Tumgik
#hukum keluh kesah dalam islam
punteuet · 2 years
Text
Cara Melawan Setan Dengan Mudah
Cara Melawan Setan Dengan Mudah
Ahmadalfajri.com – Cara Melawan Setan Dengan Mudah Cara Melawan Setan Dengan Mudah Hikmah diciptakan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada Allah. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah yang terdapat di dalam Alquran. Manusia sebagai hamba Allah memiliki sangat banyak kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan perintah syariat. Manusia juga memiliki kewajiban untuk menghindari…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
hellopersimmonpie · 3 years
Text
Childfree
Ramainya diskusi tentang Childfree di akun masjid Salman membuat saya ingin berbagi sedikit uneg-uneg. Sebelum saya menulis tulisan ini, saya sempat menuliskan tentang hikmah pernikahan dalam Islam. 
Dalam konsep peradaban yang diajarkan Islam, keluarga memegang peranan penting unruk menghadirkan generasi Ribbiyuna Katsir. Namun apakah mendidik generasi Ribbiyuuna Katsir tersebut hanya menjadi tanggung jawab muslim sebagai anggota keluarga ataukah termasuk tanggung jawab muslim sebagai bagian dari ummat?
Kalau misal mendidik generasi Ribbiyuna Katsir menjadi tanggung jawab yang hanya dibebankan kepada keluarga, konsekuensinya memang tiap keluarga harus menyumbang banyak anak sholeh. 
Katakanlah kita ingin memiliki 5 anak sholeh dengan jarak kelahiran masing-masing dua tahun. Artinya, perempuan harus melewati siklus hamil - melahirkan dan menyusui yang tidak berhenti selama 9 - 10 tahun. Peran ini memang menghadirkan banyak sekali pahala bagi perempuan. Tapi support system apa yang bisa kita tawarkan untuk perempuan yang ditugasi pekerjaan tersebut?
Sementara selama ini pola pikir kita sudah terbelenggu bahwa perempuan memang seharusnya multitasking, perempuan itu support system bagi keluarga sehingga dia tidak bisa punya suara sendiri. Setiap tindakan perempuan harus mendapatkan ridho suami sementara setiap tindakan suami boleh dilakukan tanpa persetujuan isteri.
Tahun lalu, saya sempat terlibat diskusi rumit tentang Marrital Rape. Apakah benar dalam pernikahan ada Marrital Rape? Jawabannya bervariasi. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Dari jawaban yang tidak setuju, ada teman saya yang bilang bahwa perempuan harus manut sama suami dan nggak perlu takut karena Al Quran mengajarkan adab agar suami bercocok tanam dengan cara yang baik.
Siapa yang bisa menjamin bahwa laki-laki akan selalu lurus? Bagaimana dengan perspektif perempuan? Tidakkah perempuan diizinkan untuk menyampaikan keluh kesah kepada suaminya?
Jika laki-laki diajarkan adab untuk bercocok tanam, mengapa perempuan tidak diajarkan untuk mengkomunikasikan kondisinya saat merasa tidak nyaman dalam berhubungan suami isteri? Kenapa seolah Islam hanya ramah kepada laki-laki? Apakah benar Islam yang mengajarkan demikian? Ataukah ini hanya sudut pandang yang berasal dari interpretasi sempit kita?
Di sisi lain, banyak juga yang berpendapat bahwa tugas perempuan adalah melahirkan dan mendidik anak. Jadi, jika dalam sebuah rumah tangga, perempuan tidak dapat menjalankan tugas tersebut maka dia boleh dipoligami. Pertanyaannya adalah, kalau poligami tersebut dimulai atas dasar kekurangan isteri pertama, apa suami mungkin bersikap adil? Dan jika poligami membuat rumah tangga pertama menjadi rusak, apakah hukum pernikahan kedua akan tetap sunnah atau mubah? Tidakkah hukumnya bergeser menjadi terlarang?
Apa yang saya tulis ini hanya kondisi-kondisi ekstrim yang kalo dalam kurva normal tuh hanya ada di ekornya. Saya tidak menafikan ada banyak keluarga fungsional yang memberi banyak ruang kepada isteri untuk bersuara. 
Akan tetapi....kembali lagi.....
Kok rasanya berat sekali jika kita berasumsi bahwa tanggung jawab mendidik generasi hanya dibebankan kepada keluarga. Sementara kondisi keluarga sangat bervariasi. Selain itu, kita sendiri juga belum terbiasa membicarakan lemahnya posisi perempuan dalam tatanan seperti masyarakat kita hari ini.
Dalam banyak diskusi tentang perempuan, kita seringkali belum melihat kondisi di lapangan, tapi kita buru-buru mengakhiri diskusi tersebut dengan label:
Ah kamu Feminazi....
Saya nggak tahu sewaktu menulis ini pikiran saya sedang condong pada kebenaran atau tidak. Tapi semoga Allah memandu kita semua. 
Keluarga memang bagian terkecil penyusun peradaban. Jika ada banyak keluarga yang baik dan menghasilkan orang shalih, maka peradaban kita akan diuntungkan. Tapi apakah mendidik generasi hanya tanggung jawab keluarga?
Mungkin kita perlu menengok skenario lain bahwa mendidik generasi shalih adalah tanggung jawab seorang muslim sebagai bagian dari ummat.
Ketika kita belajar hikmah dari setiap aturan, kita akan bisa memandang fiqih sebagai sebuah sistem yang saling mendukung satu sama lain.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hikmah pernikahan adalah menghasilkan keturunan. Tapi hal tersebut tidak mutlak. Ada banyak kondisi yang membuat sebuah keluarga tidak memiliki anak. Entah karena tidak subur, entah karena tidak mampu secara finansial, entah karena tidak siap dari sisi psikologis dan seterusnya.Hal ini tidak bisa kita nafikan. Penderitaan-penderitaan orang yang trauma juga nggak bisa kita abaikan begitu saja.
Saya sendiri bukan penganut Childfree meskipun sampai sekarang belum menikah. Saya hanya berusaha berhati-hati agar yang mubah tidak digeser menjadi haram secara serampangan hanya gara-gara perspektif kita tidak bisa bertemu dengan perspektif orang-orang yang memilih tidak menikah atau memilih tidak punya anak.
Allah sangat menganjurkan kita untuk menikah dan punya anak. Iya. Tapi anjuran tersebut tidak lantas membuat orang yang memilih tidak menikah atau memilih tidak punya anak menjadi berdosa. Ulama kita banyak yang tidak menikah karena menenggelamkan diri untuk menuntut ilmu.
Di sisi lain, dalam adab jima’, kita mengenal konsep kontrasepsi alami. Dan penggunaan kontrasepsi ini hukumnya mubah. Tanpa syarat.
Lalu apakah orang yang tidak memilki anak tidak dapat berkontribusi dalam menghadirkan generasi Ribbiyuna Katsir?
Kita mengenal satu hadis tentang tiga sumber pahala yang tidak terputus meskipun kita sudah meninggal. Pertama adalah shodaqoh jariyah, yang kedua adalah ilmu yang bermanfaat dan yang ketiga adalah doa dari anak-anak shalih.
Manusia hadir di muka bumi dengan berbagai macam kondisi. Maka Allah memberi kita keluasan dalam beramal. Jika kita tidak mampu menjalankan yang satu, kita diberi ruang untuk melakukan amal yang lain..
Ada orang-orang beruntung yang bisa meraih semua hal dalam hadist tersebut. Tapi banyak juga yang hanya bisa meraih satu atau dua. Mana yang lebih dicintai Allah? Wallahu a’lam. Tugas kita hanya menjaga niat dari amal-amal kita. 
Generasi Rabbani adalah generasi yang akalnya terpelihara. Kalau kita menjadi orang tua, mungkin kita akan melakukan banyak hal sekuat tenaga agar anak-anak kita tumbuh cerdas. Tapi bagaimana dengan anak-anak yang terlahir dari keluarga underprivilege? Siapa yang memelihara akal mereka?
Itu tugas kita. Sebagai bagian dari ummat. Jadi mendidik Ribbiyuna Katsir hanya melalui keluarga itu tidak cukup. Tidak semua keluarga fungsional. Masih ada banyak anak yang terlantar.
Apa yang bisa kita lakukan? Untuk merawat akal manusia, haruskah kita membangun sebanyak mungkin institusi pendidikan? Tidak selalu.
Ada banyak pendekatan yang bisa dilakukan. Di antaranya memastikan kebutuhan sandang, pangan dan papan semua orang tercukupi. Selain itu, kita juga perlu memastikan semua orang punya jam kerja yang manusiawi. Kenapa?
Karena jam kerja yang manusiawi bisa memberi ruang yang lebih lebar bagi manusia untuk belajar dan berpikir. Jadi waktu mereka tidak habis untuk memenuhi kebutuhan makan esok hari
Nah, demi memahami kebutuhan-kebutuhan ini, kita perlu ilmu. Kita juga perlu biaya. Dan itu tercakup dalam hadist tentang anak adam yang tidak terputus amalnya setelah mati tadi.
Jadi, ketika berbicara tentang upaya mendidik generasi Ribbiyuna Katsir, jangan hanya berfokus pada mendidik anak-anak shalih dalam keluarga kita. Masih ada dua amal lainnya yaitu mendayagunakan harta dan ilmu kita untuk masyarakat.
Shadaqah jariyah....au ‘ilmin yuntafa’u bihi... au waladin shoolihin yad’ulahu. 
Dalam hadis ini, Rasulullah menggunakan kata au (atau) bukan wa (dan). Allah itu luas rahmat-Nya. Tidak ada manusia yang sempurna melakukan semua amal. Maka hadis ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita.
...
Ada satu hal yang perlu kita ingat saat menilai perkara yang sifatnya mubah seperti Childfree. Amalan mubah itu sifatnya fleksibel. Kita berhak memilih untuk melakukan hal tersebut atau tidak. Dan jika segala pertimbangan kita dalam melakukan hal mubah ini karena Allah, Allah akan tetap mencatat kita sebagai hamba yang mengingat-Nya setiap waktu.
Banyaknya manfaat tidak akan menggeser hal yang mubah menjadi wajib. Apalagi jika manfaat tersebut hanya berdasarkan asumsi kita.
Di dunia maya, kita sering sekali menemukan perkataan yang jahat dan tone deaf. Semisal:
“Kamu tuh nggak pengen punya anak pake alasan trauma. Padahal ya males berkembang aja“
atau di sisi ekstrim lainnya:
“Orang miskin itu harusnya nggak punya anak sih. Soalnya anaknya pasti menderita“
Apa hak kita mengatur hidup orang lain atas sesuatu yang sebenarnya menjadi hak mereka untuk memilih?
Allah sudah menyediakan tiga opsi. Shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak-anak yang shalih. Jika saudara kita kesulitan menjalankan satu amalan, tidakkah lebih baik jika kita mengingatkan bahwa ada amalan lain yang sama utamanya?
246 notes · View notes
ainunilma · 2 years
Quote
Kalau kamu punya kesempatan berdoa, dimana waktu doa itu mustajab. Maka jangan minta apapun selain meminta keadilan.
Imam Ahmad
Sebuah quotes yang saya dapatkan ketika mengikuti kajian tadabur hadits di awal Ramadhan. Kajian itu membahas tentang menjaga hak hidup seorang muslim yang diambil dari hadits Arba’in An-Nawawiyah ke -14. 
dari Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dihalalkan darah (membunuh) seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga sebab: seorang yang telah menikah berzina, membunuh jiwa dihukum dengan hukuman mati, dan seseorang yang keluar dari agamanya serta memisahkan diri dari jamaahnya.” (HR Bukhari & Muslim).
Dalam kajian yang singkat tetapi bermanfaat itu. Dijelaskan hukuman yang sesuai syariat islam apabila terjadi hal-hal yang seperti disebutkan dalam hadits, seperti hukum rajam dan qisas. Kedengarannya hukuman tersebut sangat kejam. Tetapi apabila hukuman tersebut ditegakkan. Saya yakin orang-orang akan berpikir seribu kali untuk melakukannya.
Membahas hukum ini, saya teringat sewaktu masih menjadi mahasiswa baru pernah diberikan tugas berupa pertanyaan “Apakah hukum Qisas sesuai apabila diterapkan di Indonesia?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya meminta bantuan kepada kakak tingkat yang memang sesuai bidangnya, hukum. Seingat saya jawabannya kurang lebih seperti ini “Tidak sesuai dengan hukum di Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai HAM.”
Saya pun menggunakan jawaban itu untuk memenuhi tugas mata kuliah saya karena menurut saya pada saat itu memang kurang sesuai. Tetapi saat saya mengikuti kajian ini. Saya memiliki pengetahuan lain dan pandangan lain. Saya menjadi lebih tahu mengapa sebagian orang menginginkan jika hukuman tersebut ada. Sejujurnya kedua hal ini, cukup menjadi pengetahuan saya saja dan tidak ingin memperdebatkan karena saya sadar ilmu saya yang masih sangat terbatas.
Saya ingat “Ketika syariat tidak ditegakkan maka akan mengalami kehancuran” begitu kata sang Ustaz. Pikir saya, rasanya cukup sulit, hidup dengan berbagai macam manusia dengan pemikirannya, jika ingin menegakkan syariat. Setelah merenungkannya beberapa waktu, selama ini mungkin saya lupa. Bahwa ada Allah yang tak akan pernah lelah mendengar keluh kesah hamba-hambanya.
Quotes dari Imam Ahmad yang saya tuliskan diawal memiliki makna yang sangat dalam. Saya punya Allah yang mampu menegakkan keadilan di dunia ini. :)
Saya masih belajar menulis. Maaf jika masih berantakan. Hehe
2 notes · View notes
irfanilmy · 5 years
Text
Jurnal Ramadan #23: Tentang Tukang Syair
Saya sedang dan akan membaca beberapa tulisan yang menarik di beberapa platform—qureta.com, medium.com, dan tumblr—saat memulai jurnal ini. Sudah pukul 23.17 dan saya baru mulai bikin jurnal. Kacau. Rentan untuk bikin jurnal yang dangkal biasanya, karena waktu mikirnya pun singkat dan nyaris tanpa tahap editing yang ketat. Tapi seringkali saya ulang-ulang terus. Barangkali jika ada yang berbaik hati, saya bakal dapat payung cantik atas kebiasaan buruk nunda-nunda ini.
Membaca beberapa tulisan menarik di platform tadi merupakan upaya saya untuk menemukan inspirasi untuk nulis jurnal ke-23 ini. Harusnya sih sudah masuk ke jurnal ke-26 yang berarti saya masih utang 3 jurnal lagi. Ya Salam, tak enaknya punya utang, meski cuma berbentuk tulisan. Utang ke diri sendiri lagi, bukan ke orang lain. 
. . .
Allah tiba-tiba mengutus kawan saya untuk mengirimkan sebuah hadis tentang dibencinya lidah para tukang syair yang memainkan lidahnya. Dia sebelumnya meminta saya mengirimkan ulang hadits yang pernah saya screenshoot dari HP dia tentang hadits untuk tugas UAS takhrij saya (tentang permisalan Ulama dengan bintang-bintang). Saat saya tanya untuk apa, kata dia itu Omnya yang minta. Entahlah untuk apa juga.
Lalu di pesan whatsapp dia bilang kalau hadits tersebut untuk inspirasi saya bikin jurnal. Pas banget. Saya sedang kebingungan cari ide tjuy. Sungguh Allah Maha Mendengar setiap keluh kesah hamba-Nya. Padahal saya juga bukan hamba yang soleh-soleh banget. Saya sama sekali tak meragukan kalau Allah adalah Zat yang Segala Maha. Tak ada sedikitpun sifat-sifat jelek yang tersemat pada-Nya. Di balik seluruh apa yang kita anggap memilukan atas kondisi yang sedang menimpa, jika direnungkan kembali lebih dalam, tanpa ada intervensi emosi, sungguhlah di sana pasti tersimpan banyak pelajaran. Dan ujung-ujungnya pasti ada kebaikan.
Teman saya itu minta tanggapan tentang makna dari hadits tadi. Oke, saya tuliskan di sini terjemahan matannya saja. “Sesungguhnya Allah membenci para tukang syair yang memainkan lidahnya, sebagaimana sapi memainkan lidahnya.” Saya bilang ke dia kalau saya enggak tahu konteks dan makna sesungguhnya dari hadits ini. Saya cuma melihat sekilas terjemahnya yang memang menyebut-nyebut tukang syair, dan saya sendiri memang barangkali termasuk ke dalamnya, meski masih amatiran. Anggap saja pemaknaan saya terhadap bunyi arti dari hadits ini. Semacam implikasi gitu lah kalau di skripsi mah.
Kemampuan lebih yang dimiliki para penakluk kata-kata (baca: penyair) menurut saya memang hendaknya tak bebas dari nilai-nilai. Nilai-nilai harus hadir di setiap apa yang mereka ingin sampaikan di puisi, lirik, dan semacamnya. Ini subjektif lo yah. Kata-kata yang terlontar baik di tulisan maupun sebatas di lisannya jangan sampai menimpulkan dampak-dampak buruk bagi manusia lain, bahkan bagi sistem segede agama dan lainnya. Berkata-katanya kan jika memang bermuatan positif atau setidaknya enggak memicu madarat, jatuhnya sah-sah saja. Prinsip dalam Islam pun sesuatu yang kita kerjakan kalau enggak baik, ya buruk. Hal yang boleh, kata dosen Ushul Fiqh saya, hanya ada di teori. Pada praktiknya tentu lain lagi. Perbuatan kita mengandung motif kok. Pasti terkenai hukum seluruhnya.
Maka, saya mencoba secara terus menerus mengontrol niat saya dalam bikin puisi. Mudah-mudahan enggak melenceng jauh dari aturan-aturan yang semestinya. Apalagi kalau jadi jalan bagi si pembaca atau penikmat karya saya itu sehingga terlena dan jatuh-jatuhnya menjadi pemicu mereka melakukan hal yang enggak-enggak. Paham kan maksud enggak-enggak di sini? Perbuatan tercela lah singkatnya.
Semoga saja saya enggak termasuk ke orang yang bersyair yang mengundang murka Allah lantaran konten dan caranya tidak disukai-Nya. Saya ingin menjadikan potensi yang dikasikan ke saya ini jadi jalan manfaat sebanyak-banyaknya. Jadi alat untuk dakwah lah bahasa hitsnya mah. Waduh, berat bos. Tapi saya coba dah.
Diselesaikan pukul 23.46 WIB.
Negla, 26 Ramadan 1440 H/ 31 Mei 2019
4 notes · View notes
muslimah-traveller · 4 years
Text
Menguatkan Nafsiyah Menghadapi Wabah
Oleh: M. Taufik NT
#Nafsiyah #MuslimahNewsID -- Dunia adalah tempat ujian. Ujian bisa berupa musibah, wabah, kehilangan harta atau kematian orang yang dicintai. Bisa juga berupa nikmat harta, kesehatan dan kelahiran anak yang didambakan. Semuanya adalah ‘soal’ ujian.
Tinggi-rendahnya nilai seseorang bukan dilihat dari bagaimana bentuk soal ujiannya, namun dilihat dari bagaimana perilaku dan sikap jiwa (nafsiyah) dalam menjawab ujian tersebut. Islam telah memberikan ‘kunci jawaban’ atas setiap ujian yang akan dihadapi manusia, termasuk ujian berupa wabah, yakni:
1) Yakin dan Rida. Seorang Muslim wajib meyakini bahwa tidak akan terjadi sesuatu pun di alam semesta ini, termasuk wabah, kecuali atas izin Allah SWT. Allah SWT berfirman:
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ ١١ Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin Allah (QS ath-Taghabun [64]: 11).
Seseorang harus yakin bahwa apa saja yang menimpa dia adalah atas izin Allah. Ia harus yakin bahwa Allah tidak akan pernah menzalimi hamba-Nya. Ia pun harus yakin bahwa apa yang Allah pilihkan untuk dirinya itulah yang terbaik bagi dia walaupun hal tersebut bukan kesenangannya. Dengan keyakinan itu, tentu dia akan rida dengan apapun yang terjadi selama dirinya masih diberi kekuatan untuk mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Pernah datang seorang lelaki kepada Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161H) mengadukan musibah yang menimpa dirinya. Imam Sufyan ats-Tsauri bertanya, “Tidak adakah orang lain yang bisa membuat dirimu lebih mudah selain aku?” Lelaki tersebut bertanya balik, “Bagaimana maksudnya?” Beliau berkata, “Tidak adakah orang lain selain aku yang bisa dijadikan tempat engkau mengadu?” Lelaki tadi berkata, “Aku hanya bermaksud agar engkau mendoakanku.” Beliau berkata lagi: “Engkau ini yang mengatur (mudabbir) ataukah engkau yang diatur (mudabbar)?” Orang tersebut menjawab, “Aku yang diatur.” Lalu Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika demikian, ridalah dengan apa-apa yang telah diatur untukmu.”1
===
2) Introspeksi Wabah memang terjadi atas izin Allah. Namun, pada umumnya Dia menjadikan kaidah sebab-akibat terjadinya wabah. Sebab ini ada yang ilmiah, bisa dianalisis lewat metode ilmiah, semisal virus penyebab wabah. Ada sebab ‘syar’iyyah’, yakni sebab apa sampai Allah kirim virus itu kepada manusia?
Secara umum, sebab syar’iyyah wabah dan berbagai musibah ditimpakan adalah karena dosa dan maksiat. Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ  ٣٠ Apa saja musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian) (QS As Syura [42]: 30).
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam at-Thabari (w. 310 H) menyatakan, “Yang demikian menimpa kalian sebagai balasan dari Allah atas kalian disebabkan dosa-dosa antarsesama kalian dan dosa antara kalian dan Tuhan kalian.”2
Dosa itu tidak mesti berupa pencurian, perzinaan, korupsi, riba, tidak salat mabuk, membunuh dan semisalnya. Tidak mensyukuri nikmat, mengabaikan hukum-hukum Allah, hasad, ujub dan semisalnya juga termasuk dosa. Karena itulah ketika Nabi Sulaiman as. kehilangan burung Hud-hud, dia berkata:
مَا لِيَ لَآ أَرَى ٱلۡهُدۡهُدَ ٢٠ Mengapa aku tidak melihat hud-hud? (QS an-Naml [27]: 20).
Syaikh Abul Qasim Abdul Karim menyatakan bahwa Nabi Sulaiman mengatakan, “Mengapa aku tidak melihat hud-hud?” Beliau tidak berkata, “Mengapa hud-hud tidak kulihat? (Mâ lil hud-hud lâ arâhu). Itu karena beliau sedang mengintospeksi dirinya sendiri. Beliau diberi nikmat yang besar oleh Allah SWT. Nikmat itu harusnya disyukuri dengan cara taat dan mengisi hari-hari dengan penuh amal. Ketika hilang nikmat berupa burung hud-hud, beliau memeriksa diri sendiri: Mengapa aku? Apakah karena kurang bersyukur sehingga sebagian nikmat dicabut? 3
Benar, wabah dan berbagai musibah yang menimpa seseorang tidak mesti karena dosa langsung orang tersebut. Bisa jadi karena dosa yang bersangkutan. Bisa jadi karena dosa orang lain yang efeknya meluas hingga menimpa yang tidak ikut berbuat dosa sekalipun. Bisa jadi pula sebagai peninggi derajat seseorang sebagaimana musibah yang menimpa para nabi dan rasul. Namun hendaknya yang dikedepankan saat wabah terjadi adalah dengan introspeksi, baik introspeksi diri sendiri maupun introspeksi atas sistem masyarakat yang kita hidup di dalamnya.
Sebagaimana dosa tidak selalu tampak, begitu juga balasan dosa. Tidak selalu bersifat balasan fisik, sesuatu yang ‘menyakitkan’ seperti penyakit, terkena wabah atau yang semisalnya. Diriwayatkan bahwa seorang ahli ibadah dari Bani Israil pernah bermunajat kepada Allah, setelah itu dia berkata, ”Ya Allah betapa banyak aku telah bermaksiat kepada-Mu, namun Engkau tidak menimpakan balasan atas diriku?” Allah menurunkan wahyu kepada Nabi yang diutus pada zaman itu, ”Katakan kepada si fulan, “Betapa banyak balasan yang telah Aku timpakan kepadamu, sedangkan engkau tidak menyadarinya?. Bukankah Aku telah mengambil darimu manisnya zikir kepada-Ku dan nikmatnya bermunajat kepada-Ku?”4
Balasan dosa juga tidak mesti disegerakan ditimpakan di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan pada seseorang maka Dia akan menangguhkan balasan dosanya sehingga akan menumpuk penuh dosanya untuk dibalas pada Hari Kiamat.5
===
3) Istighfar dan Tobat Introspeksi akan kurang bermakna jika tidak dilanjutkan dengan beistighfar dan bertobat. Apalagi jika seseorang mendapati adanya kemaksiatan yang dia lakukan, baik maksiat lahir maupun batin. Tobat dilakukan dengan memenuhi syarat-syaratnya yakni: 1) meninggalkan kemaksiatan yang telah dilakukan, 2) menyesal melakukannya, dan 3) bertekad untuk tidak mengulanginya selama-lamanya. Jika maksiat tersebut terkait hak manusia maka harus menyelesaikan urusan dengan manusia tersebut atau meminta kerelaannya.6
Jika kemaksiatannya bersifat sistemik, seperti engabaian hukum-hukum Allah SWT, maka tobatnya juga mesti ‘sistemik’, yakni dengan berupaya mengubah sistem yang tidak islami tersebut menjadi islami. Jika ini tidak dilakukan, wabah dan bencana akan senantiasa berulang, atau silih berganti bentuknya. Ini sebagaimana sabda Nabi saw.:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ  بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشَكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابَ لَكُمْ Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, hendaklah kalian memerintahkan kemakrufan dan melarang kemungkaran atau Allah akan menurunkan siksa-Nya kepada kalian, lalu kalian berdoa, namun tidak dikabulkan.”7
Dosa sistemik bukan hanya sekadar terkait dengan sistem yang membiarkan adanya zina, khamr, riba, membiarkan Muslim tidak salat, tidak puasa, tidak membayar zakat, dan semisalnya; namun juga sistem yang lambat dalam mengurus urusan rakyat. Abu Hurairah ra. berkata bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Berhati-hatilah kamu dengan al-iqrâd.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah al-iqrâd itu? Nabi saw. menjawab, “Seorang di antara kalian menjadi seorang amir (penguasa) atau amil (penguasa daerah), lalu datanglah para janda dan orang-orang miskin, dikatakan kepada mereka, ‘Tunggulah sampai dia memenuhi kebutuhanmu.’ Lalu jadilah mereka diam menunggu hingga kelelahan, namun kebutuhan mereka tidak dipenuhi, dan mereka tidak diberi arahan apapun, hingga akhirnya mereka pergi. Kemudian datang seorang laki-laki kaya yang mulia, mendekati dia dan bertanya, “Apa kebutuhanmu?” Lalu dia menjawab, “Ini dan itu.” Laki-laki kaya dan mulia itu berkata kepada pelayannya, “Penuhilah kebutuhan dia dan bersegeralah (menyelesaikan) kebutuhannya.”8
Hadis tersebut mencela penguasa yang lambat dalam melayani rakyat hingga akhirnya saat rakyat lemah tersebut bosan menunggu dalam ketidakpastian, akhirnya rakyat yang lain yang berkemampuan membantu rakyat yang kesulitan tersebut.
Tobat sistemik bukan sekadar mengganti sistem jahiliah menjadi islami dari sisi hukum yang diberlakukan saja, namun juga mengganti para pejabat yang tidak memiliki kemampuan dalam me-ri’ayah rakyat secara cepat. Inilah yang biasa dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab ra.9
===
4) Sabar Sabar adalah menahan diri dari berkeluh-kesah dan marah, menahan lidah dari mengadu kepada makhluk dan menahan anggota badan dari kekacauan perilaku.10
Berkeluh-kesah kepada makhluk dan berperilaku menyimpang, selain tidak akan menghentikan wabah, tidak menyelesaikan masalah, juga akan berdampak buruk bagi pelakunya. Di dunia tidak akan bisa menikmati hidup apa adanya. Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khathhtab biasa makan sangat sederhana. Tidak mengumpulkan dua macam lauk dalam satu hidangan beliau. Namun, beliau pernah berkata:
وَجَدْنَا خَيْرَ عَيْشِنَا بِالصَّبْرِ Kami mendapati kelezatan hidup kami dengan kesabaran.11
Jika tidak sanggup bersabar, di akhirat akan mendapat murka Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ, فَمَنْ صَبَر فَلَهُ الصَّبْرُ, وَمَنْ جَزِعَ فَلَهُ الْجَزَعُ Sungguh Allah jika mencintai suatu kaum, Dia akan memberikan cobaan kepada mereka. Siapa saja yang sabar, dia berhak mendapatkan (pahala) kesabarannya. Siapa saja yang berkeluh-kesah, dia pun berhak mendapatkan (dosa) keluh-kesahnya.”12
Jika demikian, wabah adalah pengobatan ilahiah (thibbun ilâhiyyun) yang dengan itu manusia mengobati penyakit-penyakit dosa yang menghancurkan jiwa.13 Karena itulah Qadhi Syuraih (w. 78 H) ketika ditimpa musibah duniawi beliau bukan hanya bersabar melainkan bersyukur karena dengan itu beliau bisa: mengucapkan kalimat ‘istirja’ (mengucap innâ lillâhi…); bisa bersabar; dan musibah itu tidaklah menimpa agama beliau. Dengan itu beliau bisa berharap ganjaran dan ampunan dosa dari musibah yang menimpa dirinya.14
===
5) Mengambil Ibrah Selalu ada pelajaran di balik peristiwa apapun, termasuk wabah. Corona, misalnya, telah membuka jatidiri siapa-siapa sebenarnya yang layak menjadi pemimpin umat dan siapa saja yang hanya menebar pencitraan. Corona telah menghancurkan ‘kesombongan’ sebagian manusia yang merasa mampu menyaingi Allah SWT dalam mengatur alam semesta sehingga dengan pongah mencampakkan hukum-hukum-Nya dan mempersekusi pejuang-pejuangnya. Wabah ini juga membuka mata semua orang bahwa makhluk super kecil ini sudah cukup untuk merepotkan miliaran hidup manusia, termasuk negara adidaya, Amerika Serikat.
Lalu apa yang meragukan umat Islam terhadap berita kenabian akan kembalinya umat Islam hidup dalam naungan Khilafah? Sulitkah hal tersebut? Iya, sulit jika kita bersandar pada kemampuan diri kita sendiri. Namun, jika kita bersandar pada Allah SWT, bertawakal sepenuhnya kepada-Nya, berusaha memperjuangkan Khilafah dengan mencontoh metode Rasulullah saw., maka bagi Allah hal tersebut sangat mudah. Dia bisa menciptakan kondisi apapun yang akan menumbuhkan sebab-sebab alamiah tegaknya Khilafah.
يَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي خَلِيفَةٌ يَحْثِي الْمَالَ حَثْيًا لَا يَعُدُّهُ عَدَدًا قَالَ قُلْتُ لِأَبِي نَضْرَةَ وَأَبِي الْعَلَاءِ أَتَرَيَانِ أَنَّهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَقَالَا لاَ “Pada akhir umatku nanti akan ada seorang khalifah yang membagi-bagi harta tanpa menghitungnya.” Aku berkata kepada Abu Nadhrah dan Abu al-Ala` (perawi hadis), “Apakah menurut kalian berdua khalifah tersebut adalah Umar bin Abdul Aziz? Keduanya menjawab, “Bukan”.15
Jika Rasulullah sudah mengabarkan, Allahlah yang akan merealisasi adanya sebab-sebab terlaksananya sesuatu tersebut. Di antara sebab-sebab tersebut adalah adanya umat Islam yang tetap istiqamah memperjuangkannya, tidak menyurutkan mereka celaan para pencela. AlLâhu a’lam.
=== Sumber: https://al-waie.id/afkar/menguatkan-nafsiyyah-menghadapi-wabah/
0 notes
sakuraalanara · 6 years
Text
Integritas dan Integrasi Berbagai Sikap bagi Seorang Pemimpin Masa depan dari Nganjuk untuk Indonesia
Karya : Cholimatus Permata Kurnia Dewi (SMKN 1 Nganjuk)
Bermula dari kejujuran yang merupakan modal dasar dalam membangun intregitas seseorang. Kejujuran harus dimulai sedini mungkin yang berasal dari keluarga. Diperkuat dari pendidikan yang diberikan di sekolah maupun di TPQ (Taman Pendidikan Qur’an), serta yang terakhir dari pergaulan sehari – hari dimasyarakat. Apapun bentuk kejujuran tersebut harus diapresiasi sebagai langkah awal membangun intregitas dikalangan pemuda Islam.
Sesungguhnya kejujuran adalah konsep awal yang sangat universal di semua agama terutama agama Islam. Para pemimpin yang terbukti sukses di dunia ini adalah mereka yang memimpin dengan penuh intregitas. 1400 tahun yang lalu, Islam telah mengajarkan konsep ini yang ditunjukkan langsung oleh Rasulullah saat berdagang ke negeri Syams membawa dagangan Siti Khadijah. Kejujurannya secara cepat terkenal ke pelosok jazirah Arab hingga beliau dijuluki Al-Amin (orang yang dapat dipercaya. Intregitas beliau semakin teruji dengan peristiwa pemindahan hajar aswad yang hampir menyebabkan pertikaian kabilah di Mekkah.
Kedepannya Indonesia sangat membutuhkan para pemimpin yang berintegrasi tinggi. Dalam proses perjalanannya nanti, tentu akan banyak perbedaan dan masalah yang dihadapi bangsa ini. Dalam konteks kebangsaan kita, integritas adalah hal vital yang telah lama terlupakan atau mungkin dilupakan oleh para politisi termasuk didalamnya adalah para pemimpin mulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat, maka kini kita telah saksikan bersama realitas bangsa ini. Korupsi merajalela, abuse of power (penyalahgunaan wewenang), iniefiensi birokrasi ditambah dengan sangat rapuh dan diskriminatifnya penegak hukum.
Marwah Daud Ibrahim berkata “Kesuksesan suatu bangsa adalah akumulasi kesuksesan individu”. Dengan terbangunnya integritas pada diri setiap pemuda, maka terbentuknya integritas nasional adalah sebuah keniscayaan. Integritas nasional yang merupakan sebuah wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara. Dengan integritas nasional inilah yang didukung dengan semangat persatuan yang tinggi, Indonesia akan menjadi negara yang kuat, tangguh dan berdiri sejajar dengan negara – negara lain di dunia. Maka akhirnya bagi para pemuda masa depan Indonesia, integritas merupakan sebuah harga mati.
Pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari. Kata–kata tersebut seperti senjata ampuh yang berfungsi kita akan betapa pentingnya peran kita , peran para pemuda dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejalan dengan perkataan Bung Karno, “Berikan aku seorang pemuda maka akan kuguncangkan dunia”. Melalui banyak dorongan itulah, orang-orang sekarang yang berharap banyak bahwa masa depan bangsa ini tergantung pada kualitas para pemudanya yang mengabdikan diri diberbagai sektor kehidupan, entah itu di bidang pertanian, kesehatan, perekonomian, peternakan, penelitian, dan sebagainya sekaligus dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat Indonesia, khususnya bagi wilayah Nganjuk.
Nganjuk sendiri merupakan daerah yang terbilang tidak cukup terkenal bila dibandingkan dengan kota sekitar Nganjuk itu sendiri. Mungkin banyak orang tidak tahu letak Nganjuk itu dimana, padahal secara geografis Nganjuk ialah kabupaten yang sangat strategis dengan daerah sekitarnya. Bagaimana tidak strategis, sebelah Barat ada kota Madiun, yang dulu terkenal peolpor PKI yang sekarang terkenal dengan perkereta api-an di Indonesia, di sebelah selatan ada Kediri yang terkenal dengan industrinya yang banyak, di sebelah Timur ada Kabupaten Jombang yang terkenal dengan tokoh-tokoh Islam nasional sehingga dijuluki Kota Santri, sedangkan di utara ada Bojonegoro yang terkenal dengan lumbung padi nasional dan juga sekarang berkembang lagi menjadi tambang minyak. Semua daerah tersebut sangat terkenal bila dibandingkan dengan Nganjuk. Banyak dari orang-orang apabila ingin bepergian ke Kediri dan Jombang tidak tahu Nganjuk, padahal mereka sendiri melewatinya jika pergi ke Kediri dan Jombang.
Dari kejadian diatas miris memang bila tempat tinggal kita tercinta ini tidak terkenal masyarakat luas. Hal ini juga dikarenakan masih sedikit tokoh-tokoh dari Nganjuk yang kurang terekspos sehingga tidak dikenal masyarakat luas. Mungkin masyarakat Indonesia juga tidak tahu bahwa tokoh pendiri organisasi pertama kali pada tanggal 20 Mei 1908 yaitu Boedi Oetomo (Budi Utomo) ialah orang asli Nganjuk kelahiran desa Ngepeh, Kecamatan Loceret yakni Dr. Soetomo, yang kemudian lahirnya organisasi tersebut ditandai sebagai Hari Kebangkitan Nasional dan diperingati tiap tahun di Indonesia. Perlu diingat Dr. Soetomo sewaktu mendirikan organisasi tersebut beliau masih berusia 20 tahun, dan pada usia itu pula beliau mendirikan sebuah organisasi yang menjadi pelecut semangat Indonesia untuk melawan Belanda melalui pendidikan untuk rakyat Indonesia agar mampu meningkatkan cara berpikir rakyat Indonesia sehingga dapat melawan Belanda dan tidak mau dijajah dan diperalat lagi.
Namun bila dikaitkan dengan era saat ini yang tidak ada peperangan dan penjajahan, masyarakat Nganjuk umumnya hanya bersikap tenang saja. Bahkan dari para lulusan sekolah, mereka sebagian besar hanya melanjutkan orang tua mereka, entah itu bersawah dan berternak, dan hanya sedikit yang ingin melanjutkan jenjang perguruan tinggi, karena alasan biaya. Padahal pemeerintah memberikan dana besar bagi anak yang tidak mampu kuliah gratis sekaligus diberi biaya hidup. Selain itu, banyak dari siswa-siswa sekolah saat ini yang telah rusak moral mereka, terjerumus kedalam hal yang  negatif seperti pergaulan bebas, pacaran, memakai narkoba, bahkan hamil diluar nikah. Para oknum-oknum yang ingin merusak bangsa dan ingin meraup untung pribadi menyebarkan narkoba melalui permen untuk anak-anak. Dikuti dari laman BNN Kabupaten Nganjuk, BNNK Nganjuk telah menemukan permen yang diduga mengandung narkoba yang dijual di pasar Wage, swalayan, dan kios-kios di jalan Yos Sudarso dan jalan Panglima Sudirman. Semuanya itu bertujuan merusak para pemuda Nganjuk untuk maju. Selain masalah narkoba banyak dari siswa-siswa di SMP sederajat dan SMA sederajat yang sudah hamil di bangku sekolah, karena pergaulan bebas dan pacaran yang melewati batas. Semua masalah tersebut dapat ditarik benang merah bahwa kejadian diatas diakibatkan karena lemahnya iman siswa putra putri Nganjuk. Hal ini dikarenakan anak-anak yang telah lulus SD biasanya malas untuk pergi mengaji melanjutkan saat mereka SD dulu. Padahal pada masa setelah lulus SD atau SMP dan SMA ialah masa dimana anak mengalami pubertas, dimana laki-laki mulai memproduksi hormon testosteron (hormon untuk laki-laki yang siap membuahi perempuan) dan wanita yang memproduksi progesteron (hormon untuk wanita yang siap dibuahi oleh laki-laki) dimana hormon tersebut membuat anak-anak menjadi remaja yang mulai menunjukkan perubahan fisik menuju dewasa. Pada masa inilah remaja putra dan putri mulai tertarik dan menyukai lawan jenis, yang kemudian menjadikan remaja putra dan putri ini memiliki nafsu yang bisa menjadikan syahwat apabila tidak dapat dikontrol oleh mereka. Apabila hal ini tidak disadari oleh orang tua dan masyarakat, maka para remaja ini akan kehilangan kontrol dan akan timbul kejadian hamil diluar nikah. Namun karena hamil diluar nikah menjadi aib di Indonesia, akhirnya para pasangan remaja ini dinikahkan oleh orang tua mereka, dan remaja ini tidak siap dari segi mental bila menikah, karena menikah itu sendiri butuh mental yang matang untuk menjalaniya.
Untuk itulah para pemuda di Nganjuk khusunya harus ikut mengaji baik itu di masjid dan mushola sekitar rumah untuk menguatkan iman mereka supaya tidak terjerumus kedalam hal-hal negatif yang akhirnya dapat merugikan mereka sendiri. Apabila kita sudah mempunyai iman yang kuat maka kita akan tidak muudah tergoda dan terpengaruh oleh hal negatif. Selain itu para pemuda Nganjuk yang memiliki iman yang kuat juga harus menjadi pemimpin bagi masyarakat, tidak hanya di Nganjuk tapi juga di Indonesia. Karena menjadi pemimpin di tingkat nasional akan menjadikan Kabupaten Nganjuk lebih terangkat dan terkenal, sehingga putra putri asal Nganjuk lebih termotivasi agar menjadi pemimpin selanjutnya. Perlu diketahui, Eko Hendro Purnomo atau yang lebih dikenal dengan Eko Patrio telah berhasil menjadi salah satu pemimpin di tingkat nasional, yakni menjabat sebagai Dewan Perwakilan Nganjuk (DPR) yang mewakili Nganjuk di Senayan, Jakarta selama 2014-2019.
Namun menjadi pemimpin untuk masyarakat dalam Islam tidak terlepas dari empat hal sebagaimana para Pemimpin umat Islam Rasulullah. Pertama yaitu Shiddiq (jujur), dalam arti jujur dalam segala hal. Tidak membohongi rakyat, sesama pemerintah, dan jujur dalam menegakkan keadilan di masyarakat. Kedua yaitu Tabligh, artinya menyampaikan. Menyampaikan disini yaitu seorang pemimpin harus bisa mendengar apa yang disampaikan tentang keluh kesah oleh rakyatnya yang kemudian diatasi dengan solusi-solusi yang dapat dilakukan. Ketiga yaitu Amanah, yaitu seseorang yang dapat dijadikan pemimpin ialah karena dapat dipercaya oleh rakyatnya sehingga diberi kepercayaan untuk memimpin mereka yang diharapkan menjadi lebih baik dari sebelumnya dan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Keempat yakni Fathanah, artinya cerdas. Cerdas dimaksudkan seorang pemimpin harus cerdas dalam menghadapi problema bermacam-macam yang terjadi di masyarakat sehingga masyarakat akan terjamin kehidupan mereka dan juga masyarakat merasa aman dan nyaman dalam menjalani kehidupan mereka. Keempat hal tersebut harus berintegrasi menjadi satu kesatuan agar masyarakat tidak menyesal telah memilih pemimpin dan juga masyarakat akan berlaku positif pula apabila kita memberlakukan kebijakan-kebijakan. Selalin itu dari berbagai hal sebelumnya, dalam menjadikan pemimpin yakni harus mempunyai integritas atau bisa diartikan konsistensi dalam bersikap entah itu tentang prinsip, nilai, tindakan semua harus konsisten dan juga tidak boleh berubah-rubah, karena jika pemimpin tidak konsisten, maka rakyatlah yang akan terkena dampak dari inkonsistensi dari pemimpinnya itu sendiri. Oleh karena itulah integritas salah satu elemen paling penting menjadi seorang pemimpin. Apabila semuanya telah dilakukan, bukan tidak mungkin kita akan memimpin negeri tercinta Indonesia ini sekaligus mengharumkan nama Nganjuk daerah kelahiran kita ini. Dari Nganjuk untuk Indonesia.
Senja, (kurang lebih hampir 2 tahun yang lalu)
0 notes
Text
KELUH KESAH
Terdapat banyak pertanyaan dalam kalangan umat Islam, di manakah suara ulama dan agamawan tatkala 1MDB sedang mendapat perlindungan regim terdahulu.
Mengapakah misalnya kaum ulama dan agamawan tidak dapat mencontohi sunnah terbesar Nabi Muhammad iaitu melawan penyelewengan dan korupsi.
Hari ini, kejatuhan kerajaan Barisan Nasional (BN) membuka seribu satu macam kisah hitam 1MDB yang disebutkan oleh Ketua Pesuruhjaya SPRM, Datuk Seri Mohd Shukri Abdull sebagai bukan cerita rekaan dan sesuatu yang besar.
Ketika bangkai skandal kewangan ini sedang cuba ditutup dengan nyiru terdapat banyak insiden persekongkolan agamawan dan institusi agama secara sedar, mahupun tidak sedar.
Insiden bergomolkasih sepanjang gegernya isu 1MDB ini menyebabkan kita tertanya; di manakah suara golongan agamawan. Mengapakah bukan mereka yang terkehadapan?
Wajar untuk kita melihat semula beberapa insiden persemendaan terang-terangan ini, iaitu ibarat bagaimananya berseronok-seronok dengan pasangan nikah misyar di siang hari Ramadan.
Tujuan merenung semula kemesraan agamawan 1MDB ini adalah sebagai satu muhasabah dan renungan. Moga-moga dengan keberkatan bulan mulia ini, kita umat Islam akan lebih jernih menilai.
Pada 21 hingga 23 Februari 2014 misalnya, bertempat di Institut Latihan Islam Malaysia Bangi, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dengan kerjasama 1MDB menganjurkan sebuah acara bernama “Seminar Magnet Kerjaya Pelajar JAKIM-1MDB 2014”. Ia berjalan bersama-sama selebriti Islamis kesayangan ramai, Amin Idris.
Seminar ini dilaporkan dimeriahi oleh 50 orang “pelajar JAKIM-1MDB” iaitu para penerima geran tahunan JAKIM-1MDB yang melanjutkan pengajian agama di beberapa institusi pengajian Islam seperti USIM, UM, UITM, Unimas, UIA, Unisza dan Darul Quran JAKIM. Pengarah Bahagian Kemajuan Islam JAKIM, Ramlah Yong merasmikan penutup seminar tersebut sambil turut menyampaikan sijil penyertaan.
Kemudiannya, pada awal tahun 2017, Dr Mahathir Mohamad yang ketika itu masih di blok pembangkang mengkritik perihal 1MDB menerusi Yayasan 1MDB yang membawa lebai dan siak masjid ke Mekah. Sejak 2011, yayasan itu dikatakan menaja ahli jawatankuasa masjid untuk menunaikan haji.
Sebagai contoh, pada 2011, seramai 111 jemaah dari seluruh negara dihantar menunaikan ibadah haji dan jumlah itu bertambah kepada 400 orang pada tahun berikutnya, 2013 (800), 2014 (1,000) dan 2015 (1,200). Sementara pada 2016, seramai 150 imam dan pengerusi Jawatankuasa Kemajuan dan Keselamatan Kampung (JKKK) dari Sarawak pula dipilih menyertai program itu.
Dr Mahathir menyatakan perbuatan menghantar lebai dan siak masjid menunaikan haji dengan tajaan 1MDB itu tidak ubah seperti “jika anda pergi dan menunaikan haji dengan wang curi, ia seperti tahu pinggan penuh dengan makanan haram, anda makan juga”.
Kritikan Dr Mahathir itu pada waktu tersebut, bukan sahaja tidak disahut oleh kaum ulama, dan agamawan. Sebaliknya mereka membidas Dr Mahathir beramai-ramai.
Mufti Pahang, Datuk Seri Abdul Rahman Osman misalnya dipetik berkata, “Hanya Allah layak menentukan sama ada ibadah haji seseorang itu mabrur atau tidak dan mabrur hanyalah ibadah yang dilaksanakan sewaktu berada di Mekah, tiada kaitan dengan soal siapa yang memberi wang.”
Korupsi dan fekah
Penyimpangan dari niat sebenar kritikan Dr Mahathir itu menyebabkan persoalan korupsi yang lebih besar dipersoalkan menjadi satu isu fekah yang ringan.
Dalam pada itu, timbalan menteri di Jabatan Perdana Menteri ketika itu, Datuk Asyraf Wajdi Dusuki sempat mengingatkan Mahathir supaya “tidak berlagak pandai dalam hukum berkaitan Islam sehingga berani mempersoalkan hal ibadat haji orang lain”.
Ikut menyuarakan nada yang sama ialah Exco Pemuda UMNO, Datuk Fathul Bari Mat Jahaya yang dilaporkan “menasihat Dr Mahathir dalam usia yang semakin lanjut” agar “lebih baik berehat dan menumpukan kepada ibadah beliau sendiri”.
Terdapat kaum agamawan di universiti ikut halai-balai mempertahankan kecuaian kaum agamawan ini. Mohd Hisham Kamal dari Universiti Islam Antarabangsa Malaysia dalam kertas berjudul “Memelihara Kemurnian Akidah dan Amalan Muslim: Peranan dan Cabaran Institusi Mufti Dalam Era Globalisasi”, sebagai contoh, menyatakan simpati golongan mufti ini disalah ertikan. Dalam kertas terbitan Jurnal Kanun itu, mufti dihuraikan sebagai benteng Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mereka berusaha agar dapat meningkatkan “ketajaman berijtihad” dengan “bersikap proaktif mengeluarkan fatwa dan nasihat”.
Hisham dalam kertas itu amat kasihan terhadap mufti yang dikecam oleh pengkritik 1MDB.
Beliau menulis, “Mufti juga biasanya kelihatan bersendirian untuk mendepani sesuatu isu. Lebih mendukacitakan apabila kadang-kadang pendapat mufti disanggah oleh ahli agama lain. “Kadang-kadang sesuatu nasihat atau pendapat daripada mufti dilihat oleh sesuatu golongan dalam masyarakat sebagai menyebelahi kerajaan hingga menimbulkan tuduhan dan fitnah terhadap mufti.
“Contohnya, baru-baru ini Tun Dr Mahathir Mohamad membidas mufti yang menyangkal dakwaannya bahawa jemaah haji tajaan IMDB tidak mendapat haji mabrur sebagai pengampu kerajaan.”
Khutbah Jumaat dan agamawan pekak
Sorak-sorai mengenai 1MDB dalam tahun-tahun 2014 sehingga 2017 itu jatuh ke telinga yang tuli dalam kalangan agamawan.
Meskipun tanda-tanda ekonomi negara sedang tenat dan terdapat kehebohan mengenai 1MDB, khutbah Jumaat yang disediakan JAKIM kekal bergaya memuji kepintaran Datuk Seri Najib Razak dalam menguruskan ekonomi negara. Khutbah “Jihad Ekonomi” pada 30 Oktober 2015 sebagai contoh memuji Najib menurut prinsip Maqasid, dan konsep Wasatiyyah atau bersederhana:
“Seiring dengan itu, mimbar menyambut baik pengisian Bajet 2016 yang dibentangkan oleh YAB Perdana Menteri baru-baru ini, yang jelas menunjukkan tumpuan serius kerajaan terhadap usaha mengukuhkan daya tahan ekonomi, mengurus impak pendedahan luaran dan melindungi kebajikan rakyat.
“Dengan tema Mensejahterakan Rakyat, ramai penganalisis ekonomi menyifatkan bajet kali ini, sangat menyeluruh dan memberi manfaat kepada semua lapisan masyarakat. Usaha ini juga merupakan sebahagian daripada elemen jihad ekonomi kerana mematuhi kehendak prinsip Maqasid Syariah dan konsep Wasatiyyah (bersederhana) dalam konteks memelihara agama pada bidang ekonomi serta pembentukan jiwa dan akal masyarakatnya.”
Sementara pada 29 Disember 2017, khutbah Jumaat disediakan JAKIM dengan judul “Kemakmuran Ekonomi Kesejahteraan Rakyat” menyamakan “transformasi dalam pengurusan” bagi bajet 2018 dengan transformasi pengurusan yang pernah dikemukakan Saidina Umar al-Khattab.
Persamaan itu “melalui pelbagai kreativiti dan inovasi yang berwawasan yang seterusnya menjadi tonggak penyebaran Islam dan pemerkasaan umat Islam”.
Mengapakah kita berdepan dengan ulama atau agamawan yang tidak peduli begini? Di manakah salahnya?
Salahnya ialah kita tidak mewarisi Islam yang benar daripada Rasulullah. Kita mewarisi “Islam Parameswara”.
Ulama “Islam Parameswara” adalah jenis ulama korporat atau keparat. Ia dapat kita lihat dalam sejarah pada Maulana Yusuf yang mengajar Kitab Maklumat kepada Sultan Mahmud tetapi membiarkan baginda membunuh seisi keluarga Tun Fatimah.
Atau ulama seperti Maulana Jalaluddin yang berpihak dan membantu Raja Kassim untuk membunuh Raja Rekan serta Sultan Abu Syahid yang masih kecil. Selepas berjaya melakukan penggulingan, Maulana Jalaluddin menuntut janjinya untuk dinikahi dengan perempuan bangsawan.
Agamawan begini, Ahlul-1MDB, tercermin pada kata-kata akhir Bendahara Paduka Raja, ketika nazak hendak mati.
Dia bersyarah panjang lebar dengan kata-kata akhirnya: “Raja itu umpama ganti Allah dalam dunia, kerana ia zillu’llah fil’alam. Apabila berbuat kebaktian kepada raja, serasa kebaktian akan nabi Allah; apabila berbuat kebaikan kepada nabi Allah, serasa berbuat kebaktian kepada Allah taala. Firman Allah taala: ati’ul-laha wa’ati ‘ur Rasula wa ulil amri minhum yakni berbuat kebaktianlah kamu akan Allah, dan akan rasul-Nya, dan akan raja, inilah wasiat ku kepada kamu semua. Hendaklah jangan kamu sekalian lupa, supaya kebesaran dunia akhirat kamu semua peroleh.”
Demi kebaktian itu mereka sengaja memekakkan telinga meski seisi dunia memekik heboh mengenai korupsi.
Ya Ahlu 1MDB, Kum Fa’anzir...
Faisal Tehrani adalah nama pena Dr Mohd Faizal Musa dan penulis 7 buku yang diharamkan di bawah pentadbiran Najib Razak.
0 notes