Tumgik
#Yahudi Elit global
generasbir · 2 years
Text
Yahudi mengendalikan Kesatria Templar perang salib di Yerusalem
Asal Usul Ksatria Templar adalah Keturunan Sesepuh Yahudi?
Sekumpulan pasukan Knights Templar menemukan harta yang Tak Ternilai harganya tepat di bawah Baitulmaqdis atau yang biasa kita dengar adalah masjid Al Aqsha di Palestina ketika berada di Yerusalem."Apa harta tersebut? Harta tersebut merupakan buku-buku pelajaran peninggalan Kaum Bani kuno Israel yang pernah dirampas oleh nabi Sulaiman as. Nabi Sulaiman as. Merampas semua buku-buku sihir dan menyimpannya di dalam bilik rahasia di bawah Masjid Al Aqsha.
Selengkapnya klik disini ⬇️
0 notes
sajian-bagus · 4 years
Link
Pelajaran di sekolah telah mengenalkan nama Karl Heinrich Marx atau yang kita kenal dengan Karl Marx. Kita mengenalnya sebagai seorang pakar ekonomi politik, seorang filsuf, tokoh sosiologi dan tokoh teori kemasyarakatan yang berasal dari Prussia. Di artikel ini, kami akan menjelaskan identitas Karl Marx dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari keterkaitannya sebagai bagian dari Bavarian Illuminati. Jadi siapa sebenarnya Karl Marx? Latar Belakang Karl Marx menjadi Illuminati Tahun 1848 ada 3 yang di lakukan keluarga Rothschild (Pendiri Bavarian Illuminati) untuk merubah dunia. Pertama, Rothshild mendanai agen Illuminati yang bernama Guiseppe Mazzini untuk membuat revolusi Italia. Ia merupakan pionir Facisme di Italia. Dari sepak terjang Mazzini lahirlah istilah MAFIA yang merupakan kepanjangan dari Mazzini Autorizza Furti Incendi Avvelenamenti. Yang artinya, Mazzini memenangkan pencurian, pembakaran dan peracunan. Kedua, Rothschild mendanai pendirian Zionisme. Ia membuat master plan, agar sekelompok kecil orang bisa menguasai dunia lewat perekonomian (The Protocol of Zion). Ketiga, Rothschild membuat master plan untuk menjatuhkan Tsar Russia. Latar belakang dendam Rothschild ini adalah kegagalan Rothschild membentuk mata uang tunggal Eropa ditahun 1819, sebagai akibat dari tidak setujunya Tsar Alexander of Russia yang memang tidak pernah berhutang kepada Rothschild. Tindakan Tsar tersebut membuat Rothschild marah, dan ia bersumpah akan membantai Tsar dan semua keturunannya. Maka di tunjuklah Karl Marx yang merupakan cucu sepupu istri Nathan Rothschild untuk membuat doktrin komunis. Jadi disinilah keterlbatan Karl Marx sebagai bagian dari Illuminati Karl Marx adalah Pendiri Komunis Jadi Karl Marx adalah pendiri komunis yang orang pikir adalah orang Jerman atau Rusia. Karl Marx adalah orang Yahudi putera dari Herchel Mordechai (Sepupu istri Nathan Rothschild). Sebenarnya Karl Marx tidak ada hubungannya dengan negara komunis. Ia hanya menulis buku (The Communist Manifesto dan Das Kapital) untuk membuat ideologi palsu dan membuat kaum buruh di Russia berontak terhadap Tsar. Maka di bakarlah kemarahan kaum buruh di Russia dengan di bumbui janji bahwa sistem komunis akan membawa kesejahteraan untuk kaum buruh dan petani. Sumpah Rothschild akhirnya terealisasi, Tsar Nicholas II dan keluarganya di bunuh oleh rezim komunis yang merupakan buah dari provokasi Karl Marx. Dua buku Karl Marx menjadi standart ideologi negara komunis di dunia. Padahal Karl Marx tidak pernah menginjak negara komunis. Buku pertamanya di tulis di Brussel, Belgia (1848), sedangkan buku yang kedua di tulis di London, UK (1867). Jadi, banyak sekali kebohongan yang dilakukan oleh Illuminati/Elite Global. Kebohongan mengenai satellite, Foto bentuk bumi bola dan cerita perjalanan luar angkasa bisa dikatakan belum seberapa. Inilah representasi dari tindakan Al Masih Ad-Dajjal.
2 notes · View notes
adinda-sn · 6 years
Text
Psikiatri: Pasien Pertama dan Waham-wahamnya
Senin, 10 September 2018
Dari dulu, saya selalu tertarik terhadap bidang-bidang yang sedikit “berbeda” dibandingkan dengan yang biasa ditekuni orang (dalam hal ini, para rekan sejawat) kebanyakan. Setelah dulu nekat mengambil penelitian kualitatif yang hanya 10/200 dari populasi mahasiswa kedokteran seangkatan, kini saya menghadapi stase yang luar biasa unik. Stase yang mungkin bagi sebagian rekan saya terkesan abstrak. Tidak bisa dilihat dengan hasil laboraturium, foto X-ray, maupun nuklir. Untuk mencari penyebab, harus menggali informasi sebanyak-banyaknya dari pasien dan keluarganya. Tentang masa kecilnya, pola asuhnya, riwayat pendidikan dan pekerjaannya, kisah asmara dan seksualitasnya, masalah hidup yang pernah menimpanya, dan lain-lain. Semua itu nantinya akan dianalisis untuk mencari tahu hubungan antara faktor-faktor predisposisi dan presipitasi dengan manifestasi gejala. Stase itu adalah Ilmu Kedokteran Jiwa. Stase yang menjadi impian sejak awal masuk kedokteran.
Pagi itu diawali dengan visite besar, alias mengunjungi semua pasien satu persatu yang dilakukan oleh seorang konsulen, semua residen, dan semua koas. Ini kali pertama saya memasuki ruangan Adenium, bangsal pasien jiwa. Baru saja masuk, dari bangsal laki-laki, ada seorang pasien yang menggedor-gedor pintu. Dilanjutkan dengan ruangan observasi berisi dua pasien yang di-restrain alias diikat di tempat tidur. Yang pertama karena tangannya baru saja dijahit sehingga ditakutkan ia berusaha membuka jahitannya ketika sedang agresif. Sedangkan, yang satunya lagi sedang dipasang infus.
Tibalah di dalam bangsal perempuan berupa lorong lurus, dengan kamar-kamar tidur di sisi kanan dan ada kamar mandi di ujung sisi kiri. Di lorong itulah tempat para pasien duduk-duduk sambil menonton televisi. Tampak Bu Desi yang sedang duduk di lantai dan menolak duduk di kursi karena lebih nyaman demikian. Ia pun kemudian melantunkan lagu dengan suara cukup keras. Ah, bisa dipastikan kalau ia adalah pasien manik. Pasien-pasien lainnya belum terlalu menarik perhatian saya pada waktu itu, selain Bu Susi yang tampak terbaring lemah tanpa semangat, yang saya duga depresi. 
Kemudian, berpindahlah kami ke bangsal laki-laki yang lebih luas karena terdapat area lapang berisi meja besar dan bangku-bangku panjang yang mengelilinginya, di samping lorong berisi kamar tidur dan kamar mandi. Ketika dikunjungi, mereka cenderung diam, kecuali salah satu pasien yang tiba-tiba mendekati salah seorang residen dan bercerita kalau tadi dia disuntik. Pasien itulah yang nantinya menjadi pasien jiwa favorit saya: Pak Beben.
Siang harinya, kami kembali ke Adenium untuk mencari kasus yang akan kami pelajari dan selanjutnya dipresentasikan. Kami dibagi ke dalam tiga kelompok. Saya meminta rekomendasi dari residen yang merupakan LO kami di Adenium, pasien mana saja yang cocok untuk kami tanya-tanyai. Saya dan Inggrid mendapat pasien Pak Beben. Kami diantarkan ke sebuah ruangan kecil bersofa yang diduduki oleh Pak Beben beserta ibu dan istrinya yang sedang menjenguk. 
Pertama-tama, kami perkenalkan diri kami. Sesuai pesan ‘turunan’, katanya kita sebaiknya tidak memberikan identitas asli kepada pasien. Inggrid memperkenalkan diri sebagai Dokter Juli. Lalu saya bingung karena belum mempersiapkan nama. Tiba-tiba saya terpikir tentang nama bulan. Karena bulan Juli sudah diambil, maka saya spontan mendapatkan ide nama ‘Mei’.
Selanjutnya, kami mulai menganamnesis sesuai dengan modul panduan. Sekilas, Pak Beben ini tampak seperti orang tanpa gangguan jiwa. Ia bisa menceritakan dengan gamblang mengenai asal mula ia ‘sakit’. Ia begitu terbuka kepada kami, bahkan kadang menjelaskan apa yang belum kami tanya. Memorinya juga tidak terganggu. Ia bahkan bisa mengingat dengan detail mengenai beragam hal, mulai dari alamat, tanggal-tanggal ia dibawa ke rumah sakit, nama dokter-dokter yang menanganinya, nama saudara-saudaranya beserta gelar masing-masing, dan lain-lain. Pak Beben mulai sedikit berapi-api ketika membahas kakak-kakaknya yang sudah memiliki gelar semua, baik yang sarjana maupun diploma. Sedangkan ia, merasa kecil hati karena hanya bersekolah sampai kelas 2 SMA, lalu mengambil penyetaraan paket C. Ia juga malu karena BPJS-nya kelas 3, padahal ia masih punya keturunan raden. Nah, di sinilah waham itu mulai terungkap.
Saya dan Inggrid mengalihkan pembicaraan mengenai fungsi-fungsi vegetatifnya. Ketika ditanyai mengenai buang air kecil, katanya ia suka menahan buang air kecil. “Saya ngga mau ke kamar mandi, Dok,” katanya. Begitu saya tanyakan alasannya, awalnya ia mengatakan kalau takut dikira bohong. Setelah kami berusaha meyakinkan kalau kami siap mendengarkan, barulah ia ucapkan, “Itu, Dok. Elit global.” Nah ini dia! Waham curiga yang selama ini disebut-sebut oleh pemeran Aming di sinetron Dunia Terbalik, ataupun yang hanya saya dengar dari standardized patient psikiatri selama skill’s lab sewaktu tahap sarjana, kini saya dengar langsung dari pasien sungguhan. Ia menambahkan kalau di sudut-sudut ruangan ada CCTV, bahwa kami selalu diawasi melalui satelit, ditambah pembahasan singkat mengenai keluarga Rockerfeller, Yahudi, dan lain-lain. Dari situ, tampaklah kalau terdapat waham kebesaran, waham curiga, bahkan waham bizzare kalau menurut preseptor kami.
Kami pun mengakhiri sesi karena sudah waktunya keluarga pasien untuk pulang, ditambah kami memang sudah kehabisan ide untuk mengobrol lebih lanjut. Pak Beben pun kembali ke dalam bangsal, lalu kami membaca-baca rekam medisnya untuk menyesuaikan riwayat penyakitnya dengan temuan kami tadi. Pak Beben pun memanggil-manggil kami dari balik kaca bangsal, lalu bicara melalui lubang yang biasa dipakai untuk membagikan makanan. “Dok, ayo sini, ngobrol lagi,” katanya memelas. Kami tolak dengan halus dan kami katakan kalau obrolan akan kami lanjutkan besok. Tapi rasanya cukup senang punya pasien yang begitu terbuka, bahkan senang berbicara dengan kita.
Hari mulai sore. Kami berdiskusi bersama teman-teman yang lain dan residen yang menjadi LO kami. Beruntung, pasien kami saat kooperatif dan masih cukup ‘nyambung’ diajak bicara, sekalipun kadang arus pikirannya yang cepat membuatnya suka berloncat-loncat dari satu topik ke topik lainnya. Sedangkan, kedua pasien lainnya ada yang menjawab pertanyaan dengan tidak relevan, cenderung tertutup, atau hanya menjawab singkat jika ditanya. Yang jelas, semua pasien tentu memiliki keunikan masing-masing dan membutuhkan keahlian yang harus terus-menerus diasah untuk bisa menggali informasi sebanyak-banyaknya. Inilah yang membuat psikiatri menarik bagi saya. Baru hari pertama saja, saya langsung jatuh cinta.
Kamis, 4 Oktober 2018 ASN
2 notes · View notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
Text
Salah Paham Identitas yang Membahayakan
Bedah buku “Kekerasan dan Identitas” karya Amartya Sen oleh Muhammad Alfisyahrin, alumni Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Tumblr media
Ilusi bahwa manusia hanya punya satu identitas tunggal dan pemilihan warga dunia secara simplistik ke dalam perabadan-peradaban seperti yang ditulis oleh Samuel P. Huntington dalam buku Benturan Antarperadaban (1996), menurut Amartya Sen dalam buku Kekerasan dan Identitas, adalah salah satu sumber kekacauan utama dari berbagai problem di dunia. Mulai dari konflik antar kelompok etnis sampai terorisme global yang menggunakan simbol Islam.
Sebagai seorang ekonom peraih Nobel Ekonomi yang juga banyak bicara soal kemanusiaan dan pernah menyaksikan secara langsung konflik sektarian di negara asalnya: India, perspektif Sen dalam buku berjudul Kekerasan dan Identitas (2016) tidak hanya otoritatif secara intelektual, tetapi juga sangat reflektif. Karena Sen tidak membahas sesuatu yang berada di luar sana. Sen membahas soal identitas. Soal kita.
Memahami Identitas
Kemajemukan bukan hanya terjadi antar kelompok sosial dan antar individu. Menurut Sen, setiap individu pada dasarnya juga selalu memiliki identitas yang majemuk. Hal ini berangkat dari afiliasi kita pada berbagai kelompok sosial. Saya misalnya adalah seorang warga negara Indonesia, beragama Islam, tumbuh besar di kota Jakarta, memiliki Ayah yang berasal dari Makassar dan Ibu yang berasal dari Minang, penyuka klub sepakbola AS Roma, bekerja di organisasi yang platformnya Hak Asasi Manusia, alumni Sosiologi FISIP UI, dan lain sebagainya. Dalam situasi sosial tertentu, saya memang harus memilih ketika ada dua atau lebih identitas dalam diri saya yang saling bersaing, walaupun dalam situasi sosial yang lain setiap identitas itu tidak saling bersaing. Meski dibatasi oleh lingkungan dan situasi sosial tertentu, selalu ada ruang bagi kita melakukan penalaran untuk menentukan derajat kepentingan relatif dari setiap identitas atau afiliasi kita pada kelompok sosial yang ada.
Menurut Sen, pandangan bahwa manusia hanya punya identitas tunggal adalah ilusi yang diciptakan oleh elit kelompok tertentu yang seringkali dijustifikasi oleh para intelektual. Identitas tidak sama dengan klasifikasi yang dipaksakan oleh orang lain terhadap diri kita. Tidak semua klasifikasi juga punya signifikansi sosial. Walaupun klasifikasi inilah yang seringkali menjadi dasar berbagai proyek penyeragaman melalui penanaman pandangan identitas tunggal. Dalam beberapa kesempatan, wujudnya agresif dan sangat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Identitas bukan pula sesuatu yang kodrati yang hanya perlu ditemukan. Pandangan seperti ini biasanya muncul dalam suatu kelompok yang punya kepentingan pelestarian budaya tertentu (misalnya kelompok suku-bangsa dan agama). Padahal dalam keterbatasan konteks budaya tertentu, selalu ada ruang sebenarnya bagi individu untuk melakukan penalaran dan memilih derajat kepentingan relatif dari budaya dalam komunitasnya. Lagipula, dalam banyak komunitas, budaya itu pun seringkali memiliki varian yang beragam.
Kesalahpahaman Memandang Identitas
Dalam buku ini, Sen juga mengkritik beberapa tesis atau anggapan yang berakar pada kesalahpahaman dalam memandang identitas, berikut ini adalah di antaranya:
1.      Benturan antara Peradaban, tesis dari Huntington yang tidak hanya menjadi rujukan bagi penerima manfaat dari risetnya (Pemerintah Amerika Serikat), tetapi juga militan bersimbol Islam. Keduanya sama-sama memandang bahwa peradaban dunia memang pasti akan berbenturan. Selain karena berangkat dari asumsi ketunggalan identitas, tesis Huntington juga dikritik oleh Sen karena serampangan melakukan karakterisasi. Misalnya memandang India sebagai peradaban Hindu, padahal India adalah negara dengan penduduk muslim terbesar ketiga di dunia. Atau pandangan bahwa demokrasi, hak asasi manusia, dan ilmu pengetahuan adalah nilai-nilai yang khas Barat dan pencapaian murni dari peradaban Barat.
2.      Memaksakan identitas muslim yang sejati dan moderat. Sen mengkritik upaya melahirkan identitas muslim yang sejati, moderat, toleran, dan pro-perdamaian dengan cara merangkul para ulama yang digunakan oleh negara-negara dalam memerangi terorisme yang menggunakan simbol Islam. Selain berpotensi menimbulkan arus balik ketika upaya tersebut justru dianggap mengganggu ajaran Islam yang esensi, cara tersebut juga berangkat pada pandangan bahwa seorang muslim hanya punya identitas sebagai seorang pemeluk agama Islam saja. Padahal banyak kiprah dan karya dari kaum muslim di bidang non-keagamaan yang tidak selalu lahir dari perwujudan identitas mereka sebagai seorang muslim. Upaya memerangi terorisme harusnya dilakukan dengan cara menguatkan identitas lain dari seorang muslim seperti identitas sebagai warga negara dan manusia global.
3.      Barat dan Anti-Barat. Sen juga mengkritik sikap kebanggaan atas peradaban Barat dan sebaliknya sikap anti-Barat yang berangkat dari pandangan bahwa ide-ide seperti kebebasan dan pembelaan terhadap nalar publik adalah eksklusif hanya berkembang di Barat. Pengagungan atas nilai-nilai Asia dan pemahaman bahwa sesuatu yang Islami itu pasti bertentangan dengan Barat adalah contoh dari kutub lain yang juga berangkat dari pandangan tersebut.
Sen mengajak kita untuk senantiasa menyadari dan memberikan ruang untuk penalaran dan kebebasan kebebasan berpikir pada diri kita dan menghindari pandangan fragmentis yang menjadi landasan berpikir dari berbagai tragedi berdarah dalam sejarah kemanusiaan: mulai dari Yahudi di Eropa, Suku Hutu dan Tutsi di Rwanda, Muslim di Bosnia, Warga Palestina, Etnis Rohingya, hingga orang-orang terkait PKI di Indonesia. Perlu ada inisiatif untuk terus mendorong keadilan global, bukan hanya soal ekonomi-politik, menurut Sen, tetapi juga soal rasa kebersamaan global. Sebuah identitas yang tidak akan menggusur kesetiaan kita pada berbagai identitas lainnya.
Sumber gambar.  
4 notes · View notes
limapuluhrebuan · 7 years
Text
Studia Arabum: Ilmu-ilmu Arab di Peradaban Barat
Tumblr media
Sebuah sejarah yang panjang akan keberagaman berpikir. Buku ini berisi detail-detail mengenai kontribusi pemikir & ilmuwan Islam & Yahudi di Peradaban Islam terhadap gairah keilmuan dan teknologi di Eropa pada masa Abad Pertengahan, khususnya pada Abad ke 11 - 13 M. Banyak info-info menarik yang bisa didapatkan terkait dengan dunia astronomi, filsafat, sosial dan ekonomi dari pemaparan seorang Jonathan Lyons, seorang peneliti di Global Terrorism Research Center yang sudah lama menjadi koresponden Reuters (20 tahun) yang banyak bertugas di negara-negara Muslim. 
Kisahnya berawal dari sini.
Tersebutlah seorang cendekiawan Abad Pertengahan bernama Adelard dari Bath, yang sangat gemar mencari ilmu pengetahuan hingga ke tempat-tempat yang jauh demi mendalami suatu ilmu yang dinamakan dengan Studia Arabum atau Ilmu Arab.
Setelah melakukan studi selama kurang lebih 7 tahun, Adelard kembali ke kampung halamannya di Inggris dan dengan segera menyebarkan pengetahuan Studia Arabum yang ia dapatkan. Ia sangat berhutang budi kepada pengetahuan bangsa Arab tersebut sampai-sampai, sekembalinya ia dari Antiokhia, salah satu tempat ia melakukan studi, ia mengatakan "Tentu saja Tuhan yang mengatur alam semesta. Tetapi kita bisa dan harus menyelidiki dunia alam. Bangsa Arab mengajarkan hal itu kepada kita."
Tumblr media
Penggambaran imajiner dialog Ibnu Rushd (Averroes) dengan filsuf Neoplatonis, Porphyry.
Singkat kata, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Barat tidak dapat dilepaskan dari peran bangsa Arab dan peradaban Islam. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Adelard dari Bath.
Memangnya ada apa dengan Studia Arabum? Kenapa hal tersebut dikatakan sebagai penggerak kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Barat pada waktu itu?
Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut, kita harus melihat situasi Eropa & Timur Tengah pada masa Abad Pertengahan.
Eropa pada masa itu berada pada masa kemunduran. Selepas jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5, ilmu-ilmu dan teknologi dari masa Romawi-Yunani kuno seakan hilang dari Eropa. Kota-kota besar tidak terurus, jalan raya dibiarkan rusak dan tidak ada yang mengerti bagaimana memperbaikinya, pertanian dan perkebunan yang dahulu begitu maju dengan dasar ilmu pengetahuan kini dibiarkan tidak terawat. Belum lagi pendidikan yang dahulu maju, dengan sekolah-sekolah umum untuk warga Romawi, kini hancur menjadi debu.
Eropa telah mundur sekian ratus tahun pada saat itu. Kehidupan begitu keras, perekonomian berjalan lambat dan pendidikan tidak berputar sebagaimana mestinya. Buku-buku hanya ada di Istana & Gereja. Seringkali buku-buku tersebut (yang terbuat dari kulit domba dan ditulis menggunakan tinta dengan proses penyalinan yang lama dan mahal) digembok & dirantai agar tidak dapat dibawa keluar dari tempat itu. 
Proses pendidikan pada saat itu praktis hanya berputar di dua tempat juga: Istana & Gereja. Gereja secara umum menguasai institusi-institusi pendidikan dibawahnya, seperti sekolah-sekolah biara & Katedral. Pendidikan pada saat itu hanya menjadi permainan para elit istana & gereja. Tidak jarang, seorang raja yang "tercerahkan" (dilihat dari antusiasme dan pengetahuannya terhadap ilmu pengetahuan, contohnya, Raja Roger II dari Sisilia & Frederick II dari Kekaisaran Romawi Suci) mensponsori perkembangan penelitian-penelitian, dan bahkan mengundang sejumlah pemikir-pemikir dan ahli ke istananya untuk berbincang mengenai suatu permasalahan & menugaskannya untuk membawahi suatu proyek keilmuan. Beberapa pihak dari Gereja pun, demi kebutuhan memahami filsafat lebih dalam untuk menyesuaikannya dengan doktrin Kristen, mencari sumber literatur & pemahaman yang lebih dalam.
Tumblr media
Tabula Rogeriana. Peta dunia yang dibuat oleh Al-Idrisi atas perintah Raja Roger II.
Kepada bangsa Arab & peradaban Islamlah, mereka (Istana & Gereja) mencari pemahaman tersebut.
Peradaban Islam pada saat itu bisa disebut sebagai powerhouse keilmuan. Terlepas dari kondisi perpolitikan yang seringkali kacau, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata tetap berkembang dengan baik. Pasca wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, peta politik kekuasaan Islam berkembang luas meliputi Semenanjung Iberia di Barat hingga tanah Hindustan di Timur. Pesatnya perkembangan ini tentu juga berdampak langsung terhadap masuknya arus informasi dan ilmu pengetahuan baru. Dari wilayah bekas kekuasaan Bizantium & Persia, penguasa Muslim mendapatkan akses informasi berupa tempat-tempat studi keilmuan & juga buku-buku. Semakin beragamnya populasi yang berada dibawah kekuasaan peradaban Islam juga menyebabkan semakin terpaparnya para penguasa Arab terhadap bentuk-bentuk pemikiran dan ilmu pengetahuan baru. Disinilah mereka bersentuhan dengan filsafat & ilmu pengetahuan Yunani, Persia & Hindu.
Pemikiran-pemikiran Aristotelian & Yunani Kuno lainnya pada awalnya dipakai sebagai cara untuk memenangkan perdebatan-perdebatan agama. Tetapi kemudian, bangsa Arab semakin terobsesi untuk membedah pemikiran-pemikiran kuno tersebut dan menambahkan pemahamannya berdasarkan teori dan praktek baru yang dilakukan oleh para cendekiawan Arab. Tak pelak, hal ini membawa kemajuan tersendiri bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Peradaban Islam.  
Interaksi antara Barat dan Timur seringkali memang terasa canggung, berbatas, dan penuh konflik. Perang Salib adalah salah satu contohnya. Tetapi justru melalui Perang Saliblah, kedua dunia ini dapat berinteraksi dengan lebih intens dan lebih bebas. Para cerdas cendekia di Eropa, yang tidak puas dengan kondisi yang ada saat itu, datang ke Timur dan melihat bahwa pada kenyataannya, mereka hidup dan berpikir dengan cara-cara yang lebih maju. Beberapa penguasa Eropa (baik di Timur Tengah pasca Perang Salib atau di Eropa sendiri) bahkan mengadopsi gaya hidup kearab-araban agar terlihat lebih maju & unggul. Mereka yang tidak dibutakan oleh kebencian berhasil melihat potensi dari ilmu dan teknologi Arab ini. Seorang cendekiawan gereja bernama Adelard dari Bath adalah salah satu orang yang melihat potensi tersebut, mempelajarinya, dan membawanya pulang untuk kemudian didiskusikan dan diterapkan di tanah kelahirannya di Bath, Inggris.
Tumblr media
Duet seorang Muslim & Kristen bermain kecapi, Spanyol abad ke-13, didedikasikan untuk Alfonso yang bijaksana, penguasa Castille, Leon, dan Galicia.
Apakah cerita berakhir sampai disini? Tidak. Studia Arabum mencakup tidak hanya gagasan filosofis, tetapi juga astronomi, kedokteran, botani, hingga perhitungan matematis. Keseluruhan bidang ilmu ini, yang diambil dari gagasan-gagasan & ilmu dari Yunani Kuno, disimpan dan dikembangkan lebih jauh oleh Peradaban Islam dengan campuran ilmu pengetahuan Persia, India & Ibrani, untuk kemudian dipakai dan dikembangkan lebih jauh lagi oleh para pemikir dan cerdik pandai di seantero Peradaban Barat.
Yang terjadi kemudian, kita semua sudah mengetahuinya. Peradaban Barat, terpesona dengan ilmu-ilmu Arab, semakin menggali keilmuan yang ia dapatkan, mengembangkannya, dan perlahan-lahan mulai menguasainya. Di satu sisi, Peradaban Islam semakin menurun. Terpecah oleh konflik, gairah keilmuan itu perlahan-lahan redup, 
Gairah dan ide besar akan pentingnya pendidikan kini telah berpindah.
Terlepas dari itu, Studia Arabum, sedemikian asingnya nama tersebut terdengar di benak kita, tak pelak sudah menjadi landasan berpikir bagi banyak sekali inovasi dan kemajuan yang dialami oleh peradaban Barat hingga saat ini. Pengaruhnya yang tetap ada & terasa di dalam kehidupan kita, meskipun mungkin kita tidak menyadarinya. 
The Great Bait Al-Hikmah, Kontribusi Islam dalam Peradaban Barat 
(Jonathan Lyons)
Penerbit Noura
Tumblr media
2 notes · View notes
astraperaspera · 7 years
Text
Jernih, Mengalir, Mencerdaskan
Sekilas memang mirip Tagline ala GEOTIMES (bukan mirip lagi, memang nyontek). Bukan supaya click-bait, tapi karena memang saya bingung saja mau diberi judul apa tulisan ini, dan dipikir-pikir frase ini memang cocok untuk jadi judul apa yang akan saya bicarakan: Pendidikan
Membicarakan perkembangan peradaban manusia, ada kalimat yang selalu terngiang-ngiang di telinga dan pikiran saya: “One Child, One Teacher, One Pen, can change the world”. Kalimat ini keluar dari mulut remaja yang berasal dari sebuah negara pra-sejahtera, yang pada saat itu tengah mati-matian memperjuangkan kebebasan untuk meraih pendidikan bagi kaumnya. Dirinya amat percaya, bahwa pendidikan dapat memperbaiki kehidupan orang-orang di sekitarnya yang pada saat itu sedang kesulitan hidup akibat terjebak dalam situasi peperangan dan tindakan terorisme. Kalimat yang keluar dari mulut Malala Yousafzai, perempuan termuda yang pernah menerima penghargaan Nobel Perdamaian, bila kita pahami dengan baik memiliki makna yang benar-benar kuat. Betapa tidak, pendidikan memang selalu punya peran terpenting dalam kisah perkembangan peradaban di dunia. Perubahan-perubahan spektakuler pada  peradaban makhluk hidup di dunia selalu diinisiasi oleh perkembangan pendidikan. Kemudahan-kemudahan yang kita rasakan pada detik ini, adalah salah satu buah manis dari pohon bernama pendidikan. Bahkan saya percaya, jika para pemikir seperti Confucius (551 BC- 479 BC)  atau Plato (428 BC-328 BC), memutuskan untuk tidak membagi pengetahuannya, atau dengan kata lain tidak mendidik orang-orang yang ada disekitarnya, peradaban manusia di abad 21 tidak akan maju sejauh ini.
Di Indonesia sendiri, senjata paling ampuh yang pernah dimiliki oleh para pahlawannya adalah pendidikan. Pergerakan nasional menuju kemerdekaan negeri ini, diinisiasi pada tahun 1908 oleh sekelompok pemikir yang menamakan diri mereka Boedi Oetomo. Tujuan organisasi ini adalah membawa kemajuan negeri dan/terutama bangsa Jawa melalui perluasan pendidikan  (Hisyam, 2007). Pada awalnya perjuangan ini bersifat primordial, tapi gagasan gerakan ini dengan cepat merambah ke luar daerah Jawa, Diikuti dengan munculnya organisasi-organisasi dengan gagasan serupa di penjuru nusantara, yang semakin mendorong roda pergerakan nasional dan berujung pada kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Di tingkat individu, pendidikan juga tidak kalah penting. Pemikir zaman modern seperti Alain de Botton mengatakan, “ Education is what makes us fully human.” Pendidikan itu memanusiakan manusia. Saya meyakini ini benar karena pada dasarnya, pendidikan di tingkat individu memberikan akses individu pada kesempatan untuk mengembangkan diri, mengaktualisasi diri, dan membebaskan diri dari perbudakan akali. Sejarah pernah mencatat perbudakan akali yang berujung pada Genocide, pemusnahan ras manusia  terbesar sepanjang sejarah dunia. 6.000.000 nyawa tidak bersalah, termasuk anak-anak dan perempuan. Dibunuh oleh sebuah partai dengan ideologi anti-semitisme yang tidak masuk akal.
Saya mengamini pendapat filsuf seperti Louis O. Katsoff (1996) bahwa perbudakan akali itu jauh lebih berbahaya daripada perbudakan ragawi.  Seseorang diperbudak secara ragawi, setidak-tidaknya tubuhnya akan mendapatkan perawatan sedemikian rupa sehingga mampu bekerja. Jika seseorang diperbudak secara akali, maka apapun akan dilakukan untuk menjadikan akal pikirannya haus sehingga akal pikiran tersebut tidak lagi bekerja. Tidak akan ada dorongan untuk merubah dan memperbaiki hidup. Tanpa kesempatan untuk meilihat dunia luar dan mengenyam pendidikan, tidak ada dorongan untuk melawan ketidakadilan. Inilah ada di benak bangsa Yahudi di Jerman tahun 1935-1945. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana cara mengikuti keinginan Sang Führer semata-mata agar tidak dikirim ke Auschwitz.
Peristiwa sejarah yang sangat memilukan ini menjadi salah satu dasar dalam penyusunan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) oleh PBB pada tahun 1948, yang mencantumkan hak untuk mengenyam pendidikan sebagai hak asasi manusia, disamping hak untuk hidup, hak untuk merdeka dan memiliki kebebasan, serta hak untuk menjadi bagian dari masyarakat sosial (United Nation, 1948). Jadi tidak dapat  dipungkiri bahwa pendidkan sangat penting untuk menghadirkan kehidupan yang layak dan sejahtera bagi individu maupun bangsa manapun.
 Pendidikan dan Wajah Muram Indonesia
Jika saya ditanya, “Apa potensi terbesar yang dimiliki oleh Indonesia?”, saya akan dengan lantang menjawab bahwa itu bukan keragaman hayati dan budayanya, bukan juga luas negaranya, apalagi sumberdaya alamnya.  Saya akan lantang menjawab bahwa potensi terbesar yang dimiliki oleh Indonesia, adalah manusia-manusia yang menjadi bagian dirinya. Potensi sumberdaya manusia Indonesia di tahun 2017 mencapai angka 260 juta jiwa (Worldometers, 2017). Terbesar ke-4 di seluruh dunia. Indonesia memiliki tenaga manusia 4 kali lebih banyak dari negara maju seperti Jerman, dan 40 kali lebih banyak dari negara yang juga tetangga kita, Singapura.
 Tapi, dari fakta tentang Indonesia ini, muncul banyak pertanyaan-pertanyaan seperti,
Kenapa Indonesia hanya berada pada peringkat ke 61 dari 149 negara pada survey negara-negara tersejahtera di dunia? Tertinggal oleh negara tetangga kita, Malaysia di urutan ke-38, dan Singapura di urutan ke-19 (Legatum Institute, 2016)?  
Kenapa Indonesia berada di peringkat ke-100 dari 189 negara pada survey nilai Gross Domestic Product (GDP) negara-negara di dunia? Kenapa peringkat Indonesia ada di bawah Iran yang berada di peringkat ke-70 (Global Finance, 2016)? Ini mengagetkan lho. Dari segi  pendapatan per-kapita, ekonomi Indonesia ada dibawah Iran. Iya,  Iran. Negara yang dilanda perang saudara dan ancaman terorisme sejak 2011 lalu.
  Kok Bisa?
 Jawabannya sederhana saja,
Kuantitas tanpa kualitas, ya sama aja bohong.
Kuantitas tenaga manusia Indonesia memang melimpah, tapi kualitasnya masih terbilang rendah. Selama 72 tahun merdeka, menemukan 11 orang diantara 200 juta-an jiwa, yang bisa membawa negara ini mengikuti pagelaran sepak bola tingkat dunia saja masih belum bisa, bahkan untuk bersaing di regional Asia saja sulitnya  minta ampun. Sedangkan Jerman, yang populasinya kurang dari 1/3 jumlah populasi Indonesia saja, berhasil berulang kali merajai sepak bola Eropa dan dunia.
Kuncinya ada pada kualitas. Tanpa kualitas, negara dengan tenaga manusia sebanyak apapun akan sulit untuk maju. Tapi sebaliknya, negara dengan jumlah populasi yang sedikit namun berkualitas, masih bisa bersaing dengan mengandalkan kualitas sumberdaya manusianya. Quality over quantity. Sejarah pernah mencatat ini, dimana 300 tentara elit Sparta berhasil menahan 300.000 tentara Persia pada Battle of Thermophylae (480 BC).
Premis saya ini juga didukung oleh Human Capital  Theory (Becker, 1962) yang menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat  tidak hanya dipengaruhi oleh variabel kemampuan finansial, jumlah tenaga manusia, dan keterdapatan sumberdaya saja, tetapi juga dipengaruhi oleh variabel penguasaan ilmu pengetahuan dan skill oleh individu. Kualitas sumberdaya manusia akan berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan individu/bangsa. Terpuruknya suatu bangsa, adalah bukti buruknya kualitas sumberdaya manusia yang menjadi bagian dari bangsa tersebut.
 Lalu kenapa kualitas sumberdaya manusia Indonesia terbilang buruk?
 Dari hasil survey yang dirilis oleh United Nation Development Program (2016) mengenai Human Development Index (HDI) Value, Indonesia memiliki nilai akhir 0.689 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-113 dari 188 negara, sangat jauh tertinggal dari negara tetangga kita Malaysia, yang memiliki nilai HDI 0.789 di peringkat ke-59, dan Singapura yang memiliki nilai HDI 0.925, yang menempatkan mereka pada peringkat ke-5 dunia. HDI seringkali digunakan oleh berbagai negara sebagai acuan untuk melihat keberhasilan/ketidakberhasilan kebijakan yang diimplementasikan pemerintah nasional untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat. Indikator yang diamati  dalam perhitungan nilai HDI adalah Tingkat Harapan Hidup, Pendapatan per Kapita, dan Pendidikan (UNDP, 2010).
Pada survey lain, yang dilakukan oleh Legatum Institute (2016), memperlihatkan kualitas pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal dari negara maju seperti Swiss dan Finlandia. Pada parameter kualitas pendidikan, Indonesia hanya berada pada peringkat 72 dari 149 negara. Ada dibawah Iran di peringkat 71, dan jauh di bawah Malaysia dan Singapura di peringkat 31 dan 10.
Jadi dapat dikatakan, inilah akar dari semua permasalahan negara ini.
 Mengapa Indonesia sulit untuk berkembang? Karena kualitas  sumberdaya manusia nya yang buruk.
Mengapa kualitas sumberdaya manusia Indonesia buruk? Karena kualitas pendidikannya yang buruk.
Pendidikan yang baik adalah kunci untuk melahirkan manusia berkualitas, melahirkan manusia bijak dan berwawasan untuk memenuhi defisit kebutuhan tenaga di berbagai bidang untuk mensejahterakan Indonesia.
Wajah muram Indonesia pada hari ini, adalah buah kegagalan kita dalam menerapkan pendidikan yang baik. Yang berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Sebuah fakta yang banyak dipungkiri banyak orang, namun nyata terjadi di sekitar kita.
                                                           ~”~
Sebagai sebuah negara dengan sistem pendidikan terbesar ke-4 di dunia, Indonesia memang memiliki banyak sekali hambatan dan tantangan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu tantangan terberatnya adalah meningkatkan nilai Rata-Rata Lama Bersekolah masyarakat  Indonesia. Program pemerintah Indonesia pada bidang pendidikan untuk meningkatkan kualitas manusia, yang diwakili oleh Kemendikbud RI, adalah Program Wajib Belajar 12 tahun. Bagi saya, ini adalah target yang baik. Melihat rata-rata lama bersekolah di negara-negara maju seperti Swiss, Finlandia, dan Singapura antara 10-12 tahun. Sayangnya langkah ini seakan tersendat melihat rata-rata lama bersekolah masyarakat Indonesia di tahun 2016 yang hanya mencapai angka 7.9 tahun. Jadi dapat dikatakan bahwa saat ini rata-rata masyarakat Indonesia hanya berkemampuan dan berwawasan setingkat siswa SMP kelas 2. Kondisi ini menjadikan sumberdaya manusia Indonesia menjadi sulit bersaing dalam era ekonomi global jika melihat rata-rata lama bersekolah di negara-negara yang menjadi kompetitor ekonomi Indonesia di Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia berada di atas 8.2 tahun(UNDP, 2016).
Masalah lain yang tidak kalah penting ada pada sarana pendidikan meliputi tenaga dan fasilitas pendidikan yang ada di Indonesia. Secara kualitas, standar nasional sekolah, yang menjadi sarana utama pendidikan formal telah tertuang pada Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005. Sayangnya, dari 374.704 sekolah (semua jenjang pendidikan) yang ada di Indonesia, 30% diantaranya (sekitar 112.400 sekolah) masih di bawah standard nasional (KEMENDIKBUD, 2016). Bahkan bila mengacu pada kurikulum berstandar international oleh International Baccalaurate (IB), hanya 8 SD yang memenuhi standar The Primary Program (PYP), 8 SMP yang memenuhi standar The Middle Year Program (MYP), dan 7 SMA yang memenuhi standar The Diploma Program. Artinya, hanya segelintir saja sekolah-sekolah di Indonesia yang kualitas pendidikannya diakui pada level internasional.
Masih berbicara mengenai kualitas sarana pendidikan Indonesia, kualitas tenaga pengajar Indonesia juga masih bermasalah. Pasalnya, dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan Kemendikbud tahun 2016 kemarin, dari 1.6 juta guru yang ikut serta, hanya 192 orang yang mendapat nilai sangat baik (diatas 90). Sementara nilai rata-rata peserta ujian hanya mencapai angka 56 (JawaPos.com, 2016). Ini lucu sekaligus memprihatinkan. Karena jika kita bandingkan dengan batas minimal kelulusan Ujian Nasional tahun 2016 sebesar 55, akan banyak sekali guru  yang tidak lulus. Atau setidaknya lulus tapi dengan nilai pas-pasan. Tapi intinya, bukan guru dengan kompetensi seperti  ini tho yang kita harapkan untuk mencerdaskan bangsa?  
Jika melihat data, sebenarnya hal ini mungkin tidak mengagetkan. Pasalnya, dari 3,4 juta-an guru di Indonesia, 642.797 guru (sekitar 18,6%) berpendidikan di bawah S-1, dengan rata-rata guru berpendidikan setingkat  S-1 (KEMENDIKBUD, 2016). Hal ini tidak bisa dibilang baik karena di negara dengan pendidikan yang sangat baik seperti Finlandia, untuk menjadi guru level SD saja, mensyaratkan pendidikan minimil magister/S-2(In Amullah, 2015).
Kesenjangan jumlah dan kualitas sarana pendidikan juga tidak luput menjadi masalah pendidikan Indonesia saat ini. Pada kota-kota kecil di Indonesia, terutama yang berada pada daerah-daerah 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal) masih mengalami kekurangan sarana sekolah dan tenaga pengajar.  Seperti yang terjadi di Provinsi Papua Barat, dari 2.629 tenaga yang dibutuhkan, hanya 1.620 tenaga yang tersedia. Hal ini juga terjadi di provinsi lain seperti Banten, dan Kalimantan Barat (KOMPAS, 2015).
Hal lainnya yang berkaitan erat dengan kondisi dan permasalahan pendidikan Indonesia adalah Kultur Pendidikan Indonesia, yang menurut penilaian pribadi saya, berada pada rentang level konyol hingga tidak masuk logika.
Salah satunya adalah Paradigma Pendidikan Berorientasi Hasil, tanpa melihat proses. Banyak sekolah ataupun institusi pendidikan yang hanya menjadikan hasil akhir sebagai penentu keberhasilan peserta didik.
Dari mana buktinya?
 Dari stigma yang berkembang di masyarakat saat ini yang mengatakan bahwa nilai akhir adalah penentu kecerdasan dan kapabilitas seseorang. Ini tho yang jadi dasar utama pada sistem Ujian Nasional (UN)? Seseorang akan dinyatakan lulus tingkatan sekolah tertentu  jika berhasil memperoleh nilai diatas batas minimal, terlepas bagaimana caranya siswa mendapatkan nilai tersebut. Padahal faktanya, hampir setiap tahun soal Ujian Nasional mengalami kebocoran (Tempo.co, 2015). Sudah keluar biaya trilliun-an, tujuan pendidikannya tidak tercapai. Rugi Bandar.
Dan yang sampai sekarang tidak bisa saya pahami menggunakan logika saya adalah Sistem Peringkat. Ambil contoh saat Tes masuk sekolah.  Jadi, untuk belajar di sekolah tertentu (biasanya sekolah favorit), harus melalui serangkaian tes mata pelajaran eksakta. Yang nilai nya paling bagus (perinkat tinggi)  akan diterima, sedangkan yang tidak mencukupi (peringkat rendah) tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah tersebut. Jadi isi satu sekolah tersebut adalah murid yang sudah pintar-pintar. Yang masih bodoh, yang seharusnya dididik dengan baik supaya pintar, tidak boleh bersekolah disitu. Sempat saya menyimpulkan nahwa sepertinya pendidikan terbaik memang hanya dimaksudkan untuk orang yang dari sananya sudah pintar. Mungkin maksudnya seperti itu.
Sebenarnya masih banyak lagi fenomena pendidikan, yang sepengamatan saya, “Konyol dan mbikin mesakke”  dan berimplikasi pada kualitas pendidikan Indonesia.  Konsep Belajar Menghafal, Doktrinisasi Ajaran, Kultur Pendidikan Patriarki dan semacamnya. Ingin rasanya saya utarakan seluruhnya tapi pasti akan memakan lebih banyak paragraf lagi, dan saya tahu kamu mulai bosan membaca ndumelan saya ini.
Tapi point pentingnya adalah,  kita tidak bisa menafikan bahwa kualitas pendidikan kita bobrok. Mulai dari sistem hingga kulturnnya.  Dan ini berefek pada laju perkembangan Indonesia yang gitu-gitu aja.
                                                        ~”~
Saya punya mimpi untuk melihat pendidikan indonesia yang diakui di mata dunia. Saat ijazah universitas di Indonesia dapat disamakan dengan ijazah dari Harvard atau Yale. Saat nominasi penghargaan nobel diisi oleh nama-nama anak nusantara. Saat dunia berbondong-bondong ingin menempa ilmu di negara ini. Mimpi saya ini, saya sematkan pada ide-ide yang ingin saya utarakan lewat tulisan saya ini. Mulai dari ide yang njeliment dan malesin, sampai yang sangat sederhana, yang manusia medioker seperti saya juga bisa melakukannya. Dengan harapan dapat men-trigger perubahan pendidikan Indonesia kearah yg lebih baik di masa depan
Pertama, dan biasanya yang paling dianggap rumit dan malesin, adalah membuat masyarakat Indonesia memiliki pemahaman  politik yang baik dan terlibat aktif dalam politik Indonesia. Setuju tho kita punya masalah di sistem pendidikan kita? Apa dengan curhat 140 karakter di Twitter menyelesaikan ini? Atau apakah menyusun essay 1500 kata yang dikirim untuk perlombaan berhadiah 2 juta rupiah bisa membuat pendidikan Indonesia selevel dengan Swiss?. Memberikan efek sih, tapi belum cukup.
Yang dibutuhkan adalah “Kekuasaan”. Kekuasaan itu sangat esensial dalam penyusunan dan penentuan arah kebijakan dalam sebuah sistem raksasa bernama negara. Dan kekuasaan, diraih melalui jalur politik. Budiman Sudjatmiko, salah satu tokoh politik Indonesia favorit saya, dalam suatu Talkshow di salah satu TV swasta pernah berkata, “Lewat politik, saya jadi bisa bagi-bagi uang sama orang ndeso”. Maksudnya?
 Maksudnya, seorang manusia biasa yang sekedar punya jabatan di parlemen, bisa menggelontorkan 600 triliun lebih “uang rakyat” untuk kemajuan perdesaan di Indonesia.
 Bila dikaitkan dengan premis saya,
 melalui politik, kita bisa menentukan fokus APBN Indonesia untuk kebutuhan Program Wajib Belajar 12 Tahun yang selama ini terhambat masalah pendanaan untuk perbaikan fasilitas sarana dan tenaga pendidikan  di daerah 3T.
 Lewat politik, kita bisa menghapuskan sistem UN yang nirfaedah dan membuang-buang uang. Yang cacat dari segi konsep dan target capaiannya.
 Lewat politik, kita bisa ikut menyusun UU Standar Pelayanan Minimal (SPM) fasilitas dan tenaga pendidik level internasional  untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia yang selama ini butuh standar yang baik.
 Atau setidaknya, jika kamu masih enggan untuk terjun ke dunia politik, dapat dimulai dengan berkontribusi aktif dalam pemilihan kepala negara. Pilih calon dengan menggunakan rasionalitas berbasis program. Yang program pendidikannya pro-Human Capital Develompment dengan track record yang dapat dipercaya. Jangan sekedar pilih orang karena dia dan kita sea*ama.
Se-Asrama maksudnya hehehe.
Kedua, yang lebih sederhana, adalah mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam proses pendidikan dan meningkatkan kualitas  literasi.  Di zaman modern ini, pencarian ilmu dan wawasan  tidak terbatas hanya lewat sumber konvensional seperti buku saja, proses edukasi tidak terbatas pada temu tatap muka saja, dan pertukaran informasi tidak terbatas oleh batas-batas geografi saja. Di era globalisasi, semua manusia dengan akses internet terhubung satu sama lain dan punya akses yang sama terhadap informasi, kapanpun dan dimanapun. Negara dengan pendidikan terbaik seperti Swiss, sudah mengintegrasikan teknologi dengan proses edukasi, karena mendapatkan informasi melalui internet dinilai lebih aktual, relevan, ekonomis, dan efisien. Terlebih untuk edukasi pada anak-anak, teknologi akan lebih menstimulasi keinginan belejar mereka.
Sayangnya hal ini belum terjadi di Indonesia. Memang penggunaan teknologi dan internet di Indonesia sudah sangat masif. Mengacu pada survey APJII (2016), pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta jiwa. Dengan komposisi pelajar (10-24 tahun) 18,4%, penduduk usia produktif (25-54 tahun) 71,6%, dan manula (>55 tahun) 10%. Namun, survey pada parameter Perilaku Pengguna Internet, menunjukan mayoritas penggunaan internet ditujukan untuk akses social media (Facebook, Instagram, Twitter, dll). Dan saya mengamini hasil survey ini. Pasalnya, sepengamatan saya di lingkungan pergaulan saya yang mahasiswa ini, kebanyakan penggunaan internet adalah untuk akses mereka ke social media dan hiburan. Jadi jangan kaget jika wawasan penduduk  indonesia, terutama yang berada pada usia produktif, terbilang rendah. Karena pada kesehariannya, kita lebih senang membaca postingan @lambe_turah dibanding majalah online Historia atau ScienceMag. Kita lebih senang menonton diary A*wkarin (yang gak penting-penting amat) di YouTube dibanding menonton  Ted-Ed atau BigThink.
Bayangkan jika yang seperti ini guru-guru kita? Ingat, guru yang buruk hanya akan menghasilkan guru-guru yang buruk lebih banyak lagi. Jika tidak diubah, akan terus begitu sampai geng Liberal bisa akur dengan geng Hardliners.
Ketiga, dan yang paling sederhana dan gampang, adalah kritis dan berani mengutarakan pandangan membangun kita tentang kondisi pendidikan Indonesia. Seperti Albert Einstein dan Margaret Mead  yang berani bersuara mengubah paradigma dan kultur buruk yang mengakar pada dunia pendidikan.
Tidak setuju paradigma kecerdasan diukur dari nilai mata pelajaran eksakta? Suarakan bahwa setiap manusia adalah unik, dan berhak untuk dihargai keunikannya. Sudah sepantasnya pendidikan mengakomodasi semua ragam kecerdasan yang ada. Tidak terbatas pada Natural dan Social Science, tapi juga seni, budaya, linguistik dan olahraga. Dukung hak mereka untuk merasakan fasilitas pendidikan seperti jurusan Natural & Social Science.
Jengah melihat pendidikan Indonesia yang penuh doktrinisasi? Utarakan bahwa pendidikan yang baik adalah “to taught how to think, not what to think”. Katakan bahwa pendidikan adalah Hak Asasi bagi manusia. Semua manusia berhak memilih apa yang ingin ia pelajari, tanpa paksaan dan larangan. Semua peserta didik diperkenankan belajar dari buku atau sumber manapun, tidak terbatas pada sumber dari sang guru ataupun negara. Teriakan bahwa pendidikan harus memerdekakan akal manusia, bukan sebaliknya.
Kita harus berani berkata bahwa pendidikan Indonesia harus bernas Inovasi. Pendidikan yang dijalankan harus kritis dan progresif serta up-to-date dengan dinamika pengetahuan global. Mendorong imajinasi dan kreatifitas untuk mencipta, bukan meniru. Pendidikan yang membuka cakrwala wawasan, bukan menutup pemikiran. Pendidikan yang melahirkan kebijaksanaan, bukan kesombongan. Dan,
“Pendidikan yang Mencerdaskan”
> gak asal-asalan kok, nih ada sumbernya:
ANTARA, 2017. Tempo.co. [Online] Available at: https://m.tempo.co/read/news/2017/01/26/079840126/kementerian-pendidikan-hanya-70-persen-sekolah-penuhi-standar [Accessed 17 April 2017].
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 2016. Data Statistik Pengguna Internet Indonesia Tahun 2016. [Online] Available at: http://isparmo.web.id/2016/11/21/data-statistik-pengguna-internet-indonesia-2016/ [Accessed 20 April 2017].
Becker, G. S., 1962. Investment in Human Capital: A Theoretical Analysis. The Journal of Political Economy, 70(5), pp. 9-49.
Global Finance, 2016. The Richest Countries In The World. [Online] Available at: https://www.gfmag.com/global-data/economic-data/richest-countries-in-the-world?page=12 [Accessed 16 April 2017].
Hisyam, M., 2007. Budi Utomo, Kebangkitan Nasional, dan Nasionalisme. Jakarta, Seminar Nasional "Refleksi Satu Abad Kebangkitan Nasional".
In Amullah, S., 2015. “Guru Unggul, Sekolah Hebat” ala Finlandia. [Online] Available at: http://www.sekolahguruindonesia.net/guru-unggul-sekolah-hebat-ala-finlandia/ [Accessed 17 April 2017].
JawaPos.com, 2016. Kualitas Guru Indonesia Masih Rendah. [Online] Available at: http://www.jawapos.com/read/2016/04/27/25739/kualitas-guru-indonesia-masih-terendah [Accessed 17 April 2017].
JPNN.com, 2015. Program Wajib Belajar 12 Tahun Tak Maksimal, Ini Penyebabnya. [Online] Available at: http://www.jpnn.com/news/program-wajib-belajar-12-tahun-tak-maksimal-ini-penyebabnya [Accessed 20 April 2017].
justlanded.com, 2013. New technologies in schools: How iPads or Laptops Stimulate learning. [Online] Available at: https://www.justlanded.com/english/Switzerland/Articles/Education/New-technologies-in-schools [Accessed 20 April 2017].
KEMENDIKBUD, 2016. Ringkasan Statistik Pendidika 2015/2016. ISSN 1410-1556 ed. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kemenkeu RI, 2015. Hulu ke Hilir Dana Desa. [Online] Available at: http://www.kemenkeu.go.id/dana-desa [Accessed 20 April 2017].
Knoema, 2017. Human Development Report: Mean Years of Schooling. [Online] Available at: https://knoema.com/HDR2015/human-development-report?tsId=1006970 [Accessed 16 April 2017].
KOMPAS, 2015. Kecukupan Guru Masih Semu, Beban Para Guru di Daerah Tertinggal Sangat Berat. [Online] Available at: http://cdn.assets.print.kompas.com/baca/dikbud/pendidikan/2016/01/22/Kecukupan-Guru-Masih-Semu-Beban-Para-Guru-di-Daer [Accessed 17 April 2017].
Legatum Institute, 2016. The Legatum Prosperity Index 2016. [Online] Available at: http://www.prosperity.com/rankings [Accessed 16 April 2017].
Mata Najwa, 2014. Mata Najwa: Onde Mande Parlemen, Payakumbuh, Kota Padang: Metro TV.
Media Indonesia, 2016. Jusuf Kalla Tekankan Pendidikan Indonesia Butuh Standar. [Online] Available at: http://mediaindonesia.com/news/read/79744/kalla-tekankan-pendidikan-indonesia-butuh-standar/2016-11-28 [Accessed 20 April 2017].
Republika, 2016. Kekurangan Tenaga Guru. [Online] Available at: http://www.republika.co.id/indeks/hot_topic/kekurangan_guru [Accessed 17 April 2017].
suaraindonesianews.com, 2015. Standard Pelayanan Minimal Pendidikan perlu diterapkan di Indonesia. [Online] Available at: http://suaraindonesianews.com/pendidikan/standar-pelayanan-minimal-spm-pendidikan-perlu-diterapkan-di-indonesia/ [Accessed 20 April 2017].
Tempo.co, 2015. Kebocoran Soal UN Kerap Kali Terjadi, Mengapa?. [Online] Available at: https://m.tempo.co/read/news/2015/06/18/275676259/kebocoran-soal-un-kerap-kali-terjadi-mengapa [Accessed 18 April 2017].
UNDP, 2010. The Human Development Concept. [Online] Available at: http://hdr.undp.org/en/humandev/ [Accessed 16 April 2017].
United Nation Development Program, 2016. Human Development Report 2016: Indonesia. [Online] Available at: http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/2017/doc/INS-Indonesia_Country%20Explanatory%20Note_HDR2016.pdf [Accessed 16 April 2017].
United Nation Development Program, 2016. Human Development Report 2016: Singapura. [Online] Available at: http://hdr.undp.org/sites/all/themes/hdr_theme/country-notes/SGP.pdf [Accessed 16 April 2017].
United Nation Development Program, 2016. Human Development Report: Malaysia. [Online] Available at: http://hdr.undp.org/sites/all/themes/hdr_theme/country-notes/MYS.pdf [Accessed 16 April 2017].
United Nation Human Development, 2013. Mean Years of Schooling (Aged 25 years and above). [Online] Available at: http://hdr.undp.org/en/content/mean-years-schooling-males-aged-25-years-and-above-years [Accessed 16 April 2016].
United Nation, 1948. Universal Declartion of Human Rights. [Online] Available at: http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Documents/UDHR_Translations/eng.pdf [Accessed 16 April 2017].
Worldometers, 2017. Countries in The World by Population. [Online] Available at: http://www.worldometers.info/world-population/population-by-country/ [Accessed 16 April 2017].
0 notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes