Tumgik
puspadwin · 11 days
Text
Bulan ke-9, bulan ke-11
Tumblr media
Memasuki bulan September, menghitung hari demi hari di dalamnya dengan penuh harap cemas, bilamana hari ini akan berhenti, tak perlu berlanjut, usai di sini.
Seakan hari berlalu begitu saja, seakan usaha rasanya sia-sia semua. Segala gerakan masih hangat merambat, untaian doa dan uluran tangan juga kian memanjang, namun mengapa detik masih terus berjalan?
Aku malu, teman. Selama ini menjadi saksi bisu, atas genosida yang terang-terangan di depan mata, terus menerus tanpa mengenal jeda. Aku malu, teman. Doa bersama, boikot, segala bantuan yang terus menggema, dilalui begitu saja, bahkan mulai terbiasa kembali pada semula. Aku malu, kawan. Yang tak sampai hati saat harus memberi tanda ♡ pada tiap gambar, menyayat hatiku agar postingan itu tetap menyala, menyebar kemana-mana termasuk lini masamu. Aku malu, kawan. Berharap tidak akan mengakhiri bulan ini, karena tak sampai hati menyambut satu tahun, genosida yang "dibiarkan" terjadi. Kawan, aku malu..
Namun, tidak dengan mereka. Memasuki bulan ke-11 atas perjuangan yang membuka mata dunia, walau sebenarnya telah berpuluh tahun mereka gigih terus berupaya. Tak ada satu pun bukti pada mereka, yang menyatakan lelah, kalah, lemah, apalagi menyerah. Tak ada satu pun tangis mereka yang merutuki takdir, justru mereka gemar tak henti-hentinya bertakbir.
yaa Allaah.. Maafkan hamba yang payah ini. Kuatkan hamba, se-kuat mereka. Tolong kami yaa Rabb, tolonglah kami. tolong kami yaa Rabbi..
Kuatkan kami hingga kemenangan itu mendekat tepat di depan mata kami, yaa Rabb. Gembirakan kami dengan sejuk kabar kemenangan yang akan segera tiba. Menangkan kami yaa Rabb, sumgguh kami percaya pada janjiMu.
Allaahumma harrir masjidil aqsha.. 🇵🇸🍉✨️
4 notes · View notes
puspadwin · 16 days
Text
Sudahkah disyukuri?
Makan siang itu, aku sengaja pulang ke rumah sebentar, sebelum berpindah ke lumbung lain, melanjutkan perjalanan.
Ternyata bapak juga baru hendak makan, dan makanlah kami berdua dalam satu meja. Obrolan kami sebenarnya sederhana seperti biasanya, namun ada tanya yang berbeda dari bapak.
"Nduk, memori masa kecil yang bisa kamu ingat, mentok di umur berapa?" tanya bapak saat kami sama-sama hampir selesai menyantap santapan terakhir.
Aku terdiam beberapa saat, hingga bapak selesai makan. Pikiranku menerawang jauh ke dalam putaran arusnya. Kepingan peristiwa seolah dipilih-pilah dalam kepalaku, sejauh yang aku ingat,
"Sekitar usia 4 atau 5 taun deh kayaknya, waktu main sama mbah Kakung. Kenapa pak?"
Namun jawaban bapak bukan hal yang akan aku tuliskan di sini. Aku masih dalam haru mengingat kepingan-kepingan memori kala aku masih lucu.
Ternyata, masa kecilku begitu mengesankan, memorinya masih menyenangkan. Banyak hal yang seharusnya disyukuri. Banyak hal istimewa yang kini justru jarang kutemui.
Jadi, kalau dewasa kini, kamu merasa sedang di masa kritis dan sulit bersyukur Pus, coba kita putar memori indah itu. Jika kamu belum bisa bersyukur dengan hal yang kamu hadapi saat ini, bersyukurlah untuk masa kecilmu yang boleh jadi, saat itu belum disyukuri, atau bahkan hingga saat ini.
Bersyukur yaa Pus, bersyukur untuk apapun, kapanpun, dan bagaimanapun itu.
2 notes · View notes
puspadwin · 16 days
Text
Berkenalan dengan Inner Child
Iyaa, ternyata aku baru tau, bahwa perasaan ini lahir dari hari-hari di mana aku tumbuh beranjak remaja hingga dewasa. Perasaan aneh seperti campuran segala rasa yang tidak menenangkan. Perasaan yang bernama inner child.
Aku asal saja menyebutnya sebagai perasaan. Karena nyatanya ia tak terlihat, namun terjadi di dalam dan dapat dirasa.
Inner child, perasaan yang meronta-ronta ketika memori lamanya berputar, berpacu dengan keadaan yang sekarang. Mungkin kurang lebih isinya tentang perbandingan, luka mana yang paling sakit, perih mana yang tak kunjung pergi.
Inner child, perasaan yang sama sekali tak tampak, namun ternyata berlaku dalam tiap gerak. Ia seperti bayang-bayang yang mengikuti tiap jejak.
Inner child, perasaan yang bahkan tak pernah kurasa, aku hiraukan begitu saja, 'ini bukan dendam, kan?' tanyaku ketakutkan. Sebab, aku masih mengingatnya.
Inner child, perasaan yang mengikutiku tumbuh, dan sekarang mengancam masa depanku. Ia diam-diam telah lama diam karena kudiamkan.
Tapi untungnya aku telah diajaknya berkenalan, masih belum terlambat, aku bisa mengejar.
Inner child, mungkin kau perasaan penuh luka, yang sakitnya telah lama kucoba matikan begitu saja. Tak kuhirau sekadar karena tak nyaman dalam mata.
Inner child, kamu telah terlampau kuat selama ini. Aku saja yang lemah, gentar saat akan menghadapimu. Namun, kau bisa lihat kini, aku berusaha untuk berdamai denganmu.
Menerimamu selayaknya catatan indah untuk bekalku melangkah, kau menyimpan ribuan gores pena yang sebelumnya tak bisa kubaca, kini aku telah belajar mengejanya. Satu-satu, pelan-pelan yaa..
Dan aku janji, tak akan mengusirmu kemana-mana. Tetaplah di sana, menyaksikanku sebagai pelukismu, untuk inner child satu dua yang di dalamnya akan ada aku.
Inner child-ku, terima kasih yaa..
1 note · View note
puspadwin · 1 month
Text
Begini saja..
Ada pesan yang masih kutulis dengan rahasia, untaian doa yang akan dilangitkan bersama. Cukup dengan bahagia yang aku rasa, bahagia dengan rasa cukup yang aku terima. Begini saja yaa Rabb, begini saja ternyata sudah tuai bahagia.
7 notes · View notes
puspadwin · 2 months
Text
Tazkiyah
Kacamata itu kadang berembun, kadangkala buram. Kadang tergurat entah apa hingga tergaris gurat goresan. Kacamata itu.. perlu dilepas dulu sebentar.
Tumblr media
Sejauh aku memakai kacamata, empu pekerjanya selalu menyisipkan pembersih berbilang dua, satu cairan dalam botol mungil, satu lainnya berupa lap kecil. Semua pembeli kulihat diberinya percuma. Maka, ini lah salah satu alasan yang kutangkap, mengapa tak semua kita yang bermata empat, memandang hal yang sama namun hasilnya berbeda.
Mungkin hampir sama dengan hati kita, semuanya sudah dibekali Allaah dengan kalamNya, agung penuh hikmah yang indah, Quran yang sejatinya akan memberi kita hujjah, juga teladan terbaik dari manusia terbaik, Rasulullaah, semua sabdanya melegenda, hanya saja kita sering alfa. Keduanya menjadi bekal untuk hati kita, dalam laku hidupnya memandang dunia. Melihat ke mana arah hidup kita sesungguhnya.
Dan bagai kacamata yang kotor dan usang, yang kadang lupa atau bahkan jarang kita bersihkan, akan jelas menjadi pengeruh untuk mata melihat dunia. Bumi yang melandai biru penuh hijau raya, bisa saja menjadi buram, keruh, bahkan berubah warna. Tapi bagi mereka yang senantiasa sadar untuk memoles lensanya, jernihnya pandangan akan melahirkan banyak kebaikan, bahkan juga keberkahan dalam tingkat tertingginya.
Jadi, bukan dunia luar yang selalu buruk, jahat, dan kotor. Namun kacamata kita lah yang beningnya perlu dikontrol. Ruh dalam jiwa kita lah yang semestinya disucikan berkala, rutin, dan seterusnya. Bukan langsung serta merta ganti kacamata, menyalahkan semesta. Apalagi mengkhianati jiwa. Coba rehat dulu sejenak, meredakan gemuruh, menata ulang yang rapuh.
Guratan luka memang bisa tetiba menerjang hati kita, bahkan sekadar air hujan pun kadang ikut menorehkannya, ketahanan kita diuji dan tak jarang justru kita hanyut dalam ragu tanda tanya.
Namun, justru hal itu bisa menjadi pengikat kuat, menjadi pengingat pada diri kita, bahwa kita akan selalu butuh dua bekal suci dariNya. Apapun yang kita terima, melewati batas suka dan tidak suka, pasti yang terbaik dariNya. Untuk yang kita rasa baik, mari kita pupuk, kita jaga. Untuk yang kita rasa tak nyaman, mari kita sering-sering memurnikan kembali hati juga jiwa. Mari kita gunakan dua bekal yang telah dihadirkanNya sejak awal kita lahir di dunia.
1 note · View note
puspadwin · 2 months
Text
Di-doa-kan Ustadz
Beberapa waktu terakhir selama mengikuti kelas atau pun kajian, salah satu bagian yang sangat aku nanti-nanti ialah sesi tanya jawab. Selalu dan selalu menyempatkan dan memberanikan diri untuk bertanya pada pemateri, mulai dari keluh kesah, beberapa butir pertanyaan, juga mohon untuk didoakan.
Alhamdulillaah, alhamdulillaah, alhamdulillaahiladzi bini'matihi tattimusholihaat. Dari beberapa pertanyaan, hampir seluruhnya Allaah izinkan untuk mendapat jawaban dari para asatidz. Namun malam itu berbeda.. Kelas kala itu merupakan kelas yang sudah kunanti sejak lama, materi yang mengundang mata dan ustadz favorit sesuai bidangnya. Walaupun terlambat, aku pastikan lembarku tak kosong begitu saja. Apapun ilmu kucoba ikat seadanya, walau tak banyak, aku tetap menyediakan ruang kosong. "Masih ada sesi tanya jawab", gumamku dalam hati.
Dan benar saja, cerita terakhir yang beliau sampaikan, menjadi cerita penutup penuh air mata. Walau sebetulnya sudah pernah menyimak dan menangis tersedu, tetap saja, cerita favorit beliau itu juga menjadi cerita favorit diri ini.
Dan sesi tanya jawab pun dibuka. Dengan cepat, jemariku kukerahkan untuk mengetik pertanyaan yang sesuai dengan cerita beliau. Kemudiab diikuti beberapa pertanyaan dari peserta lain yang mengekor. "Bismillaah, semoga dibacakan."
Dan yaak, "Baik, pertanyaan pertama dari mba Puspa yaa ustadz, …" Lega sekali rasanya, terharu malah :") Dan saat jemariku berkutat sekuat tenaga, mencatat kata demi kata yang ustadz jadikan jawaban, air mataku membuncah. Ustadz tak hanya menjawab pertanyaanku, namun juga mendoakan.
Yaa Rabbii… Allaahu akbar, hingga saat menulis ini pun, rasanya masih sama getarnya. Air mata selalu memenuhi kelopak, berontak hendak menitik-nitik ke pipi. Yaa Rabb, Alhamdulillaah. Sungguh karunia tak terduga, walau virtual melalui layar dioda, namun benar-benar tepat menyentuh hati juga jiwa.
Tumblr media
Bismillaah, Allaah karuniakan nikmat yang berlipat
Ustadz, jazakallaah khayran katsiiran atas doanya, tak tercatat utuh sempurna semuanya, namun yang tertulis sudah cukup buatku menangis. Barakallaah, barakallaah ustadz Hidayat Arifianto :")
2 notes · View notes
puspadwin · 2 months
Text
Lelah berpura-pura 🐢
Siapa pula yang minta kau untuk berpura-pura, Pus? Hei, kamu bukan berpura-pura, kamu hanya sedang berupaya, sekuat tenaga. Lelah yaa? Wajar, namanya juga "ber-usaha".
Tapi kau perlu ingat yaa, Pus. Kalau pura-pura dan berupaya memang sangat tipis bedanya, ia bahkan kadang tak terlihat, karena tempatnya bersembunyi di dalam hati. Yaa, bedanya hanya sekecil "ikhlas". Ikhlas menerima apa yang dirasa membuatmu tak mampu merasa bahagia.
Seperti saat ini, Pus.. Bagaimana kita tetap memilih untuk meminta ditemani Allaah Yang Maha Segala, walau badainya masih berkecamuk dan belum mereda. Karena berlari menghambur ke Allaah bukan hanya saat lapang, saat badainya datang atau saat badainya berlalu tenang. Selalu kembali ke Allaah bagaimana pun rasa yang meletup dalam jiwa, menjadi hal yang kita sadari bersama untuk terus diupaya, kan Puspa?
Ikhlas terima badainya dulu yaa Pus, ikhlas menerima bahwa di jalan yang panjang ini, kau harus "ber-pura-pura" untuk terlihat kuat oleh mereka. Namun kau bersungguh-sungguh dihadapanNya, dengan merendah dan melemah, mengemis kuat dalam payah. Tak apa, Puspa.. Allaah yang menyimpan berjuta tangis dan doamu, Allaah yang akan membayar segala barang berharga yang badai ambil tanpa permisi. Allaah yang akan ganti, dengan ikhlas yang kau jamin. Dan satu hal yang harus selalu kita ingat, sebelum meminta untuk dibersamai apalagi dikuatkan Allaah, selalu pantaskan diri agar Allaah mau membersamai yaa Pus, selalu pantaskan diri untuk ditolong Allaah, selalulah pantaskan diri untuk menyambut jawaban-jawaban agung dari Allaah.
Bertahan yaa Pus, bertahan dalam jalan ini. Dengan tetap "pura-pura" 🐢, dengan tetap berupaya. Allaah lebih mengetahui, sedang kita hanyalah alfa. Wakafa billaahi syahida. Bismillaahi Allaahuakbar 🚀
1 note · View note
puspadwin · 3 months
Text
little privilege
dan kata-kata mas sore itu berhasil menghiburku lepas sekaligus menenangkan.
Tumblr media
Sedari kecil, menjadi adik dari seorang kakak laki-laki memang selalu "menyenangkan", kadang dibuat terbahak, kadang dibuat tantrum tak karuan. Namun, privilege memiliki kakak laki-laki akan selalu menjadi hal yang akan aku syukuri.
Ketika adik perempuannya ini rewel menceritakan banyak hal yang bersembunyi di balik kata khawatir, mas dengan mudah menangkap basah maksud di dalamnya dan tenang menanggapi hingga akhir. Kadang ia juga ikut banyak bicara, kadang menyela menjengkelkan, namun lebih banyak diam mendengarkan. Momen berbincang hanya berdua yang telah sekian lama tak tercipta itu, dimanfaatkan penuh olehku, terlebih celengan rindu selalu dengan sendirinya cepat tumbuh dan berkembang.
Hingga kendaraan kami sudah memasuki kampung halaman, aku menutup cerita dengan mengaku payah, adik perempuannya sedang kalut, tak baik-baik saja.
Teduh air muka mas yang awalnya khidmat seketika berubah jadi jenaka, melempar nasihat "sekenanya" yang membuat sang adik berpikir sejenak lantas tertawa, dalam akal pendek yang aku tangkap, mas tak mau adik perempuannya terlampau cemas pada hal yang memang bukan waktunya duduk dalam kepala saat ini. Kata-katanya yang singkat, ternyata mampu melesat jauh menuju persembunyian gemuruh dalam jiwa.
Gurauan mas tak hanya menguatkan dan menenangkan, namun juga membekas lekat dalam hati juga ingatan. Terima kasih ya mas, sudah tetap menjadi masku yang nomor satu, yang selalu bangga dengan adik-adikmu, yang selalu ada tiap waktu, walau kau sudah lama memiliki rumah baru 🤍
36 notes · View notes
puspadwin · 3 months
Text
A to be A+
Salah satu alasan datang ke kajian malam ini, untuk memantik tangan biar nulis lagi. Dan benar, jauh sekali tulisanku membawa diriku kembali. Kali ini, bukan untuk rindu. Melainkan untuk terus menerus menebar syukur.
Tumblr media
Sebenarnya, dari judul kajian saja, aku merasa sedang tidak dalam fase itu. Justru sebaliknya, sedang diliputi bahagia kecil-kecilan yang membuat haru. Namun, rintik-rintik sendu ini tentu tak terlahir instan, ia lahir dari tempaan langsung Yang Maha Cinta, ketika hidup lagi capek-capeknya.
Sekitar enam tahun yang lalu, diri ini berada tepat di posisi teman-teman yang menjadi sasaran kajian malam ini. Teman-teman yang sedang berusaha berdamai dengan kegagalan. Aku masih mengingatnya samar, saat dunia seakan tak memiliki masa depan. Wajar sekali jika perasaan marah memegang kendali dan penyangkalan sana sini. I feel it, I've been there. Bahkan, aku memutuskan untuk tak mau bermimpi lagi. Karena memang Allah selalu "menggagalkan" citaku. Semua yang kutulis, dicoretNya paksa. Bahkan grand-design hidupku, Allah hapus percuma. Aku berkali-kali gagal. Berkali-kali teman, bukan satu dua kali. Bahkan seluruh rangkaian mimpi sampai saat itu, semuanya tak ada yang pernah tercapai. Lantas, untuk apa pula aku bermimpi dan berusaha? Masa depan saja rasanya aku tak punya.
Namun, Maha Baik Allah. Yang membuat rasa sakit menjadi obatku bertumbuh. Yang membuat angkuh menjadi alasanku jatuh. Yang mengajarkanku syukur walau tak lagi utuh.
Selama enam tahun lamanya, selama itu lah waktu yang Allah rancang, "hanya" untuk mengajarkan seorang Puspa belajar apa itu syukur dan sabar. Enam tahun lamanya, Puspa diajarkan Allah dua kunci iman yang ternyata selama ini tak pernah benar-benar dipegang.
Empat tahun pertama, pertanyaan mulanya muncul, "bekerja dan belajar untuk bersyukur? kok bisa sih? emang siapa pula yang minta belajar ini?!" Aduh, yaa Allaah, ampuni hamba yaa dulu berpikir begitu :")
Lalu, dua taun setelahnya, berganti lagi tanyanya, "Sebenarnya sabar tuh gimana sih? Ada batasnya yaa? Apa iya harus ngalah terus?" Aahh, ternyata masih ingat yaa 🥹
Dan ini lucunya. Sampai saat ini pun, aku masih selalu memohon dimampukan untuk lulus perihal syukur dan sabar. Lagi-lagu, Maha Baik Allaah, yang sudah menyiapkan jawaban indah atas perjalanan "melelahkan" enam tahun lamanya.
Tumblr media
Bukan sama sekali untuk membanggakan diri sendiri. Apalah Puspa yang masih terseok-seok ilmunya lagi tertatih-tatih skill-nya.
Ini semua jawaban dari Allaah. Ini semua hasil dari mimpi yang Allah coret secara paksa. Ini semua pemberian Allah atas lembaran kertas yang kubuang. Ini semua jalan yang Allah sudah siapkan.
Dulu, dalam daftar cita-cita itu, aku tulis ingin menjadi manusia bermanfaat, yang naasnya, harus dengan profesi tertentu, "kalau bukan itu, yaa gimana memberi manfaatnya(?)" aduuhh, kolot sekali kan pikiranku dulu? 🤧 Lalu berontak ketika tak sesuai dengan yang kumau kala itu.
Lantas berada dalam titik pasrah, bahkan pesimis, "Ndatau lah besok bisa kerja apa enda." "Kayaknya aku nda kerja aja deh." "Bisa nda yaa aku kerja, apa alih profesi aja yaa." "Kayaknya aku nda bisa deh." "Bukan aku banget ini mah, apaan ini."
Allah seolah mempertanyakan tujuanku, "Puspa ingin profesinya atau ingin ke-ber-manfaat-an-nya?" Allah seolah ingin meyakinkanku dengan tujuan yang lebih benar, "Menjadi bermanfaat untuk umat." Allaah menyadarkanku.
Asalkan kita masih mau "diatur" sama Allaah, masih mau "ikut" di jalanNya, Allah akan memberi kita hal yang bahkan mustahil menurut kacamata kita. Benar kata ammah Lilis, ketika kita minta A kepada Allaah, yakinlah bahwa Allaah akan memberi A+ kepada kita. Allaah telah menebusnya tunai, bahkan berbunga-bunga 🥹🥰
Jadi, kalau esok, Puspa bertemu dengan kegagalan kembali, "it's okay, helo my little friend. come to see me again?" I'm ready ❤‍🔥
Karena ternyata, kegagalan adalah bentuk re-direksi Allah untuk mimpi-mimpi indah kita. Yaa Rabbi, if my direction is wrong, please re-direct me. Mari selalu kita ingat 2:216, Boleh jadi, apa yang kita suka, belum tentu baik untuk kita. Boleh jadi, apa yang tak kita suka, justru baik untuk kita.
Keep husnudzon yaa, Puspa. Apapun "tanya" dan "hantaman" yang masih tersembunyi di depan sana, ingat-ingatlah terus tulisanmu ini, kamu udah ditempa Allah enam tahun lamanya, walaupun kadang masih ngulang, tapi setidaknya kamu sudah punya bekal. Jangan ketinggalan yaah 🫶🏻
Remember what Abu Hurairah said in Shahih Bukhari, When Allah said, "I test only those I love." so I took the pain like it was an honour. ✨
oiyaa, A+ malem ini, bisa qtime sama ibuk, mulai dari buka puasa, kajian bareng, ngeteh bareng teh favoritku, dan night-ride bareng, kapan lagi yaa kan 🤣
Alhamdulillaah, Alhamdulillaah, Alhamdulillaahiladzi bini'matihi tatimushsholihat 🤍✨
4 notes · View notes
puspadwin · 3 months
Text
Her 24th
Surat ini telah lama kusimpan, beberapa kali alami pengubahan. Tentang seorang perempuan, yang kucintai melebihi dunia setelah ibunda.
Selalu ada tempat bagiku dalam dirinya. Dan selalu ada hadirnya dalam hidupku. Yang dengan mudah kusampaikan, Melukainya adalah melukaiku. Air matanya pun air mataku. Sepertinya kita memang lebih banyak berbagi air mata, daripada tawa yang melena. Apapun aku terima darinya, Apapun aku, diterima olehnya.
Maafkan aku ya yang tak selalu mampu, melukis senyum dalam wajahmu atau menyetel tawa gelakmu. Aku hanya ingin kau tetap kuat bertahan di sana. Saat kelak, tak ada lagi yang bisa kau panggil namanya, aku ingin, kau hanya menyebut nama Rabb kita.
Kuatlah di sana sayang, Bertahanlah dalam jalan panjang, doaku padamu hanya satu, semoga Allaah membahagiakanmu, di dunia dan di keabadian. Kau satu-satunya, Satu-satunya, Maulina. Adikku yang selalu kusebut namanya, saat ku diam, tertawa, atau berair mata.
Tumblr media
Barakallaah adikku, Maulina. Seorang adik yang pahalanya terus mengalir, tak berhenti terukir.
Adik kakak perempuan yang jarak usianya hanya dalam belasan bulan, akur dan akrab mungkin terlihat hanya sebentar. Saling lempar teriakan, kadang cacian makian, bahkan tak jarang juga bertengkar, namun semua itu lahir dari rasa yang satu, rasa sayang.
Bahasa cinta masing-masing pastilah berbeda. Apapun bentuknya, itu tetap bisa dipanggil cinta, bukan? Maka pada adik yang satu ini, tiap kata, laku, dan rasanya, selalu ada cinta yang kurasa. Hingga pada siang itu, tanpa sadar ia sedang menyemai benih-benih hadiah dari Yang Maha Tak Terbatas. Kita sama-sama paham, apa yang ia katakan hanya sebatas basa-basi ingin tau, apakah kakaknya ini memang sedang tak dekat lagi denganNya atau terlampau menikmati dunia yang hanya sementara jua fana. Itu sebentuk cinta juga, kan?
Manis sekali jika kita selalu memandang interaksi dengan kacamata cinta. Terima kasih adikku, aku mungkin tak sesering bahasakan cinta sepertimu, namun aku janji, ada namamu dalam bincangku denganNya. Terima kasih untuk singkat tanya kala itu, menjatuhkan sekaligus membangkitkanku. Kau menyalakan api temaram itu. Kau sungguh sedang memanen pahala yang terus mengalir.
Semoga Allaah menerima cintaku padamu dan mencintaimu dengan seluruh cintaNya, selalu menjagamu hingga kita hidup di keabadian 🤍
6 notes · View notes
puspadwin · 5 months
Text
Return to restore
Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un
"Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya lah kami akan kembali"
Tumblr media
Mengucapkan istirja menjadi kebiasaan kita saat mendengar kabar duka. Saat sedang merasa kehilangan, mendapati bencana atau musibah, juga bahkan ketika terpeleset lalu terjatuh.
Kadang kita mengucapkannya sambil berlalu, kadang sambil tersedu. Kalimat istirja seolah menjadi kalimat mandatori yang gugur kewajiban kita saat telah mengucapkannya.
Kalimat yang erat dengan kehilangan, kehilangan seorang yang dekat dengan kita, kehilangan harta benda dunia, kehilangan kebahagiaan dan ketenangan, atau sekadar merasa kehilangan atas saudara kita yang merasa kehilangan.
Namun diri ini terantuk, ditegur oleh Allaah dalam pengucapannya. "Kau ini benar paham maknanya nda Pus? Atau hanya ikut-ikutan aja?"
Dan Maha Pengasih Allaah, memberi jawab atas setiap tanya. Pemaknaan sederhana kalimat istirja justru amat dalam, bahwa segala yang kita "miliki" saat ini, hanyalah pinjaman dari Allaah, yang kadang kita luput memintanya untuk dipinjamkan pada kita.
Kalimat istirja mengajarkan kita dua hal penting, ikhlas dan tawakal, pemaknaan tauhid yang begitu utuh. Dari hal tak kasat mata, hal terkecil yang kentara, hal yang hanya dapat dirasa, hingga hal paling penting dalam hidup kita, semuanya adalah milik Allah Yang Maha Kaya.
Semuanya sungguh milik Allaah. Semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya.
Maka pada apapun itu ya Allaah, aku akan berupaya untuk tak merasa memiliki. Akan mengembalikannya padaMu kapan saja saat Engkau mengambilnya kembali, atau bahkan sebelum itu, seperti saat ini, bolehkah aku kembalikan apa yang Engkau pinjamkan ya Rabb?
11 notes · View notes
puspadwin · 6 months
Text
Tentang Si Penggembala
Telah dilayangkan, apa yang butuh kebebasan. Telah dikembalikan, apa yang dipinjamkan. Telah dibersihkan, apa yang mengendap tak punya arah.
Tumblr media
Tulisan itu, kini hidup kembali. Setelah beberapa lama ia tak bertuan. Ia kini menyergap, memaksa masuk. Demi sebuah ingatan yang kian terpupus. Tulisan tentang si penggembala.
Ia masih tetap di sana. Padang rumput luas yang hijau masih tetap sama. Alunan merdu yang entah dari mana, pun masih ada. Suasana yang 'kan selamanya diuapaya untuk dijaga.
Setiap sore dihitungnya jumlah gembalaan, lantas menghadap tuannya berkisah keseharian. Ada banyak yang berlalu lalang, kadang hanya mampir mengambil kenangan, ada pula yang mencoba sedikit menawar ternak, pun ada juga yang izin untuk menginap sejenak. Gubuk itu kadang ramai, kadang sepi. Kadang hidup hanya baginya, kadang hidup untuk gembalanya.
Banyak yang mengira ia tertinggal, namun apalah arti kata mereka. Penggembala yang merayakan sepinya dengan ramai, justru menyimpan kekayaan yang utuh. Ternak beserta alam yang menjadi karibnya, ternyata menjadi lumbung segala rasa yang seringkali alfa, dari manusia yang dikenalnya. Ia tak meminta lebih pada tuannya, ia hanya minta dipersilakan tumbuh dan berjalan, pada pengembara, yang pulang dijadikannya tujuan.
2 notes · View notes
puspadwin · 6 months
Text
Harus ikhlas, katanya..
Hapus semuanya, Pus! Hapus! Percuma kau menulis berbaris-baris harapan yang hanya menguap dari halaman. Percuma kau merinci mimpi yang hanya terbang sendirian. Percuma semua kisah kau rangkai namun doa kau lalai. Percuma Pus, percuma.
Semuanya berakhir sia-sia, muaranya kita sudah tau semua. Bahwa menetap bukanlah dengan siapa, namun mengapa, untuk apa, dan bagaimana. Kau bukan menyatukan kepala, karena yang bersatu ternyata jiwa. Percuma jika kau menulis tentang dunia. Percuma kita punya angan, bukan?
Karena selandai apapun kita sengaja buatnya, syukur pasti akan bersembunyi satu dua kali. Sabar juga pasti berperan memainkan diri. Sayap iman bukan hanya dua kepak itu kini, ada ikhlas yang harus mengambil kendali.
Tapi, Terbentur sekitar, lagi-lagi. Tertabrak angin kencang lagi. Apakah memang cukup sampai di sini?
Tapi, cukup apanya ini?
3 notes · View notes
puspadwin · 6 months
Text
Tidak akan berhenti..,
Beberapa hari kemarin, karena sedang rindu dengan orang-orang yang menemani kehangatan ramadhan taun lalu, diri ini membuka galeri untuk mengobati sua yang masih tertunda. Ada tangkapan layar yang berisi tulisan amat panjang cukup menarik perhatian, ternyata jawaban saya di quora yang ditangguhkan, entah alasannya apa.
Jawaban untuk pertanyaan yang kurang lebih seperti ini; quotes apa yang bisa dijadikan pegangan saat hidup sedang berada di titik ter-rendah?
Dan saya rasa, tulisan yang usianya sudah hampir satu taun ini, lebih baik saya pindahkan di tumblr. Begini saya menjawabnya kala itu,
___________________
Merasa sedang dalam titik terrendah dalam hidup itu suatu hal yang akan dialami oleh semua dari kita, suatu niscaya yang pasti terjadi. Saya menuliskan ini pun dengan harap semoga saya selalu ingat dan kembali ke sini, jika saya merasakan perasaan itu kembali.
Saat dulu saya merasa sedang berada di titik terrendah dalam hidup, (walau saya percaya, masih akan ada palung-palung di depan sana yang siap menyambut saya), setelah menjalani episode itu, saya seolah merasa akan baik-baik saja jika melewati sudut gelap dan rendah itu kembali.
Ada banyak, sungguh banyak pesan cintaNya yang Alhamdulillah dirizkikanNya untuk sampai pada saya, semoga pesan cinta ini juga sampai pada yang membaca yaa,
"If Allaah bring us TO this, Allaah will bring us THROUGH this. Remember, this too shall pass."
Dan ada dua kutipan ayat dalam kalamNya yang sering kali saya jadikan pegangan kala dirundung perasaan gelap gulita, saat diri merasa hampa, kosong, dan penuh luka. Allaah dengan kalamNya seolah ingin memeluk kita erat, mendekap penuh hangat, dan menyayangi dengan sepenuh rahmat.
Atas seluruh masalah yang mengekor ikut jatuhnya diri kita, ternyata yang akan menyelesaikannya ialah Allaah, dzat yang memberikannya pada kita. Allaah yang akan menyelesaikannya, tugas kita hanyalah menghadapinya dan bertahan untuk tetap percaya pada Allaah, tetap husnudzon walau berat, dan tetap berusaha walau tak tahu di mana ujungnya.
Karena sungguh, bukan kita yang akan merampungkan masalah-masalah yang berat itu, melainkan Allaah yang menghadirkannya. Dan Allaah pula yang akan melapangkan dada kita agar ringan kita menghadapinya.
Tak ada yang lebih indah dan nikmat dibanding merasa tenang dan damai karena dicintai oleh Yang Maha Cinta, yang Maha Memiliki Cinta, dan yang Maha Sempurna Mencinta.
Allaah yang paling tahu siapa kita, keadaan kita, kita butuhnya apa, dan apapun itu yang menyangkut hidup kita.
Dan dua kutipan ayat itu ialah; QS. Az-Zumar (39): 53 dan QS. Ad-Dhuha (93): 3.
Sila dibuka dan dibaca sendiri, getar itu pasti Allaah sisipkan dalam hati kita, cahaya itu telah Allaah tanam sejak lama. Semoga kita dimampukan untuk menjaga nyalanya dan menuai terangnya untuk diri sendiri dan sekitar kita.
10 notes · View notes
puspadwin · 7 months
Text
Terang Abu-abu
Tutup pintunya dulu, nak. Badai turun lagi. Mari kita tunggu dulu hingga reda. Pasti reda. Pasti akan reda.
Tak perlu risau akan terlambat, nak. Badai tiap daerah pasti lah berbeda. Yang sama hanya satu hal, pasti reda, pasti akan reda.
Tutup jendela dan nyalakan lampunya, nak. Terang perlu kita sendiri yang nyalakan. Supaya hangat terus berupaya. Tak usah khawatir dengan gelap. Pasti reda. Pasti akan reda.
Teruslah percaya ya, nak. Selama Allah masih bentangkan timur barat untuk mentari, lebat dan kacaunya badai hanya sampai nanti. Sebentar lagi, akan bertemu pelangi. Pasti reda, pasti akan reda.
Pasti akan reda, nak. Dunia belum berakhir, hidupmu masih bergulir. Pasti reda ya, nak. Pasti akan r-e-d-a.
"Bu, rumah kita sudah tak beratap. Dinding kita mulai roboh. Aku tidak lagi berpikir tentang reda. Badai ini hangat bersamamu atau tidak sama sekali."
4 notes · View notes
puspadwin · 7 months
Text
Ditolong
Cerita macam apa ini? Persis seperti cerita-cerita buatan. Aku kira aku tak akan pernah mendapat peran. Sekarang justru kelimpungan. Yaa Allah, boleh kah jika selesai sekarang?
Dalam halaman yang entah ke-berapa, tangannya lincah melompat, mencari-cari inti kalimat. Dibolak-baliknya buku kecil dongeng yang kian lusuh itu. Ada kah ia lupa membaca kisah sebelumnya, Atau memang penulis meniadakannya sengaja? Atau nanti akan ditemukan di akhir cerita?
"Ada yang salah nih, kok tiba-tiba gini sih ceritanya?"
Baginya janggal, kisahnya tak masuk akal. Namun ia memilih meneruskan lembaran, Membacanya tanpa terusik halaman depan, Tanpa mengintip halaman belakang. Ia harus tenang, menikmati setiap baris cerita. Tak peduli betapa gila ia dibuatnya.
Dongeng ini bercerita tentang orang-orang berhati mulia, yang senantiasa mengulur tangan, memberi tolong pada tiap jiwa. Hati mereka seperti harta karun yang menyimpan sejuta rahasia. Pembaca ini dibawa untuk memecah teka-teki jawabannya. Kadang buntu, kadang bahagia.
Namun baru hari ini, ia terhenyak heran. Ada namanya di sana, menjadi peran. Melompati kumpulan petak ular tangga. Berwarna lengkap dengan naik turunnya.
Dari situ lah ia merasa tak biasa, jawaban rahasia miliknya ternyata ada di sana juga. Sederhana. Selama ini, ia hanya sedang ditolong oleh kumpulan tanda tanya.
"Kok bisa?"
Karena setiap ia bertanya, tiap jengkal cerita menuntunnya pada pemilik jawaban sesungguhnya. Ia bertumbuh dengan jawaban dariNya.
Ia sedang ditolong, selalu, dan selalu.
4 notes · View notes
puspadwin · 7 months
Text
Kok Makin Berat ya?
🐱"Kenapa kamu makin berat ya?" 🗿"Kamu yang gini-gini aja. Aku ga tambah berat tau!" 🐱"Masak iyaa? terus kenapa rasanya makin berat?" 🗿"Berarti kamu yang berkurang kuatnya." 🐱"Masak sih? Kamu beneran sama aja? Yang kemarin-kemarin baru tuh, ga ngaruh ke kamu?" 🗿"Apanya yang baru? Itu cuma variasi doang, asalnya mah sama aja, Pus." 🐱"Iya juga sih.." 🗿"Eh tapi aku pingin lho pindah ke situ." 🐱"Kemana? Mata?" 🗿"Iya, dia mau banyak mau dikit, bisa kamu kurangin tiap hari. Kamu keluarin tiap malam." 🐱"Hfftt.. kalau bisa mah, udah aku pindah dari dulu, Ban." 🗿"Emang tuh air mata ngeluarin apa sih? Bukannya sama kayak aku gini ya?" 🐱"Kayaknya dia semacam pelarian deh, kayak pereda nyeri gitu. Sakitnya masih ada, cuma beberapa saat udah ga terasa lagi sakitnya. Tapi yaa nanti terasa sakit lagi. Wong belum sembuh." 🗿"Ooo pereda nyeri ya. Pantes orang-orang suka dan gampang banget ngelakuinnya." 🐱"Yang agak rumit emang masalahmu nih. Kayak apotek tutup," 🗿"GA ADA OBATNYAA!! Hahahahaha" 🐱"Hahahaha, tapi katanya obatnya bukan kita yang kasih lho, Ban." 🗿"Terus siapa?" 🐱"Allah katanya yang mau ngilangin kamu." 🗿"Wehh, iih serem. Kok langsung Allah gini sih, takut aku. Kamu ga sayang sama aku?" 🐱"Sayang lah, gara-gara kamu kan aku jadi Puspa yang kayak gini sekarang." 🗿"Naah itu dia, aku juga sayang sama kamu. Tapi kasian kamu juga kalau aku nangkring terus gini di pundakmu." 🐱"Yaudah, ayok bareng-bareng kita minta sama Allah yaa." 🗿"Tapi kamu ndapapa yaa kalau aku nda ada, kamu harus tetep kuat, jangan malah leha-leha." 🐱"Kalau kamu udah ga ada, aku juga ga ada kok, Ban." 🗿"Haa? Maksudnya?" 🐱"Lah kan selama hidup di dunia, pundak manusia memang jadi tempatmu kan, Beban?" 🗿"Iya juga yaa.. Ya minta aja ke Allah, diganti yang ringan-ringan gitu." 🐱"Ya nanti lah yaa, coba aku nego sama Allah. Barangkali bisa minta tambah otot pundak hahahaa."
3 notes · View notes