Tumgik
#mentari novel
holly-mckenzie · 2 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
VIRGO AND THE SPARKLINGS (2023) directed by Ody C. Harahap
8 notes · View notes
alusisenja · 1 year
Text
Aku menatap rona semesta yang mengkilau. Memancarkan arti kedamain bagi penghuni bumi. Seperti kebanyakan analog khayalan yang tertulis pada manuskrip novel, sungguh hebat memang kuasanya, agung nan aestetik.
Berada dibawah kuasanya dengan penuh kemanutan memang kunci dari segala pintu pintu kebaikan. Kunci yang akan membuka gerbang malam menuju hangatnya mentari di waktu pagi. Juga kunci yang akan membuka waktu malam sebagai peristirahatan jiwa jiwa yang lelah. Ini bukan sebatas pagi dan sore, juga bukan tentang siang dan malam.
Aku tersenyum ketika burung burung blekok itu terbang bersusun. Mengingatkanku pada episod beberapa tahun lalu, ketika diri ini masih berseragam putih biru. Ternyata alam sedari dulu sama, sama sama melahirkan ruang kosong guna memberi kesempatan pada sesak riuhnya kehidupan.
Ingin rasanya mengulang beberapa episod indah yang pernah menjumpai masa lalu, meski kata beberapa orang mustahil, waktu akan terus melangkah tanpa henti.
Serapuh kayu usang yang dimakan rayap, seperti itulah analog manusia dimasa kelak. Ketika daun daun berguguran dimusim gugur, seperti itulah episod penutup yang seringkali disangka oleh kebanyakan diri manusia. Sedikit sekali yang kemudian bisa melihat, lalu memaknai gugurnya daun diselain musim gugur.
Ada perasaan aneh yang tiba tiba menyelinap dalam sanubari. Mengobrak abrik rasa untuk kembali bergejolak. Seperti cuitan burung bersaut tatkala guntur tiba tiba bedentum. Disangka hujan akan tiba, lalu awan bergulung pergi tanpa sapa. Seperti bercanda dengan semesta, ia menghilang di kejauhan langit, menyisakan panorama biru yang sempurna.
Aku masih terduduk ketika suara pertanda panggilan sang kuasa hendak berbunyi. Entah kenapa waktu ini begitu banyak menyimpan misteri, seperti enggan untuk pergi. Pada bulir bulir putih yang berterbangan diudara, juga suara bising layang layang anak kampung yang memeka. Sangat misteri waktu itu, kini seolah muncul didepan sana. Mengingatkan pada serat kenangan penuh rindu. Disamping hiruk pikuk keadaan yang memaksa diri untuk sekedar menghilang sejenak. Mengambil jeda, menghirup nafas lega, sembari kembali mempersiapkan langkah.
1 note · View note
Text
BERSERAH♥BAHAGIA (Part 1)
Sinar mentari pagi di hari ini terlihat begitu indah dan terasa begitu hangat, kicauan burung terdengar sangat jelas indahnya, ditambah dengan hijaunya pepohonan cemara yang beradu indah dengan cahaya matahari dari balkon kamarku di sebuah Villa, ah indah sekali dunia. Suasana pagi ini pun terasa dingin sekali, dingin khas dataran tinggi Dago tempatku berada, “Alhamdulillah…” seruku dengan penuh rasa syukur sambil menikmati secangkir teh hangat yang aku buat sebelum menikmati pagi.
Tidak pernah terpikirkan olehku, bahwa aku akan menikmati pagi seindah ini di tempat yang aku impikan saat aku kuliah dulu. Saat itu, 15 tahun yang lalu, aku diperkenalkan sebuah kata “Resolusi” oleh seniorku di kampus, namanya Mba Nisa. Mba Nisa adalah salah satu mahasiswi yang dikenal berprestasi di angkatannya, Mba Nisa dan aku merupakan teman satu kamar di Asrama kampus kami. Saat itu Mba Nisa berkata “Put, resolusi kamu di tahun ini apa?”
Aku yang saat itu sedang asyik mengerjakan tugas kuliahku, cukup dibuat bingung dengan satu istilah yang baru kudengar. Aku dan Mba Nisa bagaikan bumi dan langit. Aku bagaikan daun yang mengikuti aliran air sungai, yang berpasrah diri, terserah Tuhan mau membawa hidupku seperti apa, tetap aku jalani!
Suka aku jalani, tidak suka pun aku jalani. Aku enggan bermimpi, apa itu mimpi? Membuat sakit hati saja kalau itu tidak tercapai.
Sedangkan Mba Nisa bagaikan nahkoda yang berlayar di lautan lepas, setiap hari Mba Nisa pasti punya goalsnya, hari ini harus selesai membaca materi untuk kuliah besok, kemudian harus sudah selesai membaca 1 Bab novel yang sedang dibaca, mempersiapkan materi presentasi untuk mata kuliah A, belum lagi kegiatan himpunan, kegiatan mentoring agama di organisasi muslimah dan mentoring di asrama. Membaca jadwalnya sepintas di buku agendanya yang tak sengaja kubaca karena terbuka saja sudah membuatku lelah duluan. Padahal itu agendanya, bukan agendaku. Hahaha…
“Resolusi? Resolusi itu apa Mba?” tanyaku sambil mencoba mencari jawaban lewat google.
“Resolusi tuh gimana ya aku jelasinnya. Jadi semacam impianmu Put, tapi yang realistis bisa dicapai ya! Supaya kita bisa lebih semangat menjalani hidup di setiap harinya. Sebentar, aku tunjukkin punyaku.” Kata Mba Nisa sambil berjalan ke arah meja belajarnya yang bersebelahan persis dengan meja belajarku. Mba Nisa membuka laci meja belajarnya dan mengambil sesuatu dari dalam laci tersebut. Ternyata Mba Nisa mengeluarkan  sebuah buku berwarna biru muda warna kesukaannya.
Buku berwarna biru muda tersebut memiliki cover berbahan kulit, warna birunya cantik sekali. Covernya seperti sengaja dibuat khusus untuknya. Karena pada pada cover kulit tersebut, terdapat gambar Hagia Sophia, salah satu tempat yang bersejarah di Istanbul, Turkey. Di depan Hagia Sophia tersebut terdapat gambar seorang wanita berhijab menutupi dada berwarna terra-cota dengan dress berwarna senada yang dilapisi luaran coat berwarna beige dan berkancing coklat. Dapat kupastikan itu adalah Mba Nissa. Aku bisa menebak dari gambar hijab khasnya itu. Sosok muslimah syar’i namun masih update terhadap style. Aku saja berani mengenakan hijab saat ini, karena terinspirasi dari Mba Nisa.
“Mba, lucu banget bukunya.” Ucapku memuji.
“Iya, biar makin semangat menggapai cita-cita." tutur Mba Nisa sambil menunjukkan cover depan buku agendanya disertai senyuman manisnya namun terasa sangat penuh semangat bagiku yang memandangnya. Aku mengangguk, memberi tanda bahwa aku memahami maksudnya.
"Setelah lulus kuliah, kamu mau kerja dimana Put? Atau mau kerja sebagai apa?"tanya Mba Nisa padaku.
Seketika otakku berpikir keras, sambil melihat-lihat buku agenda milik Mba Nisa yang dia serahkan padaku, aku mencoba mencari jawaban yang tepat dari pertanyaan Mba Nisa. Tak pernah terpikirkan olehku yang baru masuk semester 1 perkuliahan ini pertanyaan 'Mau kerja dimana?'. Sedangkan Mba Nisa saat di posisiku saat ini sudah memikirkan 5 tahun lagi dia akan seperti apa. Terlihat jelas di halaman pertamanya, terdapat tulisan :
Bismillahirrohmanirrohim
Annisa Nur Aisyah, dengan ridho Allah SWT. Istanbul akan kau pijak, Haghia Sophia akan ada di depan matamu, menjadi dosen dengan nilai Islam akan jadi peranmu.
Bandung, Januari 2015
Annisa Nur Aisyah
Jangankan goalsnya, langkah-langkahnya pun sudah dia tulis, seperti apa saja yang harus dia kuasai, bagaimana cara dia belajar hal yang ingin dia kuasai. Mba Nisa sangat rajin belajar, tapi kehidupan bersosialisasinya pun sangat seimbang. Hampir satu kampus mengenalnya.
"Mba, aku nggak tau cara bikin kayak gini. Aku bingung Mba mau jadi apa. Aku kepingin banget jadi aktris, main film gitu. Tapi Ayah nggak mengizinkan aku masuk sekolah teatre, mentalku nggak akan kuat memasuki dunia entertainment. Yah jadilah aku kuliah di Jurusanku sekarang, Business Management. Biar kerja kantoran atau punya bisnis Mba.”
Mba Nisa tersenyum sangat teduh, “Maasya Allah, jadi kamu masuk jurusan ini demi memenuhi permintaan Ayahmu? Wah itu mulia sekali Put. Aku yakin, Allah akan bantu urusan perkuliahanmu, rezekimu juga.”
“Kenapa seyakin itu Mba?” tanyaku penuh rasa heran, rasanya masih jauh dari kata memungkinkan. Karena sejujurnya aku merasa kurang tertarik dengan dunia bisnis, aku juga kurang suka menjadi seorang pemimpin, karena aku merasa tidak punya power untuk itu. Mengatur manusia itu amat sangat menyulitkan bagiku. Mana ada manusia yang mau menuruti apa kataku, ditambah aku ini seorang yang cukup introver dan masih banyak kekurangan dalam diriku.
Meskipun introver, aku suka dengan dunia seni peran. Karena bagiku dalam dunia seni peran, aku hanya cukup berakting di depan kamera atau saat pentas, setelah selesai tugasku aku bisa kembali menjadi diriku lagi apa adanya. Orang-orang yang bekerja di dunia seni peran ini, sepengelamanku adalah orang yang sangat professional dan menerima perbedaan karakter. Yap, itulah pikiranku dulu. Tapi mungkin Ayahku memiliki pandangan yang berbeda dan jauh lebih luas, lebih maju ke depan. Ayahku juga jauh lebih mengenalku disbanding aku yang saat itu memang terlalu acuh dengan diriku sendiri.
“Ridha Allah ada pada ridha kedua orang tua dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan kedua orang tua.” Ucap Mba Nisa.
“Hadits Riwayat Tirmidzi, Ibnu Hibban, Hakim.”lanjutku.
“Pinter!”tawa Mba Nisa.
“Kebetulan hapal Mba.”jawabku.
“Coba bayangkan kalau kamu saat ini beneran masuk sekolah teatre itu. Apakah kamu saat ini akan berhijab? Apa kamu akan hapal hadits barusan?” ucap Mba Nisa.
Mendengar kalimat dari Mba Nisa, aku mulai berpikir dan teringat pembicaraan aku dan Mba Nisa seminggu yang lalu saat mentoring, pembahasan tentang ujian kehidupan.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui, Qur’an Surat Al Baqarrah ayat 216. Minggu lalu pernah Mba Nisa sebut ini, masih nyambung sama obrolan kita nggak?”
“Iya masih banget Put. Jangan putus asa! Kamu masih sangat muda. Jalanmu masih panjang kok, masih bisa loh kamu mencari kesenangan lain, dengan cara explore kegiatan positif sebanyak-banyaknya di kampus ini. Mulai rajin membaca, cari tahu dunia luar sebanyak-banyaknya. Aku yakin, kalau kamu melakukan hal itu, lama-lama kamu bakalan tahu apa yang kamu mau, tentunya yang bisa orang tuamu ridhai juga.” Ujar Mba Nisa.
“Dimulai dari itu?” tanyaku.
“Dimulai dari dekati Allah dan sambil kamu explore, kenali juga dirimu! Dekati Allah, supaya Allah selalu kasih kamu petunjuk dan melindungi kamu untuk selalu ada di jalan-Nya. Tapi aku penasaran, masa sih kamu nggak ada keinginan apapun? Pasti ada dong. Misalnya mau punya apa gitu.”
“Ada sih Mba. Aku pingin banget punya Villa di daerah yang banyak pohon cemaranya, dingin gitu. Yah semacam daerah Lembang atau Dago Atas.” Ucapku penuh khayal. Iya sebatas khayalan! Tapi rasanya kurang percaya itu akan terwujud. Beli Villa kan butuh uang banyak! Sepintar apa sih aku bisa dapat uang sebanyak itu.
“Aamiin. Bismillah… Tuh udah dapat satu resolusi. Tapi yaaa itu terwujudnya nggak bakalan tahun ini, kecuali memang rezekimu tahun ini lewat hadiah kejutan atau keajaiban lainnya. Hahaha…” canda Mba Nisa.
“Yaa akupun nggak yakin sih Mba, terakhir cari tahu silsilah keluarga, belum ada tuh garis keturunan konglomerat. Hahahaha…” tawaku.
1 note · View note
lukmankeren · 6 years
Text
Bangkit”
Semua yang kau usahakan, tak selalu membuahkan. Jatuh lalu bangkitnya dirimu dalam rotasi kehidupan memanglah wajar. Masalahnya maukah kau bangkit dari keterjatuhan yang usai kau rasakan?
Jika aku beri saran, banyak-banyaklah dirimu terjatuh, agar kamu lebih kuat dalam menjalani kehidupan. Agar kamu lebih berpengalaman  bagaimana caranya bangkit dari keterjatuhan.
Sebagaimana pelangi, ia muncul dan mengindahkan langit usai awan gelap beserta deraraian air hujan itu turun. Untuk persoalan indahnya ketika ia muncul  dan cepatnya ia menghilang itu hanya pertanda. Bahwa, hasil dari perjuanganmu perlu diapresiasi dan kesombongan yang muncul dari buah keberhasilan perlu segera kau singkirkan.
Jadi, tetap tenaglah dalam menjalani segala ujian dan cobaan. Kuatkan tekadmu, luaskan hatimu, dan jangan lupa bahwa Allah tetap bersamamu. ---- Lukman
2 notes · View notes
officialhanayuri · 3 years
Text
Fuyu [part four]
Anastasia tiba di puncak bukit rekreasi kira-kira jam 6 pagi. Dia menyalakan pondok gazebo dengan lampu camping selepas membentangkan alas nipis untuk dia mengerjakan ibadah fardhu pagi itu. Selepas memastikan arah kiblatnya, Anastasia mengerjakan sembahyang dua rakaat seperti yang diperintahkan Tuhan. 
20 minit kemudian, Anastasia melakukan regangan kecil menghadap ke arah matahari terbit. Dia melakukan senaman ringkas sehinggalah cahaya menerangi dan mentari mulai keluar daripada celah-celah bukit. Daripada beg sandang, Anastasia mengeluarkan Surface, alat elektronik nipis menyerupai komputer riba yang sentiasa dibawa ke mana-mana.
‘Ana, bila nak balik KL?’ chatbox nya menyala sebaik sahaja Surface dihidupkan. Pesanan daripada Hanis a.k.a boss besar yang ditinggalkan semalam selepas dia mengambil keputusan untuk menutup telefon bimbitnya buat sementara waktu. 
‘Soon’
Setelah memastikan pesanannya dihantar, Anastasia mematikan connection internet yang bersambung dengan wifi percuma di sekitar pekan itu. Tanpa melengahkan masa, jari-jemarinya mengetuk papan kekunci, tenggelam dalam dunia karya yang membawanya berlayar ke alam magis. 
I asked my mother what would happen to me if I woke up tomorrow and learned that the sun was gone. 
Mother said ‘I don’t know’.
I asked her again, 
what would happen to her if she woke up tomorrow and learned I was gone.
Mother said nothing. 
She hasn’t said anything since.
“Mama cakap akak dekat sini,” 
Anastasia menoleh ke kiri. Hani sedang berjalan ke arahnya sambil memeluk mangkuk tingkat yang dibungkus dengan furoshiki; kain balutan yang sering digunakan untuk membalut bento atau apa-apa bungkusan. 
“Selamat pagi, Hani,” Anastasia meletakkan Surface ke atas beg sandang, dia menganjak sedikit memberi ruang kepada Hani untuk duduk di sebelahnya. Namun, anak muda itu tidak menyambut sapaan Anastasia, sebaliknya menghulurkan bungkusan tanpa memandangnya. Memahami karenah Hani yang tidak pandai berinteraksi, Anastasia menyambut huluran itu lalu diletakkan ke tepi. 
“Mari sini,” Anastasia menarik lengan Hani, memaksa remaja itu mengikut langkahnya. Tiba di hujung lembah, pegangan dilepaskan.
“Cuba kamu tengok sana,” Dia menunding jari ke bawah, ke arah pekan kecil yang memberi penghidupan kepada penduduk disini. Walaupun di Fuyu, Anastasia dapat menikmati pemandangan bandar koboi daripada tingkapnya, dikedudukan yang lebih tinggi, dia dapat melihat jauh lagi.  Pekan yang disimbah dengan matahari pagi menjadikan pemandangan daripada atas bukit kelihatan indah sekali.  
"Cantik, bukan?" 
Hampir setiap hari Anastasia akan memulakan harinya diatas bukit rekreasi ini. Awal pagi lagi sewaktu langit masih gelap gelita, dia akan memulakan larian anak, mendaki dan menghabiskan masa dengan menulis sambil melihat keindahan alam sehinggalah sekitar jam 9 pagi. Pondok gazebo yang disiapkan oleh pihak berkuasa umpama studio kerjanya. Meskipun dia tidak menulis cerita baharu mahupun memenuhi dateline, menulis adalah sebahagian daripada hidupnya. Anastasia lebih gemar menulis idea, mengeluarkan apa yang diilhamkan Tuhan dalam catatan-catatan ringkas sebelum disusun menjadi storyboard. Daripada situ, ideanya akan diteliti dan dikembangkan dalam bentuk penceritaan. Kadangkala, dia akan bekerjasama dengan mana-mana editor atau Big Boss Hanis bagi mendapatkan hasil yang baik. Sahabatnya Hanis itu kadangkala ideanya jauh lebih terhadapan, lebih praktikal dan logik, membuatkan Anastasia tidak lokek untuk berkongsi idea awal setiap karyanya. 
Anastasia mencuri pandang ke arah Hani. Remaja awal 20-an itu tidak menunjukkan sebarang reaksi. 
“Jom makan,” Anastasia memusingkan badan, kembali ke pondok tanpa menunggu respon Hani. Ikatan furoshiki dibuka, menyerlahkan mangkuk dua tingkat yang diisi dengan kuih muih tempatan di tingkat pertama. Tingkat bawahnya terdapat bubur pulut hitam yang masih suam. 
“Hani!” Anastasia memanggil Hani sambil melambai tangannya. Perlahan-lahan Hani mendekatinya. 
“Duduklah,” umpama penukul dan pahat, satu-satu Hani menuruti perintah Anastasia. Mulutnya masih berat untuk bercakap. Selepas memasukkan sepotong kuih cara berlauk ke dalam mulut, Anastasia memulakan perbualan. 
“Hani gaduh dengan Ayah?” 
Berkocak seketika raut wajah Hani. Lambat-lambat dia mengangguk. 
“Mana...Kak Ana tahu?” dengan suara yang rendah, Hani bertanya. Anastasia automatik mengangkat kening sebelahnya tanpa sedar. Inilah kali pertama, dia mendengar Hani memanggilnya Kak Ana. Selama dua bulan di Fuyu, Hani tidak pernah menyapanya malah tidak pernah menyebut namanya. 
“Hmm… akak teka?” Walhal sebenarnya dia tanpa sengaja terdengar perbualan yang tegang antara Ayah dan Hani beberapa malam yang lepas sewaktu hendak membasuh baju di ruang laundry berhampiran laman belakang.  Anastasia menolak mangkuk kuih ke arah Hani. 
“Makan,” Arahannya dipatuhi lagi. Anastasia menyambung syarahannya. 
“Dulu pun akak pernah bergaduh dengan ayah juga. Fasal belajar, masa depan dan kerjaya. On one side, rasa menyesal sebab tak dengar cakap ayah. Tapi dalam sisi yang lain, I am glad I voice out my feelings and thoughts. Jadi, Hani tak perlu rasa sedih. Nanti dah reda, minta maaflah dengan ayah. Cuma jangan pernah rasa Hani sentiasa salah. Menyuarakan pendapat tak salah pun,” 
“Ayah kata saya patut belajar kursus yang membolehkan saya inherit Fuyu suatu hari nanti. Tapi…,” Hani menggigit bibir bawahnya. 
“Tapi saya bukan macam Mama atau Ayah. Saya juga bukan macam Abang Noah. Saya tak pandai nak bermesra dengan orang luar. Saya tak suka jumpa orang yang saya tak kenal,” Hani meluahkan apa yang terbuku dihati. 
Noah?
Anastasi merasa aneh apabila nama itu dipetik Hani, namun bukan itu yang menarik perhatiannya. 
“Hani nak sambung study apa?” Meskipun Hani sudah masuk 20 tahun, dia baru sahaja menduduki peperiksaan SPM tahun lalu. Kelewatan pendaftaran sekolah semasa kecilnya membuatkan dia ketinggalan beberapa tahun di belakang.
“Saya nak jadi barista. Hani nak kedai kopi sendiri,” balas Hani tanpa teragak-agak. Anastasia menganggukkan kepalanya beberapa kali. 
“Mama kata apa?” 
Hani tidak menjawab pertanyaan itu dengan lisan, dia hanya menggelengkan kepala tanda Mama tidak bercakap apa-apa mengenai perkara yang dibangkitkan olehnya.
"Nak dengar cerita akak?" Buat masa ini Anastasia kehilangan idea untuk menenangkan Hani. Situasi dan gelora jiwa yang dihadapi Hani tidak jauh bezanya dengan yang dia alami hampir 10 tahun lalu.
"Masa akak buat keputusan untuk belajar dekat Malaysia, ayah akak bagi dua pilihan. Boleh belajar di Malaysia tapi dengan pilihan kursus yang ayah tetapkan. Ayah akan sponsor study akak untuk pilihan nombor satu. Pilihan kedua, masih boleh belajar di Malaysia, dan jika memilih kursus yang lain daripada yang ayah nak, ayah tak akan sponsor akak lagi. Kalau akak memilih pilihan yang kedua, maksudnya akak terpaksa self sustaint atau dapatkan biasiswa,"
"Jadi akak pilih yang mana?" sampuk Hani.
"Pertama. Dan kemudian kedua," ujar Anastasia.  
"Maksud akak?" Hani sudah berhenti menyuap kuih lepat pisang. 
"Akak habiskan 2 tahun pertama dengan saving duit yang ayah bagi dan buat part time sebagai persediaan untuk buat pilihan kedua. Orang kata akak membazir masa dan usaha. Walaupun akak punya planning untuk exit dalam 2 tahun, akak tetap belajar dan lulus semua subjek. Akak juga sudah mula menulis artikel dan novel dalam 2 tahun pertama di universiti," 
"Kenapa akak tidak setuju dengan kursus pilihan ayah? Akak ambil apa mula-mula?" Soal Hani.
"Medic," Sungguh Anastasia rasa jika masa dapat diputar semula, dia akan berusaha untuk lari daripada jatuh ke dalam lubang yang sama.
“Medic?” hampir tidak percaya Hani dibuatnya. 
“Hmm. Medic. Kelakar, bukan? Akak tak minat. Akak tidak dilahirkan untuk jadi doktor. Menyelamatkan nyawa manusia bukan kerjaya idaman akak,” 
Mother said I have old eyes.
“No mother, my soul is old. My eyes aren’t” or so I supposed. 
“Akak nak jadi journalist. My dream was to travel and write articles. Going from places to places, mingling with natives, experiencing new things.  Funny was, akak stuck dekat studio for years,” Anastasia menghabiskan ayatnya dengan nada sesalan dihujung. Mungkin sukar untuk pembaca gambarkan realiti kehidupan sebenar Anton. Buku-bukunya sarat dengan perjalanan hidup, berlatar belakangkan sesebuah lokaliti yang berbeza, sentiasa dalam ‘pace’ turun naik sesebuah kehidupan. Namun, hidupnya sebagai Anastasia hanyalah berkisarkan studio, kedai kopi di bawah apartment, dan pasaraya seberang jalan. Dalam lingkungan 1 kilometer radius, Anastasia menjadi Anton, penulis fantasi yang kini diambang kejatuhan. 
“Sebab itu ke Kak Ana lari ke sini?” 
Anastasia mengangguk. 
“Akak tinggal sendirian hampir 10 tahun. Kadangkala, akak lupa apa perasaan duduk bersama keluarga. Apa perasaan bila ada yang menyapa dengan ucapan ‘selamat pagi’, apa perasaan bila ada yang bertanya ‘awak okay?’, apa perasaan bila akak pulang dan ada makanan diatas meja. Akak lupa semua itu atas keghairahan akak menjadi penulis. Akak lari daripada keluarga bagi memenuhi kehendak akak. But deep inside my heart, I know I’m longing for a family,”
“Kalau macam tu, kenapa Kak Ana tak balik Russia?” Soalan daripada Hani sukar untuk dijawab. Anastasia menghela nafasnya yang terasa berat menekan dada. 
“Because they won’t be there anymore,” Anastasia menurunkan nada suaranya. 
“Mak...mak..sud Kak Ana?” teragak-agak Hani menuturkan, dalam kepala sudah terbentang pelbagai andaian. 
“Masih ingat insiden kehilangan pesawat penerbangan 6 tahun lepas?” Anastasia bakal membuka luka masa silam yang masih berbekas dalam hatinya. 
“Hmm,” Hani mengangguk. Masakan dia lupa, seluruh dunia bercakap mengenainya. 
“My family were among them,” Anastasia mengetap bibir bawahnya, menahan diri daripada berlebih-lebih dalam beremosi. 
“Sorry Kak Ana..I’m sorry,” pantas Hani memohon ampun kepadanya kerana bertanya. Anastasia menggosok kepala Hani perlahan.
“No Hani. it's ok,” 
I woke up the next morning, want nothing but answer
“If I were gone, what would happen to mother"
I walk from room to room, from kitchen to porch,
She was nowhere to be found. 
"Tiada siapa tahu sama ada mereka masih hidup atau tidak. Hanya Tuhan sahaja yang tahu," 
"Kak Ana harapkan yang mana?" 
"Sebagai manusia biasa, of course akak harapkan mereka masih hidup. Selagi mana tiada bukti yang kukuh, akak mahu percaya mereka masih hidup. But Hani, hope can be a cruel thing. On one side, it keeps us living. But on the other side, it stops me from moving forward. Akak pun tak tahu berapa lama manusia sepatutnya berpegang kepada harapan sebelum harapan memusnahkan kehidupan. Jadi Hani, bila ada masa, bincanglah semula dengan mama dan ayah. Kita tidak tahu masa hadapan. Sekurang-kurangnya buatlah pilihan yang nanti awak tidak akan menyesalinya,"
"Adakah Kak Ana menyesal tak ikut kata ayah?" 
"If I could turn back time and choose.. I'll still choose to be a writer. Cuma, akak akan pastikan ayah faham pilihan akak bukan bermaksud akak berpaling daripada ayah. Tetapi, meraikan perbezaan pendapat bahawa bersetuju untuk tidak bersetuju juga merupakan satu pilihan yang baik. Bukan memudharatkan," jelas Anastasia. 
 'what if' dan 'kalau' tidak seharusnya bertapak di dunia. Berharap kepada sesuatu yang telah luput hanya akan mengurung diri dalam relung masa lampau yang merugikan.
"Baik. Balik ni, saya akan berbincang semula dengan ayah," Hani akhirnya mencapai kata setuju untuk bersemuka dengan ayah angkatnya.
"Good girl," sekali lagi Anastasia mengusap kepala Hani.
"Oh ya.. by the way.. kenapa Hani sebut nama Noah eh tadi?" 
"Abang Noah? Ohh.. Abang Noah anak saudara Mama dan Ayah. Atau dengan kata lain sepupu angkat saya,"
"Huh?" Anastasia melopong. 
"Kak Ana tidak tahu?" 
Masakan dia tahu, Adam dan Yulia tidak pernah bercerita tentang perkara itu. 
"Apa lagi yang akak tidak tahu?" Anastasia tiba-tiba sahaja berminat untuk tahu lebih lanjut mengenai Noah.
"Abang Noah adalah pewaris tunggal kepada kilang ubat di hujung sana?" 
Kali ini Anastasia hanya mampu terkebil-kebil tanpa suara. 
End of part 4.
3 notes · View notes
pepymeganingsig · 3 years
Text
Tumblr media
MENJEMPUT RESTU
Bab 7. Terulang Kembali
Hangatnya mentari pagi membuat suasana hatiku semakin membaik. Ditambah dengan kicauan burung yang bersiul menambah hari ini terasa sempurna. Ibu menatapku dengan penuh hawatir, ketika aku sudah siap untuk pamit pergi ke Jakarta.
Ibu seakan tidak rela, bila aku pergi meninggalkannya. Mungkin Beliau takut, karena aku pergi masih menyisahkan luka. Wajarlah orang tua mana yang tidak hawatir, bila anaknya pergi dalam kondisi hati yang belum sembuh dari rasa sakit. Pasti mereka akan berpikir yang macam-macam.
Sambil menggendong tas ransel, aku melangkah mencium tangan Ibu lalu memeluknya dengan hangat. Begitu sebaliknya beliau memelukku begitu erat. Dalam pelukannya aku tersenyum, sambil berpamitan."Ibu, Ayu pergi ke Jakarta ya. Ibu sehat-sehat di rumah sama Bapak." Kataku sebelum melerai pelukan kami.
"Hati-hati ya Yu! Ingat jangan banyak melamun, jaga diri baik-baik dan jangan lupa untuk selalu sholat lima waktu." Kata Ibu sambil mengelus pipiku lembut.
"Baik Ibu, pasti Ayu akan selalu ingat dengan nasehat Ibu." Jawabku dengan sopan. Lalu aku bergantian mencium tangan Bapak untuk berpamitan."Bapak ke Jakarta ya, Bapak jaga kesehatan." Bapak mengangguk, sambil menatapku penuh sayang.
"Iya, hati-hati ya nak. Bapak dan Ibu mendoakan, semoga Ayu dapat pekerjaan dan bisa melanjutkan kuliah lagi. Aamin." Doa Bapak untukku.
"Aamin Pak, terimakasih doanya Bapak Ibu." Jawabku pada mereka.
Bapak dan Ibu ikut keluar depan rumah. Mang Dadang, tetanggaku yang bekerja sebagai tukang ojek sudah menunggu di depan rumah kami.
" Mang hati-hati bawa motornya, tidak usah engbut!" kata Bapak sambil tersenyum sopan pada Mang Dadang.
"Iya Pak, Anwar!" jawab Mang Dadang sambil mengangguk.
Akupun naik ke atas motor Mang Dadang dan memakai helem. Kemudian melihat kedua orang tuaku sambil tersenyum. Saat motor melaju, Bapak dan Ibu melambaikan tangan mereka padaku. Akupun membalas lambaiyan tangan mereka, sambil masih dengan wajah yang tersenyum.
***
Sekitar lima belas menit naik motor, akhirnya aku sampai di Stasiun Gandrungmangu Cilacap. Aku turun dari atas motor dan melepas helem yang ada di atas kepalaku. Aku mengambil uang lima puluh ribu dari kantong celanaku untuk membayar ojek Mang Dadang.
"Terimakasih ya Mang, udah mau antar Ayu." Kataku sambil tersenyum sopan pada beliau.
"Sama-sama Ayu, hati-hati ya di jalan!" jawabnya sambil memarkirkan motornya.
Aku masuk ke dalam stasiun, lalu pergi ke ruang tunggu setelah melewati pemeriksaan tiket kereta api. Sekitar dua puluh menit menunggu, kereta yang akan membawaku ke Jakarta akhirnya datang juga.
Segera aku bergegas masuk ke dalam kereta mencari tempat duduk sesuai nomor urut tiket. Setelah meletakkan tasku diatas bagasi kereta, aku duduk sambil mulai membaca novelku. Sekitar tujuh menit aku duduk dalam kereta, keretapun mulai melaju berjalan.
Suasana di dalam kereta terbilang cukup tenang dan nyaman. Sehingga aku bisa membaca novel yang berjudul Perjuangan Cinta tanpa merasa terganggu. Sekitar sepuluh menit aku membaca novel, tiba-tiba aku di kagetkan suara bayi menangis histeris.
Aku melihat ke arah suara tangisan itu berasal. Kulihat betapa lucunya bayi mungil dan sangat menggemaskan itu sedang menangis. Sang Ibu berusaha menenangkan dedek bayi, sedangkan laki-laki yang mungkin ayahnya sedang membuat susu untuk dedek bayi yang mungkin lapar.
Pemandangan itu suksek membuat air mataku meluncur dari kedua kelopak mataku. Aku teringat akan impianku dulu bersama Mas Jono, yang kini sudah jadi suami orang lain. Dulu kami pernah bercita-cita untuk mempunyai dua atau tiga anak. Tapi impian tinggal impian, semua telah terkubur bersama kenangan. Sekarang aku tidak berani untuk bermimpi hal itu lagi. Aku takut, impianku tidak akan pernah terwujud dan hanya melukai hatiku saja.
Bersambung...
1 note · View note
afsylail · 4 years
Text
Cerita untuk yang akan bertambah usia dan kisah kita- Nemu soulmate dunia akhirat? Nikmat! (Cont.)
Masih membahas tentang my sunshine shinning my day every day, singkat cerita, aku bertemu di ajang gerbang mahasiswa baru bergengsi, apalagi kalau bukan OSMARU?
Aku izin pake "gue", kayaknya lebih enak dan bakal menyingkat cerita curcolan ini.
Gatau kok bisa pas, si sunshine, yang gue panggil dengan panggilan "shine" padahal di namanya nggak ada sama sekali sunshine, sunshine-an.
Btw, nama lengkapnya my shinny "Mentari Maratus Sholihah Al-Hafidzah" -tentunya title dibelakang itu, gue yang nambahin lagi.
Oiya, gue juga mau ceritain sejarahnya mentari jadi gue panggil "shine" karena ga enak aja gitu panggil "ment", "tar", "ri" lebih parahnya, dia pernah dipanggil "gopek" waktu SMA... ya, jelas panggilan gue lebih berkelas. Penasaran gopek dari mana?
Namanya kan mentari maratus tuh, nah maratus itu yang jadi biang keroknya. Limaratus -> maratus -> gopek,
Gue ngekek aja pas dikasih tau sejarah namanya yang, jelas, lebih classy punya gue. Sunshine, shine.
Panjang juga sejarah namanya sunshine, ternyata setelah gue pake "gue", endingnya bakal sama, jadi novel juga ...
Gue ketemu sunshine pas sama² duduk di barisan paling belakang pas osmaru. Yang dikumpulin di ruang besar/ aula (waktu itu gue di lobby gedung kedokteran), terus kita didudukin, di suruh dengerin pemateri, yang bikin gue iba sama pematerinya. Karena cuma segelintir maba terniat yang mau ngedengerin, dan gue? Jelas, tidak termasuk yang niat itu.
Singkat cerita, gue, si maba yang mencoba "berbaur" dan "menambah teman" kenalan lah sama sunshine. Eh, ternyata gue nyambung sama dia. Kocaknya, gue sama dia udah se grup di suatu forum dan gue ga nyadar!
Gue sama dia kyk ngejulitin maba² gitu, “kok pada nggak aktif ya ... Kok pada diem, ya?” (sebenernya, ini wajar² aja sih, setelah gue pikir², emang katingnya aja yang 'default'nya pengen maba aktif)
Gue, yang semi² masih gemeter, ga jelas, pas public speaking, mencoba show off for the first time! Dan sebab itu lah yang membuat gue jadi "dikenal" seangkatan. Malu banget sih, karena itu gue asli asal nyeplos. (settingnya : lagi pemilihan ketua angkatan dan gue ngebela seseorang itu kayak ngotot banget).
Yups, itu hasil dari triggeran plus julitan sunshine dan gue di barisan paling belakang pas materi osmaru berlangsung.
Gue sm shinny ga pernah sekelas, seorganisasi, seinterest, sepassion. Tapi entah kenapa, dia sering ngajak gue lomba dan gue mau² aja.
Dari lomba ke lomba, beasiswa, sampai usaha make up, gue lakuin bareng dia. Jadi walaupun gue ga pernah beririsan, gue selalu keep in touch, walaupun nggak sedeket sekarang.
Kok bisa deket banget? Dengan berbagai pertimbangan (ekonomi terutama *hahah, dzr perhitungan. tp bener gengs, untuk ukuran kosan dg fasilitas + lokasi se stragis yg gue tempatin sekarang, dengan ngebagi dua biaya kos, itu worth it banget!), gue akhirnya memutuskan untuk "mau berbagi ruang privasi", disini, gue sekalian belajar sih...(wkwk, oke maap, back to the topic)
Sebenernya, bokap tuh udah anti banget. Ya, mon maap ni, anak ciwi satu²nya sgt diprotect. Dulu udah survei ke 3-4 pesantren, udah test, eh, gajadi ... alesannya, "papa ga tega kak, itu kamar mandinya masa jongkok. Udah kamu di kamar aja, ntar papa kasih ac."
zzz
Oke, mentari. Lg bahas mentari ini.
Keputusan gue untuk mau sekamar berdua itu emang yg pertama ekonomi (krn agak lebih pricey dr kosan lama), kedua belajar membagi ruang privasi, ketiga, ya, gue kayaknya nggak akan ada slek macem² sm sunshine. Ditambah, bokap gue kali ini manut aja, biasanya paling anti kalau gue sekamar berdua (kurleb seperti kasus pesantren itu).
Agak aneh si emang, gue beda banget sama dia. Dia dominan plegmatis, gue melankolis. Dia suka masak, gue suka bersih²/rapih². Ya, intinya, beda banget aja. Tapi belum pernah gue alamin masalah berarti selama gue satu atap sama dia hampir mau setahun ini.
Ada dua moment yang paling gue gabisa lupain selama ini.
Pertama, pas moment ramadhan gini. Apalagi pamdemi, kita otomatis sering sholat berjamaah. Puncak²nya, pas terawehan.
"Aku murojaah juz 27 aja ya, kan kamu lagi ngafal juga, biar sekalian."
Simple sih, tapi ini hal ter so sweet yang pernah gue rasain.
Soalnya, gue pengalaman, kalau ngedenger bacaan surat imam sholat pas mau ngafal itu lebih mudah. Gue bakal sebutin nama temen² gue para hafidz, hafidzah yang masih gue inget bacaannya, pas kebetulan gue jadi makmumnya.
Kak chol -> al ahqaf
Naren -> al furqon
Mbak Emil -> at tur
Maap ya gengs, ini kenapa ngelebar banget si? asli ntar novel kedua gue judulnya "shine" (yg pertama aja belom, haduh gue...)
Nah yang kedua.
Gue tarik napas dulu guys, mungkin gue bakal cerita curcol lagi sih, lebih men detail di postingan lain. Intinya, gue udah gaada keraguan lagi, sih. Kalau ini mentari emang teman malaikat sohib al hafidzah tanpa sayap.
Yups, gengs, drama corona tenaga medis nyata adanya dan gue jadi korbannya.
Agak lebay sih, in terms 'korban'. Tapi intinya, gue pernah jadi ODP gengs.
Mungkin buat orang biasa, tinggal karantina dan ngga berdampak signifikan (dipandang sebelah mata, mngkn masih ya, semoga segera pudar deh ya, pandangan² sprt itu),
Tapi buat tenaga medis? Bahkan masih bertitel calon tenaga medis alias koas alias kes... (wkwk, isi sendiri), penentuan hasil rapid test setelah karantina ODP 2 pekan sangat menentukan. Menentukan kita cuti stase atau ga, yang akan berdampak ke ... (ya itu lah, yang sering para jomblo galauin) dsb.
Yang gue lebih nggak enaknya, mentari ga salah apa².
Saat itu, yang terpapar pasien + emang gue. Tapi, gue baru tau besok pagi setelah gue jaga. Jadi, gue udah lumayan lama kontak sm sunshine, kalau gue emang carrier (naudzubillah).
Di titik itu, gue galaunya minta ampun. Mana si mentari juga agak panik (ya wajar sih), intinya dia nggak mau ketauan, krn bakal berdampak ke rotasi stase koasnya.
Gue gapapa, tapi kalau mentari yang kebawa? rasanya @##!£&*"'+÷%@%
Akhirnya, gue jalanin masa isolasi di kos gue dengan enjoy. Apapun yang terjadi, tetep disyukuri, right?
Dengan ... pengorbanan shine mau dititipin belanja, makanan, dll dan gue enak²an di kos ...
Btw, kosan gue tu sebenernya cukup sepi, individualis lebih tepatnya, dan kalaupun ada tamu (tamunya mentari), gue bakal tau diri dan ngedekem di kamar kos.
Gue gaada niatan nutupin status ODP gue, tapi, ya gue cuma ngasih tau ke orang tertentu aja. Entah kenapa, saking jarangnya gue ketemu anak temen se kos, gue ga kepikiran buat ngasih tau. Lagian, pasien yang kontak sama gue masih berstatus PDP waktu itu.
Wkwk, dah ah, capek guys. Panjang banget. Intinya, setelah si pasien itu "positif banget" kabar gue yg ODP diketahui seisi kos dan ... yah, let’s the drama begins...
Gue gamau ngebuka luka lama, tapi itu cukup jadi pelajaran bersama.
Fight the infection not the infected.
Gue tau, gue pasti ada salahnya. Cuma ya, gue cukup tau, arti persahabatan dari drama corona.
Barakallah fii umrik, Shine ... semoga shinny selalu dilancarkan urusannya, dilapangkan hatinya, sukses dunia akhirat, dan masuk surga!
Tumblr media
In your 23 years old (6 days left XD), I'm very grateful to know you and be your roommate until now <3 
I hope, we'll be a ‘roommate’ in jannah too :*
*Ilustrasinya : dari project @tentang.terbang untuk donasi Masjid Al Hayya (sayang udah close order, gengs :( )
6 notes · View notes
windisj · 5 years
Text
Ayah
Mentari, Pagiku selalu indah karena sinarmu
Yang bukan hanya sekedar hangat terasa Tapi melukiskan cinta, Cinta pada ku dan semesta
Mentari, Pagiku selalu indah karenamu Kau sanggup menggati gelap dengan terangmu
Wahai mentari Terima kasih Karena pagi ini kau sudi bersembunyi Membiarkan dingin menyelimuti
Hingga dapat ku rasa Hangat kasihnya
puisi di atas adalah sepenggal puisi di novel Puzzle karya Windi Sj
1 note · View note
prasasri · 5 years
Text
Katanya pecinta kucing, tapi waktu ada kucing liar minta makan malah ditendang.
Katanya pecinta hujan, tapi giliran baru turun gerimis nyatanya sudah lari terbirit-birit.
Katanya penikmat senja, tapi giliran senja tiba bukannya menikmakti syahdunya mentari malah sibuk merayu si doi dengan sajak senja hasil copas internet tanpa cantumkan sumber.
Katanya kamu serius, tapi giliran ditanya kapan bisa main ke rumah malah bikin karangan cerita setebal novel beribu sekuel.
Katanya begitu tapi kenyataannya begini.
-Prasetyani Estuning Asri
2 notes · View notes
qwertyofmylife · 5 years
Text
AdA (Aku dalam Aksara)
Kapan sih terakhir kita mengingat saat kali pertama belajar mengeja kata demi kata? Pernah mengingat masa-masa dimana membaca kalimat, adalah awal yang baru dalam hidup kita? Atau, masih ingatkah kita saat perdana bisa menulis huruf dan angka? Kala itu, membaca buku cerita berwarna, mendengar dongeng jenaka, bahkan menuliskan hari yang berlalu di buku harian kala kantuk mendera, adalah hal yang indah bukan? Masih banyak kenangan belia yang kuingat tatkala kini usia masuk kepala dua, hehe...
Kawan, bagaimana denganmu? Masihkah ada memori indah itu dalam benak kalian ? Semoga ada hikmah dari perjalanan kita mengenal kata, mengeja alphabet-angka, menyanyikan hija’iyyah yang kini terbaca kala mushaf di buka, sampai mengenal buku cerita hingga tertidur membacanya. Mengenal awal sebuah kisah, terkadang menyegarkan jiwa ketika kini berada di penghujung kisah. Bukankah dengan melalui itu semua, hari ini kita dapat membagi rasa dan berkarya? Aksara menjelma jembatan dari banyak jembatan yang mengantarkan kita pada sebuah karya. Kini kita pandai beretorika, lihai menulis karya, dan mahir berdinamika di masyarakat. Sudahkah kita syukuri segalanya?
Kawan, di sini kalianlah guruku. Dari kalian kubelajar sedikit-banyak arti kehidupan. Izinkan aku berkisah tentang diriku, kala kutumbuh bersama aksara, hingga kini mengenal dunia. Bahkan lewat aksara, aku menemukan kalian. Setidaknya kini kita bersua lewat kata yang kau baca, iya kan? 
Masih kuingat sekitar 16 tahun silam, sinar mentari menyapaku di bangku kayu. Adalah diriku duduk bersama anak-anak lainnya, belajar mengeja kata demi kata. Tahun 2002 kala itu diriku masih belia, usia genap 5 tahun kulalui di TK Alam Lembah Parigi, Bogor (Cikal bakal Sekolah Alam Bogor, sebelum pindah lokasi dan berganti nama).
Teringat tiap malam menjelang tidur, kuhabiskan buku cerita warna – warni yang dibelikan Ayahku. A Child’s Growing World terbitan Tira Pustaka, 6 buah buku penuh kisah dan warna. Walau belum bisa kubaca, semua gambar seolah bicara padaku, berkisah tentang gerombolan anak kecil yang senang berpetualang di luar rumah. Sebenarnya, kenangan awal tentang buku yang pertama kulihat adalah serial buku anak terbitan Mizan : Ali dan Mio. Wah jadul banget…Itu kisaran tahun 1999 sampai pertengahan tahun 2000-an. Selebihnya kisah-kisah islami seperti cerita sahabat rasul. Bersyukur, Alhamdulillah dulu dibesarkan dengan bacaan semacam itu. Walau kini bacaanku serasa jauh dari bacaan islami, agak sedih ya? huhu
Dunia beliaku sampai usia kelas 6 SD sebatas bermain di akhir pekan dengan teman sekomplek, sepedahan ke antah-berantah, dan  main PS 2 dari rumah ke rumah. Sejak tahun 2003 hingga 2008 sedikit-banyak rasanya bacaan yang berkesan dalam jiwaku hingga kini. Entah karena rutintas yang monoton dengan tumpukan buku paket sekolah, sebatas maraton kartun pagi ke siang di hari Minggu, atau bisa jadi karena diriku kala itu lebih banyak mainnya ketimbang curi waktu sejenak buka buku? Hehe..
Sebelum bersentuhan lagi dengan buku bacaan, perlahan kuingat momen perdanaku membaca Al-Qur’an secara otodidak. Malam itu sekitar tahun 2004 kubuka lemari buku keluarga. Pintunya yang hijau dengan kaca di tengahnya terbuka, sambil berjingkat kuambil Kitab Suci Al-Qur’an di rak paling atas. Dengan ujung jemari kueja huruf-huruf itu, sambil melafalkan hafalan surat pendek, kucocokkan bacaanku dengan huruf yang kuingat satu persatu. Jujur kawan, berbagai ingatan masa kecilku banyak yang masih mengendap seolah baru saja ku alami kemarin hari. Alhamdulillah, syahdu euy.
Namun kuingat ada 4 buku yang menyentuh jiwaku di masa-masa SD hingga kini. Pertama, buku novel anak serial Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) Let’s Bake Cookies! karya Sri Izzati terbitan Dar! Mizan. Ini dibelikan Ibuku dan Mbak Sri Izzati masih imut-imutnya, hihi..abaikan. Kedua, novel anak yang kubeli sendiri; Markum yang Cerdik, karya Zainal Radar T. terbitan Dar! Mizan. Ketiga, Tafakkur di Galaksi Luhur karya Alm. Dedi Suardi terbitan Remaja Rosdakarya tahun 1993, buku jadul tentang UFO yang entah mengapa takdir membawaku tuk mengambil buku itu dari lemari buku ibuku, iseng yang akhirnya kubawa sambil membaca buku itu sampai tamat di sekolah, a little bit weird right?
Terakhir, buku keempat yang cukup fenomenal dalam menutup akhir tahun SD, novel laris manis; Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbitan Bentang Pustaka. Aku akui kawan, sangking waktu itu Laskar Pelangi lagi hype banget, tiap pagi wali kelasku Bu Nur, selalu membuka agenda Morning Meeting kami dengan kisah dari Laskar Pelangi hingga tamat Maryamah Karpov. Kenangan yang wow bila kuingat kembali. Setiap pagi sepanjang tahun kelas 5, selalu dibuka dengan kisah inspiratif dari novel-novel Andrea Hirata. Hingga sampailah satu hari di kelas 6, ku dihadiahi oleh Ayah, novel itu. Tahukah kawan? Laskar Pelangi kutamatkan berkali-kali di tahun 2008 yang lalu.
Aksara membawaku ke tempat baru. Kala itu 2009, aku masuk pesantren. Pesantren? Kata yang sangat asing bagiku, terlebih bagi keluarga kami yang rata-rata bukan jebolan pondok. Jujur, hari-hari 3 tahun SMP di pondok merupakan hari yang berat bagiku. Tapi tahukah kawan, kudapati bahwa karya sastra yang terus memantik api semangatku kala itu? Sebutlah novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi, yang nyalakan nyaliku kala ciut di awal kelas 7 SMP. Lalu, Ranah 3 Warna karya A. Fuadi—lagi yang membimbingku kala bimbang di kelas 3 SMP. Lalu masa SMP tahun 2011 ditutup oleh sebuah novel Edensor karya Andrea Hirata yang kupinjam dari perpustakaan sekolah.
Selesai SMP alih-alih bosan nyantri, 2012 kuputuskan lanjut SMA di sana lagi. Lagi-lagi kubertemu dengan momentum antara aku dan aksara. Kegundahan di awal masa kelas 10 SMA sirna, bersama dua buku : Hidup Berawal dari Mimpi karya Bondan Prakoso, dkk. Dan sebuah novel penuh semangat, Never Give Up karya Inni Indarpuri. Kemudian, masa-masa kritis saat kelas 11 SMA kulalui dengan La Tahzan Jangan Bersedih! karya Dr. Aidh Al-Qarni. Singkat cerita, kusudahi masa SMA 2015 silam dengan diterima di FISIP-HI UNPAD. Sebuah anugerah yang telah kudo’akan sejak masih membaca Ranah 3 Warna dahulu. Alhamdulillah haru, hiks…
Kawan, izinkan aku menutup kisah dalam aksara ini, bersamamu. Meski aku tak lagi berada di sampingmu, bahkan di tempat awal kala bersua dengan kalian. Namun dari FIB UNPAD kucoba menghiburmu dengan sukacita. Kawan, aksara adalah sahabat kala berkarya. Jadikan ia sarana tuk muhasabah antara kita dengan Yang Maha Kuasa. Sudahkah kita bersyukur atas nikmat ilmu baca-tulis kita hari ini? Maka, bagikanlah! Ilmumu bersama aksara.
 You Only Have What You Give
Just Keep Givin’
(Paul – Elevate)
1 note · View note
lofiebachtiar · 5 years
Text
Komen Film: Single Part 2
SPOILER ALERT! 
UDAH GUE PERINGATIN YA!
Tumblr media
Film kesekian dari seorang Raditya Dika yang masih berkutat seputar kejombloan. Tema yang menurut gue udah basi. 
Dengan premis yang sama seperti film pertamanya, Raditya Dika seolah tidak mau beranjak dari zona nyaman. Hampir seluruh film yang disutradarai atau dibintangi oleh Radit yang dibahas ya soal Jomblo, mulai dari Cinta Brontosaurus, Marmut Merah Jambu, Koala Kumal, Cinta Dalam Kardus sampai Single part 1 dan 2. Paling cuma Target dan Hangout film Radit yang bertema non jomblo.
Film ini masih membahas mengenai Ebi (Raditya Dika) yang galau karena hampir 30 tahun hidup tapi belum pernah pacaran walaupun sebenernya Ebi ini lagi deket sama cewek bernama Angel (Annisa Rawles). Kisah Ebi dan Angel ini sudah ada di Single part 1 yang kemudian dilanjutkan di film kedua ini. Konflik yang ingin dibangun oleh Raditya Dika di film ini adalah si Ebi ini cupu dan ga berani nembak Angel, padahal Angel nya juga suka sama Ebi. Tapi karena takut, ya akhirnya ga jadian. Sebuah konflik yang menurut gue udah cukup usang dibawakan oleh Raditya Dika. 
Jomblo - cupu - penakut - bego. Merupakan formula andalan Radit dalam menggambarkan si Ebi ini. Untuk yang mengikuti karya Radit pasti tau deh formula itu juga pernah digunakan untuk karakter Miko, selain itu Radit juga menggunakan formula itu untuk menggambarkan dirinya sendiri di filmnya yang lain. Jadi gue pribadi sudah bosan dengan formula ini. 
Maksud gue, di film Single 1 kan kita udah disodorin nih Ebi karakternya gitu, jomblo-cupu-penakut-bego. Ya masa di film kedua ini masih kayak begitu lagi, ga ada perubahan apa kek gitu. Kalo di Single 1 Ebi sang  jomblo-cupu-penakut-bego yang mencari cara dapetin perhatian Angel, di Single 2 ini Ebi masih menjadi jomblo-cupu-penakut-bego tapi lagi cari cara untuk nembak Angel. Sungguh sebuah lompatan konflik yang spektakuler.
Konflik yang dialami Ebi - Angel ini juga dibumbui berbagai kesalahpahaman dan cerita yang berlarut2. Gue kasih review singkatnya, jadi konflik besarnya adalah Ebi ga bisa atau ga berani nembak Angel, kelamaan buat nembak sehingga berakibat Angel ditembak orang lain. Pas Angel nanya ke Ebi “Gimana menurut kamu, terima  ga?” eh si Ebi nya sok pahlawan dong! “kalo dia baik, terima aja” WTF! Dude, gue tau lu jomblo - cupu - penakut - bego. Tapi ga gini juga kali!. Long story short, berbagai kesalahpahaman muncul setelah itu yang bikin konflik ini makin memuakkan untuk dilanjutkan.
Selain konflik Ebi - Angel, kita juga disodori konflik antara Ebi dan keluarganya, lebih tepatnya Ibu dan Adiknya. Di film ini diceritakan bahwa Ebi “dilangkahi” adiknya yang sudah lebih dulu menikah dan punya anak. Hal ini juga yang membuat Ebi semakin tertekan untuk segera pacaran dan menikah. Si adik yang bernama Alfa (Frederik Alexander) berusaha membantu Ebi untuk segera menjalin hubungan dengan Angel. Hubungan kakak adik Ini yang mau gue soroti sih, hubungan Ebi dan Alfa sebagai kakak adik kaku banget, kayak orang baru kenal. Dialog antara mereka pun kayak ga natural, ditambah akting Frederik Alexander yang kaku, jadilah hubungan kakak adik ini makin kaku. Adegan main Playstation terutama tuh ganggu banget. Serius dah, lebih kayak guru dan murid.
Sama seperti di Single 1, di Single 2 ini Ebi ditemani dua orang pelengkap, gue sebut pelengkap karena tidak ada plot yang membantu jalannya cerita dari dua orang pelengkap ini, ada Ridwan Remin sebagai Nardi dan Yoga Arizona sebagai Johan. Akting keduanya sih ya ga jelek tapi ya ga bagus banget juga,  tidak membantu jalannya cerita selain hanya di sisi komedi nya saja.
Ngomong-ngomong soal komedi, Radit tampak kewalahan menyuntikkan efek komedi di film ini. Gue hanya ketawa di beberapa bagian doang, salah satunya di bagian acapella yang bolehlah dikatakan lucu. Banyak scene komedi yang malah jatuhnya cringe dan dipaksakan lucunya. Jadinya ya.. ga lucu.
Sebenernya masih ada hal lain yang mengganggu dan jadi poin minus dari gue untuk film ini, tapi mari kita lewati hal itu dan masuk ke poin plus nya.
Poin plus pertama dari film ini adalah, ceweknya cakep - cakep buset dah. Pujian harus diberikan untuk departemen make up dan wardrobe di film ini. Annisa Rawles di film ini cakep banget dan baju yang dipake cocok semua, ga ada yang jelek. Emang dasarnya udah cakep kali yak, pake baju apa aja ya pantes. Selain Annisa, ada Mentari Novel sebagai Alika yang ga kalah cakep. Bahkan yang jadi istrinya Johan aja cakep di film ini (itu istrinya Yoga Arizona beneran ya? atau bukan? entahlah ya.. pokoknya cakep lah). Jangan-jangan Radit emang mau fokus di aktor ceweknya? hmm...
Poin plus kedua adalah pengambilan gambar di Bali yang keren banget. Suasana Bali cukup terasa kental di film ini. Mulai dari pemandangan alamnya, rumah bali, suasana liburan di Bali. Sungguh menyejukkan mata. Yah setidaknya bagi gue mengobati keinginan liburan ke Bali :(
Oiya satu hal baru di film ini dilakukan oleh Radit.
Di film ini, Raditya Dika ciuman! Ciuman bibir! Gue gatau sih itu beneran Radit atau di cut pake bibir orang lain (secara kan beliau habis meniqa) tapi setidaknya ini hal baru sih menurut gue. Terakhir seinget gue ada adegan Radit ciuman itu di film Kambing Jantan yang bareng Herfiza, adegannya mereka hujan - hujanan nonton konser terus ciuman, itu pun ciumannya ditutupin jaket. Jadi, gue memberikan pujian khusus untuk hal itu, Radit berani mengeluarkan adegan ciuman di filmnya. Yah setidaknya ada hal baru lah dari Raditya Dika gitu.
Hal yang membuat gue takut adalah ending film ini tidak menyatukan Ebi dan Angel yang mana merupaka konflik utamanya. Apakah ini artinya akan ada Single part 3? Waduh...
Well, kalo memang ada Single part 3, ya ekspektasi gue ada perubahan signifikan lah baik dari segi penulisan naskah dan pengembangan karakternya. Gue berharap banyak dari Bang Radit.
Secara keseluruhan film ini 4/10. 
- Jakarta, 18 Juni 2019 -
1 note · View note
auroaraa · 2 years
Text
Kau, Yang Seperti Mentari Terbit di Musim Semi
Aku mulai memahami bagaimana kau meniup oboemu Kau yang selalu seperti halaman terakhir dari novel misteri Kau yang seperti oboemu sendiri
Aku adalah seorang pembaca secara perlahan mengeja Aku adalah seorang pendengar secara perlahan memerhatikan Kau yang selalu menyimpan segala sesuatu dibalik senyum, tawa, dan ceria
Kau, yang seperti mentari terbit di musim semi Segala bunga mekar setelah pagi itu Bersama dengan butir salju yang meleleh perlahan Air matamu, sudah cukup mengeja semuanya
0 notes
ihatecellphone · 3 years
Text
_Teh Pagi_
Aku tahu perutku akan sakit jika minum ini, pada akhirnya kutandaskan juga sampai ke dasar gelas.
Belajar larut malan, atau belajar dalam kegelapan tidaklah sama. Lampu kota sebenarnya lebih menarik di kala malam. Meski begitu aku lebih suka belajar dengan lilin di pedesaan. Buku yang usang kecoklatan berbaur warna api, lalu tajwid yang sering kali salah kubaca. Ketukan di meja mendengung melewati kabut pegunungan.
Dear, mereka akhirnya tak pernah menemukanmu atau pada akhirnya tak pernah mencapaimu. Ini kesimpulan di tengah larik, karena stanza puisiku selalu kaupotong, dengan ceritamu bukan dengan tawa lugumu, dengan tangismu bukan dengan kritikmu. Ini mungkin yang akan tersisa dari pertemuanku dengannya, kau harus lari selesaikan apa yang telah kaumulai. Biar mereka mengejarmu sampai ke ujung dunia, biar aku ceritakan ini menjadi novel setebal ensiklopedia. Namun, jika bikin novel akan sesulit mengubah dunia, aku ingin berdamai denganmu, You Are Me, I Am You.
Tintaku kering, pada mendung pagi tangismu tersembunyi, gerimis menjadi-jadi setengah sembilan. Jam makan siang, cerah dan banyak orang kembali lalu-lalang. Pada butiran hujan yang memantulkan mentari tersimpan senyummu, sore ini konser musik akan berlangsung sampai dini hari. Aku pergi mendaki,...
Kutitip salam padanya di antara tanah dan awan, Diakritik di tengah kalimat membuatku berpikir sejenak, aku ceritakan setelah skripsi, kesulitanku menyusun kata-kata semakin menjadi. Kadang nada bicaraku tersekat, berhenti sebelum kalimatku selesai, sebelum logika penuh dipahami, bohong kata mereka. Lalu, kamu tertawa, tuliskan saja kalau begitu, kau akan punya banyak waktu. Iya, sama seperti skripsi yang diketik hanya untuk terbebas dari tekanan ini, sedang aku hidup di sini, sekarang bekerja di sini, sedang kamu ingin pergi.
Aku sakit perut karena teh pagi, enggak, bukan salah teh nya. Perutku belum diisi sarapan, setahun lalu ga banyak baca, ga banyak ngaji, ga banyak ngobrol sama orang, jadi kemampuanku buat nyusun kata-kata semakin buruk, blog satu per satu aku tutup dengan bahas keseharian, ini akan jadi hal yang lebih mudah, mungkin sehari-hari ga ketemu banyak orang, mungkin karena aku semakin memahami diri, atau mungkin karena aku semakin menjauhi kerumunan. 
..., good bye.
0 notes
mentaripagibali · 3 years
Photo
Tumblr media
Open Donasi Buku Bagi Anak-Anak Desa Langgahan Kintamani Bangli
Aloha Bridgers!
Apa Bridgers masih ingat bagaimana rasanya membaca sebuah buku untuk diceritakan di Sekolah?
Ada sebuah harapan untuk belajar, namun terkadang tidak memiliki bahan pembelajarannya. Kami ingin menjembatani harapan ini untuk anak-anak di Desa Langgahan, Kintamani, Bangli.
Yuk mulai berkontribusi dengan mendonasikan buku kalian kepada anak-anak ini!
Apa saja yang bisa kalian donasikan❓
– Buku Cerita Anak atau Dongeng – Buku Novel – Buku Pengetahuan Umum – Majalah – Koran – Uang
Titik Pengumpulan Donasi: Denpasar dan Jimbaran (Donasi dalam bentuk Buku dan sejenis, Bridgers bisa konfirmasi kepada CP yang tertera di bawah ini)
Nah kalian juga dapat berkontribusi terhadap gerakan ini dengan mengirimkan bantuan dana melalui Bridgers di bawah ini:
BCA : 7720814417 a/n Ida Ayu Ngurah Intan Marlina BRI : 474401010211534 a/n Ida Ayu Ngurah Intan Marlina BNI : 0812639353 a/n Siti Putri Indah Mentari Dana & Ovo : 085319500351 a/n Gaby Puspita Ifaturrizqi Shopeepay : 085319500351 a/n Gbypspt
Contact Person: Intan ( +6287876839759 ) Gaby ( +6285319500351 )
https://indonesia.tajba.com/open-donasi-buku-bagi-anak-anak-desa-langgahan-kintamani-bangli/
0 notes
diskonpromojakarta · 3 years
Photo
Tumblr media
Open Donasi Buku Bagi Anak-Anak Desa Langgahan Kintamani Bangli
Aloha Bridgers!
Apa Bridgers masih ingat bagaimana rasanya membaca sebuah buku untuk diceritakan di Sekolah?
Ada sebuah harapan untuk belajar, namun terkadang tidak memiliki bahan pembelajarannya. Kami ingin menjembatani harapan ini untuk anak-anak di Desa Langgahan, Kintamani, Bangli.
Yuk mulai berkontribusi dengan mendonasikan buku kalian kepada anak-anak ini!
Apa saja yang bisa kalian donasikan❓
– Buku Cerita Anak atau Dongeng – Buku Novel – Buku Pengetahuan Umum – Majalah – Koran – Uang
Titik Pengumpulan Donasi: Denpasar dan Jimbaran (Donasi dalam bentuk Buku dan sejenis, Bridgers bisa konfirmasi kepada CP yang tertera di bawah ini)
Nah kalian juga dapat berkontribusi terhadap gerakan ini dengan mengirimkan bantuan dana melalui Bridgers di bawah ini:
BCA : 7720814417 a/n Ida Ayu Ngurah Intan Marlina BRI : 474401010211534 a/n Ida Ayu Ngurah Intan Marlina BNI : 0812639353 a/n Siti Putri Indah Mentari Dana & Ovo : 085319500351 a/n Gaby Puspita Ifaturrizqi Shopeepay : 085319500351 a/n Gbypspt
Contact Person: Intan ( +6287876839759 ) Gaby ( +6285319500351 )
December 09, 2021 at 02:13PM https://indonesia.tajba.com/open-donasi-buku-bagi-anak-anak-desa-langgahan-kintamani-bangli/
0 notes
alineaberkata · 3 years
Text
[5] Balada Perang Bubat
'Putri Citraresmi ngajerit maratan langit basa mireungeuh ramana geus ngababatang. Dirina sabil, méh teu kuat nahan diri, hayang kaluar ti kémahna. Tapi ari ras kana dirina nu kudu jadi upeti regog deui, bari tuluy nutupkeun lalangsé kémahna.
Ret kana patrem paméré Paman Mangkubumi Bunisora Suradipati, geus lamokot ku getih. Manéhna neuteup patrem bari mikiran nasibna.
"Getih ..., enya getih! Enya, demi harga diri Nagri Sunda! Duh Rama Prabu ..., duh Ambu indung puntangan ka­asih..., keur saha ngamalirkeun getih? Sakeclak memang keur kami, tapi ngocorna demi harga diri Nagri Sunda!...." Gabres patrem ditubleskeun ku dua leungeunna panceg niruk lempengan jajantungna....'
Sepenggal cerita dari novel sunda karya Yoseph Iskandar itu dibaca lamat-lamat oleh Bhre di ruang tamu rumahnya. Siang tadi saat dirinya mengembalikan buku paket yang habis digunakan setelah pelajaran sejarah ke perpustakan, salah satu buku dari rak paling ujung terjatuh. Tadinya Bhre hanya akan menyimpan buku itu kembali ke tempat semula namun karena dirinya penat berada di kelas ia berniat untuk menetap di perpustakaan dan membawa buku itu lalu naik ke lantai dua perpustakan.
Suasana di lantai dua perpustakan sangat sepi hanya ada sekelompok siswi yang sedang mengerjakan tugas di meja ujung dan seorang siswa lagi yang sedang menggunakan komputer di samping tangga. Jam dinding di ruangan itu menunjukkan pukul dua siang hari dimana semua siswa tengah mengikuti pelajaran terakhir di kelas terkecuali kelasnya yang sedang Free class karena guru ekonominya berhalangan hadir.
Bhre memilih membuka pintu berlalu keluar dan duduk di meja dekat pohon mangga yang buahnya habis dipetik oleh siswa-siswi, lagipula salah sekolah menempatkan pohon mangga disamping area terbuka lantai dua perpustakaan yang memudahkan siswa-siswi memetik buahnya yang sudah matang.
Semilir angin menerpa wajah Bhre yang sudah kusut karena lebih dari tiga jam mendengarkan Pak Baruna menjelaskan perkembangan pengaruh kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia, selama tiga jam itu Bhre hanya mengenal kata Kutai dan Majapahit saja yang sebenarnya memang sering ia dengar. Menurut Bhre pelajaran sejarah sangat membosankan selain menghafal nama-nama yang sulit dilafalkan ia juga cukup malas membaca cerita-cerita panjang yang terjadi di masa lalu, tidak sejalan dengan prinsip Bhre yang 'life must go on' kejadian yang sudah terjadi biarlah menjadi masa lalu saja.
Bhre membaca judul novelnya 'Perang Bubat' dan membaca sinopsis yang ada di bagian belakang sampul buku, buku tersebut menggunakan bahasa sunda yang tentu bisa ia mengerti karena Bhre benar-benar keturunan orang sunda. Baru mau membuka halaman pertama sebuah suara mengagetkannya.
"Bhre buru turun, gerbang geus dibuka!" teriakan Danik dari bawah sana yang memberitahu gerbang sekolah sudah dibuka dan bermaksud mengajaknya pulang. Danik merupakan teman sekelasnya yang juga tetangganya, jadi mereka sering pergi-pulang bersama menggunakan motor Bhre yang dikendarai oleh Danik. Mengapa demikian? Karena pernah ada suatu kejadian yang membuat Danik trauma kalau dibonceng Bhre.
Dengan malas Bhre bangkit dari kursinya lalu menuruni tangga perpustakaan, novel itu masih ada di genggamannya, sepertinya Bhre tertarik membaca buku itu dan akan meminjamnya untuk seminggu kedepan. Pak Ade, petugas perpustakan yang sekaligus pembina ekstrakulikuler yang diikutinya menertawakan Bhre karena tak biasanya ia meminjam buku dilihat dari buku kunjungannya yang kosong melompong. Bhre berjalan ke arah Danik yang sedang memarahi Jarot dengan menggendong dua tas ditangan kanan dan kirinya.
"Ojok rame ae kupingku loro," kata Jarot yang Bhre dengar saat sampai di hadapan mereka.
"Ya lagian dipanggil gak nyaut wae maneh teh," kata Danik dengan muka kesalnya dan menyerahkan tas Bhre. Lalu selepas itu mereka berjalan ke parkiran dan pulang.
Kembali lagi dengan Bhre yang sekarang tengah berbaring di sofa ruang tengah membaca novelnya dengan dahi yang berkerut menandakan ia sedang membaca bagian yang serius dan jangan lupa suara yang ia keluarkan saat membaca.
Petang di bulan Mei ini begitu terik padahal sudah jam empat yang seharusnya mulai gelap. Semua anggota keluarganya sudah berada di rumah, bapaknya sedang mengurus burung peliharaan di teras, ibunya sedang memasak ayam sambal ijo yang baunya bisa ia cium dari ruang tengah dan kakaknya di kamar yang Bhre tidak tahu sedang apa.
"Bhre ini ambil makanan!" teriak bapaknya dari teras. Bhre heran mengapa orang-orang hari ini berteriak terus sih, kan bisa mengganggu kesehatan telinga dan jantungnya.
Dengan terpaksa adegan perang antara Gajah Mada dari kerajaan Majapahit dengan Prabu Linggabuana dari kerajaan Sunda itu terhenti, Bhre berlalu pergi menuju teras yang sudah hadir seorang perempuan dengan rambutnya dikepang dua yang tengah tersenyum manis kepadanya membuat kedua pipi tembam Bhre memerah dan refleks membalas senyuman itu.
Perempuan itu Renggami tetangga sebelahnya yang memang sering bertukar makanan ke rumahnya. Di mata Bhre Renggami selalu berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat ditambah ia merasakan sesuatu seperti kupu-kupu terbang di perutnya, katakanlah Bhre selebay itu kalau sudah menyangkut Renggami. Dari sini bisa dilihat kalau Bhre sangat suka dengan perempuan yang petang ini menggunakan dress santai berwarna kuning dengan motif bunga daisy kecil-kecil, cocok sekali dengan warna kulitnya yang putih seperti procelin. Wajah Renggami berkilau karena pantulan cahaya dari mentari sore yang mengenainya. Baru Bhre mau menerima makanannya sebuah tangan lain mendahuluinya.
"Makasih ya Gami makanannya, ini ambil dari mamah," kata kakaknya.
"Matur Suwun, Teh Cita. Nanti piringnya Gami kembaliin lagi kesini," balas Renggami sambil menunduk berterima kasih.
"Kata mamah buat besok aja jadi kamu gak usah bulak-balik."
"Yowes Renggami pamit pulang ya Teh, Pak, Bhre," ucap Renggami dengan santun.
Satu hal yang Bhre suka tentang Renggami yaitu, suara medoknya yang khas dan sopan yang sedikit menyihir pendengarannya. Setelah Renggami terlepas dari penglihatannya, ia langsung menatap sinis kakaknya yang dengan tidak tahu malu membatalkan aksi modusnya yang dibalas tatapan bingung kakaknya.
"Bhre ini bawa si Jepri kedalem udah mau magrib," ucapan bapak menyuruh Bhre memasukan burung peliharaannya.
"Tuh ambil si Jepri dari pada kikituan mah," kata kakaknya yang membuat Bhre semakin kesal.
"Bukan Jepri teh tapi Jeffry J-E-F-F-R-Y," balas Bhre penuh penekanan dan air liurnya yang ikut muncrat saat melafalkan huruf F.
"Nya saha lah itu cepet disuruh bapak." Kakaknya melengos begitu saja kedalam rumah.
Bhre membawa sangkar burung itu masuk ke rumahnya, ia juga mengambil buku novel yang tergeletak di meja dan membawanya ke kamar sekalian menyimpan sangkar itu ke lantai atas. Di kamar buku itu diletakkan sembarang pada meja belajarnya yang jauh dari kata rapih kemudian Bhre pergi mandi dan bersiap ke masjid melaksanakan salat magrib bersama bapaknya.
...
Sehabis mengerjakan beberapa soal matematika tentang fungsi dan invers itu, Bhre langsung membaringkan tubuhnya di kasur dengan motif kartun harimau. Lehernya pegal mengotak-atik angka dan huruf yang disatukan itu, sekarang jam menunjukkan pukul delapan malam pekerjaan rumahnya sudah selesai ia kerjakan namun dirinya sama sekali belum berniat untuk tidur.
Bhre memeriksa ponselnya yang dari tadi bunyi dipenuhi notifikasi dari aplikasi media sosial, ia yakin itu pasti teman-temannya yang menanyakan atau meminta jawaban. Tak lama Bhre mematikan ponselnya lalu memejamkan sebentar matanya, cukup melelahkan hari ini padahal ia tak melakukan banyak kegiatan kemudian Bhre ingat kembali dengan novel yang ia pinjam di perpustakaan. Buku itu ia bawa dari meja belajarnya dan kembali membacanya sampai larut malam.
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam, novel dengan 87 halaman itu selesai Bhre baca, sebuah pencapaian yang besar karena seorang Bhre Sadhiakala Atmadja dapat membaca novel dengan kurun waktu yang singkat. Ia melakukan sedikit peregangan pada lehernya yang terasa kaku setelah membaca novel, sehabis itu ia kembali diam menatap lama keluar jendelanya yang belum sempat ia tutup. Mengingat alur cerita novel yang baru saja ia baca, menyimpulkan dengan seksama dan mengambil beberapa amanat yang ia tangkap.
Perang Bubat ini merupakan jawaban dari mitos tentang orang suku sunda tidak boleh menikah dengan orang suku jawa. Berawal dari akan diadakannya pernikahan antara Hayam Wuruk raja dari kerajaan Majapahit dengan Dyah Pitaloka Citraresmi anak sulung dari Prabu Maharaja Linggabuana, raja dari kerajaan Sunda. Hayam Wuruk mencintai Putri Citraresmi begitupun sebaliknya namun karena ambisi kekuasaan Gajah Mada semua itu tak berjalan lancar dan menyebabkan adanya peperangan, Putri Citraresmi kehilangan orang tua yang ia sayangi, Hayam Wuruk kehilangan cintanya dan kita kena getahnya dengan adanya suatu mitos yang masih dipercaya sampai saat ini. Terkadang manusia yang tumbuh dan hidup tanpa cinta bisa menjadi begitu mengerikan.
Salah satu kesimpulan yang ia dapatkan dan sering ia temukan dalam kisah atau legenda jaman dulu adalah setiap cinta dan pernikahan yang tumbuh disana selalu berujung tragis dan penyebabnya pun hampir sama karena adanya suatu ambisi dan ketidakpercayaan ada sebuah rasa yang bernama cinta.
Dan sekarang Bhre mengerti terkadang sejarah menjadi pembuka dan memberikan alasan atas sebab-akibat sesuatu yang ada pada masa sekarang. Sepertinya mulai saat ini Bhre akan sering mengunjungi perpustakaan untuk membaca buku-buku yang ada di sana tapi tetap bukan buku pelajaran, setidaknya Bhre ada niat untuk meningkatkan minat literasinya.
...
Siang di akhir pekan penghujung bulan Juli ini, Bhre sedang berada di sebuah Coffee Shop yang letaknya di pusat kota yang tak jauh dari rumahnya, di hadapannya ada Renggami. Setelah beberapa tahun lamanya akhirnya hari ini Bhre berniat untuk menyatakan perasaannya kepada Renggami yang menurutnya semakin hari semakin cantik. Hari ini Renggami begitu ayu dengan riasan tipis di wajahnya.
Hampir setengah jam mereka diam-bertatapan-lalu tersenyum canggung. Pesanan mereka baru sampai 15 menit yang lalu namun pesanan tersebut belum disentuh sama sekali, Bhre memesan Americano sedangkan Renggami yang tak suka kopi memilih memesan chamomile tea.
"Diminum Mi," kata Bhre dengan senyuman yang semakin menyipitkan matanya.
'Bismillahirahmanirahim' di dalam hati Bhre.
"Mi kita udah kenal berapa lama sih?" tanya Bhre yang membuat Renggami memusatkan perhatiannya kepada Bhre.
"Pertama kali aku pindah ke Bandung tuh kelas enam SD terus sekarang kita udah kelas 12 kira-kira enam tahun, emang kenapa Bhre?" Balas Renggami yang langsung meminum tehnya.
"Menurut kamu Bhre tuh kaya gimana?"
"Bhre baik, udah Gami anggap kaya saudara sendiri soalnya Bhre suka jadi orang pertama yang bantuin Gami."
'Aduh saudara-zone ini mah,' kata Bhre lagi di dalam hatinya.
"Mi janji ya abis Bhre ngomong gini jangan ngerasa beda sama Bhre, tetep jadi temen Bhre dan anggap aja ini gak pernah kejadian-" Mata bulat Renggami semakin melihat intens ke matanya.
"- Mi sebenernya Bhre suka sama Gami dari lama," kata Bhre mengucapkannya dalam satu tarikan nafas.
Belum ada balasan dari Renggami, perempuan itu masih menatapnya dengan kedipan yang lebih sering membuat Bhre kebingungan dan terjadi keheningan sesaat.
"Eh udah? dikira Gami kamu mau nembak."
"Lah tadikan udah nembak, Mi."
"Bukannya kalau nembak tuh gini ya Bhre, 'Kamu mau gak jadi pacar aku'. Kalau cuma suka doang teman cewe Gami juga ada yang suka sama Gami." Mendengarkan perkataan Renggami, Bhre hanya menepuk jidatnya sambil memejamkan mata.
"Yaudah jadian lagi, ekhm Mi sebenernya Bhre udah suka kamu dari dulu, jadi gimana kamu mau gak jadi pacar Bhre," kata Bhre sekali lagi.
"Maaf ya Bhre kata mamah aku gak boleh pacaran apalagi nikah sama orang sunda, pamali," balas Renggami ditambah kekehan canggung di akhir kalimatnya.
Bhre kembali menepuk jidatnya lalu memijatnya sebentar, semuanya tak berjalan lancar seperti yang ia duga. Kalau dibilang sakit hati ya pastilah Bhre sakit hati namun melihat Renggami yang sama sekali tidak canggung dengannya sakit hati itu sedikit terobati sekiranya ia masih bisa melihat Renggaminya setiap hari. Bhre sekarang mengerti sejarah memang membuka jalan untuk memperbaiki dan menjelaskan sebab-akibat adanya suatu hal namun tidak bisa memaksa setiap orang untuk mempercayainya apalagi membuka jalan cintanya dengan Renggami.
Keesokkan harinya sebuah paket datang ke rumah Renggami, penerimaan paket itu disaksikan diam-diam oleh Bhre di teras lantai dua rumahnya ada rasa lega dan harapan di hatinya. Saat dibuka paket tersebut berisi sebuah buku dengan judul 'Perang Bubat', Renggami menyeritkan dahinya kebingungan saat membaca sinopsisnya dan membaca lagi alamat pengiriman barangkali paket ini salah alamat tetapi itu benar alamat rumahnya. Sekarang Renggami penasaran siapa yang mengiriminya novel bahasa sunda yang sudah pasti tak dapat Renggami pahami.
Sekarang dapat kita simpulkan bahwasannya ambisi dalam sebuah cinta juga bukan hal yang baik.
1 note · View note