Tumgik
#yena-sama
toxycodone · 2 months
Note
This is probably gonna be so weird and you don't have to answer at all if you're not comfortable but could you share what your haikyuu blog was? Bc I used to follow a hq blog exactly like you're describing (and I was one of the people rping as characters LMAO) I just think it would be crazy if I ended up following you here after I moved out of my hq phase lol
LOL I don’t mind! I think it was crocyoota, before that it was serves-up for a while…and before that it was yena-sama me thinks
but if you managed to follow me back here that’s kinda amazing. There’s no connection between my old blog and this one besides like. 4-5 mutuals.
2 notes · View notes
punyajeno · 6 days
Text
Huang Renjun
A one shot fanfiction based on Afgan's Song; Ku Dengannya Kau Dengan Dia. Part of NCT Dream 00L as Indonesian broken heart song series.
"Hai, Jun,” sapamu sambil menghampiri laki-laki yang duduk di sudut kedai itu sendirian, tampak tenggelam dalam benaknya yang tak pernah berhenti berputar.
Tak bisa kamu pungkiri, kamu masih mengingat banyak hal tentang laki-laki itu. Terlalu banyak untuk seseorang yang bukan lagi siapa-siapa dalam hidupnya.
Kalian pernah saling mengisi. Mengisi hari-hari satu sama lain dengan sejuta warna. Meninggalkan sejuta kenangan yang tidak akan bisa kamu lupakan. Kamu pernah menjadi pemilik hati Renjun dan Renjun pernah menjadi pemilik hatimu. Pemilik yang pertama walau akhirnya kalian harus berpisah.
Benar apa yang dikatakan orang-orang, cinta pertama memang sulit untuk dilupakan.
“Hai, dateng sendirian aja?” tanyanya dengan senyum ramah tersungging di bibir indahnya. Tanpa sadar tubuhnya sudah bangkit membantumu memosisikan kursi untuk duduk.
Kamu mengangguk sebagai jawaban. “Kalo kamu ke sini sama siapa?”
“Ditemenin sama Yena, tapi dia lagi keliling-keliling.”
Renjun bisa melihat senyum manis memudar dari wajahmu begitu kalimat itu selesai diucapkan. Kenapa? Ia juga tidak yakin. Namun untuk sesaat hatinya menghangat ketika ia membiarkan dirinya berpikir bahwa kamu tidak menyukainya. Bahwa kamu cemburu mendengarnya menyebutkan nama wanita lain.
Tapi rasanya tidak pantas sehingga Renjun cepat-cepat mengusir pikiran buruk itu dari benaknya. Sebab sekarang kalian hanya tinggal kenangan. Kamu sudah bahagia dengan pilihanmu. Dan Renjun terus meyakinkan dirinya bahwa ia juga sudah bahagia dengan pilihannya.
Terkadang Renjun masih bertanya-tanya, apakah mengakhiri hubungan kalian adalah pilihan terbaik? Nyatanya sampai sekarang kamu masih mengisi hatinya sekeras apapun ia berusaha melupakan rasa yang pernah ada di antara kalian.
Namun, Renjun berusaha untuk menjadi pria yang tidak egois. Dari awal, di dunia ini memang tidak ada tempat untuk kalian. Kamu yang sudah diikat oleh orang tuamu untuk pria lain dan ia yang tidak memiliki keberanian untuk memperjuangkanmu. 
Karena mau sekeras apapun kalian berusaha, pada akhirnya selalu ada yang tersakiti. Kamu bilang, kamu akan memilihnya walau harus kehilangan segalanya. Tapi Renjun tidak berani memintamu memilih. Terutama antara dirinya dan kedua orang tuamu. Itu seharusnya tidak pernah menjadi pilihan.
Jadi ia memilih untuk mengalah dan melepaskanmu.
Kamu mengeluarkan sepucuk undangan dengan tinta emas menghiasi sampulnya.
“Selamat ya, gak nyangka sebentar lagi kamu bakalan jadi istri orang.” Kalimat itu diakhiri dengan tawa kecil Renjun.
Tawa kecil yang terdengar palsu di telingamu. Harusnya yang terpampang di sana adalah nama Renjun dan namamu. Harusnya sekarang kalian sedang berdebat kecil mengenai souvenir apa yang kalian inginkan.
Kamu marah. Marah kepada Renjun yang dengan mudahnya melepaskanmu. Marah dengan Renjun yang tidak mau memperjuangkan kata kita di antara kalian. Marah pada keadaan yang tidak membiarkan kalian bersama.
Kamu sudah siap jika harus kehilangan semuanya selama ada Renjun di sisimu. Karena bagimu, Renjun adalah segalanya.
Tapi ucapan laki-laki itu masih bersarang di ingatanmu. Ucapan yang mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada tempat untuk kalian.
Kamu menyangkalnya. Mengatakan bahwa duniamu adalah laki-laki dengan nama lengkap Huang Renjun. 
Tapi yang kamu dapatkan adalah balasan bahwa kamu terlalu kekanak-kanakan. Bahwa kamu egois, hanya mementingkan diri sendiri, dan serentetan kata-kata menyakitkan lainnya.
Jadi akhirnya kamu memaksa dirimu untuk menjadi dewasa.
Dan mungkin itu adalah pilihan terbaik. Renjun di hadapanmu terlihat baik-baik saja. Terlihat lebih bahagia dengan kekasihnya yang bukan lagi dirimu. 
Mungkin benar kamu yang terlalu egois dengan menganggap Renjun sebagai duniamu, sementara kamu hanyalah salah satu bintang di langitnya.
Jadi kamu memutuskan, setelah hari ini, kamu akan belajar untuk mengikhlaskannya. Belajar untuk berdamai dengan kenyataan bahwa kalian memiliki takdir masing-masing. Bahwa setelah ini, kalian hanyalah dua orang asing dengan sejuta kenangan.
"Iya, kebetulan juga ini lagi buru-buru, Jun. Jadi mampir sebentar aja buat kasih ini. Jangan sampai gak datang ya." Kamu kembali bangun dari dudukmu.
Bohong. Sebenarnya kamu tidak sedang dikejar waktu. Namun, rasanya kamu tidak sanggup jika harus berlama-lama dengan lawan bicaramu itu.
"Cepet banget, bukan karena takut ketemu aku kan?"
Tepat sasaran. Ia memang mengenalmu dengan sangat baik. Kamu memang takut akan meluapkan isi hatimu tiba-tiba dan kembali memohon agar pria itu membawamu pergi jika terlalu lama di sana.
"Apa sih, enggak kok, habis ini memang ada janji lagi. Aku duluan ya." Kamu melambaikan tangan sambil berjalan pergi dengan cepat tanpa menunggu balasan.
"Maaf. Terus hidup dengan bahagia, ya," lirih Renjun menatap kepergianmu.
Ia pun bangkit dari duduknya, pergi meninggalkan tempat itu dengan sepucuk surat yang digenggamnya erat. Sebelum akhirnya ia memasukkan benda itu ke dalam kotak berwana kuning di samping pintu.
Ini adalah selamat tinggal darinya. Selamat tinggal untuk kalian.
Ia tidak akan datang. Bukan karena ia tidak menghargaimu. Tapi, ia takut kalau-kalau ia akan bertindak gegabah dan malah merusak kebahagiaanmu.
Lalu mengapa menerima ajakanmu bertemu? Mungkin ia hanya ingin melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Dan ia juga akan berpura-pura untuk baik-baik saja selama sisa hidupnya
Atau mungkin, di dalam hati kecilnya, ia masih mengharapkanmu. Berharap bahwa kamu akan mengatakan bahwa kamu masih ingin bersamanya. Berharap bahwa tiba-tiba ia memiliki keberanian untuk memperjuangkanmu. Bahwa ia masih ingin terus berada di dekatmu.
Takdir memang kejam. Tapi memangnya siapa dia yang berani menyalahkan takdir? Dia hanya pria menyedihkan yang tidak berani memperjuangkan wanitanya.
0 notes
putridi2024 · 7 months
Text
23 Februari 2024
drg azhari meninggal :(
akhirnya pulang cepet dan takziah ke tante yena, so sad liat ceuceu..
di kantor sendirian bgt gaada org di kepegnya pada pergi
karena bener ya, sudah sedekat apapun sama Ramadhan, kalau tidak ditakdirkan sampai, ya engga.. 😔
malamnya mam sop igaaa
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
olearea · 1 year
Text
Tumblr media
Happy birthday my love, Adhis.
Another new age, another happiness for you!! Happy birthday to my best friend, my sister, my soulmate, my Yena to my Yujin, and my everything. ♡
Gue gak bakal bosen buat bilang kalau gue tuh beruntung banget punya lu sebagai temen gue, it’s like you’re my other half huhu gue sayang bangeeet sama lu. Semoga di umur yang sekarang, lu jadi makin bahagia yaaa!!! No more sad atau orang yang bikin lu sedih akan gue tonjok.
Thank you for everything that you’ve done to me, all your good words are always have a good meaning for me, and it means a lot. Thank you for being born! For being a nice and a good person. You deserve any good things in this world.
Always remember that I always love you and I will always be there when you need someone to talk or just anything. I love you. ♡
Written with much love, Cath.
0 notes
libbieforsure · 1 year
Text
Tumblr media
ini namanya Libbie, tapi akhir-akhir ini panggilan favorit aku ke dia itu ade soalnya lucu banget. pertama kenal bie itu gara-gara aku di hit sama dia buat jadi fwa nya, turns out kita semakin deket sebagai partner berbagi afeksi dan akhirnya mutusin buat jadian. I actually never thought we've come this far, but I'm glad we're here. keputusan aku buat jadiin bie milikku seutuhnya is my best decision in 2023 so far, and i'll never regret it. I'm so grateful being yours, Bie.
Bie ini sukaa banget ngambek, tapi ngambeknya tuh lucu banget gitu apalagi kalau abis aku isengin terus langsung "NYEBELIN LU" kayak kemarin wkwkw, terus suka kirim stiker kucing berapi-api, bukannya serem malah tambah lucuu. bie ini orangnya menurutku gak neko-neko, nggak ribet juga, itu salah satu alesan yang buat aku makin sayang sama dia. bie inii demeeen banget sama mie, dia selalu bilang dia jatuh cinta sama mie, padahal mie yang bikin dia sakit. udah aku ingetin, jangan dilanggar ya biee? buat kesehatan kamu sendiri. terus bie ini orangnya jail banget, setiap aku bilang 'i love you' pasti dia bales 'makasi' harus aku bilang berkali-kali dulu baru dia bales, untung pacarku. dia suka banget sama pacar pacar dia dari anime blue lock, khususnya kaiser. aku sebenernya nggak akan ngebatasin dia suka sama apa sih tapi kadang aku suka cemburu dikit sama gepengnya itu tapi sedikiiit aja, segini 🤏 soalnya aku tau bie sayang benerannya sama aku. dia ini suka sebel kalau aku udah bahas yena atau kurumi padahal aku bercanda aja biar dia kesel dikit wkwk. aku suka panggil dia libbie sandwich, bahkan nama kontak dia aku namain libbie sandwich karena ya gak tau aku pas liat stiker kucing jadi topping sandwich aku malah kepikiran bie hahaha, jadilah libbie sandwich. dia kadang ngambek aku panggil gitu, terus aku tanya dia nggak suka kah sama panggilannya? tapi dia bilang dia suka cuman bikin salting aja, wkwkwk lucu banget kan pacar aku? iyalah kan pacarku. aku suka banget kalau bie udah ngasih aku pap lucu, terus dia juga suka buat some beautiful words that only made for me, i feel so loved by you, bie. aku sayang banget sama bie, I love you and always, libbie.
0 notes
thevaisnava · 2 years
Text
One can protect oneself from all kinds of Spiritual and Material dangers by hearing and chanting this stotra mentioned in Brahmanda purana. The phalashruthi of this stotram mentions that one can get rid of all kinds of fear by reciting this prayer which was originally chanted by the great devotee Prahlada Maharaja. narasimha-kavacaṁ vakṣye prahlādenoditaṁ purā sarva-rakṣā-karaṁ puṇyaṁ sarvopadrava-nāśanam sarva-sampat-karaṁ caiva svarga-mokṣa-pradāyakam dhyātvā nṛsiṁhaṁ deveśaṁ hema-siṁhāsana-sthitam vivṛtāsyaṁ tri-nayanaṁ śarad-indu-sama-prabham lakṣmyāliṅgita-vāmāṅgam vibhūtibhir upāśritam catur-bhujaṁ komalāṅgaṁ svarṇa-kuṇḍala-śobhitam śriyāsu-śobhitoraskaṁ ratna-keyūra-mudritam tapta-kāncana-sankāśaṁ pīta-nirmala-vāsasam indrādi-sura-mauliṣṭha sphuran māṇikya-dīptibhiḥ virājita-pada-dvandvaṁ śaṅkha-cakrādi-hetibhiḥ garutmatā chavinayāt stūyamānam mudānvitam sva-hṛt-kamala-saṁvāsaṁ kṛtvā tu kavacaṁ pathet nṛsiṁho me śirah pātu loka-raksātma-sambhavah sarvago ’pi stambha-vāsaḥ phālaṁ me rakṣatu dhvanim nṛsiṁho me dṛśau pātu soma-sūryāgni-locanaḥ smṛtiṁ me pātu nṛhariḥ muni-varya-stuti-priyaḥ nāsāṁ me siṁha-nāśas tu mukhaṁ lakṣmī-mukha-priyaḥ sarva-vidyādhipaḥ pātu nṛsiṁho rasanām mama vaktraṁ pātv indu-vadanaḥ sadā prahlāda-vanditaḥ nṛsiṁhah pātu me kaṇṭhaṁ skandhau bhū-bharaṇānta-kṛt divyāstra-śobhita-bhujo nṛsiṁhaḥ pātu me bhujau karau me deva-varado nṛsiṁhaḥ pātu sarvataḥ hṛdayaṁ yogi-sādhyaś ca nivāsaṁ pātu me hariḥ madhyaṁ pātu hiraṇyāksa vakṣaḥ-kukṣi-vidāraṇaḥ nābhiṁ me pātu nṛhariḥ sva-nābhi-brahma-saṁstutaḥ brahmāṇḍa-koṭayaḥ kaṭyāṁ yasyāsau pātu me kaṭim guhyaṁ me pātu guhyānāṁ mantrāṇām guhya-rūpa-dhṛk ūrū manobhavaḥ pātu jānunī nara-rūpa-dhṛk jaṅghe pātu dharā-bhāra hartā yo ’sau nṛ-keśarī sura-rājya-pradaḥ pātu pādau me nṛharīśvaraḥ sahasra-śīrṣā-puruṣaḥ pātu me sarvaśas tanum mahograḥ pūrvataḥ pātu mahā-vīrāgrajo ’gnitaḥ mahā-viṣṇuḥ dakṣiṇe tu mahā-jvālas tu nairṛtau paścime pātu sarveśo diśi me sarvatomukhaḥ nṛsiṁhaḥ pātu vāyavyāṁ saumyāṁ bheeṣaṇa-vigrahaḥ īśānyāṁ pātu bhadro me sarva-maṅgala-dāyakaḥ saṁsāra-bhayadaḥ pātu mṛtyor mṛtyur nṛ-keśarī idaṁ nṛsiṁha-kavacaṁ prahlāda-mukha-maṅḍitam bhaktimān yaḥ paṭhennityam sarva-pāpaiḥ pramucyate putravān dhanavān loke dīrghāyur upajāyate yaṁ yaṁ kāmayate kāmaṁ taṁ taṁ prāpnoty asaṁśayam sarvatra jayam āpnoti sarvatra vijayī bhavet bhūmy antarīkṣa-divyānāṁ grahānāṁ vinivāraṇam vṛścikoraga-sambhūta viṣāpaharaṇaṁ param brahma-rākṣasa-yakṣāṇāṁ dūrotsāraṇa-kāraṇam bhūrje vā tālapatre vā kavacaṁ likhitaṁ śubham kara-mūle dhṛtaṁ yena sidhyeyuḥ karma-siddhayaḥ devāsura-manuṣyeṣu svaṁ svaṁ eva jayaṁ labhet eka-sandhyaṁ tri-sandhyaṁ vā yaḥ paṭhen niyato naraḥ sarva-maṅgala-māṅgalyaṁ bhuktiṁ muktiṁ ca vindati dvā-triṁśati-sahasrāṇi paṭhechhuddhātmabhir nribhih kavacasyāsya mantrasya mantra-siddhiḥ prajāyate anena mantra-rājena kṛtvā bhasmābhi maṅtraṇam tilakaṁ bibhriyād yas tu tasya gṛaha-bhayaṁ haret tri-vāraṁ japamānas tu dattaṁ vāryābhimantrya ca prāśaye dyam naram mantraṁ nṛsiṁha-dhyānamācaret tasya rogāḥ praṇaśyanti ye ca syuḥ kukṣi-sambhavāḥ kimatra bahunoktena nṛsimha sadṛśo bhavet manasā cintitam yattu sa tacchāpnotya samśayaṁ garjantaṁ garjayantam nija-bhuja-patalaṁ sphoṭayantaṁ hatantaṁ dipyantaṁ tāpayantaṁ divi bhuvi ditijaṁ kṣepayantam kṣipantam krandantaṁ roṣayantaṁ diśi diśi satataṁ saṁharantaṁ bharantaṁ vīkṣantaṁ ghūrṇayantaṁ kara-nikara-śataiḥ divya-siṁhaṁ namāmi iti śrī-brahmāṇḍa-purāṇe prahlādoktaṁ śrī-nṛsiṁha-kavacaṁ sampūrṇam.
0 notes
nejiraez · 5 years
Note
I love to think of Bakugou being the kind of dude who’s like “IS THAT A WEED?? IM CALLING THE POLICE.” But like...he gets high once on accident and doesn’t wanna admit he likes it. Like that episode of spongebob where Squidward likes Krabby Patties. (Kaminari: you like weed, don’t you Bakugou~?) and also,,,,high baku would be SO CUTE...he’s just vibing. And saying dumb shit. 🥺 As soon as he’s sober u wanna get him high again LMAO
ORJFHEOEKDM really though
Bakugou would be so happy and touchy and cuddly when high because he’s so out of it???? LIKE SOR COME CATCH THIS KISS
like he’d zone out at moments where moments he’s just staring at you and just straight up vibing like HGDHHTHTHUGHHHHHH
i love bakugou ~
26 notes · View notes
baby-fites · 5 years
Note
I just found this blog and let me tell you...T H A N K YOU. I have decided to stan forever. Your posts are TOO GOOD. 😫💖
aaaaAAAAAAHHHHHHHH???
4 notes · View notes
pinkanonwrites · 6 years
Text
(My gift to you, @yena-sama, as I am also furry trash.)
“Mirio, stop.”
“Sorry...”
“Mirio!”
“It’s so fuzzy though!”
You flicked your tail, pulling it for the umpteenth time from Mirio’s grasp. He whined, chasing after it with his fingers, but you rolled over onto your back to protect it from his grasp. Defeated, he draped himself over your stomach like a big, wiggly weighted blanket, forcing the air out of your lungs.
“I wanna play with it.” His voice was muffled from where it was mushed into the fabric of your comforter. “It’s got a little floof on it.” You stuck your tongue out at him, before turning your attention back to your phone.
“Tough break.”
“Yenaaaaaaaaaa.”
“Ignoring you now.”
“Yenaaaaaaa! The tail!”
“It’s my tail, Mirio! I know what it looks like! Now get off of me!”
“Oh no, I seem to have forgotten how to move.”
“MIRIO!”
“What a shame. If only I could be strengthened, perhaps by a little fuzzy tail. Maybe then I would have the strength to go on. Oh well, guess I’ll lie here forever.”
“I’m gonna beat your ass. You know that, right?”
“What was that? I couldn’t hear anything over the sound of my own heart breaking. How cruel to deny someone the fuzzies when they need it most.”
“Okay, beating cancelled. I’m gonna kill you instead.”
40 notes · View notes
bunni-slime · 6 years
Photo
Tumblr media
imma just post this now since i was being super huge anxious mess and had sent this fanart anon'ly to @yena-sama of her SI and Nejire but im still rly proud of how this turned out bwaaaaaa anyway yena best girl ? - yes
8 notes · View notes
writinghq · 6 years
Note
WOAH HEY YALL!!! It’s been a while huh??? What’s up?? I disappeared for like a month and I’m just getting back, but it feels great to be back on here! (This is serves-up aka yena btw I just went thru a url change)
HEY! we’re glad to see you again! it has been so long djfksh we basically disappeared too but like for more than a month hh. well, hikari is in uni right now surviving and is doing multiple things to keep herself motivated! i’m on a semestral break and doing nothin but writing and sleeping so far LMAO. how about you? what’s been goin on?
- darian
6 notes · View notes
mythtamer100 · 6 years
Text
Tumblr media Tumblr media
Another gift for @yena-sama!! This time it is of her BNHA SI Yena!!! This was initially intended to be a sketch, but I ended up having so much fun that inked it and colored it! The picture is not perfect, but I hope you all enjoy it 😁❤️
9 notes · View notes
masteroverthinker · 2 years
Text
Wonseok x Reader - After Rain Date
Sampai beberapa menit yang lalu, kami masih tertawa dan bercanda. Sekarang, kami sedang terburu-buru melepas sepatu dan kaus kaki yang basah kuyup agar bisa segera masuk rumah dan menghangatkan tubuh.
“Ah, gawat. Lantainya bakal basah semua, kita bisa dibunuh Serim,” ucap Wonseok. Ada ketakutan di suaranya. Walau aku tidak bisa mengintip isi kepalanya, aku yakin dia sedang membayangkan Serim yang mengamuk sambil membawa panci emas.
“Kita? Kamu doang, kali. Aku dan Serim kan bestie.”
Wonseok merengut. “Jahat! Kamu tega membiarkan aku menderita sendirian?”
Aku hanya tertawa. Namun, saat kami masuk, ternyata tidak ada siapa-siapa di Hostel.
“Kayaknya nyawamu juga selamat hari ini,” aku menggoda Wonseok seraya menyenggol pinggangnya. “Serim dan yang lainnya nggak ada. Mereka di mana?”
“Aneh.” Wonseok bergumam seraya mengecek ponselnya. Ia lantas berseru, “Oh! Ternyata tadi Serim sudah kirim chat. Dia, Eunggo-Taenggo, dan Yejin-Eunbi masih di truk tteokbokki. Hyun dan Yena berteduh di tempat penitipan anak.”
“Hujannya memang deras banget, sih. Hanya orang bodoh yang memaksakan pulang.”
“Berarti kita bodoh?”
Pertanyaan itu terdengar menggelikan sekaligus menyebalkan, tetapi tidak ada gunanya mengelak. Kuangkat bahuku sambil menyahut, “Yang ngajakin ‘kan kamu.”
“Tapi kamu juga mau.”
“Sudah ah, aku kedinginan, tahu!” balasku. “Kita harus cepat mandi air panas dan ganti pakaian, kalau nggak, nanti kita sakit.”
Tangan Wonseok yang basah menepuk-nepuk kepalaku. Rambutku yang basah dan lengket tidak menghalanginya untuk melakukan itu karena dia tahu aku sangat senang kalau kepalaku ditepuk.
“Kamu mandi duluan, ya. Biar aku yang siapkan airnya—kamu ambil handuk saja untuk mengeringkan diri.”
Sempat terbesit di benakku untuk menolak dan mengajukan diri untuk menyiapkan air panas menggantikan dirinya. Namun, aku tahu, Wonseok tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku hanya akan menyia-nyiakan waktu dan membuat kami berdua kedinginan lebih lama. Jadi, kuputuskan untuk mengangguk dan mensyukuri kenyataan bahwa pacarku sangat perhatian.
“Terima kasih. Aku ambilkan handuk buatmu juga, ya?”
“Boleh.”
Kami pun mengerjakan tugas kami masing-masing. Aku mengambil dua handuk dari lemari di samping kamar mandi, lalu berjalan ke dapur dan melemparkan salah satu handuk kepada Wonseok. Ia menangkapnya dengan tangkas. Kami sama-sama mengeringkan kepala kami menggunakan handuk. Gerakan kami begitu seirama seolah kami sengaja berlatih agar tampak kompak.
“Mau kubuatkan teh hangat? Kamu suka kalau gulanya banyak, ‘kan?” tanyaku.
Wonseok menggeleng. “Aku bisa bikin sendiri nanti, kamu duduk saja. Nanti kupanggil kalau air panasnya siap.”
“Ah… oke.”
Untungnya, ada kursi plastik di dekatku. Aku bisa duduk di sana tanpa perlu mengkhawatirkan pakaianku yang masih basah. Perlahan-lahan penyesalan mulai merayap di hatiku. Seharusnya tadi kami tidak bermain di bawah hujan. Tadi memang terasa seru.  Namun sekarang, saat aku merasa menggigil karena kedinginan, semua kesenangan itu tenggelam begitu saja.
Handuk yang kugunakan untuk mengeringkan rambut dan tubuh pun sudah basah, padahal aku belum kering. Parah. Sepertinya tadi kami terlalu lama membiarkan tubuh kami diguyur hujan.
“Hatchii!”
Mendadak aku bersin. Wonseok yang tadinya sedang menuangkan sebagian air panas ke teko langsung menoleh. Ia segera menghampiriku.
“Barusan kamu bersin?”
“I… iya.”
“Sial,” ia berbisik dengan sangat pelan hingga aku nyaris tak mendengarnya. “Air… air panasnya sudah siap, aku akan membawanya ke kamar mandi. Maaf ya… soalnya pemanas listrik yang dulu rusak sewaktu kebakaran.”
“Hei, ngapain minta maaf? Itu nggak ada hubungannya denganmu atau denganku.”
Aku mengacak rambut Wonseok, lalu menepuk pipinya agar dia sadar. Senyumnya yang memamerkan gigi lantas muncul. Helaan napas lega lantas mengikuti. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia pergi untuk menyiapkan air panas.
“Oh, iya!” celetukku. “Aku lupa soal—baju. Aku harus tanya Serim apakah aku boleh pinjam bajunya—“
“Nggak perlu,” potong Wonseok, “kamu bisa pakai bajuku. Aku sudah siapkan di kamar mandi waktu kamu ambil handuk tadi.”
Wajahku langsung agak memerah. Baju… baju Wonseok? Aku akan mengenakan bajunya Wonseok?
Pipi merah dan gestur salah tingkahku langsung menarik perhatian Wonseok. Ia terkekeh. “Jangan bengong, nanti airnya keburu dingin!”
“Oke, oke!”
Aku berlari kecil memasuki kamar mandi. Agar tidak membuang lebih banyak waktu, aku langsung mandi secepat kilat.
Sensasi hangat yang melegakan segera menjalari tubuhku. Dingin yang sebelumnya menggigit terusir pergi. Namun, yang namanya mandi air panas setelah hujan itu penuh jebakan. Aku tidak bisa berlama-lama menikmati bulir-bulir hangat itu mengalir di kulit. Bisa-bisa aku malah bertambah menggigil setelahnya.
Dan, selain itu, tentu saja aku juga harus memikirkan Wonseok.
Aku keluar dari kamar mandi dalam keadaan segar, harum, dan hangat. Kaus putih Wonseok yang berbau pengharum pakaian sachet membalut tubuhku. Ini agak berbeda dari gambaran ‘boyfriend’s clothes’ yang sering ada di internet. Kaus Wonseok tidak terlalu kebesaran untukku, tetapi aku tetap merasakan sensasi nyaman yang sulit dideskripsikan. Rasanya seperti sedang dipeluk erat tanpa perlu menderita sesak napas.
Sebaliknya, celana Wonseok jelas terlalu panjang untukku. Sekeras apa pun aku berusaha menggulungnya, celana itu akan kembali turun dan menyentuh lantai. Wonseok terkikik pelan melihatku berjalan dengan kepayahan karena celananya.
“Cocok!” komentar Wonseok. “Aku sudah buatkan teh manis panas, ambil di dapur, ya. Duduk di sofa ruang tengah saja. Kamu bisa pakai selimut yang kutaruh di sana.”
Ia lantas mengacak rambutku yang sudah kering, lalu masuk ke kamar mandi. Aku menunduk dengan wajah yang terasa panas. Keterkejutan dan kebingungan membuatku agak sulit memproses omongan Wonseok. Sejak awal, dia memang pacar yang perhatian dan siap siaga, tapi aku tidak menyangka sampai selevel ini. Jarang sekali Wonseok menampakkan sisi yang serius dan cekatan begini. Debar jantungku menjadi lebih cepat karenanya.
“Ya ampun, sadarlah,” aku mencubit pipiku sendiri.
Kakiku melangkah menuju dapur. Teh yang dibuat Wonseok masih mengepulkan uap. Aku meraihnya, lalu berjalan menuju ruang tengah dan menyelimuti tubuhku dengan selimut yang ia siapkan. Mungkin ini karena kebaikan hati Wonseok, mungkin juga karena aku sedang mengenakan kausnya, tetapi aku merasa mencium aromanya di mana-mana. Senyumnya terus terbayang di kepalaku.
Rasa manis dari teh itu segera memenuhi mulut. Setetes demi setetes ia membasahi kerongkonganku, hingga akhirnya membuat sekujur tubuhku terasa hangat, seolah sedang mendapat pelukan penuh kasih sayang.
Aku tersenyum. Setelah tadi sempat menyesal telah bermain hujan, aku kembali bersyukur. Mungkin… ini semua tidak seburuk yang kupikir.
Namun, aku tidak bisa meminum teh lebih banyak. Mendadak perutku terasa mual. Rasa hangat yang sejak tadi memenuhi tubuhku menjalar secara lebih merata—dalam artian buruk. Kepalaku yang perlahan-lahan terasa semakin berat adalah buktinya.
“Mungkin aku harus tiduran dulu….”
Sofa yang sebetulnya keras itu terasa sangat empuk karena aku mengantuk. Hanya saja, aku tidak bisa terlelap karena kepala dan perutku terus mengusik. Bagaimana bisa tidur nyenyak jika sedang pusing dan mual?
Akhirnya aku kembali ke posisi duduk. Aku menaikkan kakiku ke atas sofa, lalu menempelkan kepala ke lutut.
Dunia seperti berputar. Aku seperti sedang berputar-putar dalam kecepatan tinggi di atas tungku api.
“Aku sudah—eh… kamu kenapa?”
Suara berat Wonseok langsung menjadi parau. Ia duduk di sebelahku sambil memegang bahuku. Saat aku mengangkat kepala, ia langsung menyentuh dahiku.
“Kamu panas!” pekiknya. “Sial, seharusnya aku nggak ngajak kamu hujan-hujanan… maafkan aku. Ini semua gara-gara ide bodohku.”
“Hei, ‘kan aku juga nggak nolak. Berarti aku juga salah,” aku mencoba menghibur sambil tersenyum untuknya.
Tentu saja Wonseok tidak puas dengan jawaban itu. “Kamu pusing juga?”
“Yap, dan… agak mual. Sepertinya ini karena jadwal makanku hari ini berantakan.”
“Berantakan? Kamu belum makan siang atau apa?”
“Tadi pagi aku cuma minum susu, dan siangnya… sandwich telur. Itu juga baru kumakan setengah.”
“Hei, harusnya kamu bilang dari tadi!” Wonseok berseru dengan nada kaget. “Pantas saja kamu jadi separah ini. Belum makan dengan benar dan malah kena hujan—ah, aku memang bodoh… benar-benar bodoh.”
Ia lantas berdiri. Aku hanya bisa menatapnya dengan mata yang berkunang-kunang.
“Kamu harus makan. Kita nggak bisa pesan karena hujannya masih deras, jadi aku akan mencoba memasak sesuatu,” tegasnya.
Aku terkekeh. Kemampuan memasak Wonseok jauh di bawah rata-rata, tetapi aku tidak boleh membuatnya patah semangat. Sambil tersenyum, aku berbisik, “Terima kasih.”
Punggung lebarnya berbalik dan semakin menjauh. Aku berhenti memandanginya dan berusaha menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Samar-samar terdengar suara pintu kulkas dibuka, disusul suara lemari penyimpanan makanan dan helaan napas. Di dalam hati aku merasa geli karena berpikir bahwa Wonseok sedang pusing memikirkan harus memasak apa. Dia benar-benar manis.
Namun, setelah itu, tidak terdengar suara-suara yang seharusnya terdengar. Suara kompor dinyalakan, suara minyak menyentuh permukaan wajan panas, suara air yang meletup-letup, bahkan suara pisau menyentuh talenan pun tidak ada. Malah hanya ada suara kaki Wonseok yang sepertinya sedang mondar-mandir kebingungan.
“Nggak mungkin dia pakai teknik langkah tanpa suara saat masak, ‘kan?” gumamku. Karena tak sanggup membendung rasa penasaran, aku melempar selimut dan bangkit berdiri.
Saat tiba di dapur, aku dibuat heran oleh Wonseok yang sedang mematung sambil memegang sebungkus mi instan di tangannya.
“Wonseok? Kok kamu diam saja?”
Ia menoleh karena punggungnya kusentuh. “Hei, ngapain kamu ke sini? Kamu lagi pusing, harusnya duduk atau tiduran saja di sofa.”
“Aku bingung, soalnya kamu sudah ke dapur dari tadi, tapi aku nggak dengar suara kamu lagi masak,” jawabku. “Kenapa?”
Wonseok langsung menelan ludah. Ia menggaruk kepalanya dengan canggung, lalu menyahut, “Ternyata… ternyata nggak ada persediaan bahan makanan di sini. Kayaknya Serim belum belanja. Cuma ada mi instan dan telur satu butir.”
“Oh… ya sudah. Apa masalahnya?”
“Apa masalahnya?” ulang Wonseok dengan nada tak terima. “Kamu ‘kan lagi sakit, masa makan mi? Kalau kamu malah tambah parah gara-gara itu, gimana?”
Alisku terangkat karena merasa lucu. “Memang ada orang yang mati gara-gara makan mi setelah kehujanan? Justru itu menu favorit, tahu.”
“Tapi kamu ‘kan….”
“Tenang, aku pasti bakal baik-baik saja. Atau, kalau kamu memang kepikiran, nggak usah buat juga nggak apa.”
Persoalan sepele ini menjadi keputusan berat yang menentukan hidup dan mati bagi Wonseok. Cukup lama ia menghabiskan waktu untuk memandangiku, lalu memandang bungkus mi instan di tangannya. Wajahnya mengerut seolah tidak rela. Ia menarik napas panjang untuk menyiapkan hati.
“Oke, oke. Kayaknya memang lebih baik kamu makan ini daripada nggak makan apa-apa,” kata Wonseok sambil mengangguk berulang kali untuk meyakinkan dirinya sendiri. “Tapi habis makan ini, kamu harus minum obat, ya.”
Ugh. Obat—aku sangat benci obat. Biasanya aku baru mau minum obat jika rasa sakitku sudah tak tertahankan. Namun, kali ini pengecualian.
“Iya, iya.”
“Mi instannya aku hancurkan dan kurebus agak lama supaya jadi kayak bubur, ya.”
“Boleh. Kedengarannya enak.”
“Kalau begitu kamu duduk lagi, gih. Apa perlu aku gendong?”
Nada suara dan tatapan mata Wonseok mengandung harapan bahwa aku akan mengiyakan tawaran itu. Lucu banget. Mendadak pacarku berubah menjadi anak anjing besar yang sedang memohon dengan mata berbinar-binar.
“Nggak usah,” aku menolak dengan tegas. Wonseok memasang ekspresi kecewa, tetapi dia langsung berhenti setelah pundaknya kuberi pukulan pelan.
Tentu saja, ‘mi instan’ disebut demikian karena proses memasaknya tidak memakan waktu lama. Baru sebentar aku kembali duduk di sofa dan menyelimuti tubuh, Wonseok tahu-tahu sudah datang dengan dua mangkuk mi kuah yang uapnya membumbung tinggi. Aroma gurih dan sedap menyeruak masuk ke hidungku, membuatku nyaris meneteskan air liur.
“Yang ini punya kamu.” Wonseok menaruh mangkuk berwarna putih di hadapanku. Isinya memang tidak kelihatan seperti mi biasa. Mi keriting yang seharusnya panjang dan menggugah selera itu telah berubah menjadi kepingan-kepingan kecil, lembek, dan nyaris hancur.
Aku menelan ludah. Tadi aku bilang mi yang dibuat mirip bubur ‘terdengar enak’, tetapi saat ini, melihat visualnya justru membuatku semakin mual.
“Dan yang ini punyaku!” lanjut Wonseok dengan nada riang. Aku mengintip isi mangkuknya. Tentu saja, ia memasak mi yang ‘normal’—mi panjang yang keriting, berkilau, dan kenyal.
“Ah….”
“Eh? Ada apa?”
“Nggak! Nggak ada apa-apa,” aku menggeleng. Saat kulihat lagi mangkukku, kulihat sebuah perbedaan lain dibandingkan mangkuk Wonseok.
Telur yang dia bilang hanya tersisa sebutir… ia berikan untukku.
Sederhana—bahkan mungkin sepele—tetapi cukup untuk membuatku ingin menjerit dan memeluknya seerat mungkin. Aku memejamkan mata dan mengepalkan tangan untuk menahan diri. Tidak, tidak boleh… reaksiku harus kukendalikan.
“Wonseok.”
“Ya?”
“Terima kasih untuk, emm… telurnya.”
Kedua matanya terbelalak, seolah tidak menyangka aku akan berterima kasih hanya karena hal yang ‘memang sudah seharusnya’. Ia menyunggingkan seulas senyum, lalu mengusap kepalaku dengan lembut. “Sama-sama. Kalau kamu memang benar-benar berterima kasih, kamu harus makan sampai habis, ya.”
“Siap, Pak Bos!”
Kami berdua tertawa. Setelah itu, kami sama-sama menyantap mi di hadapan kami. Jelas sekali bahwa Wonseok sangat kelaparan—ia melahap mi dengan kecepatan tinggi. Setiap kunyahan ia lakukan dengan sepenuh hati. Sebaliknya, aku tidak bisa menikmati mi di hadapanku meski merasa lapar. Rasa mual menurunkan nafsu makanku, jadi aku lebih banyak mengaduk mi itu berkali-kali sambil menghirup kuahnya sedikit demi sedikit.
Wonseok menyadari hal itu. “Kamu nggak nafsu, ya?”
“Eh…” aku mengangguk, “begitulah.”
Pria itu menggigit bibirnya, seolah menyesali sesuatu. Alis tebalnya mengerut. Aku buru-buru menambahkan, “Eh, tapi ini bukan masalah besar, kok. Aku cuma nggak bisa makan cepat-cepat kayak kamu. Tapi aku pasti akan habiskan semuanya.”
“Maaf.”
Kesedihan dan penyesalan semakin tergambar jelas di wajahnya. Bahkan… aku bisa melihat ketidakberdayaan tercampur. Aku menepuk bahunya dengan niat menghibur. “Aku sudah bilang ‘kan, kamu nggak sepenuhnya salah karena aku juga mau—“
“Bukan itu.”
“Bukan itu?” aku mengulang dengan heran. “Lalu apa maksudmu?”
“Seandainya aku punya mobil, kita nggak perlu naik kendaraan umum,” tutur Wonseok, suaranya parau. “Lalu setelah itu, kita nggak perlu hujan-hujanan. Lalu, kalau saja pemanas listrik itu bisa diperbaiki… aku dan Hyun memang bisa memperbaiki barang, tapi harus ada alat yang diganti dan harganya terlalu mahal.”
Ia berhenti berbicara sejenak. Kepalanya terangkat, matanya menatap langit-langit dengan tatapan sedih. “Kalau saja aku bisa membeli lebih banyak bahan makanan, sesuatu yang lebih beragam dan sehat, kamu nggak akan cuma makan mi sekarang.”
Oh, ini lagi rupanya.
Dalam sekian lamanya kami berpacaran, obrolan ini selalu timbul tenggelam. Wonseok memang selalu bekerja keras untuk memenuhi keinginanku dan membuatku bahagia. Dia rela melakukan apa saja. Namun, entah kenapa, dia selalu merasa kurang. Padahal aku tidak pernah menuntut apa pun. Hatiku sudah terasa penuh setiap melihatnya berjuang memberikan yang terbaik.
Memang, dia bukan laki-laki yang paling kaya untuk urusan harta. Kami tidak pernah berkencan di tempat mewah. Dia tidak bisa memberiku hadiah yang harganya berjuta-juta. Tetapi, hal sekecil apa pun, jika dilakukan bersamanya… selalu terasa menyenangkan.
Aku menganggap obrolan seperti ini adalah bentuk tekadnya untuk membuatku selalu bahagia dan nyaman. Hanya saja, siapa yang tidak sedih jika pacarnya terus-menerus merendahkan diri sendiri?
Aku menghela napas, lalu menjatuhkan kepalaku di pundak Wonseok. Ia sedikit terkejut. “Terima kasih karena sudah mikir begitu. Aku tahu kamu selalu mau yang terbaik untukku.”
Kami sama-sama terdiam setelahnya. Kuangkat lagi kepalaku, dan kali ini, aku memegang pipi Wonseok dan menatap lurus mata hitamnya yang agak sayu.
“Dengarkan baik-baik kata-kataku setelah ini, ya.”
Wonseok mengangguk walau terlihat ragu.
“Mungkin kamu benar. Kamu banyak kekurangan, dan aku juga,” sambungku. “Tapi saat kita bersama kayak gini, aku nggak pernah merasa kurang. Nggak ada yang perlu kamu sesali. Ini bukan soal mobil, pemanas, atau makanan… perhatian kamu yang bikin semuanya berharga.”
“Aku nggak pernah menginginkan yang lain kalau lagi sama kamu. Apa pun yang kamu kasih, bagiku itu lebih dari cukup. Aku agak sakit sekarang, ya… karena fisikku memang agak lemah. Bukan karena kamu nggak punya uang.”
Mata hitam yang memang sejak tadi tampak sedih itu kini terlihat berkaca-kaca. Saat aku melepas tanganku dari pipinya, ia langsung mendekapku dengan erat. Aku balas memeluk dan menepuk-nepuk punggungnya untuk memberi semangat.
“Terima kasih.”
“Itu kata-kataku.”
Cukup lama kami saling peluk dan berbagi kehangatan. Setelah itu, kami kembali menyantap mi tanpa berkata apa-apa. Suasana menjadi lebih sunyi karena kami sama-sama makan dengan lambat sambil merenungkan apa yang terjadi hari ini.
Mangkuk Wonseok menjadi bersih tak lama setelah itu. Sebaliknya, mangkukku masih lumayan penuh. Kata-kataku barusan memang keren tetapi itu tidak berpengaruh apa-apa pada nafsu makanku. Padahal… aku sudah berusaha makan lebih banyak agar Wonseok tidak berpikiran buruk tentang dirinya sendiri.
“Mau kusuapin, nggak?”
Tawaran lembut itu membuatku agak salah tingkah. “Su… suapin?”
“Iya, siapa tahu kamu jadi bisa makan lebih banyak. Kalau kamu makannya kayak bayi begitu, nanti mi-nya keburu dingin, malah tambah nggak enak.”
Mataku bergantian menatap mi di depanku, lalu Wonseok yang bersungguh-sungguh dengan tawarannya barusan. Sensasi panas menjalari pipiku. Akhirnya, setelah berpikir keras, aku menyerahkan mangkukku padanya.
“Tolong, ya.”
Wonseok terkekeh pelan. Ia mengangkat sendok yang terisi penuh oleh mi dan kuah, lalu meniupnya beberapa kali. Dengan anggukan kepala, ia menyuruhku membuka mulut secara tidak langsung.
Perutku masih mengganggu konsentrasi, kepalaku pusing tak terkira, dan aku masih jauh dari kata ‘sehat’.
Namun, melihat tatapan mata yang bersungguh-sungguh mengkhawatirkanku….
Membuatku tidak punya pilihan lain selain mengunyah dan menelan apa pun yang dia berikan.
*
8 notes · View notes
onde-ondeee · 2 years
Text
Perasaan Seorang Ibu Melepas Anaknya Pertama Kali Ke Sekolah
Tumblr media
Ini kisah pertama yang aku pilih untuk dibagikan. Aku menyukai  dan mengidolakan begitu banyak penyanyi dan idol korea. Salah satunya adalah Hynn (Park Hweyon). Aku menyukai lagu-lagunya, suaranya, kepribadiannya dan yang paling menarik cara dia bereaksi terhadap sesuatu seperti orang tua, aku menyebutnya omma style.Kami lahir di tahun yang sama namun dia selalu kelihatan sangat dewasa, jadi aku memutuskan memanggil dia kkotchi Unnie.  Melihat Hynn mengikuti kegiatan ISAC  membuatku merasa seperti seorang ibu yang pertama kali melepas anaknya pergi ke sekolah, ada sedikit kecemasan namun juga perasaan antusias. Melihat dia mengikuti yena dan yuri (Solois line) seperti anak bebek membuatku merasa aneh, karena aku selalu melihat dia sebagai seseorang yang sangat dewasa . Berbeda dengan yena dan yuri yang sebelumnya berada di dalam group, Hyewon adalah solois sejak awal. Aku kurang tahu mengenai pertemenannya di dunia artist selain CLC yeeun, WSG Wannabe member dan The Listen member, namun aku tidak melihat dia bercakap dengan siapapun selain Seyeon Laboum dan Solois Line (mungkin ada percakapan dengan yang lain dibelakang kamera, aku kurang tahu). Di saat seperti ini aku berharap The Listen member ada disampingnya terkhusus Oh My Girl Seunghee (Cintaku) dan EXID solji, menjadi teman ceritanya di ISAC dan memberi tips mengenai memanah (mereka berdua merupakan salah satu dari idol yang terbaik dibidang memanah). Ini adalah kedua kalinya aku melihat dia sebagai seseorang yang seumuran denganku, pertama saat di SBS variety show The Listen:  Wind Blows, karena dia maknae dia sangat dirawat oleh member yang lain dan aku bisa melihat sisi barunya. Aku berharap dia menikmati kegiatannya, dan aku ingin lebih sering melihatnya di variety show.
2 notes · View notes
dulcetines · 3 years
Note
baby, itu huruf dikontaknya coach jinyuk apa ya kalo boleh tau? like AD stands for asc. director, nah kalo (F) di belakang our lovely commander tuh apa ya?
F stands for Field! aku copas jawaban cc aku ke sini ya:
intinya ya, di dalem star labs itu ada 4 departemen yang jadi pilarnya. aslinya pasti lebih banyak departemen sih, karena nggak mungkin institusi segede itu bisa beroperasi cuma dengan 4 departemen kan, tapi yg jelas fungsi S.T.A.R nya itu nggak akan jalan tanpa ada 4 departemen ini: research & development, instrumentations, defense monitoring, sama people services. tiap departemen dipegang satu convenor, tiap convenor ngelapor ke director of operations a.k.a coach jinhyuk & associatenya coach jaehwan (kenapa sebutannya coach, itu beda cerita lagi).
mungkin juga udah ada yg notis kenapa coach jinhyuk naro huruf habis nama kontaknya, kayak sejin (s), seungwoo (d), ong (e), sama chungha (f)... ini kode identifier untuk masing2 departemen. s for science (research & development), e for engine (instrumentations), d for data (defense monitoring), f for field (people services).
backbone star labs jelas research & development sih... secara mereka yg harus terus ngembangin persamaan, algoritma, pokoknya backend segala jenis solusi buat berbagai macam use cases ya dari mereka. they're humble geniuses dan jarang tawuran... apalagi karena dipegang sejin... kebalik sama instrumentations yg dipegang ong haha. udah sempet disenggol juga kan instrumentations dibilang pesantren putra karena nggak ada ceweknya sama sekali. instrumentations ini ibarat bengkelnya star labs, lah. karena mereka ngurusin permesinan mulai dari alat2 kecil sampe yg segede bagong kayak satelit. dan biasanya project2 mereka in tandem sama r&d karena r&d kan yang provide teorinya, instrumentations ngedesain blueprint mesinnya, kayak gitu. oleh karena project2 crossover inilah jadi tidak menutup kemungkinan ada banyak cinlok... we found love in a hopeless place lah moms...
kalo defense monitoring, mereka borju banget. kaum elit, lah. mungkin faktor mereka punya fasilitas lengkap kali, ya. soalnya kan mereka megang operasi satelit & deteksi radar dsb, high maintenance banget lah intinya jadi memang difasilitasin tower dan segala macem gitu. makanya waktu hyewon bilang ke yena kopi instrumentations nggak enak, ya karena pesantren putra minumnya kopi tubruk 🤪 yang megang seungwoo dan entah kenapa isinya mayoritas cewe... padahal convenornya aja udah punya cowo... yang notabene kerjanya di lapangan terus dan jarang balik. ini people services, kebalikannya defense monitoring: mereka jauh, jauh lebih down to earth. breakdown departemen mereka jauh lebih kompleks lagi sebenernya, karena fungsi kerja people services banyak banget: intelligence ada, public relations ada, disaster management ada... pokoknya perpanjangan tangan star labs ke publik, itu pasti people services. secara struktur memang convenornya chungha, tapi honorable titlenya field commander. right hand personnya uyon. kenapa si convenor yg literally selalu ada di atas tower bisa ketemu sama uyon yg napak terus di tanah, itu beda cerita juga (hehe).
3 notes · View notes
bylikeyoo · 3 years
Text
Taehyung dan Jungkook adalah teman baru. Ya teman baru. Mereka mulai berteman sejak kejadian dilapangan basket seminggu lalu. Jungkook yang sedang bermain bersama teman-temannya tidak sengaja melempar bola basket dengan kencang. Terlempar jauh hingga mengenai kepala Taehyung yang saat itu berdiri tidak jauh dari lapangan.
Bruk
Taehyung terjatuh namun tidak pingsan. Belum.
Flashback
"Jae tangkap!"
bruk
Bola basket yang dilempar Jungkook mendarat tepat dikepala seseorang. Dengan cepat berlari mengahampiri karena sepertinya orang itu pingsan.
"Gak mati kan ya ini" kata teman Jungkook, Jimin.
"Hei, lu baik-baik aja?" tanya Jungkook. bodoh tentu tidak baik-baik saja rutuknya.
"Gue oke" pandangannya mengawang,tersenyum kecil Taehyung menjawab. Ia dia Taehyung anak kelas sebelah kelas Jungkook. 12 Ipa 2.
"Syukur deh" Jaehyun mengehala nafas lega. Namun..... "Eh eh kook!"
Taehyung pingsan. Yah akhirnya Taehyung benar-benar pingsan.
~
Ia mengerjabkan matanya kecil. Menelisik sekitar dan mengetahui jika ia berada di unit kesehatan sekolah. Sial. Hari pertama masuk sekolah setelah libur UTS ia malah mendapat salam dari bola basket yang keras.
Meringis sedikit ia berusaha bangkit namun suara pintu uks yang terbuka mengalihkan perhatiannya. Itu kedua temannya, Yoongi dan Bambam.
"Tae lu oke?" Tanya Yoongi.
"Masih pusing? Istirahat aja gih kita udah ijinin tadi ntar masuknya abis istirahat aja" Bambam menimpali.
"Gue oke kok masih pusing dikit. Makasih udah ijinin gue"
"Hmm kalo gitu lu istirahat dulu ntar susul kita di kantin ya"
"Iya ntar di jajanin sama Bam"
"Kok gue?!"
"Sssstt lu berisik. Dah Tae kita ke kelas dulu"
Sepeninggal teman-temannya ia kembali memejamkan mata. Sungguh kepalanya masih pusing juga sedikit nyeri. Mungkin benjol pikirnya.
~ di kantin
"Gue kesian sama Taehyung perasaan dia sial mulu kenapa deh"
"Heeh gue juga kesian. Apa dia di bully lagi?". Menelan batagornya Yoongi menjawab.
"Gak tau deh gue. Duh kesian amat si Tae"
"Gibahin gue ya lu pada" Taehyung mendudukkan dirinya disamping Yoongi.
"Kagak. Gimana kepala lu masih sakit? Mau makan? Mau minum?"
"Enggak gue gak laper"
"Gak makan Tae? dijajanin Bambam ini"
"Enggak deh gue gak laper"
Disisi lain Jungkook dan teman-temannya mulai memasuki kantin. Melewati meja Taehyung, ia dan temannya asik tertawa.
"Cih habis bikin temen gue sakit dia masih bisa ketawa-ketawa gitu gak ada rasa bersalah apa" Bambam mencibir.
"Udahlah gak sengaja doang itumah gue juga baik-baik aja kok"
"Nih ya Tae kalo aja Yoongi gak nahan gue udah gue pukul si Jungkook itu"
"Alah mau jadi jagoan lu?"
~
Kelas Taehyung kini sedikit ramai dari biasanya. Kedua temannya juga sedang asik dengan ponsel mereka.
"Liat deh bener-bener kek bayi hahaha"
"Iya mana kecil banget dia".
Teman-teman masih asik tertawa. Berjalan kearah kursinya Taehyung bertanya
"Kalian ngapain?"
"Eh Tae dah dateng lu. Ini loh Tae liat deh lu jadi terkenal tau gak" Bambam menunjukkan ponselnya pada Taehyung. Ada video yang diputar memperlihatkan seseorang yang membawa seseorang lainnya dipunggungnya.
Eh itu bukannya gue ya pikir Taehyung.
Sial jadi dia....
"Eh Tae mau kemana lu?"
Taehyung pergi begitu saja. Rahangnya mengeras. Jadi itu apa? Pencintraan doang. Berjalan cepat Taehyung akhirnya menemukan Jungkook. Dengan kesal mendorong bahu Jungkook hingga menabrak dinding.
"Maksud lu apa?" Tanya Taehyung marah.
"Hah?"
"Apa yang lu lakuin kemaren pas bawa gue ke uks"
"Gue gak ngapa-ngapain gue cuman bawa lu ke uks karena lu pingsan"
"Kenapa? Kenapa harus gendong gue segala"
"Gue cuman khawatir sama lu. Emang gue gak boleh khawatir? Lu pingsan juga karena gue kan. Gue cuman mau tanggung jawab" Jungkook menjawab dengan halus walau dia bingung dengan sikap Taehyung sekarang.
"Lu kenapa? Lu marah masih marah sama gue?" Tanya Jungkook lagi.
"Hhhhh lupakan" Taehyung pun pergi meninggalkan Jungkook.
Dikelas Taehyung terdiam dimejanya. Sial karena video itu dia justru bertindak seperti bukan dirinya. Kenapa dia merasa kesal dan marah. Hahhhh.
"Tae....lu gak papa?"
"Iya Tae lu gak papa? Sorry gue gak maksud apapun. Gue gak tau lu bakal marah"
"Gue gak papa, sorry"
"Lu sebenernya kenapa? Gue gak pernah liat lu semarah itu tadi. Bahkan waktu SMP lu di ganggu anak-anak lu gak meledak kek sekarang"
"Gue...aaisshh apa yang gue lakuin" Taehyung mengacak-acak rambutnya kesal. Bambam dan Yoongi saling berpandangan bingung.
~
Cklik
Cklik
Senyum kecil tepatri di wajah tampannya. Rambutnya sedikit berantakan ditiup angin. Kembali mencari objek lalu cklik.
Taehyung menghembuskan nafas berusaha menghilangkan gugup. Berjalan pelan menghampiri Jungkook yang masih asik dengan kameranya. Menolehkan kepala saat mendengar langkah kaki. Jungkook tersenyum melihat Taehyung.
"Gimana Tae?"
"Emm gue...gue mau minta maaf soal kemaren"
"Gak masalah. Gue paham kok kenapa lu marah"
"Gue gak maksud gitu sebenernya tapi..."
"Iya gue tau. Lu pasti mikir yang enggak-enggak tentang gue karena video itu tapi gue paham kok" tersenyum Jungkook melanjutkan
"Gue juga mau minta maaf soal bola waktu itu gue bener-bener gak sengaja"
"Iya gak papa kok"
"Emm tapi gue masih berasa bersalah nih sama lu. Emm lu boleh bales gue. Mukul deh gak papa kok"
"Serius nih?" Tanya Taehyung.
"Lu beneran nih?!" Jungkook kaget serius. Taehyung beneran mau bales dia nih?
"Bercanda" mereka akhirnya tertawa bersama.
"Jungkook!!"
Seseorang menghampiri mereka. Bukan mereka tapi hanya Jungkook. "Oh hai Yen" Namanya Yena. Salah satu teman dekat Jungkook selain Jimin dan Jaehyun.
"Kook bantuin gue ya? Klub gue butuh fotografer nih buat acara pentas seni bulan depan"
"Fotografer? Emm boleh-boleh"
Mereka berdua Jungkook dan Yena pun pergi. Taehyung hanya memandang sebentar. Bingung. Ini dia tidak keliahatan apa bagaimana?. Aduh tapi Taehyung kok kesal ya.
~
"Aduh ngantuk gue"
"Lu pasti nonton drakor lagi kan semalem"
"Ya seru tau Yoon"
"Terus lu inget gak sama tugas?"
"Hah?"
"Tugas kimia ih Wonu hahaha"
"Yah gimana nih woy gue lupa"
Taehyung tersenyum saja mendengar teman-temannya. Sejenak ia tertegun. Itu...Jungkook dan teman-temannya. Taehyung terus melihat kearah mereka atau lebih tepatnya hanya seseorang.
Yoongi dan Bambam yang tadinya ribut sendiri kini penasaran dengan teman mereka yang diam sambil melihat kearah pintu.
"Ekhem"
Bambam berdehem mengalihkan perhatian Taehyung. Melihat teman-temannya yang kini menukikkan alis memandangnya. Menelan ludah gugup ia bertanya.
"Kenapa deh kalian?"
"Gue bingung deh sama lu Tae. Lu ngeliatin Jungkook sama temen-temennya segitunya banget. Masih marah lu?" Tanya Bambam.
"Hah? Gue? Apaan sih gue biasa aja gini"
"Hmm kalo lu gak marah berarti lu suka sama salah satu diantara mereka" tebak Yoongi.
"Ihh suara lu keras banget kenapa deh" Taehyung gugup serius.
"Nahhhh bener kan iyakan?"
"Enggak ih apasih Bam"
"Elehhh Taehyung haha. Si Jaehyun ya?"
Taehyung memandang datar Bambam.
"Gue gak suka sama Jaehyun"
"Jimin?" Kali ini Yoongi.
"Gue gak suka Jimin"
"Kalo gitu berarti Jungkook" tebak Bambam. Taehyung diam. Telinganya mulai memerah.
"Nah nah.. iya ih si Jungkook" seru Bambam histeris.
"Gue.." bibirnya berkedut-kedut.
"Ciee Taehyung" sungguh Taehyung ingin menjahit mulut temannya ini.
"Gue..gak suka~" lirih Taehyung. Sungguh dia malu sekarang. Bibirnya berkedut-kedut menahan senyum.
"Oh iya iya gak suka. Gak suka dia Yoon" goda Bambam.
"Gue tuh cuman.. ya dia kan banyak fans nya gituloh ya gue.. jadi suka aja liatnya"
"Ohhhh~" Yoongi dan Bambam tertawa melihat Taehyung yang malu. Rasanya Taehyung ingin mengubur wajahnya yang memerah tanpa malu ini.
~
'Cakep banget'
Taehyung tersenyum melihat satu postingan di instagramnya. JJKjeon. Yoongi dan Bambam disamping tersenyum menggoda.
"Aduh katanya gak suka loh kemaren Yoon. Siapa ya yang bilang itu"
"Iya nih Bam. Tapi kok diliat-liat betah banget ngeliatin itu foto"
Taehyung tersadar. Menelan ludah. Sial dia ketahuan bucin sejak dini.
"Lu beneran suka kan Tae sama Jungkook" tanya Yoongi.
"Emm emang keliatan banget ya?"
"Ya banget lah Tae. Aduh temen gue udah gede aja bisa suka-sukaan" Yoongi tertawa mendengar celoteh Bambam.
"Tapi..emang boleh ya?"
"Apanya?"
"Ya itu. Gue kan cowok"
"Ya terus?"
"Emang kalo cowok lu gak bisa suka sama orang gitu?"
"Yakan sesama cowok Bam"
"Aduh Tae dengerin gue. Perasaan suka itu gak bisa diatur atau disuruh maunya suka sama siapa. Jadi gak masalah kalo lu suka sama cowok" jelas Yoongi.
"Nah bener tuh. Lu gak usah peduli sama  orang-orang. Gue sama Yoongi gak masalahin itu. Emm mau kita bantu gak?"
"Bantu?"
Kini mereka bertiga berada di kamar Taehyung. Taehyung membawa mereka kesini karena katanya teman-temannya itu ingin membantunya.
"Emm dengerin gue Tae. Cinta itu ya kayak investasi. Lu tinggal beli hadiah spesial untuk hari spesial. Gitu aja" ini saran Bambam. Investasi.
"Serius lu?" Tanya Yoongi.
"Terus senior yang dulu lu sewa 500rb sehari di kelulusan SMP itu juga termasuk investasi?" Lanjutnya.
"Loh?!! Tau dari mana lu?!"
Yoongi hanya memutar mata malas. Temannya ini benar-benar.
"Gimana kalo ikutin cara gue aja Tae?" Yoongi bersuara.
"Cara lu?"
"Iya. Seribu origami gimana?" seru Yoongi.
"Ihh jadul banget lu Yoon. Kalo lu bikin gituan kenapa gak sekalian aja lu nulis surat".
"Nah iya"
"Gue sarkas" kesal Bambam.
"Kenapa? Ayah sama Ibu gue juga gitu kok dulu. Kata Ibu cewek-cewek dulu tuh suka sama yang begitu" Taehyung pikir ide Yoongi tidak buruk.
"Bikin yang spesial dong Tae. Masa origami mau sampe kapan bikinnya"
Mereka terdiam. Benar juga ya. Aduh susah juga. Mereka bertiga kan gak pernah pacaran jadi mana tahu hal-hal begini. Lupakan senior sewaan Bambam.
"Spesial ya.. emm.. ah! Gimana kalo lagu?" Tanya Taehyung.
Mereka bertiga saling berpandangan lalu tersenyum cerah seakan mendapat jawaban yang benar. Ternyata mereka bertiga memang ditakdirkan bersama.
~
Jungkook menelusuri rak-rak buku di perpustakaan. Mengambil salah satu buku lalu membaca sebentar. Jari-jarinya  lagi-lagi berjalan menyentuh punggung buku. Di rak sebelah Taehyung melihat Jungkook. Tidak lebih tepatnya mengintip. Bersembunyi di buku-buku besar. Merasa ada yang memperhatikan Jungkook mengalihkan pandangannya. Namun tidak ada siapa-siapa.
'Sial. Hampir saja ketahuan'
Membawa buku yang diambilnya Jungkook menuju meja di tengah perpusatakaan. Mengeluarkan buku tulis dan pulpen. Mengerjakan tugas. Taehyung masih bersembunyi. Lalu melihat kearah Jungkook yang tengah fokus mengerjakan tugas. Taehyung tersenyum lembut. Mengambil ponsel disakunya lalu mengambil foto.
'Dia makin cakep kalo lagi serius gini'
Taehyung lalu membuka buku yang dari tadi dia bawa. Berfikir sebentar sambil melihat Jungkook. Terseyum Taehyung mulai menulis. Menulis lagu.
But sometimes, i just wanna somebody to hold~ Someone to give me the jacket when its cold~
Jungkook masih mengerjakan tugasnya. Sesekali berfikir mencari jawaban lalu menuliskan jawaban. Tapi pulpenya tiba-tiba macet tidak bisa digunakan.
"Nih. Pulpen ajaib"
Suara itu membuat fokus Taehyung hilang. Dilihatnya Jungkook ah bukan hanya Jungkook. Kini ada Yena juga.
"Wah pas banget lu dateng Yen. Mantap"
"Haha lagi ngapain sih serius amat"
"Ini nih tugas tadi. Gue kerjain sekarang soalnya ntar ada kegiatan klub takut gak sempet"
"Yang mana? Yang ini? Ih Jungkook ini kan udah gue ajarin tadi"
"Hah masa? Gak inget gue" Jungkook tertawa.
"Yee lu mah gitu haha"
Taehyung terus memperhatikan kedekatan Jungkook dan Yena. Lalu beralih melihat tulisannya. Hahh apa ini. Kembali mengalihkan pandanganya pada kedua orang itu. Kini jarak mereka semakin dekat. Taehyung menghela nafas. Rasanya sesak. Taehyung merobek halaman lagunya. Lalu pergi dari perpusatakaan.
1 note · View note