#cakrabuana
Explore tagged Tumblr posts
Text
Baarakallah, Bapak, Ibuk, Papa🥹😭
Alhamdulillaah, biidznillah hari ini, adik terakhirku Allah izinkan diterima di salah satu universitas negeri yang sangat bagus dan tepat untuknya. Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) dengan jurusan sesuai minatnya (Hubungan Internasional) yang proses untuk mendapatkan izin ke jurusan ini tidak semudah itu. Semoga ini menjadi awal yang baik, agar Dzakwan bisa mendapatkan rezeki berlimpah berkah, lebih dari rezeki abang kakaknya serta tentunya menjadi tempat yang menemaninya bertumbuh dalam kesholihan aamiin😭🤍
Berulang kali bersyukur sama Allah yang rasanya gaakan pernah cukup karena kebaikan yang Allah kasih sangat amat diluar yang bisa dibayangkan. Alhamdulillaah, dengan ini bapak dan ibuk anak-anaknya resmi berhasil masuk Universitas Negeri dan insyaaAllah nantipun dapat pekerjaan yang berkah dan bonavit🥹 bismillaah, semoga Allah lancarkan awal perjuangan adik tersayangkuu🤍🤍🤍

Rabu, 28 Mei 2025. Ditulis di kereta Cakrabuana menuju Jakarta🤍 Baarakallah Adik, dan orangtuaku tersayang🩶🤍
0 notes
Text
Solusi Traveling Hemat, KAI Daop 1 Jakarta Hadirkan Tarif Parsial untuk KA Gunungjati dan Cakrabuana
KAI Daop 1 Jakarta hadirkan Tarif Parsial untuk KA Gunungjati dan KA Cakrabuana, yang bisa dimanfaatkan untuk explore ke berbagai kota. Dalam rangka memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pelanggan setianya, PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daop 1 Jakarta menghadirkan tarif parsial untuk dua layanan kereta api terbaru, yaitu KA Gunungjati dan KA Cakrabuana. Inovasi tarif ini menjadi solusi…
0 notes
Text
Ratusan Warga Demo Tolak Tambang dan Desak Perbaikan Infrastruktur di Karawang
KARAWANG – Ratusan warga yang tergabung dalam kelompok Cakrabuana Alam Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di depan PT Jui Shin Indonesia, yang berlokasi di Dusun Sirnamulya, RT 01 RW 04, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, Kamis (17/4). Aksi tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Mitra Pesisir Buana (MPB) di wilayah…
0 notes
Text
Mudik Murah Dengan Kereta Api Cakrabuana dan Gunung Jati
Guna meningkatkan minat masyarakat dalam menggunakan transportasi kereta api selama Angkutan Mudik Lebaran 2025, KAI menghadirkan Promo diskon 25% untuk kereta api Cakrabuana dan Gunung Jati bagi pelanggan yang melakukan perjalanan di periode 28-31 Maret 2025. Diskon tarif ini dilakukan sebagai alternatif transportasi bagi masyarakat yang hendak mudik dengan murah dan efisien. Manager Humas Daop…
0 notes
Text
Jakarta, 05 Februari 2025
Memutuskan untuk pergi ke Mantan IbuKota ini karena ada rute terbaru GAPEKA 2025 yang meresmikan kereta relasi Cirebon-Gambir dengan nama Kereta Cakrabuana dan GunungJati.
Dari semalam sudah prepare barang bawaan sampai tidak bisa tidur. Pukul 04.30 WIB sudah bergegas siap-siap,namun balik lagi karena aku termasuk Tim yang mepet,sepagi apapun dipersiapkan akan ada aja gebrakan yang bikin hati darderdor.
Pesan Grab dicek beberapa kali sudah sesuai titik,baik kita pesan. Gong! kok malah kesini? Yap salah stasiun. Padahal 15 menitan lagi kereta akan berangkat, dengan perasaan yang tidak enak akhirnya aku beritahu driver bahwa aku salah titik tujuan. Untungnya driver segera memutar arah dan dengan kepepetan waktu aku sampai di stasiun yang benar,huft.
Setelah boarding pass,duduk sebentar lalu diarahkan untuk segera ke peron karena beberapa menit lagi kereta akan tiba. Suasana campur aduk antara senang,penasaran,menantang diri ini,percaya sepenuhnya pada diri ini,dan mari kita tengok Jakarta.
Selama perjalanan berangkat semua berjalan lancar, melihat pemandangan yang indah diluar jendela sana, merenung,termenung dan menitikan air mata. Masa Refleksi dimulai.
Culture shock saat akan memasuki area Jakarta adalah.... sepanjang rel kereta disuguhi rumah semacam gubuk liar yang sangat kumuh,sampah disepanjang rel kereta,sungai yang penuh dengan sampah,orang-orang yang tidur disembarang tempat, dan sangat terasa sekali kesenjangan sosial nya. Dalam hati berbisik, Bersyukur aku dilahirkan,dibesarkan, di Cirebon.
Setelah melihat itu,mataku dikagetkan lagi dengan gedung-gedung yang bagus nan menjulang tinggi. Seperti Jakarta sedang berkata, Inilah aku si Kota Metropolitan.
Ada gedung MNC TV, gedung pemerintahan dan masih banyak lagi,seperti mimpi tapi nyata. Akhirnya kaki ini menginjak IbuKota. Sungguh pengalaman yang sangat berkesan.
Di Jakarta kami pertama-tama menuju Halte bus TransJakarta untuk menuju ke Museum Kebangkitan Nasional, aku sudah memesan tiket jauh-jauh hari sebesar Rp. 5000,-/orangnya. Menjelajahi sekolah Stovia.
Lanjut ke Kota Tua Jakarta,kami masuk ke Museum Fatahillah, disana cukup seru dan bisa menjadi sarana edukasi dari anak-anak sampai orang dewasa, membayar tiket kurang lebih sebesar Rp.10.000,-/orang, melihat penjara bawah tanah dan penjara perempuan pada saat masa kolonial Belanda.
Terakhir,kita menyore di Monas atau Monumen Nasional, sangat kagum ketika mata ini dengan jelas melihat besar dan gagahnya Tugu Monas. Saat sedang berjalan untuk sampai ke Museum Monas kami di datangi oleh anak-anak Sekolah Menengah Atas (sepertinya) dari Santamaria untuk dijadikan narasumber dari tugas mereka. Awalnya aku menolak dan berakhir temanku yang jadi korban sebagai narasumber dari pertanyaan mereka.
Aku sengaja berjalan menjauh untuk lebih lekat melihat Monas,eh eh kok kelompok lain malah berjalan kearahku,alamak...
Akhirnya aku menjadi narasumber juga di kelompok yang lain,setelah 3 pertanyaan kujawab akhirnya aku bisa melanjutkan perjalananku,walau ada beberapa kelompok lain yang meminta kami menjadi narasumber dengan berat hati kami tolak karean waktuku di Jakarta tidak banyak sayangggg...
Didalam museum Monas kami membayar tiket sebesar kurang lebih Rp. 24.000 - 35.000/orang kalau tidak salah. Melihat sejarah masa-masa sebelum dan setelah orde baru,beberapa peperangan yang terjadi sebelum dan setelah Indonesia merdeka,Ormas yang mulai muncul dan bersama membangun Indonesia. Kami meneruskan untuk sampai di puncak kedua monas lebih tepatnya di baris kedua sebelum puncak tertingginya yang terdapat emas diponcong monasnya.
Menikmati indah sorenya Kota Jakarta dari atas ini, sungguh padat sekali, gedung menjulang tinggi bak ingin mencakar langit, masjid Istiqlal yang selalu aku lihat didalam layar televisi ketika kumandang azan magrib berlangsung disiarkan, stasiun gambir yang terlihat dari atas monas, sebelah selatan yang sedang turun hujan, area hijau yang kurang terlihat karena tertutup oleh banyaknya gedung pemerintahan.
Kami memutuskan untuk makan bakso di area luar monas sebelum kembali ke stasiun gambir karena keretaku akan tiba pukul 19.10 WIB. Dari monas memutuskan untuk berjalan kaki kurang lebih 15-20 menit untuk sampai di stasiun gambir,cukup gempor ternyata wkwkwk. Tapi sangat menikmati perjalanan jalan kaki melihat hiruk-piruk jalanan kota yang padat,transum yang sesak terisi orang-orang balik kerja. Lagi-lagi aku bersyukur tinggal di Cirebon.
Setelah berpamitan, aku tinggal menunggu kereta tiba. Aku bertemu stranger yang nampaknya ia baru pertama kali naik kereta,alhasil aku dan dia mengobrol dan aku membabntu ia mencari gerbong serta kursi sesuai tiket, dia akan turun di Jatibarang sedangkan aku di Cirebon.
Terimakasih Jakarta, Kota yang sangat sabar ditempati banyak manusia,gedung pencakar langit, dan sesekali wajarlah kalau ia memuntahkan kekesalannya dengan banjir dikala hujan karena tak ada resapan air serta tahan hijau yang seharusnya bisa menjadi tempat peresapan air.
Sekali lagi, Terimakasih Mantan IbuKota😉🤞
0 notes
Text
Menyusuri cakrabuana mencari keberadaan asmaraloka..
Ku titipkan renjana amerta kepada bumantara, mengharap atma dalam dekapan harsa. Kepada dia yang seindah arunika, yang menghiasi cakrawala. Biarlah bahasa rinduku dalam sebait aksara melalang buana, merapah eunoia dari keheningan setiap rinai yang jatuh. Dengan naraya hingga ke ujung ambara, wahai arunika, pancarkanlah askara pada atma yang menunggu. Dan jagalah dia hingga menemukan asmaraloka.
-Pnk.
0 notes
Text

Diantara derasnya pikiranku malam ini, halte manakah yang bisa ku tumpangi teduh untuk menunggumu hadir, Tuan?
0 notes
Text
Raison D’être: Ekonomi Madura dan Bujâ
“a soldier’s salary was cut if he was ‘not worth his salt’”
Dari sekian banyak bumbu yang dihasilkan bumi Nusantara, petis merupakan salah satunya. Tidak banyak literatur menjelaskan bagaimana bumbu satu ini mula-mula diciptakan. Yang pasti, tiap daerah memiliki cara unik meliputi bahan dasar apa saja yang digunakan serta bagaimana proses pembuatannya.
Di Kota Udang, Cirebon, misalnya. Petis dibuat dengan berbahan dasar udang rebon yang mudah sekali ditemukan sepanjang muara sungai Kota Cirebon. Diketahui, tradisi menangkap udang rebon ini sudah ada sejak dahulu kala, dipelopori oleh Cakrabuana, seorang pangeran dari Kerajaan Padjajaran, yang kemudian menjadi mata pencaharian masyarakat kala itu. Tidak hanya berhenti sampai di situ, potensi udang rebon yang kian besar membuat Cakrabuana menginisiasi industri pengolahan udang rebon termasuk di antaranya Petis dan Terasi yang dikemudian hari menyebabkan perekonomian dan jumlah penduduk Cirebon semakin tumbuh dan berkembang pesat. Melalui hikayat singkat ini, tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut udang rebon, terasi, dan petis merupakan Raison D’être kota Cirebon yang kita kenal dewasa ini1. Makanan khas daerah seperti petis terkadang dapat menggambarkan bagaimana perekonomian daerah tersebut terbentuk pada saat ini.
Bicara racikan, penggunaan udang rebon menjadikan Petis Cirebon memiliki warna pekat dan cita rasa yang kuat dan tajam. Berbeda dengan petis yang populer di Madura yang umumnya memiliki tekstur kenyal, liat, dan padat serta identik dengan rasa asin2. Orang-orang Madura biasa menyebutnya Pettès Accèn (Petis Asin), alih-alih Petis Madura sebagaimana warga Surabaya dan sekitarnya acap menyebutnya. Petis Madura banyak sekali macamnya, dan Pettès Accèn merupakan avant-garde dari industri Petis Madura secara keseluruhan. Salah satu sentra produksi terbesarnya bertempat di Desa Konang, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, yang secara kebetulan juga merupakan daerah penghasil bujâ (garam). Cita rasa asin yang menjadi ciri khasnya pun disebabkan hal tersebut sehingga proporsi garam yang digunakan selama proses pemindangan lebih banyak dibanding petis pada umumnya.
Garam akan selamanya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Madura. Jika kita mau melihat lebih jauh, Madura merupakan pulau yang mendapat julukan sebagai Pulau Garam. Julukan ini dibuktikan dengan tingkat produksi garam Madura yang bahkan mampu mencapai 35% dari total produksi garam nasional. Banyaknya tingkat produksi garam Madura sebetulnya merupakan hikmah dari tanah Madura yang relatif gersang, memiliki kemarau yang lebih panjang, serta kondisi tanah yang mengandung sedimentasi batuan kapur dan minim lapisan vulkanis, yang secara otomatis, membuat tanahnya tidak begitu subur.
Sektor Pertanian Madura kurang bisa memberikan hasil optimal, sebab hanya tumbuh di tanah aluvial dengan mengandalkan aliran sungai sebagai irigasi alamiah (Kuntowijoyo, 2002:27). Tentu hal ini merupakan trade off, mengingat kondisi geografis tersebut merupakan salah satu faktor terkuat yang menjadikan sebagian besar masyarakat Madura enggan tinggal dan memilih bermigrasi bahkan sejak awal abad 19. Mula-mula sekitaran Jawa Timur. Belakangan, seiring dengan semakin mudah dan meratanya sarana transportasi publik, peta sebaran migrasi masyarakat Madura bisa mencapai ujung pelosok Indonesia hingga luar negeri. Kendati demikian, mayoritas masyarakat Madura yang tinggal masih memilih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dengan menggunakan pola Pertanian Subsisten. Yang artinya, sebagian besar hasil pertanian cukup sebatas konsumsi keluarga saja (History of Madura, 2019).
Selain disebabkan oleh kondisi tanah yang tandus, budaya merantau masyarakat Madura ini juga cukup dipengaruhi minimnya aneka komoditas menggiurkan yang tereksplorasi secara optimal. Konservatisme juga turut memperburuk keadaan sosial masyarakat. Ini didukung oleh rendahnya tingkat partisipasi pendidikan masyarakat Madura dibanding kabupaten lain di Jawa Timur khususnya pada tingkat pendidikan menengah atas. Akibatnya, pengolahan komoditas cenderung menggunakan cara-cara lama dan minim inovasi sehingga tidak memberikan timbal balik yang signifikan bagi perbaikan kehidupan masyarakat sekitar, khususnya pada produksi garam sebagai komoditas mayor.
Melihat fakta di atas, tidak salah jika kita menyebut beberapa poin tersebut sebagai The inconvenient truth yang menjadikan kabupaten-kabupaten di Madura beberapa kali menempati posisi pucuk dalam rasio penduduk miskin Jawa Timur berdasarkan data BPS beberapa tahun belakangan, setidaknya s.d. 2023.
Gagalnya peran garam sebagai komoditas strategis dalam mempersempit jurang ketimpangan sosial masyarakat Madura merupakan hal yang paradoksal. Berhubung berabad-abad silam, garam sebetulnya sempat menjadi primadona dunia yang sangat berharga. Dahulu, dalam skala rumahan saja garam tidak hanya dijadikan sebagai bumbu penyedap dan pengawet makanan, tetapi juga untuk antiseptik, mumifikasi dan ritual keagamaan. Bahkan dalam cakupan lebih luas, garam sempat dijadikan sebagai mata uang dan memiliki nilai tukar. Sifatnya yang langka dan tingkat permintaannya yang tinggi menjadikan garam sebagai komoditas paling dicari serta diperebutkan pada masa lalu. Tak jarang sengketa atas nama garam sampai menimbulkan perang hingga mencetuskan revolusi.
Ada banyak sekali cerita tentang betapa utamanya industri garam pada masa lalu. Kejayaan Venesia yang kerap diatribusikan dengan rempah-rempah eksotis, memiliki fakta unik di baliknya, dimana mereka sebetulnya mendapatkan rempah-rempah Asia itu dengan cara menukarkannya dengan garam yang mereka miliki. Di sisi lain daratan Italia pada lini masa yang lebih lama, para Pasukan Romawi kerap mengawal iring-iringan pedagang yang membawa garam dari Ostia menuju Sungai Tiber melintasi Via Salaria, rute yang terkenal sebagai jalur perdagangan garam paling sibuk pada masanya. Upah pasukan itu sebagiannya dibayarkan menggunakan garam yang kemudian dikenal dengan istilah “Salarium Argentum” (Time, 1982). Banyak yang meyakini bahwa kata Salary yang kita kenal berasal dari Bahasa Latin Salarium dan memiliki morfem kata Sal yang berarti garam. Konklusi menarik seperti ini, sayangnya, tidak memiliki historical evidence yang cukup dan perlu kajian lebih lanjut untuk membuktikan kesahihannya.
Banyaknya pasokan garam yang dikirim dari Pelabuhan Ostia ke Roma dengan tanpa pesaing menjadikan pedagang-pedagang garam di Ostia berani mematok harga dengan begitu tinggi. Hal ini membuat pemerintahan melakukan langkah interventif dengan cara mengambil alih industri garam dan melakukan monopoli (Saltwork Consultants, n.d.). Hal yang sama terjadi di sini. Pemerintah Kolonial Belanda pada masa penjajahan mengeluarkan Staatsblad Nomor 73 Tahun 1882 tentang Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie sebagai salah satu legitimasi bagi Belanda untuk dapat mengukuhkan langkah monopolistis terhadap produksi dan distribusi komoditas khususnya garam di Hindia Belanda (Cholil & Jusmadi, 2023). Meski belum diketahui secara pasti kesinambungannya apa, namun secara kronologis penetapan Staatsblad ini dilakukan setelah Pemerintahan Kolonial Belanda mulai menghapuskan sistem kerajaan di Madura serta mengubah bentuk wilayah dan pemerintahan menjadi karesidenan pada tahun 1857 dengan tujuan memperkuat pengaruhnya secara politis pada wilayah Madura. Tidak lama setelah penetapannya, barulah dibangun trayek kereta Kalianget-Kamal di Kawasan Pantai Selatan Madura secara bertahap yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk mengatasi permasalahan logistik komoditas.
Monopoli garam diketahui berakhir sekitar 23 tahun setelah nasionalisasi pengelolaan garam dari Badan Usaha Milik Belanda menjadi milik Indonesia pada tahun 1945. Diawali dengan munculnya tanda-tanda kebangkrutan Perusahaan Garam dan Soda Negeri (PGSN) sebagai Badan Usaha Milik Indonesia (Sanders, 1968:3). Runtuhnya sistem monopoli ini seharusnya menjadi angin segar bagi para Petambak Garam. Yang jadi masalah besarnya adalah, kenapa Petambak Garam khususnya di Madura sebagai penyumbang produksi garam terbesar di Indonesia masih juga jauh dari kategori sejahtera? Untuk menjawab ini, kita perlu melihatnya dari sudut pandang general.
Permintaan garam dewasa ini menjadi semakin tinggi terlebih dengan adanya segmentasi kebutuhan Garam Industri. Di sisi lain, cara produksi tidak mengalami perubahan yang signifikan. Misri Gozan et al. (2018) menyatakan bahwa Petambak Garam masih mengandalkan panas matahari dalam proses evaporasi, sementara perubahan iklim menjadikan intensitas panas matahari tidak lagi sama. Akibatnya, tingkat produksi garam menjadi inkonsisten. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya kelangkaan ekstrem pasokan garam pada kisaran periode 2016-2017 yang disebabkan adanya fenomena La Nina. Kelangkaan pasokan ini disebabkan oleh banyaknya Petambak Garam yang mengalami gagal panen karena gagalnya proses evaporasi yang disebabkan kondisi alam itu sendiri.
Tidak mampunya Petambak Garam mempertahankan tingkat produksi sekaligus memenuhi kebutuhan garam nasional menjadikan pemerintah kerap mengambil keputusan untuk melakukan impor garam. Sementara itu, garam dalam negeri mempunyai isu serius yang harus segera dituntaskan terkait rendahnya daya saing yang dimiliki. Bukan hanya masalah kuantitas, tapi juga dari segi kualitas garam yang berada di bawah standar Garam Industri sebagai penyokong kebutuhan garam terbesar di Indonesia. Kondisi teknologi serta topografi yang tidak semendukung negara lain sesama produsen garam turut memperparah keadaan. Menjadikan produktifitas garam nasional sangat jauh dari kata efisien sehingga harganya pun tidak lebih murah dari garam impor.
Faktor lain yang menyebabkan sulitnya Petambak Garam sejahtera adalah skema pasar yang cenderung Monopsoni/Oligopsoni sehingga tidak berpihak pada Petambak Garam sama sekali. Buruknya Pasar Monopsoni bagi para Petambak Garam dialami juga oleh Petani Tanaman Koka Ilegal pada beberapa negara di Amerika Latin. Sebagaimana kita tahu, bisnis haram seperti narkotika adalah bisnis yang cukup menghasilkan. Namun bukan jaminan seluruh pihak yang terlibat dalam industri tersebut diuntungkan.
Pada beberapa tahun silam, negara-negara seperti Bolivia, Kolombia, dan Peru menerapkan kampanye pemberantasan lahan-lahan Koka ilegal yang salah satu tujuan fundamentalnya adalah menciptakan kelangkaan persediaan Koka, sebagai bahan utama Kokain, dengan harapan membuat harganya meroket di pasaran. Secara otomatis, pemasok ilegal itu dengan segera mengambil langkah restoratif mengingat siklus tanam Tanaman Koka dalam setahun yang relatif singkat. Sayangnya, intensi pemegang otoritas bukan berhenti sampai menciptakan kelangkaan saja, melainkan juga membuat mereka melipatgandakan biaya penanaman ulang atas lahan-lahan liar yang sebelumnya telah dimusnahkan menggunakan weed killer.
Kebijakan ini berbuah manis ketika tingkat konsumsi Kokain di daratan Amerika turun secara drastis. Namun sayangnya terdapat anomali ketika tingkat permintaan pada negara-negara Eropa justru melonjak naik. Hal tersebut menunjukkan bahwa di tengah upaya-upaya yang dilakukan guna mengurangi jumlah persediaan, tingkat permintaan dan harga Kokain secara agregatif masih berada pada kondisi yang relatif stabil. Lantas, bagaimana itu bisa terjadi?
Pada Narconomics (2016) dijelaskan bahwa terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi stabilnya jumlah permintaan dan harga Kokain di pasaran. Yang pertama, adanya fenomena The “cockroach effect”: Sebanyak apapun upaya pemberantasan lahan Koka ilegal itu diterapkan, para Kartel akan selalu punya cara untuk memaksa petani bekerja pada lahan Koka baru yang mereka buka di tempat lain. Seperti halnya Ketika kita mencoba membasmi kecoa dengan semprotan anti serangga pada satu ruangan di rumah kita, sisa koloni mereka tetap akan muncul pada bagian ruangan lain dalam rumah sebagai upaya bertahan hidup. Skema ini menciptakan peluang untuk menerapkan sistem Cross Subsidization atas segmentasi pasar yang ada sehingga pada akhirnya dapat meredam dampak atas ambivalensi pada tingkat konsumsi di Amerika dan Eropa pada saat yang sama.
Yang kedua adalah skema Pasar Monopsoni. Meskipun ada upaya-upaya untuk mempertahankan tingkat produksi pada saat diterapkannya kampanye pemberantasan Tanaman Koka ilegal, supply shock adalah hal yang pasti terjadi dan memiliki dampak nyata bagi para Kartel sebagai entitas hilir dari industri tersebut. Penanaman Kembali menjadikan biaya produksi para Petani meningkat berkali-kali lipat. Untuk mengakali naiknya harga jual Kokain sebagai dampak dari membengkaknya biaya produksi, para Kartel menetapkan harga beli bahan baku pada level yang sangat rendah. Hal ini jelas membuat petani sangat menderita. Namun kududukan Kartel sebagai corong tunggal dalam alur perdagangan Tanaman Koka Ilegal, menjadikannya adikuasa dalam menentukan harga. Petani Koka pun tak bisa apa-apa.
Petani Koka Ilegal dan Petambak Garam dalam kasus ini memiliki nasib yang sama. Kondisi mereka tidak memungkinkan mereka memiliki gudang penyimpanan yang memadai yang dapat mereka gunakan guna menimbun kelebihan produksi pada saat harganya jatuh. Di sisi lain, mereka tidak memiliki teknologi yang mumpuni untuk menggenjot jumlah produksi pada saat terjadi sesuatu tak diinginkan yang dapat mempengaruhi tingkat produksi. Ditambah lagi, keduanya tidak memiliki derajat yang sama dengan pemegang industri hilir dalam menetapkan harga. Penerapan kebijakan Harga Pembelian Pokok (HPP) pada industri garam juga dinilai tidak efektif. Akibatnya, kesejahteraan bagi mereka tidak lebih dari sekedar utopia belaka. Lebih malang lagi jika ternyata lahan tempat mereka bekerja adalah hasil mereka sewa, sehingga tuan tanahnya lah yang memiliki akses ke tengkulak atau pedagang yang jenjangnya lebih besar. Bertambahnya supply chain dalam skema Pasar Monopsoni hanya akan semakin mempertipis margin keuntungan.
Untuk dapat keluar dari masalah-masalah pelik di atas, upaya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi harus dilakukan secara serius dan seksama. Revitalisasi menjadi salah satu opsi optimis yang dilakukan pemerintah di tengah pesimisme program Ekstensifikasi guna menggenjot angka produksi. Banyaknya lahan tambak garam yang beralih fungsi bahkan berubah wujud menjadi properti menjadikan program Ekstensifikasi sulit dilakukan. Namun begitu, pengkajian kembali program Ekstensifikasi sepertinya masih dilakukan sehubungan dengan adanya potensi produksi yang cukup besar, khususnya dalam kasus ini, pada bagian utara Pulau Madura yang sebagiannya masih berupa lahan tidur.
Intensifikasi berupa sofistikasi teknologi merupakan fardhu ‘ain untuk ditempuh seluruh pelaku industri, khususnya Petambak Garam itu sendiri. Program Intensifikasi diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan produksi kita yang banyak tergantung pada kondisi alam. Di samping itu, intervensi pemerintah dalam skema permodalan wajib ada dengan juga menerapkan pembinaan pada industri-industri subsektor tanpa menganaktirikan industri rumahan seperti misalnya, industri pembuatan petis asin.
Naiknya tingkat kuantitas dan kualitas produksi yang diharapkan sebagai akibat dari berhasilnya program-program tersebut di atas, harus dirasakan dan memiliki dampak bagi perekonomian masyarakat sekitar, seperti halnya bertumbuhnya industri pengolahan rebon yang diinisiasi Cakrabuana. Dampak dimaksud bisa dalam bentuk keterserapan tenaga kerja lokal atas merebaknya industri-industri rumahan seperti industri pembuatan petis asin yang dapat meningkatkan value dan menyerap kenaikan jumlah produksi garam domestik. Pada industri pembuatan petis asin pun harus pula kita pikirkan kemana produk-produknya kelak akan dipasarkan. Sebab akan percuma jika kita menyiapkan industri tanpa ada pasar yang bisa menampung produksinya.
Di awal tahun 2000an saya sangat ingat ada banyak sekali cuplikan Drama Korea yang menyisipkan tayangan pemerannya tengah menikmati Kimchi atau sekedar semangkuk mie instan pedas yang merupakan produk asli Negeri Ginseng tersebut. Satu atau dua dekade berikutnya, produk-produk mie instan mereka berhasil memberikan warna atas hegemoni produk mie instan dalam negeri dengan terpampangnya produk mereka pada rak-rak makanan minimarket sekitar. Kimchi juga menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih dengan mulai merebaknya restoran-restoran bernuansa korea hampir di setiap kota. Kita semua tahu ini bukan hal mudah dan perlu kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menuju ke sana. Namun jika berhasil, kita tak perlu lagi pusing-pusing memikirkan kemana produk-produk kita kelak dipasarkan. Terlebih di era teknologi seperti saat ini, bukan zamannya lagi produk mencari pasar, terkadang rasa penasaran pasarlah yang membuat mereka datang sendiri memburu produk.
Indonesia sebagai negara yang memiliki rempah melimpah, kaya akan varian masakan, harus pula banyak belajar dari negara-negara seperti Korea Selatan, Thailand, dan India yang dalam hal ini barangkali tidak lebih kaya dari kita. Kita harus pandai memproyeksi peluang-peluang terlebih atas semakin terbukanya akses digital yang menghilangkan sekat kita dengan dunia luar. Kita harus menyadari keunggulan kita dari sisi demografi serta diversitas budaya merupakan keunikan yang tidak semua negara bisa punya. Kita harus mampu menjadi bangsa yang bisa mendemokratisasi ide dan mafhum atas segala hal yang kita punya sekaligus mampu mengkapitalisasikannya. Thailand dan Korea Selatan telah berhasil mendahului kita mengendus potensi-potensi keuntungan ini lewat apa yang mereka sebut dengan Gastrodiplomasi atau Global Hansik melalui Korean Wave. Sebentar lagi dengan ambisi yang kurang lebih sama mungkin India juga akan menyusulnya, ditandai dengan mulai familiarnya kelakar “apapun masakannya, bumbunya Garam Masala”. Disadari atau tidak, kita telah tertinggal sangat jauh, tapi bukan berarti mustahil mengejar. kita terlalu sering berbusa-busa bicara timah, nikel, batu bara, sawit dan komoditas besar lainnya tanpa sadar bahwa banyak sekali potensi yang belum kita gali. Petis Asin mungkin contoh kecilnya. Jika bumbu rumahan sederhana layaknya petis mampu kita elaborasi bukan tidak mungkin perekonomian Madura yang saat ini tengah mengalami luka menganga, kelak disembuhkan oleh garam. Bukan justru memperperih dan memperparahnya. Pun demikian perekonomian Indonesia.
note:
1) Nama Cirebon terbentuk dari kata Cai yang berarti air dan Rebon yang berarti Udang Rebon. Kedua kata ini merujuk pada air hasil rebusan rebon yang berarti juga petis atau terasi yang merupakan identitas ekonomi masyarakat Cirebon kala itu
2) Di Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan terdapat petis asin bernama Petis Rujuru yang memiliki tekstur encer, warna pekat, dan rasa asin yang sangat kuat
0 notes
Text
youtube
Broadcasting pre-germinated CAKRABUANA 04 rice seeds in seedbeds before transplanted in paddy fields
0 notes
Text
Mudik Murah Dengan Kereta Api Cakrabuana dan Gunung Jati
Guna meningkatkan minat masyarakat dalam menggunakan transportasi kereta api selama Angkutan Mudik Lebaran 2025, KAI menghadirkan Promo diskon 25% untuk kereta api Cakrabuana dan Gunung Jati bagi pelanggan yang melakukan perjalanan di periode 28-31 Maret 2025. Diskon tarif ini dilakukan sebagai alternatif transportasi bagi masyarakat yang hendak mudik dengan murah dan efisien. Manager Humas Daop…
0 notes
Text
TMP Bersama Satgas All Out Menangkan PDI-P

Bandar Lampung – DPD PDI Perjuangan Provinsi Lampung meminta DPC Taruna Merah Putih (TMP) dan Satgas Cakrabuana Bandar Lampung solid dalam memenangkan PDI Perjuangan di Pemilu 2024 mendatang. Disampaikan Sekretaris DPD PDI Perjuangan Lampung Sutono pada saat acara pengukuhan DPC TMP dan Satgas Cakrabuana PDI Perjuangan Bandar Lampung di Kantor DPD PDI Perjuangan Lampung. Sekretaris DPD PDI Perjuangan Lampung Sutono mengatakan, sayap partai TMP itu mayoritas anggotanya dari generasi Z serta kaum milenial, hal itu untuk menarik simpati kaum tersebut. “Taruna ini memang anak muda yang ingin berjuang kepada PDI Perjuangan yang punya berbagai bidang. Ini tentunya untuk menggaet anak muda untuk terlibat,” ujar Sutono saat diwawancarai. Sutono menjelaskan, terdapat banyak sayap partai yang dimiliki oleh partai berlambang banteng moncong putih itu, guna mendekatkan diri kepada tiap golongan masyarakat demi kemenangan kontestasi pemilu 2024. “Struktur partai itu yang inti untuk pemenangan, tapi sayap-sayap partai ini untuk memperkuat komunitas partai ada BMI, ada Baguna, TMP,” ujarnya. Sementara Ketua DPC PDI Perjuangan Bandar Lampung yang juga selaku penasehat TMP Wiyadi mengatakan partainya sangat menyadari kaum milenial dan gen Z jumlahnya besar, oleh karena itu pendekatan paling efektif dari golongan kaum muda itu sendiri. “PDI Perjuangan sangat menyadari bahwa pemilih terbanyak yang ada di Indonesia adalah kaum milenial. Jadi ini salah satu upaya untuk memenangkan event pemilu pileg, pilpres serta persiapan Pilkada yang akan datang,” ujar Ketua DPRD Kota Bandar Lampung itu. Wiyadi mengatakan, pengurus TMP yang dilantik tersebut adalah generasi-generasi gen Z dan Milenial yang belum pernah terjun ke politik praktis. “Ini juga dalam rangka memberikan transformasi energi tentang edukasi politik kepada generasi tersebut. Bagaimana menjaring dan menyerap aspirasi mereka paling enak dan efektif tentunya sesama generasinya,” tutupnya. Sementara, Ketua TMP DPC PDI Perjuangan Bandar Lampung Rahmat Hidayat mengatakan, banyak dari gen Z menanggap sebelah mata dunia politik. “Banyak gen Z itu menganggap politik itu jelek jadi tugas kita ngasih tau kalau politik itu baik baru setelah itu kita masuk bahwa Ganjar itu seperti apa jadi mereka bisa milih Ganjar dan PDI Perjuangan,” ungkapnya. Ia mengatakan, dirinya diberikan target oleh DPD PDI Perjuangan Lampung agar segera bergerak dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan dan dirinya optimis dapat menjalankan tugasnya. “Cukup berat ya yang penting kita optimis saja,” katanya. Program janga pendek yang akan dilakukan oleh TMP kata dia, adalah memasifkan media sosial serta terjun ke masyarakat. “Program jangka pendek ini tentunya kita solidkan dahulu lalu kita juga akan bangun sosial media biar semua orang tau kalau ada TMP. Kita ada rencana untuk turun sosialisasi,” tutupnya. Read the full article
0 notes
Text
Di purna waktu yang hampir temaram, serayu membawa bisikan itu kepada kelabu awan dibawah nabastala.
"Kidung renjana yang ini tak kunjung usai, lakuna didalam hati memupuk jemu, akankah sang puan berkelana dan menjemput asa?"
Berharap suatu hari kidung itu akan terbang tinggi hingga bumantara. Harapnya sudah bukan tentang renjana yang hinggap di hati sang puan. Walau ingin sudah berada di pucuk lidahnya yang kelu mengucap.
Cinta palawa yang katanya indah seperti asmaraloka, untuk kesekian kalinya mengubah arkana menjadi mala dan nestapa.
Sekali lagi gadis anindya itu melangitkan harap kepada sang Agung, "setidaknya jangan biarkan raga ini dewana pada arjuna tak berperasaan. Berilah abisatya yang mengajarkan indahnya cakrabuana dan indahnya merajut cinta kepada Pemilik Cakrawala."
Begitulah senandika setiap malam kepada sang arutala.
2 notes
·
View notes
Text
23.171 Pelanggan Gunakan KA Cakrabuana Sejak Diluncurkan
Kereta Api (KA) Cakrabuana merupakan salah satu kereta api yang baru beroperasi seiring dengan mulai diberlakukannya GAPEKA 2025, 1 Februari 2025. Hampir tiga pekan sejak pertama kali dijalankan hingga 18 Februari 2025, total penumpang yang sudah dilayani sebanyak 23.171 pelanggan. “Dengan semakin diminatinya perjalanan KA Cakrabuana, KAI berkomitmen untuk terus memberikan layanan terbaik dengan…
0 notes
Photo

Alhamdulillah lanjutan #Raker2020 telah usai #workandholiday Bersyukur & Berkomitmen Untuk Menjadi Yang Lebih Baik #AMMAGrup #AmythasPratama #ciriajasaec #CaturbinaGunaPersada #bumiharmoni #ariajasakonsultan #cakrabuana (at Istanbul, Turkey) https://www.instagram.com/p/B71RvmhAQvC9WVGL4KQnbgFif_Pf7e73t3W3cs0/?igshid=126fyod6pkpul
#raker2020#workandholiday#ammagrup#amythaspratama#ciriajasaec#caturbinagunapersada#bumiharmoni#ariajasakonsultan#cakrabuana
0 notes
Text
Fenomena Kutang dan Celana Dalam Berserakan di Gunung Sanggabuana
Ada fenomena tak biasa di Gunung Sanggabuana, Karawang. Banyak kutang dan celana dalam bertebaran. Fenomena ini terkait mitos yang beredar di sana. Seperti apa?
Solihin (36), salah satu warga dari Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru, Karawang menjelaskan fenomena pakaian dalam yang berserakan itu.
Katanya, hal itu sudah sering dilakukan oleh warga yang berziarah dan juga pengunjung atau pendatang saat bulan Mulud (Maulid) sebagai salah satu ritual buang sial di Gunung Sanggabuana.
Buang celana dalam itu memang sudah menjadi ritual yang dilakukan oleh peziarah saat bulan Mulud (Maulid) pengunjung atau pendatang kalau selesai dari Pegunungan Sanggabuana, katanya membuang sial," kata Solihin yang juga aktif sebagai pendaki saat dihubungi melalui telepon selular, Senin (25/10/2021) lalu.
Dari mitos yang beredar, pengunjung yang datang ke kawasan Gunung Sanggabuana harus mencari sumber mata air yang bernama "Pancuran Emas" dan wajib mandi di pancuran tersebut. Setelah mandi, semua yang melekat dibadannya harus dibuang.
Jadi memang mitos ini sudah beredar luas di masyarakat, dan mereka meyakini bisa menghilangkan kesialan dalam hidupnya," katanya.
Dijelaskannya, kebanyakan peziarah, pengunjung atau pendatang berasal dari luar Karawang. Karena aksi itu, pakaian dalam yang dibuang dan dikumpulkan mencapai berkarung-karung.
"Kalau kayak sekarang itu bulan Mulud pasti banyak celana dalam berserakan di Gunung Sanggabuana, bahkan sampaI berkarung-karung kalau dikumpulkan," tandasnya.
Sementara itu, Wildlife Photograpy Bernard T Wahyu yang juga Ketua Tim Ekspedisi Fauna Pegunungan Sanggabuana membenarkan mitos yang beredar di masyarakat soal mandi di "Pancuran Emas" bisa membuang sial.
"Di Gunung Sanggabuana memang terdapat beberapa makom (petilasan) beberapa mata air, atau pancuran dan di situ terkenal mitosnya yakni setelah mandi diyakini bisa membuang sial dengan cara harus membuang pakaian dalamnya," katanya.
Ritual buang kutang di Gunung Sanggabuana ada tarifnya
Ritual buang pakaian di Gunung Sanggabuana diyakini dapat membuang sial. Ternyata kegiatan itu dikenakan tarif hingga ratusan ribu rupiah.
Bernard mengatakan selama penjelajahan di Gunung Sanggabuana, tim menemukan ada 4 mata air yang dipakai untuk ritual, yakni Pancuran Mas, Pancuran Kejayaan, Pancuran Kahuripan, dan Pancuran Sumur Tujuh.
Sedangkan makamnya ada 14, beberapa diberi nama Makam Eyang Haji Ganda Mandir, Taji Malela, Kyai Bagasworo, Ibu Ratu Galuh, Eyang Abdul Kasep, Eyang Sapujagat, Eyang Langlang Buana, Eyang Jagapati, dan Eyang Cakrabuana.
"Dari 4 mata air dan 14 makam itu dipakai ritual buang sial. Bahkan setiap ritual dikenakan tarif perorang yang dipandu kuncen itu sekitar Rp 250 ribu, buat memandu ritual dan ubo rampenya. Ada juga yang gratis tapi hanya sekedar mandi di pancuran lalu buang celana dalam dan pakaian doang lalu balik," kata Bernard.

0 notes