Tumgik
#toko kitab kuning yogyakarta
kitabkuning99 · 4 years
Text
0813-5173-3881, Jual kitab Fathul Qorib
telp: 0813-5173-3881, kitab kuning riyadhus shalihin pdf, kitab kuning riyadul badiah pdf, kitab kuning risalatul mahid, kitab kuning rumah tangga, referensi kitab kuning, kitab kuning safinah, kitab kuning safinatun najah pdf, kitab kuning shahih bukhari pdf, kitab kuning sejarah nabi, kitab kuning sirrul asror
Distributor Kitab Kuning menyediakan kembali kitab-kitab Islami dalam format baru, yang mana kitab kuing kini telah menjadi kebutuhan utama guna mempermudah penelaah dan meneliti, menemukan materi yang dibutuhkan dalam waktu singkat. Beranjak dari ini, Distributor Kitab Kuning berupaya mempublikasikan kembali buku berbahasa Arab -populer disebut "kitab kuning (Kitab Karya Ulama Salaf)"- yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan i'tiqad ahlus sunnah waljama'ah. Di samping mennyadiakan kitab-kitab dengan format klasik, juga menyediakan kitab dengan format kontemporer tetapi tetap mempertahankan ciri-ciri khusus kitab klasik.
Pemesanan Kitab Hubungi Ahmad:
Telp/wa: 0813-5173-3881
0 notes
togetherinsolitude · 4 years
Text
Mereka yang Tak Bisa di Rumah Aja, Mereka yang Tak Punya Rumah
Tumblr media
Ketika saya bertanya kepada orang-orang yang saya temui, baik secara langsung atau pun via daring, tidak ada satu pun dari mereka yang tidak geram dengan wabah yang menggegerkan dunia dalam beberapa bulan terakhir ini. Tidak hanya kesehatan fisik, dampak dari Covid-19 ini juga menyentuh sektor perekonomian di berbagai kalangan profesi. Terlebih dampak ini sangat terasa di kalangan masyarakat kelas bawah, mulai dari para pemilik usaha mikro, buruh, hingga tukang becak, tukang rosok, juga pemulung.
Sebagai seorang mahasiswa di salah satu universitas di Jogja, saya juga merasakan langsung dampak dari wabah ini. Saya dan teman-teman mahasiswa tidak bisa berkuliah seperti biasanya karena semua mata perkuliahan dilaksanakan via daring. Di tanah perantauan ini saya mengalami dilema, antara pulang dengan membawa rasa khawatir dan takut mengangkut virus atau tetap berdiam di Jogja dengan kondisi bekal hidup yang kian menipis. Dengan berbagai pertimbangan, saya akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di Jogja dan bergabung dengan gerakan-gerakan sosial melawan Covid-19. Kami biasa menyebut gerakan-gerkan sosial seperti ini dengan sebutan gerakan #rakyatbanturakyat.
Setelah kurang lebih 18 hari tergabung dalam gerakan “Relawan UMKM Cegah Corona” bersama teman-teman saya; Obed Kresna, Ilham, Galih, Fikri, dan lain-lainnya yang bertugas membagi-bagikan hand sanitizer, sabun, dan juga disinfektan, saya juga bergabung dalam gerakan Solidaritas Pangan Jogja atau SPJ. Gerakan SPJ ini berperan semampunya dalam membantu ketahanan pangan kelas paling rentan seperti para tukang becak, penjual putu, dan para pemulung, yang mau tidak mau mereka terpaksa harus mengabaikan imbauan untuk #dirumahaja demi bisa mendapatkan sesuap nasi.
Dari dekat, saya benar-benar mendengar keluhan sekaligus semangat mereka dalam bertahan hidup. Bagaimana bisa para tukang becak yang tidak dapat tarikan selama tiga minggu, tetapi tetap pandai tersenyum dan mangkal demi menunggu orang-orang yang membagikan nasi bungkus kepada mereka? Bagaimana bisa para penjual jajanan kecilan di pinggir jalan tetap bisa tersenyum menjajakan jajanannya, meskipun jalanan dipenuhi dengan kesepian? Bagaimana bisa para pemulung mendapatkan hasil pungutan plastik, kardus, dan botol jika banyak toko yang tutup? Bagaimana bisa mereka bisa tetap #dirumahaja sementara tak jarang dari mereka yang tak punya rumah? Bisa disimpulkan bahwa di tengah masa-masa yang sulit ini mereka adalah kelompok yang sangat rentan terhadap virus ini.
Pada satu malam, saya dan teman saya, Josardi, berjalan-jalan mengelilingi ruas-ruas jalan di sekitaran UGM, UNY, Gejayan, dan UIN. Bukan tanpa maksud, kami keluar dari kamar indekos hanya untuk memetakan lokasi di mana teman-teman pemulung dan para tukang becak itu bermalam dan bertahan hidup. Gunanya untuk membaca dan menitik lokasi-lokasi mereka agar ketika siang harinya saat kami dan teman-teman SPJ berbagi nasi bisa langsung bertemu mereka. Tidak hanya satu dua, kami banyak menemui mereka di pinggir jalan, terlihat kelelahan. Ada juga ibu-ibu yang mendorong gerobak penuh rongsok dan di atas gunung rongsoknya ada seorang anak kecil yang tersenyum lucu dan menggemaskan.
Setelah berkeliling satu jam, kami memutuskan untuk menghampiri tiga lelaki hebat dengan dua sepeda dan satu gerobak sampahnya. Mereka bernama Pak Opal, Mas Joko, dan Mas Rohim. Di trotoar bawah lampu jalan yang kuning itu kami berbagi cerita. Saya mendengar tentang penghasilan mereka yang berada di kisaran 30-40 ribu di hari-hari biasa. Dan pada masa-masa pandemi yang sulit ini, mereka hanya bisa mendapatkan maksimal 20 ribu per hari, itu pun sudah sangat mentok, dalam bahasa Jawanya ngoyo. 
Sampah kardus yang dihargai Rp1.500/kg, sampah botol plastik yang dihargai Rp1.200/kg, dan sampah plastik campur yang dihargai Rp800/kg, bagi saya sudah sangat tidak cukup untuk menghidupi pangan mereka. Harga barang rongsokan yang merosot 60% ini benar-benar membuat mereka kian mengalami masa-masa sulit ini. Itu pun kalau para pembeli rongsoknya buka, karena akhir-akhir ini hampir semua tutup.
Di tengah obrolan kami yang penuh dengan cerita menyedihkan dan juga canda tawa yang seringkali terselip, mata saya terpanah dengan tulisan yang ada di dua sisi gerobak mas Joko. Gerobak itu bertuliskan “Berkah Dalem” dan “Mazmur 23 Kekal” yang merupakan salah satu nama surat dalam kitab suci Injil. Ketika saya bertanya tentang siapa yang menulis, mas Joko menjawab dengan agak malu-malu, “Saya sendiri, Mas, yang nulis. Pakai tangan itu kuasnya, pakai sisa-sisa cat”. Sambil menghabiskan makan yang mereka dapatkan dari relawan gerakan lain malam itu, dia juga mempersilakan saya untuk memfoto gerobaknya setelah tahu kalau saya terkagum dengan tulisan itu.
“Gak papa, mas?” tanyaku. Dia jawab, “Wo ya gakpapa, Mas. Silakan difoto. Di sisi yang sana juga ada, tulisannya sama.” Akhirnya saya foto dua sisi tersebut. Malam itu saya benar-benar terpukul dan merasa sering kurang bersyukur. Dengan segenap kebahagiaannya dia mempersilakan saya mengambil gambar tanpa ada rasa malu, karena beberapa dari kita terkadang malu ketika pekerjaan kita tak seberuntung orang-orang kaya. 
Saya jadi teringat Pramoedya pernah berkata, “Setiap orang yang bekerja adalah mulia”. Dengan segala kepandaian bersyukurnya, saya benar-benr terkagum dengan cara dia berpedoman dan bersyukur terhadap keyakinannya dengan mencantumkan nama kitab Mazmur beserta bab 23-nya. Sungguh ini sangat berat bagi orang lain yang tak setangguh mereka.
Ketika diajak bicara tentang Covid-19, mereka juga paham tentang konsekuensi mereka dengan tetap bekerja. Mereka juga menjaga kebersihan tubuh mereka semampu mereka. Nampak juga botol hand sanitizer yang kemarin mereka terima dari gerakan saya, Obed, Fikri, Ilham, Dholi dan teman-teman lainnya di relawan UMKM Cegah Corona. Setelah itu, Josardi bertanya tentang riwayat sakit mereka dengan tujuan memudahkan pendataan agar teman-teman SPJ bisa menyuplai vitamin dan kebutuhan kesehatan mendasar bagi mereka. Lagi-lagi membuat kami terkagum, mereka menjawab, “Wah malah nggak pernah sakit, Mas. Lha wong hati kita selalu bahagia, hahaha” susul tawa bahagia mereka. 
Malam itu mereka benar-benar mendidik kami. Kami mendapat pelajaran baru bahwa salah satu kunci dari tubuh yang sehat adalah hati yang selalu bahagia, hati yang selalu bersih dan penuh rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Kami tak tau harus membicarakan apa lagi malam itu.
Situasi malam itu membuat saya semakin miris dan malu karena hidup di tengah lingkungan yang terkadang dari kita masih menganggap bahwa mereka hanya sebatas gelandangan tanpa rumah. Bahkan secara lebih kejam terkadang kita menganggap mereka hanyalah sebatas gelandangan yang sering mengotori pemandangan kota. Ketika kemanusiaan lebih rendah nilainya ketimbang pemandangan kota, hati saya bertanya, “Apakah ini layak untuk mereka? Apakah kita masih layak menyebut diri kita manusia?” 
Dan ketika saya berpikir lebih tentang dasar-dasar sebuah negara, apakah pantas kita menggunakan diksi “dipelihara” untuk mereka? Sebagaimana kita ketahui bersama, hukum positif kita berbicara, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Ah sudahlah, saya tidak bisa berharap lebih banyak tentang sebuah diksi. Saya hanya bisa berharap semoga mereka benar-benar mendapatkan pertanggungjawaban dari negara. Dalam kesempatan kali ini saya hanya ingin mengajak kita untuk merenungkan bahwa mereka adalah manusia bermartabat, bukan hewan peliharaan. Jawabannya bagaimana, mari kita renungkan bersama-sama.
Akhirnya, setelah kurang lebih satu jam kami berbagi cerita di trotoar dekat Fakultas Teknik UNY, kami pun pamit bergegas pulang. Begitu juga dengan mereka, Mereka mengayuh sepeda dan mendorong gerobaknya untuk pulang. Bukan menuju rumah tentunya, melainkan menuju trotoar samping Selokan Mataram di sekitaran MM UGM, tempat mereka—dengan penuh rasa syukur—melelapkan tubuh lelah mereka.
Teruntuk Pak Opal, Mas Joko, dan Mas Rohim, terima kasih banyak sudah mendidik kami. Salam hangat dan sehat selalu dari dua muridmu, Lutfi dan Josardi.
Yogyakarta. 04 April 2020.
7 notes · View notes
suarapesantren-blog · 7 years
Text
MUHAMMAD ADLAN ALY, (1900-1990). Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Putri Wali Songo, Cukir, Jombang, Jawa Timur, dan Ketua Umum pertama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah Al-Mu’tabarahan-Nahdliyyah (JATMAN), organisasi tarekat di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ini dikenal sebagai sosok yang wara’, zuhud, dan tawadlu’.
Lahir pada tanggal 3 Juni 1900 di Pesantren Maskumambang, Dukun, Sedayu, Gresik, dari pasangan Nyai Hj. Muchsinah binti K.H. Abdul Jabbar dan K.H. Ali. Saudaranya adalah K.H. Ma’shum, H.M. Mahbub, dan Nyai Mus’idah Rohimah. Kakaknya, K.H. Ma’shum Ali, kemudian menjadi menantu K.H. Hasyim Asy’ari dan penulis buku terkenal. Kiai Adlan Aly tumbuh dan dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga pesantren. Kakeknya, K.H. Abdul Jabbar (wafat 1903), adalah pendiri Pondok Pesantren Maskumambang Gresik di tahun 1859. Awalnya Kiai Adlan Aly nyantri kepada sang ayah, K.H. Ali, di Pesantren Maskumambang. Kemudian menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng, dan terbilang sebagai santri generasi awal K.H. Hasyim Asy’ari. Adalah kebanggaan para santri di Jawa waktu itu menambah ilmu dan berguru kepada pendiri NU ini.
Kiai Adlan Aly menikah dengan Nyai Hj. Ramlah. Dari pasangan ini lahir putra-putri: Nyai Hj. Mustaghfiroh, K.H. Ahmad Hamdan, Nyai Hj. Sholikhah dan K.H. Abdul Djabbar. Dalam perjalanan pulang usai menunaikan ibadah haji dari Makkah pada tahun 1939, sang isteri wafat  dan dimakamkan di Pulau We, Aceh. Setelah itu beliau dijodohkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dengan keponakannya yang bernama Nyai Hj. Halimah,yang menemani sang kiai selama 40 tahun hingga wafat di tahun 1982. Selanjutnya Kiai Adlan Aly menikah lagi dengan Nyai Hj. Musyaffa’ah Ahmad, seorang ustazah dari Desa Keras, Diwek, Jombang, pada tahun 1982, sebelum berpulang ke Rahmatullah delapan tahun kemudian. Dari pernikahannya yang kedua dan ketiga ini, Kiai Adlan Aly tidak dikaruniai satupun anak.
Ketika kakaknya mendirikan pesantren sendiri di Seblak, Jombang, pada tahun 1926, Kiai Adlan Aly ikut pindah walau tetap menuntut ilmu di Tebuireng. Beberapa lama kemudian, beliau membangun rumah sekaligus pondok di Cukir, tetangga Tebuireng, serta membuka toko kitab di depan pasar Cukir. Setelah NU berdiri, K.H. Hasyim Asy’ari memanggil santri favoritnya ini, bersama-sama K.H. Abdul Karim Gresik dan H. Sufri, untuk membentuk  kepengurusan NU di Kecamatan Diwek. Dari Pesantren Cukir inilah Kiai Adlan Aly berkiprah di NU hingga ke level nasional. Dalam Muktamar NU yang ke-8 di Cirebon pada Agustus 1931, Kiai Adlan Ali dipercaya sebagai pemimpin sidang. Termasuk ketika membahas masalah Tarekat Tijaniyah yang sempat bikin panas muktamar. Meski akhirnya forum perdebatan yang langsung dipimpin sendiri oleh K.H. Hasyim Asy’ari itu memutuskan bahwa Tijaniyah dianggap sebagai tarekat mu’tabarah.
Kiai Adlan Aly memang dikenal sebagai tokoh tarekat dan menjadi mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Padahal gurunya sendiri, K.H. Hasyim Asy‘ari, dan komunitas Pesantren Tebuireng, tidak mengamalkan satu tarekat pun. Ijazah irsyad (perkenan untuk menjadi mursyid atau guru dalam satu tarekat) beliau dapatkan dari guru tarekatnya, K.H. Muslih Abdurrahman Mranggen, Demak. Yang terakhir ini memang dikenal sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan banyak memberi ijazah kepada para ulama Jawa. Selain itu, Kiai Adlan Aly juga memperoleh ijazah tarekat tersebut dari K.H. Romly Tamim Rejoso, Jombang.
Kemudian, pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, Kiai Adlan Aly terpilih sebagai ketua umum pertama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah Al-Mu’tabarahan-Nahdliyyah (JATMAN). Dan memang baru pada muktamar kali ini NU punya organisasi tarekat sendiri berskala nasional. Karena sebelumnya ada organisasi tarekat yang dipimpin oleh K.H. Musta’in Romly, putra K.H. Romly Tamim Rejoso. Tapi para kiai dan ulama tarekat meninggalkan organisasi tarekat bernama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah al-Mu’tabarah ini. Soalnya K.H. Musta’in Romly bergabung ke Golkar bersama dengan organisasi tarekatnya di tahun 1970-an. Ketika Kiai Adlan Aly terpilih sebagai Ketua Umum JATMAN, muncul suara miring yang menyebut beliau berambisi memimpin organisasi tarekat karena bersaing dengan Kiai Musta’in yang sama-sama ulama tarekat Jombang. Namun, tuduhan itu terbukti tidak benar. Karena ternyata yang meminta pembentukan organisasi tarekat baru itu di Muktamar NU Semarang adalah K.H. Muslih Abdurrahman sendiri, guru tarekat para ulama pesantren.
Sejak itu, anak-anak Pesantren Tebuireng kalau ingin gabung ke tarekat, patronnya adalah Kiai Adlan Aly. Di Tebuireng beliau juga mengajar kitab-kitab, seperti Fathul Qarib, Fathul Wahab, al-Muhadzab, Manhaj Dzawinnazhar, Jam’ul Jawami, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawi al-Bantani, dan juga kitab Shahih Bukhari–Muslim. Ketika Kiai K.H. Hasyim Asy’ari memimpin Tebuireng (1955-1965), Kiai Adlan Aly bersama K.H. Idris Kamali juga dipercaya memimpin pengajian kitab-kitab kelas tinggi.
Kiai Adlan Aly dikenal dekat dengan masyarakat, sekaligus aktif berjuang membela kepentingan mereka. Bahkan setiap undangan dari para jamaahnya selalu beliau datangi. Bahkan di usia senjanya, rela dibonceng dengan sepeda motor untuk menempuh jarak sejauh untuk mendatangi undangan seorang jamaahnya. Padahal beliau dikenal di masa mudanya – di sekitar tahun 1925 – sebagai jago balap mobil. Waktu lampu mobil masih menggunakan karbit, beliau sudah sering ngebut.
Di masa pendudukan Jepang, sewaktu menjabat sebagai Rois Syuriyah NU di Jawa Timur, Kiai Adlan Aly bersama H. Sufri aktif mengurus kepentingan warga yang keluarganya kena wajib romusha.  Bahkan beliau sempat ditangkap oleh tentara Jepang untuk dipekerjakan dalam rombongan romusha. Tapi sempat menghilang dan akhirnya kembali ke rumah dengan selamat. Usai Proklamasi Kemerdekaan 1945, beliau bergabung ke dalam Barisan Sabilillah – sebuah laskar ulama-pesantren yang dikomandani langsung oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah di tingkat nasional. Selain menggalang dana untuk perjuangan laskar-laskar santri dan ulama, Sabilillah dan Hizbullah, Kiai Adlan Aly juga ikut berperang di garis depan untuk membendung laju tentara Belanda yang bermaksud menguasai kembali daerah Jawa Timur pasca perang 10 November 1945 di Surabaya.
Usai revolusi kemerdekaan, Kiai Adlan Aly kembali ke pesantren membenahi sistem pendidikan. Fokus utama beliau adalah pendirian pondok putri, mewujudkan amanah gurunya, K.H. Hasyim Asy’ari. Pada awal abad ke-20 kebanyakan yang nyantri di pondok adalah laki-laki. Meski ada perempuan yang nyantri, mereka tidak mondok. Karena pesantren memang tidak menyediakan asrama putri. Beberapa lama kemudian, ada inovasi baru, sejumlah pesantren mulai membuka pondok putri. Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang, misalnya, di bawah asuhan K.H. Bisri Syansuri (salah seorang pendiri NU), sudah memulai membuka pondok putri. Sementara Pesantren Tebuireng sendiri belum melakukannya, meski banyak perempuan santri yang ingin mondok di pesantren. Masalah itu segera direspons oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau menunjuk K.H. Adlan Aly, santri kesayangan beliau, untuk membuka pesantren putri di Desa Cukir.
Empat tahun setelah wafatnya sang guru di tahun 1947, Kiai Adlan Aly baru bisa merealisasikan rencana itu. Pondok putri itu diberi nama Madrasah Mu’allimat Cukir. Pondok itu juga bernilai strategis bagi masyarakat Jombang. Diketahui banyak anak-anak putri tamatan Madrasah Ibtidaiyyah tidak dapat melanjutkan belajar keluar daerah karena keterbatasan biaya. Daerah Cukir dan sekitarnya juga belum memiliki sekolah lanjutan setingkat SMP dan SMA. Akhirnya diadakan musyawarah dan sepakat mendirikan pondok dengan nama Madrasah Mu’allimat Cukir. Bersamaan dengan kedatangan para santri putri dan pelajar putri yang ingin mondok, Kiai Adlan Aly lalu membangun asrama sederhana di belakang rumahnya.
Pondok itu kemudian berkembang. Para santri putri kian banyak. Terutama dari luar Jombang, sehingga pondok itu dikenal dengan nama Pondok Pesantren Putri Wali Songo. Dan hingga kini pesantren itu berkembang menjadi sebuah pesantren modern, lengkap dengan berbagai fasilitas belajar-mengajar dan penunjang kehidupan kaum santri di dalam  pondok. Tidak terkecuali, pelajaran ngaji kitab kuning, yang wajib untuk semua santri, tetap dilestarikan dan dikembangkan.
Sukses mengembangkan pesantren dan organisasi tarekat, Kiai Adlan Aly kemudian berkecimpung dalam dunia politik, meski hanya sebatas di lingkungan Kabupaten Jombang. Menjelang Pemilu 1987, Kiai Adlan Aly berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan, lalu terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Jombang, Jawa Timur, periode 1988-1993.
K.H. Adlan Aly wafat pada tanggal 17 Rabiul Awal 1411 H/6 Oktober 1990 M dalam usia 90 tahun. Ulama kharismatik ini kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng, Jombang.
REFERENSI
A.Mubarok Yasin & Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011).
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2004).
Rijal Mumazziq Zionis, Cermin Bening dari Pesantren: Potret Keteladanan Para Kiai (Surabaya: Khalista, 2009).
Anang Firdaus, Biografi KH Adlan Aly Karomah Sang Wali, Jombang: Pustaka Tebuireng, 2014
(direktori tokoh agama. Litbang kemenag)
KH Adlan Aly, sosok yang wara’, Zuhud dan Tawadhu’ MUHAMMAD ADLAN ALY, (1900-1990). Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Putri Wali Songo, Cukir, Jombang, Jawa Timur, dan Ketua Umum pertama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah Al-Mu’tabarahan-Nahdliyyah (JATMAN), organisasi tarekat di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).
0 notes