Tumgik
#Ahli Zakat Profesi
sitenesia · 2 months
Text
Kewajiban Zakat Profesi: Pengertian, Definisi, Jenis dan Macam, Konsep, Cara Hitung, serta Pentingnya Menunaikannya untuk Keadilan Sosial dan Spiritual Umat!
Memahami Kewajiban Zakat Profesi, Pengertian, Definisi Menurut Ahli, Jenis dan Macam, Cara Hitung, dan Pentingnya Menunaikan Zakat Penghasilan! Baik, seperti yang kita ketahui, zakat profesi, atau yang biasanya disebut dengan zakat penghasilan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari praktik keagamaan dalam Islam. Kewajiban ini tidak hanya menjadi salah satu dari 5 (lima) rukun…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
athifahqotrunna · 3 years
Text
Am I A Good Moslem?
Sore itu aku pulang setelah lelah beraktifitas seharian di kantor. Aku menuruni lift dari lantai lima ke parkir kendaraan di basemen. Sambil berjalan akupun membuka ponselku dan melihat story di Wa. Oh teman SMA ku sudah praktek di RS X di daerah Surabaya, temanku yang lain juga sudah jadi PNS, ada yang sudah berkeluarga, ada yang ini dan itu. Lama membuka WA, aku sudah merasa tak nyaman dan beralih ke Ig. Wah ada story Ig dari teman kampusku, dan ternyata dia sudah menjadi konsultan di sebuah klinik kecantikan ternama. Scroll dan lihat, terus begitu. Lama kelamaan munculah rasa yang kini sering dibicarakan oleh para ahli, suatu rasa itu namanya “insecure”. Merasa tidak memiliki apa-apa, merasa tidak berharga, tidak sukses dan apapun itu. 
Oh dan aku mulai mengerti, kenapa ada beberapa challenge di sebuah media sosial untuk tidak mengakses medsos sama sekali selama satu minggu, satu bulan dan seterusnya, kemudian mereka kembali merasakan ketenangan dan “Syukur”. 
Nah ini dia, “Syukur” yang mungkin hilang ketika rasa insecure itu datang. Syukur dan berterima kasih pada Allah atas nikmat yang Allah berikan pada kita. Karena mungkin hidup yang kita jalankan sekarang adalah sebuah mimpi indah bagi jutaan orang diluar sana. Mimpi bagi mereka yang putus sekolah, bagi mereka yang terjebak dalam pekerjaan yang haram, bagi mereka yang tidak kenal dengan orang tua, bagi mereka yang tidak punya rumah tinggal, bagi mereka yang di PHK, bagi mereka yang sakit, bagi mereka yang menjadi anak tunggal, bagi mereka yang tidak punya rumah yang layak, bagi mereka yang belum merdeka, bagi mereka yang mengalami pelecehan seksual, pelecehan verbal, body shaming, bagi mereka yang ada di balik jeruji besi karena ketidak adilan, bagi mereka yang tidak tahu harus makan apa besok, bagi mereka yang tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa berbicara, bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan yang layak, bagi mereka yang tidak bisa membaca buku maupun Qur’an, bagi mereka dan bagi mereka yang lain. Ah betapa tidak bersyukurnya diri ini atas nikmat yang sudah Allah berikan pada diri kita padahal sudah sebegitu banyaknya. Nikmat Allah yang tertutup itu kemudian membawa kita pada kemaksiatan yang lebih jauh, jadi tidak mau solat karena merasa permintaan kita tidak dilakukan, jadi tidak mau hidup karena menginginkan hidup orang lain sehingga akhirnya mengakhiri hidup. Pantaslah janji iblis saat diberi penangguhan adalah agar kebanyakan orang tidak bersyukur, karena kalau sudah tidak bersyukur iman akan tertutupi.
Betapa kayanya kita, betapa beruntungnya kita, betapa hebatnya Allah memberikan kekuatan untuk bisa bertahan menjalani hidup kita yang sekarang, dengan uji dan cobanya, dengan tawa dan tangisnya, dengan badai dan terang setelah hujan air mata. Ah kamu tidak bisa membandingkan dirimu kini dan apa yang kamu punya dengan orang lain. Kompoarasi itu tidak bisa dibawa dalam kehidupanmu dan mereka, variabelnya terlalu banyak untuk disandingkan. Kamu adalah kamu, seorang manusia, seorang hamba yang punya amanah hidup masing-masing.
Tetapi ada hal lain yang harus kamu komparasikan, meski ia tidak bisa dilihat. Iman, ya itu hal yang harus selalu dibandingkan. Orang lain sudah bisa tahajud rutin, aku kenapa belum bisa. Orang lain sudah bisa puasa Senin Kamis rutin saya belum. Orang lain sudah bisa sedekah, zakat profesi, baca Qur’an rutin, shalat dhuha, rawatib, sudah haji dan umrah, sudah rutin dzikir pagi petang, sudah menjaga mata dari yang haram, sudah setia pada Allah dalam kondisi sendiri, sudah punya lingkar kajian sendiri, sudah menjaga dari riba, sudah bisa memaafkan orang yang menyakitinya, sudah bisa mendoakan orang yang mencelanya, sudah bisa sedekah senyum pada saudara-saudaranya, sudah bisa bisa membantu mengatasi masalah orang lain, sudah bisa memberi jalan kerja bagi orang yangdi PHK, sudah bisa menjaga lisannya, sudah mau dan mencoba berdakwah, sudah ini dan sudah itu lainnya. Ah kawan, coba saja kita bandingkan diri kita dengan takaran iman. Betapa tenang dan damai bukan hidup kita?
Aku melaju diatas jalan layang pasopati, anginnya menghempas, deru kendaraan ramai di kanan dan kiri, tapi matahari masih bersinar dengan indah di ujung langit sana. Kemudian muncul pertanyaa dalam hati, jangan-jangan insecure yang kurasa selama ini karena aku belum menjadi muslim yang baik? akupun tersenyum, dan mulai menerima bahwa aku harus terpacu dengan iman, bukan dengan harta, tahta (red. status sosial) dan si eta yang belum tentu hadir lebih dulu dari ajal, sesuatu yang menjebak  dengan rasa aman. 
0 notes
myzidni · 5 years
Text
Sekolah Amil Indonesia
Berbicara sekolah berarti ada kegiatan belajar dan mengajar disana. Tujuannya tentu saja mendapat ilmu dari seorang guru. Begitupun kegiatan kami beberapa hari yang lewat. Mengikuti sekolah untuk para amil di lembaga zakat bersama guru dari FOZ (Forum Zakat).
Sebelumnya perlu saya sampaikan siapa itu amil. Amil disini bukanlah seorang yang diminta mengurus jenazah atau pernikahan. Amil disini adalah para pekerja di lembaga zakat yang bertugas menghimpun dan menyalurkan dana zakat masyarakat. Mereka ini bekerja full time sepanjang tahun bukan sekedar panitia saat Ramadhan saja. Adapun FOZ adalah komunitas tempat berhimpunnya para Amil dari berbagai lembaga zakat.
Terus apa maksud dari sekolah amil?
Dalam bekerja, para Amil ini perlu adanya kompetensi dan keahlian yang harus dimiliki. Karena pekerjaan yang dilakukan adalah terkait hal Ibadah yaitu terkait Zakat. Dimana zakat dalam Islam sebagai rukun dan sifatnya wajib. Sehingga orang-orang yang mengurus zakat tersebut wajib berpengetahuan di bidangnya. Amil wajib faham tentang fiqih zakat dan asnaf zakat, faham tentang cara-cara edukasi zakat dan pendayagunaan zakat. Begitupun faham aturan perundangan yang berlaku disini. Agar saat bekerja dilapangan tidak salah dan terjerat hukum sebab ibadah zakat menyangkut juga dana kelola dari masyarakat.
Berat juga ya?
Bekerja dimanapun ada resiko yang dijalankan. Apalagi petugas amil zakat ini tidak hanya diamanahi oleh negara tetap juga oleh agama sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Sehingga berkompeten dan ahli pada bidang zakat menjadi keharusan.
Sekolah amil yang diadakan FOZ ini menjadi wadah bagi para amil agar memiliki kompetensi dan pengetahuan sebagai bekal bekerja. Harapannya setelah mengikuti kegiatan belajar di sekolah amil, para amil pun mendapat kegiatan sertifikasi profesi amil dan diakui ke ahliannya. Sehingga para amil lebih bertanggung jawab dengan profesi sebagai amil dan amanah tentunya.
Tumblr media
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Photo
Tumblr media
Hizbullah; Siapakah Mereka? (Bag. 1)
Hakikatnya, saat seseorang berpihak kepada al-haq, berarti ia telah berpihak dan mengikatkan dirinya kepada hizbullah (kelompok pengikut Allah, golongan Allah, atau partai Allah)
Al-Hizbu secara bahasa artinya adalah: kelompok atau kumpulan manusia. (Al-Qamus Al-Muhith, Fairuz Abadi hal. 94). Berkata Syaikh Shafiyur Rahman Mubarakfuri rahimahullah: “Al-Hizbu secara bahasa adalah sekelompok manusia yang berkumpul karena kesamaan sifat, keuntungan atau ikatan keyakinan dan iman. Karena kukufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Terikat oleh daerah, tanah air, suku bangsa, bahasa, nasab, profesi atau perkara-perkara yang semisalnya, yang biasanya menyebabkan manusia berkumpul atau berkelompok” (Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam, hal.7).
Hizbullah artinya penolong-penolong Allah; kelompok orang-orang yang memihak Allah dan dekat kepada-Nya, bersedia berjuang menegakkan agama-Nya. Kelompok inilah yang akan mencapai puncak keberuntungan dan meraih segala yang mereka harapkan.[1]
Hizbullah tidaklah dapat dinisbatkan kepada satu-dua kelompok atau golongan tertentu yang ada di dalam tubuh umat Islam saat ini—dengan berbagai macam nama dan laqab (julukan/panggilan)-nya—seperti: Hizbullah, Hizbut Tahrir, Ansharu Sunnah, Al-Ikhwan Al-Muslimun, Salafi, Jama’ah Tabligh, Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, Jama’at Islami, Naqsabandiyyah, Tijaniyyah, dan lain-lain; akan tetapi ia dinisbatkan kepada akhlak dan karakter, etika dan moral, yang dimiliki oleh kelompok-kelompok, apa pun nama dan dimana pun mereka berada.
Maka fokus kita sebagai muslim adalah berupaya menetapi al-akhlaqul asasiyyah (akhlak/karakter dasar) hizbullah serta berupaya berhimpun, bekerjasama, atau saling tolong menolong bersama kelompok mana pun yang memiliki karakter dasar tersebut. Allah Ta’ala telah menjelaskannya dengan sangat terang di dua surah: QS. Al-Maidah ayat 54 – 56 dan Al-Mujadilah ayat 22.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang – orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah, 5: 54-56).
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)
*****
Al-Akhlaqul Asasiyyah
Dari dua surah di atas kita ketahui karakter dasar hizbullah adalah sebagai berikut.
Pertama, mahabbatullah (mencintai Allah). Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 54 karakter ini diungkapkan dengan kalimat:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ
“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”
Makna ungkapan ini adalah: Allah meridhai mereka, dan mereka ikhlas kepada Allah dalam beramal dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangan-Nya.[2] Allah mencintai kaum itu dan merekapun mencintai-Nya karena keteguhan hati mereka.[3]
Mereka adalah kaum yang menjauhi perbuatan orang-orang fasiq yang mencintai dunia melebihi cintanya kepada Allah, rasul, dan jihad di jalan-Nya.
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Mereka adalah kaum yang kaya jiwanya karena senantiasa mencintai Allah Ta’ala, mengenal-Nya dan mengingat-Nya. Sebagian salaf mengungkapkan hal ini dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”[4]
Mereka adalah orang-orang yang telah merasakan manisnya iman sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, (3) Ia membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)
Oleh karena itu pantaskanlah diri kita agar menjadi bagian dari hizbullah; berusahalah untuk selalu beramal shalih sehingga Allah Ta’ala mengikutkan kita ke dalam barisan kelompok yang dicintai Allah Ta’ala.
Di antara contoh sebab agar dicintai Allah adalah membaca Al Qur’an dengan mentadabburi dan memahami maknanya, mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah setelah amalan wajib, selalu berdzikr kepada Allah, mendahulukan apa yang dicintai Allah apabila dihadapkan dua hal yang dicintainya, mempelajari nama Allah dan sifat-Nya, memperhatikan nikmat Allah baik yang nampak maupun tersembunyi serta memperhatikan pemberian-Nya kepada kita agar membantu kita bersyukur, pasrah kepada Allah dan menampakkan sikap butuh kepada-Nya, qiyamullail di sepertiga malam terakhir dengan disudahi istighfar dan taubat, duduk bersama orang-orang shalih yang cinta karena Allah serta mengambil nasehat dari mereka dan menjauhi sebab yang menghalangi hati dari mengingat Allah.[5]
Kedua, adillatin ‘alal mu’minin (lemah lembut terhadap mu’minin).
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“…bersikap lemah lembut terhadap orang yang beriman…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka mengasihi orang-orang mu’min, [6] mereka bersikap lemah lembut kepada orang-orang mu’min,[7] mengungkapkan kelemahlembutan, kasih sayang, dan tawadhu kepada orang-orang beriman,[8] mereka berendah hati dengan saudara mu’min mereka.[9]
Kasih sayang, kelemahlembutan, sikap tawadhu dan rendah hati yang mereka tunjukkan tiada lain karena mereka menyadari bahwa sesama mu’min hakikatnya adalah satu tubuh dan satu bangunan. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, simpati mereka bagaikan satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang mengeluh, maka bagian yang lain juga mengikutinya dengan rasa tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim No. 2586, Ahmad No. 18373)
Disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ .
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan antara jari-jarinya)” (Muttafaq ‘alaih).
Mereka adalah kaum yang telah memahami dan berupaya menunaikan hak-hak terhadap sesama muslim sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak menzaliminya, dan tidak menyerahkannya kepada musuhnya. Barangsiapa memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu menolongnya dalam hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seseorang Muslim dari suatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari suatu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aib orang itu pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لَا يَخُوْنُه وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا، بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ .
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak mengkhianati, tidak mendustai, juga tidak enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan. Setiap muslim terhadap muslim lainnya itu adalah haram kehormatannya, hartanya dan haram darahnya. Ketakwaan itu di sini (dalam hati). Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai ia menghina saudaranya sesama muslim.” (Diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan beliau berkata bahwa ini adalah Hadits hasan).
Dalam hadits dari al-Bara’ Ibn ‘Azib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
أمَرَنَا رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِيَادَةٍ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ العَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ وَنَصْرَ الْمَظْلُوْمِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ .
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, menjawab orang bersin, melaksanakan sumpah bagi orang yang bersumpah, menolong orang yang dianiaya, memenuhi undangan orang, dan menyebarkan salam.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketiga, a’izzatin ‘alal kafirin (keras/tegas terhadap kafirin).
أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“…bersikap keras terhadap orang-orang kafir…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka tegas terhadap orang-orang kafir[10], membenci orang-orang kafir, memusuhi mereka, meyakini kekafiran mereka dan memerangi mereka apabila terpenuhi syarat-syarat jihad yang syar’i[11], bersikap keras terhadap musuh dan seterunya.[12] Kata a’izzah adalah bentuk jamak dari kata ‘aziz. Artinya, mereka menunjukkan sikap keras, tegas, dan tinggi atas kaum kafir. Demikian As-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya. Sikap ini sebagaimana juga disebutkan dalam QS. Al-Fath, 48: 29,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”[13]
Namun perlu dipahami bahwa sikap keras dan tegas ini tidak menghalangi mereka untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi karena agama dan tidak pula mengusir mereka dari negeri mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)
Tegasnya, hizbullah memahami bahwa mereka tidak dilarang untuk menghormati, berlaku adil, berbuat baik, dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi mereka karena keislaman mereka dan tidak mengusir mereka dari rumah-runah mereka.
Mereka tidak dilarang oleh Allah Ta’ala untuk memberikan kepada orang-orang kafir seperti itu apa yang menjadi hak mereka, sebagaimana yang dilakukan Asma’ binti Abu Bakar aṣ-Shiddiq terhadap ibunya (yang musyrik, red.) ketika ia mengunjunginya setelah minta izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkannya untuk menyambung silaturahim dengannya.
Hizbullah tidak dilarang melakukan silaturahim, menghormati tetangga non muslim, dan menjamu mereka; menetapi janji, menyampaikan amanat, dan memenuhi pembayaran kepada mereka. Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan atas mereka berbuat adil kepada orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan dan hukum.
Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat dekat lahir batin, yakni orang-orang kafir yang tidak bersedia hidup berdampingan secara damai, bahkan memerangi mereka karena agama, tidak memberi ruang kebebasan dan toleransi beragama; mengusir orang-orang beriman dari tempat tinggal mereka karena pembersihan ras, suku, dan agama serta penguasaan teritorial, juga membantu pihak lain untuk mengusir orang-orang beriman karena kerja sama yang sistemik dan terencana.
Barang siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan karena keuntungan ekonomi, politik, dan keamanan; maka mereka itulah orang yang zalim terhadap perjuangan Islam dan kaum muslimin.[14]
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mu’min dilarang memberikan loyalitas, dukungan, dan kasih sayang kepada orang-orang kafir yang memerangi disebabkan oleh agama, mengusir orang-orang Islam dari negeri mereka, dan membantu orang-orang kafir untuk mengusir mereka. Orang-orang kafir seperti itu haram dijadikan teman setia, sekutu, penolong, pemimpin, dan diberi bantuan dengan perkataan maupun perbuatan.[15]
*****
Oleh karena itu, dalam hubungan dengan kaum muslimin, orang kafir terbagi dalam empat kategori,
Kafir Dzimmi
Penjelasan dari para fuqaha:
أَهْل الذِّمَّةِ هُمُ الْكُفَّارُ الَّذِينَ أُقِرُّوا فِي دَارِ اللإسْلاَمِ عَلَى كُفْرِهِمْ بِالْتِزَامِ الْجِزْيَةِ وَنُفُوذِ أَحْكَامِ الإِسْلاَمِ فِيهِمْ
“Kafir dzimmi adalah orang-orang kafir yang menegaskan kekafirannya di negeri Islam, dengan kewajiban membayar jizyah dan diterapkan hukum-hukum Islam pada mereka.” (Jawaahir Al Iklil, 1/105, Al Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/704)
Kafir Mu’ahad
هُمُ الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ
“Mereka adalah yang mau berdamai dengan imam kaum muslimin untuk mengakhiri perang selama waktu tertentu yang diketahui melihat adanya maslahat hal itu. Al Mu’ahad diambil dari Al-‘Ahdu, yaitu damai sementara.” (Fathul Qadir, 4/293; Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181; Syarhul Kabir, 2/190; Mughni Al Muhtaj,  4/260; Nihayah Al Muhtaj, 7/235)
Istilah lainnya adalah al-hudnah, atau gencatan senjata.
Kafir Musta’man
الْمُسْتَأْمَنُ فِي الأَصْلِ : الطَّالِبُ لِلأَمَانِ ، وَهُوَ الْكَافِرُ يَدْخُل دَارَ الإْسْلاَمِ بِأَمَانٍ ، أَوِ الْمُسْلِمُ إِذَا دَخَل دَارَ الْكُفَّارِ بِأَمَانٍ
“Berasal dari makna ‘orang yang meminta keamanan’ yaitu orang yang masuk ke negeri Islam dengan aman, atau seorang muslim masuk ke negeri bukan Islam dengan aman.” (Durar Al Hukam, 1/262; Ad–Durul Mukhtar, 3/247; Hasyiah Abi Sa’id, 3/440)
Ini mirip dengan istilah ‘suaka’ dimana seseorang meminta perlindungan politik di negeri lain.
 Kafir Harbi
أَهْل الْحَرْبِ أَوِ الْحَرْبِيُّونَ : هُمْ غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ
“Ahlul Harbi atau harbiyun, mereka adalah non muslim yang tidak masuk dalam perjanjian jaminan, juga tidak mendapatkan perjanjian keamanan dan perdamaian dengan kaum muslimin.” (Fathul Qadir, 4/278; Mawahib Al Jalil, 3/346-350; Asy–Syarhush Shaghir, 2/267; Nihayatul Muhtaj, 7/191; Mughnil Muhtaj, 4/209)
Semuanya kategori kafir di atas tidak diboleh diganggu dan diperangi kecuali kafir harbi.[16]
*****
Keempat, al-jihadu wa ‘adamul khaufi minannas (jihad dan tidak takut kepada manusia). Dalam surah Al-Maidah ayat 54 diungkapkan dengan kalimat,
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“…yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”
Dari ayat ini, kita ketahui hizbullah merupakan umat yang selalu siap untuk berjihad—merasakan keletihan, kegentingan, kepedihan, kesulitan, berdaya upaya, mengerahkan kemampuan, dan kerja keras—di jalan Allah; memerangi musuh-musuh Allah, berjuang dengan harta dan jiwa untuk menjunjung tinggi kalimat Allah.
Mereka memahami bahwa jihad adalah martabat tertinggi dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ هَذَا الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اْلجِهَادُ، لاَ يَنَالُهُ إِلاَّ أَفْضَلُهُمْ
“Pokok urusan ini adalah Islam, siapa yang masuk Islam pasti ia selamat, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad yang tidak dapat diraih kecuali orang yang paling utama diantara mereka.” (H.R. Ath-Thabrani).
Pada hadits lain disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Al-jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim).
Pada hadits lain disebutkan, Abu Hurairah bertanya:
مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». وَقَالَ فِى الثَّالِثَةِ « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لاَ يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلاَ صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Amal apakah yang dapat menyamai jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali sedangkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap sama, “Engau tidak akan sanggup melaksanakannya.” Kemudian beliau saw bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah itu seperti orang yang puasa dan shalat, serta membaca ayat-ayat Allah dan ia tidak berbuka dari puasanya dan tidak berhenti dari shalatnya sehingga orang yang berjihad fi sabilillah itu kembali.” (HR. Muslim).
Hizbullah bukanlah orang-orang yang puas dengan kehidupan dunia; mereka mengutamakan kenikmatan yang hakiki di akhirat dibandingkan kenikmatan di dunia; mereka takut akan murka Rabb-nya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ‌ۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأَخِرَةِ‌ۚ فَمَا مَتَـٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِى ٱلۡأَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡڪُمۡ عَذَابًا أَلِيمً۬ا وَيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَڪُمۡ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيۡـًٔ۬ا‌ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah [untuk berperang] pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal keni’matan hidup di dunia ini [dibandingkan dengan kehidupan] di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya [kamu] dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. At-Taubah, 9: 38-39).
Mereka tidak ingin hidupnya ditimpa kehinaan sebagai akibat meninggalkan jihad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Bila kamu berjual-beli dengan ‘inah (dengan cara riba’ dan penipuan), mengikuti ekor-ekor lembu, menyukai bercocok-tanam, dan kamu meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kamu yang tidak akan dicabut sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (H.R. Abu Dawud).
Mereka tidak ingin ditimpa kefakiran. Terutama kefakiran jiwa. Waspadalah, ketika manusia telah berpaling dari jihad di jalan Allah, dan berganti dengan menghadapkan perhatiannya secara penuh kepada berbagai urusan dunia. Maka, Allah timpakan atas mereka kefakiran hati, terlalu tamak dan sangat bakhil, pelit dan kikir, untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah.
As-Sya’bi rahimahullah berkata,
لَمَّا بويع أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْق صَعَدَ الْمِنْبَرَ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ فِيْهِ: لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالْفَقْرِ
“Ketika Abu Bakar as-Shiddiq naik mimbar, beliau menyebutkan hadits dan di dalam hadits itu beliau mengatakan, ‘Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah timpakan kefakiran terhadap mereka.’” (HR Ibnu ‘Asakir).
Mereka pun tidak ingin mati pada satu cabang kemunafikan sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Barangsiapa (seorang Muslim) yang mati, sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak pernah tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan.” (H.R. Muslim).
Mereka akan selalu berupaya terlibat dengan jihad sekecil apa pun peran yang dapat diambilnya. Karena mereka mengetahui orang yang tidak berperang, atau tidak membantu perlengkapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang pergi berperang dengan baik, akan ditimpa kegoncangan sebelum hari kiamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَغْزُ أَوْ يُجَهِّزْ غَازِيًا أَوْ يَخْلُفْ غَازِيًا فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ أَصَابَهُ اللَّهُ بِقَارِعَةٍ
“Siapa yang tidak berperang dan tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” (H.R. Abu Dawud).[17]
*****
Hizbullah juga tidak takut kepada siapapun dijalan Allah; tidak takut celaan dan cemoohan yang dilontarkan oleh para pencela; tidak takut pada cibiran saat melakukan tugas agama; mereka teguh dan tak menghiraukan apa yang dilakukan musuh-musuh Islam dan hizbus syaithan, seperti hinaan dan anggapan buruk karena kedengkian dan kemurkaan mereka terhadap al-haq dan orang-orang yang berada didalamnya. Mereka bahkan semakin solid, karena mereka lebih mendahulukan ridha Allah daripada kerelaan makhluk.[18]
Karakter dan sikap mental tidak takut celaan dan cemoohan di jalan Allah adalah sesuatu yang sangat penting karena hal itu menunjukkan teguhnya komitmen dan kokohnya keimanan. Oleh karena itu pantaslah jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai salah satu point janji setia dalam bai’at Aqabah, sebagaimana disebutkan hadits berikut ini.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ إِسْحَقَ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُ كُنَّا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Ayyub, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ibnu Ishaq dan Yahya bin Sa’id dari ‘Ubadah bin Al Walid bin Ash Shamit dari ayahya dari kakeknya, ia berkata: ‘Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit dan mudah, kami senangi maupun kami benci, dan tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, dan melakukan kebenaran dimanapun kami berada, tidak takut kepada celaan orang yang mencela.’” (HR. An-Nasa’i)
*****
Kelima, al-wala-u (kecintaan, kesetiaan, loyalitas, pembelaan) kepada Allah, rasul, dan mu’minin.
Karakter ini diungkapkam dalam surah Al-Mujadilah ayat 22 yang telah dikemukakan sebelumnya,
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)[19]
Orang-orang yang beriman dengan sebenarnya tidak mungkin saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mungkin mencintai dan menjadikan musuh Allah dan Rasul-Nya sebagai sekutu. Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka sendiri. Sebab keimanan mereka melarang mereka untuk mencintai orang yang menentang Allah dan rasulullah; dan menjaga keimanan lebih utama daripada menjaga hubungan dengan bapak, anak, saudara atau kerabat.[20]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728]).
Allah Ta’ala telah meneguhkan keimanan dalam hati mereka, dan Dia menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya untuk melawan musuh mereka di dunia. Di ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan pertolongan dari-Nya dengan istilah ‘ruh’ (وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ), karena dengan pertolongan itu urusan mereka dapat berlanjut.
Allah Ta’ala menjanjikan kepada mereka akan dimasukan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya; selama-lamanya. Hal ini tidak lain karena Allah telah ridha terhadap mereka; menerima amalan mereka dan memberi mereka rahmat-Nya di dunia maupun di akhirat. Merekapun telah merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya; mereka bergembira dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka baik itu di dunia maupun di akirat.
Mereka itulah hizbullah, yakni tentara-Nya yang mentaati perintah-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya, dan menolong para kekasih-Nya. Mereka itulah orang-orang yang akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI, jilid X, hal. 71
[2] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[3] Tafsir Al-Mukhtashar
[4] As-Syariah Edisi 079, Jalan Meraih Manisnya Iman, Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[5] Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an, Marwan Hadidi bin Musa
[6] Tafsir Al-Muyassar
[7] Tafsir Al-Mukhtashar
[8] Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar.
[9] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[10] Tafsir Al-Muyassar.
[11] Sifat-sifat Orang yang Beriman dalam Al-Maidah ayat 54, Sofyan Chalid Ruray.
[12] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir
[13] Tafsir QS. Al-Maidah, 5: 54, Rokhmat S. Labib, M.E.I.
[14] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[15] Ibid.
[16] Status dan Kedudukan kaum Kuffar (non muslim) di Negeri Muslim, Farid Nu’man Hasan.
[17] Hadits-hadits jihad yang penulis cantumkan disini dikutip dari artikel berjudul: Keutamaan Jihad di Jalan Allah, ditulis oleh Ali Farkhan Tsani, minanews.net
[18] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[19] Ibnu Abi Hatim, Thabrani, dan Hakim meriwayatkan: bahwa ayah Abu Ubaidah pada perang Badar selalu mengincarnya, namun Abu Ubaidah selalu menghindarinya; dan ketika ayahnya terus menerus melakukan itu, Abu Ubaidah kemudian mendatanginya dan membunuhnya. Maka turunlah ayat ini.
[20] Dikutip dari Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar, hal. 545, Darun Nafais, Yordania.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/10/08/hizbullah-siapakah-mereka-bag-1/
0 notes
ramlisemmawi-blog · 7 years
Text
ZAKAT PROFESI
oleh
Ramli Semmawi
Pada masa Nabi, sumber pendapatan masyarakat masih relatif terbatas dan tradisional, seperti berdagang, beternak atau bertani. Sementara sekarang, demikian banyak macam pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan yang menghasilkan cukup besar harta. Pekerjaan tersebut dalam banyak hal didasarkan pada adanya keterampilan khusus atau keahlian dari proses pendidikan, seperti profesi dokter, bidan, paramedis, ahli farmasi, akuntan, konsultan, pengacara, notaris, guru, dosen, dan banyak lagi profesi lainnya. Profesi ini kadang dilakukan secara mandiri dan kadang terikat pada pihak lain atau institusi tertentu. Untuk yang terikat, pendapatan mereka disebut gaji atau upah.
Dalam Al-Qur'an disebutkan beberapa macam jenis kekayaan yang dikenai Zakat, yaitu: 1) emas dan perak, 2) tanaman dan buah-buahan, 3) hasil usaha, seperti dagang, dan 4) hasil perut bumi seperti barang tambang. Yang selain itu disebut secara umum dalam kata 'mal' yang jamaknya adalah 'amwal,' yang berati harta kekayaan, termasuk di dalamnya binatang ternak. Syarat harta kekayaan yang dikenai zakat adalah: 1) milik sempurna, 2) produktif dan berkembang, 3) mencapai nisab, 4) kelebihan dari kebutuhan pokok, dan 5) telah berlalu waktu satu tahun hijriah (haul).
Pekerjaan profesi jelas mendatangkan penghasilan dan menjadi sumber pendapatan utama yang menopang kehidupan manusia di zaman modern. Oleh karena itu layak dikenakan dengan memenuhi ketentuan umum tentang zakat atas penghasilan dari melakukan pekerjaan terikat maupun bebas. Hal tersebut dapat didasarkan pada keumuman perintah membayar zakat atas hasil usaha dan keumuman kata amwal yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Saw. Di antara nas-nas umum tersebut adalah: "Wahai orang-orang beriman infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik....(QS. 2: 267); "Dan pada harta-harta mereka, (ada pula bahagian yang mereka tentukan menjadi) hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (tidak meminta)" (QS. az-Zariyat: 19). "Dan mereka (yang menentukan bahagian) pada harta-hartanya, menjadi hak yang termaklum--Bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (tidak meminta)" (QS. al-Ma'arij: 24-25).
Kata infak dalam ayat pertama (QS. 2: 267) adalah mencakup zakat wajib dan sedekah tatawwu'(sukarela); orang yang berzakat mengambil sisi wajibnya zakat dan orang yang berinfak tatawwu' mengambil sisi Sunnahnya memberikan infak. Ibn Jabir at-Tabari menafsirkan infak dalam ayat ini sebagai zakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hasil usaha dalam ayat tersebut dikatakan oleh al-Jassas dalam tafsirnya 'ahkam Al-Qur'an,' "hasil usaha (kasb) itu ada dua macam: 1) keuntungan yang diperoleh melalui pertukaran barang, dan 2) hasil dari kegiatan memberikan jasa. Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam mengkualifikasi penghasilan dari profesi secara khusus dan penghasilan dari pekerjaan bebas dan terikat secara umum. Yusuf al-Qaradawi dan Wahbah az-Zuhaili memasukkannya ke dalam kategorial-mal al-mustafad--penghasilan.
Hasil Bahtsul Masail dalam Munas Alim ulama NU 2002 cenderung memasukkan zakat profesi dan zakat pendapatan dan jasa secara umum (zakah kasb al-mal wa al-mihan al-hurrah) sebagai zakat tijarah. Sementara, di lingkungan Muhammadiyah zakat profesi telah diterima dalam Putusan Tarjih ke-25 di Jakarta tahun 2000. Nisabnya setara 85 gram emas murni 24 karat dan kadar zakat 2,5%. Kedua organisasi terbesar telah mengambil sikap akan zakat profesi, Muhammadiyah dengan 85 gram emas, dan NU 20 dinar emas.
Zakat profesi dikeluarkan pada saat diterima tanpa dikenakan haul, dan dari hasil bersih setelah dipotong pengeluaran kebutuhan pokok minimal. Apabila sisa dari kebutuhan pokok minimal itu mencapai nisab, maka dikeluarkan zakatnya 2,5%. Apabila kelebihan kebutuhan pokok minimal itu tidak mencapai nisab, maka tidak dikenai zakat. Tetapi alangkah baiknya perhitungan zakatnya itu diakumulasikan dalam setahun dikurangi kebutuhan pokok satu tahun, sehingga dimungkinkan tercapai jumlah nisabnya.
Sumber Bacaan:
Al-Qur'an dan Terjemahannya
Ahmad Rofiq. Fiqh Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Syamsul Anwar. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Book. 2007.
0 notes
momsdiaryy-blog · 7 years
Text
Dari Keluarga yang Kecil Menuju Keluarga Besar
     Tabiat keluarga dan komunitasnya dalam islam mengisyaratkan bahwa keluarga " tidak hanya terbatas pada suami-istri dan anak-anak saja" yang biasa disebut dengan keluarga kecil. Akan tetapi " Cakupannya meluas kepada kaum kerabatdari saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, bibi, dan kaum family lainnya yang memiliki garis keturunan . Terus melebar sampai menjadi masyarakat". Inilah keluarga besar itu. Sebagaimana yang tercantum dalam Al qur'an Al Hujurat : 13.      Pembahasan tentang fenomena hubungan antara keluarga kecil dan keluarga besar dipusatkan dalam 7 pasal , yaitu : 1. Takaful Ijtima'i 2. Silaturrahim ( Menyambung kekerabatan ) 3. Pemberian nafkah 4. Perwalian jiwa dan harta 5. Warisan 6. Wasiat 7. Wakaf 1. Takaful Ijtima'i ( jaminan sosial ) a. Bahasan Pertama : Kedudukan Takaful dalam Islam  * Prinsip Takaful dan Asas Penopangnya      Takaful dalam arti ini adalah saling tukar tanggungan, nafkah atau bantuan. " Takafal Muslimin" yakni salah satu sama lain diantara mereka saling mengayomi dengan nasehat, nafkah dsb. Jadi pembahasan ini berbicara tentang dua hal : Pertama : Takaful insan adalah bagian dari muqosid ammah dan ahdaf asasiyah dalam islam. Islam berupaya memenuhi semua hajat pokok setiap manusia - meskipun non muslim, dalam kehidupannya berupa sandang, pangan , keamanan, iffah (memelihara diri) dengan menikah. Kedua : Asas pada prinsip takaful ini adalah asas kemaslahatan, kesatuan dan kekuatan bersama. * Ruang Lingkup Takaful dalam Islam      Takaful memiliki instrumen untuk mewujudkan hubungan antara : - individu : kewajiban zakat, nazar, denda kurban, zakat fitrah, pertolongan kepada orang kelaparan dan membutuhkan. -sosial  : makna ilzamiyyah  (kemestian ) seperti : pengumpulan zakat, memanfaatkan sistem dan sarana takaful secara individu dan memanfaatkan harta orang-orang kaya ketika dibutuhkan, juga meletakkan tata cara pendistribusian harta untuk orang-orang yang berhak. - sukarela : wakaf, wasiat, pemberian makanan, pinjaman, hadiah atau hibah dll. b. Bahasan kedua : Hukum-hukum Umum  * Etika Sosial mengharuskan adanya Takaful      Manusia itu adalah makhluk sosial yang diciptakan untuk hidup dengan berkelompok. Jadi takaful antara (orang-orang kaya) dan ( orang-orang miskin ), salingmembantu diantara sesama mereka dalam keadaan sulit dan saling empati di kala senang termasuk kebutuhan non muslim adalah kaidah asasi yang terpenting untuk tegaknya kebersamaan sosial dan mewujudkan kesatuan dan persaudaraan antara sesama manusia. * Batasan-batasan takaful      Takaful ijtimai dalam islam mencakup penyediaan hajat asasiyah dari daruriyyat ( kebutuhan darurat/ emergency), hajiyat ( kebutuhan dasar ), tahsiniyyat ( kebutuhan pelengkap), tempat tinggal, makanan, pakaian, pengobatan, dan pendidikan secukupnya sesuai dengan standar pada umumnya. * Saling kerjasama dalam masyarakat islam      Masyarakat islam dibangun diatas prinsip saling bekerja dalam kebaikan dan takwa dalam mewujudkan kemaslahatan umat yang saling mengikat diantara individu masyarakatnya dan saling menopang kemampuan pribadi untuk bisa menikah dan membangun keluarga. * Takaful memiliki hak dan kewajiban      Bentuk takaful yang paling digunakan adalah sistem zakat yang diambil dari orang-orang kaya untuk orang-orang miskin yang membutuhkan. Berdasarkan dengan nash-nash dari Al quran dalam QS. At Taubah :  103 dan An Nur : 24 . * Golongan yang berhak diberikan Takaful Dalilnya QS At Taubah : 60 * Takaful dalam Islam landasan bagi Ibadah Harta Takaful dalam islam merupakan salah satu obyek agama yang paling penting dari aturan dan sistem yang ada dimasyarakat Islam dikenal dengan nama ibadah finansial  seperti zakat, nafkah kepada kerabat terdekat. * Hukum terperinci Takaful      Batasan ini mencantumkan hukum-hukum tafshiliyyah bagi takaful dalam bentuk yang global. 2. Silaturrahim      Secara umum silaturrahiim hukumnya wajib. Dan memutuskannya hukumnya haram seperti yang disepakati sebagian fuqoha. Silaturrahim yang paling rendah adalah menghubungkannya dengan ucapan meskipun hanya dengan salam .      Silaturrahim kepada orangtua hukumnya wajib. dan kepada kaum kerabat hukumnya sunnah. Silaturrahim kepada ibu harus lebih diprioritaskan daripada kepada ayah menurut ijma' ( kesepakatan ulama). Silaturrahim seorang anak muslim kepada kedua orangtuanya yang kafir hukumnya sunnah sesuai dengan firman Allah SWT," Dan pergaulilah keduanya dengan baik  ( QS Lukman : 15).      Silaturrahim bisa diperoleh dengan berbagai njenis perbuatan baik, seperti ziarah, tolong menolong, melayani kebutuhannya, mengucapkan dan menjawab salam, menulis surat, dan memberikan harta bagi kaum kerabat,       Memutuskan silaturahim bisa dengan cara : berlaku buruk kepada kaum kerabat atau tidak lagi berbuat ihsan kepadanya. Sebagian ulama malah mengkategorikannya sebagian dosa besar.       Hukum-hukum tentang silaturrahim banyak disebutkan oleh nash-nash syar'i yaitu : QS An Nisa : 1, 36 dan QS Ar Ra'du :21, QS Al Ankabut : 8, QS Al Isra : 23-26. Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Aisyah ra berkata : Rasulullah saw bersabda," Rahim itu tergantung di Arsy sambil berkata: " Barangsiapa yang menyambungkanku maka Allah swt akan menyambungkannya. Dan barangsiapa yang memutuskanku, maka Allah swt akan memutuskannya". * Urgensi silaturrahim  a. keharusan menunaikannya dengan baik serta waspada dari memutuskannya. QS Muhammad :22-23. b. bertujuan untuk menghormati kedudukan ibu, karena rahimnya adalah letak mukjizat ilahi dalam penciptaan manusia. * Sarana dan instrumen silaturrahim a. islam menjadikan silaturrahim sebagai asaa kaidah mirats (warisan). QS An Nisa :11-12.     islam menjadikan silaturrahim sebagai prioritas dalam takaful jamai dan juga asas dalam membangun masyarakat sosial.  b. keharusan tegaknya tonggak-tonggak rasa cinta, hubungan dan muamalah yang baik, tidak berpura-pura dalam menunaikan silaturrahim bagaimanapun kuatnya sebab-sebab gesekan, perbedaan mazhab dan akidah. QS Lukman : 14-15. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru ra dari nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda :" Orang yang menyambung bukanlah orang yang mempertahankan , Akan tetapi orang yang menyambung itu adalah orang yang apabila tali silaturrahim terputus, maka ia menyambungnya ( Hadits shahih , riwayat Bukhari) 3. Nafkah  * Nafkah sebagai wasilah terpenting dari takaful.      Peran individu sebagai bagian dari anggota keluarga kecil dan keluarga besar ikut berperan menyempurnakan peran negara dalam menutupi semua kebutuhan masyarakat agar  tertata dengan detail dan rapi untuk mewujudkan tujuan dari takafil ijtimai dalam islam . *  Nafkah istri, anak-anak kecil dan anggota keluarga a. orang yang memiliki harta , baik laki-laki ataupun perempuan, kecil atau besar, maka nafkahnya         ada pada hartanya itu. kecuali istri secara khusus. Nafkahnya berada dalam tanggungjawab          suaminya, meskipun ia pribadi sudah berkecukupan.  b. Anak-anak kecil yang fuqoro, nafkah mereka berada dalam tanggungan ayahnya, meskipun       ayahnya fakir. Dan yang berperan menafkahi mereka adalah ibunya yang berkecukupan atau kerabat dekat yang mampu menanggung dafkah mereka. sedangkan nafkah anak perempuan berlangsung sampai ia menikah dan pindah ke rumah suaminya. Otomatis hak nafkahnya ditanggung penuh oleh suaminya.      Yang dimaksud dengan lemah dalam mencari penghasilan, seperti : karena sedang menuntut ilmu, merajalelanya pengangguran dan kesulitan mencari nafkah. * Nafkah kepada fuqoro yang berpenghasilan       Laki-laki yang fakir yang tidak memiliki harta, atau memiliki harta tapi tidak cukup, ia harus mencari pekerjaan yang cocok yang bisa mencukupi. Dan bagi walinya, ia harus membantunya secara materi dan menolongnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. QS. Al jumuah : 10 * Nafkah perempuan yang belum bersuami a. Wanita yang belum bersuami atau dicerai atau ditinggal mati suaminya dan telah masa iddahnya, apabila ia memiliki harta maka nafkahnya pada hartanya itu. Jika ia tidak memiliki harta, secara syar'i tidak harus bekerja tapi nafkahnya atas walinya, atau kerabatnya dari yang terdekat dan yang terdekat ( anak laki-lakinya, ayahnya, saudara laki-laki, kakek, paman, dibagi-bagi sesuai dengan kemampuan masing-masing ) b. Apabila seorang wanita yang belum bersuami sudah mampu maka nafkahnya ada pada hartanya itu. c. Apabila seorang wanita tidak memiliki kerabat , harta dan profesi maka nafkahnya sesuai dengan kemampuannya dari harta zakat dan sedekah.kemudian baru ditanggung oleh wali amru dari baitul muslimin. Sama juga dengan nafkah fuqoro yang tidak mampu mencari nafkah . 4. Perwalian jiwa dan harta * Perwalian dan wasiat    a. Orang yang tidak mampu atau kurang mampu, negara berhak melindunginya, melindungi hak-hak dan kepentingan spiritual dan dan materiil.     b. Orang yang tidak mampu atau kurang mampu, kepada para wali dan lembaga-lembaga legislatif, yudikatif dan sosial berhak untuk menjaga dan melindunginya dengan baik, memenej keuangannya dengan baik dan melatihnya agar siap menerima hartanya jika sudah masuk usia puber.  QS. An Nisa : 6 * Perwalian dan pelaksana wasiat a. anak yang kurang mampu dalam ahliyyah ( kelayakan) maka ia harus menggunakan wilayah ( perwalian), wasiat dan qawamah (wilayah qodi/hakim). b. teknis penentuan para wali anak, pelaksana wasiat dan qowwam adalah bersifat teknis praktis. Referensinya kembali kepada buku-buku fikih, system keluarga dan hukum pidana masing-masing negara islam. 5. Waris * Hukum syariat tentang ahli waris ; a. sistem waris ini bersifat ijbari atau dipaksakan penerapannya, bukan berupa pilihan yang bisa dilaksanakan atau ditinggalkan. b. sistem waris diterangkan secara jelas melalui nash yang terang dan pasti dari sisi hukum dan dalil. c. sistem waris memiliki penjelasan yang sangat terinci.     QS  An Nisa : 11-12, 176.       QS Al Anfal : 75 * Pilar-pilar sistem waris.      Sistem waris berdiri di atas prinsip bahwa orang yang mewarisi tidak memiliki penguasaan atas hartanya setelah ia wafat, kecuali dalam batasan sepertiga melalui jalur wasiat. Sebagaimana syariat mewajibkan pemenuhan hak dan hutang bagi orang yang meninggal sebelum pembagian harta warisnya. Syariat juga memerintahkan agar wilayah wasiat tidak lebih dari sepertiga.       Bahwa harta waris yang tersisa setelah pemenuhan hutang dan hak-hak yang harus dipenuhi bila yang bersangkutan meninggalkan wasiat, dianggap peninggalan yang menjadi hak ahli warisnya. syariat yang sangat bijak ini telah mengutamakan pembagiannya diantara anggota keluarganya masing-masing, sesuai tingkat kekerabatannya dengan pembagian yang telah ditentukandan batas pembagian jatah yang mereka terima dari harta waris, tanpa ada campur tangan oleh keinginan pihak yang mewarisi dan pihak yang diwarisi.       Sistem waris meliputi; sejumlah kaidah dan aturan yang memiliki fleksibilitas, keadilan, aplikatif yang benar dan bisa mengahadapi perubahan di setiap kondisi yang diperlukan (syarat waris, sebab-sebabnya, halangan waris, kaidah yang bisa menghalangi seseorang mendapat waris) * Keseimbangan antara sistem waris dan nafka.   Adanya penjelasan secara global tentang korelasi yang kuat antara susunan kekerabatan yang menerima harta waris (ahli waris) dan besar jatah yang mereka dapatkan, dengan kaidah yang mewajibkan pemberian nafkah kepada keluarga. * Keistimewaan sistem dan hukum waris dalam hukum islam.   Sistem waris islam memperhatikan pembagian yang mendahulukan hubungan keturunan yang paling dekat dibanding kekerabatan yang lain  * Standarisasi pembagian ahli waris a. Derajat kekerabatan b. Ahli waris adalah sebagai penerus orang yang meninggal c. Komitmen dengan tanggungan harta yang lebih besar d. Adil e. Penyebaran kekayaan dan tidak boleh terfokus pada tangan satu ahli waris saja 6. Wasiat      Wasiat adalah milik orang yang meninggal. Dan tambahan sukarela setelah kematiannya dari sedikit yang ditinggalkannya kepada ahli warisnya.  * Hikmah dan kedudukan wasiat dalam islam      Wasiat menempati tingkatan kedua setelah penunaian hutang-hutang sepeninggal si mayyit, karena hutang itu wajib dibayar sementara pada dasarnya wasiat adalah sukarela.  * Kadar wasiat             Batasan maksimum wasiat adalah sepertiga dari harta warisan. Apabila tidak ada seorangpun yang mewarisinya, maka tidak apa-apa adanya tambahan itu. karna tidak ada seorang pun yang memihak. * Wasiat kepada ahli waris              Syariat islam mengajrkan, jangan sampai timbul ancaman kepada anak-anak dan kaum kerabat lainnya dengan mengutamakan salah satu dari mereka dalam hidup ini dan setelah kematian. Kecuali jika ada sebab yang dibenarkan syariah dan logika untuk pilih kasih diantara mereka . * Syarat-syarat umum a. syarat orang berwasiat harus berdasarkan pilihan pribadinya tanpa paksaan. b. disyaratkan bagi orang yang diwasiatkan: jelas wujudnya, karna wasiat itu adalah kepemilikan. c. Bisa diterima oleh orang yang diwasiatkan, apabila ia orang tertentu d. barang yang diwasiatkan itu, disyaratkan adalah harta yang bisa di wariskan 7. Wakaf * wakaf adalah,     menahan harta dari peredaran pemiliknya dan setelah kematiannya, menikmati buah dan manfaatnya di jalan Allah untuk kebaikan menusia secara umum. * Asas disyariatkan wakaf        wakaf adalah sedekah jariyah (yang terus mengalir pahalanya). Asalnya tetap dan pahalanya terus berkelanjutan. wakaf adalah sunnah muakkadah (ditekankan) oleh Rasulullah saw. baik secara ucapan maupun prakteknya.  * Syarat wakaf dan hukumnya          barang yang boleh diwakafkan adalah, barang yang boleh dijual dan dimanfaatkan dengan tetap dan mempertahankan dzatnya. * Sasaran wakaf a. dimensi manusia (wakaf MCK) dan wakaf  untuk binatang b. fasilitas umum; wakaf perkebunan c. untuk jihad fisabilillah; wakaf kuda, wakaf peralatan perang d. tidak untuk keturunan pewakaf * wakaf untuk keluarga          yakni, dimana manfaatnya akan kembali kepada ahli waris dari keluarga kaum kerabat dengan tetap memperhatikan pendistribusian kepada para mustahik. Sumber: Tatanan Berkeluarga Dalam Islam (LK3I)
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Link
Hakikatnya, saat seseorang berpihak kepada al-haq, berarti ia telah berpihak dan mengikatkan dirinya kepada hizbullah (kelompok pengikut Allah, golongan Allah, atau partai Allah)
Al-Hizbu secara bahasa artinya adalah: kelompok atau kumpulan manusia. (Al-Qamus Al-Muhith, Fairuz Abadi hal. 94). Berkata Syaikh Shafiyur Rahman Mubarakfuri rahimahullah: “Al-Hizbu secara bahasa adalah sekelompok manusia yang berkumpul karena kesamaan sifat, keuntungan atau ikatan keyakinan dan iman. Karena kukufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Terikat oleh daerah, tanah air, suku bangsa, bahasa, nasab, profesi atau perkara-perkara yang semisalnya, yang biasanya menyebabkan manusia berkumpul atau berkelompok” (Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam, hal.7).
Hizbullah artinya penolong-penolong Allah; kelompok orang-orang yang memihak Allah dan dekat kepada-Nya, bersedia berjuang menegakkan agama-Nya. Kelompok inilah yang akan mencapai puncak keberuntungan dan meraih segala yang mereka harapkan.[1]
Hizbullah tidaklah dapat dinisbatkan kepada satu-dua kelompok atau golongan tertentu yang ada di dalam tubuh umat Islam saat ini—dengan berbagai macam nama dan laqab (julukan/panggilan)-nya—seperti: Hizbullah, Hizbut Tahrir, Ansharu Sunnah, Al-Ikhwan Al-Muslimun, Salafi, Jama’ah Tabligh, Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, Jama’at Islami, Naqsabandiyyah, Tijaniyyah, dan lain-lain; akan tetapi ia dinisbatkan kepada akhlak dan karakter, etika dan moral, yang dimiliki oleh kelompok-kelompok, apa pun nama dan dimana pun mereka berada.
Maka fokus kita sebagai muslim adalah berupaya menetapi al-akhlaqul asasiyyah (akhlak/karakter dasar) hizbullah serta berupaya berhimpun, bekerjasama, atau saling tolong menolong bersama kelompok mana pun yang memiliki karakter dasar tersebut. Allah Ta’ala telah menjelaskannya dengan sangat terang di dua surah: QS. Al-Maidah ayat 54 – 56 dan Al-Mujadilah ayat 22.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang – orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah, 5: 54-56).
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)
*****
Al-Akhlaqul Asasiyyah
Dari dua surah di atas kita ketahui karakter dasar hizbullah adalah sebagai berikut.
Pertama, mahabbatullah (mencintai Allah). Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 54 karakter ini diungkapkan dengan kalimat:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ
“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”
Makna ungkapan ini adalah: Allah meridhai mereka, dan mereka ikhlas kepada Allah dalam beramal dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangan-Nya.[2] Allah mencintai kaum itu dan merekapun mencintai-Nya karena keteguhan hati mereka.[3]
Mereka adalah kaum yang menjauhi perbuatan orang-orang fasiq yang mencintai dunia melebihi cintanya kepada Allah, rasul, dan jihad di jalan-Nya.
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Mereka adalah kaum yang kaya jiwanya karena senantiasa mencintai Allah Ta’ala, mengenal-Nya dan mengingat-Nya. Sebagian salaf mengungkapkan hal ini dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”[4]
Mereka adalah orang-orang yang telah merasakan manisnya iman sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, (3) Ia membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)
Oleh karena itu pantaskanlah diri kita agar menjadi bagian dari hizbullah; berusahalah untuk selalu beramal shalih sehingga Allah Ta’ala mengikutkan kita ke dalam barisan kelompok yang dicintai Allah Ta’ala.
Di antara contoh sebab agar dicintai Allah adalah membaca Al Qur’an dengan mentadabburi dan memahami maknanya, mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah setelah amalan wajib, selalu berdzikr kepada Allah, mendahulukan apa yang dicintai Allah apabila dihadapkan dua hal yang dicintainya, mempelajari nama Allah dan sifat-Nya, memperhatikan nikmat Allah baik yang nampak maupun tersembunyi serta memperhatikan pemberian-Nya kepada kita agar membantu kita bersyukur, pasrah kepada Allah dan menampakkan sikap butuh kepada-Nya, qiyamullail di sepertiga malam terakhir dengan disudahi istighfar dan taubat, duduk bersama orang-orang shalih yang cinta karena Allah serta mengambil nasehat dari mereka dan menjauhi sebab yang menghalangi hati dari mengingat Allah.[5]
Kedua, adillatin ‘alal mu’minin (lemah lembut terhadap mu’minin).
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“…bersikap lemah lembut terhadap orang yang beriman…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka mengasihi orang-orang mu’min, [6] mereka bersikap lemah lembut kepada orang-orang mu’min,[7] mengungkapkan kelemahlembutan, kasih sayang, dan tawadhu kepada orang-orang beriman,[8] mereka berendah hati dengan saudara mu’min mereka.[9]
Kasih sayang, kelemahlembutan, sikap tawadhu dan rendah hati yang mereka tunjukkan tiada lain karena mereka menyadari bahwa sesama mu’min hakikatnya adalah satu tubuh dan satu bangunan. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, simpati mereka bagaikan satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang mengeluh, maka bagian yang lain juga mengikutinya dengan rasa tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim No. 2586, Ahmad No. 18373)
Disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ .
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan antara jari-jarinya)” (Muttafaq ‘alaih).
Mereka adalah kaum yang telah memahami dan berupaya menunaikan hak-hak terhadap sesama muslim sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak menzaliminya, dan tidak menyerahkannya kepada musuhnya. Barangsiapa memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu menolongnya dalam hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seseorang Muslim dari suatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari suatu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aib orang itu pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لَا يَخُوْنُه وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا، بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ .
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak mengkhianati, tidak mendustai, juga tidak enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan. Setiap muslim terhadap muslim lainnya itu adalah haram kehormatannya, hartanya dan haram darahnya. Ketakwaan itu di sini (dalam hati). Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai ia menghina saudaranya sesama muslim.” (Diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan beliau berkata bahwa ini adalah Hadits hasan).
Dalam hadits dari al-Bara’ Ibn ‘Azib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
أمَرَنَا رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِيَادَةٍ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ العَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ وَنَصْرَ الْمَظْلُوْمِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ .
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, menjawab orang bersin, melaksanakan sumpah bagi orang yang bersumpah, menolong orang yang dianiaya, memenuhi undangan orang, dan menyebarkan salam.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketiga, a’izzatin ‘alal kafirin (keras/tegas terhadap kafirin).
أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“…bersikap keras terhadap orang-orang kafir…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka tegas terhadap orang-orang kafir[10], membenci orang-orang kafir, memusuhi mereka, meyakini kekafiran mereka dan memerangi mereka apabila terpenuhi syarat-syarat jihad yang syar’i[11], bersikap keras terhadap musuh dan seterunya.[12] Kata a’izzah adalah bentuk jamak dari kata ‘aziz. Artinya, mereka menunjukkan sikap keras, tegas, dan tinggi atas kaum kafir. Demikian As-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya. Sikap ini sebagaimana juga disebutkan dalam QS. Al-Fath, 48: 29,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”[13]
Namun perlu dipahami bahwa sikap keras dan tegas ini tidak menghalangi mereka untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi karena agama dan tidak pula mengusir mereka dari negeri mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)
Tegasnya, hizbullah memahami bahwa mereka tidak dilarang untuk menghormati, berlaku adil, berbuat baik, dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi mereka karena keislaman mereka dan tidak mengusir mereka dari rumah-runah mereka.
Mereka tidak dilarang oleh Allah Ta’ala untuk memberikan kepada orang-orang kafir seperti itu apa yang menjadi hak mereka, sebagaimana yang dilakukan Asma’ binti Abu Bakar aṣ-Shiddiq terhadap ibunya (yang musyrik, red.) ketika ia mengunjunginya setelah minta izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkannya untuk menyambung silaturahim dengannya.
Hizbullah tidak dilarang melakukan silaturahim, menghormati tetangga non muslim, dan menjamu mereka; menetapi janji, menyampaikan amanat, dan memenuhi pembayaran kepada mereka. Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan atas mereka berbuat adil kepada orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan dan hukum.
Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat dekat lahir batin, yakni orang-orang kafir yang tidak bersedia hidup berdampingan secara damai, bahkan memerangi mereka karena agama, tidak memberi ruang kebebasan dan toleransi beragama; mengusir orang-orang beriman dari tempat tinggal mereka karena pembersihan ras, suku, dan agama serta penguasaan teritorial, juga membantu pihak lain untuk mengusir orang-orang beriman karena kerja sama yang sistemik dan terencana.
Barang siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan karena keuntungan ekonomi, politik, dan keamanan; maka mereka itulah orang yang zalim terhadap perjuangan Islam dan kaum muslimin.[14]
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mu’min dilarang memberikan loyalitas, dukungan, dan kasih sayang kepada orang-orang kafir yang memerangi disebabkan oleh agama, mengusir orang-orang Islam dari negeri mereka, dan membantu orang-orang kafir untuk mengusir mereka. Orang-orang kafir seperti itu haram dijadikan teman setia, sekutu, penolong, pemimpin, dan diberi bantuan dengan perkataan maupun perbuatan.[15]
*****
Oleh karena itu, dalam hubungan dengan kaum muslimin, orang kafir terbagi dalam empat kategori,
Kafir Dzimmi
Penjelasan dari para fuqaha:
أَهْل الذِّمَّةِ هُمُ الْكُفَّارُ الَّذِينَ أُقِرُّوا فِي دَارِ اللإسْلاَمِ عَلَى كُفْرِهِمْ بِالْتِزَامِ الْجِزْيَةِ وَنُفُوذِ أَحْكَامِ الإِسْلاَمِ فِيهِمْ
“Kafir dzimmi adalah orang-orang kafir yang menegaskan kekafirannya di negeri Islam, dengan kewajiban membayar jizyah dan diterapkan hukum-hukum Islam pada mereka.” (Jawaahir Al Iklil, 1/105, Al Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/704)
Kafir Mu’ahad
هُمُ الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ
“Mereka adalah yang mau berdamai dengan imam kaum muslimin untuk mengakhiri perang selama waktu tertentu yang diketahui melihat adanya maslahat hal itu. Al Mu’ahad diambil dari Al-‘Ahdu, yaitu damai sementara.” (Fathul Qadir, 4/293; Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181; Syarhul Kabir, 2/190; Mughni Al Muhtaj,  4/260; Nihayah Al Muhtaj, 7/235)
Istilah lainnya adalah al-hudnah, atau gencatan senjata.
Kafir Musta’man
الْمُسْتَأْمَنُ فِي الأَصْلِ : الطَّالِبُ لِلأَمَانِ ، وَهُوَ الْكَافِرُ يَدْخُل دَارَ الإْسْلاَمِ بِأَمَانٍ ، أَوِ الْمُسْلِمُ إِذَا دَخَل دَارَ الْكُفَّارِ بِأَمَانٍ
“Berasal dari makna ‘orang yang meminta keamanan’ yaitu orang yang masuk ke negeri Islam dengan aman, atau seorang muslim masuk ke negeri bukan Islam dengan aman.” (Durar Al Hukam, 1/262; Ad–Durul Mukhtar, 3/247; Hasyiah Abi Sa’id, 3/440)
Ini mirip dengan istilah ‘suaka’ dimana seseorang meminta perlindungan politik di negeri lain.
 Kafir Harbi
أَهْل الْحَرْبِ أَوِ الْحَرْبِيُّونَ : هُمْ غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ
“Ahlul Harbi atau harbiyun, mereka adalah non muslim yang tidak masuk dalam perjanjian jaminan, juga tidak mendapatkan perjanjian keamanan dan perdamaian dengan kaum muslimin.” (Fathul Qadir, 4/278; Mawahib Al Jalil, 3/346-350; Asy–Syarhush Shaghir, 2/267; Nihayatul Muhtaj, 7/191; Mughnil Muhtaj, 4/209)
Semuanya kategori kafir di atas tidak diboleh diganggu dan diperangi kecuali kafir harbi.[16]
*****
Keempat, al-jihadu wa ‘adamul khaufi minannas (jihad dan tidak takut kepada manusia). Dalam surah Al-Maidah ayat 54 diungkapkan dengan kalimat,
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“…yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”
Dari ayat ini, kita ketahui hizbullah merupakan umat yang selalu siap untuk berjihad—merasakan keletihan, kegentingan, kepedihan, kesulitan, berdaya upaya, mengerahkan kemampuan, dan kerja keras—di jalan Allah; memerangi musuh-musuh Allah, berjuang dengan harta dan jiwa untuk menjunjung tinggi kalimat Allah.
Mereka memahami bahwa jihad adalah martabat tertinggi dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ هَذَا الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اْلجِهَادُ، لاَ يَنَالُهُ إِلاَّ أَفْضَلُهُمْ
“Pokok urusan ini adalah Islam, siapa yang masuk Islam pasti ia selamat, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad yang tidak dapat diraih kecuali orang yang paling utama diantara mereka.” (H.R. Ath-Thabrani).
Pada hadits lain disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Al-jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim).
Pada hadits lain disebutkan, Abu Hurairah bertanya:
مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». وَقَالَ فِى الثَّالِثَةِ « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لاَ يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلاَ صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Amal apakah yang dapat menyamai jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali sedangkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap sama, “Engau tidak akan sanggup melaksanakannya.” Kemudian beliau saw bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah itu seperti orang yang puasa dan shalat, serta membaca ayat-ayat Allah dan ia tidak berbuka dari puasanya dan tidak berhenti dari shalatnya sehingga orang yang berjihad fi sabilillah itu kembali.” (HR. Muslim).
Hizbullah bukanlah orang-orang yang puas dengan kehidupan dunia; mereka mengutamakan kenikmatan yang hakiki di akhirat dibandingkan kenikmatan di dunia; mereka takut akan murka Rabb-nya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ‌ۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأَخِرَةِ‌ۚ فَمَا مَتَـٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِى ٱلۡأَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡڪُمۡ عَذَابًا أَلِيمً۬ا وَيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَڪُمۡ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيۡـًٔ۬ا‌ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah [untuk berperang] pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal keni’matan hidup di dunia ini [dibandingkan dengan kehidupan] di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya [kamu] dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. At-Taubah, 9: 38-39).
Mereka tidak ingin hidupnya ditimpa kehinaan sebagai akibat meninggalkan jihad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Bila kamu berjual-beli dengan ‘inah (dengan cara riba’ dan penipuan), mengikuti ekor-ekor lembu, menyukai bercocok-tanam, dan kamu meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kamu yang tidak akan dicabut sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (H.R. Abu Dawud).
Mereka tidak ingin ditimpa kefakiran. Terutama kefakiran jiwa. Waspadalah, ketika manusia telah berpaling dari jihad di jalan Allah, dan berganti dengan menghadapkan perhatiannya secara penuh kepada berbagai urusan dunia. Maka, Allah timpakan atas mereka kefakiran hati, terlalu tamak dan sangat bakhil, pelit dan kikir, untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah.
As-Sya’bi rahimahullah berkata,
لَمَّا بويع أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْق صَعَدَ الْمِنْبَرَ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ فِيْهِ: لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالْفَقْرِ
“Ketika Abu Bakar as-Shiddiq naik mimbar, beliau menyebutkan hadits dan di dalam hadits itu beliau mengatakan, ‘Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah timpakan kefakiran terhadap mereka.’” (HR Ibnu ‘Asakir).
Mereka pun tidak ingin mati pada satu cabang kemunafikan sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Barangsiapa (seorang Muslim) yang mati, sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak pernah tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan.” (H.R. Muslim).
Mereka akan selalu berupaya terlibat dengan jihad sekecil apa pun peran yang dapat diambilnya. Karena mereka mengetahui orang yang tidak berperang, atau tidak membantu perlengkapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang pergi berperang dengan baik, akan ditimpa kegoncangan sebelum hari kiamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَغْزُ أَوْ يُجَهِّزْ غَازِيًا أَوْ يَخْلُفْ غَازِيًا فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ أَصَابَهُ اللَّهُ بِقَارِعَةٍ
“Siapa yang tidak berperang dan tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” (H.R. Abu Dawud).[17]
*****
Hizbullah juga tidak takut kepada siapapun dijalan Allah; tidak takut celaan dan cemoohan yang dilontarkan oleh para pencela; tidak takut pada cibiran saat melakukan tugas agama; mereka teguh dan tak menghiraukan apa yang dilakukan musuh-musuh Islam dan hizbus syaithan, seperti hinaan dan anggapan buruk karena kedengkian dan kemurkaan mereka terhadap al-haq dan orang-orang yang berada didalamnya. Mereka bahkan semakin solid, karena mereka lebih mendahulukan ridha Allah daripada kerelaan makhluk.[18]
Karakter dan sikap mental tidak takut celaan dan cemoohan di jalan Allah adalah sesuatu yang sangat penting karena hal itu menunjukkan teguhnya komitmen dan kokohnya keimanan. Oleh karena itu pantaslah jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai salah satu point janji setia dalam bai’at Aqabah, sebagaimana disebutkan hadits berikut ini.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ إِسْحَقَ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُ كُنَّا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Ayyub, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ibnu Ishaq dan Yahya bin Sa’id dari ‘Ubadah bin Al Walid bin Ash Shamit dari ayahya dari kakeknya, ia berkata: ‘Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit dan mudah, kami senangi maupun kami benci, dan tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, dan melakukan kebenaran dimanapun kami berada, tidak takut kepada celaan orang yang mencela.’” (HR. An-Nasa’i)
*****
Kelima, al-wala-u (kecintaan, kesetiaan, loyalitas, pembelaan) kepada Allah, rasul, dan mu’minin.
Karakter ini diungkapkam dalam surah Al-Mujadilah ayat 22 yang telah dikemukakan sebelumnya,
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)[19]
Orang-orang yang beriman dengan sebenarnya tidak mungkin saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mungkin mencintai dan menjadikan musuh Allah dan Rasul-Nya sebagai sekutu. Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka sendiri. Sebab keimanan mereka melarang mereka untuk mencintai orang yang menentang Allah dan rasulullah; dan menjaga keimanan lebih utama daripada menjaga hubungan dengan bapak, anak, saudara atau kerabat.[20]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي ال��هِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728]).
Allah Ta’ala telah meneguhkan keimanan dalam hati mereka, dan Dia menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya untuk melawan musuh mereka di dunia. Di ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan pertolongan dari-Nya dengan istilah ‘ruh’ (وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ), karena dengan pertolongan itu urusan mereka dapat berlanjut.
Allah Ta’ala menjanjikan kepada mereka akan dimasukan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya; selama-lamanya. Hal ini tidak lain karena Allah telah ridha terhadap mereka; menerima amalan mereka dan memberi mereka rahmat-Nya di dunia maupun di akhirat. Merekapun telah merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya; mereka bergembira dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka baik itu di dunia maupun di akirat.
Mereka itulah hizbullah, yakni tentara-Nya yang mentaati perintah-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya, dan menolong para kekasih-Nya. Mereka itulah orang-orang yang akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI, jilid X, hal. 71
[2] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[3] Tafsir Al-Mukhtashar
[4] As-Syariah Edisi 079, Jalan Meraih Manisnya Iman, Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[5] Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an, Marwan Hadidi bin Musa
[6] Tafsir Al-Muyassar
[7] Tafsir Al-Mukhtashar
[8] Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar.
[9] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[10] Tafsir Al-Muyassar.
[11] Sifat-sifat Orang yang Beriman dalam Al-Maidah ayat 54, Sofyan Chalid Ruray.
[12] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir
[13] Tafsir QS. Al-Maidah, 5: 54, Rokhmat S. Labib, M.E.I.
[14] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[15] Ibid.
[16] Status dan Kedudukan kaum Kuffar (non muslim) di Negeri Muslim, Farid Nu’man Hasan.
[17] Hadits-hadits jihad yang penulis cantumkan disini dikutip dari artikel berjudul: Keutamaan Jihad di Jalan Allah, ditulis oleh Ali Farkhan Tsani, minanews.net
[18] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[19] Ibnu Abi Hatim, Thabrani, dan Hakim meriwayatkan: bahwa ayah Abu Ubaidah pada perang Badar selalu mengincarnya, namun Abu Ubaidah selalu menghindarinya; dan ketika ayahnya terus menerus melakukan itu, Abu Ubaidah kemudian mendatanginya dan membunuhnya. Maka turunlah ayat ini.
[20] Dikutip dari Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar, hal. 545, Darun Nafais, Yordania.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/10/08/hizbullah-siapakah-mereka-bag-1/
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Link
Hakikatnya, saat seseorang berpihak kepada al-haq, berarti ia telah berpihak dan mengikatkan dirinya kepada hizbullah (kelompok pengikut Allah, golongan Allah, atau partai Allah)
Al-Hizbu secara bahasa artinya adalah: kelompok atau kumpulan manusia. (Al-Qamus Al-Muhith, Fairuz Abadi hal. 94). Berkata Syaikh Shafiyur Rahman Mubarakfuri rahimahullah: “Al-Hizbu secara bahasa adalah sekelompok manusia yang berkumpul karena kesamaan sifat, keuntungan atau ikatan keyakinan dan iman. Karena kukufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Terikat oleh daerah, tanah air, suku bangsa, bahasa, nasab, profesi atau perkara-perkara yang semisalnya, yang biasanya menyebabkan manusia berkumpul atau berkelompok” (Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam, hal.7).
Hizbullah artinya penolong-penolong Allah; kelompok orang-orang yang memihak Allah dan dekat kepada-Nya, bersedia berjuang menegakkan agama-Nya. Kelompok inilah yang akan mencapai puncak keberuntungan dan meraih segala yang mereka harapkan.[1]
Hizbullah tidaklah dapat dinisbatkan kepada satu-dua kelompok atau golongan tertentu yang ada di dalam tubuh umat Islam saat ini—dengan berbagai macam nama dan laqab (julukan/panggilan)-nya—seperti: Hizbullah, Hizbut Tahrir, Ansharu Sunnah, Al-Ikhwan Al-Muslimun, Salafi, Jama’ah Tabligh, Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, Jama’at Islami, Naqsabandiyyah, Tijaniyyah, dan lain-lain; akan tetapi ia dinisbatkan kepada akhlak dan karakter, etika dan moral, yang dimiliki oleh kelompok-kelompok, apa pun nama dan dimana pun mereka berada.
Maka fokus kita sebagai muslim adalah berupaya menetapi al-akhlaqul asasiyyah (akhlak/karakter dasar) hizbullah serta berupaya berhimpun, bekerjasama, atau saling tolong menolong bersama kelompok mana pun yang memiliki karakter dasar tersebut. Allah Ta’ala telah menjelaskannya dengan sangat terang di dua surah: QS. Al-Maidah ayat 54 – 56 dan Al-Mujadilah ayat 22.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang – orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah, 5: 54-56).
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)
*****
Al-Akhlaqul Asasiyyah
Dari dua surah di atas kita ketahui karakter dasar hizbullah adalah sebagai berikut.
Pertama, mahabbatullah (mencintai Allah). Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 54 karakter ini diungkapkan dengan kalimat:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ
“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”
Makna ungkapan ini adalah: Allah meridhai mereka, dan mereka ikhlas kepada Allah dalam beramal dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangan-Nya.[2] Allah mencintai kaum itu dan merekapun mencintai-Nya karena keteguhan hati mereka.[3]
Mereka adalah kaum yang menjauhi perbuatan orang-orang fasiq yang mencintai dunia melebihi cintanya kepada Allah, rasul, dan jihad di jalan-Nya.
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Mereka adalah kaum yang kaya jiwanya karena senantiasa mencintai Allah Ta’ala, mengenal-Nya dan mengingat-Nya. Sebagian salaf mengungkapkan hal ini dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”[4]
Mereka adalah orang-orang yang telah merasakan manisnya iman sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, (3) Ia membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)
Oleh karena itu pantaskanlah diri kita agar menjadi bagian dari hizbullah; berusahalah untuk selalu beramal shalih sehingga Allah Ta’ala mengikutkan kita ke dalam barisan kelompok yang dicintai Allah Ta’ala.
Di antara contoh sebab agar dicintai Allah adalah membaca Al Qur’an dengan mentadabburi dan memahami maknanya, mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah setelah amalan wajib, selalu berdzikr kepada Allah, mendahulukan apa yang dicintai Allah apabila dihadapkan dua hal yang dicintainya, mempelajari nama Allah dan sifat-Nya, memperhatikan nikmat Allah baik yang nampak maupun tersembunyi serta memperhatikan pemberian-Nya kepada kita agar membantu kita bersyukur, pasrah kepada Allah dan menampakkan sikap butuh kepada-Nya, qiyamullail di sepertiga malam terakhir dengan disudahi istighfar dan taubat, duduk bersama orang-orang shalih yang cinta karena Allah serta mengambil nasehat dari mereka dan menjauhi sebab yang menghalangi hati dari mengingat Allah.[5]
Kedua, adillatin ‘alal mu’minin (lemah lembut terhadap mu’minin).
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“…bersikap lemah lembut terhadap orang yang beriman…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka mengasihi orang-orang mu’min, [6] mereka bersikap lemah lembut kepada orang-orang mu’min,[7] mengungkapkan kelemahlembutan, kasih sayang, dan tawadhu kepada orang-orang beriman,[8] mereka berendah hati dengan saudara mu’min mereka.[9]
Kasih sayang, kelemahlembutan, sikap tawadhu dan rendah hati yang mereka tunjukkan tiada lain karena mereka menyadari bahwa sesama mu’min hakikatnya adalah satu tubuh dan satu bangunan. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, simpati mereka bagaikan satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang mengeluh, maka bagian yang lain juga mengikutinya dengan rasa tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim No. 2586, Ahmad No. 18373)
Disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ .
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan antara jari-jarinya)” (Muttafaq ‘alaih).
Mereka adalah kaum yang telah memahami dan berupaya menunaikan hak-hak terhadap sesama muslim sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak menzaliminya, dan tidak menyerahkannya kepada musuhnya. Barangsiapa memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu menolongnya dalam hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seseorang Muslim dari suatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari suatu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aib orang itu pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لَا يَخُوْنُه وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا، بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ .
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak mengkhianati, tidak mendustai, juga tidak enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan. Setiap muslim terhadap muslim lainnya itu adalah haram kehormatannya, hartanya dan haram darahnya. Ketakwaan itu di sini (dalam hati). Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai ia menghina saudaranya sesama muslim.” (Diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan beliau berkata bahwa ini adalah Hadits hasan).
Dalam hadits dari al-Bara’ Ibn ‘Azib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
أمَرَنَا رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِيَادَةٍ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ العَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ وَنَصْرَ الْمَظْلُوْمِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ .
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, menjawab orang bersin, melaksanakan sumpah bagi orang yang bersumpah, menolong orang yang dianiaya, memenuhi undangan orang, dan menyebarkan salam.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketiga, a’izzatin ‘alal kafirin (keras/tegas terhadap kafirin).
أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“…bersikap keras terhadap orang-orang kafir…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka tegas terhadap orang-orang kafir[10], membenci orang-orang kafir, memusuhi mereka, meyakini kekafiran mereka dan memerangi mereka apabila terpenuhi syarat-syarat jihad yang syar’i[11], bersikap keras terhadap musuh dan seterunya.[12] Kata a’izzah adalah bentuk jamak dari kata ‘aziz. Artinya, mereka menunjukkan sikap keras, tegas, dan tinggi atas kaum kafir. Demikian As-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya. Sikap ini sebagaimana juga disebutkan dalam QS. Al-Fath, 48: 29,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”[13]
Namun perlu dipahami bahwa sikap keras dan tegas ini tidak menghalangi mereka untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi karena agama dan tidak pula mengusir mereka dari negeri mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)
Tegasnya, hizbullah memahami bahwa mereka tidak dilarang untuk menghormati, berlaku adil, berbuat baik, dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi mereka karena keislaman mereka dan tidak mengusir mereka dari rumah-runah mereka.
Mereka tidak dilarang oleh Allah Ta’ala untuk memberikan kepada orang-orang kafir seperti itu apa yang menjadi hak mereka, sebagaimana yang dilakukan Asma’ binti Abu Bakar aṣ-Shiddiq terhadap ibunya (yang musyrik, red.) ketika ia mengunjunginya setelah minta izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkannya untuk menyambung silaturahim dengannya.
Hizbullah tidak dilarang melakukan silaturahim, menghormati tetangga non muslim, dan menjamu mereka; menetapi janji, menyampaikan amanat, dan memenuhi pembayaran kepada mereka. Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan atas mereka berbuat adil kepada orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan dan hukum.
Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat dekat lahir batin, yakni orang-orang kafir yang tidak bersedia hidup berdampingan secara damai, bahkan memerangi mereka karena agama, tidak memberi ruang kebebasan dan toleransi beragama; mengusir orang-orang beriman dari tempat tinggal mereka karena pembersihan ras, suku, dan agama serta penguasaan teritorial, juga membantu pihak lain untuk mengusir orang-orang beriman karena kerja sama yang sistemik dan terencana.
Barang siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan karena keuntungan ekonomi, politik, dan keamanan; maka mereka itulah orang yang zalim terhadap perjuangan Islam dan kaum muslimin.[14]
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mu’min dilarang memberikan loyalitas, dukungan, dan kasih sayang kepada orang-orang kafir yang memerangi disebabkan oleh agama, mengusir orang-orang Islam dari negeri mereka, dan membantu orang-orang kafir untuk mengusir mereka. Orang-orang kafir seperti itu haram dijadikan teman setia, sekutu, penolong, pemimpin, dan diberi bantuan dengan perkataan maupun perbuatan.[15]
*****
Oleh karena itu, dalam hubungan dengan kaum muslimin, orang kafir terbagi dalam empat kategori,
Kafir Dzimmi
Penjelasan dari para fuqaha:
أَهْل الذِّمَّةِ هُمُ الْكُفَّارُ الَّذِينَ أُقِرُّوا فِي دَارِ اللإسْلاَمِ عَلَى كُفْرِهِمْ بِالْتِزَامِ الْجِزْيَةِ وَنُفُوذِ أَحْكَامِ الإِسْلاَمِ فِيهِمْ
“Kafir dzimmi adalah orang-orang kafir yang menegaskan kekafirannya di negeri Islam, dengan kewajiban membayar jizyah dan diterapkan hukum-hukum Islam pada mereka.” (Jawaahir Al Iklil, 1/105, Al Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/704)
Kafir Mu’ahad
هُمُ الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ
“Mereka adalah yang mau berdamai dengan imam kaum muslimin untuk mengakhiri perang selama waktu tertentu yang diketahui melihat adanya maslahat hal itu. Al Mu’ahad diambil dari Al-‘Ahdu, yaitu damai sementara.” (Fathul Qadir, 4/293; Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181; Syarhul Kabir, 2/190; Mughni Al Muhtaj,  4/260; Nihayah Al Muhtaj, 7/235)
Istilah lainnya adalah al-hudnah, atau gencatan senjata.
Kafir Musta’man
الْمُسْتَأْمَنُ فِي الأَصْلِ : الطَّالِبُ لِلأَمَانِ ، وَهُوَ الْكَافِرُ يَدْخُل دَارَ الإْسْلاَمِ بِأَمَانٍ ، أَوِ الْمُسْلِمُ إِذَا دَخَل دَارَ الْكُفَّارِ بِأَمَانٍ
“Berasal dari makna ‘orang yang meminta keamanan’ yaitu orang yang masuk ke negeri Islam dengan aman, atau seorang muslim masuk ke negeri bukan Islam dengan aman.” (Durar Al Hukam, 1/262; Ad–Durul Mukhtar, 3/247; Hasyiah Abi Sa’id, 3/440)
Ini mirip dengan istilah ‘suaka’ dimana seseorang meminta perlindungan politik di negeri lain.
 Kafir Harbi
أَهْل الْحَرْبِ أَوِ الْحَرْبِيُّونَ : هُمْ غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ
“Ahlul Harbi atau harbiyun, mereka adalah non muslim yang tidak masuk dalam perjanjian jaminan, juga tidak mendapatkan perjanjian keamanan dan perdamaian dengan kaum muslimin.” (Fathul Qadir, 4/278; Mawahib Al Jalil, 3/346-350; Asy–Syarhush Shaghir, 2/267; Nihayatul Muhtaj, 7/191; Mughnil Muhtaj, 4/209)
Semuanya kategori kafir di atas tidak diboleh diganggu dan diperangi kecuali kafir harbi.[16]
*****
Keempat, al-jihadu wa ‘adamul khaufi minannas (jihad dan tidak takut kepada manusia). Dalam surah Al-Maidah ayat 54 diungkapkan dengan kalimat,
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“…yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”
Dari ayat ini, kita ketahui hizbullah merupakan umat yang selalu siap untuk berjihad—merasakan keletihan, kegentingan, kepedihan, kesulitan, berdaya upaya, mengerahkan kemampuan, dan kerja keras—di jalan Allah; memerangi musuh-musuh Allah, berjuang dengan harta dan jiwa untuk menjunjung tinggi kalimat Allah.
Mereka memahami bahwa jihad adalah martabat tertinggi dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ هَذَا الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اْلجِهَادُ، لاَ يَنَالُهُ إِلاَّ أَفْضَلُهُمْ
“Pokok urusan ini adalah Islam, siapa yang masuk Islam pasti ia selamat, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad yang tidak dapat diraih kecuali orang yang paling utama diantara mereka.” (H.R. Ath-Thabrani).
Pada hadits lain disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Al-jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim).
Pada hadits lain disebutkan, Abu Hurairah bertanya:
مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». وَقَالَ فِى الثَّالِثَةِ « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لاَ يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلاَ صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Amal apakah yang dapat menyamai jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali sedangkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap sama, “Engau tidak akan sanggup melaksanakannya.” Kemudian beliau saw bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah itu seperti orang yang puasa dan shalat, serta membaca ayat-ayat Allah dan ia tidak berbuka dari puasanya dan tidak berhenti dari shalatnya sehingga orang yang berjihad fi sabilillah itu kembali.” (HR. Muslim).
Hizbullah bukanlah orang-orang yang puas dengan kehidupan dunia; mereka mengutamakan kenikmatan yang hakiki di akhirat dibandingkan kenikmatan di dunia; mereka takut akan murka Rabb-nya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ‌ۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأَخِرَةِ‌ۚ فَمَا مَتَـٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِى ٱلۡأَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡڪُمۡ عَذَابًا أَلِيمً۬ا وَيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَڪُمۡ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيۡـًٔ۬ا‌ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah [untuk berperang] pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal keni’matan hidup di dunia ini [dibandingkan dengan kehidupan] di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya [kamu] dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. At-Taubah, 9: 38-39).
Mereka tidak ingin hidupnya ditimpa kehinaan sebagai akibat meninggalkan jihad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Bila kamu berjual-beli dengan ‘inah (dengan cara riba’ dan penipuan), mengikuti ekor-ekor lembu, menyukai bercocok-tanam, dan kamu meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kamu yang tidak akan dicabut sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (H.R. Abu Dawud).
Mereka tidak ingin ditimpa kefakiran. Terutama kefakiran jiwa. Waspadalah, ketika manusia telah berpaling dari jihad di jalan Allah, dan berganti dengan menghadapkan perhatiannya secara penuh kepada berbagai urusan dunia. Maka, Allah timpakan atas mereka kefakiran hati, terlalu tamak dan sangat bakhil, pelit dan kikir, untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah.
As-Sya’bi rahimahullah berkata,
لَمَّا بويع أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْق صَعَدَ الْمِنْبَرَ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ فِيْهِ: لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالْفَقْرِ
“Ketika Abu Bakar as-Shiddiq naik mimbar, beliau menyebutkan hadits dan di dalam hadits itu beliau mengatakan, ‘Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah timpakan kefakiran terhadap mereka.’” (HR Ibnu ‘Asakir).
Mereka pun tidak ingin mati pada satu cabang kemunafikan sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Barangsiapa (seorang Muslim) yang mati, sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak pernah tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan.” (H.R. Muslim).
Mereka akan selalu berupaya terlibat dengan jihad sekecil apa pun peran yang dapat diambilnya. Karena mereka mengetahui orang yang tidak berperang, atau tidak membantu perlengkapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang pergi berperang dengan baik, akan ditimpa kegoncangan sebelum hari kiamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَغْزُ أَوْ يُجَهِّزْ غَازِيًا أَوْ يَخْلُفْ غَازِيًا فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ أَصَابَهُ اللَّهُ بِقَارِعَةٍ
“Siapa yang tidak berperang dan tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” (H.R. Abu Dawud).[17]
*****
Hizbullah juga tidak takut kepada siapapun dijalan Allah; tidak takut celaan dan cemoohan yang dilontarkan oleh para pencela; tidak takut pada cibiran saat melakukan tugas agama; mereka teguh dan tak menghiraukan apa yang dilakukan musuh-musuh Islam dan hizbus syaithan, seperti hinaan dan anggapan buruk karena kedengkian dan kemurkaan mereka terhadap al-haq dan orang-orang yang berada didalamnya. Mereka bahkan semakin solid, karena mereka lebih mendahulukan ridha Allah daripada kerelaan makhluk.[18]
Karakter dan sikap mental tidak takut celaan dan cemoohan di jalan Allah adalah sesuatu yang sangat penting karena hal itu menunjukkan teguhnya komitmen dan kokohnya keimanan. Oleh karena itu pantaslah jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai salah satu point janji setia dalam bai’at Aqabah, sebagaimana disebutkan hadits berikut ini.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ إِسْحَقَ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُ كُنَّا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Ayyub, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ibnu Ishaq dan Yahya bin Sa’id dari ‘Ubadah bin Al Walid bin Ash Shamit dari ayahya dari kakeknya, ia berkata: ‘Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit dan mudah, kami senangi maupun kami benci, dan tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, dan melakukan kebenaran dimanapun kami berada, tidak takut kepada celaan orang yang mencela.’” (HR. An-Nasa’i)
*****
Kelima, al-wala-u (kecintaan, kesetiaan, loyalitas, pembelaan) kepada Allah, rasul, dan mu’minin.
Karakter ini diungkapkam dalam surah Al-Mujadilah ayat 22 yang telah dikemukakan sebelumnya,
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)[19]
Orang-orang yang beriman dengan sebenarnya tidak mungkin saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mungkin mencintai dan menjadikan musuh Allah dan Rasul-Nya sebagai sekutu. Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka sendiri. Sebab keimanan mereka melarang mereka untuk mencintai orang yang menentang Allah dan rasulullah; dan menjaga keimanan lebih utama daripada menjaga hubungan dengan bapak, anak, saudara atau kerabat.[20]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728]).
Allah Ta’ala telah meneguhkan keimanan dalam hati mereka, dan Dia menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya untuk melawan musuh mereka di dunia. Di ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan pertolongan dari-Nya dengan istilah ‘ruh’ (وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ), karena dengan pertolongan itu urusan mereka dapat berlanjut.
Allah Ta’ala menjanjikan kepada mereka akan dimasukan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya; selama-lamanya. Hal ini tidak lain karena Allah telah ridha terhadap mereka; menerima amalan mereka dan memberi mereka rahmat-Nya di dunia maupun di akhirat. Merekapun telah merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya; mereka bergembira dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka baik itu di dunia maupun di akirat.
Mereka itulah hizbullah, yakni tentara-Nya yang mentaati perintah-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya, dan menolong para kekasih-Nya. Mereka itulah orang-orang yang akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI, jilid X, hal. 71
[2] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[3] Tafsir Al-Mukhtashar
[4] As-Syariah Edisi 079, Jalan Meraih Manisnya Iman, Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[5] Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an, Marwan Hadidi bin Musa
[6] Tafsir Al-Muyassar
[7] Tafsir Al-Mukhtashar
[8] Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar.
[9] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[10] Tafsir Al-Muyassar.
[11] Sifat-sifat Orang yang Beriman dalam Al-Maidah ayat 54, Sofyan Chalid Ruray.
[12] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir
[13] Tafsir QS. Al-Maidah, 5: 54, Rokhmat S. Labib, M.E.I.
[14] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[15] Ibid.
[16] Status dan Kedudukan kaum Kuffar (non muslim) di Negeri Muslim, Farid Nu’man Hasan.
[17] Hadits-hadits jihad yang penulis cantumkan disini dikutip dari artikel berjudul: Keutamaan Jihad di Jalan Allah, ditulis oleh Ali Farkhan Tsani, minanews.net
[18] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[19] Ibnu Abi Hatim, Thabrani, dan Hakim meriwayatkan: bahwa ayah Abu Ubaidah pada perang Badar selalu mengincarnya, namun Abu Ubaidah selalu menghindarinya; dan ketika ayahnya terus menerus melakukan itu, Abu Ubaidah kemudian mendatanginya dan membunuhnya. Maka turunlah ayat ini.
[20] Dikutip dari Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar, hal. 545, Darun Nafais, Yordania.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/10/08/hizbullah-siapakah-mereka-bag-1/
0 notes