Tumgik
#5CCday11
Text
Perjalanan pertama
Saat itu tepat di penghujung akhir tahun tepatnya di awal bulan November statusku resmi menjadi alumnus di salah satu kampus di kotaku
Hari itu mungkin menjadi hari yang sangat membanggakan untuk ibu dan bapak, yang sudah sangat bersemangat berangkat H-1 sebelum acara ke ibukota tempat dimana lokasi kampusku.
Untukku sendiri hari itu hari yang sangat mencemaskan karena itu hari terakhirku menjadi seorang mahasiswi. Dimana keadaan menuntutku dewasa lebih tepatnya bertanggung jawab dengan diri sendiri.
Dunia kerja itu kejam kata salah satu cerita senior kampus yang pernah ku dengar.
Setelah acara selebrasi itu berjalan dengan lancar. Malamnya menjadi ajang perenungan untukku.
"Setelah ini aku akan melanjutkan hidup bagaimana ya? Ada gak ya instansi yang akan menerimaku dalam waktu dekat ini." Bisingnya saat itu pikiranku.
Rasanya dulu fikiranku tidak sekelumit ini, setelah sd udah tau mau lanjut ke smp dan seterusnya sampai ke jenjang perkuliahan.
Tapi sekarang rasanya dunia menuntutku lebih bekerja keras lagi.
Malam itu pencarian social mediaku penuh dengan history akun-akun lowongan kerja. Dan ditutup dengan sebuah pengharapan semoga hari esok ada kabar baik.
8 notes · View notes
faizaalbi · 2 years
Text
Ep. 1
"Makasih banyak bu."
Kalimat ini terdengar berganti-gantian. Para mahasiswa yang menunjukkan rasa berterima kasih atas ilmu yang diberikan dosennya. Setelah Bu Inggrid keluar kelas, mahasiswa pun bergiliran meninggalkan kelas.
Aku pun ikut berdiri dan berjalan mendekati pintu.
Selama Bu Inggrid mengajar, pikiranku terbang kemana-mana. Dua tahun kuliah disini bagaikan air mengalir yang mengikuti arusnya. Mengapa setelah dua tahun belajarpun, aku merasa tidak semangat mempelajari ilmu ini. Aku tidak penasaran dan tidak ingin tau. Aku memikirkan apakah aku menyukai ilmu tumbuhan ini? Ketimbang mempelajari bagaimana benang sari dan putik bertemu, aku rasa aku lebih menyukai bagaimana sperma dan ovum bertemu.
Aku menyusuri koridor kelas seperti orang yang kehilangan arah. Tenggelam dalam pikiran. Suara-suara mahasiswa yang memenuhi ruang seakan tidak ada.
"Apakah ini yang benar-benar aku mau?", "Apa yang mau aku lakukan setelah lulus dari sini?", aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Tak terasa berjalan, aku sudah keluar dari pintu besar fakultas.
Oiya, aku mau ke kantin tadi.
Aku membalikkan tubuh dan berjalan menuju kantin.
Setelah memesan makanan dan duduk di meja, 'Ting'  ada dering bel terdengar dari ponselku. Aku membuka password ponselku dan membuka pesan yang masuk.
"Dimana?"
Aku membalasnya, "Kantin".
"Oke, aku kesana ya."
Setelah membaca pesan darinya, aku memperhatikan sekitar. Suatu kelompok mahasiswa mendekat dan menduduki meja sebelah kananku. Para mahasiswa itu ada yang memakai jas putih dan ada yang memakai baju setelan dengan warna biru langit.
"Tadi gue ketemu pasien anak 5 tahun yang dateng karena RHD. Sedih banget ngeliat anaknya ngalamin chest pain. Abis dr. Vina confirm dia RHD, beliau nyuruh masukin antibiotik dan antikoagulan. Katanya kayaknya bakal mau di valvuloplasty kalo udah dapet consent." ujar salah satu mahasiswa.
"Kalo gue tadi di jaga UGD, ada pasien 23 tahun trauma karena tabrakan motor. Pas masuk UGD pasiennya masih sadar tapi tiba-tiba collapse. dr. Rani langsung periksa circulation-nya, ternyata CA, jadi langsung CPR dan dr. Ivan intubasi. Gue kagum sama teamwork mereka." jawab mahasiswa lainnya.
Aku yang mendengar mereka berdiskusi, langsung menyalakan kembali ponselku dan googling, mencari tau apa itu RHD dan apa itu CA.
RHD (rheumatic heart disease) adalah kondisi ketika katup jantung rusak dalam jangka panjang karena demam reumatik.
CA atau cardiac arrest adalah kondisi dimana jantung berhenti berdetak. 
Ooh. Ini ya.
Tidak berhenti rasa penasaranku, aku melanjutkan pencarian apa itu demam rheumatik, gejala, dan perawatannya.
Seakan di kantin ini hanya ada aku dan sekelompok mahasiswa itu, suara bincang orang-orang lainnya tidak masuk ke dalam telingaku. Tak sadar aku larut dalam pencarian ini. Setiap ada istilah asing yang keluar dari mulut mereka, jariku sibuk mengetiknya dan mencari tau di google ponselku.
"Hey", tiba-tiba terdengar suara lelaki, aku tersentak.
Bersambung.
7 notes · View notes
funifunfun · 2 years
Text
Pilihan Hidup (1)
Dua hari lagi adalah hari kelulusanku di bangku kuliah. Butuh waktu 5 tahun untuk menyelesaikan studi dengan jurusan yang sesungguhnya bukan sesuai yang aku inginkan. Tanggung jawabku kepada orang tua selesai sudah.
"Bu, lusa Hendra wisuda, apakah ibu sudah sehat dan bisa menghadiri upacara wisuda?" tanya Hendra pada ibunya yang 3 bulan lalu pulang dari rumah sakit
"InshaAllah nak, semoga besok ibu sudah lebih enakan ya"
"Baik Bu, jika memang tidak bisa datang tidak usah dipaksakan" jawab Hendra
(Hari esoknya)
"Hendra, maaf sepertinya ibu tidak begitu mampu untuk datang, ibu masih lemas" "Tidak apa-apa Bu, ini bukan masalah yang besar. Ibu istirahat saja dirumah"
Tok tok tok... (Bunyi pintu)
Hendra pun membuka pintu, didapati ayahnya pulang dari dinas. Ayahnya lekas membersihkan diri dan menemui istrinya. Ibu Hendra menceritakan bahwa esok adalah hari kelulusan Hendra dan ia tidak dapat menghadiri karena badan masih belum fit. Tanpa diminta Ayah Hendra menawarkan diri untuk menghadiri upacara tersebut.
"Hendra, besok ayah yang menghadiri upacara kelulusanmu ya, biar ibumu istirahat dirumah" "Baik ayah" jawab Hendra singkat
(Esok hari)
"Sudah siap? ayo kita berangkat" ajak Ayah Hendra
Hari ini Hendra sangat rapih dengan baju toga dan dasi kupu-kupu hitamnya. Rambut juga sangat rapih. Sungguh berbeda dari Hendra yang biasa. Hendra pun berpamitan dan mencium ibunya dan lekas masuk ke dalam mobil.
(Di dalam mobil)
Sudah 30 menit, hening tidak ada pembicaraan. Kemudian sang ayah pun membuka pembicaraan.
"Di gedung apa nanti?"
"Di Aula Ganesha Yah"
"Setelah lulus, rencanamu mau kerja dimana? Ayah ada kenalan yang anaknya kerja di perusahaan minyak terbaik di Ibu Kota. Jika mau nanti ayah kenalkan biar kamu ada gambaran apa aja yang perlu disiapkan" saran dari Ayah Hendra
"Tidak usah Yah, Hendra mau di kota ini saja menemani ibu. Lagi pula Hendra mau fokus mengembangkan bisnis dan workshop" jawab Hendra singkat
"Bisnis apa si? workshop gambar gambar yang gak jelas itu? Udah dicoba dulu aja, nanti Ayah kenalkan sama anaknya temen Ayah. Kerja itu yang jelas jelas aja yang memang udah menjamin. Kamu harusnya bersyukur masih Ayah bantu, ini juga untuk kebaikan kamu" cerocos Ayah Hendra
"Terserah Ayah saja" jawab Hendra ketus
[BERSAMBUNG]
9 notes · View notes
tanyavanya · 2 years
Text
Tumblr media
Panggil saja aku Kyo, seorang pemuda berusia 23 tahun yang baru saja lulus kuliah dan sibuk mencari apa yang harus aku lakukan setelah ini. Aku tumbuh di keluarga yang hanya boleh berpendapat dan mengatur adalah orangtua. Mungkin inilah yang menjadikan aku tidak tahu harus melakukan apa setelah kuliah, karena sejak kecil hidup kami sudah di atur Ayah begitupun dengan keputusan keputusan yang ada.
“Kamu dari mana saja, Kyo? Apakah kamu tidak ada niatan untuk mencari pekerjaan? Atau haruskah Ayah juga yang mencarikannya?” perkataan Ayah langsung membuatku menengok ke arahnya.
“Bukankah Ayah sendiri yang menjadikanku begini? Ayah selalu mengatur semua tanpa memberikan kesempatan aku untuk memilih. Aku begini juga karena Ayah. Aku menjadi ragu ragu setiap mengambil keputusan juga karena Ayah!”
Tak lama berselang sebuah tamparan keras mendarat ke pipi kanan Kyo.
“Jaga mulut kamu ya! Ayah hanya tidak ingin kamu salah jalan! Apakah ini balasan kamu terhadap Ayah yang sudah mendidik kamu sedemikian rupa?”
“Mendidik? Mendidik itu mendengarkan pendapat anak, Yah. Bukan mengaturnya sesuai dengan keinginan Ayah saja!”
Setelah mengatakan hal tersebut, aku lekas berlari ke kamarku untuk menenangkan diri. Jahat memang perkataanku, tapi begitulah kenyataan. Ayah selalu saja tidak memberikan kesempatan kepadaku. Ayah tidak pernah bertanya kepadaku apa keinginanku. Ayah tidak pernah bertanya apakah aku setuju dengan keputusannnya. Tidak pernah.
Keesokan pagi seperti mendapat sambaran petir, Ayah tiba tiba terkena serangan jantung. Aku dan Ibu lekas membawa Ayah ke Rumah Sakit dengan meminjam mobil tetangga. Ketika sampai, Ayah langsung dibawa ke Ruang IGD untuk di cek kondisinya. Namun sepertinya takdir sedang tidak berpihak kepadaku, Ayah meninggal di perjalanan menuju Rumah Sakit.
Perasaan yang aku miliki saat ini penuh dengan penyesalan. Coba saja aku lebih bijak mengendalikan kata kataku. Coba saja aku dapat berbicara lebih halus. Coba saja Ayah mempersilahkan aku untuk berbicara. Coba saja, coba saja yang lain memenuhi otakku.
Seberapa lama aku harus mencari tujuanku dengan membawa beban penyesalan ini?
BERSAMBUNG . . .
8 notes · View notes
salmatamimah · 2 years
Photo
Tumblr media
[Gagal] Pagi itu kuangkat dering telfon dari seorang kawan perjuangan dengan perasaan tak menentu, karena kutau dia tak mungkin menghubungi jika tak terjadi sesuatu, apalagi di tengah posisiku yang harap-harap cemas menungggu sebuah kabar. "Halo Raa, kudengar aku, kamu, Septi, ga lulus tahun ini" begitu katanya. Mendengar itu aku bak orang Takikardi, denyut jantung berdetak kencang, nafasku terhimpit, dan sesak. Begitu juga dengan lawan bicaraku, terdengar hembusan nafas tak beraturan dari seberang sana. Rupanya dia sama shocknya denganku. Setelah kita akhiri pembicaraan kami, ku periksa satu per satu pesan yang masuk, ada sebuah pengumuman masuk dan yap, benar akulah salah satu diantara yang tak beruntung itu. Aku sudah tau kabar itu, aku sudah bisa menebaknya. Tapi gimana perasaanku ? Aku ga tau, perasaanku ga pernah berbicara. Aku tak menangis, tapi kutumpahkan semua cairan dalam lambungku, seluruh tubuhku menegang, tension type headache ku kumat,dan isi kepalaku berlarian. Terbayang wajah kecewa emak bapakku di kampung sana yang menungguku pulang, terbayang rencana masa depanku yang mulai mengabur, dan terbayang wajah kekecewaan dari kawan, dosen, institusi, dan orang-orang di sekitarku. Hftt kenapa kegagalan kali ini rasanya beda ? Kakiku berputar mondar mandir dengan isi pikiran yang ga berhenti berlari tanpa arah, satu persatu rencana aku pikirkan, tapi semuanya buntu tanpa arah "Ya Allah, apa yang harus kulakukan ?" --------------‐--------‐--------------- Cek ombak, kalau rame part 2 lanjut #flashfiction #5CC #5CCday11 #5cc11 #CareerClassQLC #bentangpustaka https://www.instagram.com/p/CqBl7HPSuPq/?igshid=NGJjMDIxMWI=
4 notes · View notes
ririsxamelia · 2 years
Text
Kapan?! #1
Semester 12
Ringgo, untuk kesekian kalinya menghela nafas. Dia berada ditengah-tengah lobi, duduk sambil menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong dan awut-awutan. Mengamati orang-orang yang lalu lalang. Tidak ada satupun wajah yang dikenal Ringgo. Yang ia temui seharian ini hanyalah wajah-wajah baru. Wajah-wajah mahasiswa yang sumringah, penuh ambisi dan optimisme. Tidak seperti dirinya. Bagaikan alien yang turun ke bumi. Siapapun yang melihat Ringgo, pasti tau bahwa dia adalah MABA: Mahasiswa Bangkotan.
Hari ini adalah hari pertama Ringgo kembali ke kampus. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang terancam drop out, dia sudah membebani dosen pembimbingnya terlalu lama dan sekarang terancam menjadi momok yang akan merusak citra serta akreditasi jurusan paling bergengsi di kampusnya.
"Maaf Pak, saya Ringgo. Satu tahun yang lalu saya ambil cuti. Saya udah menyelesaikan pembayaran untuk memulai semester baru. Bisa minta bantuannya untuk mengaktifkan akun saya dan mengisi KRS, Pak?"
"Oh ya, tentu saja bisa Mas. Berarti sekarang semester berapa?"
Ringgo berhenti sejenak, dia bahkan tidak ingat. Terakhir kali ke kampus dia diterror judul skripsi oleh dosbingnya karena tidak pernah nampak batang hidungnya di kantor dosen, bahkan di seantero kampus. Tidak ada yang bisa menemukan keberadaannya. Jangankan pesan dosen, tidak satupun telfon dari temannya yang ia gubris. Ia raib, ghaib.
"Kalau dilihat dari penampilan kamu, pasti semester 12 ya?"
"Sial. Jadi gini ya rasanya dapet body shaming," batin Ringgo.
"Seingat saya iya Pak, sekarang masuk semester 12."
Jawab Ringgo sambil berpikir keras, menghitung dengan jari-jemarinya.
"Oalah Mas, sudah masuk injury time ini. Sisa satu semester doang. Dari mana saja?"
"Dari rumah lah Pak. Masa dari Mekkah, emangnya habis Haji?!" balas Ringgo kesal, tentu saja hanya dalam hati.
"Dulu sudah sempat bimbingan selama satu semester. Tapi ya begitulah Pak. Ada-ada saja cobaannya menjelang lulus."
"Berarti sudah ada judul skripsi? Tinggal menyelesaikannya ya Mas?"
"Betul Pak."
"Dosbingnya siapa?"
"Bu Reva."
"Oalah. Kayanya saya tau kamu, Mas. Dulu sempat ada mahasiswa yang dicariin Bu Reva kemana-mana. Teman-temanmu juga nyariin tho Mas? Akhirnya comeback juga ya"
"Boyband kali pakai comeback segala," Ringgo mulai emosi dengan omongan si bapak. Apalah daya, dia cuma berani ngedumel aja.
"Ehehe, iya Pak. Ini nomor mahasiswa saya. Tolong dibantu diaktifkan kembali ya Pak."
Ringgo buru-buru menyerahkan map yang sedari tadi dia bawa kemana-mana. Ia ingin segera pergi. Tidak sedikit adik tingkat yang melirik dan memperhatikannya gara-gara omongan barusan. Terlepas dari penampilannya yang semrawut hari ini, dia tidak ingin terlihat memalukan, setidaknya di hadapan juniornya.
"Sini Mas. Saya sudah aktifkan kembali akunnya. KRS juga sudah beres. Minggu depan Mas sudah bisa kuliah dan bimbingan lagi. Jangan disia-siakan ya Mas, sisa waktunya."
"Baik Pak, terima kasih banyak."
Ringgo menunduk dan berpamitan. Dia berjalan secepat kilat keluar dari ruang administrasi. Saat keluar, dia melihat seseorang yang begitu familiar sedang berjalan menuju ke arahnya. Wajah lama yang begitu dia kenal, sekaligus dia rindukan. Marsha, sahabat sekaligus gadis pujaan hatinya. Niat hati Ringgo ingin menyapanya dengan melambaikan tangan ke arahnya. Namun, dibelakangnya tampak satu sosok yang mengikuti langkah Marsha. Dari penampakannya saja sudah membuat telapak tangan Ringgo berkeringat dingin, wajahnya pucat pasi, bulu kuduknya merinding. Ringgo berbalik, bersiap untuk segera kabur dari sana. Dia belum siap untuk bertempur dan menghadapi kemurkaannya.
"Ringgooo!"
Terlambat. Suara lengkingan itu. Dia sudah menangkap basah Ringgo.
TO BE CONTINUED
3 notes · View notes
tempeorek · 2 years
Text
Maheswari (1)
Maheswari namanya, panggil saja Mahes. Ayahnya yang memberi nama berharap kelak anak perempuannya ini menjadi gadis pemberani dan banyak menolong sesama. Mahes anak kedua dari tiga bersaudara, kakaknya sudah menikah tinggal bersama suami di Bandung, adiknya memasuki tahun kedua sedang berkuliah di Pulau Jawa.
Mereka tinggal di pedalaman Jambi, ayahnya seorang pensiunan swasta, Ibunya seorang guru SMP Negeri yang tahun depan juga akan memasuki masa purnabakti.
Semenjak pandemi Mahes memutuskan pulang kampung menemani orang tuanya. Alasan utama kepulangannya karena tempat dia bekerja harus tutup dan kondisi di Ibukota sangat keos kala itu. Masyarakat tidak bisa beraktifitas seperti biasa jalanan sepi perekomian pasar lumpuh. Mencoba bertahan sebulan dua bulan akhirnya menyerah jua.
Keseharian Mahes menemani Ayahnya melihat kebun sayur dan teh, sesekali menemani Ibunya berbelanja ke pasar, bermain dengan anak-anak disekitaran rumah,
Bulan depan usia Mahes 27 tahun, dua tahun setelah kepulangannya merantau kehidupannya belum membaik. Sebenarnya ia malu karena masih bergantung secara finansial pada orangtuanya, malu dengan dirinya sendiri tapi ia tak tahu harus memulai dari mana
Bersambung.......
2 notes · View notes
annisa-mu · 2 years
Text
…..
“Terima kasih sudah didengarkan ya, Lek.”
“Disambung kapan-kapan lagi ya, Dek. Janji?”
“He.em.”
“Keep going, dear!”
“Dah ya, Leek. See you!”
Aku sebenarnya masih punya banyak waktu untuk mendengarkan suaranya. Namun, ia seperti ingin mengakhirinya segera. Dedek, yang bernama asli Kirana, anak dari kakak sepupu. Dilihat dari silsilah keluarga, sebenarnya hubungan kekerabatan kami tidak dekat, jarak rumah kami juga begitu. Dia, yang baru saja menutup telpon itu, orang yang sering berbicara padaku, baru-baru ini.
Kami jadi dekat berkat jarak usia yang hanya terpaut 5 tahun. Mungkin juga sebab sepaham dalam beberapa sudut pandang? Hahaha, kesimpulan yang terlalu dini. Akan kuukur selama roda kehidupan ini berjalan.
Telepon Jumat malamnya kali ini masih tentang gundah hatinya yang tak lekas surut. Katanya makin-makin semenjak masa belajarnya berakhir. Terbang bersama idealistas atau menjejak bersama realitas, ia merasa terpontang-panting kebingungan memilihnya. “Pening Pala Berbie,” password yang ia ucapkan tatkala membuka pembicaraan berbau kerumitan. Kalau sudah begitu, aku juga harus otomatis mengkondisian diri untuk memberi umpan balik yang sekiranya tepat, walau sebenarnya kabar gembira lebih ingin segera ku dengarkan darinya. Dia pun demikian. Tapi ya, bagaimana lagi. Hidup, kendalinya tidak kami miliki. Satu pesanku tegasku padanya.
“Dek, jangan berhenti!”
Semoga pesanku kali ini sampai dengan baik. Aku sudah bilang ini pesan yang memakai font style bold, italic, dan underline. Pesan yang ingin ku ketik berkali-kali di kolom chat whatsapp, namun urung. Bila itu malah membuatnya illfeel, malah bahaya, bisa-bisa tak muncul lagi batang hidungnya dihadapanku. Menunggu telponnya tiap pekan selalu bikin deg-degan. Kira-kira ada kejutan apalagi di pembicaraannya pekan depan?
(Bersambung)
2 notes · View notes
alfinamusfira · 2 years
Text
Tumblr media
Bagai petir di siang bolong, aku mendengar untuk pertama kalinya, Nisa adik keduaku menelfonku secara tiba-tiba. “Kak…. Mama… Mama…pingsan tadi. Trus… pas bangun…. Mama… nggak… bisa ngomong… Mama… lumpuh…” Hanya itu kalimat yang kudengar sebab setelah itu hanya tangisannya yang meraung-raung.
Pikiranku langsung kalut, mengingat Nisa adalah adikku yang paling kuat dan tahan banting. Dia adalah cerminan anak kedua yang mandiri sejak kecil. Kami tak akrab, namun aku tau kami saling menyanyangi. Aku hanya bisa menenangkannya dari kejauhan sembari memastikan Mama telah mendapatkan pertolongan. Untung saja setelah itu, pamanku mengambil alih telfon dan mengabarkan jika saat ini Mama sudah mendapatkan perawatan dengan diagnosa awal terkena stroke akibat tekanan darahnya yang terlalu tinggi.
Hatiku mencelos, apa yang terjadi? Yang aku tau, sudah lama penyakit darah tinggi Mama tak muncul. Apa yang sedang Mama pikirkan?
Aku buru-buru mengemasi barang-barangku, termasuk bucket bunga dan sebuah buku yang sedianya akan kuberikan untuk Rara. Ya, rencanaku hari ini adalah menyatakan cinta kepada Rara.
Kukirimkan pesan kepadanya, “Ra, sorry, aku harus balik ke Jogja nih, Mama aku sakit. Kita ketemu lain kali ya.”
Saat itu, aku tak tau bahwa lain kali rupanya terlalu lama sampai padaku.
Duniaku berubah dalam sekejap.
3 notes · View notes
nithata · 2 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
3 notes · View notes
alcaristia · 2 years
Text
Menuju Utuh #1
Kling... Suara khas terdengar setiap kali aku mendorong pintu kaca itu. Langkahku langsung berbelok ke kanan menuju bar untuk memesan kopi.
“Duduk aja, aku ada racikan baru lagi. Mau coba, kan?”, ucap Zan segera sebelum aku membuka buku menu.
Aku langsung berbalik mencari sudut yang kondusif.
Kubuka laptop dan beberapa berkas untuk bertemu klien kali ini. Sambil mengatur napas, aku komat-kamit mempersiapkan presentasi.
“Latte dengan biji kopi dari Gayo dan Bali yang difermentasi .....,” Zan tiba beberapa menit kemudian dan segera sigap bercerita tentang resep barunya setelah menyodorkan secangkir kopi, “seperti biasa, kamu menjadi orang pertama yang mencobanya. Selamat menikmati!”, tutupnya di akhir cerita dengan lesung di pipi kiri yang tidak tertinggal.
Zan selalu antusias untuk urusan tersebut. Ini ramuan kopinya yang ketiga. Berarti aku akan menyebutnya sebagai “kopi C”. Berulang kali Zan menjelaskan tentang rampai kopi, tapi aku tidak ingin ambil pusing. Jadi, aku menamai menu-menu baru itu sesuai abjad dan hanya mengingat rasanya. Ketika akan memesan lagi, aku hanya perlu menyebutkan hurufnya. Zan juga sudah setuju dengan itu.
Enam bulan lalu aku bertemu dengan Zan di kedai kopi ini. Anak muda dengan gaya rambut kekinian. Sepertinya tidak selisih banyak dengan umurku. Badan tegap nan tingginya tidak sebanding dengan tatap kebingungan sebagai pramusaji baru waktu itu. Dia mengantarkan kopi yang bukan pesanan di mejaku. Dengan wajah pasi dia berputar ketakutan menuju pramusaji senior untuk mengonfirmasi pesanan lagi.
Sekarang Zan berdiri di balik bar. Tangannya mulai piawai memainkan mesin espresso dan mencampur-aduk berbagai bahan tambahan untuk sehidang kopi. Tubuhnya tetap tegap dengan pandangan pasti kini. Tekatnya selegam kopi untuk membahagiakan ibu dan menyekolahkan adik hingga tuntas. Tidak ada penyesalan sedikit pun atas keputusannya berhenti kuliah untuk menggantikan ayah yang pulang terlebih dahulu. Dia tampak keren sekali dengan celemek dan topi hitam itu.
Zttt... ztttt... HP-ku bergetar, sebuah chat masuk memberitahukan bahwa meeting hari ini dibatalkan. Ah, padahal sudah dua jam aku menunggu.
Zttt... ztttt... Sepotong pesan masuk lagi dari Del menutup soreku bersama dengan seteguk kopi terakhir.
Bersambung . . . . 
-alcaristia- 290123 Semarang
Writting and Publishing Workshop Challenge by @kurniawangunadi and @careerclass
2 notes · View notes
arsyzela · 2 years
Text
Melangkah Mundur #1
“Gitu aja kok gak becus sih” Seorang laki-laki dengan raut muka kecewa membentak Farhan.
“Besok pagi, kamu harus sudah mengirimkan e-mail dengan isi proposal yang sudah sempurna ya!.” Ujar laki-laki itu lagi kali ini dengan nada bicara yang sedikit rendah.
“Maaf Bos, akan segera saya perbaiki.” Jawab Farhan sambil tertunduk lesu dan pasrah menerima makian dari bosnya.
Setelah Farhan meminta maaf, kemudian ia keluar dengan muka lesu. Baru satu bulan Farhan bekerja di perusahaan ini dan sudah beberapa kali ia mendapatkan makian yang sama setiap mengajukan proposal dan mendapatkan penolakan. Namun hari ini, terasa perih dada Farhan ketika menerima makian itu.
Dengan langkah gontai, Farhan menuju meja kerjanya dan memandangi layar laptop berisi proposalnya dengan komentar dari sang bos. Farhan menghela nafas, kemudian memikirkan apa yang harus dia ubah supaya proposal ini tampak menarik perhatian bos dan tidak mendapatkan amukan lagi.
Waktu menunjukkan pukul enam sore, kubikel sudah banyak yang kosong. Para karyawan sudah mulai beranjak untuk pulang begitu juga ruangan bos yang sudah kosong. Lain halnya dengan Farhan, ia baru saja menekan tulisan send dan muncul notifikasi email terkirim. Farhan mulai berkemas untuk meninggalkan kantor dan menuju parkiran. Ia sudah tidak sabar merebahkan dirinya di atas kasur, karena baginya hari ini adalah hari yang berat.
"Bagaimana reaksi si bos ketika dia baca email dariku ya?" Batin Farhan
Bersambung..
3 notes · View notes
aalyafrst · 2 years
Text
What Will I be? (1)
When I was just a little girl
I ask my mother what will I be?
Will I be pretty? Will I be rich?
Lagu dengan judul 'Que Sera Sera' itu tiba-tiba saja mampir dalam playlist yang dimainkan Feifei saat mengerjakan skripsi. Seketika ia berhenti mengetik dan melamun. Ia mulai berpikir akan jadi apa ia nanti setelah lulus? Akankah ia masih bisa mendapatkan pekerjaan setelah ketertinggalannya ini? Atau ia melanjutkan pendidikan saja? Atau akankah ada yang melamarnya tiba-tiba seperti di sinetron?
Ia pun tersenyum kecut membayangkan opsi terakhir yang tidak mungkin terwujud. "Haha. Mana mungkin, khayalanmu terlalu tinggi, Fei. Dekat sama cowok aja enggak," ucapnya pada dirinya sendiri. "Tapi nanti habis lulus bakal dapat pekerjaan gak ya? Kalo gak dapat gimana ya? Apa sekolah lagi aja? Tapi skripsi ini aja kabur-kaburan," pikirnya lagi.
Ah, lagi-lagi pikirannya terhambat pada hal-hal yang tidak ada kaitan dengan skripsinya. Feifei selalu saja begitu, tidak pernah fokus saat mengerjakan skripsi. Ia selalu saja berpikir terlalu jauh pada apa yang akan terjadi.Jika sudah begitu, ia akan khawatir sendiri dan tidak melanjutkan skripsi. Hal itu terus berulang hingga kini ia sudah melewati rata-rata waktu kuliah.
Bersambung....
------------------------------------------------------------------------------
Perjuangan Feifei mengejar langkah teman-temannya dimulai di sini
-alfrst-
Smg, 29-01-2023
4 notes · View notes
amaliasilvi · 2 years
Photo
Tumblr media
Mencari Jalanku Setelah sekian tahun, akhirnya gadis kecil itu dapat merasakan kebebasan. Tidak ada lagi peraturan kecil yang mengekang. Bebas pergi ke mana saja tanpa harus izin. Bebas memainkan gawainya kapanpun, melihat TV, juga bertemu dengan orang tuanya. Mungkin bagi sebagian orang itu adalah hal yang sederhana, tetapi tidak bagiku. "Tiara, kapan kamu pulang dari pesantren?" tanya setiap tetanggaku yang melihatku di depan rumah. "Saya sudah lulus, Bu. Tahun ini saya akan melanjutkan kuliah di luar kota", jawabku. "Oh, memang bisa ya anak pesantren sekolah tinggi? Bukankah biasanya setelah lulus langsung menikah ya? " tanyanya dengan sinis. "Hehehehe, inggih Bu", jawabku dengan santai. "Memangnya kamu akan mengambil jurusan apa?" sahutnya. "Sepertinya jurusan pendidikan, Bu", jawabku. "Walah, kuliah mahal-mahal nanti ya ujungnya gajinya kecil, nduk. Kalau tidak pegawai negeri, jadi guru itu kecil loh", jelasnya. Aku hanya membalas ucapannya dengan senyum lagi. Aku heran bagaimana bisa orang lain mudah sekali menilai kehidupanku. Padahal mereka tidak tahu apa mimpi dan tujuan besarku. Mungkin memang mereka berbicara atas pengalaman dan apa yang telah dilalui, namun bukankah terlalu ikut campur dengan kehidupan orang lain juga tidak baik? Akupun masuk ke dalam rumah, merenungi apakah memang keputusan yang aku ambil salah, apakah aku harus merubahnya karena aku juga tidak ingin mempunyai penyesalan besar di masa depan. Ayah melihatku merenung dan bertanya apa yang telah terjadi sehingga aku terlihat murung. Akupun bercerita kepada ayah. Ayah berkata . . . . . #5cc #5ccday11 #careerclass #bentangpustaka https://www.instagram.com/p/CoAUZXSSl9c/?igshid=NGJjMDIxMWI=
4 notes · View notes
tulisanmimi · 2 years
Text
Tumblr media
Amigdala
[Bagian 1]
.
"Wah, MasyaAllah. Miss Naya calon istri sholehah banget ya Pak Bayu. Sudah pasti pinter masak karena rajin bawa bekal. Selain itu suka rapi-rapi dan bebersih juga." Begitulah kurang lebih percakapan Pak Bayu dan Pak Dimas di pantry saat Naya sedang mencuci wadah bekal makan siangnya.
***
Naya sebenarnya sudah memiliki target untuk menikah diusia dua puluh tujuh tahun. Setidaknya itu usia ideal menurutnya. Namun akhir-akhir ini dia mulai rungsing karena terlalu sering mendapatkan perlakuan seperti saat istirahat makan siang hari ini.
***
Setahun ini naya sudah mulai belajar banyak hal tentang relationship, mulai dari kelas pra-nikah, parenting, financial management dan lain sebagainya untuk mempersiapkan kehidupan pernikahannya. Kegelisahan bertambah ketika mulai banyak undangan dari teman sebaya, entah itu undangan pernikahan maupun kelahiran anak. Tak cukup sampai disana, Naya juga kerap kali ditanya "kapan mau dikenalin pacarnya ke keluarga?" ketika sedang ada acara keluarga.
***
Kehidupan Naya seolah berkutat pada jodoh saja. Padahal saat ini dia menginginkan untuk fokus pada karirnya sebagai tenaga pendidik di salah satu sekolah dasar bergengsi di kotanya.
Lalu bagaimana kelanjutan kisah perjalanan Naya dalam proses menggenap?
5 notes · View notes
nuritawa · 2 years
Text
Dengar Kembali (Episode 1)
Aku menatap jalanan didepan setengah kosong, masih agak kesal dengan telpon mendadak 3 jam yang lalu. Kenapa orang rumah tidak pernah mengerti, kalau aku paling tidak suka dengan hal mendadak begini. Apalagi cuma untuk urusan sepeleh. Memangnya kenapa, sih, misal aku absen saja? Toh, ada aku ataupun tidak acara tetap berlangsung.
Sebenarnya bukan karena acaranya yang membuat ku malas, tapi bertemu dengan orang-orang yang ada didalamnya.
Sibuk mengomel dengan diri sendiri, tepat ditikungan aku menarik pedal rem kencang-kencang. Ban motor belakang ku terasa meleyot sebentar, kemudian kembali stabil dengan cepat pula.
"Ah, ibuk-ibuk!" Desirku semakin kesal.
Ya seperti yang bisa dibayangkan, ibu ini tiba-tiba masuk begitu saja. Tanpa merasa bersalah dia tetap santai mengendarai motornya tepat didepanku. Emosi ku meredam setelah mengawasi anak perempuan berada dibalik punggungnya, dia memeluk begitu erat.
Rambut ikalnya yang diikat satu tertiup angin begitu lembut, seperti sosis yg menggelantung. Tatapannya fokus disisi kiri sampai kepalanya pun menempel begitu lengket. Aku melihat ada kesan takut terjatuh jika ia mengedarkan padangan sedetik pun.
"Kok, jadi keingat masa kecil ku, ya.. Tapi, ibu gak pake motor, naik sepeda." Aku meringis sendiri.
Entah kenapa suasana hatiku berubah, seolah ada yang menarik ku pada emosi sesaat yang lalu.
Namun, rasa khawatir ini tetap menggelantung. Aku masih kesal dipaksa untuk berangkat. Tapi, sekesal apapun jika itu ibu yang meminta aku berusaha lakukan.
Sesimpel membuat kekacauan di pagi hari akibat aku yang meraung mencari kaos kaki saja sudah bisa merusak sepanjang hari ku. Iya, sudah dipastikan ibu kesal juga menghadapi sifat kekanak-kanakan ku ini, apalagi membuat ibu kecewa. Aku tidak tahu bagaimana membawa dunia ini bisa baik-baik saja.
Eh, tapi, tetap saja aku masih kesal. Sejam lagi aku sampai dan bertemu dengan orang-orang yang tidak ku harapkan.
"Ya, Tuhan buat aku bisu sebentar disepanjang hari ini." Teriak ku tiba-tiba.
"Hehh, astagfirullah. Tobatlah, Na!" Aku berkesiap menyadari kalimat ku sebelumnya. Sedang pedal gas tangan masih cukup stabil untuk jiwa yang pontang panting ini.
Bersambung...
(nw)
2 notes · View notes