tembanglawas · 1 year ago
Text
Nostalgia (Indra Lesmana/Mira Lesmana) - Indra Lesmana
0 notes
andumkatresnansposts · 1 month ago
Text
youtube
00:00 Kapankah Kau Kembali (Jockie S.) - Titi Dwijayanti 05:09 Yang Pertama yang Bahagia (Jockie S.) - Titi Dwijayanti 09:54 Kugenggam Cinta (Indra Lesmana/Mira Lesmana) - Titi Dwijayanti 14:14 Hadirkan Cintamu (Indra Lesmana/Mira Lesmana) - Titi Dwijayanti 18:32 Senandung Senja (Indra Lesmana/Mira Lesmana) - Titi Dwijayanti 22:41 Nada Cinta (Indra Lesmana/Mira Lesmana) - Titi Dwijayanti 28:31 Kedamaian (Indra Lesmana) - Titi Dwijayanti 33:22 Dinding Beku (Indra Lesmana/Mira Lesmana) - Titi Dwijayanti 37:43 Akhir Cinta (Indra Lesmana/Mira Lesmana) - Titi Dwijayanti 41:45 Kutunggu (Indra Lesmana/Titi DJ/Dewa Budjana) - Titi Dwijayanti*
* = Direkam dari cassette
0 notes
l-edelweis · 4 months ago
Text
Merangkum Jakarta dan orang-orang baru di dalamnya
Aku akan menghentikan hibernasiku dimulai dari cerita tentang Jakarta. Tentang Patjar Merah Kecil yang sangat berkesan buat aku dan sampai sekarang aku belum move on dari keseruan-keseruannya:' (meskipun aku nggak datang full from the beginning till the end).
Sejak beberapa bulan yang lalu rilis informasi di instagram, kalau akan ada Patjar Merah tapi kali ini mengikutsertakan anak-anak! Aku sudah excited sekali dan sangat menanti jadwalnya kapan serta acara-acaranya apa saja. Akhir tahun kemarin sebenarnya ada semacam pra-acaranya gitu di Jogja, tapi cuma sebentar sekali, sepertinya dua atau tiga hari, dan hari-hari itu aku unavailable untuk menengoknya. Lalu saat tahu akan ada main programnya, aku sangat menanti-nanti.
Aku nggak expect apapun kecuali, aku datang ke beberapa workshop yang menarik topiknya, lihat-lihat buku dan kalau ada yang cocok di kantong aku membawanya pulang, ngintip-ngintip buku anak buat dipelajari, gitu aja terus setiap hari. Tapi di kesempatan itu aku justru bisa ketemu sama orang-orang yang, bisa aku bilang, 'baru' buat aku(?)
Nggak semuanya bener-bener baru kenal dan baru ketemu, sih. Beberapa ada yang sudah pernah bersua di sosial media. Termasuk beberapa penulis-penulisku yang selama ini hanya berkomunikasi via WhatsApp.
Aku seneng banget bisa ketemu lagi sama Bu Reda, yang dulu aku bela-belain ke Bandung buat ikut sesi kelasnya di Patjar Merah juga. Waktu itu awal-awal aku jadi editor dan aku merasa butuh banget asupan buat menyusun buku anak, dan aku sangat ngefans dengan Bu Reda, jadi aku gas-gas aja ke Bandung demi kelas offlinenya. Lalu Mbak Mira Lesmana juga hadir jadi salah satu pembicara. Salah satu produser film favorit aku, tentu aku senang sekali bisa ikut sesi ngobrol-ngobrolnya langsung. Ketemu Mas Eka Kurniawan, yang aku tau beliau keren banget kalau udah nulis tapi aku belum kuat buat menyelesaikan Cantik Itu Luka.
Ketemu juga sama Kang Iwok, Mbak Wylvera, Mbak Nunik, penulis-penulis aku di Bentang. Sedih waktu salah satu dari mereka bilang, 'ayok mba nulis lagi' dan harus kusampaikan kalau aku sudah tidak di Bentang :( Ketemu Mba Fitri dan Mas Teguh secara tidak sengaja. Seneng banget loh bisa ketemu sama dua kakak RK aku itu. Dulu pernah minta tolong Mba Fitri buat nulis dan gabung ke project penerbitan Juz Amma, dan Mas Teguh adalah editor Gramedia panutan yang buku-bukunya tuh sastra keren-keren gitu deh. Aku juga pembaca beberapa buku yang diedit olehnya.
Ketemu Olive juga! Temen sekelas waktu kuliah yang juga penulis. Lalu aku bersyukur banget bisa ikutan workshopnya Mas Iid, yang super seru dan asyik. Sayangnya aku sama sekali belum baca bukunya. Aku baru kenal Mas Iid, walaupun aku nggak asing dengan namanya karena beberapa kali bukunya pernah kutemukan, dan kemarin daftar ikut workshopnya karena temanya menarik (dan emang beneran menarik kenyataannya). Jadi kemarin aku nggak minta foto bareng karena gengsi dong kalau foto doang dan nggak minta tanda tangan di bukunya (hahaha).
Aku juga melihat wajah-wajah yang tidak asing, yang selama ini hanya kulihat di instagram. Pegiat-pegiat literasi yang aku suka sekali dengan peran-peran mereka.
Ada salah satu teman yang pernah bilang, hidup di Jakarta itu privilege nya besar sekali. Dan aku sangat merasakan itu kemarin.
(tapi aku tetap cinta Jogja, hahaha<3)
Tumblr media Tumblr media
0 notes
ejharawk · 5 years ago
Text
Fenomena adaptasi film-film Korea di Indonesia
Tumblr media
“Saya dan Riri Riza suka film-film Korea (Selatan), dan kami tahu CJ Entertainment punya beberapa line-up cerita yang sangat bagus,” ujar produser Mira Lesmana memberikan mukadimah kepada awak media di Dhonika Eatery, Jl. Pangeran Antasari, Jakarta Selatan (12/3/2019).
Mira dari Miles Films sedang mengisahkan latar belakang terjalinnya kerja sama mengadaptasi Sunny, sebuah film drama komedi asal Korea Selatan yang aslinya rilis 4 Mei 2011.
CJ Entertaiment adalah rumah produksi --juga distributor dan ekshibitor-- asal Korsel yang memegang hak publikasi film tersebut.
Disutradarai Kang Hyeong-cheol, kini 45 tahun, film Sunny mengisahkan tujuh siswi yang tergabung dalam satu geng di sekolah menengah atas khusus perempuan.
Geng yang kemudian mereka beri nama Sunny --dari judul lagu kelompok Boney M-- beranggotakan Chun-hwa, Jang-mi, Jin-hee, Geum-ok, Bok-hee, Su-ji, dan Na-mi sang murid baru.
Plot film tidak berjalan linear, tapi maju mundur. Ada masa lalu ketika para anggotanya masih sekolah pada dekade 80-an dan era di mana semua anggota geng menjalani kehidupan terkini
Sepanjang dua jam durasi film, Hyeong-cheol menyoroti arti penting persahabatan, posisi keluarga, dan bagaimana remaja berada dalam pusaran gejolak kondisi sosial politik yang terjadi di Korsel.
Kebersamaan geng Sunny terhenti ketika sebuah tragedi menimpa. Imbasnya mereka menjalani kehidupan masing-masing.
Setelah terpisah lebih dari dua dekade, sebuah kenyataan pahit akhirnya mengumpulkan satu per satu anggota geng Sunny.
Film ini meraih sukses. Secara komersial meraup pemasukan lebih dari KRW54 juta (setara AS$47 juta). Menjadikannya film terlaris kedua di Korsel, setelah War of the Arrows, sepanjang 2011.
Dari sirkuit festival film, Sunny memenangi beberapa penghargaan dalam ajang KOFRA Film Awards, Grand Bell Awards, dan Buil Film Awards.
Indonesia bukan negara pertama yang mengadaptasi Sunny. Vietnam dan Jepang sudah lebih dahulu meluncurkan versi mereka. Dua versi yang sarat nuansa lokal masing-masing negara tersebut juga beroleh predikat film laris.
Menurut Yeonu Choi, Chief Producer/Managing Director CJ Entertainment, adaptasi Sunny ke depan akan hadir pula dalam versi Thailand, Tiongkok, dan Amerika Serikat.
Pihak CJ Entertainment menekankan bahwa proyek adaptasi ini lebih pas jika dikatakan sebagai buat baru alih-alih buat ulang.
Alasannya karena masing-masing film berada di bawah kendali sutradara berbeda. Jajaran pemainnya juga beda. Khusus di Indonesia, versi baru Sunny disutradarai Riri Riza.
“Jadi akan sangat lain dari versi yang sudah ada sebelumnya. Terus terang saya sendiri juga penasaran akan seperti apa Bebas nantinya,” kata Yeonu.
Tumblr media
Sebelum Sunny, CJ Entertainment sudah menjalin kerja sama dengan StarvisionPlus dan MD Pictures dalam mengadaptasi dua film Korea produksi mereka.
Starvision menggarap drama komedi Sweet 20 (adaptasi Miss Granny) yang mendapatkan lebih dari satu juta penonton saat rilis 2017.
MD Pictures memilih menggarap kembali Whispering Corridors yang bergenre horor menjadi Sunyi. Rilis dijadwalkan 11 April 2019.
Terpilihnya Miles sebagai mitra ketiga CJ dalam mengadaptasi film asal negeri gingseng telah melalui proses diskusi selama dua tahun.
Pun demikian, seperti dituturkan Riri, proses kerja sama mereka justru tidak seribet yang terbayangkan sebelumnya.
“Cukup simpel. Mulai dari proses pemilihan hak cerita, itu cepat selesai. Cuma memang ada hal-hal yang baru bagi kami, semisal kontraknya yang berbahasa Inggris,” jelas Riri.
Pihak CJ juga memberikan kebebasan kepada Mira dan Riri yang dibantu Gina S. Noer dalam menulis skenario agar terasa lebih sesuai dengan kultur Indonesia.
Sejumlah perubahan yang terjadi dalam Bebas, antara lain bagian latar cerita masa lalu yang bukan mengambil dekade 80-an melainkan 90-an.
Tokoh-tokoh kunci juga tidak digambarkan berasal dari sekolah khusus perempuan, tapi sekolah campur.
Faktor tersebut membuat komposisi anggota geng dalam film ini berubah, ada lima cewek dan satu cowok.
Alasan perubahan komposisi menurut Mira karena Jakarta pada era 90-an masih sangat terbatas sekolah khusus perempuan. “Kita lebih terbiasa sekolah di sekolah campur, entah itu negeri atau swasta,” jelasnya.
Kebebasan menyesuaikan cerita dengan kultur Indonesia juga terjadi saat MD mengadaptasi Whispering Corridors.
“Saya enggak mau rewel perubahannya apa saja. Satu contoh, kalau di sana pemeran utamanya perempuan, di sini kami ganti jadi laki-laki,” ungkap produser Manoj Punjabi perihal lisensi kreatif yang mereka dapatkan dari CJ dalam jumpa pers di MD Place, Jakarta Selatan (12/2).
Pihak CJ Entertainment paham bahwa unsur kelokalan sangat penting ditonjolkan dalam sebuah film untuk mendekatkannya dengan penonton.
Faktor tersebut yang selalu mereka minta kepada sineas yang mengadaptasi film-film mereka.
“Saat kami mencari mitra yang tepat untuk menggarap kembali Sunny, tidak ada pilihan yang lebih tepat selain Miles Films,” ungkap Justin Kim, Producer for International Film Projects di CJ Entertainment.
Penggemar film Laskar Pelangi dan AAdC buatan Miles itu melanjutkan, pihaknya yakin betul dengan kapasitas Mira dkk. memberikan muatan lokal yang tepat untuk adaptasi ini sehingga bisa berinteraksi sepenuh hati dengan penonton Indonesia.
Mira yang mendapat sanjungan tak kalah percaya diri. “Waktu pertama menonton Sunny, saya sudah yakin ini bisa banget diadaptasi menjadi versi Indonesia. Dan kalau mau diproduksi, yang paling tepat mengerjakan adalah kami. Untungnya mereka juga merasakan hal yang sama,” tegas kakak musikus Indra Lesmana itu.
Tumblr media
Industri perfilman Indonesia empat tahun terakhir memang semakin menggeliat. Indikasi paling kentara terlihat dari jumlah penonton bioskop yang terus meningkat.
Jika pada 2015 total penjualan tiket bioskop ada pada kisaran 16 juta lembar, maka jumlah tersebut meningkat jadi 50 juta tiket lebih kurun 2018.
Dituturkan Rance Pow dari Artisan Gateway (h/t Jakarta Globe), industri perfilman Indonesia sepanjang 2018 menghasilkan AS$355 juta. Meningkat 2,8 persen dari catatan tahun sebelumnya yang mencetak AS$345 juta.
Indonesia kemudian menjadi negara dengan pasar terbesar ke-15 di dunia dan keenam terbesar di Asia Pasifik.
Dengan tambahan fakta jumlah penduduk melebihi 270 juta jiwa, yang berarti potensi pasarnya masih bisa terus berkembang, para investor asing semakin tertarik melirik industri ini.
Terlebih sejak pemerintah membuka Daftar Negatif Investasi dari sektor perfilman pada 2015.
Salah satu yang langsung memanfaatkan kesempatan tersebut adalah CJ Entertainment, perusahaan hiburan raksasa yang merupakan bagian dari CJ Group.
Langkah pertama yang mereka lakukan adalah menyokong produksi dan turut mengedarkan film A Copy of My Mind arahan Joko Anwar.
Hingga tahun ini, CJ Entertainment sudah bekerja sama dengan sejumlah rumah produksi di Tanah Air memproduksi sembilan film Indonesia, tiga di antaranya merupakan adaptasi film Korea.
Langkah tersebut sebenarnya ditetapkan CJ Entertainment sejak dua tahun silam untuk merespons kondisi pasar dalam negeri mereka.
“Pasar domestik (Korea) telah sangat jenuh dalam beberapa tahun terakhir. Mengembangkan pasar luar negeri pada akhirnya bukan lagi sebuah pilihan, tapi suatu keharusan,” kata Jeong Tae-sung, CEO CJ Entertainment, dilansir Variety.
Indonesia bukan pasar asing bagi produk-produk budaya populer asal negeri tersebut. Demam drama Korea alias drakor sudah melanda masyarakat Tanah Air sejak Trans TV mulai menayangkan serial Mother Sea pada 2002 silam.
Langkah tersebut kemudian diikuti stasiun televisi lainnya, seperti Indosiar, RCTI, SCTV, B Channel (kini Rajawali TV), dan Trans 7.
Sambutan terhadap film-film asal Korea juga tak kalah gempita. Berhubung film-film produksi CJ yang kemudian diadaptasi sineas kita masuk kategori box office, meraih minat penonton dengan cepat bisa terjadi.
Akun Twitter dan Instagram Miles Films seketika kebanjiran testimoni dari mereka yang sudah menonton versi aslinya.
Mayoritas mengaku sudah tidak sabar menanti seperti apa versi adaptasi Indonesia film tersebut.
Riri menyambut terbuka adanya proyek mengadaptasi film-film luar negeri seperti ini. Sebab ada dua faktor yang membuat prosesnya menarik.
Hal pertama terkait efisiensi waktu. “Biasanya waktu pengembangan cerita di Miles Films bisa 1,5 tahun sampai 2 tahun. Dengan adanya model seperti ini kami bisa memangkas waktu tersebut jadi 8 bulan karena pondasi ceritanya sudah ada,” jelas Riri.
Faktor kedua, ada tantangan lain ketika harus menulis ulang karakter dan perjalanan hidup tokoh-tokoh dalam sebuah film yang sudah punya skrip kuat.
Harapan Riri, pada masa mendatang tiba giliran film-film orisinal Indonesia yang diadaptasi oleh rumah produksi atau studio dari mancanegara.
Mengingat sepak terjang sejumlah film Indonesia yang mendapatkan atensi warga global; Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, Pengabdi Setan, dan The Night Comes for Us untuk menyebut beberapa, harapan Riri bukan pepesan kosong.
2 notes · View notes
shabrinana · 4 years ago
Text
Malam ini aku mampir ke halaman beranda Instagram sebelum tidur. Scrolling sedikit, muncul postingan Mbak Mira Lesmana tentang IG Live ngobrol bareng Maudy Ayunda dalam program Cabin Fever.
Pada awalnya aku tidak berniat untuk menonton sampai selesai obrolan berdurasi 60 menit itu. Lama ya satu jam, pikirku. Terlebih aku tidak mencari tahu topik apa yang akan dibicarakan. Namun yang namanya Maudy Ayunda memang selalu punya daya tariknya sendiri kalau sudah berbicara tentang perjalanan hidup, mimpi, serta kehidupan sehari-harinya.
Ia adalah sosok yang selalu membuatku penasaran tentang bagaimana cara mengatur segala hal yang dikerjakan selama ini. Juga membuatku kagum terhadap semangatnya untuk tidak pernah berhenti belajar dan merasa puas.
"Aku di masa depan adalah hasil dari rangkaian usaha dan doa yang terus menerus dilakukan oleh aku yang sekarang. Oleh karena itu tidak ada kesuksesan yang instan."
Quotes di atas mendorongku untuk yakin bahwa kita bisa mencapai versi ideal di masa depan berdasarkan standar yang ditetapkan melalui proses internalisasi dengan diri sendiri. Pengingat ketika rasa malas menghampiri bahwa nothing worth having comes easy.
Setelah menonton Romance is a Bonus Book dan mendengar betapa Maudy Ayunda suka membaca, rasanya malam ini ingin dihabiskan dengan membaca saja. Alih-alih tidur, menyelesaikan buku yang sedang dibaca dan menambah tilawah yang masih jauh dari target sepertinya pilihan menarik. Sudah lama tidak merasa tergugah seperti sekarang, padahal hanya karena menonton obrolan santai antara mereka berdua.
Tumblr media Tumblr media
Silakan membaca catatanku dari obrolan Cabin Fever hari ini. Semoga catatan di atas bisa membuat sang pembaca setidaknya semangat lagi dalam mengusahakan apa yang sedang dikejar. Selamat malam, selamat beristirahat!
8 notes · View notes
tussyac · 4 years ago
Text
Remake Film Petualangan Sherina
Semua anak generasi 90an pasti punya kenangan tersendiri mengenai film ini. Kenangan yang tiba-tiba kembali teringat saat menonton film ini. Memori yang tiba-tiba muncul seketika saat Sherina mulai bernyanyi. Itulah yang terjadi.
Sayapun punya sepenggal memori yang tiba-tiba tergambar saat saya kembali melihat Sherina dan Sadam. Umur saya 7 tahun waktu itu. Saya tinggal di kampung masa kecil saya yang jaraknya ratusan kilometer dari tempat tinggal saya sekarang. Menonton Petualangan Sherina membuat saya kembali teringat suasana di sana. Bersama teman-teman SD, setiap menjelang pentas kenaikan kelas, kami anak-anak perempuan sekelas berlatih koreografi dan bernyanyi lagu-lagu Petualangan Sherina. Belum lagi di rumah, saya selalu mengajak adik saya yang laki-laki menirukan gerakan koreo Sherina dan Sadam. Pura-puranya saya jadi Sherina, adik saya jadi Sadam. Sampai dorong-dorongan waktu joget koreo lagu "Jagoan".
Yang paling menyedihkan adalah ketika saya harus pindah sekolah. Lagu "Lihatlah Lebih Dekat" sangat mewakili perasaan galau saya waktu itu. Sedihnya meninggalkan sahabat dan tidak akan kembali lagi selamanya.
Saya tidak tahu apakah hanya saya yang bisa sampai menangis atau memang film ini mengandung bawang kalau ditonton di umur segini.
Tumblr media
Miles Production (Produsen film Petualangan Sherina) akhir-akhir ini banyak mengupload segala hal berkaitan film ini. Di Instagramnya, mereka membuat tagar #20tahunPetualanganSherina. Di Youtube, mereka mengunggah behind the scene film ini. Mira Lesmana (Produser Miles Production) pun akhir-akhir ini sering menunggah foto bersama pemain Petualangan Sherina di Instagramnya.
Ada maksud apakah gerangan?
Apakah Petualangan Sherina akan dibuat sequelnya? Atau mungkinkah akan diremake?
Tapi jika kita bandingkan film-film yang punya sequel biasanya film kedua, ketiga, dst malah kurang memuaskan. Kalau saya boleh berimajinasi menjadi produsen film Petualangan Sherina, saya akan remake film ini menjadi film action. Ceritanya masih tentang penculikan, ditambah sedikit komedi dan sedikit cerita asmara sepertinya jadi manis. Tetap musikal dan ada fantasinya. Pemain laki-lakinya tidak diperankan Derby lagi gak masalah, secara dia agak kurang di akting. Yang jelas, jika ada remake atau sequel film ini, saya adalah orang yang berekspektasi sangat tinggi.
1 note · View note
rismaynblog · 5 years ago
Text
Hi guys, ini merupakan blog pertama saya Disini saya akan mencoba mereview salah satu film remaja yang berjudul "BEBAS"pasti diantara kalian terutama kaum remaja ada yang sudah pernah menonton film ini.
Tumblr media
Sinopsis Film Bebas (2019)
Bebas bercerita tentang pertemanan sejak masa sekolah. Awalnya Vina (Maizuri) sekolah di salah satu SMA di kota kecil di Jawa Barat. Karena beberapa hal, dia pindah sekolah menuju Ibukota Jakarta. Pada hari pertamanya, Vina menjadi bahan lelucon teman sekolah karena logat bicaranya. Dia juga mendapat intimidasi dari salah satu cowok di sekolah. 
Untungnya datang sekelompok gang sekolah yang menolong Vina. Anggota gang bernama Bebas ini yaitu Kris (Sheryl Sheinafia) sang pemimpin, Jessica (Agatha Pricilla) yang lucu dan terobsesi akan kecantikan, Gina (Zulfa Maharani) anak terkaya di grup, Suci (Luthesha) perempuan cantik dan misterius, serta Jojo (Baskara Mahendra) cowok satu-satunya.
Selain menolong, gang ini juga memasukkan Vina menjadi anggotanya. Pertemanan itu membuat Vina cukup cepat dalam beradaptasi. Sayangnya, beberapa waktu setelah itu ada kejadian yang membuat mereka harus terpisah.
Berpuluh tahun kemudian, Vina dewasa (Marsha Timothy) tanpa sengaja bertemu dengan Kris dewasa (Susan Bachtiar) di rumah sakit. Kris mengidap penyakit yang membuat hidupnya divonis tidak akan lama.
Keadaan itu membuat Kris meminta kepada Vina untuk mengumpulkan kembali gang masa sekolahnya. Dia ingin bertemu untuk terakhir kalinya. Perjalanan menemukan sahabat lama, Jessica (Indy Barends), Jojo (Baim Wong), Gina (Widi Mulia) dan Suci ini mengantar Vina kembali menyusuri kisah lamanya.
Review
Sewaktu awal menonton film Bebas kalian akan diajak bertemu Geng Bebas versi dewasa yang dimulai oleh Vina (Marsha Timothy) yang merasakan kekosongan dalam hidup yang serba berkecukupan. Gejolak mudanya mulai muncul saat dia bertemu dengan Kris (Susan Bachtiar), salah satu anggota gengnya di sekolah 23 tahun yang lalu.
Film ini terbilang unik karena menggabungkan dua zona waktu, yaitu pada 1996 saat geng bebas SMA dan di masa sekarang. Tiap perpindahan timelinepun enggak bikin bingung, karena dibedakan oleh suasana film.
Menariknya, ketika masuk zaman Geng Bebas sekolah, kalian akan disambut banyak hal yang ikonis di tahun tersebut. Bebas juga memasukan unsur sosial politik ‘90-an yang sedang banyak pergolakan. Bahkan, seakan relate dengan situasi yang terjadi di Indonesia saat ini.
Meski alur ceritanya mengasyikan dan menghibur, beberapa adegan tampil hanya sebagai pengingat bahwa adegan tersebut ada di materi yang diadaptasi, Sunny(2011). Untungnya, dua penulis naskah, Mira Lesmana dan Gina S. Noer bisa menghubungkan dengan budaya di Jakarta pada tiap masa.
Riri Riza, Mira, dan Gina harus diacungi jempol soal mengaduk-aduk perasaan penonton. Meski enggak intens bikin sedih, kecewa, dan senang, permainan emosi dalam film Bebas bakal relate ke banyak penonton, terlebih yang tumbuh remaja pada masa 1996.
Banyak momen yang bikin film ini cocok ditonton segala kalangan. Bukan hanya cocok karena hidup di zaman yang sama, tapi juga cocok karena juga merasakan masalah yang sama dengan Geng Bebas versi remaja maupun dewasa.
Misalnya, momen pernah punya geng yang ditakuti, menjadi senior yang berkuasa atau junior yang terlalu nurut, menjadi anak baru yang masuk geng populer, memendam cinta lama, dan reunian dengan sahabat setelah lama berpisah.
Seputar film
Film ini merupakan adaptasi bebas dari film Korea berjudul Sunny yang beredar pada tahun 2011. Film ini juga merupakan adaptasi ketiga setelah versi Vietnam dan Jepang, keduanya tayang pada tahun 2018.
Rumah produksi Miles Films bekerja sama dengan Ideosource Entertainment dan Base Entertainment akan menayangkan film bebas pada Oktober tahun ini. Bebas merupakan adaptasi film asal Korea Selatan berjudul Sunny yang diproduksi CJ Entertainment.
Sutradara
Film ini disutradarai oleh :
Mohammad Rivai Riza atau yang lebih dikenal dengan nama Riri Riza adalah seorang sutradara, penulis skenario, dan produser film asal Indonesia. Dia muncul dalam debutnya sebagai sutradara melalui film Kuldesak pada tahun 1998.
Lahir: 2 Oktober 1970 (usia 49 tahun), Makassar
Pasangan: Wilita Putrinda
Buku: Gie: naskah skenario : berdasarkan catatan harian dan tulisan-tulisan Soe Hok Gie
Penghargaan: Piala Citra untuk Sutradara Terbaik, dan lainnya.
Saudara kandung: Dana Riza, M Zafrullah Riza, M Rachmadi Riza, Moh Wardana Riza, dan lainnya.
Produser
Mira Lesmanawati adalah salah seorang produser film asal Indonesia dan termasuk tokoh sineas yang "menghidupkan kembali" perfilman Indonesia pada tahun 2000-an. Mira merupakan putri dari tokoh jazz Indonesia, Jack Lesmana dan penyanyi senior Indonesia tahun 1960-an berdarah Jawa, Nien Lesmana. 
Lahir: 8 Agustus 1964 (usia 55 tahun), Jakarta
Pasangan: Mathias Muchus (m. 1990)
Anak: Galih Galinggis
Penghargaan: Piala Citra untuk Film Cerita Panjang Terbaik, lainnya
Orang Tua: Nien Lesmana, Jack Lesmana
Film bebas (2019) ini ditayangkan pada tanggal 3 Oktober 2019.
Film bebas ini berdurasi selama 1 jam 59 menit.
Pemeran
•Geng remaja
1. Maizura sebagai Vina
2. Sheryl Sheinafia sebagai kris
3. Agatha Pricilla sebagai Jessica
4. Lutesha sebagai Suci
5. Zulfa Maharani sebagai Gina
6. Baskara Mahendra sebagai Jojo
•Geng dewasa
Marsha Timothy sebagai Vina
Susan Bachtiar sebagai Kris
Indy Barends sebagai Jessica
Widi Mulia sebagai Gina
Baim Wong sebagai Jojo
Salvita Decorte sebagai Suci
• pemeran lainnya
1.Amanda Rawles sebagai Lila, ketua geng Baby Girl
2.Giorgino Abraham sebagai Andra
3.Brandon Salim sebagai Dedi remaja
4.Kevin Ardilova sebagai Jaka remaja dan anaknya Jaka dewasa
5.Syifa Hadju sebagai Mia, anaknya Vina dan Adi
6.Bisma Karisma sebagai Yongki, kakaknya Vina
7.Timotius Juventus
8.Windy Apsari
9.Shindy Huang
10.Nada Novia
11.Cut Ashifa
12.Agnes Naomi
13.Sarah Sechan sebagai Ambu, ibunya Vina
14.Tika Panggabean sebagai Bu Retno, guru
15.Daan Aria sebagai Pak Herman, guru
16.Edward Suhadi sebagai Dedi dewasa
17.Jefri Nichol sebagai ketua geng
18.Cut Mini sebagai ibunya Gina
19.Irgi Fahrezi sebagai Abah, ayahnya Vina
20.Oka Antara sebagai Jaka dewasa
21.Happy Salma sebagai ibu tirinya Suci
22.Dea Panendra sebagai Ayu, pacarnya Jojo dewasa
23.Darius Sinathrya sebagai Adi, suaminya Vina dewasa
Angle dan shot
•Angle: -Normal Angle
-High Angle
-Bird Angle
•Shot: - close up
- Exstream close up
- Medium close up
- Long shot
- Medium shot
- Two shot
- Over shoulder shot
- Big close up
- Total Shot
- Establish shot
2 notes · View notes
akuaktor · 4 years ago
Text
Gie; Membaca Capaian Nicholas Saputra
Seperti apakah capaian Nicholas Saputra di Gie?
Jika kita bicara soal film biopic Indonesia terbaik yang rilis tahun 2000an ke atas, maka nama Gie pasti akan masuk ke dalam daftar. Bukan hanya terbaik dari sudut pandang film secara keseluruhan, tapi juga secara spesifik pada permainan tokoh utamanya. Nicholas Saputra yang menjadi tokoh utama berhasil mendapatkan penghargaan Piala Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik di tahun 2005. Menurut…
View On WordPress
0 notes
andumkatresnansposts · 1 month ago
Text
youtube
00:00 Kapankah Kau Kembali (Jockie S.) - Titi Dwijayati 05:09 Yang Pertama Yang Bahagia (Jockie S.) - Titi Dwijayati 09:54 Kugenggam Cita (Indra/Mira Lesmana) - Titi Dwijayati 14:14 Hadirkan Cintamu (Indra/Mira Lesmana) - Titi Dwijayati 18:32 Senandung Senja (Indra/Lesmana) - Titi Dwijayati 22:41 Nada Cinta (Indra/Mira Lesmana) - Titi Dwijayati 28:31 Kedamaian (Indra Lesmana) - Titi Dwijayati 33:22 Dinding Beku (Indra/Mira Lesmana) - Titi Dwijayati 37:43 Akhir Cinta (Indra/Mira Lesmana) - Titi Dwijayati 41:45 Kutunggu (Indra L./Titi DJ.-Bujana) - Titi Dwijayati
0 notes
nininmenulis · 5 years ago
Text
Film Bebas Hadirkan Nostalgia Masa SMA era 1990-an
Film Bebas Hadirkan Nostalgia Masa SMA era 1990-an
NININMENULIS.COM– Sepertinya Miles Film masih menyukai film yang mengangkat tema persahabatan dan cinta ke dalam film-filmnya, seperti juga di film terbarunya, Bebas. Sukses dengan Ada Apa dengan Cinta (AADC), Petualangan Sherina, dan Laskar Pelangi, rupanya membuat Mira Lesmana dan Riri Riza enggan beranjak dari genre ‘nyaman’ mereka. Meskipun memiliki formula yang sama, namun Mira dan Riri…
View On WordPress
0 notes
nyiurtimes-blog · 7 years ago
Text
Pada pertengahan Januari lalu, melalui akun-akun media sosialnya, Miles Films mengumumkan judul film anak-anak produksinya yang terbaru, yaitu KULARI KE PANTAI. Film anak-anak dan keluarga ini akan kembali digarap oleh kolaborasi Produser Mira Lesmana dan Sutradara Riri Riza dan sekaligus merupakan produksi ke-16 Miles Films.
Berbagai tanggapan positif dan antusias menyambut pengumuman dari Miles Films tersebut dan hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa semakin sedikit film anak-anak yang ditayangkan di bioskop. Dalam 5 tahun terakhir, dari hampir 500 judul film yang diproduksi, jumlah film anak-anak tidak lebih dari 15 judul. Berdasarkan data 10 besar perolehan jumlah penonton periode tahun 2007-2018, hanya ada 1 film anak-anak, yaitu Laskar Pelangi (Riri Riza, Miles Films, 2008) yang menduduki urutan ke-3 film dengan jumlah penonton terbanyak (sumber data:filmindonesia.or.id). Data ini menunjukkan minimnya tontonan untuk anak-anak di bioskop, padahal produksi film Indonesia semakin ramai.
“Kondisi ini tentu membuat prihatin, namun sekaligus memicu keinginan saya untuk kembali mempersembahkan karya baru untuk anak-anak Indonesia,” tutur Mira Lesmana tentang latar belakang dibuatnya Film KULARI KE PANTAI. “Industri perfilman semakin ramai dengan film-film berkualitas dan memiliki pencapaian prestasi yang luar biasa. Saya ingin film anak-anak pun demikian,” lanjutnya.
Antusiasme Mira Lesmana disambut oleh Riri Riza melalui visinya untuk film KULARI KE PANTAI. ”Tantangannya kali ini adalah membuat film anak-anak yang menyampaikan pesan dengan cara yang menghibur, lucu dan menyentuh lalu dikemas dalam bahasa kekinian,” jelasnya. “Tentunya film ini akan menjadi film liburan yang seru, dengan komedi yang segar dan memiliki pesan-pesan positif untuk anak-anak.”
This slideshow requires JavaScript.
Film KULARI KE PANTAI akan menjadi film dengan genre Komedi Drama. Dua pemeran utama film ini adalah Maisha Kanna dan Lil’li Latisha, anak-anak berbakat yang baru pertama kali muncul di layar lebar. Film ini juga dimeriahkan oleh aktor-aktor papan atas dan komika ternama Indonesia.
Selain itu, Miles Films akan membawa anak-anak dan keluarga menjelajah Pulau Jawa sepanjang lebih dari 1.000 kilometer melalui sebuah perjalanan darat yang mengasyikkan dan penuh kejutan, dari Jakarta hingga ke Banyuwangi. Lalu ke Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur.
Saat ini Film KULARI KE PANTAI sedang dalam tahap akhir persiapan dan akan memulai produksi di awal Maret ini. Ikuti terus perkembangan persiapan produksi Film KULARI KE PANTAI melalui akun media sosial Miles Films, yaitu:
Twitter: @MilesFilms IG: @milesfilms Fb: Miles Films
Informasi lebih lanjut: Median Publicist (Keke �� [email protected] – 081944101770)
Salam, Median Publicist untuk Film Kulari Ke Pantai
Kolaborasi Mira Lesmana Dan Riri Riza Untuk Kelangkaan Film Anak-Anak Indonesia Pada pertengahan Januari lalu, melalui akun-akun media sosialnya, Miles Films mengumumkan judul film anak-anak produksinya yang terbaru, yaitu KULARI KE PANTAI.
0 notes
ejharawk · 5 years ago
Text
Ikhtiar menggenjot produksi film untuk anak-anak
Tumblr media
Adegan bernyanyi dan menari langsung menghiasi layar saat film Doremi & You arahan BW Purbanegara mulai bermain.
Saya tak bisa menahan diri untuk memberikan aplaus setelah rangkaian adegan pembukaan tersebut.
Usai penayangannya untuk kalangan wartawan di CGV Cinemas, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat malam (14/6/2019), saya langsung mendatangi kursi tempat BW duduk, menjabat tangannya sembari memberikan tahniah.
Dari deretan kursi yang diisi para pemain, tampak Naura dan Nashwa saling berpelukan. Ini kali pertama mereka menyaksikan film tersebut. Rasa senang dan haru bercampur jadi satu. Kerja keras mereka tereksekusi dengan baik. “Sampai sekarang masih gemeteran,” kata Nashwa.
Kehadiran film Doremi & You yang tayang di bioskop mulai 20 Juni 2019 sudah sepantasnya disambut gembira.
Pasalnya film produksi Goodwork Indonesia itu menjadi penuntas dahaga di tengah jarangnya sineas yang melirik genre anak-anak, terutama yang menghadirkan unsur musikal.
Sejak kehadiran Naura & Geng Juara the Movie (tayang 16/11/2017), praktis tidak ada lagi film untuk anak Indonesia yang kental mengandung unsur menyanyi dan menari di dalamnya.
Alasan itu pula yang membuat Alexander Mere tertarik ikut memproduseri film Doremi & You bersama Ridla An-Nuur Setiawan.
“Kami ingin menambah katalog film anak-anak yang masih jarang di kancah perfilman Indonesia. Kebanyakan justru datang dari film Hollywood,” ujar Lexy, sapaan akrab Alexander, dalam jumpa pers usai sesi pemutaran film.
Lexy mengaku langsung jatuh hati kala disodorkan naskah film ini. “Cerita tentang persahabatan empat anak dari suku berbeda. Sangat mencerminkan Indonesia yang multikultur,” tambahnya.
Keempat sahabat yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama itu terdiri Putri (diperankan Adyla Rafa Naura Ayu), Imung (Fatih Unru), Anisa (Nashwa Zahira), dan Markus (Toran Waibro).
Hadir pula Devano Danendra yang memerankan tokoh Reno, kakak kelas sekaligus asisten pelatih paduan suara yang suka bicara blak-blakan.
Suatu ketika saat melakukan swafoto di tepi kali, amplop berisi uang pembayaran jaket milik teman-teman sekelas yang dititipkan kepada mereka hanyut terbawa arus. Pada titik tersebut keempatnya saling menyalahkan sebagai biang keladi.
Mengikuti kompetisi menyanyi “Doremi & You” yang berhadiah jutaan rupiah lantas mereka jadikan opsi. Kebetulan Putri, Anisa, dan Markus adalah anggota paduan suara di sekolah.
Di tengah jalan mereka mengetahui bahwa Reno ternyata juga ikut berkompetisi dalam ajang serupa. Maka semakin berat saja usaha kuartet ini menuju tangga juara.
Sepanjang 100 menit durasi film, BW Purbanegara selaku sutradara mempresentasikan ikhtiar keempat tokoh ini. Tak ketinggalan berbagai masalah yang harus mereka hadapi sebagai kesatuan, juga konflik internal yang menimpa beberapa tokohnya. Tentu saja dengan sisipan nyanyian dan tarian.
Pun demikian, BW yang sebelumnya sudah meracik film anak lewat Cheng Cheng Po (2007) dan Say Hello to Yellow (2011) tak sekalipun menampilkan watak tokoh yang hitam putih dalam film ini.
“Saya sangat menghindari karakterisasi tokoh baik dan jahat, protagonis dan antagonis secara hitam putih. Itu menjadi tantangan tersendiri dari segi drama,” ungkap BW yang turut menulis naskah bersama Jujur Prananto.
Memang dalam film ini segala tindakan dan perilaku yang diambil oleh tokoh-tokohnya tidak sekonyong-konyong hadir. Ada alasan kuat yang memicunya.
Tokoh yang diperankan Teuku Rifnu Wikana, misalnya. Sebagai paman, ia melarang Anisa ikut latihan mengikuti kompetisi "Doremi & You" dan memintanya fokus belajar.
Alasannya karena Anisa menjadi sering pulang malam hari lantaran sibuk latihan. Sementara pada saat yang bersamaan Ujian Akhir Semester akan berlangsung tak lama lagi.
Sang paman tak ingin beasiswa sekolah keponakannya itu tercerabut lantaran nilai ujiannya nanti jeblok. Penonton kemudian menjadi paham alasan mengapa paman Anisa sangat keras.
Tumblr media
Ragam pesan positif
Bersamaan dengan perilisan Doremi & You, hadir pula film Rumah Merah Putih persembahan pasangan suami istri Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen.
Film yang mengambil latar tempat di Belu, Nusa Tenggara Timur, menampilkan Petrick Rumlaklak (sebagai Farel Amaral) dan Amori de Purivicacao (Oscar Lopez).
Tambahan pemain pendukung, antara lain Pevita Pearce, Yama Carlos, Shafira Umm, dan Dicky Tatipikalawan.
Seperti judulnya, film ini menghadirkan pesan nasionalisme yang kuat lewat bingkai persahabatan yang menyatukan Farel dkk.
Dalam jumpa pers peluncuran poster yang berlangsung di Alenia Papua Coffee & Kitchen, Kemang, Jakarta Selatan (20/5), Ale --sapaan akrab Ari-- yang menjadi sutradara mengaku bahwa ide membuat film tentang anak-anak di perbatasan sudah muncul sejak lima tahun silam.
Niatan tersebut semakin kuat setelah melihat kondisi masyarakat Indonesia yang semakin terpolarisasi usai pemilihan presiden.
Melalui film ini Ale ingin memberi tahu bahwa sekalipun berbeda kita semua bersatu di bawah atap bernama Indonesia. “Rumah kita ya Indonesia," tambahnya.
Berselang sepekan dari perilisan Doremi & You dan Rumah Merah Putih, tepatnya 27 Juni, giliran rumah produksi MNC Pictures menghadirkan Koki-Koki Cilik 2, kelanjutan film pertama yang tahun lalu meraih 600.973 penonton.
Kali ini tidak ada lagi nama Ifa Isfansyah di kursi sutradara. Posisinya digantikan Viva Westi, sineas yang terakhir kali hadir lewat film Jenderal Soedirman (2015).
Sementara jajaran pemain utamanya tidak mengalami perubahan komposisi. Masih ada Farras Fatik (sebagai Bima), Ali Fikry (Alfa), Marcello Mahesa (Kevin), Clarice Cutie (Niki), Alifa Lubis (Melly), dan Romaria Simbolon (Key). Tambahannya masuk nama Muhammad Adhiyat (Adit) yang telah mencuri perhatian dalam film Pengabdi Setan.
Pun demikian, Viva mengatakan bahwa tipe cerita film Koki-Koki Cilik 2 sangat berbeda dengan pendahulunya.
“Kali ini mereka tidak lagi berada di dalam perkemahan, tapi lebih berpetualang,” jelas sineas berusia 46 itu saat saya temui dalam acara syukuran film Toko Barang Mantan yang juga disutradarainya di MNC Center, Kebon Sirih, Jakarta Pusat (12/6).
Bagi Viva, menyutradarai film bergenre anak merupakan pengalaman pertama. “Menyenangkan sekaligus bikin pusing banget karena mereka punya bahasa yang berbeda dengan kita yang dewasa. Ha-ha-ha.”
Viva melanjutkan bahwa syuting Koki-Koki Cilik 2 berlangsung selama 23 hari sepanjang Desember 2018 dan Januari 2019.
Banyak halangan nonteknis, semisal hujan, yang harus mereka hadapi lantaran syuting banyak mengambil suasana di luar ruangan.
Berbeda dengan Viva yang kebagian mengarahkan pemain-pemain yang masih duduk di bangku sekolah dasar, BW --juga Ale-- berhadapan dengan aktor dengan rentang usia sekolah menengah pertama.
Alhasil metode yang digunakan di lokasi syuting juga berbeda. “Mengarahkan akting mereka tidak lagi secara mekanis harus melakukan begini dan begitu. Tugas saya membantu mereka menafsirkan naskah sehingga bisa menggali sendiri emosi sendiri,” ungkap BW.
Ketiga film anak yang akan hadir ini mengandung banyak pesan positif. Mulai dari menghargai keberagaman, saling tolong menolong, kecintaan terhadap tanah air, hingga dunia bermain-bermain yang menyenangkan.
Tumblr media
Masih kekurangan film anak
Kehadiran Doremi & You yang musikal, Rumah Merah Putih dengan pesan nasionalismenya dari wilayah perbatasan, hingga dunia petualangan dalam Koki-Koki Cilik 2 merupakan bentuk ikhtiar dalam menghadirkan suguhan tontonan bioskop untuk anak.
Harus diakui segmen ini masih jarang. Hingga memasuki pertengahan tarikh Masehi 2019, total jenderal sudah ada 50 film Indonesia sudah tayang di jaringan bioskop Tanah Air (hingga 4/6).
Pun demikian, tidak ada satu pun dari puluhan judul tersebut yang peruntukannya secara spesifik untuk kalangan anak-anak.
Artinya film tersebut untuk kalangan semua umur sehingga anak di bawah usia 13 bisa turut menonton. Susunan pemeran utamanya juga terdiri dari anak-anak.
Tak lupa jalinan ceritanya menghadirkan problematika yang biasa dihadapi oleh anak-anak. Bukannya menempatkan anak-anak dalam konflik cerita yang sebenarnya dari sudut pandang orang dewasa.
Berdasarkan olah data yang dilakukan Lokadata Beritagar.id dari situs filmindonesia.or.id, perilisan film dengan predikat "anak-anak" kurun 1951 hingga 2017 total hanya ada 84 film. Berarti rerata hanya ada 1-2 film anak yang rilis setiap tahun.
Kecenderungan tersebut mulai meningkat dalam delapan tahun terakhir. Sepanjang 2010-2018 sudah ada 31 film anak yang tayang di bioskop yang berarti tiga judul per tahun.
Tentu ada penyebab mengapa film-film untuk anak jarang mendapat lirikan produser atau rumah produksi.
Faktor utama tentu saja terkait perolehan jumlah penontonnya. Semakin banyak film anak-anak yang berhasil membukukan angka jutaan penonton, maka otomatis akan mengundang produser atau investor untuk memproduksi tontonan serupa, bahkan dengan skala produksi lebih besar.
Hal ini disampaikan produser Mira Lesmana ketika tahun lalu meluncurkan Kulari ke Pantai yang disutradarai Riri Riza.
"Saya sangat berharap ada film anak-anak yang berhasil agar semakin banyak produser yang berani. Sebab butuh keberanian untuk bikin film anak-anak yang berskala besar," ungkap Mira.
Alenia Pictures mungkin satu-satunya rumah produksi di Indonesia yang konsisten memproduksi film anak. Sungguhpun dalam setiap perilisannya tidak ada yang membukukan angka jutaan penonton.
Oleh karena itu, Ale dan Nia harus kerja keras mencari investor baru yang bersedia mendanai produksi film mereka. Akibatnya mereka tak setiap tahun bisa menelurkan film.
"Kami sebenarnya selalu ingin anak-anak Indonesia mendapatkan film yang tepat. Sebab melalui kejujuran dan kepolosan mereka, orang dewasa bisa memetik pelajaran," pungkas Ale.
Jika sesuai rencana, setelah ini Alenia Pictures akan kembali bergerilya menghadirkan film anak dari wilayah perbatasan Kalimantan dan Papua.
0 notes
serenagpxx · 6 years ago
Text
Kuldesak: Sebuah Kesan
Sebagai peringatan hari jadi ke-20, film Kuldesak diputar di sejumlah bioskop di kota-kota besar di tanggal 29 Desember 2018. Untuk yang belum tahu, Kuldesak adalah film debut dari 4 sutradara: Riri Riza, Mira Lesmana, Rizal Mantovani, dan Nan Achnas. Film ini dikenal oleh banyak orang sebagai penanda bangkitnya perfilman Indonesia setelah industri film di tahun-tahun sebelumnya lesu akibat industri hiburan TV. Kebetulan juga, film ini dirilis di tahun 1998. Yah, kita semua sudah tahu bahwa 1998 adalah tahun yang serba baru, mulai dari pemerintahan baru hingga era kesenian baru, termasuk sastra dan film.  
Tumblr media
Kuldesak merupakan film yang menceritakan tentang sisi gelap kehidupan orang Jakarta. Ada 4 tokoh di film ini: Dina, Lina, Andre, dan Aksan. Dina adalah penjual karcis bioskop yang menggemari seorang presenter TV dan berteman dengan tetangganya yang gay, Budi dan Antok. Lina adalah karyawan sebuah perusahaan yang diperkosa dan diincar seseorang. Andre adalah seorang penggemar berat Kurt Cobain yang kerap menghadiri hiburan malam untuk mengusir kesepiannya. Terakhir, Aksan adalah seseorang yang memutuskan untuk merampok uang ayahnya agar ia bisa membuat film. Meski tak saling kenal, masing-masing dari keempat tokoh ini mengalami sebuah kejadian yang membuat mereka terjebak dalam situasi cul-de-sac alias jalan buntu. Untuk mengatasi situasi itulah, mereka harus membuat pilihan yang sulit.
Buatku, Kuldesak adalah film yang ‘lucu’. Bahkan untuk ukuran orang dewasa sekalipun, film ini betul-betul seperti lumrahnya film indie yang membuat penonton harus berpikir. Kisah keempat tokoh ini linear, tidak ada flashback, tapi berjalan beriringan. Kita benar-benar harus paham suatu adegan ini merupakan kisah tokoh yang mana. Musiknya juga enak, sangat khas 90-an yang didominasi musik rock (apalagi waktu itu Ahmad Dhani masih waras). Suasananya yang gelap dan penuh aksi murni digambarkan lewat akting dan pengambilan gambar, bukan sekadar dari adegan yang dipotong dan diedit besar-besaran. Terus lucunya di mana? Menurutku, terlepas dari segala hal yang ‘berat-berat’ tersebut, film ini terbilang laku karena berhasil meraup 100.000 penonton. Pada zaman itu, angka itu termasuk lumayan besar. Berarti, bisa dibilang bahwa selera orang Indonesia sebenarnya cukup bagus. Tapi kenapa sampai sekarang kita merasa film-film Indonesia banyak yang receh? Ya karena para kreator kita kadang terlalu memanjakan audiens hanya supaya mendulang keuntungan banyak. Ekspresi atau opini pribadi yang ditawarkan hanya untuk kesenangan yang mudah dilupakan, bukan untuk membangun atau membuka ruang diskusi.
Terakhir, Kuldesak benar-benar sebuah film yang cocok untuk bernostalgia. Aku baru lahir beberapa bulan sebelum film ini rilis, tapi aku sudah cukup tahu beberapa hal seputar tahun 90-an berkat buku-buku. Salah satu buku yang menggambarkan seputar Jakarta di tahun 90-an adalah komik Lagak Jakarta karya Benny dan Mice. Nah, hampir semua yang ada di komik tersebut bisa kulihat di Kuldesak, mulai dari bis tingkat, hp batu bata, sampai salesman door-to-door. Senang rasanya melihat hal-hal tersebut secara nyata, meski tak benar-benar langsung. Makanya, memang benar kalau film adalah bentuk catatan yang paling lengkap dalam sejarah. Bukan cuma gambar dan suara, tapi tren, kebiasaan, hobi, suasana, dan masih banyak lagi, semua ada di dalamnya.
1 note · View note
heydivai · 4 years ago
Text
Jurnal Tantangan 30 Hari Film Indonesia - Hari Kedelapan
8 Maret 2021
Tidak terasa tantangan ini sudah berjalan selama sepekan. Ternyata sudah satu minggu saya rutin mengisi laman Tumblr HeyDivai ini. Kalau niat, saya ternyata bisa rajin juga. Tadinya saya berniat beli es krim buat merayakan kekonsistenan ini. Tapi saya kena radang yang mengarah ke gejala flu. Jadi santapan es krim harus ditunda dulu.
Tema hari kedelapan : Sutradara favorit.
Saya menunjuk Riri Riza untuk tema ini. Selama berkiprah dalam dunia perfilman sejak 1998, saya menangkap salah satu hal yang konsisten dilakukan Riri Riza, yaitu mengangkat daerah-daerah di Indonesia yang jarang disorot sebagai latar film yang dia garap. Mulai dari Belitong di film Laskar Pelangi, lalu kota Atambua, Nusa Tenggara Timur di film Atambua 39' Celsius, dan Makassar di film Athirah. Oh, jangan lupakan Kulari Ke Pantai, yang membawa penonton dari alam Pulau Rote.
Film Indonesia tak melulu soal Jakarta, bukan? 😁
Alasan kedua saya memilih Riri Riza adalah karena film yang dia garap sebagian besar adalah film keluarga. Berpartner dengan sahabatnya, Mira Lesmana sebagai produser, mereka menghasilkan beberapa film komersil yang masuk ke semua umur, ramah untuk ditonton beramai-ramai dengan keluarga, dan menciptakan perasaan hangat usai menonton. Orang tak akan pernah lupa dengan Petualangan Sherina, yang bisa dibilang menghidupkan kembali perfilman Indonesia yang sempat mati suri pada tahun 2000an awal. Bahkan hingga kini, kalau ada film musikal anak-anak pun orang masih membandingkannya dengan Petualangan Sherina.
Dari karya-karya yang sudah ditelurkan Riri Riza, saya memilih "Laskar Pelangi" sebagai tontonan malam ini.
Film yang dirilis tahun 2008 berdasarkan buku karya Andrea Hirata ini menuai sukses secara komersil dan penghargaan. Ceritanya menyentuh, dimulai dengan sebuah sekolah dasar Muhammadiyah yang akan ditutup oleh dinas kecuali berhasil mendapatkan sepuluh orang murid pada tahun ajaran baru. Sembilan anak dari keluarga miskin sudah mendaftar, tinggal menunggu satu orang lagi saja atau sekolah akan ditutup selamanya. Murid kesepuluh pun akhirnya datang, seorang anak berkebutuhan khusus tetapi menjadi penyelamat sekolah tua itu yang tak jadi dirobohkan.
Sepuluh anak ini, pada suatu sore diajak bersepeda oleh ibu guru untuk belajar di alam terbuka (karena bangunan sekolah mereka bocor dan bobrok terkena hujan), kemudian di ufuk terlihatlah pelangi melengkung. Ibu guru lantas memanggil mereka, Laskar Pelangi.
Film yang mengangkat tentang isu pendidikan di masyarakat kelas bawah ini juga diberi narasi yang disuarakan oleh Lukman Sardi. Selain karakter orang dewasa yang diperankan oleh aktor dan aktris ternama, hampir semua karakter lain di film ini terutama anak-anak diambil dari bocah-bocah Belitong sendiri. Penampilan dan ekspresi mereka alami, khas anak-anak pada umumnya yang tetap bisa menemukan keceriaan walau hidup dalam keterbatasan. Riangnya dunia mereka juga terungkap di kamera, murni dan tanpa dibuat-buat.
Lagu tema film ini berjudul "Laskar Pelangi" dibawakan oleh grup band Nidji (secara kebetulan, niji dalam bahasa Jepang artinya pelangi) dan harus diakui liriknya sangat sesuai dengan napas film ini. "Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga. Bersyukurlah pada Yang Kuasa, cinta kita di dunia selamanya."
Penyanyi berambut gimbal Ipang Lazuardi juga ikut menyumbang suara dalam lagu "Sahabat Kecil" yang ditampilkan secara utuh pada adegan saat bocah-bocah ini berlari-lari menikmati hujan. Ditambah lagu Melayu berjudul "Seroja" ciptaan Husein Bawafi, yang dibawakan secara syahdu oleh Verrys Yamarno yang juga berperan sebagai Mahar. Sayang sekali bocah ini harus pergi di usia sangat belia. Semoga engkau tenang bersamaNya, Verrys Yamarno.
Laskar Pelangi adalah film yang membekas di hati saya. Nilai produksinya mungkin sederhana, tetapi dia bicara pendidikan, cita-cita, khayalan, petualangan, persahabatan, dan hal-hal yang membentuk karakter seseorang.
Terima kasih sudah menakhkodai cerita luar biasa ini, Riri Riza.
Tabik!
Salam,
Divai.
Tumblr media
Catatan : filmnya bisa ditonton secara legal di Netflix dan Disney+ Hotstar.
0 notes
maniacinema · 4 years ago
Text
Intan Paramaditha : Perempuan dalam Imaji dan Realita Sinema.
Tumblr media
Gender merupakan topik yang masih hangat untuk dibicarakan dalam berbagai aspek kehidupan tanpa terkecuali. Dalam ekosistem film sendiri bahkan terdapat teori film feminis yang muncul sejak perkembangan feminisme gelombang kedua yakni sekitar awal tahun 1970an. Teori ini digunakan untuk menganalisis film terutama dalam melihat bagaimana representasi perempuan di dalam film serta stereotip perempuan yang muncul setelah masyarakat menonton film tersebut. Seiring dengan munculnya teori ini, muncul pula berbagai organisasi perempuan dalam film.
Sebenarnya, hal ini tidak lepas dari fakta bahwa perempuan yang terlibat dalam industri film melalui berbagai peran seperti sutradara, produser, penulis, kritikus, programer festival, dan banyak posisi lainnya di industri film masih belum cukup terwakilkan. Dalam industri film hollywood sendiri ada istilah langit-langit seluloid (celluloid ceilling) yang mengacu pada kurangnya perwakilan perempuan dalam perekrutan dan pekerjaan di Hollywood. 
Bagaimana pandangan dan kultur atas perempuan di industri film pada akhirnya akan mempengaruhi bagaiamana perempuan berperan dalam ekosistem perfilman, diantaranya dari segi karir, komunitas, serta sekolah film. Paritas perempuaan di ekosistem film terutama dalam hal kesempatan, pembayaran, serta representasi inilah yang masih diperjuangkan hingga hari ini. Setidaknya demikian yang dikutip dari salah satu organisasi yang mengupayakan kesetaraan dan transformasi kultur perempuan dalam film, yakni Woman In Film. Lebih lanjut, kami melakukan wawancara bersama Intan Paramaditha dalam menggali peran dan permasalahan perempuan dalam film serta bagaimana kondisi film dan perempuan di Indonesia. Intan Paramaditha sendiri adalah seorang alumnus PhD dari kajian sinema di Universitas New York. Fokus studinya mengacu pada gender, seksualitas, politik dan budaya. Sekarang ia mengajar sebagai dosen di bidang kajian film dan media Universitas Macquarie, Sydney.
Simak wawancara kami berikut ini!
·Pertama mungkin tentang hal yang paling mendasar dari ‘film dan perempuan’. Sejak kapan, sih, mbak, perempuan dinilai punya peran dalam film?
Kesadaran tentang pentingnya perspektif perempuan sebagai pembuat film menguat seiring dengan berkembangnya teori film feminis di tahun 1970an. Kritikus feminis seperti Laura Mulvey menunjuk bahwa film-film arus utama, dalam hal ini sinema Hollywood klasik, dibuat oleh laki-laki dan menjadikan perempuan sebagai obyek hasrat penonton laki-laki. Karena itu teori film feminis mempersoalkan masalah representasi dan mengadvokasi film-film yang dibuat oleh sutradara perempuan. Di Indonesia sendiri, sebelum reformasi, peran penting buat perempuan sangat terbatas, misalnya sebagai aktor. Munculnya sutradara dan produser perempuan bertepatan dengan keterbukaan wacana gender dan seksualitas di akhir 90-an, serta hadirnya generasi pembuat film baru yang lepas dari tradisi ‘nyantrik’ dengan sutradara senior laki-laki.
Frase ‘dinilai punya peran’ ini menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Sejak abad 20 sebenarnya perempuan selalu punya peran. Editor The Man with the Movie Camera karya Dziga Vertov adalah perempuan. Tapi pertanyaannya: siapa yang menentukan nilai? Banyak sekali nama perempuan yang disingkirkan dan dianggap tidak penting dalam historiografi. Dalam beberapa dekade terakhir, peneliti sejarah dan pelaku arsip film berupaya untuk menelaah ulang perempuan-perempuan yang terhapus dari sejarah. Di negara-negara Selata, yang praktik penelitian dan pengarsipannya tidak banyak didukung pemerintah, ini masih menjadi tantangan besar.
 · Dilihat sudut pandang lain selain teknis, seberapa besar atau pentingnya perempuan berperan dalam membangun ekosistem perfilman?
Harus lebih banyak perempuan berada di posisi pengambil keputusan terkait arah estetika maupun politik film, baik itu sebagai sutradara, penulis, atau produser. Secara estetika, banyak sutradara perempuan yang menyodorkan estetika feminis baru, merespon hubungan antara gambar dan kamera dari sudut pandang feminis. Sebagai contoh, lihat esai saya tentang Pasir Berbisik di Jump Cut.
Produser perempuan cenderung lebih awas dalam hal representasi gender dan seksualitas. Bagaimana perempuan ditampilkan dalam film? Sebagai tokoh yang punya agensi atau pelengkap? Mereka juga lebih peka terhadap persoalan relasi kuasa. Apakah perempuan menempati posisi-posisi strategis, atau hanya di-admin-kan saja dalam proses pembuatan film? Beberapa produser, seperti Mira Lesmana, juga sangat berhati-hati soal potensi pelecehan seksual dan memastikan ada code of conduct yang melindungi perempuan. Memang tidak semua pekerja film perempuan mengidentifikasikan diri sebagai feminis. Tapi sulit sekali membayangkan keputusan diambil tanpa dipengaruhi oleh pengalaman, misalnya pengalaman dilecehkan, dianggap remeh, dianggap tidak kompeten, dijadikan obyek seksual. Perempuan yang tidak pernah mengalami semua ini mungkin sangat privileged.
   Bagaimana gambaran-gambaran perempuan dalam film selama ini?
Di awal tahun 2000an banyak sekali hal baru dari segi bagaimana perempuan digambarkan. Pembuat film seperti Mira Lesmana, Nia Dinata, dan Nan Achnas menggugat obyektifikasi perempuan dengan menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan kompleks. Sayangnya saya lihat akhir-akhir ini justru obyektifikasi perempuan dinormalisasi. Ini bisa kita lihat di film Dilan, yang buat saya sangat bermasalah karena glorifikasi maskulinitas militer di dalamnya. Di film itu, tokoh Milea seperti tak punya fungsi apa-apa selain menjadi obyek hasrat laki-laki, dari yang sebaya sampai guru sekolah. Dia dipandang, ditimbang, dan diukur oleh orang di sekitarnya berdasarkan satu kriteria saja: cantik.
 Di satu sisi, kita senang ada pembuat film feminis seperti Mouly Surya yang menghasilkan film seperti Marlina. Film menyodorkan kritik tajam terhadap sistem patriarki dengan cara yang sangat segar, yaitu merespon estetika genre Western. Tapi di sisi lain, penggambaran perempuan seperti dalam film Dilan juga makin banyak dan dianggap wajar. Belum lagi kerangka patriarki yang membingkai film-film Islami. Mungkin bisa dibilang kita melihat kemunduran dari segi wacana gender dalam film.
 Bicara soal komoditas, apakah kebanyakan film hari ini masih sulit untuk lepas dari konsep “male gaze” sebagai upaya menarik penonton, mbak?
    Ya, tentu saja. Contohnya ya tokoh Milea dalam film Dilan tadi. Nilai perempuan – baik itu pacar cantik seperti Milea, maupun tokoh ibu yang mengayomi – selalu diukur dari sudut pandang laki-laki, ‘kan?
·Ada tidak, mbak, pengaruh dari perspektif sutradara atau penulis (skrip) perempuan terhadap karya-karya film yang dihasilkan?
Ya, tentu ada. Kita nggak akan punya film yang menyodorkan kritik terhadap poligami dari sudut pandang perempuan kalau tidak ada Berbagi Suami karya Nia Dinata. Kita nggak akan punya film yang bicara tentang kekerasan terhadap perempuan secara demikian subtil kalau tidak ada Pasir Berbisik karya Nan Achnas.
 Kenapa, ya, mbak, bicara tentang film dan perempuan rasanya masih tabu untuk dibahas terutama di Indonesia? Mungkin belakangan ini mulai ramai dibahas. Tapi selama ini, kenapa masih kurang? Apa karena sumber daya manusianya?
Tabu menurut siapa? Kalau ada yang menganggap ini isu yang tabu, maka kita harus bertanya: mengapa penyingkiran isu perempuan berlangsung? Kepentingan siapa yang sedang diperjuangkan? Sejak tahun 2000-an sebetulnya selalu ada ruang membicarakan isu gender dalam film. Dulu bahkan ada Festival Film Perempuan. Tapi buat sebagian kalangan, isu ini masih dianggap tidak penting. Ini cara pandang yang mesti dibongkar.
·Menurut Mbak Intan, bagaimana keberadaan perempuan dalam film di Indonesia (yang mencakup semua lini)?
Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, setelah era reformasi, kita punya lebih banyak perempuan yang menduduki posisi-posisi strategis dalam film. Sebelum itu, sejak tahun 1920-an, perempuan yang menjadi sutradara maupun produser bisa dihitung dengan jadi. Sekarang kita punya Mouly Surya, Kamila Andini, dan produser hebat seperti Meiske Taurisia, misalnya. Pengaruh perempuan di dunia film relatif lebih besar dibanding ranah seni lainnya, seperti teater misalnya. Meskipun ini cukup menjanjikan, tentu saja bias patriarkis masih ada.
· Apa yang membuat Indonesia masih kekurangan sosok perempuan terutama dalam lingkungan filmnya?
Sebetulnya yang menjadi masalah bukan soal kurangnya sosok perempuan, tapi apakah komunitas film dapat menciptakan lingkungan yang menumbuhkan dan juga aman buat perempuan. Dari Lisabona Rahman dan kawan-kawan, kita tahu pelecehan dan kekerasan seksual masih terjadi di komunitas film. Ini sebabnya mereka bikin kampanye #sinematikgakharustoxic. Selain itu, bias respon atas karya sutradara perempuan kadang sangat berbeda dengan karya sutradara laki-laki. Film Marlina misalnya, meskipun dikagumi banyak orang, menuai kritikan pedas karena banyak orang yang merasa terganggu dengan representasi perlawanan perempuan lewat imaji pemenggalan kepala.
·Menurut Mbak Intan, apa tantangan atau kendala utama perempuan untuk survive dalam ekosistem film ini? Baik  nilai-nilai penggambaran yang dimuat dalam karya film maupun dari segi peran perempuan secara teknis?
Keberlangsungan adalah salah satu tantangan. Biasanya, dampak interupsi karier karena punya anak cenderung lebih besar dialami perempuan. Setelah punya anak, sulit sekali buat perempuan untuk kembali ke jalannya dengan mulus, business as usual. Ada sih beberapa perempuan yang tidak mengalami ini, tapi biasanya mereka punya privilege tertentu, misalnya punya keluarga yang bersikap terbuka dan memiliki segala macam infrastruktur ekonomi dan sosial. Kita butuh grant untuk pembuat film perempuan untuk survive secara ekonomi, juga untuk mendorong dia belajar lebih banyak lagi agar karyanya lebih tajam.
Terakhir, kalau boleh kasih saran atau pesan, dong, mbak untuk jadi penyemangat perempuan dalam berkarir di industri film.
Buat saya, di bidang film atau seni lainnya, yang terpenting adalah semangat mempertanyakan tatanan. Kalau lingkungan kreatif bikin gak semangat atau malah toxic dan mengancam, pertanyakan kenapa kita harus kompromi, lalu cari sekutu dan coba ubah kondisi itu.
(Wawancara ini pernah diunggah di akun Instagram Maniacinema, Mei 2020)
Diwawancarai dan ditulis oleh : Agnina Rahmadinia
Desain oleh : Hotman Nasution
Agnina Rahmadinia
Tumblr media
Alumni jurusan Ilmu Komunikasi yang di tengah kegiatannya sedikit-sedikit nonton, tapi nontonnya sedikit-sedikit.
Tumblr media
1 note · View note
akuaktor · 5 years ago
Text
[Flash Review] Humba Dreams; Isu yang Terbalut Rapi
Film ini tak hanya bicara soal kehidupan Martin, tapi ia juga bicara soal isu besar yang dibalut rapi.
Humba Dreams adalah sebuah film yang disutradarai oleh Riri Riza, dibintangi oleh J.S Khairen dan Ully Triani. Film ini menjadi film pertama yang kami tonton di hari ketiga. Alasan memilih film ini sebenarnya sederhana. Kita tahu bahwa di Indonesia, lebih sulit menonton film yang sudah turun bioskop dari pada bertemu dengan filmakernya. Maka kami tak ingin melewatkan kesempatan ini. 
Humba Dreams…
View On WordPress
0 notes