Salafy’s Music
#Spoiler : This picture is wrong.
Wahabi..
I was a wahabi actually. 2 years ago, maybe? I was being a wahabi for 1 full year. It’s not as bad as above picture said. There’s a chill wahabi too, like the past me & my friends. Actually, above picture is totally wrong.
Waktu aku jadi salafy, yang paling kuinget itu aku gapernah dengerin musik, celana ga isbal (cingkrang), meski digunjing, tetep gamau salaman sama istrinya om. Sebenarnya ada seratus amalan lainnya, tapi kalau disebutin riya. Gak deng.
Selama jadi salafy ada kenangan buruk, banyak juga yang baik. Dulu aku kesepian parah, salafy yang bikin aku jadi punya koneksi lagi sama orang-orang di sekitarku, yang bikin aku gabung banyak organisasi. Mereka welcome banget sama orang baru.
Soal musik, yang kumaksud musik itu harmoni nada yang pakai alat musik. Nasyid yang vokal doang ada pendapat yang membolehkan. Salah satu pengalaman menarikku saat salafy, I found many great salafy musician lol.
Keyword : “Halal Cover”
Setiap mau dengerin lagu yang lagi hitz, aku selalu cari halal cover dari lagu itu, biasanya artistnya ya itu-itu aja, Omar Esa, dkk. Favoritku selama jadi salafy, Omar Esa & Siedd.
Omar Esa - Dawah
Dengerin lagu ini, vibenya mirip lagu pop - hiphop in general. Pertama denger rasanya asik aja gitu, mikir, dakwah kaya gini kayaknya asik ya.
Lagunya tentang dakwah & persatuan muslim. Geng muslim. Sayangnya lagu itu bahasa Inggris, jadi susah disebar / dipake dakwah di sini.
Back in the day I was living a lie
I was lost deep inside
Then I got another chance with my life
I was guided back to Islam
Siedd - Someone Just Like This
Ini lagu cover Something Just Like This-nya Coldplay & The Chainsmoker. Fun fact, aku malah tau Something Just Like This dari lagu ini. Kalau ga salah lagu orinya keluar 2017 ya, jaman aku salafy berat. Maklum lah kalau kudet soal lagu-lagu populer.
Di covernya Siedd, ini murni pake clap & vokal. Liriknya diganti bukan tentang hopeless love, tapi tentang Rasulullah.
And the more I get to know
The more I learn to live
Wish that I can be somebody that can live just like you did
And now that I know, my life's forever changed
I promise that I'll always keep doing what you did
#
Berkat mereka, kehidupan salafy-ku ngga suram-suram amat. Eh, awal aku belum tau mereka juga ga suram-suram amat kok. Nyetelnya mishary rashid terus, especially Al-Qiyamah mulai ayat 7, surat fav aquh.
Menarik kan, pembahasan salafy dari perspektif yang ga mainstream. Waktu aku inget tentang kenangan ini, aku langsung merasa masa laluku ga seburuk itu. Jadi sadar, salafy itu kan manusia juga, ada baiknya ada buruknya, ada seriusnya ada lucunya. Then, ayo berteman.
#
Keep reading : Bahas gambar di awal post, lumayan sensitif.
Mari bahas gambar di atas. Per poin
“Meninggalkan madzhab fiqih serta pandangan ulama terdahulu.” Nope. Salafy malahan sangat respect kepada 4 ulama madzhab & mengambil ilmu dari ke-4 nya. Salafy menimbang bener-bener mana hujjah yang paling kuat, dan itulah yang diambil. Standar kekuatannya itu dari pendapat-pendapat ulama terdahulu.
Ugh, kok mager bahas lainnya... No, gaboleh mager.
Mengenai kaidah keilmuan yang digunakan untuk memahami dalil, itu subyektif banget. Tapi kalau dari pengalamanku sendiri, lengkap banget. Kitab pedoman yang dipake salafy & kurikulum keilmuannya lengkap. Dari tauhid, fiqih, akhlak, pernikahan. Terus, menurutku salafy termasuk yang paling selektif ambil ilmu.
Soal hujjah / dasar ibadah, salafy menurutku termasuk yang nyari sebanyak-banyaknya hujjah, dan digabung-gabungin satu sama lain, kaidahnya, semakin banyak hujjah, semakin bener. Jadi ga konfirmasi ke ayat lain kurang tepat.
Soal bidah, agak bener. Tapi, salafy sebenernya tuh intinya mencontoh orang-orang terdahulu yang sama Rasulullah dijamin kebenarannya, jadi dari hasil ijtima ulama itu juga termasuk yang bisa dipakai. Ngecap bidah sebenarnya ga sesimpel itu, salafy awam ga boleh ngecap ini itu bidah, di salafy yang boleh gitu cuma ulama rujukan yang udah mumpuni pengetahuannya. Biasanya satu fatwa bisa sampai bertahun-tahun baru keluar. Intinya, soal ini prinsip salafy itu berhati-hati.
Menetapkan bidah bukan bidah aja hati-hati banget, apalagi halal haram. Biasanya soal bidah, salafy awam itu gak mengharamkan, cuma sebisa mungkin dihindari, sekali lagi ini karena hati-hati.
Bidah itu sebenernya cuma soal peribadatan. Soal ini logikanya gini, mengenai ibadah yang dainggap bidah, kalau ibadah itu benar-benar disukai Allah, kok Rasulullah gapernah melakukan? Menurut salafy, kalau Rasulullah ga melakukan ibadah itu, artinya menurut Rasulullah ibadah itu emang ga perlu dilakukan.
“Mereka malah sering merujuk pendapat tokoh-tokoh mereka.” Ya, tokoh-tokohnya itu ulama-ulama terdahulu, misalnya ulama 4 madzhab. Nothing wrong with it I think.
Poin terakhir ini subyektif pol. Beberapa salafy yang kukenal gini, beberapa yang lain engga. Beberapa non-salafy yang kukenal gini, beberapa yang lain engga. Soal ini sendiri di salafy prinsipnya itu yang paling bisa menilai sesuatu itu yang paling banyak ilmunya, misal ulama.
That’s about salafy, dan sekarang aku bukan salafy. I just can’t abandon science, lol.
So, yeah. I just don’t like it when people hated salafy for no reason but different views.
1 note
·
View note
hidayah untuk seorang wahabi
Pertamakali saya tahu kajian-kajian salafi (wahabi–red) itu sekitar 2006. Pas kuliah di Jogja. Sebelum itu saya fanatik dengan agama lokal dari kampung halaman di Situbondo. Jadi, pas awal pindah ke Jogja dan tinggal di rumah nenek, saya nggak mau jumatan di mesjid dekat rumah, sebab adzannya 1x, nggak kayak di kampung halaman, adzan 2x, khotibnya pegang tombak, dan sebelum khotbah biasanya ada salah 1 jamaah yang berdiri terus bilang “Yaa ma’syarol muslimin…” dst.. Ketika tahu mesjid dekat rumah nggak seperti itu, saya nggak mau jumatan di situ, memilih jalan jauh ke mesjid kampus UGM, padahal ya sama saja adzannya juga 1x, tapi saya sudah terlanjur “alergi” dengan orang-orang di mesjid deket rumah itu, mereka pakai celana cingkrang, jenggotan. Hih. Ogah, mending ke mesjid kampus UGM yang jamaahnya lebih umum, masih ada yang pake celana jin.
Waktu itu saya tahunya mereka yang cingkrang itu Muhammadiyah… Dan menurut ajaran dari kampung, Muhammadiyah itu nggak tahlilan, sementara kita NU tahlilan. Gitu aja definisinya, tanpa ada niat nyari tahu kok bisa beda? Kan pasti ada alasannya? Lalu yang lebih mendekati kebenaran yg mana? Nggak ada pikiran semacam itu. Pokoknya kalau sudah lahir di keluarga NU ya sudah ikut saja. Apalagi sejak kecil sudah dibangun sentimentalisme kefanatikan seolah Muhammadiyah itu aneh.
Ke-alergian terhadap orang-orang di mesjid dekat rumah itu berlangsung sekitar 2 tahun. Sampe suatu masa, di Jogja lagi rame kasus mahasiswa yang tiba-tiba direkrut oleh semacam gerakan baiat gitu, sehingga tiba-tiba nggak mau ngobrol sama orangtuanya karena orangtua dianggap kafir (naudzubillah). Pokoknya entah aliran apa namanya, NII apa ya? Wuih itu ngeri. Teman sekelas saya, cewek, ada yang kena gerakan itu. Bahwa Indonesia bukan negara islam, kita harus bikin negara islam, bla bla bla… Saya lalu berhati-hati. Kalau kebetulan ke kampus MIPA selatan, di seberang kampus ada masjid Al Hasanah, di mesjid itu perempuannya pakai cadar hitam-hitam, saya sering bilang, “Itu pasti yang aliran sesat.”
Di periode itu, model ikhwan-akhwat dalam sebuah wadah bernama liqo’ juga mulai menjamur di kampus. Ada seorang sahabat yang keren digandrungi akhwat-akhwat, dia kalo lagi nggak ada jam kuliah nongkrongnya di musholla, ngobrol sama akhwat di balik hijab. Saya iri, kan kepingin juga didekatin cewek-cewek. Apalagi waktu itu ada akhwat yang cantik sekali, yang membuat saya tahu diri, siapalah saya ini, jenggot tipis aja nggak punya, nggak ada potongan seorang ikhwan…. Namun demi mendapat perhatian, itu jadi semacam titik tolak untuk berniat belajar agama (nggak ikhlas banget niatnya…) Saya segera rajin lihat papan pengumuman yang terpajang di musholla. Lihat ada poster acara apa yang berhubungan dengan agama. Nyari yang gratisan.
Maka, acara agama yang pertama saya datangi itu acaranya Hizbut Tahrir, dalam keadaan saya awam tentang kelompok ini, yang penting kan datang aja biar keren dan kelihatan alim dapat sertifikat. Waktu itu acaranya di Aula Fakultas Pertanian. Jadi bukan mesjid, melainkan kayak seminar, duduk di bangku-bangku kuliah, ada meja-meja melingkar dibikin kelompok, lalu ada layar proyektor, slide, gitu-gitu, endingnya pesertanya dapat CD. Saya gak paham apa yang disampaikan, tiba-tiba disuruh diskusi, ada makan siang, yang penting datang aja biar keren.
Esoknya di kampus, saya tunjukkan CD dan sertifikat ke sahabat saya yang digandrungi akhwat itu, pamer: nih saya juga tahu datang seminar islam… Dia malah kaget, “Lho, kamu datang ke acaranya HTI?” Mendengar pertanyaan itu, saya balik kaget, “Lho kenapa ya emangnya?” Sejak itu, saya tahu kalau ada banyak kelompok-kelompok kaum muslimin, saya kira cuma Muhammadiyah dan NU. Ternyata ada HTI, ada Ikhwanul Muslimin (IM), NII, LDII, MTA.. Nah yang liqo’ ini ujungnya saya tahu afiliasi mereka ke IM.
Saya mulai mempelajari masing-masing perbedaan antar kelompok, mengenal tokoh-tokoh mereka. Jadi tahu oh ternyata HTI itu tujuannya gini, cirinya gini, IM itu gini, cirinya gini. Saya kadang datang ke obrolannya anak IM, kadang ngobrol dengan anak HTI, pokoknya yang obrolannya agama, ikut nimbrung.
Namun saya mesti berpikir rasional, bahwa pasti ada alasan kenapa kelompok ini begini, kelompok itu begitu, mesti diuji materi, sehingga bisa ketahuan mana yang setidaknya paling bisa saya percaya. Bukan lantas tidak mau repot-repot, ya sudahlah mereka bisa benar, kita bisa benar, yang tahu kebenaran hanya Allah. Wis, lalu jadilah paling toleran, simsalabim, islam nusantara… Nggak gitu, kalo gitu sih nggak perlu ada dakwah saja, nggak perlu diutus Nabi dan Rasul, nggak perlu diturunkan AlQur’an, biar aja setiap manusia percaya dengan keyakinan sendiri-sendiri…
Dalam dunia eksak, selama segala hal yang berbeda bisa dicari pemecahannya, mana yang lebih valid, maka dicari. Bahkan kalo bisa yang berbeda-beda itu diajak bersatu. Sehingga logikanya, bersatu di atas landasan yang kokoh. Bukan sengaja berbeda lalu pura2 bersatu saling toleransi padahal saling sikut. “Kau sangka mereka bersatu padahal hati mereka berpecah belah,” kata ayat dalam Al Qur’an.
Sekarang kan apa-apa ditoleransi, ada kelompok yang penentuan Idul Fitrinya berdasarkan pasang surut air laut, ditoleransi, ada orang ngaku jadi Nabi, ditoleransi, besok ada yang sholat dhuhur 8 rokaat pun pasti ditoleransi. Lha ya udah rusak dakwah ini, tiap mau bilang, “eh ini nggak boleh,” dibales, “kamu merasa bener sendiri, menyesat-nyesatkan orang. Mau memonopoli surga.” Ya sudaaah repot.
Karena itulah pengusung paham buram: saya bisa benar, kamu bisa benar, semua bisa benar, toleran, liberal, itu biasanya datang dari mereka yang kuliah di fakultas non-eksak. Filsafat terutama. Karena sudah dibiasakan berpikir seperti itu. Selama masih bisa ngeles ya ngeles terus. Bermain-main opini saja. Mana yang kelihatan paling keren opininya, paling satir, ya wis, itu yang juara! Nggak urus itu ngawur apa nggak.
Balik ke cerita. Setidaknya satu sisi positif dari hasil bergaul dengan teman-teman HTI dan IM adalah, saya mulai tidak alergi dengan penampilan celana cingkrang dan jenggot. Sebab sebagian teman ada yang begitu. meski saya belum tahu alasannya. Mungkin tren.
Nah, kemudian muncullah sebuah pertanyaan besar: Lalu, kalau orang-orang yang di mesjid dekat rumah, yang cingkrang, jenggotan, itu aliran apa ya?
Mulai deh. Sehabis maghrib biasanya kan ada kajian. Sesekali saya coba duduk di teras mesjid, dengerin yang diomongin si ustadz… Oh, ternyata ustadz itu bicaranya tentang tauhid, syirik, sunnah, bid’ah… Kok kayaknya menarik? Belum pernah nih di kampung ada ceramah kayak gini
Kemudian lain waktu saya mulai masuk deh ikut kajian itu biarpun nggak ada sertifikat. Sehabis maghrib, malam selasa dan malam sabtu. Asli, saya jatuh cinta. Cara ustadznya menjelaskan, terus banyak hal baru yang saya ketahui dan bikin, “Oh, gitu ya? Oh ternyata gitu?” Berbeda dengan seminar yang kebanyakan seperti bertele-tele, ustadz di mesjid ini langsung ke poinnya. Dan setelah beberapa kali saya ikuti, ternyata bisa disimpulkan tujuan dakwahnya mereka ini sederhana banget: cuma gimana biar bisa ibadah dengan bener, tahu landasannya, bukan ikut-ikutan. Gimana biar kita terasa hidup dekat dengan Nabi dan para sahabat. Udah. Gitu. Simpel banget. Terlalu simpel malahan.
Nggak ada tujuan bikin negara islam, bikin gerakan rekrut orang, bai’at, kartu anggota, tur ziarah.. Nggak ada. Cuma diajarkan, udah meng-Esa-kan (mentauhidkan) Allah dengan bener belum? ibadah kita selama ini udah sesuai dengan tuntunan Rasulullah belum? Wis, tok, til, itu aja
Mereka tidak punya penamaan seperti IM atau HTI, sebab konon memang nggak punya nama, cuma berdakwah mengajak pada islam yang murni dan lurus.
Adapun kemudian saya dengar dari orang-orang, bahwa mereka dinamakan wahabi… Ketika saya baca artikel tentang wahabi, itu wuh sadis banget! Konspirasi dengan Inggris, temennya Mamarika, menghancurkan makam Nabi, radikal, ngajarin pegang senjata. Apalagi kalau levelnya sudah utak-atik sejarah, ada buku judulnya Sejarah Berdarah Sekte Wahabi. Kok sangar temen? Padahal realitas yang saya datangi sendiri, nggak ada itu
Maka terjadi pergolakan besar dalam diri saya. Dimasuki banyak hal-hal yang terasa baru. Wahabi ternyata tidak merayakan maulid, alasannya: soalnya Rasul tidak merayakannya. Simpel banget! Tapi wahabi justru mengajarkan cinta Rasul dengan meneladani beliau. Akhirnya saya tahu, oh, jadi Rasul memerintahkan kain celana di atas mata kaki, pantesan mereka cingkrang.mehehesyariahSaya ragu, apa mau cingkrang juga ya? Duh, nggak keren lagi dong kalau ke kampus. Antara menuruti jiwa muda untuk tampil modis atau menuruti perintah Rasul? Yah kok Rasul nyuruh gini sih? Berat hati. Sebenarnya kalau saya mau menolak, ada jalannya, yaitu embusan dari orang-orang bahwa cingkrang itu ciri teroris, bahwa itu sebetulnya nggak wajib, bahwa jangan terlalu kaku lah dengan dalil, memahami hadits harus dari sudut pandang modern…
Pokoknya opini-opini yang sifatnya menolak dengan cara ngalor-ngidul dulu mencari-cari pembenaran. Sementara wahabi itu simpel banget: Ada dalil, sahih, kerjakan. Tidak ada, tidak perlu dikerjakan. Tapi yang sederhana begini, masyaAllah… Dihujat di mana-mana. Apalagi di kalangan penulis intelektual filsafat satiris posmodern, seperti jadi musuh bersama.
Wahabi dibilang anti-maulid, tidak cinta Rasul. Padahal saya lihat mereka yang paling meneladani perilaku Rasulullah. Selama di kampung saya nggak tahu kalo Rasul memerintahkan kain celana di atas mata kaki
Wahabi dibilang tidak mau shalawat. Padahal saya lihat mereka cuma mencukupkan shalawat yang diajarkan Rasul, yaitu shalawat yang biasa dibaca di tahiyat akhir dalam sholat, bukan shalawat hasil ide-ide kreatif.
Wahabi dibilang melarang ziarah kubur, padahal mereka cuma melarang minta-minta sama orang mati meskipun itu wali, bukan ziarahnya yang dilarang.
Juga dibilangnya wahabi mau bikin mazhab baru, padahal pas kajian mereka tetap mengutip pendapat Imam Syafi’, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad. Bahkan mereka selalu mengkaji, jika 4 pendapat imam itu berbeda, maka mana yang lebih mendekati sunnah, itu yang diikuti, tanpa merendahkan keilmuan salah satu dari imam mazhab. Jadi nggak asal, kita mazhabnya syafi’i, lalu fanatik, sampai ada yang nggak mau nikah dengan mazhab lain
Dan semua yang wahabi lakukan, itu karena ada dalil dari Rasulullah. Bukan karena ingin memecah belah atau tampil beda atau merasa benar sendiri yang lain sesat.mehehesyariahBahkan saya lihat, wahabi itu yang paling banyak mengalah dari keinginannya. Gimana gak ngalah? Perempuannya bercadar, jilbab lebar hitam. Padahal kalo dipikir-pikir, kan enakan islam yang ditawarkan kaum liberal, beragama tapi bebas nggak terikat apa-apa. Nggak mesti jilbaban, dll.
Jadi kalau ingin berislam tapi nggak mau disuruh ini itu, saya sarankan ikut liberal, selalu dikasih solusi untuk ngeles. Anda males pake jilbab, tenang, jadilah liberal, baca Quraish Shihab, ada solusinya, jilbab itu nggak wajib kok, anaknya aja nggak berjilbab. Bahkan Anda akan bisa merasa lebih jumawa dari mereka yang pakai cadar…. Lha perempuan wahabi, udah cadaran, sumuk, kehilangan kesempatan bersolek, eh malah jadi bahan olokan. Kalau bukan karena kecintaan terhadap sunnah, dijamin mereka gak akan sibuk merepotkan diri seperti itu.
Sejak itu saya gak terpengaruh lagi dengan opini orang tentang wahabi, mau dibilang gak cinta Rasul kek, dibilang suka membid’ahkan orang kek, suka mengkafirkan orang, merasa masuk surga sendiri yang lain masuk neraka. Karepmu! Sebab saya tahu, realitasnya tidak seperti itu. Dan memang kalau ikut opini orang, nggak bakal selesai.
Masih ingat kan kisah bapak, anak, dan seekor onta? Ketika anaknya naik onta, sementara bapaknya jalan sambil nuntun tali onta, orang-orang bilang, “Anak durhaka, enak-enakan di atas, Bapaknya disuruh nuntun.” Mendengar itu, anaknya turun, lalu ganti, bapaknya naik onta, anaknya nuntun. Orang bilang, “Bapak gak tahu kasihan, enak-enakan di atas onta, anaknya malah disuruh jalan.” Maka sekarang, anak dan bapak berdua sama-sama naik onta. Orang-orang bilang, “Gak tahu kasian sama binatang, onta kurus gitu kok dinaiki berdua.” Ujung-ujungnya bapak dan anak sama-sama jalan nuntun onta. Eh orang masih bilang, “Mereka berdua itu kok goblok banget, punya onta tapi gak dinaikin malah dituntun aja.” Gitulah, di mana-mana, opini orang gak bisa dijadikan acuan. Apalagi opini dari ahlul pelintir bahasa, wuh, hebat-hebat, yang insecure lah, sesat sejak dalam pikiran lah, ini lah, itu lah. Berbeda dengan wahabi ketika mengomentari sebuah aliran tertentu, itu bukan pakai opini pelintir bahasa, tapi langsung ke akarnya.
Ketika mengomentari syiah misalnya. Pengusung toleransi semu akan menyeret opini bahwa syiah dan sunni cuma perbedaan mazhab, politis, diseret tentang hak asasi, minoritas, dst.. Kalau wahabi langsung ke kitab induk syiah. Bahwa syiah ini menyimpang karena mengkafirkan mayoritas sahabat, menyebut Abu Bakar & Umar sebagai dua berhala Quraisy, menganggap Aisyah sebagai pelacur, menghalalkan darah nashibi (ahlus sunnah), memiliki Al Qur’an 3x lebih tebal, syahadatnya berbeda, adzannya beda, menghalalkan kawin kontrak, malam kawin pagi cerai… Itu. To the point. Kalau alasan itu diterima, mereka memuji Allah. Tidak diterima, tetap memuji Allah.
Saya pun mulai rajin mengikuti kajian wahabi, bahkan yang jauh-jauh dan ustadznya sampai dari Arab. Semakin banyak perbedaan yang bisa ditangkap secara kasat mata:
Pertama. Di kampung saya, kalau kiyai/ustadz datang, itu kadang tangannya jadi rebutan, dicium-cium sama jamaahnya. Bahkan cara cium tangannya itu bisa dramatis sekali ada teknik-teknik tersendiri. Apalagi kalo yang datang itu level syaikh pondok ini, atau anak keturunan syaikh itu, wuh tambah jadi rebutan.
Berbeda dengan kajian wahabi. Biarpun penceramahnya level ulama paling senior dan sepuh pun, sewaktu ulama itu datang dan jalan ke depan, jamaahnya biasa aja duduk.
Kalau pakai opini orang, kesannya wahabi tidak menghormati ulama. Padahal saya melihat, mereka menghormati ulama ya karena ilmunya, bukan karena fisiknya atau keturunan siapa, jadi tidak lebay rebutan cium tangan, apalagi seolah mengkultuskan rebutan air liur, diyakini mustajab, hiii.
Wahabi itu nggak pernah nyebut-nyebut syaikh siapa jadi doa berjamaah, bikin haul. Nggak pernah. Sebab mereka beneran cuma menghargai ilmu, tidak berlebihan terhadap tokoh… Beda di kampung saya, fatihah ila hadarotin syaikh ini, syaikh itu, diulang-ulang tiap ada selamatan, tapi orang-orang nggak tahu syaikh itu siapa sih? Buku kitabnya apa? Nggak ada. Pokoknya kiyai nyebut syaikh itu tiap selamatan, ya sudah sampe turunannya tetap nyebut syaikh itu. jamaahnya ya amin-amin saja terus makan rawon.mehehesyariahYang kedua. Yang namanya pengajian, di kampung saya biasanya identik dengan nyanyi-nyanyi, baca Al Fatihah, awal Al Baqoroh, ayat kursi, sholawat apa gitu panjang, baru setelah itu ada ceramah. Kalo di wahabi, ustadznya datang, duduk, langsung membuka materi dg khutbatul hajah, lalu mengajar, ada istirahat, tanya jawab, abis itu selesai, pulang. Nggak ribet.
Yang ketiga. Kalo di kampung saya, segala jenis ibadah wis tinggal nyontoh saja, kalo ngaji maghrib itu kadang ada pelajaran sholat dari kiyai, ya sudah langsung baca aja rame-rame dari usholli sampai salam. Tapi di wahabi itu ilmiah sekali, tidak asal ikut ustadznya, melainkan diajari memahami bahwa setiap gerakan sholat itu dilakukan karena ada contohnya, kita melakukan ibadah karena memang ada riwayatnya dari Rasul. Kalau nggak ada riwayatnya, ya nggak perlu repot-repot dikerjakan. Sehingga ketika sholat, setiap gerakan kita terasa dekat dg Rasulullah sebab tahu ada rantai yang bersambung.
Hal lain juga. Saya jadi tahu, misalnya, Allah mengampuni semua dosa kecuali dosa syirik. Dosa syirik tidak akan diampuni kalau pelakunya mati sebelum sempat bertobat. Sebab dosa syirik itu paling besar, paling bahaya, sehingga kita mesti tahu cabang-cabangnya. Bahwa perdukunan itu syirik, meyakini hari sial itu syirik, minta-minta ke orang mati itu syirik, jimat itu syirik, ada syirik besar dan syirik kecil, harus waspada dan selalu mengoreksi diri sendiri.
Sejak itu, ngeri lah karena ternyata banyak keyakinan saya selama ini tergolong syirik, seperti keyakinan kalo nabrak kucing berarti sial, pergi gak boleh hari jumat, dst…. Kalau di kampung saya, yang dimaksud syirik ya menyembah patung berhala. gitu aja. Mana ada hari ini orang islam sekonyol itu nyembah patung? Kalau dosa syirik cuma sebatas nyembah patung, alangkah mudahnya itu dihindari?
Apalagi pas tahu banyak hal yang selama ini biasa saya lakukan, ternyata bid’ah, tidak diajarkan Rasul. Saya yang sudah telanjur ngefans dengan sholawat nariyah dan hapal di luar kepala sejak ngaji jaman SD, kaget lho jadi sholawat nariyah itu bid’ah? Sempat gak terima. Tapi tumbuhnya kecintaan untuk mengenal, “Jadi, islam yang aslinya sesuai Nabi itu gimana?”mehehesyariahItu membuat saya rela untuk melepas atribut kefanatikan dan segala hal yang sudah diyakini sejak kecil. Seandainya saya sudah anti sejak awal, kan bisa dengan mudah mudah langsung saya cap, “Wo, wahabi itu menyalah-nyalahkan orang, masak sholawatan aja nggak boleh.” Saya lalu menyadari, faktor penting orang sulit menerima kebenaran, adalah karena kebenaran itu menghantam keras pada apa yang sudah diyakininya selama ini sebagai kebenaran.
Sama, di masa jahiliyah dahulu, Sebelum Muhammad diangkat sebagai Nabi, beliau sudah digelari Al Amin (yg bisa dipercaya) oleh kaumnya, sebab memang sangat dipercaya, sampai-sampai jika Muhammad berkata, “Ada pasukan musuh di balik gunung ini.” Maka mereka percaya. Tapi setelah mendapat wahyu, mengajak untuk menyembah Allah saja, yang mana itu menghantam keras pada keyakinan kaum Quraisy saat itu, langsung berubah mereka menjuluki Rasulullah jadi Majnun, tukang sihir…
Maka dari itu, ketika ada yang bilang wahabi merasa benar sendiri, itu aneh. Sebab wahabi itu justru orang yang mau mencari kebenaran meski konsekuensinya berat karena harus meninggalkan kebiasaan masa lalu yang sudah dianggap sebagai kebenaran… Kalau sejak awal merasa sudah yakin paling benar, tentu mereka akan tetap dengan keyakinan agama kakek moyang selama ini, nggak mau diingatkan tentang syirik, bid’ah dan lain sebagainya.
Nah. Pada akhirnya, saya salut terhadap mereka ini, yang ikhlas mengajak masyarakat untuk kembali ke agama yang murni, mengingatkan orang bahaya syirik, bahaya bid’ah, meskipun dihujat banyak orang, dituduh sesat, macem-macem. Terserah orang lain menamai mereka wahabi, atau seburuk apapun, itu cuma nama saja, tidak mengubah hakikat…
Tapi anggap saja penamaan wahabi diterima. Coba cek di media netral seperti wikipedia.https://id.wikipedia.org/wiki/Wahhabisme, lalu baca, di mana penyimpangannya? Kenapa kok dimusuhi banget?
Saya juga ingin terus belajar. Semoga kita semua mendapat petunjuk untuk mencari hidayah. Hidayah datang dari Allah. Kita mencari kebenaran bukan untuk menyalah-nyalahkan orang.
Selama seseorang ikhlas untuk terus mencari agama Allah yang lurus dan menempuh jalan-jalannya, maka akan disampaikan ke tujuannya.
Kiriman @fajrin0890
0 notes