Tumgik
#pojok resensi
ranisyahreza · 1 year
Text
Zero to One Membangun Startup Membangun Masa Depan
Judul: Zero to One Membangun Startup Membangun Masa Depan Penulis: Peter Thiel & Blake Masters Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Tahun: 2022Halaman: 244Peresensi: @ranisyahreza Buku ini merupakan buku genre bisnis & ekonomi yang telah menjadi bestseller internasional. Buku yang saya baca ini adalah cetakan Desember 2022 yang merupakan cetakan keduabelas.Penulisnya sendiri merupakan orang yang…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
isabellakirei · 2 months
Text
Nostalgia Majelis Buku Aksara
#bacatulisanlama Qadarullah ada yang mampir ke sebuah tulisan lama di blog betterword. https://betterwordforlife.blogspot.com/2013/01/terdesak-memaksa-diri-tuk-lebih.html Aku baca isinya, lalu memori tentang momen yang menjadi penyebab aku menulis itu hadir lagi di otakku, menumbuhkan benih rindu di dada. Rindu yang harus dieja lewat kata, karena aku tidak cukup berani untuk menyampaikannya langsung ke grup Aksara.
Aku tidak terlalu mengingat, buku apa yang sedang dibahas di Majelis Buku sore itu. Pun tidak mengingat siapa pengisinya. Tapi aku mengingat suasana sore itu di SRC. Saat itu tempat itu belum di sebut SRC. Perpustakaan Salman, begitu kami masih menyebutnya. Letaknya di pojok barat laut rumah kayu, lokasi yang cukup tersembunyi bagi yang tidak mengenal masjid Salman. Rumah kayu yang dibangun lebih rendah dari lantai selasar teh, membuat orang-orang harus menuruni tangga terlebih dahulu untuk menuju ke sana. Saat itu kami duduk di meja putih panjang, berhadap-hadapan, pengisi Majelis Buku membawa buku dan resensi buatannya. Kami biasanya mendengarkan penjelasan tentang buku tersebut terlebih dahulu, baru kemudian diadakan tanya jawab atau diskusi terkait buku. Diskusi tentang terdesak yang membuat produktif terjadi di salah satu sesi Majelis Buku Aksara. Kalau ingatanku tidak salah, aku duduk di sisi selatan, dan kakak yang bercerita menyelesaikan Thesis setelah menyaksikan kejadian tragis duduk di sisi utara. Aku bisa membayangkan siapa-siapa saja yang mungkin hadir di sana. Diskusi santai tapi serius kami. Kerinduanku untuk terus datang, dan sering terlambat, namun tidak malu untuk bergabung adalah karena aku menikmati proses literasi tersebut. Betapa menyenangkan dapat bertukar pikiran dengan orang-orang yang membaca buku yang tidak pernah kita baca. Buku yang bukan minat kita. Buku yang ilmu dan hikmahnya masih bisa kita petik karena ada acara semacam Majelis Buku. I want to discuss book with someone else, like what I did in Majelis Buku. It's okay even if it's online. I remember doing one or two session of book sharing with communities online. But right now I don't have one. I would like to join theladybook again, but the timing didn't match. Ahad morning is already filled with offline meetings, and is a family time also. Buat yang di bandung, SRC udah ada agenda rutin, Rumpi Book kalau nggak salah namanya. Namanya beda, tapi kayanya formatnya sih sama kaya Majelis Book. Gak tahu ada resensi atau gak. Tapi ada buku yang dibahas. Di Purwokerto setahu ada juga. Ahad sore, di sebuah taman. Kalau dari infonya sepertinya lebih mirip agenda the ladybook, baca bareng kemudian sharing session. Semoga kapan-kapan bisa ikutan. Kalau ada yang punya info komunitas baca dengan kegiatan serupa, mohon infonya ya. Pengen ikut. siapa tahu bisa nemu yang jadwal kegiatannya ngepas. Terakhir, semangat baca itu naik turun. Kemampuan literasi juga gitu. Jadi, mari cari temen yang suka baca sebanyak-banyaknya. Biar kalau kita lagi turun semangatnya, ada yang ingetin. Sekian. Bye~
0 notes
senjahari · 2 years
Text
Resensi Paris Bloody History-Masa Lalu Kota Paris
Resensi Paris Bloody History-Masa Lalu Kota Paris
Mendengar nama prancis, pasti dalam benak kita ada menara Eifell dan museum Lourve yang menjadi ikon dari negara itu. Namun sebelum menjadi negara dengan pusat fashion, paris memiliki masa kelam. Masa saat banyaknya perang, pemberontakan, wabah penyakit dan kelaparan yang menyerang negara ini. Lalu bagaimana resensi buku Bloody History Of Paris ini menceritakan masa lalu negara prancis ini? Ibu…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
dindapranata · 2 years
Text
Resensi Paris Bloody History-Masa Lalu Kota Paris
Resensi Paris Bloody History-Masa Lalu Kota Paris
Mendengar nama prancis, pasti dalam benak kita ada menara Eifell dan museum Lourve yang menjadi ikon dari negara itu. Namun sebelum menjadi negara dengan pusat fashion, paris memiliki masa kelam. Masa saat banyaknya perang, pemberontakan, wabah penyakit dan kelaparan yang menyerang negara ini. Lalu bagaimana resensi buku Bloody History Of Paris ini menceritakan masa lalu negara prancis ini? Ibu…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
ejharawk · 7 years
Text
Remy Sylado Sang Raja Tulisan
Tumblr media
Sekadar mengingatkan, judul di atas, juga tulisan yang nanti muncul setelah tanda “read more” saya ambil dari memoar Remy Sylado yang diterbitkan Majalah Tempo edisi 20 Januari 2013. Pada ujung memoar itu tertulis nama Nurdin Kalim dan Dian Yuliastuti yang kemungkinan jurnalis Tempo.
Alasan saya menyalin kembali tulisan tersebut dan mengunggahnya di blog ini datang setelah bertamu ke rumah beliau di Bogor (19/1/2018). Saya bersama empat teman lain seperti tampak pada foto di atas datang dalam rangka mewawancarai beliau untuk kolom “figur” yang terbit di Beritagar.id saban Jumat.
Entah sudah berapa kali saya bertemu Om Remy, begitu saya menyapanya. Hanya saja ini pertama kalinya saya berkunjung ke rumahnya. Sebelumnya kami bertemu di tempat lain dan mengobrol sepintas lalu saja.
Awal saya bisa menyambangi rumahnya yang asri tapi --harus saya akui-- nun jauh itu lantaran bertemu di acara pengumuman pemenang lomba penulisan kritik, opini, dan reportase/fitur film yang diadakan Pusbang Film Kemendikbud. Om Remy menjadi salah satu juri.
Sebelum acara dimulai saya menghampiri beliau yang datang dengan setelan jins biru. Biasanya beliau berpakaian serba putih. “Mantap setelan ini, Om. Bukan putih-putih lagi,’ kata saya membuka obrolan. “Bosan pakai putih-putih terus,” jawab beliau.
Kemudian saya mengeluarkan novel karangannya yang berjudul “Gali Lobang Gila Lobang” cetakan pertama. Penerbit Nuansa Cendekia telah menerbitkan ulang novel tersebut dengan desain kulit muka baru pada 2013.
Tumblr media
Saya minta beliau untuk menandatanganinya. Tahu saya lahir di Makassar, pembicaraan kemudian menggunakan bahasa daerah Makassar. Saya takjub juga dengan beliau. Bahasa Makassar-nya fasih betul. Sedang saya kerap tergagap membalas ucapannya dalam Bahasa Makassar. Maklum, saya sudah jarang sekali menggunakan bahasa ini.
Singkat cerita, saya lalu meminta nomor telepon beliau dan menyampaikan maksud ingin ke rumahnya untuk wawancara. Dikasihnya saya dua nomor. “Yang satu ada WhatssApp-nya, satunya lagi khusus untuk terima telepon saja,” katanya.
Berhubung sedang tak punya pulsa, dua hari sebelum bertamu saya mengirim pesan ke nomor WA beliau. Dibalasnya lagi pakai Bahasa Makassar. Pas Hari-H yang dijanjikan, berangkatlah kami berlima dari Jakarta menuju Bogor. Sempat hilang arah pas nyampe Bogor sih. Ha-ha-ha.
Tiba di depan rumahnya, tampak dari kejauhan Om Remy yang mengenakan kaos merah dan celana pendek hendak bersiap masuk mobil. Cepat-cepat saya turun dari mobil dan menghampiri beliau. 
Ia berkata, “Tayang mako anrinni. Tenaku sallo” Yang artinya “Tunggu saja di sini. Saya keluar tidak lama.” Sekitar 15 menit kemudian, beliau nongol lagi. 
Dibukakannya kami pagar. Saya mengamati rak berisi buku-buku yang nyender di dinding. Tidak lama beliau muncul. Kali ini setelannya sudah ganti dong. Celana corduroy dan topi patinonya warna candy brown, sementara kemeja lengan panjangnya berwarna khaki.
Sambil mengobrol, kami disuguhi jagung dan ubi jalar rebus. Tersaji pula sirup markisa. Mantap punya.
Tanpa berpanjang lebar lagi. Sila membaca memoar dari munsyi yang satu ini.
Remy Sylado sudah tidak muda lagi. Sekitar enam bulan lagi usianya akan menginjak 68 tahun. Rambutnya telah memutih semua, senada dengan warna baju, celana panjang, sepatu, dan beberapa aksesori yang dikenakannya. Boleh dibilang Remy—penulis produktif yang dulu dikenal urakan lewat gerakan sastra mbeling-nya—kini telah memasuki generasi kakek-kakek.
Meski begitu, semangat menulisnya tetap berkobar. Di meja kerjanya, di sebuah pojok perpustakaan pribadinya yang dipenuhi ratusan buku, di rumahnya di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Remy terus bergulat dengan tulisan. Dia tengah berjuang menyelesaikan novel terbarunya, yang mengambil latar cerita Magelang pada 1898, yang telah digarap sejak 2011 dan baru selesai sekitar 450 halaman dari rencana lebih dari seribu halaman. "Ini novel terlama yang pernah saya bikin," katanya.
Bagi Remy, yang dikenal sebagai penulis cepat, menggarap novel lebih dari setahun sungguh waktu yang sangat lama. Biasanya dalam setahun dia bisa menyelesaikan 2-3 novel, yang rata-rata tebal. Tapi kali ini dia agak tersendat karena memerlukan riset data lagi, termasuk ke museum di Belanda. Menurut Remy, observasi dan pengamatan langsung di lapangan yang menjadi latar cerita sangat diperlukan, karena nuansanya bisa lebih ditangkap.
Menulis novel menjadi aktivitas yang dilakoni Remy sejak remaja. Novel pertamanya, Inani Keke, ditulis ketika usianya belum genap 16 tahun. Sejak itu, Remy tak terbendung: menulis cerpen, novel, puisi, naskah drama, esai, dan syair lagu. Dari hari ke hari, dia bergulat melawan waktu untuk menulis—yang seolah-olah telah menjadi bagian dari setiap tarikan napasnya.
Dan hasilnya luar biasa. Remy telah menulis sekitar seribu puisi, 50 novel, 30 naskah drama, dan puluhan lagu. Ia juga menulis tentang sastra, seni rupa, musik, film, dan teater. Bahkan ia pernah menulis tentang teologi, kamus, dan ensiklopedia. Ya, Remy memang sangat produktif, meski dalam menulis dia menggunakan mesin ketik, bukan komputer atau laptop. "Ah, ini masalah kebiasaan saja," katanya enteng.
Awal Desember 2012, Remy mengajak Tempo menengok rumahnya di Cikarawang, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Selain mempunyai rumah di Cipinang Muara, Remy memang memiliki dua rumah lagi, di Bogor dan Bandung. Biasanya sebulan sekali dia dan keluarganya menginap di dua rumah itu. "Kadang dua-tiga malam kami menginap di sana," ujar penulis bernama lahir Yapi Panda Abdiel Tambayong itu.
Rumah Remy di Cikarawang bergaya joglo. Seperti rumahnya di Cipinang Muara, di dalam rumah bercat putih yang terletak di dekat Sungai Ciapus itu terdapat perpustakaan pribadi dengan koleksi ratusan buku serta belasan mesin ketik kuno. Di beberapa sudut rumah dan dinding terpajang lukisan-lukisan karya Remy dan karya perupa lain. Meja, kursi, dan perabot lainnya yang memenuhi ruangan tampak antik.
Siang itu, sambil menikmati singkong rebus dan kopi kental, Remy berbagi cerita tentang perjalanan hidupnya, dari masa kecil dan remaja di Semarang, berkiprah di Bandung dengan gerakan mbeling-nya, hingga dia dikenal sebagai seniman multitalenta: penulis naskah drama, sutradara dan aktor teater, pemain film dan sinetron, penyair, novelis, serta pelukis.
Saya lahir di Makassar pada 12 Juli 1945. Tapi, ketika berusia sekitar dua tahun, saya sudah di Semarang, tinggal di Jalan Simongan, tak jauh dari Gedong Batu. Sewaktu kecil, saya suka bermain di Sungai Kaligarang meski tak pandai berenang. Sampai-sampai saya pernah nyaris tenggelam di sungai itu.
Ketika kecil, saya juga sering blusukan ke Pasar Bulu dan Pasar Johar. Di sana saya mencari komik-komik kuno dari Amerika serta buku bacaan lain. Kebiasaan ke toko buku di kedua pasar itu masih sering saya lakoni hingga sekarang, jika kebetulan mampir di Semarang. Sejak kecil, saya memang suka membaca.
Semasa SMA di Semarang, saya sudah bermain musik dan membentuk grup Remy Sylado Company. Saat itulah saya kemudian mempunyai ide memakai nama Remy Sylado, yang kadang cukup ditulis 23761. Itu sebetulnya diambil dari chord pertama lirik lagu All My Loving milik The Beatles. Angka 23761 merupakan notasi re-mi-si-la-do.
Lulus SMA, saya kemudian kuliah di Akademi Teater dan Seni Rupa di Solo. Pulang ke Semarang, saya menjadi wartawan Harian Tempo. Koran ini dulunya bernama De Locomotiv, harian yang cukup besar di zaman kolonial Belanda.
Kenapa lulusan akademi seni kemudian memilih jadi wartawan? Boleh dibilang asal-usulnya tidak sengaja. Ceritanya, pada waktu itu Partai Komunis Indonesia dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sangat berkuasa. Sangat luar biasa mereka. Ketika saya kembali ke Semarang, di sana ada tontonan yang digelar Lekra, judulnya Membangun Kebudayaan Nasional untuk Kamerad Mao Zedong karya pengarang Cina, He Tjing-Ce, di Gedung Ngesti Pandowo, Jalan Pemuda.
Saya sempat merasa aneh, kok judulnya membangun kebudayaan nasional tapi ditujukan untuk Mao Zedong. Saya nonton berkali-kali. Saya kemudian membuat resensi pertunjukan itu. Harian Sinar Indonesia, koran yang memuat tulisan resensi itu, rupanya cukup senang dengan tulisan saya. Dan mereka kemudian meminta saya sering menulis untuk koran tersebut.
Karena sering menulis, lama-lama saya ditarik menjadi wartawan di koran itu. Pada 1966, saya bergabung dengan Harian Tempo. Selama menjadi wartawan di harian itu, saya banyak memegang rubrik, termasuk rubrik puisi dan apresiasi seni. Selama bekerja di sana, saya juga menulis novel dalam bentuk cerita bersambung yang dimuat di Harian Tempo.
Boleh dibilang menulis kayaknya memang bakat saya. Bapak saya dulu pendeta dan editor. Tapi saya enggak kenal sama Bapak karena, saat dia meninggal, saya masih kecil, baru berumur dua tahunan. Jadi saya tidak tahu persis bapak saya itu editor di mana.
Yang jelas, pemicu saya menulis bisa dibilang karena nonton teater. Saya merasa kurang sreg dengan pementasan sebuah teater, lalu saya membuat resensinya. Kebiasaan ini sudah dimulai ketika saya kuliah teater dan seni rupa di Solo.
Memang antara hobi nonton teater dan menulis resensi tidak ada hubungannya. Tapi, ketika saya berteater, saya menulis naskah drama. Waktu itu ada semacam kewajiban untuk menulis naskah sendiri. Dari situlah bakat menulis saya terasah. Dan kemudian saya memberanikan diri untuk menulis resensi setiap pertunjukan teater yang saya tonton.
Kebiasaan menulis resensi saya bawa ketika hijrah ke Bandung pada 1969. Dan, tak dinyana, dari kebiasaan itu, saya justru dipertemukan dengan para pekerja teater di Kota Kembang. Hingga akhirnya saya mendirikan kelompok teater dan berkiprah di Bandung.
----------------------------------
Sejak pindah dan berkiprah di Bandung, Remy semakin produktif menulis. Dia menulis naskah drama, puisi, cerpen, novel, dan lagu. Jemari Remy terus bergerak di atas mesin ketik. Kecepatannya menulis diperoleh dari pengalamannya sebagai wartawan. Imajinasinya diperoleh dari pelbagai pengalaman serta bakat seni rupa dan musik.
Remy boleh dibilang seorang yang multitalenta. Dia berbakat dan pandai melukis. Karena itu, imajinasinya cepat berbuah menjadi kata-kata yang bisa melukiskan suasana. Remy juga piawai bermain musik. Bertolak dari situlah dia kemudian menguasai irama sebuah karangan.
Toh, menurut Remy, proses kreatifnya dalam menulis berjalan alami saja. "Jadi, kalau mau bikin apa, ya, saya bikin saja. Jadi enggak ada teori-teori sastra atau drama segala," dia menjelaskan.
----------------------------------
Dalam proses kreatif, saya punya prinsip bahwa inspirasi itu diperintahkan, bukan ditunggu datangnya. Kalau kita menulis karya sastra menunggu inspirasi dulu, ya, keburu jatuh miskin, ha-ha-ha.... Soalnya, kalau kita menunggu datangnya inspirasi, kita jadi enggak kerja-kerja, dong. Motivasinya bekerja. Menunggu ilham itu cerita jadul.
Lantas kenapa inspirasi itu justru diperintahkan, bukan ditunggu? Prosesnya kira-kira begini. Bahan untuk menulis itu kita dapatkan dari apa yang dilihat atau diamati dalam kehidupan sehari-hari. Bahan itu lalu kita simpan dalam daya ingat kreatif kita. Maka, sewaktu-waktu kita perlukan, saya tinggal memerintahkannya untuk keluar. "Hai, inspirasi, keluarlah kau, aku membutuhkanmu." Jadi tidak ada harus melalui proses merenung segala. Itu terlalu meromantisasi kemampuan kita.
Tapi, ketika membutuhkan data yang disertai angka, biasanya saya mencatatnya dalam buku. Misalnya, saat akan melukiskan sebuah gedung, saya akan mencatat detail gedung itu, berapa lantai, bentuk tangganya seperti apa, berapa tinggi gedung itu. Itu saya catat dalam buku catatan, bukan ingatan. Meskipun kita membuat karya kreatif yang punya unsur imajinasi, fakta data dan logika tetap harus jalan.
Dengan langkah seperti itu, makanya saya bisa menulis dengan cepat. Sebab, semua kerangka yang hendak saya tuangkan sudah tersimpan dalam ingatan. Misalnya, ketika saya menulis naskah drama anak-anak Roro Jonggrang untuk Teater Tanah Air pimpinan Jose Rizal Manua pada pengujung tahun lalu, saya tulis hanya dalam waktu sekitar dua hari. Padahal saya selingi dengan nonton bioskop dulu.
Selain untuk kepentingan detail, observasi saya lakukan untuk data sejarah. Kebetulan hampir semua novel saya mempunyai ciri berlatar cerita masa silam. Maka saya tetap butuh observasi dan pencatatan data sejarah, tidak cukup hanya disimpan dalam ingatan. Seperti dalam menulis novel saya yang berlatar sejarah Magelang pada 1898.
Sebetulnya, observasi sejarah awalnya menyiksa buat saya. Soalnya, saya termasuk orang yang tidak menyukai sejarah. Ketika sekolah dulu, nilai sejarah saya benar-benar jeblok. Kecintaan saya terhadap sejarah bermula dari kebiasaan saya yang suka mengutak-atik asal-usul sebuah kata.
Dari kebiasaan itu, akhirnya saya sering mencari dari mana asal-usul sebuah kata. Dari ini saja kita sudah masuk ke wilayah sejarah. Lama-lama saya makin hanyut dengan pencarian asal-usul kata yang memang sangat mengasyikkan itu. Akhirnya, saya pun mencintai sejarah. Itu yang kemudian mewarnai novel-novel saya.
----------------------------------
Memang, selain produktif menulis, Remy kemudian dikenal sebagai orang yang cerewet dengan urusan kata dan kalimat yang dipakai dalam bahasa Indonesia. Misalnya, pemakaian bahasa alay, bahasa gaul anak-anak remaja sekarang, menurut Remy, biarkan saja. Itu akan memperkaya bahasa kita. "Jadi tidak usah takut berbahasa," katanya.
Boleh dibilang langkah kreatif Remy tidak pernah berhenti. Dari seorang wartawan kemudian aktif di teater, musik, novel, dan puisi, serta mengulik asal-usul kata. Atas langkahnya itu, dia menyodorkan alasan: kesenian bukan kutukan dewata, melainkan karunia Ilahi. "Karena itu, kita jangan hanya terpaku di satu ladang," ujarnya. "Sebab, dengan bekerja di ladang yang berbeda, kita enggak lekas frustrasi."
1 note · View note
irfanilmy · 7 years
Text
Honor Menulis yang Sungguh Manis
[Jurnal Ilmyah: Hari #182]
Setelah mengirim berkali-kali ke Pikiran Rakyat, akhirnya tulisan saya dimuat di awal bulan Juli lalu. Sebentar, sebelum dilanjut saya ingin jujur. Mengirim lebih dari sekali di sini terkadang sebenarnya saya hanya mengirim tulisan yang pernah ditulis lalu disunting lantas dikirim.
Saya tak pernah membuat tulisan baru yang spesial ditujukan untuk dikirim ke Pikiran Rakyat. Kecuali ada satu tulisan dengan judul Membiasakan Siswa Gemar Membaca dan Menulis, dan itu pun tak dimuat. Justru, puisi yang iseng-iseng ditulis lalu dikirimlah yang lebih dulu nongol di rubrik Pertemuan Kecil bersama Cerpen dan Wisata Bahasa. Begitulah jodoh bekerja. Selalu misterius dan tak bisa ditebak.
Hari ini saya mengambil honor puisi yang dimuat tanggal 9 Juli lalu itu. Berarti sudah hampir sebulan. Betul sekali. Dan saya baru mengetahuinya semalam dari proses—lagi-lagi—iseng-iseng survei tentang rekam jejak diri saya di internet. Sebagaimana yang sering saya bilang, konsep kebetulan tak saya yakini.
Setelah bertanya ke dua teman yang pernah dimuat tulisannya di Pikiran Rakyat, saya pun pergi ke sana sekitar jam 13 siang tadi. Kantor Pikiran Rakyat terletak di jalan Asia Afrika di depan Hotel Savoy Homan Bidakara.
Sebelumnya saya pernah ke sana sekali lewat wasilah menang lomba esai dari organisasi jurnalistik di fakultas saya, FPIPS UPI. Jadi ceritanya juara 1-3, dan saya terpilih jadi juara 1, berkesempatan mengunjungi kantor PR dan berdiskusi tentang media cetak yang dibawakan oleh salah satu petinggi harian umum di wilayah Jawa Barat itu. Jadi saya tak kesulitan untuk tiba di sana.
Setelah motor di parkir di tempat yang telah disediakan, saya bertanya pada salah seorang security di pos nya. “Ada yang bisa dibantu?” tanyanya menawarkan bantuan. Saya pun bertanya tentang tempat pengambilan honor tulisan yang dimuat. Dengan sigap si akang keamanan menunjukkan lokasinya. Katanya saya tinggal lurus menuju pojok lalu naik ke lantai 2 dan belok kiri. Petunjuknya cukup jelas.
Saya pun mengikuti instruksi satpam tersebut. Beberapa anak tangga saya naiki dan dilanjut berbelok ke arah kiri. Di sana terdapat petunjuk arah jika pengunjung hendak mengambil honor. Saya sedikit ragu. Di dekat kertas petunjuk arah ada seorang bapak. Untuk memastikan saya bertanya kepadanya.
Lalu petugas penyerah honor, seorang bapak yang saya taksir berusia sekitar 30-an datang menghampiri. "Mau ngambil honor?” tanyanya. Saya mengangguk sambil mengikutinya masuk ke sebuah ruangan berisi tiga meja yang di atasnya ada komputer. KTP yang saya pegang saya serahkan ke si bapak itu. Bapaknya lalu menginput data. “Puisi yah?” Saya pun mengiyakan.
Setelah menunggu beberapa saat sambil si bapak memfoto kopi KTP saya juga mencetak struk bukti pengambilan honor akhirnya uang yang sebelumnya diambil dari laci dan dihitung kemudian berpindah tangan ke tangan saya. Jumlah yang cukup besar untuk dua buah puisi. Cukup untuk membeli 4 buku Seno Gumira Ajidarma.
Tak ada perbincangan lain setelah urusan pengambilan honor itu selesai. Saya langsung pamit sambil mengucapkan terimakasih ke petugas yang mengurusi uang apresiasi bagi penulis yang karyanya dimuat.
Saya kemudian berpikir, lumayan juga nih kalau minimal tiap minggu puisi saya nongkrong di koran. Dalam sebulan saya bisa beli buku secara rutin. Apalagi kalau tulisan jenis lain seperti opini dan cerpen serta resensi menyusul muncul di media cetak ataupun online yang berbayar. Bisa-bisa saya meminta orang tua menyetop uang jajan bulanan. Semoga kedepannya bisa seperti demikian: mandiri secara finansial.
Sebagai bentuk rasa syukur, saya membelanjakan honor kedua dari menulis (yang pertama di Minggu Pagi Yogyakarta dengan bayaran 30.000) untuk membeli buku Puisi dan Bulu Kuduk (berisi esai-esai seputar puisi) pak Acep Zamzam Noor dan kumpulan esai om Seno Gumira Ajidarma berjudul Tiada Ojek di Paris.
Ini inventasi yang baik saya kira, ketimbang dibelikan untuk hal yang tidak-tidak. Saya ingin belajar lebih dalam perihal puisi dan esai soalnya. Dan buku-buku dari penyair dan esais berpengalaman sangat strategis untuk dijadikan bahan bacaan dalam rangka memperluas wawasan dan mempertajam keterampilan.
Pilihan toko bukunya adalah Togamas di jalan Supratman, dekat masjid PUSDAI Bandung. Banyak diskon pada setiap buku yang dijual di toko itu. Saya berharap pencapaian yang lain semoga segera menyusul. 
Sekali tulisan dimuat di media, keinginan untuk lagi dan lagi bisa dipampang di sana biasanya akan terus tumbuh. Yang sulit itu mengalahkan diri sendiri agar terus mencoba hingga bisa dimuat untuk yang pertama kalinya. Setelah sekali tembus, kesananya relatif akan lebih mudah.
Muhammad Irfan Ilmy | Bandung, 4 Agustus 2017
4 notes · View notes
cumulusnimbus-blog · 7 years
Text
Ada yang Kembali Pulang
Aku mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan nuansa malam ini. Penghujung liburan akhir tahun. Di saat orang-orang menyalakan lilin menunggu Mesias, pesta makanan besok siangnya, memakai rok, celana katun dan topi segitiga merah, aku mendekam di kamar selama tiga hari. Aku tetap mandi dan makan, bahkan memasaknya sendiri untuk mama juga. Sebotol minuman isotonik dan setengah bungkus biskuit lapis menjadi pengisi celah ketika mata perih dan punggung pegal akibat terlalu sering bersandar.
Begini. Pasalnya aku senang sekali. Ada sesuatu yang kembali pulang. Sesuatu yang ternyata telah lama hilang dan sebelumnya aku tidak tahu itu apa. Setelah ia kembali, barulah aku tahu yang hilang itu.
Aku tidak mau menjelaskannya dengan satu kalimat begitu saja. Aku memilah istilah, mencoba mengabstraksikan sesuatu itu, supaya ini tidak menjadi sebuah tulisan yang klise. Bukan maksudku menjadikannya tidak sederhana. Justru ini adalah sesuatu yang sederhana setelah kamu tahu apa maksud sebenarnya.
Aku buru-buru menuliskan ini sebelum mengerjakan tugas paper yang sama sekali tidak ingin kukerjakan. Ide itu bersayap.
Baiklah. Ini dia yang hilang.
Gairah.
#
Satu semester terakhir menjadi momen di mana tubuhku bergerak lebih gesit dari biasanya, otakku berpikir lebih keras dari sebelumnya, dan tidurku lebih memakan waktu banyak. Sama hitungannya dengan banyaknya buku yang terlewat, tempat rekreasi yang tersingkirkan, dan teman-teman lucu yang terabaikan. Oke, partikel ter- tidak cocok untuk ini. Sebab aku melakukannya dengan sengaja. Aku asik dengan aku yang ini—aku si Robot. Atau asik yang dipaksakan ya? Kesibukan duniawi membuatku tidak ingin bersenang-senang. Karena memang tidak ada yang menarik untuk aku lakukan. Tidur adalah predikat yang tidak termasuk di dalamnya. Lelah, penat, pegal-pegal, semua kuobati dengan tidur.
Aku kira libur Natal ini adalah waktu yang tepat untuk meregangkan otot. Tertawa lebih keras, berkata kasar, menyembunyikan sebelah sepatu orang, mengejek kejelekan teman, atau membuat ungkapan sarkasme. Lagi-lagi tidak. Sebuah buku di rak yang mencuri perhatianku. Buku itu berwarna hitam dengan judulnya yang berwarna biru mengilap. Ada jaring laba-laba di depannya yang juga mengilap. Buku itu nyaris 2 tahun menjadi asuhanku walau sempat dipinjam orang dengan waktu—sangat—lama. Akhirnya aku membuka bagian testimoni buku tersebut. Yang menarik buatku adalah kata-kata Sujiwo Tejo. Begini katanya:
“Mereka yang karena kebiasaan lama terlalu membedakan fiksi dan nonfiksi, mungkin kecewa dengan buku ini. Tapi, tidak bagi yang selalu bergairah menyongsong segala hal yang tumbuh.”
See? Gairah.
Kemudian aku semangat melanjutkannya ke daftar isi, bagian puisi pembuka, dan mulai ke kepingan pertama: Yang Ada Hanyalah ADA.
Aku tidak akan menulis resensi untuk buku tersebut. Nyatanya aku tidak tertarik menulis resensi atau review untuk buku apapun yang sudah kubaca. Cukup dengan bilang: buku itu penuh magis, dan kamu boleh membacanya kalau kamu tertarik dengan magis. Ada yang percaya lalu meminjamnya, ada yang buang muka dan memilih judul lain di rak bukuku.
Lalu, apa itu gairah yang kumaksud?
Aku lupa kapan terakhir kali membaca buku seharian penuh. Atau bahkan dari pukul delapan malam sampai pukul tiga shubuh. Aku lupa kapan terakhir kali waktu istirahatku di kantor dipakai untuk baca buku, bukan untuk tidur atau mengerjakan tugas kuliah. Aku juga lupa kapan terakhir kali aku pergi ke tengah kota naik bus atau kereta hanya untuk menghabiskan beberapa bab yang tanggung jika diberhentikan. Aku lupa karena rasanya sudah beberapa abad yang lalu. Tidak, ini bagian hiperbolaku.
Mungkin setahun lebih. Apakah itu namanya hampa atau kosong? Bukan keduanya kukira. Jika memakai salah satu dari dua diksi itu aku seperti merendahkan diriku sendiri. Menempatkan tubuhku di kasta paling bawah. Aku adalah tanah tempat piramid berdiri, bukan bagian dari piramid itu sendiri. Jadi, aku ini apa?
Bukan aku yang mau kusandingkan dengan gairah itu. Melainkan sebuah kondisi.
Malam ini aku berhasil menamatkan buku jaring laba-laba itu. Bonusnya, sesuatu yang hilang kembali pulang. Menjadikan aku sesuatu yang utuh, sempurna. Dan, aku berhasil mencapai kondisi di mana aku merasa lebih hidup. Aku terbangun. Membaca tanpa berhenti karena merasa ceritanya tidak patut digantung. Ia harus selesai dalam waktu yang sama. Bertemu dengan banyak diksi asing dan mengeksekusinya di tengah-tengah paragraf. Lalu sesegukan di pojok kamar. Pindah ke ruang tamu karena kegerahan. Membuka lebih banyak keping-keping dan menggenapkan cerita si penulis dalam kitab roman sainsnya. Voila!
Inilah gairah yang kumaksud.
Hal yang membuatmu hidup bukanlah sebuah material. Wujud dalam bentuk padat yang memiliki value untuk menyokong keberlangsungan rumah tangga bisa binasa, menjadi material mati yang tidak bermakna ketika value itu terkikis. Sementara dirimu selalu butuh hal-hal sentimental, kebutuhan fundamental setiap manusia untuk bergerak. Aku, atau siapapun, bukanlah robot yang bisa disetir kapan saja dan ke mana saja. Hati bisa menolak, bisa juga mendorong lebih cepat bergerak. Gairah.
Liburan telah berakhir. Besok aku dan robot-robot lainnya kembali bergerak berkat remote. Tapi, mungkin kamu bisa mengundurkan diri dari peranmu sebagai robot. Melibatkan gairah untuk bergerak, dengan menolak atau mendorongnya lebih maju. Berbahagia atas kendali gairahmu dan dengarkan semesta bernyanyi lagu gembira kali ini.
0 notes
ranisyahreza · 2 years
Text
Heart in The Tree (Jantung di Atas Pohon)
Judul: Heart in The Tree (Jantung di Atas Pohon)Pengarang: Pavan KapoorPenerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia Tahun: 1997Halaman: 30Peresensi: @ranisyahreza Buku ini berisi sebuah cerita tentang seekor monyet bernama Ram, yang berteman dengan seekor buaya yang bernama Karo.Ram sering memberikan buah mangga yang manis untuk Karo dan istrinya. Hingga akhirnya mulai tumbuh keserakahan pada…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes