leadmetojannah
leadmetojannah
My Introvert Side
96 posts
Mengarsipkan keresahan, perspektif, pengalaman, kontemplasi, dan pengingat diri.
Don't wanna be here? Send us removal request.
leadmetojannah · 2 years ago
Text
Ketika kita menginginkan sesuatu tapi gagal mendapatkannya, maka kemungkinannya:
Kita cuma sekedar ingin, gak benar-benar butuh.
Kita belum layak, atau belum berkapasitas untuk memilikinya/menjalaninya.
Sesuatu tersebut bukan untuk kita, atau bukan yang terbaik bagi kita.
Ya memang bukan takdirnya aja. Lagi-lagi semua terpulang pada takdir, sekecil apapun urusannya/perkaranya.
Jember, 10 Februari 2023
12 notes · View notes
leadmetojannah · 2 years ago
Video
tumblr
Perempuan-perempuan Mandiri: Renungan Untuk Para Lelaki
Kemaren teman saya mengirimi saya video di atas via WhatsApp. Saya disuruh nonton sampai akhir. Kalo kamu/kalian kebetulan baca post ini, simak juga video di atas sampai akhir. Lalu, apa yang ada di pikiran kalian saat mendengar frase “independent woman” atau “perempuan mandiri”?
Setelah saya coba ‘observasi’, ternyata sampai sekarang masyarakat kita (terutamanya kaum hawa) sering mendefinisikan “perempuan mandiri” hanya dari satu sisi/satu bentuk aja, yaitu “mandiri secara finansial”. Jadi yang dikatakan sebagai “perempuan mandiri” adalah perempuan yang sudah secure dan stabil secara finansial, atau perempuan yang pekerja keras, atau perempuan yang sudah punya tabungan banyak. Padahal ada beberapa bentuk/macam kemandirian, yaitu:
1) Mandiri secara emosinal (kemandirian emosional): Kemampuan mengontrol emosi sendiri dan gak tergantung kebutuhan emosi orang lain. Ini banyak contoh-contohnya seiring dengan perubahan/perkembangan zaman, apalagi sejak mental health jadi issue yang sering dibahas.
2) Mandiri secara finansial (kemandirian ekonomi): Kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan gak tergantung pada kebutuhan ekonomi orang lain. Ini yang sering jadi ‘momok’ bagi para lelaki dan membuat mereka insecure/minder untuk mendekati si perempuan, terutama perempuan pebisnis dan sudah sukses dalam bisnisnya.
3) Mandiri dalam berpikir (kemandirian intelektual): Kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Kemandirian intelektual ini ada banyak macamnya, salah satunya adalah dari segi pendidikan. Ini juga yang sering ditakuti oleh para lelaki. Minder/insecure untuk mendekati perempuan yang berpendidikan tinggi, atau perempuan yang pendidikannya di atas dirinya. Padahal belum tentu gelar sebanding dengan intelektualitasnya. Gelar juga belum tentu cerminan kompetensi. Bisa jadi meskipun pendidikan seorang laki-laki gak begitu tinggi, dia punya beberapa kelebihan yang gak dimiliki oleh perempuan yang berpendidikan tinggi.
4) Mandiri secara sosial (kemandirian sosial): Kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan gak bergantung pada aksi orang lain. Ini mah “gue banget” sejak SD, wqwqwwq.
5) Mandiri dalam tingkah laku (kemandirian bertindak): Kemampuan untuk melakukan banyak aktivitas/tindakan dan juga kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab. Ini juga cukup ditakuti oleh para lelaki. Contoh sederhananya, cukup banyak perempuan yang gak diizinkan untuk belajar mengemudi mobil oleh suaminya, khawatir nanti jadi doyan pergi kemana-mana kalo sudah bisa nyetir mobil sendiri, wqwqwq. Jadi kalo kemana-mana biarkan diantar oleh suaminya aja.
Menurut saya, nyaris gak ada perempuan yang mandiri dalam berbagai hal, karena mereka pasti masih membutuhkan (seorang) laki-laki—at least, laki-laki dibutuhkan sebagai partner diskusi dan brainstorming.
Kalo kita mau mengambil contoh atau role model sosok perempuan yang mandiri, gak perlu jauh-jauh. Tengok saja Bunda Khadijah. Beliau adalah pebisnis yang sukses. Dan kalo kita mau mengambil contoh atau role model sosok laki-laki yang ber-VALUE, gak perlu jauh-jauh juga. Tengok saja Rasulullah Saw.. Nabi Muhammad gak minder dengan kesuksesan Bunda Khadijah sebagai pebisnis dan jelas-jelas mapan secara finansial.
Dan kalo kita mau mengambil contoh atau role model sosok perempuan yang mandiri dan intelek, tapi bisa menundukkan egonya sehingga gak membuat sisi qawwam suaminya jatuh, ya tengok lagi aja Bunda Khadijah. Perbedaan usia yang terlampau jauh dengan Rasulullah Saw. gak menjadikan Bunda Khadijah ‘semana-mena’ dan mengungguli Rasulullah Saw.. Beliau justru merupakan perempuan yang paling tunduk pada suaminya.
“Jadi perempuan jangan terlalu mandiri. Nanti gak ada cowok yang mau deketin. Nanti susah dapat jodoh.” — Begitu kata kebanyakan warga +62. (Lah, kok jatuhnya malah nyalahin perempuan, ya??? Itu mah problem-nya laki-laki yang insecure. Wqwqwq.)
Perempuan-perempuan yang mandiri hanya untuk laki-laki yang ber-VALUE. Dan laki-laki yang ber-VALUE hanya untuk perempuan-perempuan yang mandiri (juga). — Bukan dalil Quran maupun Sunnah, wqwqw.
Opini kita mungkin berbeda. Tapi kalo saya pribadi memandang bahwa laki-laki yang paham makna ‘mandiri’ pasti akan merasa sangat beruntung mendapatkan pasangan hidup berupa perempuan yang mandiri, tanpa merasa tersaingi atau diungguli. Mereka justru bersyukur dan bangga karena sudah dipilih dan dipercaya oleh perempuan yang picky (pilih-pilih pasangan/selektif banget). Mereka juga justru bangga terhadap perempuannya dan menghargai perempuannya. Sebab menjadi individu yang mandiri itu butuh proses dan perjuangan, dan seringkali mereka terbentuk seperti itu karena tempaan hidup atau ujian hidup. Mereka adalah perempuan strong, tapi juga butuh seorang lelaki yang bisa mereka percayai.
Dan kamu, kamu termasuk perempuan/laki-laki yang seperti apa?
Mari merenung.
Jember, 30 Januari 2023
14 notes · View notes
leadmetojannah · 2 years ago
Text
Thoughtful Conversationalist(s)
Memang gak bisa dipungkiri, cara bicaranya orang yang berilmu, berwawasan luas, dan open minded itu memang beda. Mereka bisa berbicara dan menanggapi lawan bicaranya dengan kalimat yang terstruktur/tertata, bermakna, jelas, dan gak judgemental.
Berilmu, berwawasan luas, dan open minded bukan berarti mereka pasti adalah orang yang cerdas. In my view, ‘cerdas’ is a different topic. Jadi, belum tentu mereka cerdas. Orang yang cerdas pun belum tentu berilmu, berwawasan luas, dan open minded. Terkadang omongannya orang cerdas justru menyakitkan hati, wqwq.
“Yang benar belum tentu bijak.”
Saya lupa quote itu dari siapa. Sepertinya pernah saya dengar dari salah satu video YouTube-nya Gita Wirjawan. Sebelum saya dengar quote itu, sepertinya saya sudah menerapkannya sejak sebelum pandemi. It is always a reminder for me.
Menurut saya, yang menggiring seseorang menjadi a thoughtful conversationalist adalah banyak mendengar, banyak membaca, banyak ngobrol dengan orang-orang yang berbeda latar belakang & keilmuan, dan pandai menempatkan diri. Pendidikan formal sampe gelar ‘profesor’ sama sekali bukan jaminan bagi seseorang untuk menjadi a thoughtful conversationalist. :)
Jember, 17 Januari 2023
7 notes · View notes
leadmetojannah · 2 years ago
Text
Refleksi Perdana di 2023
Sebenarnya saya bingung mau nulis apa di post ini, wqwq. Padahal di separuh 2022 kemaren ada beberapa hal yang pengen saya tulis, tapi gak sempat, karena prioritas hidup ini sudah berubah. :’)
But my reflection on life and what I’ve been through is what led me here.
Pertama-tama, terimakasih untuk tahun 2022 yang berhasil menguras duit saya dan orang tua saya, karena banyak banget pengeluaran untuk kesehatan, mulai dari kesehatan badan sampe gigi. Tahun 2022 adalah tahun dimana saya dan orang tua saya sering diuji dengan sakit. Di tahun itu pula, saya terpaksa harus odontektomi (operasi gigi bungsu) sesegera mungkin dan tentunya tanpa BPJS. Level dan skill ‘pasrah’ saya semakin meningkat gegara saya lumayan sering ke RS untuk kontrol ke dokter. Pemandangan di RS selalu membuat saya overthinking, “Siapa yang nanti akan merawat saya kalo saya sudah tua?”. Lalu ‘ibu peri’ di sebelah saya seolah berkata, “Allah yang akan jaga kamu nanti. Pasrah aja.”
Kedua, saya merasa emotional intelligence skills saya meningkat. Sejak saudara kembar saya dinyatakan lolos beasiswa LPDP dan fix akan berangkat studi ke Belanda, di tahun 2022 kemaren saya lebih banyak waktu untuk deep talk, sharing, dan brainstorming dengan saudara kembar saya. Ternyata semakin bertambahnya usia kami, pemikiran dan perspektif kami banyak yang sama. Dan ternyata, kami juga punya cara yang sama dalam merespon beberapa macam situasi dan menyikapi berbagai tipe manusia.
Ketiga, saya menikmati rasanya hidup tanpa ‘ambisi’, yang penting mengalir gitu aja (asalkan saya masih punya tujuan, prinsip hidup, dan juga value). Ternyata ini juga yang dirasakan oleh saudara kembar saya. Kita berdua sering bilang “enough”. Ternyata capek juga sama hidup dan capek mengikuti derasnya perkembangan zaman, wqwq. :’)
Keempat, saya mengakui bahwa ada beberapa perspektif saya yang berubah terhadap beberapa hal, termasuk perihal jodoh dan pernikahan. Memang benar bahwa perspektif biasanya akan berubah seiring bertambahnya buku yang dibaca, bertambah beragamnya manusia yang ditemui, dan semakin seringnya ‘dihantam’ oleh realita kehidupan.
Kelima, saya semakin menikmati masa jomblo saya dengan upgrade diri tanpa terbebani oleh tanggung jawab yang lain. Bukan berarti saya ‘terlena’ dengan kejombloan dan gak pengen menikah, tapi saya benar-benar pasrah dengan takdir Allah. Semoga kelak Allah hadirkan seseorang yang benar-benar bisa saya taati dan patuhi, yang membuat saya benar-benar ikhlas mengabdi padanya dan ikhlas menghabiskan sisa hidup saya dengannya.
Jember, 16 Januari 2023
0 notes
leadmetojannah · 3 years ago
Text
EPON
Entah kenapa belum pernah ada keinginan buat selfie (atau apalah istilahnya) di depan cermin atau ala-ala di dalam rest room pake EPON. Semakin banyak orang yang melakukannya & menginginkan untuk melakukannya, semakin saya gak pengen (alias menghindari). Wqwqwq.
Sekarang EPON bukan cuma dimiliki oleh orang yang berduit. Cukup banyak teman-teman saya yang pada beralih ke EPON setelah 2-3 bulan kerja. Atau mungkin ada yang memaksakan buat beli meski secara finansial gak mampu buat membelinya.
Entah kenapa, saya juga gak yang “pengen banget” gitu punya EPON, meski nanti mampu membelinya. Mungkin karena saya sudah terbiasa dengan ekosistem Android. Tapi yang terpenting bagi saya, fungsi utama smartphone adalah untuk berkomunikasi, bekerja, dan belajar. That’s enough for me to make my life easier. Jadi ya bukan buat gaya-gayaan. Fitur-fitur di Android aja ada sekitar 50% yang belum saya maksimalkan, belum saya berdayakan, bahkan ada beberapa fitur yang fungsinya aja pun saya gak tahu buat apa. Wqwqwq. 
Gak akan malu juga kalo misal suatu saat nanti banyak orang yang sudah meninggalkan Android dan pada beralih ke EPON sedangkan saya masih setia pake Android. Saya akan malu kalo saya ‘upgrade’ smartphone ke EPON, tapi isi otak saya nol (alias gak di-upgrade).
Jember, 4 November 2022
1 note · View note
leadmetojannah · 3 years ago
Text
Merasa Lebih
Terkadang saya senyum-senyum sendiri melihat postingan netijen & netijat di beberapa belahan medsos, terutamanya Instagram. Entah itu di feed, story, atau reel, gak sedikit dari mereka yang cukup aktif posting hal-hal yang (sebenarnya) bukan kapasitasnya. Merasa sudah menebar manfaat, merasa sudah mengedukasi, dsb. Mungkin saya pun juga pernah begitu, hanya saja saya gak merasa atau gak ada yang berani berkomentar/menegur saya.
Misalnya aja, skor IELTS Speaking kita 8 (atau 8.5 deh, biar makin keren wqwqwq). Lalu gegara itu, kita sering menulis di story/di caption menggunakan Bahasa Inggris dan kita sudah merasa keren, ‘cool’, atau PD karena banyak orang yang meng-glorifikasi skor IELTS Speaking kita yang 8 itu tadi. Ternyata ada banyak kesalahan gramatikal dalam tulisan-tulisan tersebut yang gak kita ketahui karena kita memang gak punya ilmu tentangnya (tapi merasa sudah jago). Coba bayangkan kalo tulisan itu dibaca oleh follower(s) kita atau orang lain yang memang jago English. Coba bayangkan kalo kita ditegur langsung oleh follower(s) kita atau orang lain yang memang jago English. Akan kah kita merasa malu atau bahkan insecure? Akan kah kita menerima bahwa skor IELTS bukanlah satu-satunya tolok ukur proficiency English seseorang?
Gak sedikit juga orang-orang yang pura-pura bodoh/polos dengan menanyakan banyak hal pada kita. Padahal sebenarnya mereka cuma pengen nge-tes pengetahuan/wawasan kita, atau cuma pengen tahu sudut pandang kita, atau cuma pengen tahu value kita, atau cuma pengen tahu kapasitas keilmuan kita. Lalu kita menjawabnya dengan ‘belagu’ dan ‘sok tahu’. Dan merasa sudah mengedukasi (sese)orang lewat jawaban-jawaban kita. Dan parahnya lagi kalo kita sampai merasa lebih baik karena ada (sese)orang yang ternyata gak lebih tahu dari kita.
Seringkali kita merasa ‘lebih’—entah itu lebih baik, lebih bisa, lebih jago, lebih pandai, lebih berpengetahuan, lebih sholih(ah), lebih berilmu, lebih menebar manfaat, dll. sebelum kita:
dipertemukan atau menemukan orang-orang yang lebih dari kita
diperlihatkan atau melihat orang-orang yang lebih dari kita
Kita hanya belum tahu atau bahkan gak tahu aja kalo di luar sana masih banyak orang-orang yang lebih dari kita.
Jember, 26 September 2022
2 notes · View notes
leadmetojannah · 3 years ago
Text
“Aku pikir, aku lebih menderita/lebih sakit/lebih berat ujiannya. Ternyata aku masih mending, ada orang-orang yang lebih parah/lebih berat ujiannya daripada aku.” — Kata sebagian besar dari kita
Allah itu paling adil & paling bijak dalam urusan "memberi ujian pada hamba-Nya". Segalanya sudah didesain & disesuaikan dengan kapasitas masing-masing hamba-Nya dalam menerima & menjalaninya. Jadi, gak ada yang lebih mending/lebih ringan/lebih parah/lebih berat/lebih menderita, dsb.
Jember, 12 Juni 2022
4 notes · View notes
leadmetojannah · 3 years ago
Text
Spesialis
Spesialisasi dalam suatu bidang/ilmu pada dasarnya membuat POV kita semakin sempit. Ketika ada suatu bahasan/issue/problem yang berkaitan dengan bidang yang kita dalami/tekuni, kita cenderung melihatnya hanya dari perspektif spesialisasi kita.
Saya pernah beradu argumen dengan teman saya yang memiliki spesialisasi dalam 2 bidang. Kita berargumen tentang definisi dari suatu kata. Dan benar, dia memandang definisi + makna dari kata itu hanya berdasarkan perspektif spesialisasi dia. Padahal saya sudah memberikan banyak contoh + fakta di luar bidang dia, tapi dia tetap ngeyel. 😂 Butuh waktu lama sampai akhirnya dia mau menerima dan membenarkan argumen saya. 😂 Menjadi spesialis itu bagus banget. Tapi seharusnya diimbangi dengan menambah wawasan/knowledge terhadap ilmu-ilmu/bidang-bidang yang lainnya, agar POV kita gak sempit. Sebab dunia ini kompleks. 😂 Ketika ada suatu bahasan/issue/problem yang berkaitan dengan spesialisasi kita, kita gak hanya melihatnya dari perspektif bidang yang kita dalami/tekuni aja, tapi juga melihatnya dari perspektif bidang/ilmu yang lain. Ini juga penting banget untuk mengasah skill empati kita. :)
Jember, 2 Juni 2022
1 note · View note
leadmetojannah · 3 years ago
Text
Hal-hal yang Sebaiknya Tidak Ditanyakan Sebelum Menikah
Saya yakin judul post ini memancing beberapa pembaca untuk berkomentar/beropini, entah itu berkomentar secara langsung ataupun dalam hati (kalo sungkan), wqwqwq. Judul post ini juga agak membingungkan dan gak jelas. “Tidak ditanyakan sebelum menikah”, ditanyakan kepada siapa? Ok, let me start ‘lecturing’ you.
Beberapa minggu yang lalu sampe sekarang, lagi viral sebuah Tumblr post yang berjudul “Sebelum Genap”. Silakan baca di sini, di sini, atau di sini. Coba baca komentar-komentar para pembaca.
Berdasarkan pengalaman saya pribadi dan pengalaman teman-teman saya selama berproses menuju pernikahan, saya lebih cenderung pada komentar/reblog-an yang ini. Selain itu, si komentator lebih bijak, lebih tahu kronologinya, dan lebih paham apa alasan selebgram/seleb Tumblr tersebut share atau mengangkat hal-hal semacam itu di Instagram story.
Sekitar 4 bulan lalu, saya pernah menulis tentang ini (SEKUFU). Meskipun saya 80% setuju dengan apa yang disampaikan oleh selebgram tersebut di Instagram story-nya hingga kemudian dirangkum sedemikian rupa oleh viewers-nya/pembacanya, tapi saya TIDAK SETUJU jika kita menanyakan hal-hal terkait pernikahan kepada selebgram atau seleb-seleb yang lain, apalagi meminta nasihat/pertimbangan/saran. Menanyakan hal-hal semacam itu lucu aja menurut saya. Bahkan mungkin bagi sebagian orang itu adalah hal yang bodoh.
Jadi yang saya maksud dalam post saya ini adalah “Hal-hal yang sebaiknya tidak ditanyakan KEPADA ORANG LAIN (siapapun itu, termasuk selebgram dan ustadz) sebelum menikah”. KENAPA? 1) Selebgram gak mengerti background diri kita dan segala upbringing kita. 2) Setiap orang punya prinsip dan value masing-masing. 3) Isi kepala dan sudut pandang setiap orang berbeda.
Makanya, saya pribadi menganut konsep “MENGENALI DIRI SENDIRI” dan “MENINGKATKAN KAPASITAS DIRI”, seperti yang saya tulis di post saya tentang “sekufu”. Semakin kita mengenali diri sendiri dan semakin kita meningkatkan kapasitas diri, kita akan semakin paham apa saja yang kita butuhkan + inginkan dalam pernikahan, semakin bertambah kedewasaan + sudut pandang kita tentang pernikahan, dan akan berubah pula cara berpikir kita tentang pernikahan.
Ketimbang bertanya pada orang lain, ustadz, selebgram, atau seleb-seleb lain yang isi kepalanya berbeda-beda, lebih baik jika kita menyimak atau membaca cerita/kisah orang-orang yang share (secara cuma-cuma) pengalaman mereka sebelum menikah, saat proses menuju pernikahan, dan saat menjalani kehidupan pernikahan/rumah tangga. Biasanya dari situ kita bisa mendapat insights, pelajaran, atau hikmah — meskipun lagi-lagi kita gak harus sependapat dengan apa yang mereka share.
Kalo kita mengaji dan berguru pada ulama yang ilmunya tinggi, ahli tafsir, dan se-alim Gus Baha’ pun, pasti beliau menyarankan dan seringkali dawuh yang kurang lebih seperti ini: “Cari jodoh itu gak perlu ribet-ribet, yang penting sholat dan puasa.”. Nah, apakah itu make sense dan cocok bagi semua orang? Ya pastinya tidak.
Meminta saran, nasihat, pendapat, atau arahan itu ya boleh-boleh aja — terutama kepada orang-orang sholih(ah), orang-orang yang berilmu, dan orang-orang terdekat kita (seperti keluarga misalnya). Tapi lagi-lagi, saran/nasihat mereka gak harus kita ikuti. Lagi-lagi kembali pada keputusan kita sendiri, sebab yang lebih tahu segala hal tentang diri kita adalah DIRI KITA SENDIRI. Dan mohonlah selalu petunjuk dari Allah, yang Maha Membimbing.
Bagi kita yang sering hadir di majelis-majelis ilmu (kajian) dan pernah ngaji kitab-kitab tentang pernikahan + rumah tangga, pasti seringkali kita temui guru-guru atau kyai-kyai kita yang menyarankan untuk mengamalkan doa atau dzikir ini itu untuk mempermudah memperoleh jodoh, agar lancar proses pernikahannya, agar dikaruniai pernikahan yang samawa, dsb. Menurut saya, cukup amalkan maksimal 3 doa saja, gak perlu banyak-banyak. Pilih aja yang menurut kita maknanya paling kita sukai dan sesuai dengan kebutuhan kita. Sebab amalan/doa-doa yang berkaitan dengan jodoh dan pernikahan itu banyak banget, gak mungkin kita mengamalkan banyak doa apalagi semuanya. Wqwqwq.
Lebih enak lagi kalo (misal) kita adalah seorang santri dan nama kita dikenal di kalangan para guru dan orang-orang sholih. Sudah pasti kita bisa minta bantuan istikhoroh dari guru dan orang-orang sholih yang kita percayai. Jadi kalo mereka setelah istikhoroh bilang gak ‘sreg’ atau gak cocok, ya kita tinggal ikut aja apa kata mereka. Enak toh?
Hal yang PENTING BANGET kita pahami adalah, perkara jodoh dan bagaimana perjalanan kehidupan pernikahan adalah tentang TAKDIR, bukan perkara “siap/gak siap” atau “sudah menyiapkan ilmunya atau belum”. Proses menuju pernikahannya mulus dan berasa semuanya baik-baik aja, tapi bisa jadi di tengah-tengah kehidupan rumah tangganya tiba-tiba terjadi konflik yang menyebabkan perceraian. Who knows? Saya pernah mendengar beberapa cerita/kisah yang seperti ini, yang berujung pada perceraian. Saya sendiri pun juga pernah dicurhati oleh beberapa teman saya yang mengalami kasus serupa, tapi untungnya mereka masih bisa mempertahankan rumah tangganya. Iya, itulah takdir. Kalo sampai bercerai, ya berarti mereka gak ditakdirkan berjodoh sampai surga.
Di kehidupan nyata saya, TAKDIR sudah seringkali membuktikan bahwa kesiapan bukanlah tolok ukur (kesiapan ilmu, finansial, mental, fisik, dsb.). Sebab kesiapan itu adalah menurut pandangan kita (sebagai manusia), bukan menurut pandangan Allah. Tapi ya bukan berarti kita berhenti belajar dan mempersiapkan. Lanjutkan segala persiapan kita!
Apakah TAKDIR itu bisa dirubah dengan doa ataupun ikhtiar, hanya Allah yang tahu, ilmu kita gak mampu menafsirkan. Sepengetahuan saya, para ulama juga berbeda-beda pendapat tentang ini.
Dan berhubung ini adalah bulan Syawal, pasti banyak yang nikah, wqwqwq. Ada sebuah hal yang membuat saya terus mempertanyakan karena saking minimnya ilmu saya, yakni terkait sighat ijab dan qabul. Beberapa hari lalu sempat saya tanyakan kepada salah satu santri alumni Lirboyo, tapi beliaunya belum berani menjawab.
Tumblr media Tumblr media
Kepada para netijen & netijat yang berkapasitas secara keilmuan dan kebetulan lagi baca post ini, hamba yang faqir ilmu ini mohon pencerahan, komentar, dan ilmunya terkait screenshot di atas. Hehehe.
Jember, 8 Mei 2022 (7 Syawal 1443 H)
56 notes · View notes
leadmetojannah · 3 years ago
Text
Life Update: 1 Syawal 1443 H
1) Baju Lebaran
Ini adalah ke-6 kalinya (tahun ke-6) saya gak mengenakan baju baru saat Idul Fitri. Alasannya: 1) Saya jarang banget beli baju (online/offline), sebab ukurannya pasti gak cocok dan saya kurang suka bahannya maupun style/model-nya. Jadi saya lebih suka jahitkan ke penjahit. 2) Kalo saya jahitkan baju pasti bukan karena untuk dipake lebaran, tapi ya memang kalo lagi butuh/pengen baju baru. 3) Baju baru saat lebaran gak penting bagi saya dan bukan prioritas. 4) Mengutip sebuah kalam ulama sholihin dari kitab Hasyiyah Bujairimi Alal Khatib: “Hari Raya Eid bukanlah untuk seseorang yang memakai pakaian baru, akan tetapi Hari Raya Eid adalah untuk seseorang yang nilai ketaatannya bertambah.”
2) Foto-foto
Lebaran tahun ini gak ada foto-foto bareng keluarga besar, padahal saya punya keluarga besar dan kumpul bareng. Alasannya: 1) Banyak anggota keluarga yang gak tertarik buat foto-foto. 2) Kami benar-benar menikmati momen kumpul bareng tanpa sibuk dengan smartphone masing-masing + media sosialnya. 3) Banyak diantara mereka yang pikirannya sibuk dengan "manajemen waktu” unjung-unjung. Biasanya keluarga besar saya sangat ‘antusias’ foto-foto kalo ada acara keluarga seperti: nikahan salah satu anggota keluarga, pengajian keluarga besar, rekreasi/mengunjungi suatu tempat bareng keluarga besar, makan-makan, dll. Jadi lebaran tahun ini saya sama sekali gak punya foto keluarga besar, hahaha!
3) Angpao Lebaran
Sepertinya sekarang sudah gak jaman kasih angpao Idul Fitri ataupun THR pake duit, tapi pake EMAS. Wqwqwq. Kemarin di keluarga besar saya juga ada yang kasih gold gift/emas. Menurut saya positifnya adalah: 1) Gak bisa langsung dipake jajan sama anak-anak. 2) Mengajarkan anak-anak untuk belajar investasi + menabung. 3) Ada dalam kendali orang tuanya (dipegang orang tuanya).
4) Silaturahmi/Unjung-unjung
Gara-gara gak pernah olahraga, cuma nyupir PP Jember—Lumajang pake mobil manual bikin badan saya berasa kena efek faktor ‘U’. Kalo PP berarti totalnya 3,5 jam. Dan sempat kesasar beberapa kali di area Lumajang kota. Ya gitu deh, kalo supirnya cewek kurang bisa diandalkan, hahahaha!
5) Kata-kata Horor
Di keluarga besar saya sama sekali gak ada yang tanya “Kapan nikah?”, gak ada yang nyuruh buat cepetan nikah, dan kalimat-kalimat lain sejenisnya. Beberapa diantara mereka justru “sadar diri” dan bilang “Kalo memang belum jodohnya, ya gak bakal jadi.”. Kalo di keluarga besar bapak saya sih, saya gak tahu gimana mereka menyikapi terkait hal ini. Sebab lokasinya berjauhan, jadi jarang banget bisa silaturahmi ke mereka. Semoga mereka bisa jaga lisan juga. Wqwqwq.
Jember, 3 Mei 2022
1 note · View note
leadmetojannah · 3 years ago
Text
Bukan Berfatwa
Tumblr media
Minggu lalu saya dapat chat seperti itu. Orang yang kebetulan baca post ini mungkin gak setuju dengan sikap saya yang membolehkan tersebut.
Tapi gini loh gaes. Kalo kita mau berpikir lebih dan try to put ourselves in other people’s shoes, kita pasti akan lebih bijak dalam bersikap.
Orang-orang dengan kondisi seperti di chat tersebut, hati dan pikirannya bimbang atau bahkan ‘tertekan’. Bisa jadi juga hatinya menangis. Mereka benar-benar gak ingin melakukan, tapi terpaksa melakukan.
Syeikh Nawawi dalam kitab Qomi'ut Thughyan menyatakan bahwa iman ada 77 cabang. Saya yakin orang-orang Muslim yang bermaksiat dengan campur baur laki-laki & perempuan di sebuah konser musik pun masih ‘memiliki’ Allah dalam hatinya. Mereka yang cuma “Islam KTP” pun masih mengakui Allah sebagai Tuhannya.
Jadi lucu aja sih, kalo kita gampang melabeli “tasyabbuh bil kuffar” atau “calon neraka” atau “bukan ummatnya Rasulullah” pada sesama Muslim cuma gara-gara mereka mengucapkan “Happy Easter” ataupun “happy-happy” yang lainnya.
Pun dalam perayaan hari besar agama lain. Ketika ada teman saya yang bertanya tentang hukum atau “gimana kalo mengucapkan ini itu”, saya mengembalikan kepada yang bertanya/yang bersangkutan, sebab yang paling mengerti kondisinya adalah yang menjalani. Tapi saya selalu menekankan, sebisa mungkin jangan sampai ikut berpartisipasi/merayakan event-nya, cukup sebatas mengucapkan aja. Ini bukan berarti secara umum saya ‘membolehkan’ mengucapkan ini itu ke non-Muslim loh ya.
Terkadang kita dapati ada kyai-kyai yang bersalaman dengan non mahram di kondisi/situasi tertentu. Tentu saja mereka melakukan itu berdasarkan ilmu dan sudah banyak pertimbangan. Salah satunya misalnya, mereka melakukan itu karena mereka tahu bahwa dosa tersebab bersalaman dengan non mahram bisa dihapus dengan wudhu. Who knows?
Semoga semakin luas ilmu kita, semakin gak gampang melabeli, menghakimi, ataupun menyalahkan orang lain.
Jember, 24 April 2022
0 notes
leadmetojannah · 3 years ago
Text
This post really speaks to me.
Jember, 18 April 2022
Konsep Diri (?)
Kalau baca pertanyaan di inbox, saya ngerasa perlu loading agak lama untuk mencerna pertanyaan tersebut. Kadang, pertanyaan tersebut nggak bisa langsung dijawab karena harus mengendapkan ide plus mikir-mikir juga, apa beneran yang terjadi kayak gitu ya?
Sekitar dua bulan lalu, ada pertanyaan semi curhat yang cukup panjang di inbox. Tapi karena yang bertanya nggak berkenan namanya dipublish, saya merangkum pertanyaan tersebut kurang lebih seperti ini:
Kalau kita dilahirkan dengan fisik yang tidak sempurna, bagaimana kita menghandle perasaan:
Merasa tidak diinginkan oleh orang lain karena ketidaksempurnaan fisik kita
Rasa tidak nyaman ketika orang lain memandang kita dengan pandangan mengasihani.
Perasaan seperti ini tuh tricky banget ya. Seperti nggak nyata tapi nyata. Seperti mitos tapi beneran ada.
Kita mungkin sering mendengar orang lain mencoba menawarkan rasa nyaman ke kita dengan kata-kata:
"Semua manusia itu setara di hadapan Allah"
Tapi di kehidupan nyata, kita mungkin merasakan bahwa manusia secara nggak sadar memang memperlakukan kita dengan cara yang berbeda.
Pandangan kasihan dari orang lain bagi orang-orang dengan fisik yang berbeda tuh maknanya bisa banyak. Kadang-kadang, pandangan kasihan tuh bisa juga menimbulkan perasaan "tidak setara" alias merasa dianggap less human. Bukan salah yang memandang dan yang dipandang. Ya gimana ya wkwk. Emang budaya kita masih kayak gitu :))
Makanya sesekali kita memang perlu banget jujur sama perasaan kita biar kita bisa punya gambaran tentang mana yang bisa kita handle dan mana yang tidak.
Saya tumbuh dengan doktrin:
"Kalau kamu nggak pinter, orang lain hanya akan melihat kamu sebatas fisik aja"
Saya pernah di fase beneran rajin belajar karena doktrin ini. Tapi apa yang dikatakan orang di sekitar saya adalah:
"Allah itu Maha Adil ya. Dia ngasih kamu kekurangan tapi di sisi lain, Dia juga ngasih kamu kelebihan. Otak kamu lebih encer dibandingin yang lain"
Meskipun pujian itu baik, saya tetep ngerasa pujian tersebut terasa nggak nyaman sekali. Pujian tersebut meniadakan apresiasi atas usaha kita wkwk. Ya meskipun semua keberhasilan itu datangnya dari Allah. Kenapa sih kita nggak bilang:
"Alhamdulillah. Selamat ya. Kamu sudah bekerja dengan sangat baik"
Sejauh apapun kita berjuang agar terlihat lebih di mata orang lain, mereka akan tetap melihat kekurangan kita. Saya berusaha realistis aja. Dibanding memikirkan bagaimana orang lain memandang saya, saya lebih suka ngerjain apa yang saya suka.
Apakah masalah akan selesai sampai di sini?
Nggak juga. Memfilter kata-kata yang masuk ke telinga kita bukanlah satu hal yang instan sehari, dua hari. Butuh menguatkan diri agar kita bisa memandang ekspektasi orang lain dengan datar aja. Nggak benci tapi juga nggak panik atas itu.
Ujian yang berhubungan dengan masalah semacam ini semakin gedhe pas saya masuk usia middle 20-an. Pas kita udah waktunya milih pasangan. Saya tuh nggak memandang rendah orang yang tertarik dengan orang lain karena fisik. Hal semacam itu tuh naluriah banget.
Tapi di sisi lain, saya juga merasa perlu ada kriteria bare minimum yang harus dipenuhi kalo mau ngajakin orang berpasangan.
Sering banget saya tuh dapat nasihat:
"Umur kamu tuh udah segitu. Nggak usah pilih-pilihlah. Lagipula, orang yang mau sama kamu tuh niatnya untuk ibadah. Udah nggak ngelihat fisik kamu lagi"
Pas awal denger, saya ngerasa dilema banget. Tapi endingnya ya cuma senyum ada dan jawab dengan:
"Doain aja ya"
Rasanya kok nggak ada manfaatnya berdebat untuk urusan semacam ini. Kita nggak bisa memaksakan persepsi orang lain tentang kita. Ya bisa sih kalo kita mencitrakan diri via medsos kayak afiliator binomo ~XD Tapi masak kamu mau hidup dengan cara seperti itu?
Mungkin di awal-awal kita bakal panik banget. Gimana kalo nggak ada yang mau? Tapi kalo kita berusaha menjalani dengan jujur, dengan tenang, lama-lama kita bisa juga kok mengatasi pemikiran semacam itu.
Setiap kali ada nasihat semacam itu, saya kembalikan lagi pada tujuan pernikahan. Kalau pernikahan tidak bisa dimulai dengan cara yang baik, ya buat apa? Kalau misal kamu punya suami yang nggak happy sama kehadiran kamu, apalagi sering mengungkit kekurangan yang nggak bisa kamu perbaiki, ya buat apa?
Kita perlu juga kok, sesekali punya pride sebagai manusia utuh yang punya sepaket kelebihan dan kekurangan. Meskipun orang lain cuma melihat kekurangan kita aja.
Bukan berarti kita jauh lebih hebat dibanding orang lain. Nggak juga. Kita dan orang lain tuh sama-sama punya kelebihan dan kekurangan. Tapi karena kekurangan kita udah banyak disebutin orang, kita perlu perlu berusaha waras menilai diri sendiri dengan mengakui hal-hal baik yang kita punya sebagai bagian dari diri kita.
Kalau kamu kerja dan bisa nabung, coba nabung buat konsul ke psikolog untuk membahas isu ini. Kadang persepsi kita tentang diri sendiri tuh lebih besar dipengaruhi sama faktor psikologis ketimbang kekurangan kita beneran.
Mungkin obrolan ini nggak bakal menjawab pertanyaan di inbox karena saya sendiri juga susah kalo disuruh menjelaskan detail prosesnya. Tentang gimana saya bisa santai aja menghadapi hal-hal semacam itu.
Yang saya sampaikan di sini yaaa.....biar kita belajar realistis. Sekalipun kita punya pandangan bahwa manusia itu setara dan kita percaya bahwa pandangan itu benar, kita nggak bisa mengubah perilaku orang lain biar ngikutin kita dalam sehari-dua hari. Yang bisa kita lakuin ya membangun self-esteem kita biar kita bisa hidup wajar dengan jiwa yang sehat sebagai manusia :)
Langkah lain yang perlu kita lakukan adalah berusaha konsisten memperlakukan manusia dengan setara.
Ndak papa kamu menolak orang lain jadi pasangan kamu karena kamu nggak sreg. Yang nikah tuh kamu, yang tau kebutuhan kamu ya kamu sendiri.
Tapi pada urusan di luar itu, semua orang sama. Kalau kita ngasih zakat atau sodaqoh ke orang-orang dhuafa, jangan pernah memandang mereka lebih rendah dari kita. Demikian juga ketika kita berdialog dengan teman difabel, jangan hanya memandang mereka sebagai orang difabel. Pandang mereka sebagai manusia yang lengkap dengan wawasan dan kompleksitas emosinya.
Butuh waktu yang cukup lama agar orang yang ngobrol sama saya tuh bisa mengawali obrolan mereka dengan:
"Kamu temennya xyz kan?"
"Kamu dulu yang bikin post tentang abcd kan?"
"Aku dulu lihat kamu jadi panitia di acara pqrs"
Dulu, tiap ada orang yang baru kenal, mereka sering nanya:
"Mata kamu kenapa?"
Saya sama sekali nggak keberatan ditanya tentang hal ini. Hanya saja, kalau kita mengawali obrolan dengan teman-teman yang fisiknya beda dengan awalan semacam ini........identitas mereka yang tertanam di kepala kita ya hanya "fisik yang beda" saja. Dimana hal semacam ini tuh kerasa less human karena kamu jadi kesulitan memulai obrolan tentang hal lain, kamu juga kesulitan membangun kenangan tentang mereka sebagai manusia yang mungkin saja ceria, mungkin saja suka galau, mungkin saja care dan seterusnyaa.....
Ingatan itu tersimpan di kepala kita seperti simpul. Sayangnya, simpul yang kita buat saat kita mengingat orang difabel ya difabelnya doang. Ini masalah bersama sih.
65 notes · View notes
leadmetojannah · 3 years ago
Text
Pemikiran Manusia
Ada yang kebanyakan baca buku, akhirnya jadi murtad atau bahkan atheis.
Ada yang sering bergaul atau bersosialisasi di lingkungan yang multikultural, akhirnya lepas khimar (kerudung).
Ada yang bertahun-tahun mondok/belajar agama di pesantren lalu mengenal dunia yang se-diverse ini, akhirnya menutup auratnya jadi versi minimalis.
Ada yang belum sampai 2 tahun hadir/ikut majelis ilmu (ta’lim), tapi sudah pintar menyalahkan ibadah dan amaliyah sesama Muslim lainnya dengan mengatakan bid’ah, syirik, musyrik, dsb. Padahal Muslim yang disalahkan oleh mereka juga punya hujjah-hujjah dan alasan yang kuat.
Nah, ada juga yang kebanyakan dan keseringan bertemu dengan orang-orang hebat dan sukses, justru jadi LUMPUH. Kok bisa? Tonton aja video ini.
youtube
Kalo kita bilang Instagram itu membosankan, isinya orang-orang yang pada pamer, dan berbahaya buat mental health, Tumblr pun sebenarnya juga ‘berbahaya’. Tumblr tampaknya cuma berisi tulisan, gak ada foto, gak menampilkan jumlah following dan followers, dan banyak pikiran-pikiran manusia yang keren-keren. Tapi justru tulisan dan pemikiran itulah yang “punya power”. Mana gitu kita juga gak tahu background si penulis/si pemilik akun (kecuali kita memang KEPO dan sering chatting-an/DM dengan yang bersangkutan).
Membaca tulisan-tulisan banyak orang di Tumblr hampir sama seperti kita membaca banyak buku—yang berpotensi changing (or at least shifting) our perspectives and the way we look at things. On here we see how different people think and express their point of view. Ya termasuk saya ini, wqwq. Meskipun sebuah akun Tumblr cuma berisikan curhatan atau misal dikhususkan untuk art/karya seni, tapi tetap aja itu merupakan representasi pemikiran pemiliknya.
Dalam berbagai sisi/aspek kehidupan, kita butuh yang namanya pondasi dan prinsip. Tujuannya agar kita punya filter, gak terombang-ambing, dan gak ikut-ikutan orang lain, apalagi sampai absorbing their thoughts right away without a second thought.
Terlebih lagi di era digitalisasi ini, banyak banget valuable knowledge and useful insights yang bisa kita dapat secara gratis, but on the other hand it causes us to experience “tsunami ilmu” or “tsunami info”. Kalo kita gak punya pondasi dan prinsip yang kuat, bisa jadi kita akan mengalami hal yang serupa dengan yang dialami oleh orang yang diceritakan dalam video di atas. Kita gak pernah tahu sejauh mana atau pada level mana seseorang bisa menjaga kesehatan mentalnya.
Belajar dan upgrade kapasitas diri itu memang perlu, tapi gak semua hal dari sana harus kita serap. Saya kenal beberapa coach (gak banyak kok, dikit aja, wqwqwq), karena teman dekat saya adalah seorang coach dan suaminya juga seorang coach. Their thoughts and how they manage their lives sound and look incredible. Apalagi kalo mereka sudah mengeluarkan kata-kata motivasi, wqwqwq. Tapi berhubung saya orangnya cukup saklek/kaku, banyak hal dari mereka yang gak bisa dan gak mau saya terapkan (dalam kehidupan saya). Sampai saya pernah bilang ke teman saya yang coach tersebut, “Maaf ya, seiring bertambahnya kedewasaanku, aku sudah gak tertarik dengan hal-hal yang bersifat persuasif.”
Dan dalam proses belajar, kita butuh batasan. Tentukan berapa jumlah maksimal guru/pembimbing/mentor/coach yang ingin kita ambil ilmu dan insights-nya. Tentukan berapa jumlah maksimal platform/media/akun/orang yang kita follow untuk kita ambil ilmu dan insights-nya. Setelah pondasi dan prinsip kita sudah terbentuk dan pemikiran kita sudah matang, bolehlah “traveling pemikiran” cuma untuk sekedar menambah point of view, agar empati kita lebih terasah, lebih bijak, gak merasa paling benar sendiri, dan gak kagetan kalo dunia ternyata se-diverse ini. Saya pun MASIH belajar. :)
Tumblr media
Jember, 3 April 2022
4 notes · View notes
leadmetojannah · 3 years ago
Text
Ramadhan 2022
Tumblr media
Ramadhan kali ini agak sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya, sebab saya akan ngaji (read: belajar) kitab yang saya centang merah secara intensif, yang katanya selama 20x pertemuan. Padahal kitab-kitab yang dicentang biru aja saya belum sepenuhnya paham meski sudah dijelaskan beberapa kali, hahahaha!
Setelah hampir 5 tahun 'muter-muter' cari guru yang tepat karena banyak banget pertanyaan yang belum terjawab/terselesaikan, alhamdulillah Allah kirimkan guru yang tepat tahun 2021 kemarin. Ilmu fiqih darah wanita memang gak ada habisnya untuk dipelajari, terlebih lagi buat kami yang sudah “memantabkan hati” untuk berpegang dan konsisten pada satu madzhab, yakni madzhab Syafi'i.
Ilmu ini gak bisa disepelekan, sebab benar-benar berkaitan dengan keabsahan ibadah kaum hawa. Saking khawatirnya sama urusan akhirat nanti, saya sering berdoa dalam hati, “Ya Allah, jangan hukum hamba kalo ada kesalahan-kesalahan dalam urusan ibadah (wajib) hamba. Setidaknya hamba sudah berikhtiar untuk mempelajari ilmunya.” :’(
Entahlah, Ramadhan tahun ini saya gak ‘muluk-muluk’ menetapkan target tertentu dalam hal ibadah maupun amaliyah. Tapi pengen fokus pada ilmu-ilmu fiqih ibadah (dan mungkin juga muamalah???) yang belum saya ketahui dan pelajari.
Selamat belajar! Semoga Ramadhan tahun ini berfaedah.
Jember, 1 April 2022
0 notes
leadmetojannah · 3 years ago
Text
HAHAHA SETUJU!!!
Sesuatu bisa menjadi trending karena banyak orang yang ‘latah’ ikut-ikutan membahasnya. Hal itulah yang membuat kita hidup di bawah tekanan, seolah-olah banyak banget hal yang belum kita ketahui, belum kita capai, belum kita kerjakan, belum kita pelajari, dsb. Akhirnya dan ujung-ujungnya, kesehatan mental kita terganggu.
Jember, 31 Maret 2022
Sering kali media sosial itu sungguh membosankan. Sedang tren masalah psikologis ‘semua orang’ bahas self healing self love self care dan self lainnya. Sedang tren bahas trading 'semua orang’ bahas trading, semua orang ingin kaya. Sedang tren bahas finansial 'semua orang’ bahas dana darurat, 25 tahun 100 juta, 30 tahun 1 miliar. Sudahlah… ambil saja buku buku di rak itu, duduk menepi di pinggir jendela sambil minum jus, teh, atau kopi. Belajar banyak bahasa yang ingin dipelajari, menguasai banyak keterampilan yang menyenangkan. Bercanda receh dengan orang tersayang. Ajak main kucing dan jangan lupa untuk selalu berjuang berbuat baik, tidak harus besar, mulai saja dari yang terjangkau. Biarlah orang orang itu berdebat seharian, biarlah mereka berlomba saling kejar kejaran. Biar mereka berbangga pada pencapaian yang entah ujungnya untuk apa dan siapa. Mungkin kita memang hanya perlu jadi marlin dan dori, keluar arus untuk tujuan hidup sesungguhnya yang perlu kita jalani.
Tumblr media
233 notes · View notes
leadmetojannah · 3 years ago
Note
Kak boleh rekomen buku yang mengasah nalar berfikir (islami) trimsss
Perbanyak baca buku-buku atau jurnal-jurnal yang berkaitan dengan epistemologi Islam dan Islamic Worldview.
Kalo saya biasanya baca tulisan-tulisan dari orang-orang/para peneliti INSISTS dan MIUMI.
Kalo buku, ini beberapa yang pernah saya baca:
1) Filsafat Ilmu: Perspektif Barat & Islam — Adian Husaini, dkk.
2) Islamic Worldview: Paradigma Intelektual Muslim — Abas Mansur Tamam
3) Rasional Tanpa Menjadi Liberal — Para Peneliti INSISTS
4) Islam dan Diabolisme Intelektual — Para Peneliti INSISTS
5) MISYKAT: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam — Hamid Fahmi Zarkasyi
6) Kritik Terhadap Model Pembacaan Kontemporer — CIOS UNIDA Gontor
7) Indahnya Keserasian Gender dalam Islam — Henri Shalahuddin
8) Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam — Siti Muslikhati
9) Delusi Kesetaraan Gender — Dinar Dewi Kania, dkk.
Jember, 17 Maret 2022
1 note · View note
leadmetojannah · 3 years ago
Text
Kemana Aja Aku Selama Ini?
2012–2014 adalah fase di mana kita baru mengenal Instagram. Kala itu pengguna Instagram masih sedikit, biasanya epone users yang bisa posting-posting di Instagram, wqwq. 2015–2018 adalah fase di mana Instagram “mencapai popularitasnya”. 2019–now, adalah fase di mana Instagram, TikTok, dan YouTube membuat kita menjadi makhluk yang super duper insecure.
Di ketiga platform tersebut banjir (digital) marketing. Semua orang pada jualan. Di ketiga platform tersebut pula bertebaran berbagai macam ilmu, perspektif, ocehan, informasi, influencers, dsb. Apalagi sejak adanya pandemi Covid-19, ketiga platform ini semakin riuh dengan pikiran, perspektif, dan ocehan manusia, sebab banyak orang menghabiskan waktu secara online.
Gegara ketiga platform itu pula, sekitar 3 tahun lalu beberapa kali terlintas di kepala saya, “Kemana aja aku selama ini? Kenapa aku baru tahu ini itu?”
Saya pernah menulis ini (klik di sini) awal Januari 2022 kemarin.
Dunia berubah begitu cepat. Technology changes, everything changes. 5 tahun yang lalu berbeda sekali dengan sekarang, apalagi 10–15 tahun yang lalu. I’ve been taking a trip down memory lane these past few weeks. Ternyata dulu sebelum usia 25 tahun saya sudah “pernah kemana-mana”, alias gak diam di tempat. I see myself in the past doing things. Versi "kemana-mana"-nya saya tentu berbeda dengan versi "kemana-mana"-nya orang lain.
I’m now at the point where I have accepted that masa lalu adalah suatu hal yang gak bisa saya kontrol. Apapun dan siapapun saya di masa lalu adalah kombinasi antara takdir + apa-apa yang saya lakukan/perbuat + privilege.
Dulu jaman saya kuliah sampe wisuda, gak ada kelas-kelas online tentang self-development, gak ada webinar-webinar yang membahas ini itu, gak ada LIVE Instagram dari para ahli, belum bermunculan fintech (kalopun sudah ada, bisa dihitung jari), dan sedikit pula channel-channel YouTube yang berfaedah + educating. Orang-orang yang satu generasi dengan saya berasa buta tentang masa depan dan hidup kurang terarah (atau bahkan ada yang sama sekali gak terarah).
Dulu jaman kuliah, saya lumayan sering join webinar dan online meeting cuma gegara jadi pengurus di sebuah organisasi internasional. Ya jelas aja isi webinarnya berbeda dengan webinar-webinar jaman now. Dan kala itu belum ada aplikasi Zoom, tapi pake Skype dan platform lainnya (saya lupa nama platform-nya, padahal dulu sering banget dipake untuk online meeting di organisasi, wqwqwq).
Jaman saya kuliah dulu juga belum ada influencers dan para ahli finansial yang ngoceh dan berbagi ilmu di medsos. Walhasil dulu saat kuliah cuma sebatas tahu manajemen keuangan dan macam-macamnya instrumen/produk investasi lewat matkul 3 SKS, dan gak paham gimana bentuk praktik real-nya, hahahahahahaha!!! Kalo di jaman itu sudah ada cryptocurrency, pasti dosen saya setidaknya bakal memberi insight kok, wqwqwq.
Jaman dulu saya pun juga gak bakal mengenal tentang mental health kalo bukan karena punya banyak teman online dari berbagai English-speaking countries di tahun 2010–2012. Sebab di Indonesia, hal seperti itu belum pernah diperbincangkan. Mental health dan hal-hal berbau psikologi mulai nge-hits diperbincangkan di tanah air ini sekitar tahun 2019.
Beruntunglah kalian yang lahir di atas tahun 1997, apalagi yang lahir tahun 2000-an. Kalian lahir ketika the internet and technology are ready to use. Hidup kalian menjadi lebih terarah. Apapun bisa kalian pelajari dan dapatkan di internet, asalkan punya privilege untuk beli Smartphone dan kuota internet, wqwqwq. Tapi, beban hidup kalian juga semakin berat. Persaingan juga dimana-mana.
Kemana aja aku selama ini?
Saya sudah (pernah) kemana-mana. I’ve been to “different places”. It’s just the world that keeps changing. There is always something new to learn every single day. Life is constantly showing me that I don’t know everything. And as you get older, you find new things that you NEED TO LEARN.
Jember, 3 Maret 2022
0 notes