Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Berjalan Dalam Pelarian
: Cita-cita Partikel Firman
Dalam pelarian dari isi-isi hati yang gundah, juga renda-rendaan saraf kepala yang terbahak-bahak menyampaikan makna kemerdekaan atas cinta; sontak menjadi linglung akibat kekurangan udara segar yang menyejukkan isi lorong-lorong rongga dada dan batok tengkorak.
Pelarian ini semakin jauh dan dalam menuju pusat kenikmatan kasur dan bantal; sumber perasaan ini dijara oleh riaknya keinginan menyuguhkan fakta, namun yang ditenggak adalah sisa-sisa air mata yang mengalir dari dalam mata air keabadian jiwa. Diamku berdiri mencari alasan yang tersirat oleh pualamnya taman bunga-bunga tidur, akulah air yang menghidupi kematian itu dengan paling sungguh.
Pelarian yang jauh dan melelahkan. Aku kewalahan dan haus akan sentuhan dari hangatnya anggur kehidupan, namun.. ketika tidak suci dari kutukan yang ada, akan ada banyak jiwa yang merasa dikhianati, sebab yang diperoleh dari mereka ialah timbangan dari masa penghakiman Tuhan. Aku ingin berdoa kepada-Nya, namun Tuhanku sudah mati dan ikut dihakimi bersama sekuntum cinta manusiawi yang bersetubuh dengan sejarah, lalu melahirkan anak-anak keadilan bersama catatan dari kebenaran semesta yang cacat.
Dalam pelarian ini, aku harus menutup semua mata, berjalan oleh pelita harapan di tengah gelap gulitanya samudera raya. Cinta itu mengkhianati aku—tepat di permukaan kulit air yang menyala-nyala terkena bias purnama [purnama yang selalu berganti dan terus berlalu meski masih akan tetap sama: tidak berubah]. Aku kecewa dan malu karena telanjang di hadapan kesucian republik Tuhan, yang menjajah kecoklatan kulit dan keriput—keritingnya helai rambut. Tubuh ini terguncang oleh iman dan kenikmatan yang mirip bagai saudara: satu rahim dara.
Perjalananku adalah seorang diri di tengah taburan bunga tidur dan beningnya arus nurani, aku masih harus berperang melawan jiwa dan kenyataanku sendiri. Tidak ada yang kubawa dari rumah-rumah kelahiran, bahkan pakaian yang menyelimuti imanku selama ini; aku telanjang, bersama dada yang melebar, pinggang yang melapang dan dengan tungkai kaki yang gentar akibat hujan di bulannya para pembual. Pembual yang melagukan banyak lelucon asmara bersama pengetahuan tentang jejak keabadian surga.
Perjalananku adalah peristirahatnnya garis takdir dari siratan segala seuatu yang bernyawa. Peristirahatanku adalah nyawa-nyawa yang berjalan: bukan pergi atau lenyap; hanya pulang yang begitu nyenyak, tapi belum bisa disebut rumah. Aku adalah siapa—yang—bukan siapa-siapa.
—awan r.

4 notes
·
View notes
Text
Tuhanku Hantu
dan
Aku Bukan Manusia
[1]
saat terbangun dari tidurku
selama sembilan bulan di rahim ibu
terdengar auman neraka
dari kobaran orang berdosa
aku belajar berdoa
dengan mengeja segumpal mantra
dari yang paling gelap,
yang sangat tidak suci
untuk tuhanku yang sudah mati
[2]
setelah merangkak dan hendak berjalan
aku berkelana dengan jiwa yang lugu
menerima salam dan sumpah orang putih
dengan pakaian serba suci—bersih,
kata mereka; aku belum pulih,
kotor seperti parasit
kembali ku rapalkan doa
dengan penuh rasa hina dan kebingungan
hingga tulang rahang gemetar. menggigil.
kulepas resah dengan bahasa yang ku mengerti
kepada tuhanku yang tidak suci
[3]
aku bertumbuh di dalam daging yang amis
tak pernah dewasa menurut kaca—mata surgawi
tak mampu menjadi manusia,
dan tak lebih dari hewan
sebab mereka memenuhi bagian itu
dan tempatku adalah neraka
aku bersedih
menangis dan mengutuk diri
sebab terlahir tidak suci
lalu hidup sebagai laknat dari semesta
aku tidak lagi ingin berdoa;
tuhanku tidak suci.
dia mati. menjadi hantu.
aku kafir. daging ini amis
tak pantas berada di antara orang suci
sebab aku tak setara dengan manusia.
[4]
aku hanya sedih
karena diperlakukan lebih buruk
daripada tumbuhan dan hewan.
[5]
andai saja tuhanku tidak mati
aku akan senang meski dihina
namun tak kesepian seperti ini.
setidaknya dia menemani
agar aku tak kafir seorang diri
di negeri manusia surgawi
dan perkumpulan orang suci.
—àrs
{untuk mengenang peristiwa diskriminasi terkait SARA terhadap saudara Nusantara 2019}
2 notes
·
View notes
Text
Kuharap Engkau Mengerti
: Apakah Pagi Tercipta oleh Api?
[1.a]
ada merah berkelip-kelip
tak lama sebelum senja pergi
itu hangat.
seperti bara api.
seperti mata hati.
[1.b]
ada gelap yang setia menemani
bak cerminan diri tanpa jasmani.
[1.c]
merah itu ingin pergi
menarik rantai hati lain,
namun ta'kunjung pagi
sebab pagi bukan lahir dari api.
[2]
aku punya kehangatan surgawi,
darah para nabi, dan anggur serta cawan suci.
barangkali ada yang mampir
sebelum hari semakin berganti,
sebelum rahasia ini tidak suci.
[3]
siapakah cermin sejati?
siapa saja dari salah satu bidadari.
aku. aku. aku.
agung! agung! agung!
sanjungan itulah tanda kekasih
dan kekasih itulah yang membunuhmu nanti.
—àrs
2 notes
·
View notes