Tumgik
#aksen
universallanguageclub · 7 months
Text
Beragam Aksen dalam Bahasa Inggris Britania Raya
Titus Agung Adiyatma Buat kamu yang sudah pernah menonton film-film yang mengambil latar tempat di Inggris, seperti Harry Potter, Johnny English, atau seri TV seperti Peaky Blinders, kamu pasti menyadari bahwa orang-orang Inggris memiliki gaya bicara atau aksen tersendiri ketika mereka berbicara. Umumnya gaya bicara ini disebut sebagai ‘British accent’ (B.indonesia: Aksen Inggris). Terkait…
View On WordPress
0 notes
sinerjiportfoy · 1 year
Text
YÜKSELME İHTİMALİ OLAN HİSSELER (47) Bizi takip edin hisseleri kaçırmayın. DETAYLAR LİNKTE
0 notes
plusborsa · 2 years
Photo
Tumblr media
🔰Analist Tavsiyeleri ve Hedef Fiyatları🔰 #Akbnk #Garan #İsctr #Kozal #Aksen #Sise #Cimsa #Aefes #Bimas #Sokm #Mgros #Pgsus #Thyao #Tavhl #Froto #Toaso #Otkar #Eregl #Krdmd #Arclk #Tuprs #Kchol #Sahol #Alark #Aksa #Vesbe #Kords #borsaplus #borsa #BorsaIstanbul @halkyatirim https://www.instagram.com/p/CmWaQZwI9Vy/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
bitegore · 2 years
Text
tempted to write my posts in a phonetic accent just for kicks
15 notes · View notes
frenchbulletin · 2 years
Text
Élections en Turquie : la menace de fermeture d'Erdogan place les Kurdes sous le parapluie d'un autre parti
Tout semble prêt pour les élections turques du 14 mai, où le président Recep Tayyip Erdogan affrontera Kemal Kilicdaroglu. Mais deux variables évoluent dans l’équation électorale, qui pourraient potentiellement jouer un rôle de catalyseur dans le résultat final. L’un est bien sûr les Kurdes. Comme on l’a appris il y a quelques heures, le Parti démocratique populaire pro-kurde (HDP) de Turquie a…
View On WordPress
0 notes
lilanathania · 27 days
Text
Anthropomorphism
Pernah merasa sayang atau suka pada binatang karena tingkahnya yang konyol? Apalagi ketika mereka mulai bertingkah manja dan menggemaskan seperti bayi yang polos? Itulah antropomorfisme. Kecenderungan kita melekatkan emosi pada spesies atau benda lain yang bukan manusia.
Tumblr media
Pada awalnya konsep ini mungkin terkesan sederhana dan tidak melukai siapapun. Saat anak kecil memukul atau menindih hewan peliharaan, orang tua sering berkomentar, "Jangan, adik kalau dipukul kan juga sakit!" Anak-anak kemudian belajar bahwa hewan sama seperti manusia. Mereka kemudian belajar bahwa hewan bisa merasa senang, marah, dan bosan seperti manusia. Sayangnya, ada hal penting yang luput dari proses pembelajaran ini. Manusia dan hewan tidak berpikir dan berproses dengan cara serupa. Pemaksaan untuk melekatkan sifat-sifat manusiawi pada hewan adalah sesuatu yang berbahaya.
Contoh sederhananya, kita sering menilai tingkah tertentu hewan sebagai 'bahagia' atau 'tersenyum', padahal nyatanya mereka sedang marah atau takut. Beberapa contoh yang pernah viral di internet misalnya tentang beluga yang dikira sedang 'bermain' tetapi ternyata marah pada anak-anak (bisa dibaca di sini) atau kungkang yang terlihat imut karena mengangkat tangannya padahal itu merupakan postur defensif (video singkat bisa dilihat di bawah). Mungkin ada banyak contoh lain yang belum saya ketahui, tapi pesannya sama; kita tidak bisa menerapkan standar manusia pada spesies lain.
Banyak orang merasa bisa 'melindungi' dan memberikan hidup yang baik pada hewan-hewan liar dengan standar yang kita terapkan pada hewan peliharaan atau diri sendiri. Padahal, masalahnya tidak sesederhana itu. Setiap hewan memiliki kecerdasan yang berbeda. Mereka berpikir dan berkomunikasi dengan cara unik. Salah satu informasi yang bisa menyadarkan kita adalah bagaimana paus berbicara dengan dialek serta aksen khas.
Paus adalah mamalia laut yang sangat cerdas. Penelitian bertahun-tahun menunjukkan bahwa kelompok paus yang hidup di daerah tertentu berbicara dengan dialek yang sama. Jadi, kita bisa menerka paus ini berasal dari mana berdasarkan caranya bernyanyi. Lebih gilanya lagi, orca atau paus pembunuh bahkan bisa belajar dan meniru bahasa lumba-lumba! Tetapi masih banyak orang yang merasa mereka hanya sekumpulan ikan besar yang sekadar hidup untuk makan dan berenang!? (Saya sisipkan satu video keren mengenai hal ini).
youtube
Bila kita menangkarkan binatang-binatang sosial yang cerdas ini dalam sebuah kolam kecil, bayangkan betapa depresinya mereka. Hewan sepintar ini dikurung dalam ruangan kecil tanpa stimulasi? Bagaimana kalau manusia yang dipaksa hidup dalam satu ruangan kecil seumur hidupnya? Apakah itu yang dimaksud dengan melindungi?
Saya bisa menceritakan berbagai macam hal menakjubkan lain tentang hewan-hewan di sekitar kita. Bukan hanya itu, tanaman pun menyimpan sejuta cerita yang tak kalah mengagumkan. Saya akan beri tahu satu yang paling keren. Tanaman tomat bisa berkomunikasi satu sama lain. Ketika ada beberapa tanaman yang diserang hama, tanaman-tanaman tomat lain di ladang yang sama akan memproduksi zat yang menangkal hama tersebut!? Dan kita manusia menganggap mereka hanya dedaunan yang tak bisa apa-apa!? (salah satu jurnal yang membahas tentang hal ini bisa di baca di sini).
Pengetahuan semacam ini seharusnya membuka mata kita. Makhluk hidup lain, entah hewan maupun tanaman, masing-masing memiliki hidup-kecerdasan-kemampuan yang unik. Walau bagi kita mereka mungkin hanya binatang atau pohon yang remeh, sangat mungkin mereka memiliki kemampuan yang terasa seperti superpower bagi manusia.
Sedikit bergeser sudut pandang, antropomorfisme juga boleh dibilang merupakan salah satu alasan kuat mengapa manusia lebih peduli dengan binatang peliharaan dibandingkan hewan liar. Kita merasa hewan bermata besar, berbulu halus, dan berkelakuan sesuai kemauan adalah jenis peliharaan ideal. Jika binatang ini berlaku 'nakal' atau 'jahat', berarti mereka bukan 'teman' yang baik. Menurut saya pemikiran ini absurd, memang mereka berevolusi untuk hidup berdampingan dengan manusia. Namun, sungguh aneh kalau kita memaksakan seluruh standar manusia kita untuk mereka. Lebih jahatnya lagi, kita hanya peduli pada hewan yang sesuai dengan standar itu. Jika ada hewan buas menakutkan, dibunuh tidak apa-apa. Tetapi kalau ada anjing atau kucing terluka, semua orang berbondong-bondong fundraising. Bukan hanya pada manusia lain, ternyata pada spesies lain pun kita juga rasis (speciesism lebih tepatnya).
Mungkin orang kemudian berargumen, ada juga lho orang yang suka memelihara hewan liar. Kan itu bukti bahwa hewan tidak harus imut? Anda perlu mempertanyakan ulang motif dan pola pikir manusia. Kebanyakan orang yang suka hewan liar cenderung merasa berkuasa atau dominan jika bisa menangkap/membunuh/menjinakkan hewan-hewan tersebut. Jadi, ini adalah upaya menundukkan spesies lain, satu hal yang berbeda dengan topik utama kita. Dari sudut pandang antropomorfisme, manusia justru melakukan hal ini karena hewan-hewan liar tidak terlihat seperti kita. Manusia merasa perlu menaklukkan makhluk eksotis untuk menunjukkan dominasi tanpa merasa bersalah atau kasihan. Itu juga sebabnya kita merasa lebih iba pada orangutan dibandingkan macan atau badak yang hendak punah, bukan?
Saya tidak menyangkal bahwa secara naluri, manusia memang lebih tertarik pada hewan yang lucu. Namun, memahami 'kelemahan' ini seharusnya membuat kita lebih bijak dalam menjalin hubungan dengan berbagai spesies lain di bumi ini. Masih ada terlalu banyak hal yang misterius dan hebat tentang mereka. Ironisnya, kita lebih sering mencoba melekatkan dengan paksa segala hal yang 'manusiawi' pada binatang. Sampai kapan kita hendak memaksakan standar bodoh itu pada berbagai macam keunikan mereka? Bukankah katanya kita adalah spesies yang paling pintar?
15 notes · View notes
whinlatter · 1 year
Text
Beasts chapter 8 this week out now!
i will simply never stop with the vibes 🚂🧣☕️🏔️🌨️
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
art credits: sambourne house interior (royal borough of kensington and chelsea) | shakin steven by jerrybones | 155-oxford street in the late 1980s by warsaw1948 | picadilly by berk aksen | how soon is now/please please please let me get what i want by the smiths | the grapes by ron donoghue | modern life is rubbish by blur | sambourne house interior 2 | petit grand cafe by dutchamsterdam | a christmas carol by charles dickens
37 notes · View notes
yjhariani · 2 years
Note
imagine anaknya simon manggilnya bukan papa/dad tapi bapak KJSKSJ terus dia nyahutnya "apa sayang?" (yes, i was inspired by that one hamish daud video with his daughter)
I’m putting English translation under the cut because I wrote something cute and I want everybody to enjoy it. ALSO PLS SEND ME THE HAMISH DAUD VIDEO I NEED TO SEE IT RN.
Tumblr media
Hari ini hanya ada Simon dan anaknya di rumah. Sekali-sekali sepertinya membiarkan kamu pergi dengan teman-teman tidak ada buruknya. Lagipula, Simon bisa benar-benar fokus menghabiskan waktunya dengan si bocil.
Setelah beberapa jam diam di rumah, Simon akhirnya mengajak anaknya pergi keluar. Awalnya, rencana Simon adalah untuk mengajak anaknya beli es krim naik mobil, tetapi anaknya punya rencana lain.
“Bapak,” panggil si anak.
Simon menoleh ke anaknya yang ia gendong di satu lengannya.
“Apa, sayang?” balas Simon.
“‘tepeda,” si anak menunjuk ke arah sepedamu yang punya keranjang besar di depannya.
“Bicycle,” Simon mengangguk.
“Mau naik ‘tepeda,” kata si anak.
“You do?” tanya Simon.
“Naik bitycle,” si anak mengangguk sebelum melanjutkan dengan aksen persis seperti aksen bapaknya, “I’ll sit in the basket. Bapak gowes.”
“It’s faster with the car,” kata Simon.
“Mm-mm,” si anak menggelengkan kepala. “Bitycle.”
Simon akhirnya menghela napas dan mengantungi kunci mobilnya.
“Alright,” kata Simon. “You’ll buckle up, you hear me? So you don’t fall off.”
Si anak mengagguk girang dengan cengiran di wajahnya.
Tumblr media
It was only Simon and the child at home today. Letting you hang out with your friends did no harm after all you had done for them, anyway. Besides, Simon got to focus on spending time with his child.
After hours of sitting ducks at home, Simon finally decided to take the kid out. At first, he was planning to go on a drive to get ice cream, but the kid had other ideas.
“Dad,” the kid called.
Simon turns to the kid who he had in one arm.
“What, sweetheart?” Simon asked.
“Bitycle,” the kid pointed at your bike that had a big basket in front of it.
“Bicycle,” Simon nodded.
“Wanna use the bitycle,” the kid said.
“You do?” Simon asked.
“Ride bitycle,” the child nodded. “I’ll sit in the basket. You paddle.”
“It’s faster with the car,” Simon reasoned.
“Mm-mm,” the kid denied. “Bitycle.”
Simon exhaled in the end and shoved the car key into his pocket.
“Alright,” Simon said. “You’ll buckle up, you hear me? So you don’t fall off.”
The child nodded excitedly with a grin.
56 notes · View notes
asrisgratitudejournal · 6 months
Text
Jam terbang
Kemarin udah nulis ini di note hape tapi belum kesempetan buat mindahin ke keyboard beneran.
Jadi beberapa hari ini lagi susah banget kerja. Mau pake alasan Ramadan tapi kok ya jahat banget sama agama sendiri. Sebetulnya karena lagi tahap nulis aja sih. And I dread writing. Kenapa yah. Penyakit avoidantnya keluar lagi. Jadi, harusnya ini draft udah diberesin 2 minggu lalu tapi jujur 2-4 minggu ini gak kesentuh samsek. Alasannya sih ada aja: ya sibuk bikin visa lah, sibuk eksperimen lah. Tapi betulan begitu eksperimennya selesai, sebetulnya ya gaada alasan lagi buat gak menulis. Huft.
Anyway, yaudah itu masalah. Terus akhirnya anxiety dari being unproductive ini trickling down ke mana-mana, termasuk ke meeting kemarin sama collaborators yang di mana aku projecting BIG TIME. Mereka beneran gak ngomongin aku tapi ku takut banget diomongin kaya gitu??? Yaudah lah tapi kalau kata Mas Rangga mah mereka juga pasti projecting juga in some ways dari kata-kataku atau just from seeing me on screen. Kata Deva juga dengerin spv aja Non, collaborators mah gaada hubungannya sama PhD project u. Yaudah jadi ku akan brush it off for now.
Sekarang lagi di VHL. Ku dari kemarin akhirnya cari distraksi. Habis bantuin teman yang mau apply PhD ke Cambridge, ku nge-review research proposalnya dan senang banget, belajar super banyak. Dia ngerjain Education dan interestnya di intersection antara disability education dan family dan healthcare. Very fun.
Yang mau ku-highlight adalah akhirnya ku telponan kan sama teman ini setelah kukasih feedback, dia bilang “duh beda ya emang bahasanya kalau orang academic, pemikirannya juga terstruktur banget”. It was a huge compliment. Karena ku impostor banget sehari-hari di kampus. Jadi begitu doing something voluntary especially for my friends yang outside of academia jadi berasa WOW banget gitu skill menulis super standard ini…
Kemarin habis projecting itu juga ku ngepos story speaking in English karena saking syoknya (video aslinya 5 menit karena ku sekalian memproses apa yang terjadi dan perasaan apa yang kurasakan, tapi yang kupos di story insta cuma 1 menit kayanya). Terus ada yang komen “kak Bahasa inggrisnya bagus banget seperti native”. Padahal mah sebetulnya aksen gak penting-penting amat selama substansinya clear, tapi emang ku punya tendensi sangat mudah picking up accent dan tone jadi yasudah mau gimana lagi.
Nah dari 2 compliments ini ku jadi tersadar beberapa hal… kayanya ada trigger lain tapi lupa apa ya, di twitter gitu deh, awalnya mau ku-twit tapi pas baca lagi kok kaya terlalu provokatif dan might come across as sombong, jadinya gak ku-twit, tapi beneran udah lupa banget apa yang mau disampaikan waktu itu, baiklah, skip. OH INGET! Aku ngepos di story karena rame template “post when yall started dating” terus aku akhirnya ngepos foto-foto ku mulai belajar ke field lah ya 2009 ke Merapi, Sinabung, Jonggol, Tangkuban Perahu. Itu 15 tahun yang lalu. Terus ku mau bilang (ternyata di story, bukan di twitter) bahwa it took me 15 f-ing years to be this good at geology (yang masih super payah di standar barat terutama Oxford).
Ku tersadar bahwa untuk Bahasa Inggris-ku se…lumayan sekarang, skillset geology-ku juga, intinya bisa sejauh ini tu skillnya nggak kebangun overnight. Ada yang namanya JAM TERBANG. Ku bisa mikir dalam Bahasa Inggris ya karena selama 4 TAHUN TERAKHIR kerja pake Bahasa Inggris… Membuat otakku kesetting kaya gitu secara bahasa, struktur kalimat (saintifik), sampai cara berpikir runut di pekerjaan sehari-hari. Kalau minjem bahasa-nya orang neuroscience: ada brain plasticity, neuron pathway-nya yang sering dipake di situ. Makanya sangat wajar jadi lebih cepat buat aku nulis email dalam Bahasa inggris misalnya, versus orang yang sehari-harinya nulis email pake Bahasa Indonesia, atau parahnya lagi kalau dibandingkan sama orang yang nggak nulis email bahkan, cuma whatsappan untuk berkoordinasi sehari-hari (palmface). Dan ini bukan karena pinter, jenius, apalah, betul-betul sesederhana kalau atlet jago main badminton ya gara-gara setiap hari latihan aja. Sama persis kaya gitu.
Berlaku juga buat skill lain ya ini, nggak cuma bahasa aja. Ya ngajar, baca buku, berteman! (as in ngobrol sama orang lain, bisa kelihatan lah mana yang emang terbiasa ketemu berbagai macam orang dan yang nggak), memasak, bersih-bersih, CRITICAL THINKING, menghitung, análisis data, mengelola uang, menyetir, berenang, lari, dan banyak hal lain. Intinya, nggak ada orang pertama kali melakukan sesuatu langsung bisa/bagus. Kalaupun ada, biasanya karena skillset yang dibutuhkan untuk melakukan sesuatu ini ternyata sama/mirip dengan skill yang udah dipunyai sebelumnya. Misal: ada teman yang bilang belum pernah main badminton, tapi dia main tenis, akan ada posibiltas pas si teman ini pertama kali main badminton dia ga mengalami masalah yang berarti, atau bisa langsung jago malah.
Nanti ujungnya ini turun ke kalau ada orang yang memberi compliment tapi kaya gini: “ah Noni mah pinter, makanya gampang buat dia ngerjain X”. Jujur ku berterima kasih sekali kalau didoain yang bagus-bagus kaya gini, ku amin-in aja. Tapi di dalam hati juga sebetulnya ada slight (very slight) (SANGAT TIPIS) kekesalan kaya: “hah tahu apa sih dia betapa kerasnya ku bekerja untuk bisa sampai di level yang dibilang ‘pintar’ itu”. Walaupun maksud si orang ini juga bukan mendiskreditkan usaha/effortku ya, tapi tetap aja, ada sedikit implikasi seolah-olah aku lahir dengan kepinteran itu gitu. Padahal dia nggak tahu aja, BROHHH IT TOOK ME 15 YEARS supaya bisa mikir kaya gini?
Aku termasuk orang yang percaya NURTURE dibandingkan NATURE. Mungkin emang ada ya orang yang naturally talented/gifted, tapi mereka persentasenya kecil banget lah kalau dilihat di distribusi normal. Nah, buat orang-orang biasa-biasa aja kaya kita gini, ya yang akan bekerja adalah nurture. (Sumpah semoga ini aku ga come across as nyebelin kaya orang-orang berprivilege itu. Ini aku gak bilang “supaya bisa seperti aku, kalian harus berusaha keras!!!” gitu nggak ya sama sekali). Cuma ya itu, akan kelihatan sekali di interview misalnya, orang yang memang pernah ngerjain sesuatu lama, dengan pengalamannya (they will exude this certain energy and confidence), versus yang faking.
Terus kemudian pertanyaanya “yah kak tapi aku memang ga pernah dapet opportunity/ keekspos dengan pengalaman yang akhirnya bisa bikin jam terbang aku tinggi”. NAH ini dia sebetulnya masalah yang terjadi dengan perempuan (mulai masuk ke agenda feminis lol). Tapi iya, ku pernah terlibat diskusi dengan teman dia bilang “Tapi emang loh Non jarang banget ada pemimpin cewe yang OK banget leadershipnya. So far, kayanya best leader tu masih cowok sih, makanya ke depan pun akan kaya gitu terus trendnya kata gw.” Di sini lah argumenku masuk: “tau gak kenapa cewek shitty banget at leadership? Karena gak pernah latihan. Jam terbangnya dikit dibandingkan cowok. Pas mereka kecil, di sekolah, di uni, ga pernah dapet kesempatan buat leading, akhirnya kesempatan belajarnya jadi lebih kecil dibandingkan cowok.” Di sini pentingnya ngasih KESEMPATAN BELAJAR yang sama buat semua orang.
Jadinya apakah kalau jam terbang kita belum tinggi, kita bakal susah buat dapetin pekerjaan/sekolah lanjut/posisi? Ini nanti jadi kaya meme “dicari pekerja x minimal umur 20 tahun dengan pengalaman kerja 25 tahun”… Ini juga masuk ke debat yang kemarin sempat rame orang mau apply PhD di US udah punya publikasi pas master, padahal tujuan PhD itu ngerjain riset, kalau lu udah udah punya publikasi mah ya berarti lu dah tahu dong riset itu ngapain dan gimana, terus buat apa ambil PhD ??/
Pada akhirnya ya memang akan bergantung sekali dengan policy dari company atau lab atau deptnya. Apakah mau ambil orang-orang yang jam terbang rendah, tapi POTENSIAL tinggi? Biasanya ini dilihat dari motivasi. Atau kalau misalkan professional hire atau companies yang gak punya uang buat nge-train pekerjanya, biasanya ya mereka akan pilih orang dengan jam terbang tinggi. Mudah soalnya bagi mereka, ga perlu investasi lagi untuk upgrade skill karyawannya.
Jujur ini panjang dan bacot, tapi intinya gitu lah ya. Semoga ke depannya kalau kita ngelihat orang yang jago banget dalam suatu skill, kita bisa appreciate more their efforts and their long hours yang gak keliatan. Bisa aja orang itu udah belajar skill itu 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun. Bisa juga ada trauma yang sebetulnya terjadi dari belajar skill itu. Intinya kalau nggak tahu, yaudah puji aja tanpa undermining them.
Sekian. Mari pulang mencari takjil.
VHL, 16:22
21/03/2024
5 notes · View notes
sembirumenghijau · 3 months
Text
'Kau udah balik ke rumah belum?'
'Udah, barusan nyampek, bentar ye'
'Iyaa, beberes aja dulu'
~~~~~~satu jam kemudian~~~~~~
'Gimana seng?'
'Aku mau menebar negative vibes 🤣'
'Tumbenn, apa apa?'
'Bisa telp ndak lu?'
On call, dan masih berlanjut mengobrol di hampir pertengahan malam ini.
Silvia Izzatunnisa. Perempuan berdarah Kalimantan aksen Melayu, berparas ayu seperti Kak Ros (?) hahaha. Selalu ada cerita dibalik story WhatsAppnya-menunjukkan kebahagian yg bisa diciptakan dengan segala cara. Tampak mengasyikkan.
Kalian pernah dengar kalimat ini?
Orang yg terlihat selalu ceria dan bahagia, ternyata memendam banyak rasa dan cerita.
Silvia Izzatunnisa. Adalah salah satu kawanku yg sangat serasi dengan kalimat itu. Tiba-tiba diam, tiba-tiba riuh membawa banyak cerita. Lalu, diam lagi. Dan berulang.
Malam ini dia muncul karena sedang bingung. Bercerita akan kegelisahannya, yg dia sendiri pun bingung. Hingga aku pun menjadi bingung, karena dia bingung.
Tulisan ini, adalah buah dari kebingungan yg disebabkan oleh kawanku. Selamat membaca. Selamat malam.
–Untuk Izza, semoga Allah lekas mengikis jarak diantara kita ya kawan.
Kamu harus selalu bahagia. Insyaallaah.
25.06.2024
00.02
Tumblr media
Masjid Raya Mujahidin - Pontianak, Kalimantan Barat
2 notes · View notes
cellularn · 6 months
Text
The First Page
Tumblr media
Bau khas buku baru menguar di penghidu, memasuki jam rawan overthinking, perempuan berpakaian serba hitam dengan aksen merah pada tas jinjing itu menetapkan keputusan untuk bersantai di bagian pojok perpustakaan demi ketenangan pikiran walau sementara. Petang menjelang malam adalah waktu terbaik untuk sekadar melamun atau membiarkan diri larut dalam ratus lembar kertas berisi ragam peristiwa, begitu cara pikirnya.
“Mbak Ay, nggak bosen pinjem buku mulu?” untuk hari ini perempuan itu tidak sendiri, selepas menjemput adik paling bungsu ia pergi ke perpustakaan demi sebuah buku kurang dari seratus halaman yang baru dihadirkan dua hari lalu.
“Nggak,” jawab sang puan apa adanya. Ia senang meminjam buku sebab tak punya cukup ruang untuk mengoleksi buku di dalam rumah.
Laki-laki yang sejak tadi menemani hanya berdiam, sesekali mengecek ponsel dan memainkan permainan di ponsel, lalu kembali merecoki dengan melongok ke sampul buku di genggaman kakak perempuannya. “Itu baca apa, Mbak?”
Melihat gerak-gerik adiknya yang tampak begitu jauh dari kata nyaman, bukunya ditutup sebentar. “Iden sebentar, ya, Mbak mau healing. Kamu kalo mau ke kedai sebelah boleh aja, nanti Mbak telepon, oke? Bukunya tipis, kok.”
‘Tipis apanya? Itu bahkan lebih tebel dari LKS matematika?’ ujar Aiden dalam hati saat menatap setebal apa buku tersebut. Menurut dugaan Aiden yang melongok diam-diam, sepertinya ada 300 lebih halaman.
Sedikit jengkel, adik laki-lakinya menggerutu. “Ih, orang nanya doang. Tapi uang aku abis, Mbak. Tadi ketinggalan jadi cuma kebawa 10 ribu, itu pun hasil selipan tas.”
Saking pengertiannya, wanita itu terkekeh, oh jadi ini alasan mengapa Aiden hanya melamun tidak jelas di sebelahnya. “Mbak transfer ke GoPay, sana, gih, kamu di sini malah gangguin Mbak.”
“Mbak udah bilang Bunda?” sepulang sekolah, biasanya Aiden sama sekali tidak diperbolehkan pergi berkelana oleh kedua orang tua, itu kesepakatan mutlak. Bila ingin keluar bersama teman, Aiden akan pulang ke rumah terlebih dahulu dan izin kepada Ibunda tercinta karena Ayah belum kembali dari bekerja. Maka dari itu, perizinan membawanya sampai hampir malam ini dipertanyakan pada sang kakak.
“Udah. Kata Bunda nggak apa, dia bilang sekalian ajak kamu baca, tapi kamunya kan ogah-ogahan, Mbak nggak mau maksa. Jadi ntar Mbak bilang Bunda aja kamu ke kedai. Maaf, buku ini cuma ada satu stok aja, jadi Iden ikutan Mbak ke sini,” tuturnya sedikit menyesal.
Aiden menyengir. “Gak papa, Iden ngerti Mbak butuh refreshing. Makasih, ya, Mbak. Iden ke sebelah. Love you!”
“Hm, too. Mbak transfer sekarang, nanti cek.”
Sang adik dengan celana abu-abu serta sweater biru dongker mengacungkan jempolnya sebelum hilang di balik jajaran rak menjulang.
***
Rak dengan ribuan koleksi buku menjadi rumah kedua bagi seonggok pria bertubuh semampai. Shift sore-malam menjadi tanggungan per akhir bulan ini untuk sementara dikarenakan temannya perlu merawat putri kecil yang dikabarkan dirawat sebab terjangkit demam berdarah.
“Tadi banyak yang balikin buku, tapi belum aku taruh di rak lagi, tolongin ya, Sal.” Pinta wanita penjaga perpustakaan kecil itu setengah memohon.
“Sip, nanti saya rapiin. Cepetan, Kak, nanti Iren keburu ngerengek nyari Mamanya,” ucapnya santai, toh dirinya bukan seseorang yang banyak sibuk, tak masalah bila terkena pergantian shift seperti sekarang.
Dengan tergesa-gesa, Ibu satu anak itu melambaikan tangan. “Iya, nih. Makasih, ya, Sal!”
“Sama-sama, Kak Gauri!”
Usai berkoordinasi, pria itu secara cekatan membereskan tasnya, meletakkan di dalam boks besar khusus menyimpan barang pribadi sebelum mendorong tumpukan buku-buku hasil pinjaman ke tempat semula.
Ekor mata si pria menangkap seorang wanita mengerutkan alisnya di pojok ruangan, wajahnya tampak sedikit tidak bersahabat sebab tatapannya terkunci seakan sudah menyatu dengan lembar per lembar buku bacaan.
Baru kali pertama si pustakawan melihat orang sebegitu serius membaca, ia terlalu banyak menengok pengunjung yang membaca di dalam tak betah dan berakhir hanya melamun alih-alih menghabiskan seratus lembar buku. Ah, sepertinya ia terlalu lama menelaah sampai lupa ada banyak hal untuk dikerjakan.
***
“Mas, kalo saya pinjamnya sekitar sebulan boleh nggak?” tiga tumpuk buku dengan halaman ratusan mendarat di meja dekat pintu tempat di mana para pustakawan biasanya melayani.
“Sesuai sama peraturan di sini, belum bisa, Kak. Maksimal dua minggu seperti biasa,” jelas sang pustakawan.
“Duh, saya ada acara di luar kota dan perkiraan waktunya sampai satu bulan. Boleh, dong, ya?” rayu perempuan di hadapan dengan binar melasnya.
Masih dengan senyum, pria itu menghela napas. “Kalau gitu kenapa nggak beli aja bukunya, Kak?”
“Rumah saya udah jadi gudang buku, Mas, udah nggak ada space lagi. Saya di jalan bosen nih, nggak ada buku.”
“Buku elektronik banyak, nggak perlu sewa sebulan, lho.” Solusi diberikan pada—si ngeyel—pelanggan pertamanya hari ini.
“Buku fisik lebih nyaman dibaca, Mas. Satu bulan, ya?” entah berapa lama ia perlu merayu agar luluh hati pria ini, yang jelas ia perlu buku itu untuk menemani perjalanan panjangnya yang dimulai dari akhir pekan.
“Ini bukan langganan Spotify, Kak. Kalau mau bayar denda 200.000 per buku pinjaman karena telat dua minggu. Gimana?” tawarnya. Itu sesuai peraturan absolut perpustakaan, di mana satu buku telat dikembalikan selama satu minggu, maka satu lembar uang merah menjadi pengganti.
“Mas, emang beneran se-nggak bisa itu? Saya langganan di sini, udah ada booklabs card juga, masak iya nggak ada privilege?” binaran putus asa sekarang dijadikan senjata demi rayuan terakhir.
Namun, reaksi pria itu masih teguh pendirian. “Mau poinnya sampai 100.000 pun nggak akan ada privilege sewa buku satu bulan, tertera di sana tulisannya mendapat buku segel gratis jika poin mencapai 4.000, ‘kan? Nggak ada tulisan ‘Anda akan mendapat kesempatan meminjam buku lebih dari tenggat waktu yang tercantum’. Saya cuma orang yang jaga, Kak, nggak bisa ambil keputusan juga.”
“Aduh, ya udah, deh. Kira-kira dua yang lain ini bakal ada yang keep nggak dalam waktu sebulan ke depan?” perkiraan ia akan meminjam kembali adalah sebulan lagi, ia ingin memastikan apa bisa setelah kembali dari kegiatannya ia pergi kemari untuk segera meminjam buku tersebut.
Raut wajah pria itu tampak berpikir. “Ya ... tergantung. Karena ini buku keluaran terbaru dan kami nggak punya banyak stok, kemungkinan ada.”
“Keep buat saya bulan depan, bisa, Mas—“ dibacanya nama di bagian dada sang pustakawan. “Salim?”
Mendengar namanya disebut, Salim terkekeh, “nggak bisa, Kak.”
“Capek, deh.” Perempuan itu menepuk jidatnya, kemudian memisahkan buku paling tebal untuk dipinjamnya dua minggu ke depan. “Ini dicap dulu, Mas, saya jadi pinjam yang ini aja.”
“Sebentar, ya.” Pria yang dirasa memiliki tingkat kesabaran rendah tetapi mudah mengendalikan itu mengecap kartu yang diselipkan di halaman paling depan buku sebagai keterangan dengan stempel berlogo perpustakaan bernama “booklab.studio” dan memberikannya pada wanita di depan meja.
“Member card-nya dibawa?”
“Ini, Mas.” Ia menyodorkan kartu bercorak minimalis khas interior perpustakaan.
Salim memindai kode dari kartu tersebut supaya poin beragam keuntungan itu menambah dan bisa ditukarkan dengan buku gratis saat jumlahnya mencapai 4.000 poin.
“Terima kasih, Kak Ayla. Have a good day!” di sana pula Salim mengetahui siapa nama pelanggan yang memohon padanya tadi.
“Serius nggak bisa sebulan?” masih juga.
Salim tertawa. “Nggak bisa, Kak.”
Ayla memanyunkan labiumnya. “I will not have a good day, fyi.”
Serius, pria itu tak hentinya terkekeh melihat bagaimana bibir wanita itu tertekuk karena inginnya tak dituruti. Mau bagaimana lagi, Salim bukan siapa-siapa yang mampu seenak jidat mengubah peraturan berdasar luluh lewat cemberut. “Smile. It'll be help. Kalo ada bukunya, saya hubungi.”
Langkah yang semula ingin melewati pintu kembali berbalik. “Lewat?”
“Dari member card kan ada alamat e-mail. Nanti saya kabari lewat e-mail.” Tunjuk Salim pada komputer di hadapan. Membuktikan bahwa perkataannya benar.
“Yes! Thank you, ya, Mas Salim!” binaran ceria kini menghiasi wajah manisnya, ia bergegas pergi dengan langkah bergegas, tak lagi lesu seperti sebelumnya.
Pria tersebut bergeleng. Ada-ada saja jenis manusia masa kini.
3 notes · View notes
plusborsa · 2 years
Photo
Tumblr media
23 HİSSE İÇİN ORTALAMALAR #AKSA #AKSEN #ALKIM #ANHYT #ASELS #BIMAS #CCOLA #DEVA #DOAS #ENKAI #EREGL #FROTO #HEKTS #INDES #ISDMR #ISMEN #LOGO #SARKY #SASA #SISE #TOASO #VESBE #borsaplus #borsa #BorsaIstanbul #bist100 https://www.instagram.com/p/CmWC02eI5CS/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
rajutmerajut · 7 months
Text
Tas rajut kantong HP 2 zipper dengan aksen taman bunga mawar 🌹
Pemesanan bisa kontak rajutmerajut.com 🥰
Dengan PO kalian bisa pilih warna dasar dan warna bunga ��
2 notes · View notes
mariacallous · 1 year
Text
Can elections remove an autocrat like Turkish President Recep Tayyip Erdogan from power? If you pose this question to Turkey watchers in Western capitals to get their take on the country’s upcoming election, you will get a resounding “no” from a significant number of them. Some will say Erdogan is still very popular—or at least adept at mobilizing his followers. Others will argue that elections do not matter in the entrenched autocracy he has built; one way or another, he will find a way to stay in power. Take the Western conventional wisdom about this Sunday’s election with a grain of salt, and here’s why.
Erdogan is indeed a popular leader. He commands somewhere between 40 percent and 45 percent support, no small feat after 20 years in power. But he is not nearly as popular as he once was. In the 2018 presidential election, Erdogan captured 52 percent of the vote, or some 26 million votes. Several factors worked in his favor then. The elections were held just two years after the failed 2016 coup and its “rally-around-the-leader” effect. Erdogan was riding high on a wave of nationalism after the Turkish military intervened in the Syrian civil war to fight the Syrian Kurds. The country was not suffering from a major economic crisis like today. The opposition was fractured: The popular Peoples’ Democratic Party (HDP) co-chair Selahattin Demirtas, Iyi Party leader Meral Aksener, Republican People’s Party (CHP) candidate Muharrem Ince, and Felicity Party leader Temel Karamollaoglu were each on the ballot running separately against Erdogan. The nationalist base was more unified, with the majority still backing Erdogan; the nationalist breakaway Iyi Party had been established too recently to draw away much of the vote.
Fast-forward to 2023. To win the election, Erdogan has to capture more than the 26 million votes he secured in 2018 because Turkey’s voting population has grown. His problem is that he faces a dramatically different political context that makes that task very difficult. The failed coup’s rally-around-the-leader effect is long gone. The wave of nationalism that Erdogan once rode has come back to haunt him: There is now a growing nationalist opposition to Erdogan, with several nationalist parties peeling away votes from his far-right ally, the Nationalist Movement Party (MHP). The Turkish economy has plunged into a major crisis, with runaway double-digit inflation and soaring food prices. Most importantly, the opposition is more united than it has ever been: Six parties have come together under the Nation Alliance banner and a single presidential candidate, CHP leader Kemal Kilicdaroglu, with additional backing from the pro-Kurdish HDP. Altogether, Kilicdaroglu commands 50.9 percent of the vote, according to the latest poll.
Skeptics might say that these arguments and poll numbers would only be relevant if Turkey were a democracy and add that Erdogan has so much to lose that he would do anything to secure victory. They have a point. It is easy to be cynical about elections in a country run by an entrenched autocrat who has demonstrably manipulated previous votes and refused to accept the results when they haven’t gone his way. In the June 2015 parliamentary elections, Erdogan’s ruling Justice and Development Party (AKP) lost its parliamentary majority. Erdogan stalled talks between the AKP and the CHP about forming a coalition government and forced new elections. He renewed the fight against the outlawed Kurdistan Workers’ Party to reverse his party’s defeat in new elections held that November. In 2017, Turkey held a controversial constitutional referendum to switch to an executive presidency that would grant Erdogan unprecedented powers. The referendum, which Erdogan won by a narrow margin, was marred by widespread allegations of fraud. In both the parliamentary elections and referendum, the opposition was not organized enough to protect the ballot or challenge Erdogan’s efforts to create a fait accompli.
In 2019, however, things changed. Erdogan’s party lost almost all of Turkey’s major cities in municipal elections. Particularly frustrating for Erdogan was the loss of Istanbul, the financial capital where he had launched his political career. Erdogan did not accept the opposition’s narrow win in Istanbul and called for a rerun. When the election was run again, the ruling party lost by a much bigger margin. Erdogan abusing his power to deny the election result had the effect of mobilizing the opposition.
What does this tell us about elections in Turkey? That they are popular and fraud is not, making heavy-handed election fraud risky for Erdogan. The 2019 elections made something else clear, too. When the opposition parties get their act together, they can beat Erdogan at the ballot box. Skeptics might point out that the stakes are much higher for Erdogan in the upcoming vote than they were in the 2019 municipal elections and that he will not accept defeat gracefully. They are not entirely wrong. In personalist autocracies like Turkey, rulers who lose power are likely to end up in jail or exile, so they risk everything to cling to power.
What are Erdogan’s options in a scenario where he loses the vote by a small margin? He might declare that the election was stolen and ask the Turkish bureaucracy to back him up. That Turkey’s top electoral body and security bureaucracy will heed his call is not a foregone conclusion, however. A recent decision by the electoral watchdog to turn down a request for voter data from the Erdogan government, part of an effort to create a new online election monitoring system, is a case in point. In March, the Constitutional Court ignored Erdogan’s objections when it reversed a previous decision to block the HDP from receiving allocated state funding to finance its electoral campaign over its alleged ties to militant groups. These and other decisions by key state institutions suggest that Turkish bureaucrats are hedging their bets. They are unlikely to back Erdogan after an election loss and risk legal repercussions under the new government.
Similarly, opposition supporters optimistic about finally beating Erdogan would be more likely to take to the streets if they think the election was rigged or its outcome denied.
A smarter option for Erdogan would be to accept the result and wait for the new government to fail. He still has a strong following he can mobilize for this purpose. Given the enormous economic problems an inexperienced new government would have to address, surging back through democratic means is not impossible—especially if the current opposition makes good on its pledge of switching to a reformed parliamentary system, which would open a path for Erdogan to return to power as prime minister.
Finally, one might expect Erdogan to fight tooth and nail to stay in power in order to avoid facing trial. But according to Turkish law, an indictment would have to be approved by two-thirds of parliament, a supermajority that would be very difficult to achieve—not least because the opposition includes former key Erdogan allies who might get sucked into any investigation, an outcome the opposition will likely want to avoid. The fact that a trial and potential jail time are unlikely makes it easier for Erdogan to accept defeat.
All of this is to say that not all autocracies are created equal; Turkey is neither Russia nor China. In some, elections matter more than in others, and strongmen are weaker than they seem.
7 notes · View notes
ameliazahara · 1 year
Text
Sekarang lagi menguatkan pondasi diri aja, di luar segala urusan problematik yang ada. Salah satu hal yang problematik menurut diri saat ini adalah tayangan series india, apalagi yang tayang di antv. Diri percaya, apa yang dibaca dan ditonton akan mempengaruhi persepsi.
Budaya hindu dekat sekali dengan kehidupan masyarakat di Aceh, mengingat pengaruh Hindu lebih dulu berkembang di Aceh dari pada Islam. Sebelum Islam datang, budaya Hindu lebih dulu di sana, dan juga Cina. Banyak kok serapan dalam bahasa Aceh berasal dari bahasa/aksen hindu ataupun cina, di luar nilai-nilai budaya lainnya. Itu sebabnya series india relate banget dengan kehidupan di Aceh.
Mulai dari look, budaya, gaya mengambil keputusan, pola hidup bermasyarakat, budaya makanan, budaya belanja, dan juga menilai orang lain. Bahkan banyak orang aceh wajahnya mirip orang india.
Satu hal yang memberatkan dan diri keberatan dari efek tersebut adalah, dalih mempertahankan budaya nenek moyang. Semisal dalih/ ungkapan pembelaan untuk menutup diri mereka dari keterbaharuan dan logika modern. Orang di ‘kampung’ (kebudayaan yang masih dominan dianut di sana) sana masih kayak gitu. Seolah itu adalah bukti keabsahan kebenaran budaya yang hakiki. Padahal ya, ilmu pengetahuan telah jauh berkembang. Rasionalitas sudah lebih baik di era sekarang dari pada di era dulu.
Dan rasionitas tidak pernah bertentangan dengan agama. Jangan hanya karena belum sampai ilmunya, enggan belajar, dan malah menganggap kebudayaan yang telah dianut menjadi yang paling benar.
Kalau ada yang mudah, tidak melanggar syariat, yang Allah gak marah, kenapa masih tutup mata akan perubahan.
Dunia itu dinamis. Bisa coba apa aja. Bisa jalan kemana aja. Bahkan Allah nyuruh jalan-jalan, nyuruh berkelana, buat ngelihat apa yang baik dan buruk untuk tetap bersyukur.
Kadang diri ngerasa ‘mempertahankan’ pandangan budaya lebih di atas rasionalitas atau dari sudut menemukan hikmah tuh, kayak mempertahan kan ego diri, ego di mana ‘aku lebih baik’ dari pada dia. Atau kebudayaan ‘di rumah’ ini lebih baik dari yang lain. Atau aku lebih kaya, punya suami pns, punya anak cantik-cantik, sekolahnya tinggi-tinggi, itu menjadikan seseorang merasa berhak mendikte orang lain. Karena tolak ukurnya ego.
Semakin ke sini tuh, diri semakin dihujat, karena masih belum menghasilkan apa-apa padahal udah dipupuk dengan baik. Hanya karena melanggar kebudayaan yang ada. Kebudayaan yang dipengaruhi oleh tontonan india:( hidup di keluarga besar, anaknya sukses, sekolah keluar negeri, bajunya bagus-bagus, rumahnya besar, keluarganya ngumpul, dijodohin sama yang tampan dan juga kaya, masalah hidupnya cuma pasangan sama menantu. Duh, gimana tuh?
Padahal ya, apa yang ditampilkan dari skenario televisi adalah upaya menutupi kesenjangan yang ada di negara tersebut dengan memberikan alur kisah menarik agar memotivasi. Tentu itu adalah cerminan dari apa yang sebenarnya terjadi di negara tersebut. Satir aja sebenarnya. Apa yang ditonton tuh jangan dikorelasikan utuh ke kehidupan pribadi. Mereka nyari duitnya di sana. Padahal mudah aja ngebaca pola kalau di india sendiri kehidupan tuh gak gitu, itu harapan mereka juga sebenarnya.
Diri masih belajar dan mengakui kalau proses belajar ini tuh panjang banget, mungkin diri terlalu fokus di sini, sehingga belum menemukan yang lain. Takutnya karena proses yang terlalu lama ini, orang di sekitar pada menjadi kufur. Semoga mereka dijauhkan dari hal demikian, jangan sampai mereka kufur nikmat hanya gara-gara diri ini yang prosesnya lama.
Hanya ingin menyampaikan kalau, pilah-pilih atas apa yang kamu konsumsi entah untuk nutrisi bagi badan, isi kepa, dan hati.
Dari diri yang masih gagal:’)
8 notes · View notes
usernamekensstuff · 1 year
Text
rasa penasaran melonjak tinggi saat aku menemukan sosok yang indah dipandang, sesuai kata Sondang "ka'u suka selalu sama orang yang tidak dapat dimiliki dan cakep-cakep.' dengan aksen Kalimantan nya ia memberi aku cap terbaru yaitu 'fetish manusia cakep'
semua rasa, semua bahagia maupun duka.
aku selalu menyelimuti dengan kehadiran mu yang seberapa indah itu, perlahan aku menyadari kamu bukan memilih aku yang mana aku memilihmu dahulu. stan, kamu yang berhasil menggemparkan hatiku, kamu yang berhasil membuat Akmal jatuh tersungkur dari lubuk hatiku tanpa kita menjalin kasih cinta, awalnya kamu hanya second choice stan tapi akhirnya kamu yang menggemparkan hatiku. Andai semua dapat berlalu, dari awal aku akan menghilangkanmu dalam benak ku. aku akan menghancurkan hatiku untuk menjauhimu. dan aku akan selalu meneror hatiku bahwa aku adalah laki-laki yang menyukai laki-laki, agar aku tahu batasan dan norma sesungguhnya. Aku ingin sekali engkau mendengarkan bahkan membaca segala ceritaku, agar kamu mengetahui seberapa keras aku pernah ingin menjadi milikmu, ingin melupakan mu dengan sekuat tenaga dan ingin menjauhi mu layaknya kutub selatan dan kutub utara bidang magnet.
7 notes · View notes