andityarani
andityarani
Do Tell!
232 posts
pssst, hey! i'll tell you a story...
Don't wanna be here? Send us removal request.
andityarani · 3 years ago
Text
Tentang Cita, Asa, dan Realita (2)
Hi, hello. Aku sudah membaik, sudah tidak seemosional postingan pertama. Beberapa waktu lalu akhirnya bisa curhat ke Mas dan agak lega hihihi.
So, akan aku lanjutkan pergumulan batinku yang kemarin. Tentang aku yang melihat mimpi besarku sejak dahulu runtuh, bahkan pada saat pintu ke sana baru pertama kali terbuka.
Pada akhirnya, aku memang tidak lagi memedulikan pendaftaran program tenaga kesehatan yang aku idam-idamkan itu. Ada beberapa alasan pasti yang aku tau dengan baik bahwa itu adalah alasan yang sangat kuat. 1. Aku sudah bekerja. Walaupun kontrak kerja sangat fleksibel, tapi pekerjaanku di sini cukup baik dan cukup nyaman. I cant ask for more. 2. Adalah takdir yang membawaku di sini, bisa serumah dengan orang tuaku lagi. Merantau selama 9 tahun, pulang adalah hal yang selalu aku idam-idamkan. Nah, kini aku mendapat kesempatan tinggal di rumah bersama orang tua setiap hari. Bukankah itu mimpi yang menjadi nyata? 3. Jarak tidak pernah menjadi masalah. Jarak rumah ke tempat kerjaku sekitae 28km, searah dengan rumah nenekku, dan sekaligus searah dengan rumah Mas. Segalanya dalam jangkauan, hanya butuh fisik yang kuat dan tidak gampang masuk angin saja.
Selain alasan-alasan konkrit itu, aku menemukan beberapa alasan mendalam yang secara tidak langsung memiliki koneksi dengan mimpiku sejak dulu.
4. Kakakku sudah berumah tangga di ibukota, kedua orang tuaku pasti semakin menua. Aku tahu bahwa tempatku memanglah di sini, dekat dengan kedua orang tuaku. Dalam hati kecilku, aku sudah tidak ingin pergi jauh. Sejauh-jauhnya aku tinggal nanti, aku tetap ingin akses yang mudah untuk pulang, untuk menengok kedua orang tuaku. Semakin tua, manusia semakin seperti anak-anak. Kembali tinggal bersama orang tua menjadikanku tahu sifat dan seluk beluk kehidupan mereka. Aku merasa memiliki peran sebagai penengah. Pun sebagai andalan di berbagai hal: pembuat keputusan, pemberi masukan, atau panitia wira-wiri. Entah diminta antar-jemput, atau beli-beli sesuatu, aku merasa berguna di sini, dan aku suka itu. Aku tidak ingin orang tuaku repot. Bukan berarti kakakku jauh di sana lantas merepotkan dan tidak membantu apa-apa. But sometimes, you just have to be there for them. Dan lagi, umur manusia tidak ada yang tahu. Berita-berita duka dari orang tua teman seumuran selalu membuatku merinding dan tercekat. Bila saatnya tiba bahwa aku harus merasakan kehilangan, aku tidak ingin jauh. Sesederhana itu. Lagi pula, kupikir, kalau aku jauh-jauh di entah berantah, apa sih yang kucari? 5. Aku tidak akan pernah melupakan keinginanku untuk bekerja di pedalaman atau perbatasan, dengan masyarakat desa. Dan voila, bisa dibilang, aku memang bekerja di pedesaan. Nyatanya aku menikmati ngobrol dengan lansia, membujuk anak-anak, menyelipkan edukasi tentang gigi, berbasa-basi tentang issue terkini, bahkan menikmati obrolan masyarakat tentang ajaibnya self-medication mereka. Ya, aku sudah bekerja di pedesaan. Aku sudah melakukan apa yang menjadi mimpiku tanpa harus jauh-jauh ke pulau seberang, atau ke tengah belantara. Di sini, I cant ask for more, all over again.
Kukira, yang membuatku sempat terguncang dan terlarut bersedih adalah karena aku tidak bisa mewujudkan mimpiku. Kukira, aku menangis karena cita-cita dan segala harapanku tidak sesuai dengan realita. Nyatanya, tangisanku ternyata adalah bentuk protes kepada diriku sendiri. Allah sudah memberikan apa yang kuinginkan, hanya dengan cara dan bentuk berbeda. Kenapa pula aku masih tidak bisa menerima? Aku menangisi ketidak mampuanku untuk menerima segala ketentuan Allah yang sudah digariskan kepadaku. Aku menyesali hatiku yang keras dan tidak bisa memasrahkan segalanya kepada Pencipta.
Sungguh, bersyukur adalah hal yang sederhana namun terkadang berat dilakukan. Padahal, pemberian-Nya adalah yang sebaik-baik bagi umat manusia.
-Purworejo, pada hari-hari yang cepat berlalu di Bulan Juni-
2 notes · View notes
andityarani · 3 years ago
Text
Tentang Cita, Asa, dan Realita (1)
Hi, i'm back! Setelah sekian lama tidak mencurahkan isi hati di platform ini, akhirnya aku kembali. Kembalinya aku di sini merupakan pertanda bahwa ada pikiran-pikiran yang tidak mampu kuurai sendiri. Pikiran-pikiran yang ruwet, tapi... ah, tidak seruwet itu. Mari dengar--atau baca--apa kataku.
Atas kehendak Allah, Sang Penguasa, sejak bulan Maret tahun ini, akhirnya aku memulai kehidupan baruku sebagai seorang pekerja. Aku bekerja di sebuah FKTP Swasta di kecamatan perbatasan, di kabupaten kelahiran ibuku. Yep, aku tidak bekerja di kotaku. Sebagai gambaran, tempatku bekerja ini merupakan faskes swasta pertama dan tertua di sekitar sini. Menurut aplikasi JKN, peserta asuransi di sini mencapai 11ribu jiwa. Mengapa? Tentu saja karena minimnya fasilitas kesehatan di sini. Daerah tempat kerjaku ini merupakan kecamatan di lembah Menoreh, dikelilingi gunung dan pegunungan. Aku berangkat dari rumah naik bus selama 40 menit, menanjak ke utara, dan sepanjang perjalanan disuguhi Menoreh yang membentang di kanan, Sumbing, Sindoro, Merapi, dan Merbabu yang puncaknya tampak bergantian di sebelah kiri, kalau hari cerah. Pada hari-hari yang cukup muram, kabut akan turun di seperempat perjalanan. Kadang tampak menebal ke arah puncak, kadang juga turun sampai ke jalan. Masyarakat di sini bisa dibilang masih masyarakat pedesaan, dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Pusat kecamatan tidak jauh dari tempatku bekerja, cukup modern, tapi masih kalah modern dari tempat-tempat lain, hehehe. Sebagian masyarakatnya bertani dan berdagang, atau menjadi buruh pabrik di kecamatan sebelah. Iklim kerja di sini cukup menyenangkan. Kolegaku ramah dan mau membimbingku ketika aku pertama kali datang. Mereka menerimaku dengan baik, dan tampak tidak keberatan apabila aku tidak terlalu suka mengobrol. Memang, di sela-sela pekerjaanku, aku mengisi waktu dengan membaca buku. Kadang kalau mataku sudah pusing, barulah aku ikut mengobrol. Setiap harinya aku berangkat jam 7 pagi dan bersiap pulang sekitar jam 11. Rata-rata waktu kerjaku adalah 3 jam. Cukup singkat, hehehe. Aku sudah bisa sampai di rumah pada pukul 12.30 siang, dan setiap harinya sempat tidur siang.
Begitulah gambaran singkat tentang pekerjaanku. Lalu, di mana masalahnya?
Bagi mereka-mereka yang mengenalku sejak dulu, ada kemungkinan pernah mengetahui cita-cita tersiratku. Aku di masa lalu sangat ingin bisa bekerja di pedalaman atau perbatasan. Bisa dibilang agak terobsesi dengan pengabdian di daerah terpencil. Lebih spesifik lagi, aku ingin sekali bisa menjadi tenaga kesehatan di kepulauan, Belitong, kalau boleh memilih. Aku yang mempunyai mimpi besar itu, belum tahu kalau hidup tidak selalu sesuai dengan apa yang aku inginkan. Pada akhirnya, aku menghabiskan bertahun-tahun untuk menyelesaikan studiku, dan baru dilantik pada usia 27 tahun.
Lalu, apa yang menjadi masalah?
Sekitar sepekan lalu, aku mendapat informasi mengenai pembukaan pendaftaran salah satu program seleksi dan penempatan tenaga kesehatan di daerah terpencil. Program yang sejak dulu aku impi-impikan. Program yang juga diikuti dua orang yang aku kenal. Sebut saja Enggar, teman SMPku, seorang ahli gizi di Nusa Tenggara Timur, dan juga Puput, sejawatku, yang menjadi dokter gigi di belantara Kalimantan sana. Aku membaca pengumuman itu di atas bus, dalam perjalanan pulang kerjaku di suatu hari yang cerah. Hatiku bergemuruh, pikiranku mulai kalut, dan tidak terasa air mataku menetes siang itu. Ya, di dalam bus yang melaju melalui aspal bergelombang, aku menangis sesaat. Aku menangisi mimpiku yang harus aku kubur, padahal baru kali ini pintu menuju ke sana terbuka untukku.
Ijinkan aku menarik napas terlebih dahulu, sebelum melanjutkan tulisan ini.
... (Disambung lagi lain waktu).
0 notes
andityarani · 4 years ago
Text
Pelajaran
Semalem hampir men-skakmat ibuk dan sampe sekarang merinding sendiri.
Diawali dengan obrolan tentang aku dan doi. No, my mum nggak menyuruhku menikah kok. Dia tau aku belum pengen, tapi dia nggak paham. Iya, sekadar tau aja.
"Ibuk tau kalo adek sama FQ tu realistis," she said.
"No, i'm not. Cuma emang belum pengen," balasku.
"Iya, karena realistis kan sama keadaan," katanya lagi.
"Enggak. Emang belum pengen, buk," tegasku.
Sepemahamanku, realistis di mata ibuk itu ya masalah pekerjaan dan finansial. Emang aku sama doi belum goal di bidang itu. Nggak ada pembuktiannya juga. Doi sudah bekerja, tapi masih serumah sama orang tuanya yang juga bekerja. Bisa dibilang hidup doi memang kecukupan, jadi ya... gimana mau mengukur kemampuan bisa mandiri finansial atau tidak to?
Sedangkan aku, baruuu aja kemarin dilantik. Untuk bisa kerja secara legal masih ada beberapa proses yang harus dilalui. Jadi ya statusku sekarang memang menganggur.
Realistis dari kacamata ibuk sepertinya selalu berkutat di situ. Itu yang membuatku agak kecewa. Aku tau ibuk menginginkan yang terbaik untuk anaknya, untukku. Apalagi anak pertamanya, kakakku, sudah hidup sangat teramat berkecukupan. Tapi kalau diminta berkaca ke kakakku, sungguh aku nggak sanggup. Secara waktu atau usia saja sudah beda. Aku sudah kalah start. Aku rasa ibuk kurang memahami bahwa aku bisa dan harus berjalan di jalurku sendiri, dan dengan tujuanku sendiri.
Pekerjaan doi juga pernah menjadi perbincangan sengit antara aku dan ibuk. Yang jujur, membuat hati perih karena... ya, ibuk nggak pernah mendampingi orang yang begitu kesulitan mencari pekerjaan di masa pandemi. She just ask for the result, tanpa melihat betapa jauh kami telah melangkah, telah berproses, untuk sampai di titik ini.
Memang, realistis cara ibuk ya di seputar itu. Sementara aku dan doi, kami emang belum pengen. Bukan karena realistis aku sedang nganggur, bukan karena nggak ada duit, nggak ada rumah, tapi ya emang belum pengen. Wkwkwk. Gimana ya, sepertinya hal ini emang sulit dimengerti generasi ibuk. Belum pengen. Titik. Nggak ada alasan di balik itu.
Lanjut percakapanku dengan ibuk, yang masih berputar di terminologi realistis.
"Ya realistis juga karena menikah bukan prioritas, kan?" tambah ibuk.
"Ya, emang bukan prioritas," jawabku pendek.
"Prioritas adek sekarang kan kerja," sambungnya.
Aku diam dan kalimat berikutnya meluncur begitu saja, "Itu prioritas ibuk apa prioritas adek?"
Skakmat. Ibuk terdiam.
Memang, menikah bukanlah prioritasku. Tapi kerja? Apakah itu prioritasku? Aku kira juga bukan. Aku tipe orang yang live for today, nggak pernah bisa muluk-muluk menata mimpi. Aku memang pingin bekerja, tapi untuk sekarang juga itu bukan prioritasku. Bukannya aku mau santai-santai. I have some job offering, tapi kalo persyaratan administrasiku belum terpenuhi, gimana aku mau bekerja to? Aku lebih ingin menikmati waktu senggangku, karena begitu lega dengan semua beban yang barusaja terangkat dari pundakku.
Oh, my mum doesnt know that. She never understand how hard my life before, my life as a dentistry student. Bahkan dengan uraian panjangku di sosial media, dia tidak pernah menangkap bahwa anaknya pernah membutuhkan bantuan profesional--bantuan psikolog, hanya untuk mengatur napas sejenak.
Aku memang nggak pernah menjelaskan secara gamblang kesulitan yang aku hadapi. No. Merangkai kata-kata untuk menjelaskan ke orang lain justru menambah beban yang sangat berat buatku. I will be so, so overwhelmed, dengan segala emosi yang harus aku handle sendiri. So i'd like to stay silent for the best. Dan aku nggak boleh menuntut orang untuk memahamiku, ketika aku nggak mau repot menjelaskan. Stay in each other place, will be the choice.
Aku bisa mengerti kenapa terjadi gap dalam pemahamanku dengan ibuk. Ya karena aku memahami generasi tiktok masa kini saja nggak bisa, apalagi aku dan ibuk yang terpaut 28 tahun, kan?
I'm pretty close with my parent, tapi nggak selamanya cocok. Dan dari situlah aku kembali belajar, terus belajar, menjadikannya bekal, untuk membuat daftar do and dont ketika aku mendidik anak-anakku suatu saat nanti.
Pelajaran penting untukku: listen.
So this is my tumblr comeback. Biasalah, ketika ada begitu banyak hal yang tersimpan dan nggak bisa diutarakan, i write.
0 notes
andityarani · 4 years ago
Text
Timeline
Jogja, 2013. I knew you. You knew me. I dated your classmate. Sebut saja A. Sebegitu terkenalnya aku di kelasmu. Banyak yang bilang aku terlalu baik dan terlalu sabar buat temanmu itu. We only knew each other's name. Nggak lebih dari itu. Kamu pun masih dengan yang lain.
Taman Pancasila UNY, 2014 (or so I thought). Acara kelasmu. Aku dan DSLR, membidik satu persatu moment kelasmu. Yang nggak aku sadari adalah kamu di panggung juga saat itu. Dan bahkan mungkin beberapa kali aku bidik sendiri. Tapi aku masih dengan yang lain, begitupun kamu.
Terminal B Adisucipto, 2015. Aku dan A sudah nggak bersama. Tapi aku datang ke bandara, menjemput teman kosku, sebut saja L, yang juga teman sekelasmu. Kalian pulang dari tour di Malaysia. Aku membawa tulisan warna-warni untuk L, karena dia sekaligus praktik mengajar di sana, aku ditinggalnya selama hampir dua bulan. Katamu, kamu melihatku saat itu. Berdiri di pintu kedatangan bersama sahabatku, W. Dan berhembus kabar bahwa kedatanganku dan W saat itu membuat A panas. Drama remaja. Oh iya, di Malaysia, kamu membantu A membuat ucapan ulangtahun untukku di bawah Twin Tower. Dan kamu membuat ucapan juga untuk pujaanmu saat itu.
FKG UGM, 2017. Aku sudah koas! Dan sebagaimana koas lainnya, semua orang yang punya gigi akan aku terima dengan dua lengan terbuka. And voila! Kamu jadi pasienku! That was our first date. Just the two of us. Tapi, kamu masih dengan yang lain lagi. Sementara aku sedang menyelesaikan perasaan yang entah berantah. Di hari lain, kamu datang bersama A, menghadiri acara pemeriksaan gigi gratis di kampusku. Kita sempat berpapasan, sayangnya aku terburu-buru dan hanya bertemu sekejap sapa.
Plaza UNY, 2018. Sebagai balas budi atas kebaikanmu menjadi pasienku, aku memenuhi permintaanmu datang ke event boardgames. Kamu jadi game master di sana. Tapi nggak sekalipun kamu mengajakku bicara. Aku malah ngobrol dengan teman-temanmu, sambil sesekali mengamatimu dari sudut mata, berharap kamu seasyik di dunia maya. Lagi-lagi, kamu masih dengan yang lain. Dan aku sedang bebas dan bahagia.
CGV J-Walk, 2018. Pertama kalinya kamu mengajakku nonton! Katamu, kamu punya tiket banyak. Dan ke sanalah aku, menembus hujan malam-malam dari Barat ke Timur. Aku kaget ketika ternyata ada A di rombonganmu. Aku mulai dendam, mulai was-was kepadamu. Jangan-jangan ini adalah caramu membuatku dan A balikan? Uh, never in a million year! Sepertinya kamu menangkap kenggaknyamananku. Maka kamu membiarkan A duduk jauh dariku, dan kamu, di sebelahku. Our very first movie date, walaupun berombongan.
Teras Kos, 2019. Ini nggak terlupakan! Pertama kalinya kita ngobrol panjang berdua. Kamu menceritakan kegelisahanmu, masa depanmu dengan kekasihmu. Aku? Ceritaku tentang ghosting tampak remeh dibandingkan dengan ceritamu. Dua jam kita mengobrol, padahal tujuan utamanya hanya bertukar barang dengan uang, alias berdagang.
Cinepolis Lippo Mall, 2019. Kamu mengajakku nonton lagi. Bertiga dengan temanmu, R. Aku mengiyakan tanpa ragu, merasa aman karena A sudah nggak di Jogja hehehe.
XXI Jogja City Mall, 2019. Anehnya, aku berani keluar denganmu berdua saja. Malam itu mendadak kamu menawarkan tiket nonton. Yang tentu saja aku iyakan karena: 1. aku sedang menganggur, 2. aku tergiur promo. Lucunya, kita nggak jadi pakai promo dan saling mengeluhkan harga tiket di akhir pekan. That was our first REAL date: keluar berdua saja. Tapi saat itu aku nggak menganggapnya kencan. Nggak ada yang spesial dengan dua orang nonton bersama. Lagipula kadang ada jeda diam yang canggung di antara kita. Kamu mendeklarasikan pertemanan denganku, memposisikanku layaknya karibmu yang barusaja pulang ke kampung halaman. Setauku, kamu masih bersama yang lain. Tapi yang aku nggak ketaui saat itu, kamu sedang di ambang perpisahan.
UNY-UGM, 2019. Kamu sidang. Aku ujian departemen. Aku meneleponmu siang itu, mengabarkan bahwa ada kurir mengantarkan jajanan untukmu. Kamu sering memintaku datang ke sidangmu, tapi apa daya, aku juga ujian hari itu.
XXI Sleman City Hall, Blanco Coffee and Books, CGV Hartono Mall, Soto Sampah Kranggan...
Begitu banyak tempat yang kita jajah di Mlati dan Depok ini. Dan entah berapa liter bensin yang dihabiskan Supra 125 dan CB100, sebelum akhirnya kita berhemat memakai satu motor alias berboncengan. Hingga akhirnya kita nonton lagi di XXI Jogja City Mall. Satu malam penuh rahasia dan cerita, dan petualangan sebenarnya dimulai.
Hey, you. Aku nggak pernah kehabisan ide untuk menulis tentang kamu. Please, just stay like this.
0 notes
andityarani · 4 years ago
Text
Semarang
Mulai tahun ini, ada yang berbeda dengan cara saya mengingat Kota Semarang.
Biasanya saya selalu mengidentikkan Semarang dengan panas, mudik kilat, dan panas. Saya juga hanya merecall tempat-tempat seperti Sampangan, Durian, Tembalang, dan Jalan Majapahit. Hanya di daerah-daerah yang ada jejak persaudaraan di situ.
Tapi di awal tahun ini, Semarang jadi berbeda. Karena di Semarang ada memori tentang dia.
Waktu itu saya mengantar Mas ke Semarang dalam usaha ke sekian-nya menjemput rejeki. Tengah pekan itu memang saya tiba-tiba menganggur. Berangkatlah pagi-pagi dari Jogja ke Magelang, dengan Supra 125 Merah kesayangan. Udaranya nyaman. Tidak panas, tidak hujan.
Sampai di rumah, Mas baru selesai mandi. Dan saya menungguinya sarapan wkwkwk. Kami kemudian berangkat membelah Jawa Tengah ke Utara, masih mengendarai Supra Merah saya. Orang tua Mas menawari mobil, tapi kami sepakat naik motor karena... yah, biasalah, pengen banyak mampirnya wkwkwk.
Perjalanan terasa saaangat menyenangkan. Saya selalu senang perjalanan jauh sama Mas. Kadang kami mengobrol riang. Kalau jalanan agak padat kami diam. Kadang Mas menggoda saya dengan meliukkan motor di tikungan. Saya pasti menggebuk punggungnya pelan, takut. Dan Mas pasti protes, berdalih saya juga seperti itu ketika bawa motor.
Saya terperangah di Jalan Bawen-Ungaran. Tidak mengira saya menginjak jalanan ini lagi setelah sekian lama, dan bersama orang yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Menjelang jam 10, dan setelah mampir pom bensin untuk merapikan pakaian, kami sampai di tempat tujuan, di jantung Kota. Mas masuk ke gedung, dan saya menunggu di parkiran. Alhamdulillah parkiran motor kala itu teduh dan ada bangku semen untuk duduk-duduk.
Saya melamun sejenak. Saya pernah ke daerah itu beberapa kali dahulu kala, mengenakan seragam SMA saya. Seleksi beasiswa luar negeri yang menjadi incaran banyak anak SMA itu, loh. Sayangnya di tahap terakhir seleksi Provinsi, saya gugur.
Lamunan saya belum selesai, Mas keluar dengan sumringah dan terheran-heran. Tidak lama dia di dalam, dan urusannya sudah selesai.
Kami kemudian memutuskan untuk sarapan. Eh, saya yang sarapan, kalo gembul driver saya ya... sarapan kedua.
Soto legenda kuliner wajib keluarga menjadi tujuan kami. Saya senang bukan main bisa makan di sana, bersama keluarga. Eh, calon keluarga.
Setelah itu kami melaksanakan tujuan agung kami. Apalagi kalo bukan... berburu action figure 😝 Total siang itu kami ke 3 mall untuk menengok gerai mainan incaran. Tentunya kami keluar dengan tangan kosong, tapi hati yang penuh, dan senyum yang terkembang.
Kami akhirnya beristirahat di mall terakhir. Saya dan kewajiban kafein saya, Mas dengan usaha lain mendekatkan rejekinya. Dia mengantuk di hadapan sepiring donat, tapi masih berusaha fokus pada laptopnya.
Selepas Ashar kami kemudian beranjak pulang, meninggalkan Semarang dan semua kebahagiaan singkat kami di sana. Dan hujan super deras melanda ketika kami memasuki Ungaran. Membuat kami cukup basah walaupun sudah bermantel, dan kami akhirnya memutuskan mampir duduk sebentar di toko oleh-oleh idaman saya, alih-alih hanya membeli dan pergi lagi. Duduklah kami berdua. Di hadapan semangkuk bakso dan dua gelas teh hangat. Tapi yang lebih hangat, adalah hati kami berdua. Syubidubiduuu ~
Setelah hujan lebih ringan, kami melanjutkan perjalanan. Saya menawarkan bergantian berkendara yang tentu saja ditolak. Heran, sebenarnya. Gunung Kidul, Banjarnegara, Semarang, Mas selalu menolak bergantian bawa motor. Tapi kalau cuma putar-putar Jogja... pasti dia dengan senang hati membonceng wkwkkw.
Kami sampai kembali ke Magelang ketika Maghrib, masih mampir di Masjid Agung. Meleset dari rencana karena terkendala hujan deras tadi. Rencana awalnya adalah selepas Maghrib saya seharusnya sudah kembali bertolak ke Jogja.
Singkat cerita, akhirnya saya kembali ke Jogja naik mobil. Diantar lengkap sekeluarga Mas. Motor saya dibawa Adik. Tentu rasa bersalah berkumpul di benak saya, walaupun tetap riang gembira ketika makan malam bersama.
Oh, dan singkat cerita lainnya, kurang dari sepekan setelah perjalanan kami ke Semarang, Mas memulai karirnya... bukan di Semarang. Hehehe. Rejeki tidak terduga, kan?
0 notes
andityarani · 4 years ago
Text
Status
Satu sore menjelang Ramadan.
Hari itu aku makan malam bersama keluarga(nya). Iya, lagi-lagi aku dijemput di kosan, dan akhirnya kami jalan-jalan. Mas sekeluarga cuma ke Jogja “demi” makan dan jalan-jalan sama aku. Hahahahaha. Kami berlima menyusuri jalanan sore Jogja. Mas pindah ke samping Ayah yang gantian nyetir, sambil jadi navigator.
Tadi aku dan Mas diskusi singkat waktu aku dijemput di depan gerbang kosan, menentukan satu tempat dengan cepat. Aku tau, Bunda pasti akan suka tempat itu. Bisa kebayang dua anak laki-lakinya akan kerepotan meladeni permintaan foto-foto, dan aku cuma senyam-senyum melihat tingkah semuanya.
Hampir 45 menit ke Timur, dan ternyata tempatnya penuuuh. Hari itu hari Minggu terakhir sebelum puasa, dan tumben matahari cerah sampai sore menjelang.
Setelah hanya numpang Sholat Ashar, kami akhirnya masuk mobil lagi dan ke tempat tujuan yang baru. Bunda kelihatan sedih karena udah mupeng banget foto-foto cantik sambil makan di tempat tadi. Tapi terus langsung tergiur sama menu-menu di tempat selanjutnya, setelah aku kasih tau namanya dan Bunda searching di Google. Aku sempat telpon dulu untuk reservasi, tapi nyatanya kami diminta langsung datang saja.
Bukan, bukan perjalanan itu inti ceritanya. Sebentar lagi.
Kami akhirnya sampai di satu tempat di Utara, mengambil tempat satu gubuk untuk menyendiri berlima, dan diskusi seru pilih-pilih makanan dengan nama-nama aneh. Aku terlalu menikmati. Bahkan aku sepertinya semakin rileks menunjukkan muka-muka anehku di depan Ayah dan Bunda.
Setelah pesan, Ayah dan Bunda jalan keliling resto buat foto-foto, Adek ke kamar mandi, dan kembali ke gubuk kami, langsung rebahan. Aku dan Mas... biasalah, ngobrol debat nggak penting sambil ketawa-ketawa. Ketika makanan datang, kami makan pelan-pelan, semua menikmati! AAAH! SO HAPPY!
Inti ceritanya tetap bukan di situ.
Selepas makan, kami Sholat Maghrib dan ke toko souvenir di situ. Pilih-pilih batik. Sempat ada pembicaraan ke arah kembaran baju sama Bunda, and this is not the first time, u kno. Akhirnya Mas dapat satu kaos, dan aku justru dapat dua daster bayi untuk Rhea tersayang di Jakarta. Setelah puas mengelilingi toko dan galeri di situ, kami kembali ke Selatan, ke kosku.
Di dalam mobil, Bunda sempat minta foto yang ada di hapeku. Of course, seperti yang sudah-sudah, kalo foto pasti aku diseret untuk foto berdua. Di sebelah Bunda, yang jauuuh lebih modis, jauuuh lebih glowing, jauuuh lebih fotogenik, padahal ya lebih tua. Aku selalu kebanting tapi yasudahlah.
Akhirnya akupun mengirimkan foto-foto ke Whatsapp Bunda.
Dan ternyata...
Nah ini inti ceritanya.
Setelah aku sampai di kos, selesai mandi, dan rebahan main hape... Aku lihat status Whatsapp Bunda. Diawali dengan foto berdua Ayah, dihiasi caption “Bersama keluarga <emot love 4 kali>”. Selanjutnya ada foto Bunda sendiri, cantik-cantik. Dan... foto Bunda bersamaku. Deg. Iya, bersamaku. Aku foto berdua sama Bunda, dipost di Whatsapp. My heart skips a beat, guys.
Belum selesai jantungan, foto sebelahnya bikin ndredeg lagi. Foto aku sebelahan sama Bunda waktu lagi nulis pesanan, senyum menghadap kamera, dan ada Mas dan Adek main hape nggak peduli. Aku ingat waktu itu Ayah leyeh-leyeh tiba-tiba suruh kami mendekat ke satu meja, dan... jepret! Apakah barusan ini foto keluarga?
Aku?
Keluarga?
Anak Bunda?
Beneran, deh. Aku langsung pening liat status Bunda begitu. Kayanya biasa aja ya, tapi... bagiku luar biasa, sih! Hahaha... I don’t know. Ya buatku dan Mas, sih, sebenernya kami santai menjalani relationship ini. Santai sekali. Kadang emang kami malah dibuat syok oleh komentar-komentar berbau harapan dari orang tua masing-masing... ~
Nah, terkait status Whatsapp Bunda itu...
Apakah ini saat yang tepat untuk memanggil... calon mertua? WKWKWKWK.
0 notes
andityarani · 5 years ago
Text
Dating
It’s 2021 already. Kalau dihitung kasar, ini tahun ketiga saya yang berhias satu nama, walaupun usia kami belum nyampe tiga juga. Sejujurnya kalo ditanya tanggal peresmian alias jadian, saya pasti kebingungan. Harus nunjukin beberapa foto dulu ke dia sambil nanya, “Kita jadian pas ini apa ini?” Soalnya, menuju ke sono emang pembicaraannya panjang wkwkwk.
Tiba-tiba jadi inget, dia ini dari dulu sampe sekarang selalu ketawain saya dan cerita-cerita kandas saya di masa lalu. Well, itu sih salah satu penghubung kami dulu. Suatu malam di bulan April, COD barang di teras kos saya, dua orang nggak pernah ketemu tiba-tiba ngobrol dua jam non-stop. Wih, kaget juga loh saya, kirain udah males bersosialisasi. Nah, dari situ kami banyak curhat. Saya tau segala rencana juga kekhawatiran dia. Dan dia tau cerita-cerita saya di masa lalu yang berujung kandas. Dan dia selalu ketawa. Emang. Emang pantes diketawain.
Beberapa bulan berikutnya, dia sudah bukan milik orang lain, pun saya sudah nggak dibayangi orang lain. Sambil nunggu jam nonton, kami keliling ringroad. Saya inget banget waktu itu kami masuk underpass Jombor, dia tanya, “Kenapa sih dari dulu kok kamu nggak pernah bilang ke cowok kalo baper? Or at least membuka pembicaraan ke sana.” Saya syok, dong. Emangnya segampang itu? Harga diri cewek di mana? WKWKWK. Ya gitu lah pokoknya, saya emang beberapa kali nyimpen rasa sendiri sampe akhirnya ditinggalin. “Ya takut ditolak lah, gila lu,” jawab saya setengah berteriak di terowongan. Dia ketawa. FYI, dulu emang saya suka nyeplos gue-lu biar rada kasar, biar lebih ‘aman’. Wkwkwk. Sejujurnya saya lebih ngerasa aman waktu dia punya pacar. Begitu dia bilang udah putus, deg-degan, sih. Takut baper. Makanya agak saya kasarin. Kembali ke underpass Jombor, tiga detik setelah jawaban pertama, mulut saya tiba-tiba lanjut bilang, “Tapi kayanya kalo sama elu mah gapapa gue bilang-bilang aja kalo baper.”
Duh.
Kok saya terlalu jujur dan polos ya waktu itu?
Kayanya dari situ masing-masing dari kami terus jadi kepikiran masalah per-baperan itu, dan akhirnya baper beneran, deh! Hahaha.
Kebaperan itu terasa banget waktu saya dan dia tiba-tiba kepisah. Saya ada dinas di ibukota (ceilah, dinas) dan dia balik ke rumahnya kemudian ada acara keluarga di timur. Yang sama-sama kami sadari, berjauhan itu nggak enak! Kami sama-sama mengakui kalah dan lelah, kami sama-sama kehilangan, kami sama-sama butuh dekat. Waktu kami ketemu lagi, dimulailah pembicaraan panjang beberapa episode tentang *ehem* jadian. Sumpah ya, kayanya ada deh dua minggu ngomongin perasaan doang wkwkwk.
Well, dating is not easy.
Pertama, hubungan kami ini ofc terbayangi masa lalu. Satu tangan masa lalu kami sama-sama masih ‘nggondeli’ dengan cara yang berbeda. Mantan saya (yang udah putus 5 tahunan lalu) nyeramahin dia karena nggak terima dia dan saya jadian wkwk konyol. Dan somehow posisi saya agak nggak enak karena hubungan dia dan mantannya agak rumit. Pokoknya ya, kalo udah urusan sama mantan tu hmmm sebel deh! Kedua, saya nggak terbiasa dengan perhatian. Entah diberi atau memberi. Awalnya melelahkan, sangat melelahkan. Hal-hal yang saya selalu bisa sendiri mendadak terasa susah kalo nggak ada dia. Hal-hal yang saya nggak peduli, mendadak tampak sebegitu pentingnya. Saya kewalahan dengan perubahan. Kadang jadi uring-uringan nggak jelas. Kasian dia wkwkwk. Ketiga, we take everything too fast. Dia ketemu orang tua saya, juga eyang dan pakdhe-budhe. Grup keluarga heboh. Ekspektasi bermunculan. Apalagi saya langsung dibawa kabur tiga hari sama keluarga dia. Nginep di rumahnya pula. Ngawur banget sih emang. Dari situ kadang saya merasa kalo kami nggak berhasil, pastilah kami menyakiti banyak pihak. Itu beban. Walopun sampe sekarang ngebandel juga, sih wkwkwk.
Dating is not easy wkwkwk. Nggak gampang, at all. Ini bukan pertama kalinya saya dating. Bukan pertama kalinya saya ngerasa doki-doki sama seseorang, tapi entah kenapa segala hal terasa baru dan so exciting sampe bisa pingsan saking jingkrak-jingkraknya. Sepertinya dia bisa membuat ‘nggak gampang’ menjadi ‘nggak susah’, dan ‘nggak susah’ menjadi ‘menyenangkan’. Memiliki dia di hari-hari saya, walopun sekadar tulisan, membuat apapun jadi menyenangkan.
Wih, panjang juga gombalan saya. Udah, ah. Jejak digital tuh abadi, eh. Kalo saya dan dia nggak berhasil, pasti pedih bacanya :p
0 notes
andityarani · 5 years ago
Text
...
I had my breakdown event again last night. I didnt know why the tears wont stop falling. Even sleep didnt bring peace. I had a nightmare. Some kind of vision, but in a bad ways.
Everything came to my mind, it only needs one second. I started to questioning my self. The pain, the sadness, the desperate feeling, it grew slowly and crush me, again. I always have this kind of me time, at least once a month. I wont blame my period, because it's already over. So, why? Why do you let doubt fill yourself? Is it just your overthinking mind? Or is it the truly you?
0 notes
andityarani · 5 years ago
Text
Asah-asah
Ada cerita waktu aku asah-asah di rumah yangti siang tadi. Tiba-tiba aku ketawa, inget yang kemaren asah-asah di rumahku. Asah-asah alias cuci piring, adalah pekerjaan yang sebenernya akutu muaaales banget ngerjain wkwkwk. Kalo di kos sih ya harus asah-asah ya, lha piring sendok cuma satu 😅 Tapi kalo di rumah akutu sering males, sampe numpuk, diomelin, baru deh asah-asah. Nah beberapa waktu lalu ada orang main ke rumah. Sebut saja Mas. Nongkrong, ngobrol, trus makan siang. Nah pas abis makan itu, aku beres-beres laaah. Eh kok tiba-tiba dia ngerebut piring yang dah aku tumpuk. Yaudah kirain mau bawain aja, trus bareng cuci tangan di dapur. Eeeh lagi, lha kok dia tiba-tiba nyalain kran, ambil spons, dan asah-asah. Ibuk dah ngelarang, tapi aku malah ngakak dan... mendukung 🤣🤣🤣 Aku nggak tau, sih. Lagi mau pencitraan di depan ibuk apa gimana WKWKWK. Tapi emang Mas tuh kalo di rumahnya, palagi kalo mbak yang bersih-bersih nggak datang, tugas Mas asah-asah sama jemurin baju. Sama nguras akuarium. Sama benerin apa gitu, dandan-dandan omah pokokmen. Tapi baru sekali ini aku liat dia asah-asah. Misal dulu main ke kontrakan dan aku bawain bekal, dia asah-asah juga sih abis makan, jadi aku bawa pulang kotaknya dah bersih. Tapi aku nggak pernah ikut dia ke belakang dan liatin dia kerja gitu. Baru kemaren liat dia asah-asah, di rumahku pula. Seneng, geli, dan anehnya aku ngerasa... bangga (?) Padahal bukan hal aneh kalo cowok asah-asah. Udah sewajarnya bisa pekerjaan rumah gitu, kan. Tapi lucu aja. Yaaah mana tau ke depannya bisa sering liat dia asah-asah. Plus bantu jemurin. Atau bantu ngepel. Atau malah masakin apa gitu. Aamiin nggak?
2 notes · View notes
andityarani · 5 years ago
Quote
another quest: sore, ruang tamu, dan orang tuamu.
0 notes
andityarani · 5 years ago
Quote
they dont know how many times i had my breakdown event. they dont know how many nights i stayed awake in my bed. they dont know how many tears i shed in my pillow. they dont know how many hours i spent staring at my walls and they dont need to know. as long as i get up all over again, no matter how many times i try so hard to stand. they dont need to know. at all.
0 notes
andityarani · 5 years ago
Photo
Tumblr media
Cerita Kinan tentang Fajar - 40. Tentang Fajar (on Wattpad) https://my.w.tt/xtRAPJXGq8 Kinanti bersahabat sejak kecil dengan Fajar. Lalu tiba jeda. Lalu semesta mempertemukan mereka kembali. Dengan sejuta pikiran dan pertanyaan tanpa jawaban.
1 note · View note
andityarani · 5 years ago
Text
Berantem
Beberapa malam yang lalu, aku berantem sama Mas. Layaknya semua pasangan muda di muka Bumi, pasti ada saja hal yang menggelitik dan menjadi akar dari perdebatan. Kalimat demi kalimat dilontarkan, mewakili segala perasaan yang terpendam. That was not our first fight, tapi polanya tetap sama.
Baik debat maupun diam kami tidak akan bertahan lebih dari dua jam. Pasti ada saja yang terlebih dahulu mencoba merajuk, mengirimkan stiker lucu atau mencoba melempar kalimat menarik.  Malam itu giliranku. Pertama kalinya aku mengejar Mas ketika sedang berantem seperti ini. Biasanya dia terus wkwkwk. Lega, tentu terasa setelah kami kembali bertukar pesan seperti biasa. Menunggu esok segera datang agar bisa mendengar suaranya dan tertawa bersama. Again. That was not our first fight, tapi polanya tetap sama.
Sebuah pola yang patut aku syukuri beribu kali. Kami, sama-sama terlalu takut untuk membuat kecewa, terlalu takut tidak cukup baik dan pantas untuk satu sama lain. Hanya itu, yang membuat kami berantem. Mas merasa tidak cukup baik dalam memperhatikan dan mendengarkanku, sementara aku merasa terlalu membebani dengan segala ocehanku baik remeh maupun berat.
Hanya itu yang kami khawatirkan, bahwa kami tidak cukup baik untuk satu sama lain. Is it a good thing, or not?
0 notes
andityarani · 5 years ago
Text
Hehe
Susah juga ya, jadi orang yang pembawaannya selalu tenang dan terlihat cuek, sering cengar-cengir. Padahal dalam hati... bubar jalan. Waktu lagi kebanyakan pikiran jadi banyak orang yang nggak ngerti. Padahal pengen sekali-kali dingertiin.
Salahmu sendiri sih, curhat sedih panjang lebar selalu diakhiri ‘hehe’.Ya, secara logika orang akan menganggap itu ngga penting, hehe doang. Gimana, ya. Aku emang orangnya ‘haha-hehe’. Gimana dooong.
Dua kali, aku ingat betul. Agustus 2017 dan Oktober 2019. Hanya dua kali dalam kurun waktu tiga tahun, aku bisa mencurahkan kegelisahanku ke orang lain sampe bener-bener nangis. Tapi tetep aja, diakhiri dengan kalimat “Ih apa banget aku sampe nangis,” dan “Hehe.” Jadinya tuh yang dicurhatin bingung, sebenere sedih beneran apa enggak sih wkwkwk.
Dua kali dalam tiga tahun, padahal tekanan dirasakan sepanjang tahun. Suka kasian sama kepala, sama badanku :”” Kalian yang tipe-tipe memendam, ada nggak yang kalo lagi stress badan langsung bereaksi? Kalo aku biasanya migrain, trus punggung kaku banget, belakangan tambah sariawan. Susah tidur? Makanan sehari-hari itu, mah.
Tapi kadang pemikiranku tuh gini. Misal aku keberatan mikir sesuatu, badan mulai kalah, algoritma pemikiranku langsung ngirim sinyal dalam bentuk kalimat, “Masih banyak orang yang bebannya lebih berat, dan mereka nggak ngeluh. Mereka kuat. Mereka bertahan.” Selanjutnya aku akan masuk ke mode: ah, ini sih nggak seberapa. Berasa punya kekuatan lagi. Walaupun ofc aku tau, pada akhirnya aku nggak pernah menghadapi dan menyelesaikan masalahku. Cuma dilewatkan begitu saja.
Jadi ya..., hehe.
Hmmm. Ini aku tuh ngomong apa ya? Wkwkwk.
Sebenernya, kalo aku dah mulai ngetik-ngetik di platform ini, alih-alih komunikasi dengan realita, artinya aku mulai nyerah sama manusia-manusia di sekitarku. Mereka tuh baik, super baik. Tapi aku rasa mereka nggak terlalu bisa memahami aku, masalahku, dan aku dengan masalahku. Jangankan orang lain, diri sendiri aja juga gagal paham kan? Wkwkwk.
Kocak bener nih, manusia quarter life crisis.
Maaf-maaf saja, tulisanku ini emang nggak ada intinya. Hehe.
0 notes
andityarani · 5 years ago
Text
Drama
Curhat dulu, curhat lagi, curhat terosss.
Aku nggak mengira bahwa di umur 25+ ini justru aku mendapat drama baru. Sebut saja drama masa lalu.
Entah bagaimana tiba-tiba satu hal di masa lalu muncul dan bertengger dengan anggunnya. Tanpa effort, tanpa paksaan. Tau-tau muncul aja. Mau dibiarkan, mau dicuekin, bisa. Tapi nanti juga bakal muncul lagi. Entah bagaimana juga, tiba-tiba tulisan-tulisan randomku, curhatanku dalam bentuk cerita semi-fiksi panjang jadi akar masalahnya. Kisah hidupku yang aku tulis dengan begitu rapi, berharap bisa menyimpannya entah sampai kapan, ternyata nggak menarik dibaca orang lain. Bahkan menggelitik. Bahkan mengganggu.
Pada akhirnya, aku menghadapi sebuah konfrontasi, walaupun secara nggak langsung.
Selama ini, selama sekolah belasan tahun, dan selama hidup di Fakultas Kebanyakan Gadis, aku nggak pernah terlibat drama nggak penting sama sesama wanita. Eh. Pernah WKWKWK, tapi aku keseret gitu lah, bukan aku yang membuat drama hihihi. Aku kira aku suka ketenangan. Aku kira sejuta skenario cukup berjalan di kepalaku saja.
Kemudian muncul satu drama. Muncul paragraf-paragraf panjang untuk ditukar. Bersamaan dengan itu muncul sesal, rasa bersalah, ketakutan dan kekhawatiran, juga muncul kesal dan sebal.
Menyesal, karena aku nggak bisa bersikap lebih baik. Bersalah, karena aku tanpa sadar mengganggu ketenangan orang lain. Takut, karena aku harus lebih berhati-hati melangkah. Khawatir, karena siapa tau ini bisa terulang. Kesal, karena aku nggak tau jelas salahku di mana. Sebal, karena aku nggak bisa berbuat lebih untuk memperbaiki.
Pada akhirnya, setelah pertukaran paragraf yang kuanggap selesai dalam damai, muncul drama baru. Mind games, kalau aku bilang.
Aku berusaha diam, tapi pada titik tertentu aku pasti bersalah. Boleh nggak, aku tau salahku di mana?
Boleh nggak, kita akhiri semua drama?
Ini baru satu. Aku masih punya  banyak drama untuk diselesaikan. Happy ending, please?
0 notes
andityarani · 5 years ago
Text
Harapan dan Ketakutan
Hello, aku siap curhat lagi di sini WKWKWK.
Well, hari ini – ah sebenarnya sudah sejak beberapa waktu lalu – aku tersentil dengan satu kata itu. Apalagi kalo bukan ‘nikah’. Yang tiba-tiba ditanya sebenarnya target nikah umur berapa, ditanya kapan diresmikan, kapan di... ah, itulah.
Oh, believe me, aku juga kepingin nikah. Tapi ya nggak sekarang.
Memangnya setelah nikah nggak butuh makan? Tempat tinggal? Memangnya cukup dengan cinta bahagia dan – maaf – berdoa?
Beberapa bulan belakangan mungkin banyak orang di sekitarku yang sangat amat terkejut dengan perubahan pada diriku, dan dengan datangnya seseorang yang sekarang selalu kubawa bawa namanya wkwkwk. Sebut saja Mas.
Sejak awal aku tanda tangan kontrak untuk jadi *uhuk* pacarnya Mas, aku pun sudah berpikir sangat banyak dan panjang. Eh, ralat. Kami. Satu yang langsung terlintas di pikiranku kala itu, Duh, bakal pacaran lama kalo gini caranya.
Aku menyadari betul kondisi kami berdua. Apalagi melihat keadaan saat ini, di mana kami sama sekali tidak bergerak, menganggur di masa karantina wabah ini. Aku, mahasiswa putus asa yang merelakan segala rencana rapiku tahun ini hancur berkeping-keping dan akhirnya hanya pasrah dan mencoba tetap tersenyum. Dan Mas, yang juga segala rencananya tertunda dan berhenti seketika, bersamaan dengan berhentinya segala macam aktivitas di dunia.
Semua ini jelas akan memperpanjang masa pacaran kami yang memang sudah akan panjang wkwkwk.
Dan dari awal sebenarnya aku baaanyak sekali menyimpan keraguan. Bagaimana aku harus menyikapi hadirnya orang baru dalam kehidupanku, bagaimana aku harus merelakan waktu, tenaga, dan pikiranku untuk orang asing. Yang jelas, aku mumet. Tapi, bagian dari diriku yang lain mengatakan dan mempertanyakan, Kalau bukan dia, siapa lagi? Kalau dia sama yang lain, kamu mau?
Ini aku jujur, lho, beneran aku mikir kaya begitu dulu. Halo, Mas, kalo lagi baca mohon ditahan ketawanya ya, aku kan udah ceritain ini dari dulu, jadi gausah ketawa mulu. Wkwkwk.
Pada akhirnya aku menjalani hari-hari selanjutnya dengan Mas sebagai bodyguardku. We didn’t start as best friend. Bahkan at first I never consider him as a friend. Kami hanya dua orang yang kebetulan saling kenal karena lingkaran-lingkaran kami bersinggungan. Kami saling tau sejak 2013. Cukup saling tau, belum kenal. Kami baru punya urusan berdua pada 2017, apalagi kalo bukan koas-pasien WKWKWK.
Kami mulai dekat setahun yang lalu, ketika kami sama-sama mencari pelarian dari kehidupan masing-masing. Menurutku, sih. Halo, Mas, pasti Mas mau menyangkal kan, kalo dulu Mas lagi cari pelarian?
Dan sejak itu, perlahan kami tumbuh bersama jadi teman baik. Bahkan sampai sekarang kadang aku bingung caranya pacaran itu gimana, karena bersama Mas serasa bersama kawan lama yang bertahan lama. Baik obrolan ringan tapi panjang maupun diam sama-sama kami nikmati bersama. That’s what I like about us the most. Ya kami nggak selalu se-chill itu, bucin yang cringe juga sih wkwkwk, tapi untuk konsumsi pribadi lah.
Kami sama-sama sadar bahwa menikah itu masih jauh dari jangkauan kami. So we take it easy. Kami menjalani hari demi hari tanpa beban buru-buru menikah. Kami yakin kalo sudah saatnya tiba, ya udah say hello saja.
Tapi kenapa, ya, begitu banyak yang ‘ngejok-joki’ omongan tentang pernikahan. Lha kami aja santai, kenapa kalian yang ribut? Yang ngejalanin siapa, sih? Yang nanggung senang-susahnya siapa, sih? Emangnya mau berkontribusi apa? Mau ngado apa? Mau bikinin rumah? Cicilin mobil?
Jadi mohon maaf ya, kalau kira-kira tidak akan berkontribusi banyak dalam kehidupanku nanti... shhh just shut the fff-reak up.
Aku tu bukan nggak mikir, ya. Mikir. Mikir banget malah. Tapi aku tau diri. Aku melihat kapasitas diriku. Harapan buat ke depannya tentu ada. Masa orang hidup nggak pake harapan? Tapi untuk saat ini, melihat kondisi dan keadaan sekarang, ketakutan lah yang mendominasi. Satu hal yang pasti adalah aku takut bahwa masa depanku bukan di jalan ini, bukan bersama Mas. Dan yang jelas, aku sangat amat teramat takut bahwa aku akan pacaran lama dengan Mas.
Udah tau takut tetep dijalani dari awal WKWKWK Anda ini nggak punya pendirian WKWKWK.
Haha. I’m lucky to have him in my life rite now. I don’t want to lose him. Have you ever met someone so precious to you?
Sepertinya kalau dilanjutkan curhatan ini akan melebar ke mana-mana. So, bye for now.
1 note · View note
andityarani · 5 years ago
Text
Maybe oneday you'll feel your heart is getting bigger. As someone stays there little longer.
Maybe oneday you'll feel your mind finds where it belongs. As someone told you that you are strong.
Maybe oneday is today. And you hope it lasts everyday.
0 notes