Tumgik
#ruanguntukku
ruanguntukku · 11 months
Text
Hari ini kembali diingatkan tentang sebuah nasihat yang masih membekas, perihal bagaimana kita menyikapi takdir buruk yang ada.
Manusia menerima takdirnya itu terbagi menjadi 4 golongan, yakni :
Orang itu marah kepada Allah akan takdir buruk yang dia terima dan ini adalah tingkatan yang paling rendah.
Orang itu bersabar, tapi kesabarannya masih terasa sempit di dadanya. Masih ada keluh kesah yang dia rasakan dan butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menerima kondisi yang ada.
Orang itu merasa lapang dan ridho dengan segala takdir Allah dan ini terjadi pada hentakan pertama ujian. Dia yakin bahwa apa yang Allah gariskan itu pasti ada hikmahnya, sehingga dia yakin dengan janji-Nya.
Orang itu merasa bersyukur dengan takdir buruk yang dia alami, jelas untuk bisa ke tahap ini seseorang butuh ilmu, hidayah, kekuatan dan pertolongan dari Allah. Perlu adanya latihan dan didikan yang kuat kepada diri sendiri untuk bisa sampai di tahap ini. Karena pada hentakan pertama takdir itu datang, kita bukan hanya sekadar bisa lapang menerima, tapi juga mampu menyadari bahwa apa yang terjadi saat ini adalah karunia yang besar dari Allah, kita betul-betul meresapi bahwa di balik semuanya ada balasan yang indah dari Allah untuk kita. Oleh karena itu, orang-orang yang ada di tahap ini benar-benar tidak bisa tergoyahkan dengan celaan dan ucapan buruk manusia, bahkan apa-apa yang telah hilang darinya tidak membuatnya bersedih apalagi bersusah hati.
Aku tahu tentu mempraktikkan ilmu tidak semudah itu, tapi hendaklah kita terus memupuk prasangka baik terhadap Allah, terus berusaha memperbaiki diri menjadi hamba yang semakin baik di sisi-Nya.
Jika banyak sekali kisah-kisah di luar sana tentang kesuksesan meraih perbendaharaan dunia dari tahap yang sangat mustahil menjadi berhasil, sungguh tidaklah ada kata mustahil untuk bisa menjadi hamba Allah yang beriman dan bertaqwa.
Selama ruh belum sampai ke kerongkongan dan sebelum matahari terbit dari barat, maka masih sangat mungkin kita berupaya di dunia ini untuk menjadi golongan yang selamat di kampung akhirat nanti.
Jika ada banyak orang yang berjuang mati-matian untuk bisa sukses di dunia, maka jadilah yang betul-betul jujur dan berupaya sekuat tenaga untuk bisa menjadi sukses di akhirat.
Perjalanan kita masih sangat panjang dan berat, yang dimulai setelah ruh kita dicabut dan raga kita bermalam pertama di alam kubur.
—SNA, Ruang Untukku #109
Senin, 12-06-2023 | 15.11
Venetie Van Java,
Semoga Allah membalas dengan jannatal firdaus bagi para asatidzah hafidzakumullah yang tidak hentinya memberikan nasihat dan peringatan di atas al-Haq tentang akhirat. Aamiin.
89 notes · View notes
ruangnaa · 4 years
Text
Mengakui Kesalahan
 Apa salah nya mengaku?
Toh memang salah, mengakui kesalahan itu sebuah sikap kedewasaan diri.
Artinya,kau tau kau salah dan kau akan berfikir pastinya,untuk tak membuat kesalahan yang sama. Bukankah seperti itu seharusnya?
Hal-hal yang harus kau lakukan dalam membuat kesalahan :
Meminta maaf
Mengakui kesalahan
Intropeksi diri
Berusaha untuk tak mengulanginya
Mengapa kau tak mau? GENGSI? MALU? TAKUT?
Kau harus tau,ada hati yang terluka. Lantas kau tak berkenan mengobatinya,padahal kau penyebabnya.
Saling saja yaa :) Ketika kau ingin di berikan “good service”,kau sebelumnya juga harus “good looking” :)) 
Barakallahu fiikum  
4 notes · View notes
ruanguntukku · 1 year
Text
Hari ini aku belajar untuk memahami bahwa hakikat hati manusia itu guncang. Mudah berbolak-balik.
Dan seseorang yang satu suara dengan kita bisa kapan saja bersebrangan bahkan bertentangan.
Dan sebuah kisah pilu bisa berubah menjadi lapang tanpa kita ketahui, yang bisa jadi kita sebagai pendengar masih terjebak dalam rasa pilu itu. Seakan sampah emosi yang dikeluarkan orang yang bercerita masih kita simpan rapi, padahal baginya itu sudah jadi kisah usang yang tidak terjamah lagi.
Dari situlah aku belajar untuk melupakan luka orang lain. Belajar untuk tidak menaruh ruang di dalam hati dan pikiranku untuk menyimpan luka orang lain.
Dari situ aku belajar dampak buruk dari terlalu berlebihan di dalam berempati. Bukan artinya rasa peduli ini tidak baik, tapi segala sesuatu yang diberikan porsi berlebihan akan menjadi tidak baik pada akhirnya.
Dari situ aku belajar untuk lebih menata hatiku, tidak mudah percaya dan bercerita dengan orang lain.
Bisa jadi di hari ini kita menemukan seseorang yang punya luka serupa yang telah disebabkan oleh orang yang sama. Ya, kita mungkin merasa lega ketika menemukannya. Tapi, yang perlu dicamkan baik-baik, bahwa ada tipe manusia yang di suatu hari dia berkeluh-kesah tentang seseorang, bisa jadi di kemudian hari ia memuji orang tersebut setinggi langit.
Di saat itulah kita harus berkaca diri. Bagaimana dengan diri kita sendiri? Bagaimana kedudukan diri kita yang sejati? Jangan merasa aman dan nyaman dalam sebuah hubungan yang dibangun dari rasa sakit hati yang sama.
Ya, karena kehidupan itu dinamis, proses kehidupan kita dengan orang lain pun tidak sama. Bisa jadi kita masih merasa kecewa, tapi orang yang punya luka yang sama sudah pulih bahkan berhubungan baik kembali dengan pihak yang menorehkan luka.
Jadi, mulai sekarang jangan terlalu cinta dan jangan terlalu membenci orang lain. Kita tidak tahu akan berakhir seperti apa hubungan kita dengan orang yang kita cintai dan dengan orang yang kita benci.
Bersihkan hati dari segala rasa yang berlebihan. Baik berlebihan di dalam rasa sayang, cinta maupun sakit hati.
Mintalah selalu hati yang selamat. Jangan sampai kita mati membawa sampah-sampah perasaan dan prasangka yang akan menggelincirkan kita ke dalam siksa.
Jika kita temukan ada seseorang yang bercerita tentang keluhannya pada orang lain, yang orang itu juga pernah mengecewakan kita, maka tutup rapat ceritamu dan simpanlah sendiri.
Nasihati dia agar bisa membersihkan hati, kembali berdamai atau setidaknya bisa mengambil jeda agar bisa melangkah dalam kehidupan yang sehat lahir dan batin.
Jangan buka luka kita kepada orang lain hanya karena orang itu punya luka yang disebabkan oleh orang yang sama.
Jangan sampai kita tertipu dengan hawa nafsu dan rasa percaya kita pada orang yang salah.
Jaga lisan kita. Jika tidak mampu berkata baik, maka diamlah. Semakin dewasa kita, semakin dekat dengan kematian, maka kita harus belajar untuk lebih banyak diam daripada berbicara. Karena keselamatan lisan didapat dari bisa mengerem lisan kita.
Jangan sampai komedi kehidupan membuat kita menjadi pecundang di dalam setiap rasa yang membara. Berikan ruang yang lebih besar untuk sami'na wa atho'na. Tunduk pada kebenaran. Tunduk pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Jangan sampai perasaan dan prasangka menjadi raja.
—SNA, Ruang Untukku #97
Ahad, 05-03-2023 | 19.38
Venetie Van Java,
Dengan kembali disadarkan.
116 notes · View notes
ruanguntukku · 5 months
Text
Aku sedang merasa kehilangan jati diri. Ombak keras yang telah menerpa kehidupanku di masa itu, ternyata membawa perubahan padaku.
Aku yang merasa asing dengan banyak teman.
Aku yang mulai menyadari bahwa orang-orang di dekatku ternyata mereka bisa menghunuskan belati yang tajam kepada hatiku.
Orang-orang yang aku percaya ternyata tidak sepenuhnya setia dengan kepercayaan yang sama. Mereka bisa mengkhianatiku kapan saja.
Ketika kenyataan pahit yang aku rasakan dirasa tidak realistis bagi mereka, maka dengan mudahnya mereka menyematkan label pendusta kepadaku.
Ya, inilah risiko yang harus dihadapi ketika kita mempercayakan potongan kisah krusial kita kepada manusia.
Mau seterang apapun fakta yang ada, mereka akan tetap dibutakan dengan rasa. Dan percikan hasad yang selama ini diredam atau tersembunyi bisa menjadi bara api yang gampang tersulut prasangka hingga akhirnya api khianat pun membara.
Akhirnya aku harus menyadari. Bahwa kesepianku di dalam ranah pertemanan dengan sesama wanita adalah lebih baik, daripada aku harus merasa nyaman dengan rasa percaya yang ternyata telah tercabik-cabik di belakangku.
Aku mulai merindukan masa-masa sepi itu. Sepi dari pesan-pesan masuk yang datang dari sesamaku.
Rindu dengan kesendirian dengan buku atau anak-anakku.
Rindu dengan segala ketidaktahuanku tentang potongan-potongan kisah hidup orang lain yang memang tidak perlu aku ketahui.
Ternyata rasa kesepian yang dahulu aku benci, menjadi momen yang bisa aku dambakan lagi.
Tak apa merasa sepi di tengah kerumunan manusia yang asing di kota perantauan ini.
Daripada aku mengenal banyak orang, yang dengan mudahnya mengkhianatiku di belakang.
Lagi, hanyalah kepada Allah tempat yang paling mulia untuk menaruh rasa yakin akan cinta, harapan dan rasa takut. Bukan mempercayakan kepada makhluk yang sibuk dengan kepenatan hidupnya masing-masing.
Lagi, aku merindukan diriku yang tidak haus akan validasi dan semangat dari orang lain.
Mungkin memang sebaiknya untuk tidak punya opsi ruang bercerita kepada sesama wanita. Karena kebengkokan wanita itu pasti. Menemukan yang tetap setia kawan itu sulit.
Kembali lagi teringat bahwa teman seperjuangan yang terbaik di dalam perjalanan menuju Allah adalah suami dan anak-anak. Semoga keluarga kecilku bisa menjadi Rofiq yang baik dan selalu dalam penjagaan Allah. Aamiin Allahumma aamiin.
—SNA, Ruang Untukku #126
Rabu, 06-12-2023 | 23.34
Venetie Van Java,
Dengan terus belajar untuk bisa berdamai dengan keadaan yang tidak bisa aku ubah sesuai apa yang aku mau.
5 notes · View notes
ruanguntukku · 3 months
Text
Ada sebuah kehangatan dari pertanyaan-pertanyaan sederhana.
Sesederhana menanyakan kabar, menanyakan apakah kondisi kita baik-baik saja melewati kehidupan.
Ya, kadang usaha yang kuat untuk berusaha terlihat kuat menjadi lebur tatkala muncul pertanyaan tulus dan sederhana dari orang yang menyayangi kita.
Seakan rasa lelah, takut dan asingnya dunia ini kembali menjadi hangat.
Seakan tiba saatnya kita untuk beristirahat dari sikap berpura-pura kuat, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Ketika mengalami momen itu aku jadi tersadar, bahwa aku harus lebih lapang dan berprasangka baik di dalam berkasih sayang.
Ada kalanya seseorang itu butuh waktu untuk meregulasi permasalahannya sendiri. Mungkin dia tidak mau membebani orang yang dia sayangi, mungkin keengganannya bercerita untuk melindungi hati orang yang dia sayang.
Ketika saat yang tepat itu datang, maka kita harus menyiapkan hati yang lapang. Mencoba memahami sudut pandangnya dan mencoba mengerti alasan kenapa selama ini dia berubah.
Jangan menjadi pihak yang selalu memburu dengan berbagai prasangka. Merasa dilupakan dan diremehkan karena tidak menjadi ruang pertama dan utama sebagai sandaran. Seharusnya kita bangga pada proses juang dari orang yang kita sayangi.
Ketika mereka memilih untuk menghadapi permasalahannya sendiri, bukan artinya mereka melupakan kita, melainkan mereka betul-betul sadar bahwa bukan kepada makhluklah tempat berkeluh kesah. Mereka butuh waktu untuk merenungi, menghadapi dan melewati badainya sendiri, karena mereka sadar bahwa masing-masing manusia memiliki ujian dan perjuangannya masing-masing.
Ketika kisah itu sampai dengan berbagai macam kekurangannya, maka rangkullah.
Terkadang seseorang mungkin mengambil langkah dan keputusan yang keliru, akan tetapi bisa jadi kekeliruan itu adalah sebuah guru yang akan terus menjadi pelajaran sepanjang masa untuknya.
Karena memang sebagai seorang pendengar kita terkadang merasa lebih tau mana jalan yang harus dipilih, kita merasa lebih paham harus bersikap seperti apa di dalam menghadapinya.
Padahal kita bukanlah pelaku utama dalam hidup orang lain. Setiap situasi dan kondisi mereka pun tidak kita alami secara nyata. Maka lebih baik kita merangkul seseorang yang mengamanahkan kisahnya kepada kita. Jangan langsung dihakimi apalagi dijadikan tempat pembuangan atas prasangka-prasangka yang memenuhi kepala kita.
—SNA, Ruang Untukku #131
Kamis, 25-01-2024 | 00.54
Venetie Van Java,
Ketika momen munculnya impostor baru terasa menggelikan dan sudah tidak begitu mengagetkan lagi.
4 notes · View notes
ruanguntukku · 5 months
Text
Ada sebuah karunia yang kembali Allah titipkan kepadaku, di tengah badai fitnah itu berkobar.
Ada hal indah yang Allah titipkan pada keluarga kecilku, di saat pemimpinku dituduh telah melakukan perbuatan yang tidak pantas kepada lawan jenis yang masih berusia belasan tahun.
Ya, hadirnya dia seakan menjadi pelipur lara, menjadi hadiah yang menguatkan dan menjadikan lapang.
Aku telah mengenal pemimpinku selama 15 tahun. Aku yang mengetahui betapa ia menjaga komitmen dan kesetiaannya padaku.
Dia ramah pada siapapun bukan untuk tebar pesona. Ia ramah, menebar senyum karena itulah jiwanya. Tidak pernah dia memilih orang dari kalangan tertentu untuk beramah tamah.
Semua kalangan dari pedagang pasar, langganan jasa kurir kami dahulu, tetangga, anak-anak bahkan orang yang baru papasan di jalan juga diperlakukan dengan ramah.
Namun itulah kejamnya hasad, orang yang jiwa dan hatinya ternoda oleh hasad akan melakukan banyak cara untuk menjatuhkan orang yang dibenci dan dia tidak peduli dengan kebenaran yang hakiki. Karena apa yang dia percaya hanyalah keyakinan yang dia senangi dan ucapan yang mendukung prasangkanya semata.
Aku bersyukur kepada Allah atas titipan ketiga pada rahimku saat ini. Aku percaya bahwa ia Allah titipkan dengan penuh hikmah dan kasih sayang.
Dia mengetahui segalanya, Dia mengetahui perjuangan kami, kesakitan kami, tipu daya mereka dan upaya penindasan mereka terhadap kami.
Hanya kepada Rabbku, aku mengadu, merengek dan menumpahkan segala rasa kecewa, sedih, marah, takut, gelisah dan resahku.
Aku meyakini bahwa titipan kali ini mengandung pesan berharga. Pesan tentang keteguhan di dalam iman dan taqwa serta kekuatan akan kasih sayang yang besar dari-Nya. Maka tidak selayaknya aku menjadi lemah apalagi berputus asa, karena Allah selalu ada dan pertolongannya tak akan sirna.
Nak, Allah menitipkanmu kepada Ayah dan Bunda di waktu yang istimewa. Ketika kami diterpa badai yang cukup keras dari lisannya manusia yang dipandang berilmu dan shalihah.
Maka, jadilah kelak hamba Allah yang jujur dan senantiasa takut kepada-Nya. Atribut keagamaan yang kamu kenakan adalah sebuah jihad di jalan Allah. Bukan sebagai penanda bahwa kunci surga telah kamu dapatkan.
Kamu perlu berusaha dan berjuang untuk tetap Istiqomah. Kamu harus jadi hamba Allah yang terus belajar, memperbaiki dirimu dan membersihkan hati dari segala bentuk penyakit yang menggerogotinya.
Kamu harus bisa mendidik dirimu dan menundukkannya di hadapan Allah, di dalam perintah dan larangan-Nya. Kamu harus menghinakan dirimu di hadapan ilmu dan berkhidmat di dalam jalan ilmu. Bukan menjadi pembelajar yang menginjak-injak ilmu untuk dijadikan alat di dalam mencari perbendaharaan duniawi dan penghormatan manusia.
Jadilah hamba yang jujur kepada-Nya, maka Dia pun akan jujur kepadamu.
Jadilah hamba yang memegang teguh prinsip iman dan taqwa, karena itulah sebaik-baik perbekalan untuk mengarungi jalan panjang menuju negeri akhirat.
Dunia ini adalah tempat persinggahan yang kelak akan kita tinggalkan dan berganti dengan fase-fase perjalanan yang sulit dan panjang.
Bunda bersyukur kepada Allah yang dengan Rahmat serta karunia-Nya menitipkanmu kepada kami.
Semoga Allah menjaga kita semua dan mengumpulkan kita sebagai keluarga yang utuh di surga-Nya kelak.
Aamiin Allahumma aamiin ❤️
—SNA, Ruang Untukku #128
Selasa, 12-12-2023 | 22.17
Venetie Van Java,
Tepat pada salah satu tanggal istimewa di dalam perjalananku dan dia ❤️
4 notes · View notes
ruanguntukku · 3 months
Text
Ketika kita merasa guncang, seakan kebenaran itu menjadi kabur, lalu kita mulai meragukan diri sendiri, maka dada akan terasa sesak.
Namun, tatkala kita bertemu dengan orang pilihan-Nya yang telah terpilih untuk meneguhkan kita, maka kita pun merasa bisa bernafas lega dan beban besar yang menyesakkan dada terasa sirna.
Kegelapan dan kesuraman itu seakan kembali menemukan titik terang. Kita seolah dikuatkan bahwa lorong terjal, gelap dan dingin ini akan berlalu, bahwa sejauh apapun kita berjuang, ujung yang cerah itu akan kita raih.
Ketika kita kembali dikuatkan dan diyakinkan bahwa apa yang kita yakini adalah benar dan apa yang berusaha mereka lakukan adalah kesalahan, maka asa itu kembali ada. Bahwa kita tidak sendirian, bahwa ada orang lain yang masih menggenggam teguh kebenaran. Bahwa masih ada harapan menjadi orang baik di dunia ini.
Maka sering kali aku menangis karena telah kehilangan seseorang tersebut. Aku sangat bersyukur kepada Allah telah mempertemukan aku dengannya.
Semoga beliau Rahimahallah dilapangkan dan diterangi kuburnya. Aku rindu, tapi Allah sangat menyayanginya, dan hanyalah doa yang bisa aku langitkan untuk meredam kerinduan. Semoga kelak kami kembali bertemu dalam keadaan hati dan jiwa yang selamat.
—SNA, Ruang Untukku #133
Sabtu, 27-01-2024 | 13.35
Venetie Van Java.
2 notes · View notes
ruanguntukku · 4 months
Text
Kembali kukatakan bahwa ranah pertemanan adalah ranah yang paling rapuh dalam hidupku.
Tidak mudah untuk menemukan seseorang yang diberikan taufiq oleh Allah untuk bisa melihat sisi kebaikan diriku, terus percaya bahwasanya aku teman yang baik, terus memberi udzur, terus bertahan berteman denganku dan terus menggenggam erat aku walaupun selain diriku, banyak teman-temannya yang lain.
Menjadi seseorang yang sering disalahpahami itu tidak mudah.
Menjadi seseorang yang sering dihakimi oleh prasangka dan berita bohong itu tidak mudah.
Ditemukan dan digenggam erat oleh teman yang tulus menerima dan membersamai itu tidak mudah.
Maka, aku akan selalu mengingat mereka.
Dan sedihnya dua perempuan yang seperti itu wafat di bulan Januari, bulan kelahiranku. Bahkan salah satunya meninggal tepat pada tanggal kelahiranku.
Aku ingat kedua teman baikku ini adalah jiwa-jiwa yang baik. Jiwa-jiwa yang lembut. Jiwa-jiwa yang aku akui mereka lebih baik daripada diriku.
Ketika mereka tiada, kesepian itu kembali menyeruak. Seakan aku kehilangan sebuah rumah yang hangat.
Orang yang mau bertahan menjadi teman baikku hanyalah sedikit. Bahkan tiap jenjang pendidikan tidak sampai 3 orang.
Begitupun di hari ini.
Sebuah kesedihan ketika kita merasa bahwa sahabat lama kita sedang baik-baik saja, namun nyatanya tidak demikian. Dan kita baru sadari setelah mereka tiada.
Setiap orang yang berperan dan membantu kita, mereka adalah orang-orang yang dipilih dan dimudahkan oleh Allah.
Maka terasa sesak, ketika aku menyadari di saat-saat terakhir hidup mereka, aku tidak terpilih menjadi salah satunya.
Semoga Allah menjaga setiap teman baik yang begitu tulus kepadaku, menggenggam erat aku, dan tidak pergi walaupun mereka punya banyak teman lainnya.
Meskipun pada akhirnya kita terpisah oleh jarak, waktu, situasi dan kondisi kehidupan, namun kebaikan-kebaikan mereka semua terus aku ingat sampai hari ini.
Semoga Allah membalas kebaikan mereka dan mempertemukan mereka dengan orang-orang yang lebih baik dari aku.
Dan semoga teman baikku yang telah wafat, bisa ditemani oleh amal shalih yang indah dan mereka dijauhkan dari siksa kubur dan siksa neraka. Semoga Allah memberi mereka hadiah berupa surga yang kekal abadi. Aamiin Allahumma aamiin.
—SNA, Ruang Untukku #130
Kamis, 04-01-2024 | 03.19
Venetie Van Java,
Masih berusaha untuk bisa beristirahat dan berhenti menangis.
4 notes · View notes
ruanguntukku · 4 months
Text
Hari ini, aku kembali harus merelakan seorang sahabatku pergi. Bedanya, perpisahan kali ini bukan sekadar berbeda kota atau pulau, melainkan berbeda fase kehidupan.
Aku mungkin hanyalah sebuah titik dari banyaknya orang yang telah kehilangan. Ya, beliau Rahimahallah adalah jiwa yang baik, saking baiknya beliau, orang yang telah menyakitiku bersikap sangat baik kepadanya.
Aku menyadari banyak luka dari sisi pertemanan yang aku punya, maka di awal aku bergabung pada kelas Bahasa Arab, aku hanya fokus belajar. Terlebih aku menyadari bahwa akulah murid termuda di kelas, jadi agak sungkan rasanya untuk berkenalan duluan dengan Ummahat lain yang usianya bisa lebih tua 12 tahun dariku.
Tapi, beliau berbeda. Beliau yang pertama kali mendekatiku, mengajak belajar bersama dan berteman denganku.
Dari sanalah aku mengenalnya. Sosok single parent yang tangguh. Berusaha mendidik putri kandung satu-satunya di saat beliau juga harus pulih dan kuat dari luka perceraian terdahulu.
Ya, perpisahan itulah salah satu harga yang harus beliau bayar demi sebuah kebahagiaan yang sejati, yakni hidayah di atas Sunnah.
Ketika jalan kebenaran itu tidak bisa dan tidak mau dilalui oleh sang nahkoda, maka memilih untuk berlayar pada bahtera yang berbeda adalah jalan yang dipilihnya.
Meski berat dan penuh perjuangan, beliau lebih memilih keselamatan agamanya ketimbang sebuah ikatan cinta dengan makhluk.
Meski harus berjuang sendirian bersama putri kecilnya, semua beliau lewati hingga kemudian sama-sama tinggal satu kota perantauan denganku.
Dari kelas Ummahat itulah, Allah perkenankan aku mengenalnya. Dari sanalah aku banyak belajar dan mencerna perjuangan yang beliau lalui.
Aku banyak mengenal single parent mom, tapi tidak semua diberi hadiah berupa hidayah pada jalan yang lurus.
Dari kisah masa lalu beliau, aku pun menyadari bahwa hidup kita bukanlah seperti di film-film, yang mana setiap kemenangan selalu dikaitkan dengan kesuksesan duniawi bagi orang yang terzalimi.
Justru kisah beliau adalah salah satu kenyataan yang bertolakbelakang dengan angan-angan semu yang selalu tertanam di alam bawah sadar kita.
Setelah bercerai, berjuang sendirian kurang lebih 9 tahun, beliau kembali diuji Allah dengan penyakit kanker serviks.
Alhamdulillah, dengan Rahmat Allah yang begitu luas banyak orang-orang baik pilihan-Nya yang ikut membantu semua proses pengobatan dan membantu menjaga putri beliau, ketika beliau harus bolak-balik ke rumah sakit.
Sebuah pesan yang ditanamkan oleh beliau adalah nasihat untuk,
Menempuh sebab tanpa bergantung kepada sebab.
Ya, beliau menempuh sebab kesembuhan, tapi selalu menggantungkan harapan kepada Dzat yang Maha Menyembuhkan.
Beliau menjalani semua rangkaian proses kemoterapi dan sinar, tapi hatinya sepenuhnya bertauhid kepada Allah.
Yang aku begitu terharu, sesakit apapun beliau, rutinitasnya adalah memuroja'ah pelajaran bahasa Arab. Tak lama sebelum vonis kanker itu diterima, beliau pindah ke kelas reguler sehingga pelajaran diulang dari awal dan kami pisah kelas. Namun semangat belajarnya tidak pernah luntur walaupun beliau sakit. Sering kali ketika aku menjenguk beliau, kitab bahasa arab sedang dimurajaah olehnya.
Di kelas reguler inilah beliau ditemukan oleh banyak Ummahat lain yang mereka lebih baik dan lebih banyak membantu proses kehidupan beliau selama sakit.
Sampai akhirnya di hari Rabu, 3 Januari 2024 ini usia beliau dicukupkan sampai 42 tahun.
Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah di malam tepat sebelum aku jatuh sakit karena ujian yang aku terima.
Aku selalu menyadari bahwa diriku tidak bisa leluasa berinteraksi jika aku menjenguk beliau berbarengan dengan Ummahat lain, oleh sebab itu aku selalu punya waktu tersendiri untuk main ke rumah beliau.
Malam itu, aku menumpahkan semua kesedihanku. Lagi, aku kembali merepotkan beliau dan lagi beliau membantuku untuk bisa lebih tenang. Di malam itu pula kami berbincang dan pertama kalinya pertahanan beliau runtuh. Di malam itulah beliau menangis dan merasa takut dengan sakitnya.
Itu kali pertama aku melihat beliau benar-benar membuka diri akan perasaan yang beliau rasakan, karena selama ini beliau selalu berusaha kuat di hadapan orang lain dan enggan menangis di depan orang lain.
Kami saling menguatkan dan tak lama akupun pamit untuk pulang karena waktu sudah lewat dari isya. Aku pun harus bekerja lagi besok pagi. Namun qadarullah ternyata hari itulah hari terakhir aku bisa bekerja. Karena setelahnya aku jatuh sakit karena faktor psikis.
Dan qadarullah tidak lama setelah itupun beliau kondisinya menurun dan memiliki gejala sakit yang sama denganku, yaitu sesak nafas.
Qadarullah metastasis di paru-paru beliau semakin membesar, hingga menyebabkan komplikasi pada sistem pernafasan.
Di situasi yang semakin kritis, beliau berusaha untuk tidak mau membuat gaduh atau merepotkan banyak orang. Beliau sangat menjaga muruahnya sebagai seorang muslimah. Sisi kuat beliau masih ada dan itu adalah sebuah contoh yang sangat aku syukuri bisa belajar darinya.
Aku tau, aku hanyalah seorang yang berpapasan dalam hidup beliau. Aku tidak memberikan banyak manfaat untuk beliau, tapi tetap saja, ketika beliau berpulang, hatiku terasa sangat kehilangan.
Salah satu nasihat beliau bi'idznillah telah membantuku pulih dari luka pengasuhan. Beliau memberikan pencerahan yang bi'idznillah membuatku bisa berdamai dengan luka inner child-ku.
Ada banyak kebaikan dan kenyamanan yang aku rasakan di dalam berteman dengan beliau Rahimahallah. Walaupun mungkin aku hanyalah seorang yang tidak berarti dalam hidupnya, tapi beliau sangat berarti bagiku.
Beliau adalah seorang teman yang baik, hatinya selamat dari berbagai ujian hati yang kerap dimiliki wanita pada umumnya.
Dan dari perjalanan beliau inilah aku menyadari, bahwa kemenangan itu bukanlah seperti apa yang digambarkan di skenario dusta pada film-film.
Terkadang secara zahir orang yang terzalimi diuji terus menerus, seolah kemenangan itu tidak diraihnya. Padahal sesungguhnya setiap ujian yang dilalui adalah sebuah anak tangga yang terus menaikkan derajatnya dan menggugurkan dosa-dosanya.
Hingga akhirnya kemenangan yang sejati itu bisa diraih, yakni ketika seorang hamba bertemu dengan Rabbnya dalam keadaan bersih dari dosa, dan Rabbnya menjauhkan dia dari siksa kubur dan siksa api neraka, lalu kemenangan itu diberikan berupa kehidupan yang kekal abadi di dalam surga.
Aku harus kembali menyadari bahwa proses kemenangan itu bisa jadi harus dilewati dengan penuh liku, rasa sakit dan perjuangan. Karena kemenangan itu bukan sekadar kita melihat orang yang menyakiti kita hidup tersiksa, melainkan lebih mulia dari itu.
Karena memang kita hidup selalu di dalam perjalanan menuju Allah dan negeri Akhirat. Bukan sekonyong-konyong soal pribadi kita Vs orang yang menzalimi kita.
Karena pada kenyataannya semua kehidupan kita selalu bermuara kepada hubungan kita kepada Allah.
Allah selalu punya cara tersendiri untuk menegakkan keadilan-Nya. Dan keadilan-Nya itu pasti akan terlaksana, entah kita menyaksikannya atau tidak. Entah kita mengetahuinya atau tidak. Entah kita merasakannya atau tidak. Allah selalu menegakkan janji-Nya. Dan Dia tidak pernah menzalimi siapapun, bahkan kepada orang kafir sekalipun.
Jadi, kembali lagi, kemenangan seperti apa yang mau kita raih? Rasanya terlalu murah jika setelah dizalimi kita hanya berharap karma (kafarat) kepada orang yang menzalimi kita.
Kembali harus menata diri, menata hati. Sepatutnya kita meminta ganti dengan hal-hal yang mahal, semahal keselamatan hati dan keselamatan di dunia dan di akhirat.
Inilah kehidupan yang nyata, tidak sedramatis skenario dusta di film-film.
Jadi jangan berekspektasi semua kezaliman orang yang telah menzalimimu akan kamu lihat balasannya dengan kedua matamu.
Hidupmu terlalu berharga untuk dihabiskan menoleh kepada hal yang remeh.
Semoga kita selalu menjadi hamba yang memegang erat tauhid, memiliki kesabaran dan keikhlasan pada hentakan pertama ujian dan semoga keyakinan kita kepada Allah lebih kuat daripada ego yang kita punya.
—SNA, Ruang Untukku #129
Kamis, 04-01-2024 | 00.44
Venetie Van Java,
Teman perjuanganku berkurang 1. Tersisa 9 orang termasuk aku. Semoga kami tetap Istiqomah belajar hingga ajal menjemput. Aku bersedih tapi aku bangga memiliki teman yang tidak pernah menyerah untuk menempuh jalan ilmu bagaimanapun kondisinya.
Semoga Allah menerangi kuburmu selalu ya, Umm. Semoga kelak Allah pertemukan kita di surga-Nya. Aamiin Allahumma aamiin 🌧️
2 notes · View notes
ruanguntukku · 10 months
Text
Tumblr media
GIF oleh : @fluffygif
Pada hati yang dizalimi ada rasa sakit yang dalam, saat kepercayaan harus rusak karena dusta dan khianat, amarah yang tidak mampu dibendung menumpahkan tangis yang begitu deras.
Luka pada hati lebih sulit diobati daripada luka pada raga.
Namun, harus kembali kita tahu apa pembeda diri kita sebagai seorang hamba.
Butuh waktu yang lama bagi hati untuk menerima, bahkan bisa menghabiskan waktu yang sangat panjang sampai akhirnya hati bisa benar-benar melepaskan dengan ikhlas.
Namun, saat ilmu sudah ditempuh, inilah saatnya ilmu itu diterapkan secara utuh.
Ikhlaskan meski berat dan jangan pernah lelah di dalam menjalaninya, sembari terus menguatkan sabar.
Teladanilah bagaimana orang-orang shalih terdahulu bisa ikhlas dan sabar pada hentakan pertama ujian, itulah sebaik-baiknya pelajaran.
Keikhlasan dan kesabaran bagaikan hamparan lautan luas yang harus terus diarungi. Tidak ada jalan lain, selain mengarunginya.
Kehidupan bak lautan yang tidak selalu tenang, kerasnya ombak mampu meluluhlantakkan karang yang kokoh.
Segigih apapun sebuah bahtera mencoba berlayar di atas amukan ombak, akan ada saatnya ia dipaksa untuk rela terombang-ambing.
Meski terasa amat sulit, layaknya hati yang sakit, akan ada masa di mana lautan akan kembali tenang dan menunjukkan pesonanya kembali.
Setiap orang yang bertakwa akan menyadari bahwa setiap apa yang ia alami adalah ketetapan yang pasti terjadi.
Setiap jiwa yang tunduk akan merasa tenang dan yakin pada janji-Nya. Maka tundukkanlah hatimu dan ikhlaskanlah.
Indahkanlah perjuanganmu dengan tauhid yang terus dikokohkan sampai akhir hayat.
Cukuplah janji Allah sebagai penguat atas segalanya.
Ingatlah selalu bahwa dendam dan amarah hanya akan membakarmu sampai habis, laksana api yang membakar kayu, hingga menjadi abu.
—SNA, Ruang Untukku #110
Selasa, 20-06-2023 | 23.32
Venetie Van Java,
Sebuah tulisan lama tertanggal 7 Desember 2020, ditulis ulang dengan beberapa perbaikan.
6 notes · View notes
ruanguntukku · 8 months
Text
Jangan pernah jadi orang yang
Ngeyelan; Ndableg
Ketika kita berurusan dengan syari'at Allah.
Carilah sumber kebenaran Islam dari sumber yang paling asli yakni Al-qur'an dan hadist Rasulullah ﷺ.
Pahamilah kandungan di dalamnya berdasarkan pemahaman para sahabat Radhiyallahu 'Anhum. Kenapa? Karena merekalah generasi terbaik yang secara langsung diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.
Beribadah bukanlah sekadar mengikuti arahan kiyai.
Beribadah bukan hanya sekadar mengikuti perasaan, akal apalagi firasat kita yang kita yakini bahwa itulah yang baik dan benar.
Kita beribadah itu untuk menyembah Allah, bukan untuk menyembah hawa nafsu, akal, perasaan apalagi khayalan kita.
Aturan tentang tata cara, rukun, syarat, apa-apa yang bisa membatalkan suatu ibadah itu sudah jelas dan terang benderang.
Tugas kita adalah tunduk kepada aturan Allah dan mengikuti apa yang sudah Rasulullah ﷺ ajarkan.
Sikap tunduk dan berserah diri kepada Rabbnya adalah inti dari sikap seorang muslim.
Tapi di zaman ini ketika kebodohan merajalela, syubhat terasa benar, maka ada saja golongan manusia yang menertawakan kaidah tunduk dan berserah diri ini.
Padahal iman itu bukan hanya sekadar ucapan yang kita ikrarkan dengan kalimat syahadat. Melainkan harus ada ketundukan hati dan amal ibadah yang kita lakukan.
Setiap kita itu sudah divonis akan mati. Maka apa yang perlu kita sombongkan?
Ketika kita bersujud di dalam rumah-Nya, kita ini mengikuti aturan siapa? Sungguh mengherankan tatkala ada sekelompok wanita yang usianya sudah tidak lagi muda, merasa begitu sombong di hadapan Rabbnya.
Beribadah di rumah Allah lantas seenaknya saja membuat aturan sendiri. Merasa enggan merapatkan shof shalat, bahkan sajadahnya pun harus diberi jarak.
Bukankah sudah begitu masyhur diketahui oleh orang-orang yang berakal bahwa salah satu syarat sahnya shalat berjamaah adalah dengan merapatkan shof? Bukankah Allah sudah memberikan kita kemudahan di hari ini ketika pandemi COVID sudah berlalu.
Lantas aturan siapa lagi yang hendak diada-adakan? Tak perlu lah jauh membahas ranah aqidah dan manhaj, bukankah rapatnya shof itu sudah diketahui bersama sebagai hal wajib yang harus ada selama tidak dalam kondisi khusus yang darurat?
Ketika kita telah merasa berjasa di dalam amal, maka ketahuilah amal itu akan habis terbakar. Sungguh mudah bagi-Nya mendatangkan kaum yang lain, yang hati mereka lebih tunduk, yang ibadah mereka sesuai dengan apa yang Rasulullah ﷺ contohkan, sesuai dengan apa yang Allah perintahkan.
Wanita tidaklah wajib shalat fardhu di masjid, karena sholat yang paling utama bagi wanita adalah di rumahnya sendiri.
Ketika kita sudah berniat memakmurkan masjid, maka pahamilah tata caranya, pahamilah aturan yang telah Allah tetapkan.
Kelak kita akan mati, ditanya di alam kubur, menemui hakikat dari kehidupan kita di dalam kubur. Sampai akhirnya kita akan di hadapkan di hadapan Allah.
Apakah kesombongan kita itu akan menyelamatkan kita?
Apakah amal-amal yang kita kumpulkan itu layak untuk dibanggakan?
Ada sebuah pepatah yang mengatakan,
"Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung."
Ini adalah sebuah pepatah yang indah yang seharusnya diterapkan oleh setiap muslim. Bumi ini milik Allah, langitpun milik Allah. Maka di manapun kita berada di dalam alam semesta ini khususnya di atas bumi Allah yang luas, maka ingatlah bahwa kita hanyalah ciptaan yang kelak akan menemui Penciptanya.
Sungguh mengherankan ketika kutipan seindah itu justru dijadikan sebagai ajang menyombongkan diri demi meraih penghormatan, penghargaan dan adab yang baik dari manusia. Padahal dirinya sendiri tidak menghormati, menghargai dan beradab kepada Allah.
Manusia hanya sibuk mengejar apa-apa yang nampak. Manusia hanya sibuk tentang bagaimana caranya untuk terlihat baik. Tapi lupa mengejar bagaimana caranya untuk betul-betul jujur, ikhlas dan benar di hadapan Rabbnya.
Aku berharap kepada Allah yang menciptakan seluruh alam semesta, apa yang aku temui di waktu Maghrib itu akan Allah berikan ganti yang lebih baik.
Entah Allah jadikan mereka bisa rujuk dengan kebenaran, atau Allah gantikan mereka dengan orang-orang yang betul-betul memurnikan agama-Nya dan melakukan ibadah sesuai dengan perintah-Nya.
Ketika menemukan orang-orang yang begitu Ngeyel/Ndableg, enggan dinasehati, enggan berkaca diri, enggan menerima kesalahan diri, menolak kebenaran, adalah saat-saat di mana dada ini sesak menahan tangis.
Apakah sesak karena sakit hati? Bukan. Melainkan sesak karena kesedihan.
Mereka tidak tau sedang menggadaikan jiwa mereka ke dalam kebinasaan.
Mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang menzalimi diri mereka sendiri.
Mereka tidak menyadari bahwa Allah sekalipun tidak membutuhkan amal mereka.
Mereka tidak sadar bahwa merekalah yang sangat butuh beramal, tapi sangat disayangkan mereka melakukan amalan sesuai dengan hawa nafsu mereka semata. Enggan tunduk, enggan patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Merasa benar karena usia mereka yang semakin besar.
Camkanlah apa yang selalu kamu rasakan ketika melihat kesesatan itu terjadi di depan matamu! Camkan betapa mahalnya nilai hidayah yang sudah Allah berikan untukmu! Allah memilihmu bukan karena kamu pantas, melainkan Allah memilihmu karena hikmah-Nya, Allah ingin menghendaki kebaikan untuk dirimu.
Doakan, doakan selalu mereka yang masih begitu angkuh di atas ketidaktahuan mereka.
Jangan pernah sekalipun kamu merasa tersakiti dengan segala ucapan dan perbuatan-perbuatan mereka yang menyakiti hatimu. Kembalikan semua rasa itu kepada Allah. Nasihatilah orang lain karena Allah, cintailah sesuatu karena Allah dan bencilah sesuatu karena Allah. Bukan untuk meninggikan egomu sendiri.
Semoga Allah jadikan kita Istiqomah di atas al-Haq sampai akhir hayat. Aamiin Allahumma aamiin.
—SNA, Ruang Untukku #121
Rabu, 13-09-2023 | 00.56
Venetie Van Java,
Sembari terus menata hati dan mendidik diri sendiri.
Lurusnya shaf adalah sebab terikatnya hati orang-orang yang shalat. Dan bengkoknya shaf dapat menyebabkan berselisihnya hati mereka. Dari Abu Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاةِ وَيَقُولُ : ( اسْتَوُوا , وَلا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memegang pundak-pundak kami sebelum shalat, dan beliau bersabda: luruskan (shaf) dan jangan bengkok, sehingga hati-hati kalian nantinya akan bengkok (berselisih) pula” (HR. Muslim, no. 432).
4 notes · View notes
ruanguntukku · 8 months
Text
Ada masa-masa di mana aku merindukan setiap permulaan dari sebuah kebaikan.
Entah itu awal mula ketika masa-masa menapaki jalan hidayah, ataupun permulaan dari sebuah muhasabah dan pertaubatan.
Ketika jiwa kita menyadari kesalahan diri sendiri, kemudian banyak menyesali segala kekhilafan yang telah lalu, maka di situlah hati kita menjadi kuat untuk meninggalkan maksiat.
Betapa mudahnya kita hempaskan segala hal yang membuat lalai akan akhirat, karena jiwa kita dipenuhi oleh rasa cinta, harap dan takut kepada Allah.
Begitu mudahnya kita menerima kebenaran dan mudahnya mengamalkan hidayah ilmu yang didapat, tidak peduli celaan manusia dan tidak butuh validasi apalagi pujian dari pihak lain. Seakan kematian sudah di depan mata sedangkan diri masih kotor dan hina berlumuran dosa.
Kenapa masa-masa itu sering kali aku rindukan? Karena itulah masa-masa keemasan yang terkadang sulit untuk diraih bahkan ketika kita sedang menapaki jalan hidayah.
Ketika fitnah syubhat dan fitnah syahwat begitu tertancap kuat di hati, maka sering kali hawa nafsu seakan mengecilkan hujjah yang telah dipelajari.
Ada ajakan untuk menormalisasi kesalahan karena menganggap bahwa itu manusiawi. Wajar ketika sebagai manusia kita berbuat dosa. Ya, sebuah alasan yang pada akhirnya malah membuat kita meninggikan akal, mengedepankan hawa nafsu lantas tanpa sadar mengecilkan aturan Allah.
Lalu, rutinitas ibadah pun mulai terasa berat dan hambar. Sering kali kita menjadi terhalang untuk melakukan amal kebaikan.
Hal-hal yang melalaikan semakin melekat dan terus memperdayakan. Seolah menghipnotis kita agar terus saja terpaku dan disibukkan di sana.
Hati yang semakin kotor oleh dosa pun merasa gelisah, resah dan seakan kehilangan arah. Pekatnya dosa membuat ibadah yang dilakukan seakan menjadi tambalan atas maksiat yang bertebaran.
Ibaratnya kita sedang membawa air dengan ember yang bocor di atas tanah yang tandus dan kering. Perlu berjalan jauh untuk menemukan mata air, tapi tanpa kita sadari ember yang kita bawa itu berlubang sehingga air yang dibawa pun habis tak tersisa.
Seperti itulah perumpamaan jiwa-jiwa yang telah tercemar dengan maksiat dan menyepelekan hujjah-hujjah atas perintah dan larangan Allah.
Meninggalkan kemaksiatan begitu terasa berat. Hawa nafsu seakan terus haus dan menuntut untuk selalu dituruti. Jiwa kita pun tak kuasa untuk melawannya dan akhirnya semakin terjerembab dalam kubangan dosa.
Itulah realita yang dijalani orang-orang yang sedang futur di dalam iman. Ketika menjadi sami'na wa atho'na tidak semudah dahulu ketika pertama kali mendapat hidayah.
Maka hendaklah kita bersyukur ketika kita masih ditolong oleh Allah dengan dijadikannya hati kita gelisah dan sesak di tengah kemaksiatan yang semakin merekah.
Sakitnya jiwa kita dan kedua mata yang masih diberi taufik untuk menangisi dosa, sejatinya adalah sebuah anugerah yang besar, karena jika kita tidak bisa lagi merasakannya maka hakikatnya jiwa kita telah mati, betul-betul tenggelam di dalam palung kehinaan diri.
Cobalah untuk sering memiliki waktu berkhalwat dengan Allah, waktu yang kita gunakan untuk mengoreksi aib-aib kita sendiri, bermuhasabah dan berintrospeksi atas perjalanan yang sudah ditempuh.
Apakah niat kita sudah benar-benar lillah?
Apakah ilmu kita sudah menjadi ilmu yang bermanfaat?
Sudah sejauh mana perbaikan kita di dalam akhlak dan adab?
Waktu kita selama ini habis digunakan untuk apa?
Sudahkah kita bisa menjaga lisan dari suka mencela dan ghibah, menundukkan pandangan dari kehidupan orang lain dan menata hati kita agar tidak penuh dengan buruknya prasangka?
Apakah rasa syukur dan qana'ah itu sudah terwujud?
Siapakah yang pertama kali kita ingat pada hentakan pertama ujian itu datang?
Masihkah kita mengutuk dan marah dengan ketetapan-Nya?
Apakah hati dan pikiran masih didominasi dengan memikirkan makhluk ataukah sudah betul-betul fokus kepada Allah?
Sudah sejauh apa kita mengenal-Nya dan yakin akan janji-Nya?
Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya yang harus kita tujukan kepada diri kita, sebagai lecutan agar terus mawas diri dan tetap pada koridor yang seharusnya.
Terkadang di saat jiwa kita merasa gersang dan merasa kurang di tengah kemudahan mempelajari agama-Nya, kita justru disibukkan dengan hal-hal yang tidak berguna.
Kita begitu kuat mendengarkan ucapan-ucapan atau obrolan-obrolan yang sia-sia, tapi begitu suntuk ketika mendengarkan kajian tentang ilmu syar'i.
Kita begitu mudah terbawa perasaan di dalam menyelami skenario-skenario dusta karangan manusia, lantas jiwa kita seakan mati rasa di dalam mengingat dosa-dosa yang ditanam sekian lama.
Ketika benih dosa itu terus tumbuh dan masa panen dosa itu pun tiba, tanyakanlah pada dirimu apakah kamu berbahagia di dalam mendapatkannya?
Bukankah kita selalu menuntut hasil panen yang penuh kebaikan dan kemuliaan, tapi tidak menyadari seperti apa benih-benih yang kita tanam?
Ketika musibah akibat kemaksiatan itu datang, kita merasa Allah sudah menzalimi kita dan telah berbuat tidak adil kepada kita.
Sebuah kebodohan yang sangat menggelikan, bukan?
—SNA, Ruang Untukku #119
Senin, 21-08-2023 | 23.38
Venetie Van Java
3 notes · View notes
ruanguntukku · 9 months
Text
"udahlah, kita tu beragama biasa-biasa aja."
"Dulu aku juga pernah kok menutup aurat yang syar'i banget..."
"Dulu gue juga pernah kok hijrah, dateng kajian, belajar agama."
Mungkin itulah sebagian dari ucapan-ucapan mereka yang "pernah hijrah". Ucapan-ucapan yang sering kali diungkapkan di saat mereka sudah menanggalkan jejak-jejak hijrah mereka.
Lalu, muncullah beragam tanggapan dan tidak sedikit yang mendukung pernyataan mereka...
"makanya, kita ga perlu lah terlalu mabok agama. Beragama tuh biasa-biasa aja, yang penting mah kita sholat, puasa. Udah. Ga perlu lah terlalu ekstrim apalagi sampe cadaranlah atau pake baju serba item segala."
"hidup tuh dinikmatin kali. Nanti kalau bosen jadi ga malu-malu banget. Namanya manusia wajarlah ada sisi bandelnya. Makanya ga usah terlalu menjiwai hijrah. Tengah-tengah aja, jadi ga terlalu beda jauh misal udah ga tahan hijrah..."
Orang-orang yang memilih berhenti menapaki jalan taqwa itu akan selalu ada, begitu pula orang-orang yang bergegas memulai perjalanan hijrah mereka.
Kadang orang-orang yang belum pernah merasakan hijrah merasa lega ketika ada kawan mereka yang akhirnya menghentikan langkah hijrahnya. Seakan berhentinya dia adalah sebuah validasi akan kebenaran jalan hidup yang selama ini dijalani. Bahwa benar, ga perlu terlalu serius di dalam beragama. Bahwa benar menikmati hidup seadanya dengan apa adanya diri kita adalah jalan yang terbaik.
Berhentinya orang-orang dari perjalanan hijrah mereka sering kali menjadi sebuah kebanggaan dan jawaban akan pencarian jati diri yang selama ini membuat gelisah.
Ketika mereka kembali akrab dengan dosa dan maksiat, mereka jadikan masa lalu hijrah mereka sebagai tameng bahwa mereka bukanlah orang yang buta agama. Mereka menganggap bahwa bukan mereka yang telah gagal menjadi hamba-Nya yang bertaqwa, tapi syari'at Allah lah yang telah gagal di dalam menjadi jawaban bagi gersangnya jiwa mereka.
Fenomena ini adalah salah satu dari sekian banyak pembuktian betapa mahalnya nilai sebuah hidayah. Sebuah cambukan bagi diriku sendiri bahwa untuk tetap melangkah maju di dalam taqwa adalah sebuah perjalanan yang sangat berat.
Kita bukan lagi berbicara soal menjadi terasing di tengah masyarakat saja, melainkan bisa merasa asing di tengah-tengah keluarga kita sendiri.
Hidayah itu adalah milik Allah. Hanya Allah yang berhak menentukan siapa di antara hamba-Nya yang akan menerimanya.
Allah-lah yang Maha Berbuat kepada setiap hamba-Nya. Tapi yang kita lupa bahwa di balik Maha Berbuatnya Allah, Allah pun menilai hati-hati kita, Allah memberikan ujian yang datang silih berganti sebagai penguat bagi diri kita sendiri sekaligus sebagai bentuk kesadaran atas jalan yang telah kita pilih.
Memutuskan menempuh jalan taqwa, tidak serta-merta ujian itu menjadi mudah. Semua harus diupayakan dengan kuatnya kejujuran kita di dalam niat.
Belajar ilmu syar'i tidak menjadikan kita aman dari fitnah. Justru ilmu yang kita pelajari itulah bekal kita melewati setiap fitnah yang ada agar selamat.
Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa begitu banyak cacat-cacat yang mewarnai langkah hijrah kita.
Begitu mudahnya riya' merasuk bahkan dalam bentuk yang paling samar sekalipun, yang seakan-akan terlihat dan terasa kehadirannya tidak ada. Nyatanya dia berkamuflase menjadi sisi yang lain yang tidak kita sadari.
Ketika kita merasa aman dari guncangan iman, karena merasa telah kokoh di dalam taqwa, maka justru itulah awal bencana itu dimulai.
Perlahan tapi pasti, rasa aman itu membuat kita lengah dari berbagai tipu daya setan yang semakin lihai merasuki jiwa yang mulai buta dengan ujub akan amal dan kebaikan diri sendiri.
Agama Allah itu adalah agama yang sempurna. Apa yang kita rasa kurang darinya, itu akibat dari kebodohan dan kesombongan diri kita.
Ingatlah lagi tentang nikmatnya ibadah yang begitu terasa indah hingga mampu menggetarkan jiwa.
Ingatlah akan lezatnya berdzikir kepada Allah hingga hati dan jiwa kita menjadi tenang.
Ingatlah akan lezatnya membaca Al-Qur'an hingga dadamu yang terasa sempit dan sesakpun dalam sekejap atas kasih sayang-Nya kembali dikuatkan dan menjadi lapang.
Apakah ada kenikmatan yang lebih sempurna dari apa yang engkau rasa melebihi nikmatnya menjadi hamba yang mencintai-Nya dengan iman dan taqwa?
Sepatutnya kita menangisi diri kita sendiri ketika kita dapati kita telah begitu jauh dari-Nya. Menangisi diri sendiri lebih layak bagi kita daripada kita merasa bangga dengan kemaksiatan yang terasa semakin mesra dengan kehidupan kita.
Jika akhirnya kamu memilih berhenti, maka jangan sampai mengumbar dosa menjadi langkah yang kamu pilih dengan penuh percaya diri. Setidaknya milikilah rasa takut kepada Rabbmu. Jika rasa takut itu sudah tidak terasa, maka setidaknya milikilah rasa malu. Jikapun rasa malu itu telah sirna, maka sungguh tidak ada lagi yang bisa menghentikan dirimu untuk tidak semakin berlarut-larut menghinakan diri sendiri.
Sadarilah! Orang-orang yang mendukung perbuatanmu adalah orang-orang yang juga tidak mengenal Allah.
Sadarilah! Ucapan manis mereka di hadapanmu tidak bisa menjamin ketulusan mereka di belakangmu.
Walaupun rasanya seperti patah hati, aku harus kembali mawas diri bahwa betul-betul hidayah itu adalah milik Illahi Robbi.
Aku berharap, kelak kamu akan kembali.
Dan aku pun berharap kepada Allah, jika kamu kembali, aku masih berada di atas jalan yang lurus.
Semoga, aku tidak ikut berbalik arah.
Kematian itu entah kapan dia akan datang.
Semoga Allah terus menguatkan dan memberikan keistiqomahan kepada diriku dan semua hamba-hamba-Nya yang masih menggenggam erat hidayah ini di tengah fitnah kehidupan yang semakin berkobar. Aamiin Allahumma aamiin.
—SNA, Ruang Untukku #118
Sabtu, 19-08-2023 | 01.10
Venetie Van Java
3 notes · View notes
ruanguntukku · 10 months
Text
Waktu senja memang selalu terasa berbeda terlebih ketika dia sedang menunjukkan sisi keemasannya.
Waktu senja walaupun singkat tapi kehangatannya itu terasa lembut dan nyaman.
Ada sebuah momen di mana aku sedang begitu lelah dan merasa buntu di tengah ujian kehidupan. Apa-apa yang diupayakan seakan menemukan jalan buntu, padahal di sisi lain aku terus berkejaran dengan waktu.
Di senja hari itu, aku bertemu dengan seorang bapak ketika aku menemani suamiku ke bengkel motor.
Awalnya semua biasa saja. Seperti biasa suamiku akrab berbincang dengan orang baru. Ya, dia memang ekstrover, kebalikan dariku.
Namun, hal yang tidak biasa pun terjadi. Bapak itu juga mengajakku berbincang, bahkan ketika suamiku sedang pergi mengambil sebuah sparepart motor yang ada di rumah.
Ada sebuah titik pembicaraan di mana akhirnya aku pun menyerah dengan pertahananku. Air mata itu pun meleleh ketika bapak itu berujar,
"Ya gapapa, namanya juga hidup. Kamu dan keluarga lagi dididik untuk kuat. Semua perjalanan kita; mudah dan sulitnya itu pembelajaran. Pasti nanti ada jalan dari Allah."
Mungkin hanya kalimat yang sederhana.
Mungkin hanya sekadar obrolan ringan yang terasa biasa.
Namun, tidak demikian untukku.
Apa yang beliau sampaikan sangat sejuk dan hangat di saat yang bersamaan.
Diibaratkan sebagai seorang yang habis berlari mengejar sesuatu; terasa lelah dan haus. Bingung harus menemukan jalan ke mana dan seakan berada di sebuah labirin yang selalu berakhir dengan kebuntuan.
Ketika kita berusaha sekuat tenaga, tidak ingin bergantung pada manusia, mencoba hanya bertawakal kepada-Nya sembari terus melangitkan doa, maka jangan heran jika perjalananmu akan dihadapkan pada ujian. Ya, ujian tentang sejauh apa kamu yakin pada janji-Nya.
Aku selalu percaya bahwa setiap pertemuan dan perpisahan itu adalah sebuah jalan yang telah Dia gariskan.
Tidak ada yang kebetulan, semua pasti menyimpan pesan.
Perkataan beliau yang sederhana begitu berharga untukku, karena aku merasa seakan sedang dinasehati oleh sosok bapak. Di saat papa sudah meninggal dunia.
Dahulu nasihat papa itu entah mengapa selalu kuat menancap di hati. Mungkin benar, sosok bapak itu adalah cinta pertama bagi anak perempuan.
Walaupun kehangatan bapak tidak sering hadir, tapi sekalinya ada akan terus terasa.
Hatiku yang saat itu sedang tidak baik-baik saja, terlebih di kota perantauan yang jauh dari keluarga, seakan mendapat hadiah istimewa dari-Nya yang Dia beri melalui lisan hamba-Nya. Padahal di hari itu aku pun tak luput dari dosa, tapi memang kasih sayang-Nya selalu mendahului murka-Nya.
Di satu sisi aku bersyukur, tapi di sisi lain merasa sangat malu kepada Rabbku.
Aku sangat bersyukur telah dikuatkan dan diyakinkan kembali bahwa Dia tidak pernah terluput dari suatu apapun yang ada di muka bumi, sekaligus aku sangat malu ketika aku menyadari betapa hinanya diriku dengan sederet dosa-dosa yang aku lakukan di hari rahmat-Nya turun kepadaku.
Seakan kedurhakaanku dibalas oleh teguran melalui kasih sayang-Nya untuk kembali menyadarkan betapa hinanya diriku di tengah ujian dan betapa sempurna kasih sayang-Nya di semua keadaan.
Seakan aku kembali diingatkan untuk kembali membenahi diriku, menguatkan lagi iman dan taqwa, karena sangat mudah bagi-Nya untuk mendatangkan jalan keluar di tengah sulitnya keadaan.
Akhirnya kembali tersadar bahwa kesulitan yang menemukan jalan buntu, bisa jadi karena ulahku sendiri yang begitu buruk di dalam taqwa, dan di sisi lain jalan buntu itu adalah penjagaan dari-Nya agar nanti apa yang diberikan adalah akhir yang lebih baik dari apa yang aku harapkan.
—SNA, Ruang Untukku #116
Selasa, 18-07-2023 | 06.22
Venetie Van Java
4 notes · View notes
ruanguntukku · 10 months
Text
Menjelang idul adha tahun ini, aku kembali mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat berharga.
Kembali diingatkan tentang hakikat kehidupan dunia yang sementara.
Kembali disadarkan bahwa senyaman apapun kita berada di sebuah tempat, pada akhirnya kita harus meninggalkan tempat tersebut menuju jalan lain yang telah Allah siapkan untuk kita.
Kenyamanan adalah sebuah hal yang diimpikan oleh banyak orang, yang dianggap sebagai pembuka dari banyak kebaikan-kebaikan yang hendak diupayakan.
Namun, kita lupa bahwa dari kenyamanan itu pulalah kita seringkali menjadi lalai.
Kenyamanan yang seakan menjadi magnet yang terus menarik kita untuk selalu berada di titik yang sama.
Kita begitu yakin bahwa rasa nyaman ini akan bertahan selamanya, sehingga kita enggan memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Ketika kita akhirnya dihantam oleh realitas barulah kita tersadar.
Selama ini kita telah dimabuk kepayang oleh candu-candu kehidupan.
Lupa bahwa hakikatnya kita hanyalah seorang musafir yang sedang berteduh sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Tidak siap ketika harus kembali menapaki jalan terjal yang menanti di depan sana.
Senyaman apapun kita berada di sebuah rumah, tetap saja rumah itu akan kita tinggalkan.
Semewah apapun rumah yang kita tinggali tetap saja ketenangan tidak serta-merta hadir di dalamnya.
Riuhnya ujian kehidupan seringkali menjadikan kemewahan, kenyamanan dan keamanan itu tidak lagi terasa nyata.
Ada saatnya kita harus tunduk dengan ketetapan meski terpaksa. Kembali melihat ke dalam diri sendiri, berkaca dan menata hati.
Kembali lagi harus bersiap menyambut takdir yang membuat kita bersedih dan kecewa. Persoalan itu bukan pada bergilirnya takdir baik dan buruk, tapi persoalan itu selalu ada pada cara kita menyikapi dan menerimanya.
Apakah kita akan melambungkan amarah, ataukah sepenuhnya bisa lapang dan berserah?
Allah, Dialah al-Lathif. Maha Lembutnya Allah, tapi seringkali kita berburuk sangka atas lembutnya penjagaan yang menghampiri.
Ada rasa seakan dikhianati atau dizalimi oleh Dzat yang Maha Pengasih, padahal Dia tidak pernah menzalimi makhluk-Nya sedikitpun. Itu semua karena kita begitu naif dan bodoh, sehingga mudah sekali menolak kasih sayang dan penjagaan-Nya dengan memilih lebih percaya kepada prasangka dan pola pikir kita semata.
—SNA, Ruang Untukku #113
Kamis, 29-06-2023 | 00.41
Venetie Van Java,
Hari Idul Adha 1444 Hijriyah
4 notes · View notes
ruanguntukku · 1 year
Text
Akan selalu ada perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hidup kita.
Karena proses yang dilalui sangat beragam.
Aku nggak tau ke depannya kita akan berubah seperti apa.
Tapi, selalu ada bagian tidak terduga yang terjadi di kehidupan nyata, yang selama ini coba kita persingkat dan perindah di dalam angan-angan.
Mungkin, ada sebagian orang yang memiliki perspektif bahwa menuliskan semua kegundahan dan kesedihan adalah hal yang menjijikan dan terhina.
Tapi, sebenarnya buatku itu sebagai sebuah penanda.
Aku akan melaju dan berkembang sejauh apa nanti di depan, setelah berada pada titik yang memilukan?
Supaya itu menjadi rekam jejak, bahwa aku pernah begitu lemah dan dengan kasih sayang-Nya, aku dikuatkan sampai di hari ini.
Di hari yang mana aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya, dengan segenap perubahan-perubahan yang terjadi dalam diriku.
Dan semoga itu bisa jadi pengingat sekaligus penguat untuk menghadapi ujian selanjutnya di masa depan.
Jadi, tidak perlu menghakimi proses seseorang, hanya berdasarkan sudut pandang pribadi.
Tidak semua orang berpikir yang sama sepertimu dan tidak semua pihak yang kamu tuduh sejalan dengan prasangkamu.
Jadilah kuat, tanpa mencela proses juang orang lain.
Jadilah bijak, tanpa perlu menginjak-injak hidup orang lain.
Setiap manusia memiliki derajat yang berbeda di mata Allah.
Begitu pula proses kehidupan yang tidak sama. Proses juang yang tidak sama. Kepribadian yang tidak sama.
Selama saudarimu tidak melakukan perbuatan yang mendurhakai-Nya, maka doakanlah yang terbaik, bukannya meninggi dengan merasa dirimu yang lebih baik.
Kita tidak pernah punya kewajiban untuk menjelaskan apa yang tersembunyi di dalam hati kita kepada dunia, karena itulah hakikat manusia, paling senang untuk menghakimi dan merasa paling tahu perihal hati orang lain.
—SNA, Ruang Untukku #76
Jum'at, 11-11-2022 | 23.33
Venetie Van Java,
Dengan segala rasa.
10 notes · View notes