Tumgik
#referensi kitab kuning
Text
Mu'allimin Mu Yogyakarta
muallimin.sch.id
Sejarah Mu'allimin • Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta – Sekolah Kader 6 tahun
4–5 minutes
Sekolah Calon Ulama, Pendidik, & Pemimpin • Pendidikan 6 Tahun
Apa saja yang bisa membuat orang Islam yang baik, juga bisa membuatnya menjadi warga negara yang baik.
Tumblr media
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (selanjutnya disebut Mu’allimin) didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1918 dengan nama “Qismul Arqa” yang kemudian diubah menjadi Pondok Muhammadiyah (tahun 1920), lalu menjadi “Kweekschool Muhammadijah” (1924). Baru pada Kongres Muhammadiyah tahun 1930 di Yogyakarta berubah menjadi “Madrasah Mu’allimin Mu’allimaat Muhammadiyah”. Setahun kemudian madrasah ini dipisah, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah (khusus putra) berlokasi di Ketanggungan, Yogyakarta dan Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah (khusus puteri) berlokasi di Kampung Notoprajan Yogyakarta.
Pada Kongres Muhammadiyah Ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta, ditegaskan bahwa Madrasah Mu’allimin-Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta merupakan Sekolah Kader Persyarikatan Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Tumblr media
Dalam proses perkembangannya, Mu’allimin senantiasa melakukan penyesuaian program pendidikannya dengan perkembangan zaman. Pada tahun 1980, dilakukan perubahan sistem pendidikan Mu’allimin yang sangat mendasar. Jikalau pada masa sebelumnya maskan atau asrama belum menjadi satu kesatuan sistem dengan madrasah, maka sejak tahun 1980, Mu’allimin mulai menganut sistem “long life education”.
Sistem ini, menegaskan bahwa madrasah/sekolah dan maskan/asrama adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses pelaksanaan program pendidikan. Sistem ini pula yang menjadikan Mu’allimin mendapat pengakuan sebagai Pondok Pesantren dari Departemen Agama RI pada tahun 1984. 
Kemudian untuk memperkuat kurikulum pendidikannya, pada tahun 1987 dilakukanlah upaya resistematisasi kurikulum Mu’allimin. Upaya ini bertujuan agar proses pendidikan dan pengajaran dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dalam upaya ini ditetapkan kebijakan untuk menyusun suatu paket terpadu yang menyangkut materi bidang studi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dengan teknik kurikulum silang (crossing curriculum), yakni memadukan materi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Departemen Agama RI dengan materi Mu’allimin yang merujuk kepada referensi “kitab kuning”.
Selanjutnya dengan adanya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dan Permenag No. 2 Tahun 2008 maka Mu’allimin mengacu pada 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan Permenang Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi lulusan dan standar isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah, sehingga menjadi begitu banyak jumlah muatan yang harus dipelajari siswa Mu’allimin terlebih dengan muatan kepemimpinan dan kekaderan sebagai sekolah kader persyarikatan, Mu’allimin mengelola melalui berbagai cakupan aktifitas peserta didik yang 
terintegrasi, yaitu intrakurikuler, kokurikuler, ektrakurikuler dan aktifitas pembiasaan di asrama dalam kesatuan manajemen. Hal ini dimaksudkan untuk efektifitas dan efisien. Pada sisi lain agar tujuan masing-masing pemangku kepentingan dalam hal ini Pemerintah (Kemendikbud dan Kemenag) dan Persyarikatan bisa tercapai sehingga dengan “Long Life Education” siswa belajar secara formal dan informal dalam satu pengawasan.
Mu’allimin dalam angka
Tahun Berdiri
Pahlawan Nasional
Jumlah Pelajar
Komunitas Siswa
Informasi PPDB Tahun Ajaran 2023/2024
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2023/2024 Gelombang 2 masih dibuka sampai dengan 03 November 2022.
© 2021 Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta
0 notes
remahansandwich · 1 year
Text
Pertanyaan Bani Israil
Tumblr media
(Tadabbur surah al-Baqarah ayat 67-71)
Bismillahirrahmanirrahim
Surah Al-Baqarah memiliki arti “sapi betina” dalam Bahasa arab. Penamaan surah ini diambil dari penggalan kisah ayat 67-71 di atas, di mana di ayat-ayat tersebut Bani Israil diperintahkan oleh Nabi Musa untuk menyembelih seekor sapi betina.
Ketika Nabi Musa memberitahukan perintah Allah tersebut, Bani Israil melontarkan pertanyaan seputar ciri-ciri sapi betina yang harus mereka sembelih: “seperti apa sapi betinanya?” Ketika sudah dijawab, mereka bertanya lagi, “seperti apa warnanya?” Lagi-lagi setelah dijawab, mereka masih bertanya lagi “Seperti apa ya si sapi betina itu? masih kurang jelas”
Dari kisah inilah julukan “Bani Israil” disematkan sebagai lelucon kepada orang-orang yang banyak bertanya. Banyak bertanya memang dilarang dalam Islam, karena dikhawatirkan, jawabannya justru akan menyusahkan si penanya itu sendiri, seperti pada kasus Bani Israil. Coba kita pikirkan, mana ada sapi betina dengan kriteria “umur tidak tua tidak muda, warnanya kuning keemasan, dan tidak pernah dipakai membajak tanah, tidak bercacat, tidak belang”? Rasanya di dunia ini tidak mungkin ada sapi seperti itu. Kalaupun ada, maukah si pemilik “sapi langka” menjual kepada mereka? Kalaupun mau, pasti sangat mahal harganya.
Allah itu Maha Pengasih. Dia tahu kemampuan hamba-Nya, maka ketika ada perintah atau larangan, tidak perlu minta diperinci, takut malah menjadi perintah/larangan yang memberatkan kita.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim].
Lalu kenapa Allah memberi perintah menyembelih sapi betina yang “langka” kalau sapi seperti itu tidak mungkin ada di dunia ini? Itu adalah bentuk hukuman dan siksa Allah kepada Bani Israil, karena tujuan mereka bertanya, pada hakikatnya, bukan betul-betul ingin meminta informasi seputar sapi itu, tapi mereka hanya malas dan berusaha mengelak saja agar tidak usah melakukannya. Tapi justru itulah akibatnya. karena pertanyaan mereka sendiri, mereka malah menghadapi kesulitan dan adzab dari Allah.
Wallahu a’lam (qonita masih faqir ilmu, ini hanya tadabbur pribadi, bukan tafsir. semoga tidak ada kesesatan ilmu atau kesalahan informasi)
__________
Referensi:
http://www.hajij.com/id/the-noble-quran/item/222-tafsir-al-quran-surat-al-baqarah-ayat-67-71-
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50223/1/joni%20hendri%20Br.pdf
https://almanhaj.or.id/12145-melaksanakan-perintah-jauhi-larangan-dan-jangan-banyak-bertanya.html 
**seharusnya referensi untuk ilmu agama seperti ini, menurut qonita harus dari kitab-kitab ulama terdahulu yang sudah pasti kevalidan ilmu dan ijtihadnya. Tapi karena qonita sedang merantau dan tidak ada kitab-kitab itu di kosan (sementara qonita harus menulis setiap hari padahal ada aktivitas lain juga), terpaksalah ambil dari internet, tapi saya usahakan tetap berusaha mencari link/tulisan yang sumbernya merujuk pada kitab-kitab masyhur. Pokoknya yang terpercaya.
0 notes
kitabkuning99 · 3 years
Text
0813-5173-3881, Jual kitab Fathul Qorib
telp: 0813-5173-3881, kitab kuning riyadhus shalihin pdf, kitab kuning riyadul badiah pdf, kitab kuning risalatul mahid, kitab kuning rumah tangga, referensi kitab kuning, kitab kuning safinah, kitab kuning safinatun najah pdf, kitab kuning shahih bukhari pdf, kitab kuning sejarah nabi, kitab kuning sirrul asror
Distributor Kitab Kuning menyediakan kembali kitab-kitab Islami dalam format baru, yang mana kitab kuing kini telah menjadi kebutuhan utama guna mempermudah penelaah dan meneliti, menemukan materi yang dibutuhkan dalam waktu singkat. Beranjak dari ini, Distributor Kitab Kuning berupaya mempublikasikan kembali buku berbahasa Arab -populer disebut "kitab kuning (Kitab Karya Ulama Salaf)"- yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan i'tiqad ahlus sunnah waljama'ah. Di samping mennyadiakan kitab-kitab dengan format klasik, juga menyediakan kitab dengan format kontemporer tetapi tetap mempertahankan ciri-ciri khusus kitab klasik.
Pemesanan Kitab Hubungi Ahmad:
Telp/wa: 0813-5173-3881
0 notes
irfanilmy · 5 years
Text
Letak Ilmu Bukan di Buku-buku
[Jurnal Ilmyah: Hari #344]
Ada banyak tumpukkan kardus berisi buku-buku, kitab kuning, berkas-berkas lain yang tidak lagi digunakan di rumah. Banyaknya tumpukkan kardus ini menyulitkan saya untuk menemukan buku berisi puisi-puisi saja pas masa Tsanawiyah. Saya ingin bernostalgia saja dengan puisi-puisi zaman polos dulu. Di samping juga sebenarnya saya berharap ada puisi yang bisa diselamatkan dari buku itu.
Saya mengacak-acak kardus di kamar atas dan hasilnya tak ada. Buku itu tak kunjung ditemukan. Lalu beralihlah saya ke kamar bawah dekat dapur, yang didapati hanya buku-buku adik pas SMA kelas-kelas awal. Di lemari kamar depan pun buku yang dimaksud enggak terlihat tanda-tandanya. Seingat saya sebenarnya buku itu pernah ditemukan dan saya simpan di tempat tertentu di rumah. Tapi sayangnya ingatan saya tidak sekuat para penghafal Al-Qur’an, saya sulit memanggil ingatan di manakah buku berharga itu ditaruh. Saya masih sangat berharap suatu ketika buku itu bisa kembali saya baca.
Namun pencarian itu tidaklah sepenuhnya sia-sia meskipun objek utamanya tidak ketemu. Saya menemukan perenungan cukup penting dari prosesnya. Saya jadi membaca kembali catatan-catatan pas SMA dulu. Betapa tulisan saya tidak pernah konsisten. Kadang tegak lurus, sesekali miring ke kanan. Adapula yang ditulis bersambung meskipun di beberapa halaman lainnya tidak demikian. Itu dari segi teknis penulisan. Dari segi isi, saya cukup kaget juga dengan beberapa catatan bernada motivasi yang ditujukan buat diri sendiri pada beberapa catatan, baik ditulis ketika di sekolah maupun saat ngaji di pesantren waktu itu.
Kitab-kitab saat mondok dulu terpisah rapi di satu wadah. Saya sedih karena kitab-kitab itu tak pernah lagi tersentuh semenjak 8 tahun lalu. Beberapa kitab mungkin pernah saya baca bersama kakak tingkat saat awal-awal kuliah di UPI, tapi itu hanya beberapa kali saja. Saya amat tidak puas. Ingin kembali saya menyelami karya-karya para ulama itu secara intens seperti dulu. Agak sulit kalau tidak mondok lagi. Saya melihat kembali kenangan-kenangan indah masa remaja di tumpukkan kitab-kitab tersebut. Saya ingat kawan-kawan santri juga para ustaz yang selain mengajarkan ilmu, mereka pun mencontohkan teladan secara konsisten.
Saya pun sekilas mendapati kitab-kitab kuning punya teteh saya saat mondok di pesantren Cipasung-Singaparna. Koleksi kitab teteh lebih banyak dari saya. Pesantrennya memang lebih besar ketimbang tempat saya mendalami ilmu agama di daerah Cibeureum-Tasikmalaya. Belum lagi kitab-kitab tebal punya bapak yang juga di antaranya adalah peninggalan almarhum Apa (kakek: bapaknya mamah). Oh sungguh ternyata saya tumbuh di keluarga yang kuat dengan tradisi pengkajian kitab-kitab berisi ilmu-ilmu agama, baik aqidah, fiqih, tafsir, akhlak, nahwu, shorof, dll. Andai saya serius waktu ngaji dulu, mungkin sampai sekarang masih piawai membaca dan memahaminya sehingga bisa mengajarkan kembali ke yang lain. Sungguh pastilah akan nikmat memiliki ilmu yang luas juga dalam serta mampu mengamalkannya.
Beberapa fotokopi materi kuliah bapak di S2 PAI saat melanjutkan studi di Institut Agama Islam Darussalam Ciamis pun tak luput saya temui. Materi ilmu hadits bahkan saya bawa ke Bandung untuk dibaca-baca karena memang sedang mengontrak mata kuliah tersebut. Lumayan. Ada untungnya saya mengambil jurusan kuliah yang sama dengan kedua orang tua. Selain bisa diskusi bareng, referensi yang mereka punya pun bisa juga saya manfaatkan.
Hal yang muncul di benak saya ketika dan pasca “kokoreh” itu adalah tentang pentingnya penguasaan atas ilmu. Buku-buku, modul, kitab-kitab, catatan, dan sumber-sumber lain yang dipunya memang amat berguna saat sesekali kita lupa atasnya. Akan tetapi yang jauh lebih penting yaitu pemahaman atas ilmu itu sebenarnya. Ilmu itu memang pada hakikatnya ialah yang benar-benar mendarahdaging dengan kadar kepahaman tingkat tinggi. Bukannya sedikit-sedikit lupa lah, ragu akan benar-tidaknya, dan yang senada dengan itu. Ini berlaku untuk semua bidang keilmuan.
Saya pun cukup sedih saat melihat buku catatan matematika, bahasa Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain saat SMA yang tak pernah lagi dipelajari dan nyaris tak ingat sedikit pun. Betapa saya ada di posisi yang sungguh merugi. Padahal meskipun saya tak mempelajarinya secara fokus, pengetahuan-pengetahuan tersebut tak semestinya dilupakan seluruhnya. Duh gusti, ampunilah kelalaian hambamu ini!
Penting buat saya sekarang untuk tidak lagi menyepelekan sekecil apa pun yang berkaitan dengan ilmu. Jika memang saat ini dirasa tidak penting, boleh jadi di masa mendatang saya butuh atasnya. Saya ingin jadi orang yang benar-benar punya perhatian atas ilmu. Bukan untuk dibangga-banggakan, tapi buat diamalkan. Buat dibagikan. Sekian.
Muhammad Irfan Ilmy | Negla, 18 Februari 2019
2 notes · View notes
kabarbanyuwangi · 2 years
Text
Gelar Festival Kitab Kuning, Bupati Ipuk: Ciri Khas dan Bagian Sejarah Bangsa
Gelar Festival Kitab Kuning, Bupati Ipuk: Ciri Khas dan Bagian Sejarah Bangsa
Foto: banyuwangikab.go.id Ajang Festival Kitab Kuning akan digelar di Gedung Juang Banyuwangi, Kamis-Sabtu (10-12/3/2022). Menurut Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, hal ini sebagai upaya menunjukkan kekayaan intelektual pesantren di Banyuwangi. “Kitab kuning ini merupakan salah satu ciri khas pesantren di Indonesia. Ini tidak hanya menjadi referensi keilmuan bagi kalangan santri, tapi juga…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
ariefinlee · 7 years
Text
1-7 Manfaat Mempelajari Ilmu Kalam - Kajian Tijan ad-Durari
1-7 Manfaat Mempelajari Ilmu Kalam – Kajian Tijan ad-Durari
7. Manfaat Mempelajari Ilmu Kalam.
Setiap fan ilmu mempunyai manfaat sendiri-sendiri. Misalnya fan ilmu nahwu, salah satu manfaatnya untuk membaca dan memahami kitab kuning dan al-Qur’an. Apa manfaat (tsamrah) mempelajari ilmu Kalam?
Jawaban:
Mengetahui Allah dengan dalil-dalil yang pasti dan memperoleh kebahagiaan yang kekal dan abadi.
Referensi:
تحفة المريد. ص. 9:
وَ ثَمَرَتُهُ مَعْرِفَةُ…
View On WordPress
0 notes
tiqateuki · 7 years
Text
Mendiagnosis Diri Sendiri
Pernah dengar cerita pasien yang ngedebat dokternya dan merasa lebih tahu tentang penyakitnya? Sering deh kayaknya. Udah banyak kok curhatan dokter, perawat atau tenaga kesehatan lain tentang jenis pasien “Sok Tahu” kayak gini di media sosial dan selama ini aku selalu menganggap sepele ketika membaca artikel yang berisi unek - unek tentang tingkah laku pasien atau keluarga pasien yang kayak gini. Setiap habis baca selalu mikir, “Yaudah sih, ya, nggak usah berlebihan.”, tapi waktu udah ngalamin sendiri, semuanya berubah jadi, “Ini gila! Pantesan aja dokter - dokter pada senewen.
Ini semuanya berawal dari rencana bunuh diri kenalannya temen, sebut saja Mawar (Hahaha sumpah mainstream banget namanya) beberapa hari lalu, tapi berhasil digagalin sama temen - temen dan keluarganya. Saking paniknya ngadepin kejadian ini, si Mawar, si temen aku ini, langsung nge-chat nanya macem - macem soal bipolar dan bunuh diri. Sebagai orang yang berkelakuan sok baik dan pernah belajar psikologi dan keperawatan jiwa, nggak tega donk ngebiarin temen panik, jadi dibantu sebisanya buat ngejelasin soal bipolar dan kaitan bipolar dengan bunuh diri. Lho? Kok bipolar? Apa hubungannya doi mau bunuh diri ama bipolar? Jadi, setelah digali lebih jauh alasan temennya Mawar ini bunuh diri adalah karena pengaruh bipolar yang dia derita (ini berdasarkan pengakuan korban), tapi anehnya diagnosis temennya mawar ini bukan dari hasil pemeriksaan psikater atau psikolog, tapi hasil analisis sendiri dari baca - baca buku dan nonton video di Youtube. Kaget? Ohhhh, jangan ditanya. Selama belajar psikologi dan keperawatan jiwa, baru kali ini nemu kasus dimana pasiennya bisa ngediagnosis penyakitnya sendiri, yaitu bipolar disorder cuma dari  nonton video - video di youtube dan baca - baca buku psikologi. Luarrrrr biasaaaa! Oh iya, tahu Bipolarkan? Itu lhooo penyakit gangguan suasana perasaan yang ada fase manik atau hipomanik dan depresi (Yuk! Dibuka lagi buku psikologi ama DSM-nya. Hehehe). Penyakit ini sempet jadi pembahasan yang ramai banget di televisi dan media masa lain karena ada salah satu public figure kita yang pernah didiagnosis dengan penyakit ini. You Know Who lah, ya!
Emang sih, kita nggak bisa nyalahin kalau kemajuan teknologi dan kemudahan untuk mendapatkan informasi akan memunculkan pasien - pasien jenis begini. Yang suka ngebantah dokternya dengan berbagai alasan dan bisa mendiagnosis diri sendiri dengan penyakit tertentu.
“Tapi, dok, kata google begini”
“Menurut hasil searching saya di google begini”
“Kalo kata video youtube begini”
“Kata artikel di internet penyakit saya itu sebenarnya ini dan obatnya ini”
Tapi tahu nggak sih, mendiagnosis diri sendiri dengan penyakit tertentu tanpa bantuan ahli itu berbahaya. Pertama, bisa aja diagnosis yang kamu tentuin itu salah. Dokter aja yang sekolahnya bertahun – tahun aja bisa salah, apalagi kamu yang cuma belajar otodidak. Kalau kamu emang belajar dari buku – buku dengan pengarang yang jelas dan emang pakar dibidangnya bukan buku yang sumber referensinya masih nyontek di internet, kamu pasti tahu kalo beberapa penyakit medis dan psikologis ada yang memiliki tanda dan gejala yang sama, jadi bisa aja diagnosis yang kamu tentuin sendiri itu ketuker ama diagnosis penyakit lain yang seharusnya jadi diagnosis penyakit kamu. Belum lagi, nentuin diagnosis penyakit itu nggak semudah kamu bikin teh. Tinggal masukin gula ama teh ke dalam gelas, terus seduh air panas. Taraaaa, jadi! Nggak kayak gitu! Nentuin diagnosis itu harus ada pemeriksaannya yang terstruktur dan terstandar. Pakai alat uji psikologis yang udah tervalidasi, pakai alat medis yang emang terbukti, dan pemeriksaan lain. Orang sakit diabetes aja harus dicek riwayat penyakit dan keluarganya, tes darah, dan segala macemnya. Salah prosedur pemeriksaan bisa bikin salah diagnosis. Ditambah lagi kecondongan diri kamu yang sedari awal udah mendiagnosis diri dengan penyakit X, maka kamu akan memiliki kecenderungan untuk mencari informasi yang lebih banyak tentang penyakit X hanya untuk menguatkan pandangan kamu dan melupakan referensi yang lain. Kemungkinan tentang diagnosis penyakit yang lain.
Kedua, mendiagnosis diri sendiri secara asal – asalan juga bisa bikin kamu ngejalanin pengobatan asal – asalan dan nggak seharusnya. Misalnya, hasil searching kamu tentang pengobatan penyakit X disalah satu artikel internet adalah harus minum air rendaman batu akik sejenis ponari sweat, mandi kembang tujuh rupa, dan ditambah obatnya cacing tanah, sedangkan dibuku medis yang entah apa itu judulnya, yang belum tentu di tingkat universitas jadi buku rujukan ilmiah, pengobatan penyakit X adalah dengan minum obat XXX dan kamu yang nggak punya dasar mumpuni jadi bingung harus gemana ngobatin penyakitmu dan akhirnya bikin kamu secara buta ngikutin apa aja yang disuruh sama tulisan – tulisan itu dengan mencampur semua tehnik pengobatan yang ada. Hi, dude! This is insane! Salah obat dan pengobatan, bukannya nyelametin diri kamu justru malah memperburuk diri sendiri. Kamu pasti tahu donk kalau beberapa obat dipasaran tidak dijual bebas tanpa resep dokter karena diobat – obatan itu ada kontra indikasi dan efek samping yang jika tidak dipahami dengan betul justru akan berakibat fatal bagi si pengguna karena itu penggunaan dan dosis obat diatur sedemikian rupa. Jadi kalau seharusnya kamu mendapat pengobatan depresi dengan antidepresan dengan dosis sekian miligram, tapi kamu justru ngegantinya dengan ponstan karena kamu lebih percaya dengan hasil research kamu sendiri, apa iya hasilnya bakal sama?! Udah pasti nggak dan semakin lama kamu menunda untuk berobat pada yang ahli, maka semakin buruk kondisi penyakitmu. Kadang prognosis penyakit itu nggak seperti yang kamu duga lhooooo, ada yang lambat ada yang jebretttt! Tahu – tahu udah stadium lanjut. Upsss.
Dengan nulis tulisan ini, bukan berarti ngelarang orang – orang di luar sana untuk terus belajar dari berbagai sumber dan ingin tahu lebih jauh tentang penyakitnya, bukan. Cuma minta supaya lebih hati – hati. Kamu boleh aja nggak percaya sama dokter atau psikolog atau perawat atau tenaga kesehatan lain dan lebih percaya sama hasil penelitian kamu sendiri, tapi ingat! Mereka itu belajarnya dari ahlinya, lho. Mereka belajar dari sosok – sosok dengan gelar Profesor Doktor bla bla bla. Mereka bertahun – tahun ngehabisin waktu membaca text book rujukan resmi, jurnal – jurnal ilmiah, dan ikut pelatihan dengan narasumber terpercaya. Penelitian yang mereka lakukan juga hasilnya udah diuji validitas dan reliabilitasnya, bukan dari hasil baca artikel acak yang bertebaran di dunia maya dan buku – buku yang nggak jelas pengarangnya yang bisa dihabisin dalam semalam atau hitungan bulan. Kamu mau belajar baca kitab kuning atau menafsirkan Al Qur’an aja harus belajar ke ahlinya, ke Pak Kiai, masuk pesantren atau sekolah – sekolah agama, bukan ke tukang cendol apalagi cuma secara otodidak lewat internet atau baca buku tanpa bimbingan ahli karena bisa bikin kamu salah dan melenceng jauh dari yang seharusnya. Apalagi belajar soal penyakit. Kalau semua orang jadi bersikap “sangat tahu”, tutup aja rumah sakit dan klinik – klinik perobatan, toh para pasiennya udah nggak perlu bantuan karena bisa ngobatin diri sendiri.
Sikap sok tahu yang berlebihan itu menurut aku bahaya dan udah sama kayak merendahkan para profesional. You hurt their ego. Seolah – olah kamu lebih tahu segalanya, sementara mereka cuma remah – remah rempeyek yang nggak ada artinya. Nggak salah kok kalau kamu pengen tahu, tapi nggak salah juga kok buat ngehargain pengetahuan para profesional dengan cara yang lebih baik. Para profesional ini ada karena mereka ingin mewujudkan mimpi dan membantu orang lain, sementara kamu ada untuk bersikap lebih bijak kalo nggak semua hal yang kita mau itu bisa dilakuin sendirian, tapi perlu bantuan orang lain juga. Kayak simbiosis. Saling melengkapi. Jadi inget pepatah lama, terlalu banyak tahu sama dengan terlalu sedikit tahu.
Nggak bermaksud merendahkan. Nggak bermaksud menyepelekan. Cuma mau ngeluarin unek – unek aja.
Bali, 27 Juli 2017
@tiqateuki
0 notes
suarapesantren-blog · 7 years
Text
MUHAMMAD ADLAN ALY, (1900-1990). Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Putri Wali Songo, Cukir, Jombang, Jawa Timur, dan Ketua Umum pertama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah Al-Mu’tabarahan-Nahdliyyah (JATMAN), organisasi tarekat di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ini dikenal sebagai sosok yang wara’, zuhud, dan tawadlu’.
Lahir pada tanggal 3 Juni 1900 di Pesantren Maskumambang, Dukun, Sedayu, Gresik, dari pasangan Nyai Hj. Muchsinah binti K.H. Abdul Jabbar dan K.H. Ali. Saudaranya adalah K.H. Ma’shum, H.M. Mahbub, dan Nyai Mus’idah Rohimah. Kakaknya, K.H. Ma’shum Ali, kemudian menjadi menantu K.H. Hasyim Asy’ari dan penulis buku terkenal. Kiai Adlan Aly tumbuh dan dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga pesantren. Kakeknya, K.H. Abdul Jabbar (wafat 1903), adalah pendiri Pondok Pesantren Maskumambang Gresik di tahun 1859. Awalnya Kiai Adlan Aly nyantri kepada sang ayah, K.H. Ali, di Pesantren Maskumambang. Kemudian menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng, dan terbilang sebagai santri generasi awal K.H. Hasyim Asy’ari. Adalah kebanggaan para santri di Jawa waktu itu menambah ilmu dan berguru kepada pendiri NU ini.
Kiai Adlan Aly menikah dengan Nyai Hj. Ramlah. Dari pasangan ini lahir putra-putri: Nyai Hj. Mustaghfiroh, K.H. Ahmad Hamdan, Nyai Hj. Sholikhah dan K.H. Abdul Djabbar. Dalam perjalanan pulang usai menunaikan ibadah haji dari Makkah pada tahun 1939, sang isteri wafat  dan dimakamkan di Pulau We, Aceh. Setelah itu beliau dijodohkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dengan keponakannya yang bernama Nyai Hj. Halimah,yang menemani sang kiai selama 40 tahun hingga wafat di tahun 1982. Selanjutnya Kiai Adlan Aly menikah lagi dengan Nyai Hj. Musyaffa’ah Ahmad, seorang ustazah dari Desa Keras, Diwek, Jombang, pada tahun 1982, sebelum berpulang ke Rahmatullah delapan tahun kemudian. Dari pernikahannya yang kedua dan ketiga ini, Kiai Adlan Aly tidak dikaruniai satupun anak.
Ketika kakaknya mendirikan pesantren sendiri di Seblak, Jombang, pada tahun 1926, Kiai Adlan Aly ikut pindah walau tetap menuntut ilmu di Tebuireng. Beberapa lama kemudian, beliau membangun rumah sekaligus pondok di Cukir, tetangga Tebuireng, serta membuka toko kitab di depan pasar Cukir. Setelah NU berdiri, K.H. Hasyim Asy’ari memanggil santri favoritnya ini, bersama-sama K.H. Abdul Karim Gresik dan H. Sufri, untuk membentuk  kepengurusan NU di Kecamatan Diwek. Dari Pesantren Cukir inilah Kiai Adlan Aly berkiprah di NU hingga ke level nasional. Dalam Muktamar NU yang ke-8 di Cirebon pada Agustus 1931, Kiai Adlan Ali dipercaya sebagai pemimpin sidang. Termasuk ketika membahas masalah Tarekat Tijaniyah yang sempat bikin panas muktamar. Meski akhirnya forum perdebatan yang langsung dipimpin sendiri oleh K.H. Hasyim Asy’ari itu memutuskan bahwa Tijaniyah dianggap sebagai tarekat mu’tabarah.
Kiai Adlan Aly memang dikenal sebagai tokoh tarekat dan menjadi mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Padahal gurunya sendiri, K.H. Hasyim Asy‘ari, dan komunitas Pesantren Tebuireng, tidak mengamalkan satu tarekat pun. Ijazah irsyad (perkenan untuk menjadi mursyid atau guru dalam satu tarekat) beliau dapatkan dari guru tarekatnya, K.H. Muslih Abdurrahman Mranggen, Demak. Yang terakhir ini memang dikenal sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan banyak memberi ijazah kepada para ulama Jawa. Selain itu, Kiai Adlan Aly juga memperoleh ijazah tarekat tersebut dari K.H. Romly Tamim Rejoso, Jombang.
Kemudian, pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, Kiai Adlan Aly terpilih sebagai ketua umum pertama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah Al-Mu’tabarahan-Nahdliyyah (JATMAN). Dan memang baru pada muktamar kali ini NU punya organisasi tarekat sendiri berskala nasional. Karena sebelumnya ada organisasi tarekat yang dipimpin oleh K.H. Musta’in Romly, putra K.H. Romly Tamim Rejoso. Tapi para kiai dan ulama tarekat meninggalkan organisasi tarekat bernama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah al-Mu’tabarah ini. Soalnya K.H. Musta’in Romly bergabung ke Golkar bersama dengan organisasi tarekatnya di tahun 1970-an. Ketika Kiai Adlan Aly terpilih sebagai Ketua Umum JATMAN, muncul suara miring yang menyebut beliau berambisi memimpin organisasi tarekat karena bersaing dengan Kiai Musta’in yang sama-sama ulama tarekat Jombang. Namun, tuduhan itu terbukti tidak benar. Karena ternyata yang meminta pembentukan organisasi tarekat baru itu di Muktamar NU Semarang adalah K.H. Muslih Abdurrahman sendiri, guru tarekat para ulama pesantren.
Sejak itu, anak-anak Pesantren Tebuireng kalau ingin gabung ke tarekat, patronnya adalah Kiai Adlan Aly. Di Tebuireng beliau juga mengajar kitab-kitab, seperti Fathul Qarib, Fathul Wahab, al-Muhadzab, Manhaj Dzawinnazhar, Jam’ul Jawami, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawi al-Bantani, dan juga kitab Shahih Bukhari–Muslim. Ketika Kiai K.H. Hasyim Asy’ari memimpin Tebuireng (1955-1965), Kiai Adlan Aly bersama K.H. Idris Kamali juga dipercaya memimpin pengajian kitab-kitab kelas tinggi.
Kiai Adlan Aly dikenal dekat dengan masyarakat, sekaligus aktif berjuang membela kepentingan mereka. Bahkan setiap undangan dari para jamaahnya selalu beliau datangi. Bahkan di usia senjanya, rela dibonceng dengan sepeda motor untuk menempuh jarak sejauh untuk mendatangi undangan seorang jamaahnya. Padahal beliau dikenal di masa mudanya – di sekitar tahun 1925 – sebagai jago balap mobil. Waktu lampu mobil masih menggunakan karbit, beliau sudah sering ngebut.
Di masa pendudukan Jepang, sewaktu menjabat sebagai Rois Syuriyah NU di Jawa Timur, Kiai Adlan Aly bersama H. Sufri aktif mengurus kepentingan warga yang keluarganya kena wajib romusha.  Bahkan beliau sempat ditangkap oleh tentara Jepang untuk dipekerjakan dalam rombongan romusha. Tapi sempat menghilang dan akhirnya kembali ke rumah dengan selamat. Usai Proklamasi Kemerdekaan 1945, beliau bergabung ke dalam Barisan Sabilillah – sebuah laskar ulama-pesantren yang dikomandani langsung oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah di tingkat nasional. Selain menggalang dana untuk perjuangan laskar-laskar santri dan ulama, Sabilillah dan Hizbullah, Kiai Adlan Aly juga ikut berperang di garis depan untuk membendung laju tentara Belanda yang bermaksud menguasai kembali daerah Jawa Timur pasca perang 10 November 1945 di Surabaya.
Usai revolusi kemerdekaan, Kiai Adlan Aly kembali ke pesantren membenahi sistem pendidikan. Fokus utama beliau adalah pendirian pondok putri, mewujudkan amanah gurunya, K.H. Hasyim Asy’ari. Pada awal abad ke-20 kebanyakan yang nyantri di pondok adalah laki-laki. Meski ada perempuan yang nyantri, mereka tidak mondok. Karena pesantren memang tidak menyediakan asrama putri. Beberapa lama kemudian, ada inovasi baru, sejumlah pesantren mulai membuka pondok putri. Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang, misalnya, di bawah asuhan K.H. Bisri Syansuri (salah seorang pendiri NU), sudah memulai membuka pondok putri. Sementara Pesantren Tebuireng sendiri belum melakukannya, meski banyak perempuan santri yang ingin mondok di pesantren. Masalah itu segera direspons oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau menunjuk K.H. Adlan Aly, santri kesayangan beliau, untuk membuka pesantren putri di Desa Cukir.
Empat tahun setelah wafatnya sang guru di tahun 1947, Kiai Adlan Aly baru bisa merealisasikan rencana itu. Pondok putri itu diberi nama Madrasah Mu’allimat Cukir. Pondok itu juga bernilai strategis bagi masyarakat Jombang. Diketahui banyak anak-anak putri tamatan Madrasah Ibtidaiyyah tidak dapat melanjutkan belajar keluar daerah karena keterbatasan biaya. Daerah Cukir dan sekitarnya juga belum memiliki sekolah lanjutan setingkat SMP dan SMA. Akhirnya diadakan musyawarah dan sepakat mendirikan pondok dengan nama Madrasah Mu’allimat Cukir. Bersamaan dengan kedatangan para santri putri dan pelajar putri yang ingin mondok, Kiai Adlan Aly lalu membangun asrama sederhana di belakang rumahnya.
Pondok itu kemudian berkembang. Para santri putri kian banyak. Terutama dari luar Jombang, sehingga pondok itu dikenal dengan nama Pondok Pesantren Putri Wali Songo. Dan hingga kini pesantren itu berkembang menjadi sebuah pesantren modern, lengkap dengan berbagai fasilitas belajar-mengajar dan penunjang kehidupan kaum santri di dalam  pondok. Tidak terkecuali, pelajaran ngaji kitab kuning, yang wajib untuk semua santri, tetap dilestarikan dan dikembangkan.
Sukses mengembangkan pesantren dan organisasi tarekat, Kiai Adlan Aly kemudian berkecimpung dalam dunia politik, meski hanya sebatas di lingkungan Kabupaten Jombang. Menjelang Pemilu 1987, Kiai Adlan Aly berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan, lalu terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Jombang, Jawa Timur, periode 1988-1993.
K.H. Adlan Aly wafat pada tanggal 17 Rabiul Awal 1411 H/6 Oktober 1990 M dalam usia 90 tahun. Ulama kharismatik ini kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng, Jombang.
REFERENSI
A.Mubarok Yasin & Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011).
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2004).
Rijal Mumazziq Zionis, Cermin Bening dari Pesantren: Potret Keteladanan Para Kiai (Surabaya: Khalista, 2009).
Anang Firdaus, Biografi KH Adlan Aly Karomah Sang Wali, Jombang: Pustaka Tebuireng, 2014
(direktori tokoh agama. Litbang kemenag)
KH Adlan Aly, sosok yang wara’, Zuhud dan Tawadhu’ MUHAMMAD ADLAN ALY, (1900-1990). Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Putri Wali Songo, Cukir, Jombang, Jawa Timur, dan Ketua Umum pertama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah Al-Mu’tabarahan-Nahdliyyah (JATMAN), organisasi tarekat di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).
0 notes
seputarbisnis · 7 years
Text
DPC PKB Madina Gelar Musabaqoh Kitab Kuning
Panyabungan (SIB) -Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa (DPC PKB) Mandailing Natal (Madina) Sumatera Utara, menggelar Musabaqoh Kitab Kuning tingkat kabupaten di halaman kantor sekretariat PKB, Jalan Willem Iskander Panyabungan, Rabu (12/4). Musabaqoh ini diikuti 84 Peserta dari 9 pesantren yang ada di Madina dibagi dalam dua kategori yakni kategori ula dan ulya. Perlombaan baca kitab kuning ini merupakan kegiatan secara nasional oleh DPP PKB yang diawali dari kabupaten/kota atau DPC dan pemenangnya akan berlomba ke tingkat Provinsi Sumatera Utara. Musabaqoh kitab kuning dibuka Wakil Bupati Madina H M Ja'far Sukhairi Nasution dan dihadiri Ketua Dewan Syuro DPW PKB Sumut Yunan Nasution, Sekretaris Dewan Syuro DPW PKB Sumut Sampurna Rambe, Ketua MUI Madina Mahmudin Pasaribu, Ketua NU, Muhammadiyah, Alwasliyah, OKP dan Ketua Partai. Ketua DPC PKB Madina Khoiruddin Faslah Siregar SSos kepada SIB di sela-sela acara menyampaikan, musabaqoh kitab kuning diselenggarakan adalah bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam kitab kuning. Sebab kata Faslah, situasi saat ini banyak referensi ilmu keagamaan yang bisa membingungkan. "Untuk itulah kita menggelar musabaqoh kitab kuning ini," sebut Faslah. Ia juga berharap dengan digelarnya perlombaan kitab kuning ini, akan dapat memotivasi para santri lebih meningkatkan nilai aqidah demi melekatnya nama Madina sebagai Serambi Mekkahnya Sumatera Utara. (G09/h) http://dlvr.it/Nt5PQC
0 notes
san3logi-blog · 7 years
Photo
Tumblr media
PEMIMPIN NON MUSLIM; PERTARUNGAN DUA FATWA BAHTSUL MASAIL ••• Bahtsul Masail (BM) adalah tradisi kajian di NU dalam menemukan rumus jawaban atas problem kemasyarakatan yang berkaitan dengan hukum Islam. Kajian ini melibatkan banyak orang yang kompeten dan dilengkapi dengan Mushahhih sebagai penyeleksi jawaban dan pendapat peserta. Kitab kuning sebagai ruh referensi BM tetap menjadi pertimbangan terkuat dalam merumuskan jawaban. Dalam kasus terkini, ada hal menarik pada pembahasan materi LBM terkait dengan kepemimpinan non-Muslim. Ada dua penyelenggara yang demikian berbeda secara diametral. PCLBM Surabaya (salah satu lembaga di NU yang memiliki peran BM) telah membahasnya pada tanggal 25 September 2016 lalu. Kemudian muncul BM dari GP Ansor yang keputusannya berbeda. Berikut, dua hasil keputusan BM dari dua penyelenggaraan dari satu instansi; Nu. BM SURABAYA Keputusan Bahtsul Masail PCNU Kota Surabaya 25 September 2016 Sistem demokrasi dan pemilihan langsung yang berlaku di Indonesia memungkinkan semua orang berkompetisi menjadi kandidat pimpinan baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga terurailah monopoli etnik, ras maupun agama untuk menduduki tampuk kepempimpinan. Namun demikian, secara riil hal ini memunculkan problem tersendiri dan menjadi perbincangan hangat ketika ci suatu daerah yang mayoritas masyarakatnya menganut agama atau merupakan suku/ras tertentu, sementara bakal calon pemimpin yang ada dan berkemungkinan memenangkan suksesi justru dari penganut agama atau suku/ras lainnya. Semisal daerah mayoritas muslim, justru yang kuat ternyata dari non muslim. Selain itu, adapula seorang muslim yang munkin saja secara politik lebih dekat dengan non muslim sehingga menjadi tim suksesnya. Pertanyaan Apakah seorang muslim boleh memilih kandidat pemimpin non muslim, baik di tingkat daerah seperti Bupati/Walikota/Wakil, maupun di tingkat yang lebih tinggi seperti Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden?Apakah hukum memilih calon wakil rakyat (DPRD/DPR, DPD) sama hukumnya dengan memilih kandidat pemimpin non muslim?Apakah seorang muslim dibenarkan menjadi tim sukses calon pemimpin/wakil rakyat non muslim (eksekutif dan legislatif), karena kedekatan politik dan pertimbangan politik lain yang terkadang tidak dipahami oleh masyarakat pada umumnya? Mukadimah Pembahasan permasalahan ini tidak dimaksudkan untuk menebarkan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dan merusak hubungan lahiriah(mu’amalah zhahirah) yang telah terjalin secara baik antara muslim dan non muslim di Indonesia. Namun benar-benar dimaksudkan sebagai petunjuk (irsyad)bagi kaum muslimin dalam berpartisipasi membangun negeri sesuai ajaran agama yang diyakininya.Pembahasan serupa pernah diselenggarakan dalam Muktamar NU Ke-30 di PP Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur, 21-27 November 1999.[1] Namun keputusan tersebut tidak secara terang-terangan mencantumkan, bahwa non muslim yang menangani urusan kaum muslimin dalam kondisi darurat wajib harus dicegah agar tidak sampai menguasai dan mendominasi (isti’la’) satu orang pun dari kaum muslimin. Sebab itu, keputusan dalam pembahasan ini secara prinsip tidak bertentangan dengan keputusan Muktamar NU tersebut. Jawaban a Hukum memilih pemimpin non muslim seperti Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden adalah haram. Sebab, memilihnya berarti mengangkatnya sebagai pemimpin dan menjadikan kaum muslimin di bawah kekuasaan, dominasi dan superioritasnya. Hal ini juga selaras dengan firman Allah: ‎يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ. (المائدة: /51) “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai penolong/penguasa. Sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Orang dari kalian yang menolong mereka, maka ia termasuk bagian darinya. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”(QS. al-Maidah: 51) ‎يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ. وَاتَّقُوا اللهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (المائدة: 57) “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan orang-orang yang menjadikan agama kalian sebagai gurauan dan permainan dari golongan ahli kitab dari sebelum kalian dan orang-orang kafir sebagai penolong/penguasa. Bertakwalah kalian kepada Allah jikan kalian adalah orang-orang yang beriman.” (QS. al-Maidah: 51) Beberapa Pertimbangan: 1) Dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan non muslim untuk menangani urusan kaum muslimin adalah haram. Seperti keharaman meminta tolong non muslim untuk memerangi pemberontak, menjadikannya sebagai eksekutor hukuman mati dan semisalnya, mengangkatnya sebagai pegawai bait al-maldan penarik kharraj (semacam pajak), menjadikannya sebagai wazir at-tanfidz(semacam tim pelaksana dalam kementerian di sistem ketatanegaraan Islam klasik), serta mengurus urusan kaum muslimin secara umum. Meskipun ada pendapat ulama (Syaikh Ali Syibramalisi) yang mengecualikan keharaman dalam bidang-bidang tertentu yang dari sisi kemaslahatan penangannya harus diserahkan kepada non muslim―baik karena tidak adanya muslim yang mampu menanganinya atau karena tampaknya pengkhianatan darinya―, namun pendapat tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim. Sebab kekuasaan, dominasi, dan superioritasnya—baik dalam ucapan maupun perbuatan—terhadap rakyat yang muslim sangat besar dan tidak terhindarkan. Selain itu, kewajiban adanya kontrol yang efektif pun tidak mungkin terpenuhi, yaitu mengawasi dan mencegahnya agar tidak menguasai dan mendominasi satu orang pun dari kaum muslimin. 2) Meskipun dalam beberapa kasus yang disebutkan pada poin 1) terdapat khilaf, seperti menjadikan non muslim sebagai wazirat-tanfidz dan menjadikannya sebagai petugas penarik pajak, namun pendapat—yang lemah—yang membolehkannya ini tidak bisa dijadikan dasar untuk membolehkan memilih pemimpin non muslim. Sebab unsur kekuasaan, dominasi dan superioritas non muslim atas kaum muslimin dalam kasus-kasus tersebut sangat kecil atau bahkan tidak ada. Tidak sebagimana dalam kasus pemimpin non muslim menjadi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, dan Presiden/Wakil Presiden, yang meskipun secara legal formal sistem tata negara modern merupakan lembaga eksekutif atau pelaksana saja, namun pada kenyataannya unsur kekuasaan, dominasi dan superioritasnya terhadap rakyat muslim sangat besar. Selain itu, kewenangannya dalam mengambil berbagai kebijakan juga sangat besar, berbeda dengan wazir at-tanfidzmaupun petugas penarik pajak yang hanya murni sebagai pelaksana saja. 3) Sistem trias politica yang membagi kekuasaan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang diterapkan di Indonesia tidak dapat menafikan unsur dominasi dan superioritas masing-masing lembaga terhadap rakyat. 4) Asumsi memilih pemimpin non muslim sebagai strategi politik untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi kaum muslimin juga tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini secara nyata justru membahayakan kaum muslimin. 5) Pendapat ulama yang terkesan lebih mengutamakan kekuasaan sekuler (baca: kafir) yang adil daripada kekuasaan Islam yang zalim dan jargon: “Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim”, harus dipahami dalam konteks menyampaikan urgensitas keadilan bagi suatu pemerintahan, sebagaimana pendapat beberapa ulama, bukan dalam konteks melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim. 6) Asumsi bahwa penafsiran kata ‘auliyadengan makna pemimpin/penguasa—dalam beberapa ayat yang menyinggung hubungan muslim dan non muslim, semisal QS. al-Maidah: 51 dan 57—adalah penafsiran yang salah, sehingga digunakan untuk melegitimasi bolehnya memilih pemimpin non muslim, tidak sepenuhnya benar. Sebab ayat-ayat tersebut oleh sebagian ulama juga digunakan sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan ketatanegaraan kaum muslimin kepada non muslim, seperti Khalifah Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fikih siyasah. Seperti dalam Husn as-Suluk al-Hafizh Daulah al-Muluk (h. 161) karya Muhammad bin Muhammad al-Mushili as-Syafi’i, Ma’alim al-Qurbah fi Thalab al-Hisbah (h. 44) karya Ibn al-Ukhuwwah al-Qurasyi as-Syafi’i, dan Siraj al-Muluk (h. 111) karya Muhamad bin al-Walid at-Tharthusyi al-Maliki. Kemudian, kita bandingkan dengan keputusan BM yang diselenggarakan oleh GP Ansor pusat. Berikut rilis pers dari hasil Halaqat Bahtsul Masail. BM ANSOR HALAQAH BAHTSUL MASAIL KIAI MUDA PIMPINAN PUSAT GERAKAN PEMUDA ANSOR “KEPEMIMPINAN NON MUSLIM DI INDONESIA" Sehubungan dengan tren kehidupan keagamaan di Indonesia ini yang menunjukkan adanya gejala yang semakin intoleran dan menafikan kelompok lain, kami Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor merasa perlu untuk membahas tema kepemimpinan non-Muslim di Indonesia dalam Halaqah Bahtsul Masail yang diselenggarakan secara rutin. Pilihan tema kali ini semata-mata karena kami meyakini bahwa Islam dan Indonesia itu suatu hal yang tidak bisa dipertentangkan dengan dalih apapun, termasuk kepentingan politik. Tema kali ini juga sebagai respon atas kegelisahan Gerakan Pemuda Ansor ketika melihat Islam dipolitisasi sedemikian berlebihan dan menghakimi pihak yang berbeda preferensi politiknya sebagai bukan Islam. Lebih parah lagi, kegelisahan dan kekhawatiran yang kami rasakan ini muncul setelah melihat potret kontestasi politik di Jakarta tidak terkontrol dan cenderung ganas, dan bukan tidak mungkin dapat menyebar di daerah lain. Kecenderungan intoleransi sesama umat Islam semakin kasat mata dan tergambar dengan adanya spanduk di sejumlah masjid yang tidak menerima pengurusan jenazah Muslim bagi pemilih dan pendukung calon pemimpin non-Muslim. Oleh karena itu, Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor menyatakan beberapa hal berikut: 1. Mengenai prinsip berbangsa dan bernegara, kami memandang bahwa dengan diterimanya NKRI, UUD 1945 dan Pancasila sebagai sebuah kesepakatan para pendiri bangsa, yang salah satunya adalah tokoh NU KH. Wahid Hasyim, maka sebagai warga NU, kami menerima sistem bernegara dan berbangsa dalam bingkai NKRI. Dan karena itu, produk turunan dari konsititusi itu sah dan mengikat bagi warga NU dan tentunya warga Indonesia pada umumnya. 2. Tentang terpilihnya non-Muslim di dalam kontestasi politik, berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-Muslim terpilih sebagai kepala daerah. Dengan demikian keterpilihannya untuk mengemban amanah kenegaraan adalah juga sah dan mengikat, baik secara konstitusi maupun secara agama. 3. Sebagai warga negara yang beragama (dalam ranah pribadi) boleh memilih atau tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin formal pemerintahan. Karena kami melihat, hal ini sebagai persoalan yang masih dalam tataran khilafiyah (debatable), sehingga masing- masing pandangan yang menyatakan wajib memilih Muslim maupun boleh memilih non-Muslim sebagai kepala pemerintahan memiliki landasan dalam hukum Islam. 4. Karena itu, Halaqah Bahtsul Masail Kiai Muda GP Ansor menghimbau kepada umat Islam di Indonesia untuk meredakan ketegangan pada setiap kontestasi politik, karena hal tersebut dapat berpotensi memecah belah umat Islam dan NKRI. Dengan demikian, siapapun yang setuju atau tidak setuju, memiliki landasan hukum agama (fiqh) yang dapat dibenarkan. Namun dalam hal khilafiyah (debatable) hendaknya masing-masing tetap memegang teguh etika amar makruf dan tata krama perbedaan pendapat. 5. Menyikapi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini dimana muncul pandangan sebagian kelompok untuk tidak mensholatkan jenazah lawan politik, GP Ansor berpendapat bahwa ini merupakan cerminan sikap yang tidak Islami juga tidak Indonesianis. Bagi GP Ansor, setiap jenazah Muslim tetap wajib disholatkan. Untuk itu jika tindakan seperti ini terus berlanjut, GP Ansor menyediakan diri untuk mensholatkan jenazah tersebut, termasuk mentahlilkan selama 40 hari. H. YAQUT CHOLIL QOUMAS Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor
0 notes
irfanilmy · 2 years
Text
Tahun Tanpa Resolusi
tahun tanpa resolusi, padahal tahun lalu nulis tentang masih relevannya nulis resolusi di awal tahun. rada haroream saja. atau nanti di tengah perjalanan mengarungi tahun ini, saya akan menuliskan target-target pendek atau ngalir saja menjalani kesempatan yang hadir dan itu sejalan dengan tujuan-tujuan utama dalam hidup yang sudah terpikirkan sejak lama.
yang paling ingin saya lakukan di tahun ini sih mengeksekusi target lama untuk mondok kembali atau minimalnya mengaji kitab kuning dan menguasai kitab-kitab dasar secara intensif. syukur kalau bisa diajarkan ke anak-anak di masjid sekitar rumah--murid bapak-bapak saja. kalaupun enggak, itu jadi bekal buat saya pribadi dan diaplikasikan di tataran keluarga kelak. sebagai lulusan pondok (2008-2011) saya merasa malu tidak bisa membaca kitab kuning. 
bapak pernah bilang kalau saya mulai sorogan saja ke 2 ustaz dekat rumah--meskipun beda kampung. yang satu kang Ade, sekarang masih jadi pengajar di Pesantren Manarul Huda, di mana di tiap malam Sabtu kami sering ngaji juga sih, meski sekarang sudah mulai jarang. yang kedua, ajengan Topan. beliau mubaligh yang sering berceramah di banyak kesempatan peringatan hari besar Islam. tapi, saya belum mulai take action wae. padahal kalau dimulai mah, sekarang mungkin hanca-nya sudah jauh. 
selanjutnya, aktivitas menulis ingin terus saya lakukan, baik ilmiah maupun populer juga tentu puisi. mau enggak mau, ini kewajiban tesis harus beres dulu. mau tidak dipikirkan juga tetap kepikiran. 
ngomong-ngomong soal nulis puisi, seorang kenalan di sebuah pelatihan menulis yang saya ikuti tahun 2015 lalu sedikit mengomentari puisi-puisi yang sempat saya kirimkan tempo hari. masnya mengatakan kalau puisi-puisi pada kumpulan puisi Tamu bagi Masa Lalu (2020) itu beberapa puisinya bisa diganti. masnya menyarankan pada saya untuk menyusun kembali naskah baru yang berisi puisi-puisi paling kuat. 
tapi, ketika dibaca ulang oleh masnya, ia bilang kalau puisi-puisi di kumpulan tersebut banyak yang belum berhasil/ kuat. ia memberi saran agar saya mesti mempertajam puisi-puisinya lagi baik yang ada di kumpulan puisi itu maupun yang baru. ia bilang akan menunggu naskah puisi berikutnya dari saya. mungkin masnya akan membantu menerbitkan kumpulan puisinya kalau ternyata memang layak terbit. karena setahu saya masnya memang bekerja di bidang penerbitan buku salah satu penerbit besar di Yogyakarta. 
setelahnya ia juga memberikan saran kepada saya terkait penulisan puisi. “coba lemparkan dirimu ke tubuh orang lain ketika mau menulis puisi, nanti hasilnya pasti lebih kaya!” saran dan komentarnya tadi sangat berarti buat saya. saya senang ada orang yang perhatian memberikan feedback atas proses saya berkarya--dalam hal ini menulis puisi. 
untuk sekarang, saya juga sebenarnya agak berjarak dengan puisi. tidak seintens sebelumnya. perhatian saya lebih banyak tercurah pada tesis meskipun lebih banyak memikirkan (kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya tidak terjadi) ketimbang fokus berprogres pada pengerjaannya. tapi, sesekali saya tetap membaca puisi. kalau ada momen puitik, saya juga sesekali menulis potongan momen itu di sembarang tempat. kadang di kertas HVS terdekat atau di aplikasi catatan di ponsel.
setelah semua kemumetan ini berakhir, saya ingin kembali menggumuli puisi. kalaupun tidak menuliskannya, saya ingin membaca lebih banyak puisi dan menjadikannya referensi berkarya selanjutnya.
Cikondang, 9 Januari 2022, 22.51 WIB
0 notes
ukmritb-blog · 7 years
Text
Sejarah: Kerajaan Gunung Sahilan
Pada pekan ini, kami akan membahas salah satu bagian dari sejarah Riau, yaitu Kerajaan Gunung Sahilan. Sila membaca.
Keturunan Pagaruyung
Tumblr media
Kerajaan Gunung Sahilan merupakan kerajaan yang berdiri di sekitar Batang Kampar Kiri pada abad ke-18 oleh Tengku Yang Dipertuan Bujang Sati gelar Sutan Pangubayang dari Pagaruyung. Raja-Raja Gunung Sahilan merupakan keturunan dari Raja Pagaruyung yang dirajakan di Kampar Kiri, sesuai dengan pepatah Minangkabau ‘luhak bapanghulu, rantau barajo’. Kampar Kiri mulai menjadi kerajaan merdeka setelah jatuhnya Pagaruyung oleh Belanda pada masa Perang Padri.
Kerajaan Gunung Sahilan cenderung tidak mengalami pertikaian pada masa pendudukan Belanda. Pihak kerajaan menghubungi Belanda untuk menjamin keamanan di wilayahnya. Oleh pemerintah Belanda, Kampar Kiri dimasukkan ke dalam Onderafdeling Kampar Kiri yang berpusat di Pekanbaru yang sebenarnya tidak termasuk ke dalam wilayah kerajaan. Pada masa pendudukan Jepang, daerah Kampar Kiri dilalui oleh rel kereta api Muaro-Pekanbaru. Pengerjaan rel menewaskan ribuan romusha dan tawanan perang. Lokomotif kereta api jalur ini masih dapat dilihat di Lipatkain dan Pekanbaru.
Kerajaan Gunung Sahilan menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada tahun 1945. Alhasil, Tengku Ghazali yang merupakan putra mahkota tidak berkesempatan menjadi raja. Baru pada Januari 2017, Raja Gunung Sahilan kembali dinobatkan kepada Tengku Muhammad Nizar, putra dari Tengku Ghazali, sebagai upaya untuk menyelamatkan nilai tradisi Kampar Kiri.
Berdasarkan silsilah yang disampaikan oleh Syamsul Bahri dan Syafrizal Hasan dari pemerintah Kabupaten Kampar, susur galur Raja-Raja Kampar Kiri disusun sebagai berikut.
Tengku Yang Dipertuan Bujang Sati (1700-1730)
Tengku Yang Dipertuan Nan Elok (1730-1760)
Tengku yang Dipertuan Muda (1760-1800)
Tengku yang Dipertuan Hitam (1800-1840)
Tengku yang Dipertuan Abdul Jalil Khalifatullah (1840-1870)
Tengku yang Dipertuan Besar Tengku Daulat (1870-1905)
Tengku Abdurrahman Yang Dipertuan Muda (1905-1930)
Tengku Sulung Yang Dipertuan Besar (raja adat, 1930-1945)
Tengku Haji Abdullah Yang Dipertuan Sati (raja ibadat, 1930-1945)
Tengku Ghazali (putra mahkota, tidak dinobatkan)
Tengku Yang Dipertuan Muhammad Nizar (2017-sekarang)
Sementara itu, menurut H. Darmansyah pada tahun 1992, silsilah dimulai dari Rajo Mangiang dari keturunan Raja Gamayung Panitahan Sungai Tarap, lalu turun ke Rajo Basusu Ompek, kemudian baru ke Bujang Sati Sutan Pangubayang.
Rantau Andiko dan Rantau Daulat
Tumblr media
Menurut Kitab Sejarah Adat Istiadat Kampar Kiri karangan Tengku Haji Ibrahim, adat di Kampar Kiri mengambil contoh dari Pagaruyung. Adat di Kampar Kiri mengenal Khalifah nan Barompek di Mudik yang bertindak sebagai pemimpin dari empat luak di mudik (Rantau Andiko). Sementara itu, daerah hilir (Rantau Daulat) merupakan pusat kerajaan. Kerapatan besar di Gunung Sahilan tersusun sebagai berikut:
Datuk Besar, Khalifah Kampar Kiri (Rantau Daulat) yang terdiri dari 14 negeri: Gunung Sahilan, Subarak, Kabun Durian, Lipat Kain, Langung, Lubuk Campur, Simalinyang, Sijawijawi, Mentulik, Supawai, Rantau Teras, Penghidupan, Sungai Pagar, dan Londar.
Datuk Bandaharo, Khalifah Kuntu yang terdiri dari 3 negeri: Kuntu, Padang Sawah, dan Domo.
Datuk Bandaro, Khalifah Ujung Bukit yang terdiri dari 3 negeri: Ujung Bukit, Pasir Ameh, dan Tanjung Balit.
Datuk Godang, Khalifah Batu Sanggan yang terdiri dari 6 negeri: Sanggan, Miring, Gajah Batalut, Aur Kuning, Tarusan, dan Pangkalan Sarai.
Datuk Marajo Besar, Khalifah Ludai yang terdiri dari 3 negeri: Ludai, Koto Lamo, dan Pangkalan Kapas.
Urutan hierarki kerapatan musyawarah Kampar Kiri dimulai dari Kerapatan Besar yang dipimpin raja, Kerapatan Luak yang dipimpin khalifah, Kerapatan Nagari yang dipimpin pucuk negeri, Kerapatan Suku yang dipimpin penghulu suku, sampai Kerapatan Soko jo Limbago yang dipimpin pucuk kampung. Suku-suku (klan) yang ada di Kampar Kiri yaitu Domo, Melayu, Mandailing, Caniago, Petopang, dan Piliang. Tiap suku di satu nagori (kenegerian) memiliki hulubalang. Masalah agama diatur oleh kadi, dan tiap nagori memiliki malin bergelar imam, katib, atau bilal.
Adat Kampar Kiri ialah adat matrilineal dengan pengaruh Islam (adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah). Gelar pusako atau harta pusako turun dari mamak ke kemenakan, sementara harta pencaharian dapat turun ke anak. Harta pusako mencakup tanah, hutan, atau kebesaran suku seperti cap, tombak, dan tambo.
Baju, Hari Raya, dan Istana
Tumblr media
Pada saat penobatan raja dahulu, ada beberapa pantang larang yang harus dipatuhi rakyatnya. Rakyat tidak boleh memakai pakaian serba kuning atau hitam. Kuning merupakan warna keluarga raja dan hitam merupakan warna penghulu. Hal ini dilakukan agar rakyat tahu siapa saja keluarga raja atau penghulu.
Kampar Kiri mengenal 2 jenis hari raya Idulfitri: Hari Rayo Syarak pada 1 Syawal dan Hari Rayo Adat pada 2 Syawal. Pada hari raya adat, rakyat melakukan ziarah, jalang menjalang ke rumah ninik mamak, dan hadir pada acara kesenian. Kegiatan ditutup dengan ceramah dari alim ulama.
Salah satu peninggalan yang masih tersisa ialah Istana Raja Gunung Sahilan di Kecamatan Gunung Sahilan, Kampar. Istana didominasi oleh struktur kayu. Istana masih menyimpan beberapa meriam, tombak, payung, alat makan dan minum, dan keramik. Keris dan cap kerajaan juga disimpan dan foto-foto mengenai Gunung Sahilan digantung di dinding istana.
Referensi
Ibrahim, Tengku Haji. 1939. Kitab Sejarah Adat-Istiadat Kampar Kiri. Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan.
Mulyadi, Heri. 2013. Sejarah Kerajaan Gunung Sahilan. http://herimulyadi.staff.unri.ac.id/2013/03/27/sejarah-kerajaan-gunung-sahilan/. Diakses pada 11 Maret 2017.
Farrell, Amanda. 2009. Pakan Baroe Death Railway. http://pakanbaroe.webs.com/. Diakses pada 11 Maret 2017.
Sihombing, Fernando. 2017. Suara Meriam Tanda Gunung Sahilan Dipimpin Raja yang Baru. http://pekanbaru.tribunnews.com/2017/01/22/suara-meriam-tanda-gunung-sahilan-dipimpin-raja-yang-baru. Diakses pada 11 Maret 2017.
Ditulis oleh Ammarrifki A. Sjarif (UKMR’15)
0 notes
sasbun · 7 years
Photo
Tumblr media
Tanya : Mengapa setelah mandi suci ada darah lagi yang keluar. Apakah ini dihukumi darah haid atau bukan? Jawab : Bila seorang wanita, darahnya mulai berwarna kuning seperti cairan luka atau tercampur antara warna kuning dan hitam, sehingga ia ragu-ragu, maka jika hal ini terjadi saat haid dan haid yang bersambung setelah  bersuci, maka dihukumi sebagai darah  haid. Namun jika sudah habis masa suci (kebiasaan masa haidnya, misalnya ada yang 6 hari, maka tak boleh menambahi menjadi tujuh), maka setelahnya tidak dihukumi darah haid. Hal ini disampaikan oleh Ummu ‘Athiyyah setelah mendengar perkataan ‘Aisyah, “Jangan kalian tergesa-gesa (untuk bersuci) sampai kalian melihat al-Qashshatul baidha” (Shahih Al Bukhari, kitabul Haidh) Yang disebut al-Qashshatul  baidha adalah cairan bening pertanda selesinya masa haid. Lalu darah yang bagaimana yang masih dihukumi sebagai darah haid setelah mandi suci? Maka jawabannya adalah sebagai berikut: Bila terlihat cairan keluar setelah wanita bersuci haid (mandi), berwarna kekuning-kuningan atau keruh, maka hal tersebut bukanlah darah haid. Ketentuan hukum atasnya diberlakukan seperti air kencing. Apabila cairan berwarna merah darah yang jelas (merah kehitam-hitam dan kental) maka darah itu adalah darah haid dan harus wajib mengulang mandi. (Syaikh Ibnu Baz) Maka secara sederhana didefinisikan sebagai berikut, jika wanita mendapati bersih seperti tanda suci haid, yakni: 1.Berhentinya haid dan keringnya tempat keluar cairan itu (faraj) dengan cara ditempelkan kapas ditempat itu, maka kapasnya tetap kering, tidak ada bekas darah atau cairan kuning/keruh. 2.Keluarnya lendir berwarna putih, sebagian wanita tidak melihat lendir itu. Imam Nawawi mengatakan bahwa tanda berhentinya haid dan masa suci telah datang adalah darah yang terhenti dan juga lendir warna kuning dan keruh keluar. Jika keadaannya sudah demikian maka bersucilah baik sesudah cairan putih keluar maupun tidak. (Kitab al-Majmu’) Maka wanita itu telah bersih dari haid dan segeralah mandi (meski bukan masa kebiasaan haid, semisal kebiasaan haid 7 hari) namun jika masih didapatinya darah atau cairan keruh warna kuning atau kecokelatan saat setelah mandi suci dan shalat diwaktu kebiasaan haid, hal demikian masih dihukumi haid, namun diluar kebiasaan haid darah itu bersambung maka tidak dihukumi darah haid, namun darah istihadah. Namun jika ciri khasnya adalah darah haid yang jelas (kental, merah tua dan berbau khas hal ini bisa dipastikan pada tenaga kesehatan), maka tetap dihukumi darah haid sampai batas 15 hari batas maksimal wanita haid. Semoga bermanfaat. Referensi: -Muhammad bin Abdul Qadir, Haid dan Masalah-masalah Wanita Muslim, Mojokerto, tahun 1989 -Candra Nila Murti Dewojati, 202 Tanya Jawab Fikih Wanita, Al Maghfirah, 2013 http://www.ummi-online.com/bagaimanakah-jika-haid-keluar-lagi-setelah-mandi-suci.html http://wanitasalihah.com/kupas-tuntas-tanda-haid-telah-berhenti/ #kalokita #share #ilmu #dakwah #fiqh #wanita #haid at Aspol Kelud No.4 – View on Path.
0 notes