanyaan demi pertanyaan, akhirnya dia sampai di titik mengakui kemarahannya “iya ya, aku tuh marah. Kesel gitu, ngerasa annoying lihat orangnya.”
Kadang butuh perjalanan lebih panjang untuk seseorang mengakui bahwa dirinya sedang marah. Sebagian dari kita bertumbuh dengan doktrin “gak boleh marah.”, “marah itu gak baik.”, “kalau marah nanti jadi temennya setan.”, lupa mengajarkan bahwa marah adalah bagian dari perasaan manusia yang wajar. Karena kata dilarang inilah, kita lupa diajarkan bagaimana meregulasinya dengan baik. Alih-alih dilatih bagaimana menyalurkan marah dengan baik, perasaan marah dianggap sebagai hal negatif yang harus dihindari, ditekan atau dihilangkan. Lucunya, cara kerja marah seperti halnya emosi lain, tidak bisa dihindari, semakin dicoba untuk ditekan atau dihilangkan pun malah membuat manusia jatuh dalam kubangan frustasi.
Acap kali “aku sedih” lebih mudah diucapkan daripada “aku marah”, seakan jika kesedihan adalah hal yang lumrah dalam kisah hidup manusia, sedangkan kemarahan membuat turunnya nilai manusia. Padahal tidak. Kemarahan tampaknya membuat manusia kalah oleh dirinya sendiri, lupa bahwa kemarahan hanyalah emosi, amat sangat manusiawi. Bukan kemarahan yang patut disalahkan atas tindakan seseorang yang keliru, tetapi karena rasionalnya yang kalah atas kemarahannya.
Bukankah manusia tidak dihukum hanya karena ‘merasa’? Namun, karena bertindak salah, apapun alasannya termasuk jika hal itu didorong atas dasar kemarahannya. Rasa marah menjadikanmu tidak sempurna, sejatinya membedakanmu dengan Sang Kuasa.
Izinkanlah dirimu mengakui kemarahan yang ia rasa, menyedihkan rasanya jika ia tak mendapat validasi dari dirinya sendiri.
14 notes · View notes
nurulfiatussh · 3 years ago
Text
Mengapa kata hampir tidak pernah terasa cukup?
“Dia hampir saja menikah.”
“Mereka hampir punya anak.”
“Dia hampir saja bisa membeli rumah.”
“Dia hampir saja naik jabatan.”
“Acara itu hampir saja sukses besar.”
“Perusahaan itu hampir saja mendapat proyek besar.”
“Aku hampir saja mendapat tiket konser itu.”
“Dia hampir lolos seleksi.”
“Dia hampir saja melanjutkan studi.”
Rasanya tak asing mendengar kalimat-kalimat di atas dalam keseharian, pun seringkali disusul kata ‘andai’ setelahnya, atau kata lain yang memiliki makna serupa, seperti kalau saja, jika saja dan jikalau. Seakan kalimat “andai…” harus ditemukan agar otak mampu memproses kejadian. Tanpa sadar, kalimat di atas menyebabkan manusia semakin dalam terjebak dalam fase bargaining. Mencari-cari penyebab atas kata ‘hampir’ yang lekat dengan makna kegagalan, kehilangan, penolakan atau kedukaan. Mengubah-ubah skenario masa lalu dalam pikirannya, bermain di alam yang jauh dari realita.
“Aku hampir saja lolos seleksi, andai saja aku bisa lebih lancar berbicara bahasa inggris.”
“Mungkin kalau aku tahu seperti ini jadinya, aku lebih rajin belajar ngomong bahasa inggris.”
“Mungkin kalau aku melakukan ‘ini’, aku bakal lolos atau paling tidak aku melakukan ‘itu’ mungkin saja nilaiku lebih tinggi dari yang lain.”
”Coba kalau aku begini dan begitu.”
“Kenapa ya aku kemarin tidak melakukan ini dan itu?”
Mungkin ini itu, coba begini begitu, kenapa tidak ini, kenapa tidak itu, sungguh berulang tiada kunjung habisnya.
Kalimat-kalimat pertanyaan yang menjuruskan manusia menetap dalam lingkaran bargaining dan depresi, tak ayal mereka berharap bisa kembali ke masa lalu dan mengubah sejarah, namun sayangnya waktu tidak memiliki daya putar balik, sekeras apapun manusia mencoba.
Kata hampir atas kemenangan, keselamatan dan kebahagiaan menjadi kalimat yang begitu menyedihkan, bukan hanya tentang penerimaan terhadap kepahitan realita, tetapi juga harus dikuburnya impian, bayangan dan harapan.
Untukmu, momen ‘hampir’ apa yang begitu disesalkan?
Jika yang lalu, tidak bisa diubah. Mengapa memilih memenjarakan diri sendiri?
1 note · View note
nurulfiatussh · 3 years ago
Text
Maukah kamu menjadi telinga mereka?
Satu persatu pasien duduk di kursi pasien klinik untuk diperiksa setiap harinya, tidak ada yang spesial, sampai datang seorang remaja yang diantarkan ibunya dengan keluhan batuk selama 1 bulan disertai muntah. Ya, melihat seberapa lama anak ini batuk membuatku tahu ini bukan batuk biasa, pun saat mendengarkan suara batuknya. Ibunya juga tidak lupa menceritakan bahwa anaknya memiliki keluhan gatal di lengan. Saat ku periksa lengannya, aku menyadari sesuatu, benar saja anak ini sedang tidak baik-baik saja, amat tidak baik-baik saja.
Kini, dia sedang duduk di bangku sekolah SMA. Seorang remaja yang cantik. Aku meminta ibunya keluar ruangan sebentar karena aku ingin berbincang lebih panjang empat mata dengan anaknya ini. “Sudah berapa lama kamu melukai tanganmu ini?”, dia tersenyum “Saya sudah lama kok gak ngelakuin ini lagi.” Pertanyaan kemudian mengalir begitu saja, syukurnya dia memutuskan untuk terbuka. Mengetahui bahwa apa yang telah ia lewati sejak masa sekolah menengah pertama, wajar bila kini badannya memberinya pertanda. Badannya menjadi payah terpapar trauma demi trauma.
Remaja dan dewasa muda menjadi kaum yang rentan terhadap self harm, karena perkembangan otak yang dominan di area emosional. Sedihnya tindakan self harm seringkali dipandang sebagai emosi yang belum matang. Awam berkata, sekedar dilarang dan dinasehati panjang sudah menyelesaikan, ya bukankah manusia cenderung memilih penyelesaian perkara yang instan?
Bagian paling menyedihkan dari melukai diri sendiri adalah keinginan untuk mewujudkan luka batin mereka menjadi lebih nyata. Rasa sakit yang tidak tampak dan tiap manusia lain yang tidak mempercayainya menjadikan luka ini begitu menganga. Seakan “Ah itu hanya pikiranmu saja.” Tak semua dari mereka pandai berbicara, pun tak semua dari pendamping mereka pandai mendengar. Jika mereka memilih menceritakannya kepadamu, maukah kamu menjadi telinga mereka? Sekedar ada menjadi tempat paling aman berbagi cerita.
2 notes · View notes
nurulfiatussh · 3 years ago
Text
Duka
Bunyi monitor yang tidak pernah berhenti di suatu sudut ruang dalam rumah sakit tempatku berjaga, seperti nyanyian yang lekat di telinga. Rasanya aku hidup bak zombie, lingkaran mata ini diam bersaksi, dari pagi menjelang esok sore hari ,bertotal 33 jam yang esok siklus itu harus ku ulang kembali. Kala itu, aku hanya seorang dokter muda yang sedang merayakan patah hati, perasaanku menjadi lebih sensitif dari biasanya, tapi rasa lelah ini tidak mengizinkanku memberi ruang cukup memvalidasinya. Di saat aku meratapi nasib bertanya-tanya mengapa hidup terasa tidak adil, Tuhan memelukku lembut. Menjadikan pasien yang sedang kurawat sebagai pengingatku, membuatku malu.
Ya, di dalam ruang intensif anak tepat dimana anak-anak dengan kasus berat dan perlu observasi ketat dirawat. Tugasku memeriksa tiap mereka sejam sekali. Aku menghampiri seorang anak usia balita, dalam kondisi tidak sadar dengan perdarahan kepala akibat kekurangan vitamin K. Ibunya tak pernah melepas tangan mungil itu, tak berhentinya ia menangis, sungguh tidak bisa terbayangkan betapa pilu hatinya. Aku memeriksa tanda-tanda vital anak itu, sampai aku memeriksa bagian kepalanya. Aku mendengar bisik-bisik lirih sang ibu, “Nak bangun yaaa, kalau ibu bisa menggantikan posisi sungguh nak ibu bersedia.” Sejenak menyeka air matanya sebentar, “Nak, nanti kita ke lapangan yaaa, ibu belikan berapapun bola yang kamu mau, kita lari sampai kamu lelah. Ibu mohon bangun yaaa. Apa jadinya hidup ibu tanpa kamu.” Tanpa sadar air mataku luruh begitu saja, cepat-cepat ku seka dan kutahan sekuat tenaga. “Dokter tidak boleh menangis di depan atau bersama pasien.” suatu doktrin yang telah lekat di kepalaku itu muncul seketika. Aku menegakkan badan, sambil mengelus adiknya kusampaikan “Yang sabar ya bu.” Kalimat paling dasar yang sudah begitu khatam beliau dengar, sungguh tak terbayang betapa berat hatinya menanggung nestapa melihat anaknya bergantung pada alat bantu hidup. Tamparan lembut yang membuautku tersadar bahwa patah hati ini tak ada apa-apanya.
Tiap sudut rumah sakit menjadi saksi bisu doa-doa yang begitu tulus, segala peratapan atas sakit yang diderita, berisikan pengharapan pada sang Kuasa. Waktuku kecil, aku tidak pernah tahu bahwa salah satu bagian terberat menjadi seorang dokter adalah mengantar kepergian. Masih kuingat jelas tiap-tiap isak tangis yang begitu pilu dan segala teriakan saat mereka yang masih hidup belum mampu menerima realita. Betapa erat pelukan terakhir itu, betapa lemas badan mereka saat mendengar diumumkannya “Innalillahi.”, atau betapa lantang teriakan dengan nada penuh duka dan amarah, namun juga tak kurang yang bertabah, menjadikan dirinya tegar meskipun badannya bergemetar. Aku menyaksikan tiap-tiap fase kedukaan yang memilukan. Bukan kami tidak boleh menangis, hanya kami dituntut untuk berpikir tetap logis dan realistis bagaimanapun kondisinya, tak jarang aku dan temanku diam bersembunyi menyeka air mata kami.
Untuk pasien-pasien kami yang telah pergi dalam masa perjuangannya,
untuk pasien-pasien kami yang menjadi guru dan memberikan pelajaran berharga.
Semoga Tuhan mengampuni dosa mereka,
sungguh kami menjadi saksi atas penderitaan yang mereka lewati.
5 notes · View notes
nurulfiatussh · 3 years ago
Text
Membenci bukannya perlu alasan?
Aku tidak pandai menyampaikan perasaanku kala itu, yang aku tau hanya bertahan setiap hari menjalani masa koasku di tahun kedua. Mungkin satu yang aku ingat hanyalah rasa lelah, sampai seseorang sebagai partnerku membenciku tanpa alasan. Aku yakin bukan tanpa alasan, sebagaimana aku yakin bahwa tidak ada perasaan yang muncul tiba-tiba tanpa pencetus. Memutar otakku melihat ke belakang pun, tak membuatku menemukan adanya interaksi antar kami, tapi tak kunjung meredam pikiran dalam kepala “Mengapa ya seseorang itu membenciku?”. Tanpa sadar membiarkan pertanyaan itu mengular sampai aku menanyakan diriku sendiri “Apa aku memang layak dibenci?”. Aku tanpa sadar mempertanyakaan keberhargaan diriku.
Iya, kebencian itu bukan hanya perasaanku. Rasanya mungkin kalaupun seseorang itu tidak menyampaikannya di khalayak umum, aku pun tidak akan pernah sadar. Pernyataan terang-terangan sampai membuat teman-temanku terheran, dan mencari konfirmasi. Anehnya, aku tidak mendapat perlakuan kebencian itu secara langsung, tapi perlahan di belakangku ceritaku bak diubah 360 derajat, menceritakan kesalahanku ke tiap penjuru rumah sakit kala itu. Aku, tau tiap cerita itu tapi aku memutuskan untuk tetap biasa saja, tak menghiraukan bak seolah tidak terjadi apa-apa.
Sampai di suatu sore, air mataku tanpa jeda menyapu pipi. Bagaimana tidak, kesalahan yang seutuhnya direncanakan dan diperbuatnya diceritakan ulang sebagai aku lah pelakunya. Entah apa yang membuat air mataku mudah luruh kala itu, bukankah selama ini kuat tertahan jika aku tidak sendirian. Rasa marah, kesal, sedih dan malu rasanya bercampur aduk kala itu. Alarm berbunyi, mengharuskanku melangkahkan kaki menuju bangsal anak untuk pemeriksaan ulang beberapa anak yang sedang dirawat, mau tidak mau ku henti paksa air mataku, namun sesak rasanya. Ya, aku menepuk pundakku menyemangati diri sendiri “atas nama profesionalisme.”
Aku kembali ke markas, dan salah satu partner jagaku saat itu menyampaikan kalimat yang begitu hangat sambil memastikan aku sudah jauh lebih baik. “Kamu tau gak, kalau kamu itu orang baik? Masih inget gak pak satpam tadi itu menyapa kamu duluan. Rasanya kalau kamu bukan orang yang baik, beliau juga gak akan sesumringah itu menyapa kamu duluan. Tenang, kita percaya kamu kok. Aku juga seneng jaga sama kamu.” dan kalimat lain yang menghangatkan tapi semakin pudar untuk kuingat. Ujung mataku terasa berat kembali menahan aliran air mataku. Kalimat yang nampak sederhana, tapi begitu hangat untukku yang perasaannya terluka kala itu.
Selang 3 tahun setelahnya, teman baikku bercerita. “Kenapa ya dia dulu sebenci itu sama kamu?”, sembari tertawa aku pun menyahutinya “haha gak tau, dari dulu sampai sekarang aku juga gak tahu, kenapa tiba-tiba tanya?” temanku bilang “ya karena dia tiba-tiba tanya ke aku, kok aku bisa temenan deket sama kamu?” dan membuatku semakin tertawa. Wah, cukup menggelitik rasa penasaranku nih “kamu tanya gak kenapa dia tanya gitu ke kamu?”, “iya, terus dia jawab ya pokoknya gitu, terus melengos.” dan kami pun bertukar tawa.
Untukku, di masa 3 tahun yang lalu. Aku masih ingat betapa beratnya hari-hari itu, betapa kelamnya pikiranmu dan betapa kalutnya hatimu. Aku ingat, betapa rasanya menahan tangis saat berangkat koas adalah salah satu bentuk perjuangan. Tak apa, jika orang lain pun tak tahu kesuluruhan ceritanya, tapi aku tahu dan itu cukup. Aku ingin kamu tahu, bahwa di hari-hari sekarang kita adalah pribadi yang terbentuk dari hari-hari kala itu, hari-hari yang tidak baik. Hebatnya, kita bertumbuh dan belajar dari apapun yang pahit di masa-masa itu. Sungguh, mungkin jika kuceritakan jika aku bisa menertawakan apapun yang kita alami, mungkin kamu tidak percaya. Ternyata melewati masa dibenci kala itu, membuat resiliensi kita bertumbuh, mungkin tidak satu-dua hari setelahnya tapi entah bagaimana aku disini jauh lebih kuat dari kita yang dulu.
Untukku, di masa-masa koas. Aku menyesal tidak mengenal dan mempelajarinya sedari dulu, tapi tak apa, kini kita telah mengenal stoicism. Ya, kita belajar bahwa apapun yang menjadi respon, perilaku, pemikiran, perkataan maupun sikap dari orang lain sepenuhnya di luar kendali kita. Terimakasih jika di saat itu, kamu memutuskan untuk tidak goyah. Sejujurnya, kini aku telah lupa bagaimana tepatnya rasa sedihmu kala itu, setiap kali aku teringatnya aku hanya bisa tertawa. Untukmu, kubuktikan bahwa kita telah menyembuh.
Bukan aku tidak pernah menerima kebencian lagi, tidak banyak hanya satu-dua, tapi kali ini aku pastikan itu hanya lewat sebagai pewarna kehidupan, dan percayalah mereka telah menjadi bahan tertawamu beberapa kali. Kini, kita telah menjadi pribadi yang lebih mengenal dan yakin terhadap diri sendiri, jika nanti pun saat dirimu pernah ragu kembali, lihatlah sekitar bahwa nyatanya kini kita mempunyai support system yang cukup (banyak) untuk memvalidasi.
Nb: Bullying itu nyata, efeknya pun bukan semata-mata. Mereka menjadikan korbannya mempertanyakan dirinya, dipenuhi dengan ketakutan dan kegelisahan, serta menurunnya self-esteem. 
2 notes · View notes
nurulfiatussh · 3 years ago
Text
“When we sin, God does not love us less.”
- Secrets of Divine Love, 296
Indeed we are all sinner, blessed by the ocean of His mercy.
0 notes
nurulfiatussh · 3 years ago
Text
Her
Tumblr media
She is happily tapping her feet,
Slowly dancing in the middle of nature,
in the midst of flower garden,
in the deep of ocean,
under the sunrays and cotton-like clouds,
sometimes under light rainfall
She loves listening those chirping birds sounds, and
the sound of light breeze slips through the branches and leaves, or
the sound of calming river flow, even
the sound of her bare feet that walking rubs against the grass.
She learns that she isnt there for pleasing everyone
She is born to be authentic
1 note · View note