Tumgik
#magdalene.co
iamnotharaam · 1 year
Text
Quran Doesn’t Teach Us to Hate the LGBT People: Muslim Scholar https://magdalene.co/story/quran-doesnt-teach-us-to-hate-the-lgbt-people-muslim-scholar
60 notes · View notes
Note
What the hell does fetishizing even mean?
Since I'm not feeling well as well as not considering myself qualified to give an articulate response perhaps some of my LGBTQ+ followers can offer their expertise on the subject.
I will say this. I have often received cringey and creepy private messages from followers wanting me to post pics of me, my brother and brother- in-law. They ask me if they have kids. They ask me a lot of weird and privacy violating things. And I'm going to be honest....I've actually blocked a few of the repeat offenders.
If you don't understand what fetishizing means, I suggest googling as there are some really informative articles on the subject.
Here is an example of one I found .....
In closing I just want add that I received about a dozen complaints about the confession that posted yesterday. I'm not deleting that confession. The confessor's feelings are valid and he has the right to have them.
Thanks for reading! Confessions will resume Sunday or Monday as its the Superbowl/Valentine's weekend and we're taking those days off to relax.
-SMC
22 notes · View notes
yasarfirdaus · 1 year
Text
Sederhana
"Sar, ada kenalan fotografer Pre Wedding?," kata temen gue didalam sebuah sambungan telpon.
"Ada, temen gue banyak yang bisa foto sih,"kata gue membalas
"Budget gue 5 juta lah", sambut dia
"Anjir budget lo banyak juga buat foto pre wedding doang", kaget gue
"Itu udah ngepas-pasin gue", balas dia lagi. Dalam kehidupan sosial gue, menikah  dapat menjadi sebuah pencapaian yang sangat perlu dirayakan. Mulai dari menyiapkan tanggal, memilih gedung hingga mencari warna yang cocok untuk bahan seragam keluarga. Gue pernah nemenin temen gue sampai harus ke Bandung buat nyari bahan.  Gue tinggal bukan di kota besar dan ke Bandung memerlukan waktu kurang lebih  dua jam. Gue masih inget nemenin Kakak  untuk mencari sendal  untuk acara pernikahannya di Payless karena sendal di wardrobe dari event organizer tidak ada yang ukurannya EU 47. Bolak-balik cari sampai dijutekin sama penjaga toko dan akhirnya gak beli juga karena ukurannya gak ada.  Yup, Kakak gue memang agak gak wajar buat ukuran orang Asia Tenggara.
  "Untung pinjaman gue dikantor diacc" , ujar Kakak  yang mau menikah.
"Lo masih perlu ngutang kantor?", kata gue sambil nonton TV.
"Masih kurang  30 jutaan lah", kata dia sambil mencoba merileksakan diri."
Emang udah abis berapa", kata gue sambil mencoba menengok kearahnya.
"Kira-kira seratus jutaan lah,"balas dia sambil melihat keatas dengan ekspresi nyata mengingat-ingat.
Seratus juta lebih, angka yang buat gue adalah angka yang sangat teramat banyak. Mobil yang gue pakai sehari-hari aja harganya segitu. Gadget  yang gue pakai untuk kerja formal, beresin kuliah dan nyari sampingan buat jadi freelance sana-sini juga gak lebih dari itu dan gue masih sering dibilang hedon.
  Gue mungkin salah satu yang kurang paham untuk memahami konsep menabung untuk menikah. Tanpa merendahkan kondisi keuangan siapapun, gue merasa menyiapkan pesta pernikahan bukanlah sesuatu yang memiliki urgensi. Bersyukurlah gue punya pasangan, orang tua, dan mertua yang mendukung keinginan gue. Gue menikah di tahun 2021, saat dimana pesta menjadi hal yang dilarang karena pandemi. Gue dan pasangan justru melihat ini menjdi peluang karena tidak harus membuat pesta. Kami menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) dan merayakannya dengan pengajian di dua tempat. Gue dan pasangan tidak mengeluarkan budget terlalu banyak, gak lebih dari harga motor Vario.  
Saat akad nikah gue hanya menggunakan setelan jas yang dibeliin Bapak saat perpisahan SMA. Pasangan gue menggunakan kebaya putih yang dibelikan Ibunya di Tanah Abang. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat yang gue beli di Tokopedia dan juga cincin perak yang gue lupa bawa saat itu.  Setelah akad kami berfoto di halaman depan KUA dan difoto oleh fotografer terbaik di dunia, yaitu Adik Ipar Gue.  Ada yang bilang gue pelit, gue sama sekali gak peduli. Mereka juga gak bakal bayarin hidup gue.
Beberapa waktu yang lalu di timeline Twitter gue muncul soal tren menikah di KUA. Sejujurnya gue agak heran kenapa hal ini bisa jadi tren baru. Kok bisa sesuatu hal yang murah bisa disebut  tren dan sampai masuk headline di Magdalene.co.  Apakah menjadi sederhana adalah hal yang nyeleneh dan bisa dibilang anti-mainstream saat ini. I dont know, I just live my life in my way. 
NB:
Your money is same as your body. Your rule 
Peace out.
0 notes
srharfn · 4 years
Photo
Tumblr media
to be queer and keep love yourself 
2 notes · View notes
sayadanpikiransaya · 7 years
Link
Meski masih terasa sampah saat dibaca, tapi sudah cukup membuat hati senang karena bisa menyumbang tulisan ke salah satu media yang menyuarakan feminisme serta kesetaraan gender.
4 notes · View notes
insightopic · 3 years
Text
Mengapa Korban Kekerasan Seksual Enggan Melapor?
Tumblr media
Baru-baru ini, dunia maya dihebohkan dengan pemberitaan seorang anggota aparat kepolisian, Bripda Randy Bagus, yang menjadi tersangka terkait pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang dilakukannya kepada NW hingga korban merasa depresi dan memutuskan bunuh diri. NW diperkosa lalu mengalami kehamilan dua kali. Bripda Randy pun memaksa ia untuk melakukan aborsi, hingga akhirnya NW menenggak racun di pusara makam ayahnya.
Kasus tersebut merupakan satu dari banyak kasus serupa lainnya yang telah sering terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Simfoni PPA periode 1 Januari hingga 21 Agustus 2020 terkait kekerasan terhadap perempuan dewasa, terdapat 3605 kasus dengan jumlah korban 3649. Sedangkan terkait kekerasan anak di periode yang sama menunjukkan bahwa terdapat 4.859 kasus kekerasan pada anak dengan 5.048 korban anak, di antaranya 1286 adalah korban kekerasan fisik, 1229 korban kekerasan psikis, dan 2997 korban kekerasan seksual, sisanya adalah korban kekerasan eksploitasi, TPPO, Penelantaran, dan lainnya.
Menurut data survei oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org Indonesia menemukan 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum. Dari 25.213 responden yang disurvei secara daring, sekitar 6,5 persen—atau 1.636 orang—mengatakan mereka pernah diperkosa dan dari jumlah itu, 93 persen mengatakan mereka tidak melaporkan kejahatan tersebut, karena takut akibat-akibatnya.
Sementara pada Maret 2019, sebuah studi dari ValueChampion, perusahaan riset bermarkas di Singapura, mendapati Indonesia adalah negara paling berbahaya kedua bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik. Dari 14 negara, India, Indonesia, dan Filipina disebut paling tidak aman bagi perempuan. Seringnya, korban pelecehan atau kekerasan seksual masih enggan melapor. Lantas, mengapa korban kejahatan seksual atau korban pemerkosaan enggan melaporkan kasusnya kepada polisi?
Pada 1984, Amerika Serikat pernah melakukan survei nasional mengenai alasan-alasan mengapa korban kejahatan enggan melaporkan viktimisasi yang dideritanya. Dari hasil survei yang diperoleh, kita dapat menarik tiga variabel sebagai berikut (M. Kemal Darmawan, 2020):
1. Keterkaitan Korban dengan Komunitasnya
Dalam konteks kekerasan seksual, hubungan antara korban dan komunitasnya akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi korban untuk menentukan sikap apakah akan melapor atau tidak. Apabila dalam komunitas korban terdapat kecenderungan seksis, misalnya, justru menyalahkan korban atas kejahatan yang dideritanya, maka korban akan cenderung menjadi pasif dan enggan melaporkan viktimisasinya karena merasa tidak memperoleh dukungan dari komunitasnya.
Tidak jarang, apabila korban kekerasan seksual adalah perempuan, komunitas yang melingkupi korban justru akan menyalahkan korban, misalnya, dengan menyalahkan gaya hidup korban yang sering keluar malam, terlalu banyak bergaul dengan dunia luar, cara berpaikannya, dan sebagainya. Sementara apabila korban adalah laki-laki, komunitasnya bisa saja tidak memercayai, bahkan cenderung meledek korban sebagai ‘tidak jantan’. Hal ini tentu menjadi beban bagi korban, tak jarang juga semakin membuat korban putus asa dan mengalami depresi. Terlebih, korban pelecehan seksual seringkali mengalami krisis karena kehilangan simbol dirinya, otoritas dan kepercayaannya.
Krisis tersebut sebenarnya dialami oleh korban kejahatan secara umum, meliputi krisis fisik, finansial, sosial dan psikologis (M. Kemal Darmawan, 2020). Tetapi dalam kekerasan seksual tanpa disertai pemerasan, pencurian, atau perampokan harta finansial, maka krisis yang dialami korban meliputi krisis fisik, sosial dan psikologis. Krisis fisik karena dalam kekerasan seksual seperti pemerkosaan, fisik korbanlah yang dieksploitasi oleh pelaku kejahatan. Krisis sosial, karena berkaitan dengan otoritas diri korban dalam kehidupan sosial telah dirampas oleh pelaku kejahatan. Dan krisis psikologis, karena berkaitan dengan efek traumatik yang dialami korban atas kejahatan yang menimpanya.
2. Kepercayaan Korban terhadap Lembaga Keamanan dan Pengadilan
Semakin korban memercayai lembaga keamanan dan pengadilan, maka ia lebih cenderung melaporkan viktimisasi yang dialaminya. Sebaliknya, bila kepercayaan tersebut minim atau bahkan tidak sda dama sekali, maka korban tidak akan melaporkan viktimisasinya.
Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terutama di Indonesia, telah sering diberitakan di berbagai media bahwa lembaga keamanan dan pengadilan seringkali tidak efektif dan tidak efisien dalam menangani kasus kekerasan seksual. Misalnya, dalam proses penyelidikan, korban sering ditempatkan sebagai saksi, dan dimintai keterangan mengenai kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak jarang mengharuskan korban mengingat kembali viktimisasi yang dialami dan hal itu berarti ia harus memanggil kembali trauma yang dialaminya. Sementara, kasus kekerasan seksual haruslah menjadi perhatian tersendiri, terutama karena korban seringkali mendapatkan dampak psikologis yang tidak biasa. Ia telah kehilangan otoritas dan simbol-simbol dirinya yang melekat seumur hidup, dan tidak dapat atau sulit untuk dipulihkan. Makal dalam hal ini, proses penyelidikan yang dilakukan lembaga keamanan dapat dinilai tidak memperhatikan kondisi psikologis korban.
Selain itu, kecenderungan seksis dan keberpihakan yang timpang terhadap korban juga masih melekat di tubuh lembaga keamanan, misalnya, dengan menanyakan “apakah korban menikmati berhubungan seks?” dalam proses penyidikan (Tirto.id, 2017). Pertanyaan seperti ini jelas menyiratkan pengabaian posisi korban, sekaligus menjadikan proses pembuktian kekerasan seksual menjadi kompleks dan berbelit-belit. Pada contoh kasus lain, seperti diberitakan Kompas.com (2021), polisi bisa tiba-tiba menghentikan penyelidikannya tanpa ada inisiatif untuk membantu korban mengumpulkan bukti-bukti. Dalam laman yang sama, Tirto.id mengungkapkan bahwa visum sebagai bukti kuat tindak kekerasan seksual berupa pemerkosaan masih harus ditanggung biayanya oleh korban itu sendiri. Bagi korban, semua ini tentu akan membebani pertimbangannya untuk melapor.
3. Sikap Positif terhadap Polisi dan Rasa Percaya Kepada Polisi
Semakin korban memiliki sikap positif dan rasa percaya terhadap polisi, semakin ia lebih cenderung melaporkan viktimisasinya. Pada 5 Desember 2021 lalu, Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia menerbitkan hasil surveinya yang mengatakan bahwa pada tahun ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri meningkat hingga 80,2% (Detiknews, 2021). Ini tentu saja merupakan prosentase yang sangat tinggi. Kendati demikian, pada bulan sebelumnya media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram justru memperlihatkan fakta sebaliknya. Hastag-hastag yang dibuat netizen seperti #PercumaLaporPolisi, telah dicantumkan sebanyak 14,8 ribu kali oleh para netizen lengkap dengan cerita-cerita netizen yang kecewa dengan polisi. Sebanyak 50,8 ribu pengguna media sosial juga telah membaca cerita-cerita tersebut (Tirto.id, 2021). Hastag tersebut semakin gencar di media sosial hingga bulan Desember 2021, ketika terjadi kasus bunuh diri NW, setelah berkali-kali mengalami pemerkosaan oleh Bripda Randy, viral di media sosial.
Data-data tersebut setidaknya menunjukkan tingkat kepercayaan publik, baik korban maupun yang berpotensi menjadi korban, terhadap polisi terutama dalam kasus kekerasan seksual. Apabila tingkat kepercayaan rendah dalam kasus kekerasan seksual, niscaya korban enggan melapor.
Referensi:
Azzahra, Tiara Aliya. 2021. “Survei Indikator: Kepercayaan Publik ke Polri 80,2%, Tertinggi Sejak 2014”, https://awscdn.detik.net.id/assets/fonts/montserrat/Montserrat-Bold.woff2, diakses pada 12 Desember 2021.
Darmawan, M. Kemal. 2020. Teori Kriminologi. Tangerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka.
Nathaniel, Felix. 2021. “Wajar Saja Kita Tidak Percaya Polisi Indonesia”, https://tirto.id/wajar-saja-kita-tidak-percaya-polisi-indonesia-gkz1, diakses pada 12 Desember 2021.
Putri, Restu Diantina. Patresia Kirnandita. 2017. “BAP Polisi: 'Apakah Saudari Menikmati Berhubungan Seks atau Tidak?'”, https://tirto.id/bap-polisi-apakah-saudari-menikmati-berhubungan-seks-atau-tidak-cAy8, diakses pada 12 Desember 2021.
Rusdianto, Eko. 2021. “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Mengehentikan Penyelidikan”, https://nasional.kompas.com/read/2021/10/08/09214301/tiga-anak-saya-diperkosa-saya-lapor-ke-polisi-polisi-menghentikan?page=all, diakses pada 12 Desember 2021.
5 notes · View notes
irfanilmy · 3 years
Text
Daftar Media Daring yang Menerima Kiriman Tulisan
Konten Islam
https://arrahim.id/
https://suluk.id/kirim-tulisan/
http://www.lazisnubanglarangan.or.id/p/blog-page_13.html
https://maarifnujateng.or.id/cara-kirim-tulisan/
https://www.dutaislam.com/p/kirim-naskah-dapatkan-honornya.html
https://jaringansantri.com/kirim-tulisan/
https://www.ansortangsel.com/2020/05/cara-kirim-tulisan-atau-artikel-di.html
https://alif.id/kontribusi/
https://islami.co/kirim-artikel/
https://www.harakatuna.com/tata-cara-mengirim-tulisan-ke-harakatuna
https://iqra.id/kirim-artikel/
https://mubadalah.id/
https://islamsantun.org/
https://tsaqafah.id/kirim-artikel/
https://www.duniasantri.co/kirim-berita/
https://ibtimes.id/kirim-tulisan/
 Umum (Beberapa Ada Sastranya juga)
https://www.qureta.com/
https://takaitu.id/opportunity/
https://tegas.id/2019/12/07/ayo-menulis-di-tegas-id/
https://mading.id/redaksi/
https://voxpop.id/faq/
https://www.remotivi.or.id/menulis
https://geotimes.id/kirim-artikel/
https://www.gagas.id/p/halaman-kirim-artikel.html
https://pmb.lipi.go.id/call-for-article-website-pmb-lipi-2021/
https://www.insideindonesia.org/write-for-us
https://theconversation.com/id/pitches
https://sagoe.id/kirim/
https://susahtidur.net/kirim-tulisan/
https://mojok.co/terminal/kirim-tulisan/
https://beritabaru.co/kirim-tulisan/
https://tegas.id/2019/12/07/ayo-menulis-di-tegas-id/
https://ideas.id/bagaimana-menjadi-kontributor-ideas/
https://www.balairungpress.com/kontribusi/
https://www.biem.co/kirim-tulisan/
https://sediksi.com/kontribusi/
https://news.detik.com/kolom?tag_from=mnews_menu_Kolom
http://kartakita.com/kontributor/
 Perempuan
https://www.bicaraperempuan.com/kontribusi/
https://www.perempuanberkisah.id/kirim-tulisan/
https://www.konde.co/
https://magdalene.co/about
 Sastra
https://ideide.id/kirim-tulisan
https://www.kurungbuka.com/cara-kirim-tulisan/
https://www.bacapetra.co/kirim-tulisan/
https://satupena.id/2019/05/01/menulis-di-satupena-kirim-naskah/
https://www.buruan.co/rubrik-buruan/
https://basabasi.co/ngirim-tulisanmu/
https://www.simalaba.net/2020/04/ketentuan-terbaru-pengiriman-naskah.html
https://trakteer.id/apajake/posts
https://asyikasyik.com/terima-naskah/
http://kalaliterasi.com/cara-mengirim-tulisan/
https://tatkala.co/ketentuan-kirim-naskah/
9 notes · View notes
jangofctts · 4 years
Note
Hi! I’m quite nervous about asking this, but I mean it in a respectful way - I just kinda want to be sure I’m not contributing to the problem you know? Just concerning what’s happened today
I was wondering if you could tell me what the difference is between fetishing something (eg POC, the LGBT+ community) and just portraying them having sex was?
Obvs no pressure to answer this if you don’t want to, lots of love xx
hey!
so im gonna provide you with a couple links to articles that i highly recommend reading because i am NOT an expert and i dont feel comfortable telling you information that may or may not be true!! (below the cut)
https://collegian.com/2019/04/category-opinion-mcwilliams-fetishizing-people-of-color-isnt-a-compliment-so-dont-act-like-it-is/ (this one is on fetishizing POC)
https://collegian.com/2019/04/category-opinion-mcwilliams-fetishizing-people-of-color-isnt-a-compliment-so-dont-act-like-it-is/ (also about POC and lgbtq+)
https://magdalene.co/story/fetishizing-gay-relationship-when-ship-and-fan-fiction-turn-toxic (this one is about fetishizing lgbtq people in fanfic)
https://www.google.com/amp/s/www.themarysue.com/fetishizing-slash/amp/ (also about fetishizing lgbtq members)
in MY opinion (do not confuse this for fact please) personally, i don’t want a straight person to treat my sexuality as something that they can get off to, or see me as a sex object or dehumanizing me and using me as fuel for fem x fem fantasty, yknow? like, tbh i write fanfic for the character, ive never been interested in celebrities bc it is none of my business to know anything about their personal lives. if you write a celebrity x SIF you’re quite frankly, part of the problem and it’s just...idk it’s weird and intrusive and quite honestly gives the rest of the fandom a really bad name. objectifying someone bc of their skin color and or sexuality is disgusting and making “theories” about real life people should not be a trend in fandom. it hurts those people and makes the space extremely toxic and not fun to be around.
fanfic for me has always been an escape, i enjoy writing about the CHARACTERS and the world that they’re in bc SW is so cool and vast and i really like being able to tell stories. imo my stories, while they are technically an “x reader” i have never once used “y/n” and i always tend to give them a nickname bc i seem them as an oc and not a SIF. some people literally just wanna write about sw and certain characters and not “thinly veil it” as a RPF (that’s not to say some fics arent)
anyway, i think there’s a difference between appreciation media and the characters in that and actually fetishizing and being creepy. additionally im not even sure what the actual discourse is, ive only seen one post and i really dont want to be involved
6 notes · View notes
redheadgleek · 4 years
Note
What’s a random opinion you have that you are surprisingly passionate about?
Feminist is not an identity. Also, I have serious issues with the idea that feminism means that women (and other genders are free to make their own choices. I think it is bad feminism and overlooks the way that patriarchy and white supremacy loom over every decision and every system, and makes us fall short of the social, economic, and political equality that is really the encapsulating goal of feminism. 
A couple of great articles:  https://everydayfeminism.com/2014/07/choice-feminism-internalized-misogyny/ and https://magdalene.co/story/choice-feminism-and-why-its-not-enough
Here’s a comment I made a few years ago, when getting into yet another debate about whether choosing to be a stay-at-home parent is a feminist choice: 
“We live in a patriarchal, antifeminist society. We've been raised in that society that expects women to be the emotional laborers and nurturers. We're told we are natural at it and that it's our divine role. It's woven into our public policy, by systemic and structural policies that reenforce this as the ideal social hierarchy. Stepping away from that role, by not having kids, or by working, or having a stay at home father, etc, upsets that hierarchy. So being a stay-at-home-mother, even if we've decided that it gives our lives meaning and we're really good at nurturing, is, in a way, anti-feminist because it reenforces this patriarchal structure.
“But! But! Even if women don't stay at home, and enter the work force, we are still expected to pick up the majority of that emotional labor when we get home (and as some research has shown, we are also expected to provide that emotional labor to our coworkers as well). We are encouraged to choose fields and jobs that allow us to do it all and be flexible to raise a family - considerations that men don't face. The child care expenses come from our earnings, the expectations of children's performances and social interactions and education rest on women. If our child/spouse/parent is sick, we're the ones who are expected to be flexible to care for them for however long they need it. If a woman then decides to leave and be the caregiver for her children, then other working women, who may or may not have kids, are also affected by that decision - we are see as less reliable, leading to lower pay and fewer promotions. Etc, etc.
“Add in the intersectionality: women of color, women of different socioeconomic status, women of marginalized sexual and gender identities, women who are parenting solo, women with disabilities, single women, etc. may not even be able to make the "choice" to stay at home because of the expectations that society has on them and their roles. And add in to the mix the fact that our society devalues domestic labor - and it is often marginalized women who are forced into domestic labor where they are underpaid and exploited.
“So, yes, it might be an antifeminist choice - but there really isn't a truly feminist choice to make either, without major deconstruction of multiple layers of rigid patriarchy and white supremacy. Damned if you do, damned if you don't.
“And this is why I rail against choice feminism and why I feel it's important to differentiate between individuals and systems. We can do things to try to mitigate the antifeminism and I hope that we all try to break down the systems that thwart feminist choices - but we certainly aren't there yet.”
15 notes · View notes
ayaraksal · 2 years
Text
Karenanya, pasangan dalam hubungan tersebut hanya berinteraksi sebagai makhluk fisik. Perempuan dilihat sebagai objek seksual, sedangkan laki-laki makhluk ekonomi semata. Dalam sistem patriarki, perempuan seperti Miranda tidak siap untuk maju secara ekonomi dibandingkan suaminya yang juga tidak siap berada dalam posisi lemah. 
“Relasi patriarki ini membahayakan, sehingga Islam membangun cara baru suami dan istri sebagai makhluk intelektual dan spiritual,” ujarnya. 
Relasi yang menunjukkan kekuasan kelompok dominan atas kelompok rentan tersebut yang ingin diubah Islam dengan misi memanusiakan manusia secara utuh, termasuk perempuan. Karenanya, Islam sebagai sistem terus berproses mengubah sistem zalim menjadi Islami, juga dalam aspek gender yang terus berjalan menuju cita-cita keadilan gender.
“Islam pembuktian atas iman kepada Allah atau tauhid, berbuat kemaslahatan kepada sesama makhluk-Nya, termasuk kemanusiaan laki-laki dan perempuan juga dalam kapasitasnya sebagai suami dan istri,” kata Nur. 
Nur bilang, Islam memiliki misi mewujudkan sistem kehidupan, seperti pernikahan, menjadi anugerah bagi semesta. Tujuan pernikahan pun untuk membawa ketenangan jiwa bagi pasangan yang membawa kemaslahatan bersama, baik dalam lingkup internal maupun eksternal yang mempengaruhi orang lain. 
Ia menekankan, hal penting dalam relasi suami dan istri dalam masa pernikahan untuk terus tumbuh dan berkembang bersama. Meski demikian, dalam relasi tersebut ada pasangan yang tumbuh sendiri atau keduanya saling menjegal untuk bisa tumbuh. Karenanya, perlu mencari cara menyikapi perubahan tersebut. 
Pilihan tersebut pun diambil sesuai dengan kapasitas, kemampuan, dan peran masing-masing untuk menjadi versi diri terbaik, sehingga bisa bermanfaat bagi orang lain dan dirinya. Akan tetapi, versi terbaik itu dalam praktiknya kadang tidak baik pada perempuan dan kelompok di posisi rentan. 
“Prinsipnya apa yang terbaik dan paling kecil mudaratnya bagi keluarga karena kemaslahatan harus mempertimbangkan semua pihak,” kata Nur. 
Selain itu, pasangan dalam ikatan pernikahan memiliki status melekat sebagai hamba Allah. Karenanya, tidak dapat menghamba kepada apa pun dan siapa pun, dalam perkawinan, hal itu termasuk libido seks, popularitas, harta, dan kekuasaan. Menyembah hal lain selain Tuhan juga bertentangan dengan konsep tauhid. Dalam hubungan suami istri pun taat bukan pada figur, tapi pada nilai kebaikan bersama, Nur menambahkan. 
Dengan demikian, jika dalam pernikahan terjadi sesuatu yang tidak maslahat, Islam mengimbau untuk menolong korban dan mencegah pelaku berperilaku zalim. Karenanya, menggunakan nalar dalam rumah tangga menjadi penting, terutama jika ada ketimpangan relasi dan rentan terjadi manipulasi, layaknya yang dialami Kinan sebelum melawan.  
https://magdalene.co/story/selingkuh-dan-pernikahan-kacamata-islam-tentang-layangan-putus
1 note · View note
sad-emogirl-era · 2 years
Text
bertahan, atas yang ada
Sekitar tahun 2019, gue ingat pernah repost salah satu postingan Magdalene:  “ Memiliki banyak teman mungkin baik, tapi lebih penting lagi adalah memiliki kemampuan untuk bertahan ketika tak ada satu pun teman yang bisa diandalkan.” https://magdalene.co/story/pentingnya-sikap-berani-sendiri
Kalimat itu, meski sudah lewat dua tahun gue baca, tapi tetap ada dalam ingatan. Ya, walaupun pada kenyataannya gue masih suka ngeluh kalau harus berjuang sendirian, bahkan manja dan ketakutan. 
Jadi karena ‘bertahan sendiri’ sangat-sangat wild dan susah dijalani (tapi harus bisa!) gue mengambil jalan tengah, yaitu: bertahan, atas yang ada. Maksudnya adalah gue, dan mungkin juga orang-orang kalian, harus membuka mata yang di kepala dan hati dengan lebar atas hal-hal yang masih bertahan bersama kita hingga saat ini. 
Seminggu kemarin gue banyak mikir dan sesekali berkontemplasi (maksud?) yakni dengan bengong di antara pekerjaan magang yang makin hari makin susah. Gue mikir, kemana perginya orang-orang? Pertanyaan yang menurut gue, hampir sama dengan: kemana perginya hujan yang turun ke bumi? Ke sungai kah, laut, atau apapun--di luar penjelasan sains lainnya. 
Pertanyaan kemana perginya orang-orang akhirnya bukan sesuatu yang harus dipikirin susah-susah karena gue merasa kesepian atau yang lainnya. Alias kita harus legowo, sebagai orang-orang yang mungkin sudah melewati beberapa fase kehidupan, begitu pula kebanyakan orang akan melewati hidup kita dan memperjuangkan hidupnya sendiri. Nggak ada yang salah dari itu semua. Pun, nggak ada yang salah ketika kita sejenak berpikir merasa dilupakan, merasa jauh, dan segalanya. Menurut gue itu perasaan valid, tapi bukan berarti harus dibiarkan. 
Seperti orang kebanyakan, hidup gue juga harus berjalan. Ada beberapa orang yang pergi, ya sudah ucapkan goodbye dan semoga bertemu lagi. Dan ketika ada beberapa orang yang bertahan di kehidupan kita, ya, orang-orang itulah yang harus kita syukuri terus kehadirannya. 
Mungkin dari sekian banyak orang di dunia, keluarga ataupun teman yang tersisa tinggal segelintir. Tapi menurut gue, itu sudah seharusnya, karena kehidupan semakin buas untuk dijalani, maka Tuhan dan mungkin juga kehidupan memberikan ruang yang banyak untuk diri kita sendiri. 
Sesekali gue sedih lihat instagram, tapi sedih itu nggak bisa mengganggu gugat rasa menyenangkan main tanah liat bareng pacar, atau hal-hal sederhana lain yang gue lakukan bersama teman di rumah, seperti minum kopi dan memperhatikan ikan koi di kolam. 
Dulu, gue juga mikir untuk mempertahankan orang di sekitar sebanyak-banyaknya. Tapi capek juga. Sekali-sekali kita juga harus sadar tentang apa yang kita perjuangkan, apakah sia-sia, apakah membuat hati kita lelah, dan sebagainya. 
Yah, begitulah. Kayaknya hidup emang ‘gini’ aja. ‘Gini’ yang kira-kira sama dengan ‘jalanin aja’, mungkin masih ogah nerima pahitnya. Tapi kehidupan terus berjalan, sebagai mana dulu gue sedih ditinggal orang-orang dan akhirnya merasa lebih baik mempertahankan apa yang masih ada sampai sekarang. Mungkin nanti gue juga akan bisa menerima pahitnya hidup, seperti gue minum Americano setiap hari. Ceilah. 
0 notes
noperfectclouds · 3 years
Text
how to make money in jakarta, 2021
Continuation of: To The Young and Broke, Despite Their Hardwork, In Jakarta (Published in Magdalene.co)
I remember talking to one of my good friends, who now lives in Los Angeles, California as a musician by night and a civil engineer by day, that his younger brother refused to work for people in this city. His reason was basically the salary is too low, it is not even enough to cover his gas money to commute back and forth to work and back home.
CNN reported that Indonesia is at the highest rate of unemployment all over Asia now, for the workforce age 20-29, as well as those in their 30s. I also noticed, in my experiences living and working in Jakarta for the last 10-11 years, that it’s not that there are no jobs. In fact, there are plenty of jobs out there. So many that my emails are filled with job openings coming everyday from websites like JobsDB.com, Indeed, and others. It seems like, the younger generation of Jakarta urbanites are agreeing and nodding with my friend’s little brother, and the current reality of Indonesia’s unemployment rate is reflecting the consequences of what’s been happening for decades in this city – that people, workers, are not paid justly in their workplace. Though educated and highly skillful in their fields, they restrain themselves from working being underpaid, and with that, overworked, undervalued for their talents and skills and abilities. Perhaps, some are just waiting for the next big thing to happen in their life, trying to figure out what they want to do, how they can make money without going through the heartache of being underpaid and overworked. I understand that, I’ve gone through that too in a period of my life, and then carried on pursuing my dreams.
If you notice, some of the things that are growing in Jakarta (and perhaps all over the world, I'm not too sure), one of them is the growth of the community of young creative people. They are all around Jakarta, usually still in their 20s and 30s, who has one or more day jobs, but also have other things they do, usually doing what they love, like musicians, small business owners (online and offline), artists, writers, bloggers, chefs, designers, you got the idea. This is, the alternative to those of you who are looking to do something on your own instead of working for people, or working from home to spend more time with your family.
So, since I’ve survived successfully the hopeless outlook of Jakarta in this area, I’m going to share my point-of-view that hopefully helps everyone reading to make money in Jakarta, the alternatives you can take responding to this social phenomenon.
Some of the things I’ve done to make money here (smartly!) in the last 10 years and so far I’ve made it through just fine, are:
1. Take jobs, even though they’re low paying jobs, with the aim of landing a bigger job with bigger pay in the near future. Consider these jobs as stepping stones, to get to where you want to be in your life in the next years or so. The key here is, make the sacrifice of the pay cut worth your time and effort in the long run. Instead of being used as a corporate slave, use them instead to accomplish your career goals and dreams. And, remember your career doesn’t have to stop here, it’s only for a little bit, a stepping-stone for your next big move in life, career, and everything else, like love life!
2. Go freelance, work from home, set your own time to work or not work, and set your own fee for all jobs coming your way. I’ve done this for about 7 years. I am very happy with the outcome. I can be free deciding my own work days and time, and work whenever I want, from wherever I want. I love the freedom. I am also free to decide how much I’m paid from each client; I can make it suitable to their budgets. For big companies/public figures, I set a higher fee, and for individuals or small companies, I can always negotiate. I can be selective in the jobs that I take, usually jobs that I think are cool projects only. My income has been significantly higher going freelance than working 9-5 jobs being stuck in the office all day, sometimes working less hours.
3. Unleash your inner creativity. Be brutally honest with yourself, and go back to doing what you love to do and do that, instead of forcing yourself climbing the corporate ladder to get into the corner office and waste 9-10 years doing what you hate. Not everyone is cut out to work 9-5 jobs. And not everyone is cut out to freelance. But there’s gotta be something you love to do in life, right? Whether it’d be selling things online, singing, writing, making movies, taking photos, acting, modeling, or baking, or arranging flowers, or even playing games, you can YouTube them for people to see. Sometimes, it’s better to make less money and you do what you love, than making tons of money doing what you don’t want to do in life. It’s going to be worth it in the end. True story.
4. Of course, the ideal is to someday, to get to do what you love, and make tons of money from it! Isn’t it?! :) From my experiences, working since I was as young as 9 years old, doing whatever I could get my hands on, from waitressing, folding clothes in retail shops, all the way to an International Fashion Buyer of one of the biggest, most famous luxury brands in the world, traveling the world, to publishing my own first novel as a writer (second and third coming up soon!), as well as painting/illustrating, taking photos, and writing poems and song as well as play, the effort will all pay off in the end!
The key is, firstly, to never give up. Whatever you do, never ever give up, and keep going with what you believe in your heart. If you failed at the first try, try again tomorrow, or whenever you’re ready, to begin again at your own pace. You don’t even have to explain or share to anyone if you don’t want to. If sometimes you lose your sense of direction of what you want to be in your career or life in several years to come, it’s okay. Life, I learned throughout the years, has a way to work everything out on its own, in its right time. In its right time, you’ll figure it out, no worries! I don’t think anyone in the world has everything figured out completely, no matter how young or how old they are. You’re not alone.
The second key, is to be patient, which is my own personal struggle at the moment. Success, I think is still doable in your career in this city, against all odds. But it takes time, just like everything else in life. Good things in life take time.
Until next time, forget all the assholes they’re all losers to begin with, and focus on being happy with your own life, with what you do with with your own life. Take it one day at a time, one thing at a time. You'll be fine. All the best, everyone!
0 notes
karinatungari · 6 years
Photo
Tumblr media Tumblr media
http://magdalene.co/news-1657-berhijab-atau-tidak-kekerasan-terhadap-perempuan-harus-diakhiri.html
http://magdalene.co/news-1602-being-gay-and-indonesian-appropriated-but-marginalized.html
4 notes · View notes
srharfn · 4 years
Photo
Tumblr media
vote for women
0 notes
prasastidhini · 3 years
Link
Even if you have decided to stand by Meghan or by The Kingdom, this article’s still worth to read.. 
0 notes
darkspyangel · 4 years
Link
Setelah berkali-kali gagal dimuat, baru kali ini tulisan saya dimuat di Magdalene. Alhamdulillah. Monggo dibaca :)
1 note · View note