Minako Sakai di PWM Sumbar
Minako Sakai Peneliti Ternama asal UNSW Canberra Australia Sambangi Markas Besar Muhammadiyah Sumbar
https://www.menaramu.id/wp-content/uploads/2024/07/IMG-20240724-WA0069.jpg
Padang, Menaramu.id – Minako Sakai, seorang dosen dan peneliti dari UNSW Canberra yang terkenal karena karyanya dalam pemberdayaan perempuan dan ekonomi di Indonesia, melakukan kunjungan ke Muhammadiyah Sumatera Barat. Dia didampingi oleh Prof. Nazirwan, pertemuan tersebut berlangsung bertempat di Gedung Dakwah Muhammadiyah (GDM) Sumbar.
Kunjungan ini bertujuan untuk membangun silaturahim dengan Muhammadiyah Sumatera Barat, sebuah langkah penting dalam mempererat kerjasama dan mendukung program-program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh organisasi ini.
Kedatangan Minako Sakai disambut hangat oleh sejumlah tokoh penting di PWM Sumbar, antara lain Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, Bakhtiar, Sekretaris Apris, Wakil Ketua Ki Jal Atri Tanjung, Hendri Novigator, Bendahara Murisal, dan Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat Guswardi.
Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kolaborasi antara UNSW Canberra, Australia dan Muhammadiyah Sumatera Barat dalam bidang penelitian dan pengembangan program pemberdayaan, dengan fokus utama pada perempuan dan ekonomi lokal.
Ketua PWM Sumbar Bakhtiar, mengapresiasi kunjungan Minako Sakai ke Muhammadiyah Sumbar, ia merasa terhormat atas kedatangan Minako Sakai seorang peneliti terkenal dari UNCW Canberra Australia tersebut.
“Muhammadiyah dalam membangun kemanusiaan sudah terbukti melalui Amal Usaha seperti sekolah, panti asuhan dan masjid, bahkan di Sumbar saja kita Muhammadiyah memiliki 50 panti asuhan, melebihi yang di miliki oleh pemerintah,” kata Bakhtiar.
Minako Sakai mengungkapkan, ia mulai tertarik dengan Muhammadiyah sudah sejak tahun 1980-an, ia melihat semangat Muhammadiyah melalui etos keagamaan memicu Muhammadiyah melakukan pembangunan manusia melalui pendidikan.
“Ada lebih dari 70 tulisan saya tentang Muhammadiyah, bahkan pada tahun 2020 saya pernah diminta lansung oleh pak Haidar Nashir untuk memberikan testimoni tentang Muhammadiyah,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua PWM Sumbar Ki Jal Atri Tanjung mengatakan, “Muhammadiyah Sumbar selalu terbuka untuk berkolaborasi dalam melakukan pembangunan manusia, kita berharap pertemuan tidak kali ini saja, namun ini bisa dilakukan secara berkelanjutan, karena banyak hal yang bisa kita kerjasamakan,” tuturnya.
Dengan kunjungan ini, diharapkan akan terbuka lebih banyak peluang untuk pertukaran pengetahuan dan pengalaman, serta implementasi ide-ide inovatif yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat Sumatera Barat secara keseluruhan. (EN)
https://www.menaramu.id/minako-sakai-peneliti-ternama-asal-unsw-canberra-australia-sambangi-markas-besar-muhammadiyah-sumbar/#google_vignette
0 notes
Takut Menjadi Orangtua
(hanya tulisan hasil overthinking seseorang yang masih lajang)
Beberapa hari yang lalu, saya baca sebuah postingan dari akun instagram 'islamfiy' soal kampanye lgbt di london melalui mata pelajaran siswa sd. Disana menampilkan sosok perempuan berhijab bernama Hafsa yang mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang lesbian. Disamping ngeri mengingat bagaimana gencarnya paham liberalisme yang berkembang, saya jadi ovt, saya takut membayangkan anak saya nanti harus berhadapan dengan dunia yang semenyeramkan seperti apa.
Dulu jika berandai soal kehidupan pernikahan, yang ada dalam pikiran saya hanya berputar pada kemandirian finansial dan kematangan psikologis. Tapi semenjak kuliah, saya menemukan lingkungan yang tidak pernah saya rasakan, orang-orang yang jauh berbeda dengan mereka yang selama di pondok selalu membersamai saya, dunia yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Karena itu lah saya semakin fakir ilmu dan malah semakin merasa belum siap untuk membangun rumah tangga. Bukan karena tidak mau, tapi di dunia yang sudah serba gila ini, saya khawatir tidak dapat menjadi ibu yang bertanggungjawab. Banyak pertanyaan yang menghantui saya; Apakah ilmu saya sudah cukup? Apakah saya mampu menjadi madrasatul uula bagi anak saya kelak? Apakah nanti saya bisa dapat menjaga dan mendidik anak-anak saya?
“Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya yang akan membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi” (H.R. Muslim).
Buku yang saya baca blm seberapa, kelas-kelas yang saya ikuti masih dapat dihitung jari, lingkarang diskusi yang saya ikut pun masih sangat sedikit. Saya gundah bukan main. Walaupun teori-teori itu sudah pernah saya dapatkan, tapi saya masih sangat takut untuk mempraktikannya langsung. Tapi itu tidak menjadikan saya ingin childfree ya wkwkwkwk toh ketakutan ini juga yang mendorong saya mengikuti kelas-kelas pemikiran dan membaca buku-bukunya, ya karena saya tidak mau buta tentang mana yang haq dan bathil di dunia yang sudah penuh 'keabu-abuan' ini.
Jika hari ini saya dengan mudah dapat menemukan banyak hal menyimpang seperti lgbt yang dinormalisasi dan bahkan menjadi segmen hiburan yang banyak dinikmati, saya jadi berpikiri, di kehidupan anak saya nanti bisa saja sudah tidak ada lagi kampanye soal lgbt, karena bukan tidak mungkin itu sudah menjadi bagian dari masyarakat. Itu baru lgbt. Belum lagi hal-hal lain yang sedang marak di berita belakangan ini seperti perzinahan, kekerasan, dan bahkan pembunuhan yang tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tapi juga anak-anak. Yang tentu saja akar dari segala permasalahan tersebut adalah perang pemikiran melalu media apapun itu.
Dewasa ini pemikiran islam malah dianggap kuno dan kaku sedangkan pemikiran islam liberal yang juga banyak dikaji oleh para cendikiawan yang belajar islam di eropa dan amerika malah banyak diminati dan dianggap berkemajuan. Padahal ada orang belajar islam di barat saja rasanya sudah aneh. Belum lagi memakai referensi-referensi orang non islam sebagai bahan belajar. Ya boleh sih, tapi yaa seharusnya tetap dikritisi bukan malah iya-iya saja. Ini malah terbalik, karya tokoh-tokoh muslim dan bahkan al-qur'an yang dikritisi, lagi-lagi dibandingkan dengan ucapan tokoh yang bukan islam pula. Sekalinya pakai referensi orang islam, ternyata tokoh syiah ataupun mu'tazilah dan beranggapan bahwa mereka adalah bagian islam yang tidak sesat. Dan budaya belajar islam liberal seperti ini banyak diajarkan secara tidak langsung dalam jenjang pendidikan, tapi dari ceramah para seniornya, dalam forum kaderisasi, diskusi-diskusi ataupun ya hanya ikut-ikutan karena dianggap keren.
Filasafat memang harus dipelajari, tapi dengan panduan yang benar. Bukan sekali dua kali para aktivis islam liberal menganggap islam hanya sebagai produk sejarah. Coba sesekali tanya bagaimana rukun islam mereka. Bahkan dalam tataran kampus, mudah ditemukan para aktivisnya enggan mejalankan kewajiban yang sudah dengan jelas diperintahkan, ada yang memang malas tapi ada juga yang malah dengan berani menggugat otoritas wahyu. Aneh? Ya inilah realitasnya lingkungan yang kita tempati sekarang, mungkin suatu alasan juga mengapa kita umat islam malah ikut terhayut dalam hal-hal yang syubhat dan pada akhirnya keliru membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Lahhh bentar ini jadi kayaknya banyak yang mulai keluar dari judul tulisan wkwkwkwkwk skippp
Jadi, yaa gituuu. Saya dihantui perasaan takut. Di dunia seperti apa nanti anak saya tumbuh. Formulasi apa yang harus saya rumuskan untuk mendidik anak. Sudah siapkah saya menjalani fase tersebut? Sedangkan sebagai anak kecil, mereka pasti akan melihat pada orang tua, karena bagi mereka orang tua adalah ukuran kebenaran. Makanya setiap kali mendapat kabar kawan yang akan menikah, saya kagum bukan main. Keteguhan hati seperti apa yang mereka miliki. Kekuatan besar apa yang sudah mendorong mereka untuk dapat mengambil keputusan yang luar biasa hebat itu. Saya selalu kagum dengan mereka, terutama kami masih di umur belia. Saya tidak bisa membayangkan ujian-ujian apa saja yang sudah mereka lewati sebagai ibu muda yang baru pertama kali memiliki anak.
Namun dengan banyaknya pr serta kekurangan ini, saya tidak ingin menyerah. Saya tetap ingin dapat berkumpul lagi dengan keluarga di surga Allah kelak. Semoga Allah senantiasa mengutkan dan melindungi kita, keluarga kita, dan keturunan-keturunan kita kelak.
🌼 • ┈ ๑ ⋯ ୨ ୧ ⋯ ๑ ┈ • 🌼
Salam sayang, Piwa.
5 notes
·
View notes
Dari Kartini hingga Kini, Bertungkus Lumus di Jalan Literasi
Jam tujuh pagi tanda bel berbunyi masih beberapa menit lagi di madrasah tempat saya mengajar sejak lima tahun lalu. Di lapangan, anak-anak OSIS dengan sigap menghamparkan terpal plastik agar bisa diduduki oleh siswa-siswa yang lain.
Di bagian depan, dekat tiang bendera, tiga orang guru bahasa Indonesia telah bersiap. Bu Lia, Bu Fifit, dan Bu Susi. Mereka akan memandu kegiatan pembiasaan yang sudah kami rutinkan. Kami menyebutnya sebagai "Serasi". Akronim dari Selasa Literasi. Sebuah acara sederhana dimana seluruh siswa diwajibkan membawa buku bacaan non pelajaran.
Lalu, seorang guru bahasa Indonesia meminta secara bergilir, dua sampai tiga siswa, untuk mengikhtisarkan hasil bacaan dari buku yang dibawanya di depan seluruh siswa. Terkadang, guna memantik motivasi siswa agar berani maju ke depan, ada hadiah kecil-kecilan yang disediakan oleh guru. Misalnya cokelat, alat tulis dan semacamnya.
Tak jarang juga diselingi pertanyaan trivia ihwal buku dan kesusastraan di akhir pembiasaan. Ada yang antusias mendengarkan, beberapa cuek saja, satu dua orang sibuk dengan telepon genggamnya. Tak apa. Oh, ya. Di akhir semester, setiap siswa mesti meresensi satu buku fiksi atau non fiksi dan kemudian dikumpulkan kepada guru bahasa Indonesia. Yang dianggap terbaik ada hadiahnya.
Barangkali aksi kami hanyalah setitik usaha menghidupkan gerakan literasi yang sudah dikampanyekan oleh pemerintah sejak lama, dan juga mengajarkan kepada siswa kemampuan membaca tingkat lanjut agar mereka sedikit demi sedikit bisa memahami sesuatu yang sederhana hingga kompleks.
Mungkin, apa yang kami praktikkan masih jauh apa yang diimpikan oleh Kang Maman Suherman, aktivis literasi dan perbukuan. Di sebuah reels Instagram, Kang Maman mengatakan bahwa literasi itu bukan hanya bisa membaca dan menulis, karena buta huruf di Indonesia tinggal sedikit lagi. Yang menjadi titik tekan apakah setelah membaca itu siswa bisa menuliskan apa yang ia baca, dan selanjutnya apakah siswa bisa mempraktikkan apa yg telah ia tuliskan.
Literasi itu, lanjut Kang Maman, sejatinya adalah mencerahkan, memperkaya wawasan, dan memberdayakan. Kang Maman optimis bahwa literasi masyarakat Indonesia akan meningkat sesuai apa yang kita harapkan.
Tak mudah mencapai tujuan literasi seperti apa yang dipersyaratkan oleh Kang Maman, akan tetapi dengan usaha dan kreativitas yang dilakukan oleh organisasi, komunitas atau individu yang terlibat dalam kegiatan literasi, bukan tak mungkin kita bisa menggapainya.
***
Menjadi bangsa yang melek huruf dari arti luas memang tak bisa diraih secara instan. Pelan tapi pasti kita sedang melangkah ke arah itu. Mari kita tengok sejarah perkara literasi yang disuntikkan perlahan, kurang lebih sejak seratusan tahun lalu.
Permulaan awal abad ke dua puluh adalah "angin segar" bagi kaum pribumi. Walaupun tetap saja secara de facto pemerintah kolonial Belanda masih mencengkeram wilayah Nusantara.
Sejumlah politisi di negeri Belanda menggagas apa yang disebut sebagai Politik Etis, yang bertumpu pada tiga hal, yakni edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Hal ini dilakukan sebagai upaya balas budi atas "kebaikan" yang telah dilakukan oleh penduduk Hindia Belanda selama ratusan tahun.
Di awal fajar abad ke dua puluh, muncul seorang perempuan yang berkemajuan melampaui zaman bernama Kartini. Ia mendobrak kebiasaan dan tradisi-tradisi yang berlaku pada masa itu dengan harapan bisa meningkatkan derajat perempuan. Ia memilih berjuang dengan tulisan, yang di kemudian hari pikiran-pikirannya itu menginspirasi perempuan bahwa mereka bisa menjadi apapun sepanjang mempunyai kemampuan.
Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja bertungkus lumus menulis sepak terjang Kartini. Menurut Pram bahwa Kartini dikenal orang justru karena statusnya sebagai pengarang melalui karangan-karangannya, baik dalam bentuk surat, catatan harian, puisi, maupun prosanya. Kartini sebagai seorang pengarang perempuan, pada waktu itu memang belum terlalu lumrah untuk diketahui oleh khalayak ramai.
Pernah suatu ketika, menurut Pramoedya, ia menulis tentang antropologi perkawinan yang terjadi di kalangan pembesar pribumi yang bahannya diambil sewaktu adiknya Kardinah kawin pada tahun 1903. Sebuah majalah di terbitan Nederland berkali- kali meminta izin untuk menerbitkannya, tetapi Kartini menolak. Redaksi majalah tersebut kembali mendesak, sekiranya Kartini tak setuju namanya dicantumkan, nama itu boleh dibuang. Kartini tetap menolak, dengan alasan biar dibuang nama itu, orang akan tetap tahu siapa penulisnya. Dan menurut Pram, alasan itu memang tepat, karena waktu
itu terlalu sedikit orang Indonesia yang bisa menulis dalam bahasa Belanda, lebih sedikit lagi yang karangannya sampai bisa diumumkan.
Namun, hal yang menjadi bagian penting dari kepengarangan Kartini adalah surat-menyurat. Surat-menyurat inilah yang kemudian dihimpun oleh Mr. J.H. Abendanon, pada waktu itu bekas Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda, dan diterbitkannya dengan judul Door Duisternis tot Licht atau Indonesianya, yang dikenal selama ini: Habis Gelap Terbitlah Terang.
Bersamaan itu pula mulai timbul kesadaran kebangsaan, barangkali efek samping Politik Etis yang menyengat pada bangsawan pribumi, yang kemudian oleh Abdul Rivai disebut bahwa saat ini tak hanya bangsawan usul tetapi juga telah hadir bangsawan pikiran. R.E Elson dalam bukunya The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan menyebut nama Raden Mas Tirtoadisuryo yang sangat yakin dengan kekuatan pendidikan barat dan gagasan baru, serta pentingnya pers dalam menyebarkan keduanya.
Tirtoadisuryo sendiri sudah mendirikan koran pribumi pertama pada tahun 1903 dan terkenal karena mendirikan koran mingguan Medan Priyayi di Bandung pada 1907. Penulis masyhur cum kandidat Nobel Sastra, Pramoedya Ananta, Toer tak ragu lagi menyebutnya sebagai Sang Pemula. Peran Tirtoadisuryo dengan media cetaknya menginjeksi para pembacanya perihal munculnya rasa kebangsaan sebagai kaum pribumi yang ditindas oleh kaum kolonial.
Dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, kebijakan Redaksi Medan Prijaji yang diambil Tirto adalah dengan memberi kelonggaran kepada pembacanya menulis apa saja dan mengadukan hak-haknya yang dicurangi. Kalau ada surat-surat seperti itu, tugas Tirto memberi komentar. Itu artinya, pada masanya, Tirto memperlakukan Medan Prijaji betul-betul sebagai pengawal pendapat umum. Sepak terjang Tirto itu kemudian membuat sosok Tirto dalam kurun yang sama menjadi manusia berbahaya bagi pemerintahan kolonial lantaran ia telah mengubah cara berkeluh kesah publik dengan cara paling modern, yakni lewat koran.
Setahun setelah terbitnya Medan Priyayi, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan Komisi Bacaan Rakyat yang menjadi cikal bakal Balai Pustaka, sebuah institusi yang berdiri di Batavia sejak 15 Agustus 1908. Balai Pustaka, tulis P Swantoro, dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu merupakan salah satu
lembaga kebanggaan pemerintah Hindia Belanda karena dinilai berhasil menerbitkan dan menyebarluaskan buku-buku bacaan di Masyarakat Hindia Belanda.
Terlepas ada motif politik atau tidak dalam memilih dan memilah mana bacaan yang boleh dan tidak boleh, Balai Pustaka barangkali telah berjasa menyuburkan minat membaca masyarakat pada waktu itu. Keberadaan Balai Pustaka, tulis Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa, berperan penting dalam penyediaan bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia.
Roman-roman seperti Atheis, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat dan lain-lain menjadi bacaan populer yang dinikmati oleh kaum pribumi saat itu. Pengarang-pengarangnya dalam sejarah kesusasteraan Indonesia bahkan dikenal sebagai Angkatan Balai Pustaka seperti Marah Rusli, Merari Siregar, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar dan lain sebagainya.
Selain menerbitkan buku-buku, masih menurut P Swantoro, Balai Pustaka menerbitkan majalah Pandji Poestaka, juga mengeluarkan mingguan berbahasa Sunda, Parahiangan, dan majalah berbahasa Jawa, Kejawen. Di samping itu ada lagi produk Balai Pustaka yang tak kalah populer dibandingkan ketiga berkala tersebut yakni Volksalmanak, Almanak Rakyat yang terbit setahun sekali dalam tiga bahasa: Melayu, Jawa, Sunda. Setiap edisi bertiras seratus ribu eksemplar, tebal sekitar 300 halaman. Lumrah jika terbitan Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu, Jawa, dan Sunda, karena secara demografis banyak yang menjadi penuturnya.
Tak bisa dipungkiri, keberadaan Balai Pustaka sebagai lembaga yang memproduksi bacaan rakyat sedikit banyaknya telah menumbuhkan minat baca pada kaum pribumi, terutama pada mereka yang mengenyam pendidikan masa kolonial imbas dari politik etis. Hasil-hasil bacaan itu, pada sisi lain, menggemakan apa yang disebut kesadaran kebangsaan yang tertanam kepada sejumlah bangsawan-bangsawan fikiran hasil sekolahan. Sebutlah misalnya Tan Malaka yang menulis traktat Menuju Indonesia Merdeka atau Sukarno yang menulis pledoi Indonesia Menggugat yang dibacakan di pengadilan Bandung.
Musim semi cara-cara baru mengalahkan kolonialisme Belanda selain-meminjam istilah Ben Anderson-kapitalisme cetak, juga memunculkan organisasi-organisasi politik dan massa. Inilah salah satu strategi menghadapi kolonialisme versi abad kedua puluh. Muhammadiyah adalah salah satunya.
Organisasi massa Islam yang berdiri pada tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan ini tergolong pionir setelah Sarekat Dagang Islam yang bersalin rupa menjadi Sarekat Islam. Muhammadiyah awalnya hanya beroperasi di Yogyakarta dan kemudian Jawa. Lambat laun mulai menjangkau ke seluruh Hindia Belanda.
Untuk menjaga dan mengembangkan persyarikatan Muhammadiyah, secara cerdas dan visioner Kiai Dahlan merintis bahwa dakwah tak hanya omongan belaka yang sifatnya terbatas, namun mesti diimbangi dengan dakwah bil qalam atau melalui pena yang bisa menjangkau segmentasi umat yang lebih luas.
Tak lama sejak pendirian Muhammadiyah, ormas Islam ini kemudian merintis pendirian majalah Suara Muhammadiyah, yang menurut temuan sejarawan Kuntowijoyo bahwa majalah Suara Muhammadiyah tertua yang bisa ditemukan secara fisik di perpustakaan Universitas Leiden Belanda adalah nomor 2 tahun ke-I tahun 1915 M/1333 H.
Menurut Sejarah Seabad Suara Muhammadiyah Jilid 1 (1915-1963), penemuan Kuntowijoyo itu mengubah pandangan tentang jejak Suara Muhammadiyah untuk seterusnya. Diakui bahwa Suara Muhammadiyah mulai lahir pada Januari 1915. Sejak edisi 1990, tahun 1915 inilah yang dipakai sebagai patokan dalam menentukan kelahiran majalah ini dan umurnya kemudian.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang sejak awalnya ingin memajukan Islam secara modern dan berkemajuan, meyakini bahwa suasana zaman pada waktu itu oleh Kiai Dahlan jauh tertinggal oleh kaum penjajah. Umat Islam mengalami inferior dan tidak percaya diri menegaskan identitas keislamannya.
KH Ahmad Dahlan mendidik umat dengan sedikit pendekatan yang bisa jadi tak “umum”, melalui sekolah, amal usaha kesehatan, dan bacaan-bacaan keislaman yang di produksi oleh Taman Pustaka Muhammadiyah agar umat Islam tak ketinggalan zaman dan juga wawasan.
Mengutip dari mpi.muhammadiyah.or.id, H.M Mokhtar, ketua bagian Taman Pustaka Muhammadiyah menyampaikan dengan tegas di depan KH Ahmad Dahlan bahwa “Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka akan bersungguh- sungguh berusaha menyiarkan agama Islam yang secara Muhammadiyah kepada umum, yaitu dengan selebaran cuma-cuma, atau dengan Majalah bulanan berkala, atau tengah bulanan baik yang dengan cuma cuma maupun dengan berlengganan; dan dengan buku
agama Islam baik yang prodeo tanpa beli, maupun dijual yang sedapat mungkin dengan harga murah.
Dan majalah-majalah dan buku-buku selebaran yang diterbitkan oleh Taman Pustaka, harus yang mengandung pelajaran dan pendidikan Islam, ditulis dengan tulisan dan bahasa yang dimengerti oleh yang dimaksud. Bahagian Taman Pustaka hendak membangun dan membina gedung Taman Pustaka untuk umum, dimana-mana tempat dipandang perlu. Taman Pembacaan itu tidak hanya menyediakan buku-buku yang mengandung pelajaran Islam saja, tetapi juga disediakan buku-buku yang berfaedah dengan membawa ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemajuan masyarakat bangsa dan negara yang tidak bertentangan kepada agama terutama agama Islam.”
Inilah bentuk sumbangan kreativitas literasi Muhammadiyah yang turut andil dalam menyadarkan umat dan juga masyarakat. Bahkan, lanjut Sejarah Seabad Suara Muhammadiyah Jilid 1 (1915-1963), di paruh pertama dekade 1930-an, umpamanya, ada beberapa majalah yang diterbitkan oleh organisasi maupun warga Muhammadiyah. Seperti majalah Moetiara, Wali Songo (dengan kantor administrasi di Muhammadiyah Cabang Wates), Pemimpin Moeballigh (dengam kantor administrasi di Kepandaian 13, Palembang), Sentosa (Konsul Bengkulu), dan Menara Koedoes (Bagian Taman Pustaka Cabang Kudus). Tak ketinggalan majalah bulanan bertajuk Pantjaran Amal yang diterbitkan oleh Muhammadiyah Cabang Betawi Bagian Tabligh.
Kombinasi antara kerja-kerja organisasi politik, ormas berbasis agama, dan tulisan-tulisan yang menyadarkan bahwa kolonialisme harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, membawa Indonesia ke dalam- meminjam istilah Bung Karno-jembatan emas bernama kemerdekaan. Walaupun hanya sedikit yang baru bisa membaca dan menulis di awal kemerdekaan, tak menyurutkan Bung Karno dan Bung Hatta pantang mundur ke belakang.
Sejumlah penulis dan sastrawan Angkatan 45 justru memanfaatkan momentum ini untuk mengobarkan semangat perlawanan. Penyair Chairil Anwar hadir lewat “Karawang Bekasi”, “Diponegoro”, dan “Siap Sedia”. Idrus menyodorkan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dalam merekam kisah-kisah revolusi yang mungkin saja terjadi kekonyolan di sana sini. Kepengarangan Pramoedya Ananta Toer juga diawali sejak masa revolusi.
Ia pernah menyerahkan naskah Sepoeloeh Kepala NICA dan kemudian hilang di tangan penerbit Balingka. Suasana kemerdekaan dan liku-likunya ia rekam dalam Di Tepi Kali Bekasi. Namun yang kemudian membawa namanya melambung tinggi adalah ketika Tetralogi Buru edisi pertama terbit oleh Penerbit Hasta Mitra. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca dibaca secara sembunyi-sembunyi oleh para aktivias mahasiswa pada saat itu.
Barangkali ada semacam rasa tak lengkap kalau aktivis tak membaca karya Pram. Zaman kemudian berubah, beberapa waktu lalu, saat Kemendikbud merilis Sastra Masuk Kurikulum, Bumi Manusia masuk ke dalam buku yang direkomendasikan untuk dibaca.
***
Mungkin tak terbayangkan bahwa kita akan mengalami revolusi digital yang begitu rupa pada saat ini. Internet di Indonesia yang mulai diperkenalkan pada tahun 1990-an mulai mulai mereduksi relung-relung kehidupan bahkan yang paling subtil sekalipun.
Jarak dan waktu tak menjadi soal yang berarti. Surat elektronik menggantikan surat dalam bentuk lembaran kertas yang mesti dikirim oleh pos atau kurir. Paket data internet membawa aplikasi apapun guna mempermudah apa yang kita inginkan.
Menulis yang dulu misalnya harus lewat media konvensional macam buku, majalah, dan koran, seolah menjadi ketinggalan zaman. Tergantikan dengan blog, medium, platform media sosial yang menyediakan fitur "note", hingga aplikasi menulis yang mempermudah orang untuk berkarya.
Banyak sekali penulis-penulis yang lahir akibat kecanggihan revolusi internet. Raditya Dika, seorang penulis, youtuber kondang, dan pendiri stand up comedy di Indonesia mengawali karirnya dengan menulis cerita-cerita lucu di blog. Lalu dibukukan dan sebagian diangkat ke layar lebar.
Agustinus Wibowo, penulis cum penjelajah menuliskan pengalaman mengeksplorasi tempat-tempat di seluruh dunia mulanya dari halaman-halaman internet dan kemudian diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul Selimut Debu, Garis Batas, Titik Nol, Jalan Panjang untuk Pulang menjadi buku-buku laris. Harus diakui bahwa penulis-penulis generasi mutakhir memengaruhi begitu banyak orang yang ingin berkarier pada jalur yang sama walaupun tentu saja akan memberikan hasil berbeda.
Paling terkini adalah ketika Martin Suryajaya yang dikenal sebagai dosen, penulis filsafat, novelis dan juga kritikus sastra memanfaatkan kecanggihan Artificial Intelligence (AI). Ia, pada tahun 2023 meluncurkan buku yang bertajuk Penyair sebagai Mesin.
Dari froyonian.com disebutkan bahwa buku itu membuka mata pembaca soal perkembangan dunia sastra dari kacamata AI. Buku yang disusun 2,5 bulan tersebut dibalut dengan ilustrasi penyair legendaris Chairil Anwar dengan beberapa bab yang salah satunya membahas eksperimen Martin dalam mengumpulkan korpus puisi-puisi Indonesia dan melatih mesin AI untuk melihat bagaimana teknologi ini bisa membuat karya serupa. Kecerdasan artifisial apakah menjadi “ancaman” atau berkah di segala bidang kehidupan, itu semua bergantung pada kita sebagai manusia di belakang kemudi AI.
Dari perjalanan literasi bangsa yang sudah dikemukakan di atas, setidaknya kita bisa melihat adanya tonggak-tonggak pembentukan, lalu perkembangan, dan kemudian merespon konteks zaman yang terus menerus berubah. Tujuannya tak lain adalah memberikan pencerahan, memperkaya wawasan, memberdayakan lalu menggerakkan. Menghidupkan literasi mungkin seperti melangkah di jalan sunyi, namun percayalah, majunya peradaban sebuah bangsa dimulai oleh segelintir orang yang bersikeras mengajarkan huruf, angka, dan juga aksara.
0 notes