Tumgik
#retak seribu
achmad-ridoi · 1 year
Text
Terbelah ajur mumur hancur pecah belah retak seribu luluh lantak hancur berderai hancur berkeping-keping hancur lebur pecah Seribu
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Ajur mumur
flickr
1 note · View note
cowokjalang · 4 months
Text
Pagi Ini
seperti biasa terbangun, lalu
linglung sejenak. jendela dibuka
angin menyusup pori-pori
beranjak membasuh wajah, kutemukan
tumbuh satu kerinduan, ku paksa hilang
walau sedikit perih.
hari ini kamis, saatnya membuang sampah
sisa persetubuhan dengan diri sendiri,
puluhan cangkang retak seribu, pun guguran rambut.
tak ketinggalan; segala macam kenangan,
perasaan basi, perban luka, juga semua
yang sempat dimiliki.
pagi ini sedikit sendu, jadi kutarik lagi selimutku
meringkuk dan akan tertidur setelahnya
semoga ya.
Juni 10
4 notes · View notes
livingthe25th · 1 year
Text
Sajak dendam
bila kau tanya
tiada satu hendak berduka amarah merangkul buai nestapa retak seribu, kelak berdusta
ditanya angin arah kemana ditunjukkan ke arah api berkobar menyala memakan rasa tersuruk, terpukul, memaku hambar sakit tombak menyusuk sasak di hati jatuh asa janji bersama runtuh sudah hati, tiada alasan hendak kembali
mati percaya sudah mati seribu tahun menunnggu hari ternyata kau tak tahu diri
3 notes · View notes
ashrofu · 8 months
Text
Taman Samudera
Pulau Redang ibu
adalah sejambak bunga siput
seribu retak seribu.
Pulau Redang ibu
adalah sekalung bunga karang
seribu kelopak seribu.
Pulau Redang ibu
adalah kebun bunga ikan hidup
sedang berkepak kembang.
Pulau Redang ibu
adalah sebukit kelapa laut
madu berteluk bayu.
Pulau Redang ibu
adalah segunung kota terapung
di situlah tempat bertemu.
Pulau Redang ibu
adalah taman samudera dalam
lubuk kecantikan laut ciptaan
Allah yang maha indah.
— J.M Aziz
0 notes
chtiki · 9 months
Text
Allium
Description:
Kaner menemukan fakta bahwa Nona Rusa adalah manusia. Manusia darah murni, tanpa adanya mutasi genom dan efek dari radiasi. Ia berencana untuk menutupi fakta itu selama yang ia bisa. Tapi akankah rencana ini bertahan lebih dari sehari?
***
Aku terjaga semalaman suntuk. Hanya berbaring dan menonton Nona Rusa tidur dari balik api unggun. Sesekali ia mengigau, berganti posisi tidur, sembari melihat darah merembas dari selimut yang sudah menyatu dengan kantung tidurnya.
Salah satu ciri bahwa manusia itu adalah darah murni—khususnya jenis perempuan—dengan terjadinya pendarahan setiap bulan dalam enam sampai tujuh hari. Tandanya mereka tidak sakit, telah terpapar radiasi, atau tercampur gen dari spesies lain.
Bagi spesiesku, tidak ada di antaranya yang mengalami pendarahan setiap bulan. Walau wujud kami sangat identik dengan manusia, hanya berbeda bentuk telinga—sistem penyebaran kami sedikit berbeda. Karena setelah mati, kami akan bereinkarnasi lagi—dengan wujud yang sama, tubuh yang sama—tentu saja, dengan lifespan yang juga lebih lama; seribu tahun, sepuluh ribu, you name it.
Aku cepat-cepat memejamkan mata, pura-pura tertidur begitu tahu bahwa Nona Rusa sudah sadar.
Tunggu. Aku harus berhenti memanggilnya Nona Rusa.
Mungkinkah ia Cassine?
Dalam gelapnya pejaman mata, aku bisa mendengar ia mengerang, lalu marah sendiri. "Fuck! Aku lupa lihat kalender!" umpatnya dalam monolog. Ada waktu aku sedikit mengintip. Tapi mendadak perempuan itu menoleh ke arahku, aku cepat memejam lagi. Dirasa aku masih tidur. Ia mengaitkan rambutnya yang keriting itu ke telinga. Lalu suara erangan berlanjut.
Aku dengar itu juga sakit luar biasa, kataku dalam hati.
Ia lincah saat melipat kantung tidurnya, mengambil beberapa pakaian ganti dari ransel, kemudian semuanya perempuan itu giring ke arah danau. Pelan-pelan aku membuka mata hanya untuk penasaran apa yang akan dilakukannya. Tidak. Aku tahu ia akan mandi, dan aku tidak punya niat untuk mengintip ia mandi. Aku hanya penasaran preparasi apa yang ia—sebagai manusia lakukan untuk mandi.
Apakah sama?
Tumblr media
Ia berjalan ke tengah danau sampai setidaknya setengah badannya tenggelam. Nona Rusa terus berjalan hingga ia benar-benar seluruh dirinya tenggelam. Napasku langsung tercekat di tenggorokan.
Ia tidak apa-apa 'kan?
Ia tenggelam!
Apa aku harus menyebur untuk menyelamatkannya? Ah, masa bodoh. Tanpa berpikir dua kali aku langsung bangun dari kantung tidur dan saat nyaris mencapai sisi danau seketika itu juga aku melihat pakaian-pakaiannya mengambang pada permukaan air.
Aku berhenti, sadar bahwa ia hanya tidak mau melucuti pakaiannya di tempat terbuka. Atau bahkan di depanku walau sebenarnya aku sedang terlelap. Rasanya aku tampak terlihat dungu, tapi tidak bisa marah-marah karena Nona Rusa bisa kembali kapan saja setelah ia menikmati mandinya itu. Kuputuskan untuk kembali bergelung di dalam kantung tidur. Tanpa aku sadari, aku terlelap begitu saja.
Agak déjà vu ketika aku harus kembali terbangun karena aroma makanan. Bukan sup daging domba yang dicampur light cream. Tapi tetap familiar dan aku tandai sebagai salah satu hasil masak Nona Rusa. Pasti keju dari susu kambing, roti, dan buah berry—spesifiknya blueberry.
Aku membuka mata. Dunia terlihat retak-retak, ternyata karena matahari mulai terik dan cahayanya memaksa masuk ke dari sela dahan dan dedaunan. Cuaca masih berangin sama seperti sebelumnya. Bedanya, hari ini tidak separah kemarin. Sepertinya kita mulai memasuki musim panas setelah musim semi berkepanjangan.
Api unggun sudah padam. Kalau dilihat dari kondisinya baru padam beberapa menit terakhir. Di atasnya sudah ada panggangan daging yang telah diolesi butter. Tak jauh dari bekas kayu ada mangkuk bersi krim dengan serutan kulit jeruk yang sudah dicampur. Akan aku asumsikan bahwa ini ditujukan Nona Rusa untuk sarapanku—lagi-lagi dirapel ke jam makan siang.
Sekali lagi, aku akui bahwa untuk manusia yang lama hidup di area pedalaman ia terlampau kreatif; hasil tangannya selalu berhasil elegan.
Setelah selesai makan, aku menumpukkan bekas makanannya meniru seperti yang dilakukan Nona Rusa pada bekas makanannya. Dimasukkan ke dalam karung goni. Barulah aku bergegas mencarinya. Sebenarnya aku tidak punya ide, di mana orang seperti Nona Rusa biasa menghabiskan waktu senggangnya. Tapi kalau aku ingat dalam kilas balik, segala sesuatu yang aku tahu tentangnya dikumpulkan dalam kepala dan dihubungkan satu sama lain. Membuat kesimpulan, ia pasti berada di padang rumput yang penuh dengan bebungaan.
Itu juga aku tidak tahu di mana tempat seperti itu berada di tengah hutan yang baru aku singgahi. Mungkin insting akan bekerja lebih baik untuk hal semacam ini. Karena sedang berangin, indra penciumanku menangkap suatu aroma yang asing. Samar. Semakin jauh berjalan dengan jalan setapak yang aku pilih, maka semakin jelas.
Ada aroma manis, segar; seperti buah leci. Sepengetahuanku pohon leci tidak tumbuh liar di hutan. Mereka tumbuhan peliharaan. Kalau dalam hewan sama seperti kucing. Walau beberapanya ada yang mampu tumbuh berkembang pada alam liar. Perjalanan ini mengarahkanku ke padang rumput. Tepat di mana sosok perempuan itu sedang berdiri di antara bunga-bunga seperti pom-pom berwarna ungi kemerah-muda bermekaran.
Tumblr media
Nona Rusa belum melihatku. Bak pemangsa dan mangsa, aku lamat-lamat menyelidik pergerakannya. Meski tidak dalam keadaan tersembunyi. Tapi aku kerap berjalan pelan-pelan ke arahnya. Ia pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mencabut bunga itu sampai akar.
"Bukannya bunga yang indah harusnya dibiarkan tumbuh?" tanyaku. Ekspektasi sendiri jika Nona Rusa bakal tersentak kaget malah mengkhianati.
"Ini bukan bunga sembarang bunga. Ini Alliums, kita sedang berjudi bakal dapat bawang merah, atau daun bawang," jelasnya dengan tenang. Namun, posisinya masih membelakangiku. Hingga pelukannya penuh, baru ia berbalik. "Here. Help me carry all of this." Blouse putihnya kotor karena tanah.
Aku tebak ia hanya membawa pakaian ganti dress-nya saja. Karena kebanyakan baju terusannya yang manis yang menguasai lemarinya. Aku menggenggam semua tanaman bebawangan tersebut. "Kau mau pakai bajuku?" tanyaku polos.
Ekspresi di wajahnya berubah jijik bercampur heran. "Terus kamu mau pakai bajuku?"
Aku tertawa. "Tidak. Aku bisa berjalan hanya bertelanjang dada. Aku tidak akan terkena demam hanya karena angin."
Lalu Nona Rusa berdecak sebal seraya berjalan melaluiku, "Aku yang tidak mau dikelilingi makhluk bertelanjang dada selama nanti di kota. Kayak orang gila." Komentarnya dengan nada menggerutu.
Lucu sekali.
"Kota? Kita mau ke kota?" Aku cukup kaget sampai kedua mataku membelalak.
Perempuan itu spontan berbalik sambil berjalan mundur, "Iya. Kita akan melewati kota. Kota Brassica. Bukan pusat." Matanya berbinar, wajahnya berseri. Lalu kembali dalam posisinya semula dengan sebelah tangan. Gestur mengajakku untuk bergegas cepat.
Setelah kembali ke perkemahan. Sementara aku sibuk membereskan kembali perlengkapan, Nona Rusa sibuk mengurusi bebawangan yang baru saja ditemuinya tadi. Ternyata benar, Setelah dibersihkan dan dipotong beberapa bagian, itu menjadi beberapa gelundung bawang merah, dan beberapa ruas daun bawang. Ia tidak mencucinya dengan air, melainkan hanya menyapu tanahnya dengan tangan dan pisahkan bungkusannya dengan persediaan makanan lain.
Hebat.
"Kamu tidak memanen buah berry?" tanyaku selagi menggulung tali.
Ia menggeleng. "Bahkan hari ini aku tidak makan berry." Jelasnya sambil pura-pura sedih. Cemberut. Padahal bibirnya belepotan noda merah keungunan. "Pembohong yang payah." Cemoohku. "Next time, kamu harus belajar padaku soal berbohong," kemudian aku menunjuk bibir sendiri. Nona Rusa langsung menggosokkan punggung tangan dan melihat bahwa ada noda yang menempel. Ia tersenyum sebelum tertawa pelan.
"Yah,"
Perempuan itu terdengar sangat kecewa untuk ukuran yang suka jail.
Seusai berkemas, kami melanjutkan perjalanan. Tidak lupa Nona Rusa mengikat kembali rambutnya dengan karet berwarna hitam—menjadi low ponytail—lalu mengenakan jubahnya, di-double dengan dress manisnya itu. Lalu naik ke atas kuda tanpa ada kendala.
Bedanya kali ini ia duduk menyamping.
Selama perjalanan, aku hanya berkuda dengan pandangan fokus ke depan. Walau pada sudut mataku ada Nona Rusa yang sibuk menggambar tanaman buah pom-pom tadi ke dalam buku catatan yang dari semalam aku baca. Aku jadi teringat bagaimana aku menemukan fakta bahwa Nona Rusa adalah manusia. Seketika membuatku menelan ludah dengan kasar.
Sekarang aku harus apa?
Merahasiakan sampai perjalanan ini selesai?
Tapi aku merasa sangat tolol kalau begitu. Perjalanan selesai sama dengan ia sudah lenyap dari dunia ini. Jadi aku akan membawa mati rahasia bahwa ia manusia?
Padahal sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyelamatkannya.
"Kaner," panggil Nona Rusa.
Aku terkesiap, tapi berusaha cepat-cepat menyembunyikan ekspresiku. "Yes, Sweetheart?" Lalu tersenyum. Ayo tersenyum seakan-akan tidak terjadi apa-apa!
Ia terkikik sebentar, "You are quite than usual. Something's wrong?"
"Kamu tahu tidak kalau sebenarnya aku ini juga vampir?" hanya itu topik pembicaraan yang keluar dari otakku begitu terdesak dalam situasi ini.
Paling mengejutkan lagi, Nona Rusa mengangguk. "Iya. Aku tahu, kok."
Diperjelas pula dengan pernyataan.
Sepertinya kerutan pada dahiku memberi sinyal tersendiri bagi perempuan itu untuk menjelaskan lebih detail. Telunjuk mungilnya bermuara kepada diriku sendiri. "Kulitmu berkilau saat terkena matahari. Kilauan yang janggal. Tapi kamu enggak terbakar jadi abu, sudah pasti mutan. Seperti Boer."
Boer adalah makhluk mutasi dari babi hutan dan beruang, lalu dicampur dengan genom manusia. Walau tidak sepintar manusia pada umumnya, tapi mereka berhasil membuat senjata biologis yang efektif dan beringas. Bisa menggunakan senjata dan akan mengejar targetnya sampai mati. Persis seperti sifat alami babi hutan dan beruang. Zaman dulu, para manusia hobi sekali bereksperimen dengan gen dan DNA. Kalau kata sejarah, itulah salah satu alasan yang menghancurkan peradaban mereka sendiri. Karena setelah kejadian malam itu, aku tahu betapa merepotkannya makhluk-makhluk tersebut.
"Tapi tidak ada makhluk mutasi serupawan aku. Akui saja, maka aku akan diam seharian."
"Astaga," gumamnya geli. "Alright, the most beautiful male on earth."
Tampaknya aku juga jadi geli sendiri. Lalu bergidik ngeri. "Ngomong-ngomong, apa kamu pernah mendengar nama Cassine Holly?"
Air wajah perempuan itu berubah sedikit. Tapi tetap mengangguk semangat. "I heard about her a lot. Kenapa?"
"Cuma bertanya, out of curiosity. Apa menurutmu dia benar masih hidup?"
Ia mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin saja. Dunia ini terlalu luas untuk diteliti setiap sudut."
"Oh, and by the way, I never catch your name. What was it?"
Perempuan itu tiba-tiba terdiam. Ada momen di mana Nona Rusa tampak tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Ia hanya diam menatapku dengan tatapan kosong. "You saw something aren't you?" lalu mengeluarkan senjata api yang entah dari mana dan langsung ditodong kepadaku. Senjata yang sama yang digunakan Cassine waktu tragedi Pentagon Engelm. Karena hanya itu satu-satunya bukti yang tertinggal di tempat kejadian perkara bahwa Cassine nyata, bukan sekadar legenda. Apalagi senjata apinya diukir sendiri sehingga hanya perempuan itulah yang punya.
Kuda kami masih berjalan beriringan.
"Do tell,"
Aku mengangkat kedua tanganku. "I'm not here to hurt you. I just want to help—"
BANG!
Suara tembakan melambung tinggi di udara hingga kawanan burung bubar dari dedahanan secara serentak.
Tumblr media
0 notes
mylastdecember · 1 year
Text
Cukup sampai sini.
Mungkin aku tak bernasib baik dalam percintaan. Cukuplah, setakat ini. Aku dah penat dan hati pun dah retak seribu. Bukan bermaksud sudah berputus asa. Aku serahkan segalanya kepada Tuhan Ku. Kalau ada, adalah. Kalau tiada, aku pasrahkan saja dan menikmati hidup apa adanya sampai aku balik ke pangkuan Tuhan Ku.
Aku yakin disebalik semua ini ada hikmahnya.
Terima Kasih kerana pernah datang ke dalam hidupku.
Cinta adalah ruang dan waktu, Datang dan menghilang.
0 notes
Text
Semalam ada satu bayangan bulan,
Retak seribu kelihatan,
ku intai dari pantulan kaca tingkapku,
Awan gemawan segerombolan melindungi ,
Makin menebal meliputi bulan,
Kini samar-samar kelihatan,
Tangismu masih belum reda,
Setiap titis menjadi dakwat
Bulan, yang kau lukis dengan tangismu
Berwarna pilu, dan langit masih hitam
Malam masih belum mahu pulang,
Tangismu masih belum mahu hilang.
0 notes
senandikaseseekor · 2 years
Text
Dalam Pusara, Hidup Mati Tak Selamanya
Selalu ada masa penuh harap-cemas yang tersulam pada torehan janji berbias tipis delusi seperti menggaris pasir bibir pantai; lupa bahwa tak ada yang lugas tegas terpahat di lauh atau bahkan tiang batu yang sewaktu-waktu bisa runtuh.
Sementara jauh dalam dinginnya bangunan-bangunan yang rekat, rengat, dan rentan; tersaji di atas meja yang porak poranda: piring terlalu penuh sementara harapan bak kucing kurus kering lalu lalang di jalan yang jalang.
Di halaman luar, berdiri monumen bertuliskan daftar panjang guratan-guratan berisikan retak hati, patah impi, padam renjana, redam rencana, atau sekak semoga. Tanah pusaranya masih menganga atas percaya: tidak ada yang lugas tegas terpahat pada batuan. Segala adalah fana dan dunia masih berputar dalam energi penuh dinamika. Seperti banyaknya tanya yang masih mencari, atau bahkan sebagiannya tidak perlu menemukan jawab?
Tanah masih menganga dan basah, kontras dengan kusam gersang sekitar. Dari dalamnya ternyata bertunas benih-benih yang tertabur dan belum tertuai.
Tumbuh mengoyak, rekah.
Seribu mawar, ruah.
Kepada cahaya meski hanya segaris, jalarnya terarah.
Mewangilah,
Mewangilah.
0 notes
cnnmonbimee · 2 years
Text
Jshk Ch 71 angsty double drabble!! In malay!!
(Just in case someone actually read this-) 🔖: Jibaku Shounen Hanako-kun, Hananene, angst, hurt no comfort, Ch 71 spoilers, bahasa melayu, 200~ words.
**
"Jangan pergi,"
Saat kata-kata itu terluah, mungkin itu kali pertama Nene menyedari perasaan yang selama ini tersimpan jauh di dalam hati. Tersembunyi, didiamkan, dan sedaya upayanya tidak difikirkan. Namun apa yang mampu dilakukannya sekarang? Menangis? Merayu? Itulah apa yang dilakukannya sekarang, dengan sepenuh-penuh hatinya.
Iya, dia tahu. Suatu hari nanti mereka pasti akan berpisah. Dirinya akan meninggalkan sekolah, dan Hanako akan tetap berada di situ. Ataupun tidak. Mungkin dia tidak sempat pun meninggalkan sekolah sebelum meninggalkan dunia. Mungkin Hanako juga suatu hari akan pergi selama-lamanya, tidak lagi terikat di dunia bagi yang hidup.
Akan tetapi Yashiro Nene berdegil, dan tidak mahu memikirkan apa-apa pun yang sebegitu. Bukan sekarang. Tidak perlu sekarang.
Sayangnya sangkaan si gadis itu salah, harapannya hancur. Kerana di hadapan matanya sendiri, roh ini yang dahulunya seorang manusia, sedang berkecai. Retak dan pecah, semakin lama semakin menghilang. Dan Nene tidak mampu melakukan apa-apa pun untuk menghentikannya.
"Aku juga," dia mulai. Tangan yang dahulunya besar dan kasar, namun sentiasa lembut sentuhannya; kini retak seribu bak kaca yang terhempas. Iya, tangan itu. Tangan itu sekarang, dari dahulu, sentiasa- sedang memeluk tubuhnya yang kecil, tidak terlalu erat. Agaknya dia merisaui andai tangannya yang berkecai itu akan mencederakan Nene.
"Aku juga ingin hidup bersama Yashiro," katanya.
Dan hilang. Pelukannya hilang, suaranya hilang, dan rohnya hilang. Hanako menghilang dan pergi, meninggalkan Nene keseorangan di dalam bilik darjah yang hanya dicahayai sinar purnama putih.
6 notes · View notes
theobliviate1991 · 3 years
Text
MAMPU
Sesuatu
Nilai sebuah sesuatu
Tak perlu mahal
Tak perlu baru
Ya aku tak semampu
Semampu semua mimpi mimpi mu
Aku jatuh tersungkur jauh gaung berbatu
Kau lihat kau kesian hanya itu mampu kau anggap membantu
Bantu dirimu
Semua sebab aku semampu
Aku kayu
Kuat dipakai
Bertahun me layu
Reput dibuang
Patah diganti
Ada yang elok dipakai
Namun tetap kayu
Berumur tak kekal
Cantik dihujung buruk dipangkal
Semudah itu pun aku tak termampu
Yang lain tak tertulis tak perlu menahu
Carilah
Carilah yang lain
Lain yang mampu
Aku tetap kayu
Kayu yang akan melayu
Tinggal masa akan berlalu
Miskin ku milik ku
Mewah mu milik mu
Tak mungkin lagi berpurnama hati ku retak seribu
Mungkin salah ku
Salah miskin ku
Salah ku tak sedar asal ku
Mimpi apa ingin indah bulan
Diri sendiri kering berangan berkoyan
Kau puteri
Aku hamba abdi
Miskin ku susahkan semua
Maafkan aku
Biarkan aku
Kecil sungguh diri
Tak mampu berlari sejauh pelangi
Maafkan aku
Hanya manusia hina buatmu
Mengharap delima berpaut mematu
Aku manusia hina dimata dunia
Lagi lagi dimatamu
Jauh sekali mampuku
Yang senang malah gagal
Manakan yang lain aku berpalu
Maafkan aku
Maafkan kemiskinan ku
Maafkan hina ku
Aku semampu mimpi mu
Aku..
Aku kecewa
Kecewa diriku..
~manusia hina~
1 note · View note
fahdpahdepie · 4 years
Photo
Tumblr media
Musyawarah Para Kiai
: Untuk Emha Ainun Nadjib
Oleh Fahd Pahdepie
‘Dari Pojok Sejarah’, ‘Markesot Bertutur’. Di ‘Seribu Masjid Satu Jumlahnya’, alkisah para Kiai sedang bermusyawarah. Sebagai perwakilan warga, turut hadir di sana ‘Doktorandus Mul’, ‘Mas Dukun’, bahkan seorang lelaki yang terkenal dengan kisah ‘Keajaiban Lik Par’ karena ‘Geger Wong Ngoyak Macan’. Hadir juga beberapa tamu, termasuk ‘Sunan Sableng dan Baginda Farouq’.
Pada musyawarah itu, ‘Pak Kanjeng’ memulai ceritanya tentang ‘Indonesia Bagian dari Desa Saya’. Tentang betapa ‘Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya’. Sebuah negeri yang ‘Sedang Tuhan pun Cemburu’, ‘Kagum pada Orang Indonesia’. Di mana ‘Anak Asuh Bernama Indonesia’ bisa begitu lepas dan bahagia seperti cerita-cerita lucu dalam ‘Folklore Madura’.
Namun, ‘Kiai Sudrun Gugat’. Ia sama sekali tidak setuju dan menganggap apa yang dikatakan Pak Kanjeng hanyalah ‘OPLeS: Opini Plesetan’. ‘Kerajaan Indonesia’ adalah ‘Republik Gundul Pacul’. Negeri ini ibarat ‘Perahu Retak’, katanya, ‘Kapal Nuh Abad 21’ yang justru ‘Allah Merasa Heran’ karena kapal itu dikuasai ‘Iblis Nusantara Dajjal Dunia’ yang berkomplot dengan ‘Kafir Liberal’. Dinahkodai oleh Pemimpin yang Tuhan, padahal itu hanya GR saja, ‘Presiden Balkadaba’ yang hanya mementingkan ‘Yang Terhormat Nama Saya’, membuat bangsanya jadi ‘Gelandangan di Kampung Sendiri’!
Mendengar Kiai Sudrun begitu penuh emosi dan berapi-api, Markesot mengalihkan pandangannya ke sudut masjid. Kemudian menatap seorang Kiai yang tak pernah mengenalkan namanya sendiri, Kiainya ‘Orang Maiyah’, Kiai yang selalu tenang membacakan ‘Syair-syair Asmaul Husna’.
Darinya ‘Markesot Belajar Mengaji’, dari ‘Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai’ bahkan dari ‘Slilit Sang Kiai’. Darinya ia belajar kesabaran bahwa ‘Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem’, seperti laku yang diajarkan ‘Suluk Pesisiran’.
Melalui tutur lembut Sang Kiai ketika ‘Sinau Bareng Markesot’ selama ini, ia belajar bahwa bahkan dari ‘Secangkir Kopi Jon Pakir’ kita masih bisa menemukan harapan dari ‘Sesobek Buku Harian Indonesia’. Belajar memahami ‘Nasionalisme Muhammad’ yang tidak pernah putus asa bahwa ‘Cahaya Maha Cahaya’ tidak akan meninggalkan apalagi berhenti mencintainya. Yang meski kadang wahyu datang terlambat atau nubuat terasa meragukan, tetapi ‘Tidak. Jibril Tidak Pensiun’. Hanya ‘Allah Tidak Cerewet Seperti Kita’ sebab barangkali kadang ‘Tuhan Pun Berpuasa’.
‘Markesot Bertutur Lagi’, bahwa tentang negeri ini kita harus melakukan ‘Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan’, sambil bermain cantik dengan ‘Bola-bola Kultural’, dalam rangka menyelamatkan Indonesia dari ‘Titik Nadir Demokrasi’ agar tak terlempar ke ‘Keranjang Sampah’ sejarah dan peradaban.
Mendengar kematangan dan ketenangan Markesot, Pak Kanjeng mengangguk-angguk. Ia sepakat bahwa ‘Demokrasi La Roiba Fih’ meskipun harus diperkuat dengan ‘Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah’. Jangan sampai kita kembali menerapkan ‘Demokrasi Tolol Versi Saridin’ yang dulu membuat kita gagal ‘Menyibak Kabut Saat-saat Terakhir bersama Soeharto’. Begitu absurd sehingga hampir membuat bangsa ini ‘Mati Ketawa ala Refotnasi’. ‘Urusan Laut Jangan Dibawa ke Darat’, katanya.
Namun, ‘Kiai Hologram’ punya pendapat lain. Ia adalah Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Katanya, Indonesia itu seksi sekaligus agung seperti ‘BH’ seorang ibu. Darinya kita menemukan kegairahan sekaligus kemuliaan, tergantung sudut pandang. Jika otak kita ngeres, maka yang kita lihat hanya kesaruan. Jika pikiran kita jernih, bukankah dengannya air susu kasih sayang dijaga dan dilindungi selama ini? Bayangkan jika ‘Istriku Seribu’, katanya, tidakkah Indonesia begitu Indah seperti ‘Syair Lautan Jilbab’, seperti ‘Sajak-sajak Sepanjang Jalan’ ketika kita bersepeda ‘Jogja-Indonesia Pulang Pergi’?
Mendengar pendapat Kiai Hologram, Kiai Sudrun naik pitam. Ia ‘Terus Mencoba Budaya Tanding’. Ia begitu marah dengan pendapat Kiai Hologram, menunjuk-nunjuknya sambil mengulang-ulang kalimat yang gelisah itu: ‘Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu’. Rasanya ia ingin mendaftar semua kegelisahannya dalam ‘99 untuk Tuhanku’ atau menulis ‘Surat kepada Kanjeng Nabi’ tentang semua kekacauan ini. Ia ingin menggelar ‘Doa Mohon Kutukan’ karena sungguh Indonesia sudah tak bisa diselamatkan lagi. Bahkan kalau bisa, ia ingin ‘Abacadabra Kita Ngumpet’ saja.
Namun, tiba-tiba Kiai Sudrun terjengkang. Kini ia meringkuk kesakitan. Jiwa santri Markesot segera membuatnya bangkit untuk memeriksa apa gerangan yang terjadi pada Kiai Sudrun. Betapa terkejut ia melihat ‘Jejak Tinju Pak Kiai’ di dada Kiai Sudrun. Bagaimana ini bisa terjadi? Markesot menghela nafas, berbahaya memang jika membuat Kiainya Orang Maiyah marah. Bikin semua ‘Kiai Kocar-Kacir’ seperti ini.
Kini, musyawarah itu pun hening. Markesot diminta mendekat oleh Kiai Maiyah untuk mengabarkan ‘Kenduri Cinta’, ‘Padang Rembulan’, dan ‘Kado Muhammad’ untuk Indonesia. Bahwa kita harus mencintai ‘Indonesia Apa Adanya’, lebih banyak mendengarkan ‘Nyanyian Gelandangan’, ‘Tak Mati-Mati’ ‘Menggambar Karikatur Cinta’ untuk negeri ini, menemukan ‘Sastra yang Membebaskan’ sebagai ‘Doa Mencabut Kutukan’ sekaligus ‘Talbiyah Cinta’ dan ‘Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia’.
‘Jangan Cintai Ibu Pertiwi’ jika pada saat yang sama kau ingin menghancurkannya. Berhentilah menyebut dirimu muslim jika gagal memahami bahwa ‘Islam itu Rahmatan Lil Alamin, Bukan untuk Kamu Sendiri’. Jangan menggelar ‘Sidang Para Setan’, jangan ‘Menyorong Rembulan’ di ‘Tikungan Iblis’,  jangan terlibat dalam ‘Segitiga Cinta’ untuk membersamai Iblis ‘Mencari Buah Simalakama’. Sebab sejatinya ‘Iblis Tidak Butuh Pengikut’!
‘Jaman Wis Akhir’, jadilah ‘Santri-santri Khidir’, jadilah ‘Duta dari Masa Depan’, ‘Daur’ lagi cintamu hingga jika negeri ini harus ‘Lockdown 309 Tahun’ sekalipun engkau tetap bisa menemukan ‘Hikmah Puasa’ dari semesta kejadianNya.
Usai Markesot menyampaikan semuanya, tiba-tiba masjid dipenuhi ribuan jamaah. Di luar masjid, bahkan gelombang manusia terus berdatangan. Berjuta-juta. Berpuluh-puluh juta. Markesot kemudian bergerak ke tengah-tengah kerumunan itu. Sambil memegang pengeras suara, ia ‘Terus Berjalan’ membelah lautan manusia. Ia membaca ‘Wirid Padang Bulan’, menyanyikan ‘Dangdut Kesejukan’ yang kemudian diikuti jutaan manusia menyerupai shalawat.
Di ujung kerumunan, Markesot menghilang. Lenyap ditelan shalawat yang terus menggema. Pak Kanjeng, Kiai Sudrun dan Kiai Hologram hanya bisa bertanya-tanya, ‘Siapa Sebenarnya Markesot?’
Bintaro, 27 Mei 2020
FAHD PAHDEPIE
*Ditulis untuk merayakan#67TahunCakNun. Tulisan ini dirangkai dari judul-judul buku puisi, esai, cerpen, novel dan album yang pernah ditulis Mbah Nun. Hampir seluruhnya sudah saya baca, saya dengarkan, saya tonton (Tebak tahun berapa saja?). Meski saya belum pernah sekalipun bertemu secara personal dengannya, Mbah Nun adalah salah satu guru terbesar dalam hidup saya. Berkah dan sehat selalu, Mbah Nun.
34 notes · View notes
nadineksn · 4 years
Text
Chapter 2
***
An Zhe telah berjalan untuk waktu yang lama.
Setelah berhari-hari dan malam berlalu, jarak yang ia tempuh pada peta hanya seukuran kuku kecil manusia, namun masih satu jari panjang lagi dari pangkalan utara. Dia tidak memiliki alat transportasi manusia dan ia tidak tahu berapa lama lagi untuk sampai ke sana.
Akhirnya, dia mencium udara kering dan nafasnya yang terlihat di udara perlahan-lahan menghilang. Dan ia akhirnya merasakan tanah di bawah kakinya menjadi lebih keras.
Di malam hari, matahari tenggelam seperti mata merah tua. Bukit-bukit yang jauh perlahan menghitam dan matahari berangsur-angsur menghilang. Senja pada atmosfer dan aurora melebur bersama. An Zhe membuka peta dan mencoba mengidentifikasi karakter dan simbolnya.
Dia baru saja berjalan melewati sungai kering yang merupakan batas Abyss. Setelah batas ini ada tempat yang disebut 'Dataran No. 2'. Dataran No. 2 memiliki tingkat bahaya tiga bintang dan tingkat radiasi dua bintang.
Kini ia berjalan dengan monster dan tikus besar arthropoda, tidak lagi ditumbuhi jamur dan didominasi oleh semak rendah biasa.
Ya, ini Abyss. Tanahnya yang bergelombang, lembah kering retak-retak di mana-mana, dan bayangan pohon tinggi di siang hari semuanya menjadi lenyap. Tempat ini memiliki pemandangan yang luas dan pemandangan gelap yang monoton dan tak berujung.
Tapi An Zhe merasa gelisah.
Udara kering di Dataran No. 2 tidak cocok untuk jamur. Dia tidak bisa menemukan tanah untuk menyerap nutrisi sehingga dia hanya dapat memulihkan kekuatan fisiknya dengan metode manusia, yaitu tidur.
Dia telah berjalan begitu lama dan akhirnya menemukan cekungan kecil dengan rumput hijau dan kuning yang tersebar di atasnya. Dia duduk dengan tangan memeluk lututnya dan menemukan posisi yang cocok untuk meringkuk.
Seekor jamur menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan tidur, tetapi ini pertama kalinya ia tertidur dalam bentuk manusia. Jamur tidur dengan tetap tinggal di satu tempat, menunggu berlalunya waktu. Namun, tidur manusia tampaknya berbeda. Segera setelah ia menutup matanya, kegelapan tak berujung membanjiri seperti gelombang. Tubuhnya menjadi lebih ringan seperti dia secara bertahap menghanyutkan tubuhnya.
Dia tidak tahu waktu saat ini, tetapi ada angin mendengking di telinganya. Suara angin dari hutan belantara, hal yang menjadi favoritnya sebelumnya.
Namun, angin ini sekarang tidak ada artinya. Dia kehilangan spora ketika berguling-guling di hutan belantara yang disukainya. Suara-suara manusia terdengar di dalam angin. Dia tidak bisa mengingat suku kata dengan jelas dan hanya bisa memikirkan beberapa bagian. Dalam bahasa manusia, ada beberapa fragmen yang tidak bisa disatukan.
"Ini sangat, aneh ..."
"Apa yang harus kulakukan?"
"Ambil ke sini sampelnya."
Saat berikutnya, rasa sakit yang tak terdefinisi menyebar ke seluruh tubuhnya. Perasaannya ringan tapi membekas. Kekosongan muncul dalam kesadarannya yang tidak pernah bisa diisi. Dia tahu bahwa dia telah kehilangan hal terpenting sejak itu.
Ketakutan menyebar ke seluruh tubuhnya dan sejak saat itu, An Zhe mulai takut pada angin dan memilih tinggal di gua. Jantungnya berdetak lebih cepat dan rasa takut tiba-tiba melanda. Ketakutan kehilangan spora-nya.
An Zhe tiba-tiba membuka matanya dan menyadari bahwa dia sedang bermimpi. Hanya manusia yang bisa bermimpi. Detik berikutnya, napasnya berhenti total.
Dia ketakutan — makhluk hitam berdiri di depannya.
Dua mata merah pekat bersinar terang. An Zhe terdiam, matanya bergerak turun. Makhluk itu besar seperti manusia dewasa, tiga pasang kaki depan berbentuk sabit tipis dan tajam bersinar memantulkan cahaya bulan.
Setelah menyadari apa ini, tubuhnya bergetar. Ini perasaan yang asing, jauh dari perasaan leluhur mereka seribu tahun yang lalu. Perasaan takut. Jamur biasanya akan mati karena gigitan sekelompok rayap. Binatang buas di Abyss mungkin tidak akan suka jamur tetapi jamur mungkin kelezatan yang langka di Dataran No. 2.
Saat pikiran ini muncul, An Zhe tanpa sadar berguling ke samping!
Terdengar bunyi gedebuk di tanah. Kaki depan tajam dari monster arthropoda itu menghantam ke tanah di samping An Zhe. Tempat itu tempat dimana dia baru saja berbaring.
An Zhe dengan cepat meraih ranselnya dan bangkit. Dia berlari ke semak-semak di dekatnya sementara langkah kaki arthropoda terus terdengar di telinganya. Begitu suaranya menjadi sedikit lebih tenang, dia berbalik dan melihat ke belakang. Di bawah aurora, dia akhirnya bisa melihat seluruh bentuk makhluk ini. Makhluk ini monster hitam besar, seperti semut yang diperbesar ribuan kali.
Untungnya, tubuhnya terlihat terlalu berat dan kecepatan lari manusia lebih cepat daripada makhluk itu. An Zhe berlari ke semak-semak di depannya.
Lalu dia jatuh.
Dalam sekejap mata, dia diselimuti oleh bayangan monster itu. Tiba-tiba ia merasakan angin kencang, bagian tajam kaki depan monster ini memotong lengannya. Lengan An Zhe tiba-tiba hilang. Kain lengan tergantung dan dan kain itu tidak terpotong. Ini sepertinya di luar harapan monster itu dan dia berhenti. Pada saat yang sama, miselium menyebar dan tumbuh kembali di lengan baju yang kosong, membentuk lengan manusia yang lengkap lagi.
Dia berguling turun dari tempatnya untuk menghindari serangan monster berikutnya. Dia menggunakan lengannya sebagai penopang untuk turun dari tanah dan jatuh ke semak-semak yang lebih rendah. Dua semak tebal menghalangi tubuhnya. Tetapi, ini tidak cukup baginya untuk bersembunyi dari mata monster itu. Dia mengambil napas dengan cepat dan pada saat ini, tubuhnya mulai berubah. Bentuk lengan, jari, dan anggota tubuhnya perlahan menghilang. Ada sesuatu yang melonjak di bawahnya, ia berubah menjadi miselium untuk melarikan diri dengan cara yang lebih fleksibel.
Pada saat ini-
Bang!
Cahaya putih melintas di udara dan meteor itu mengenai persendian di antara kepala dan perut monster itu. Ada suara tumbukan samar dan cahaya putih meledak dalam diam bercampur dengan cahaya merah.
An Zhe ada di semak-semak dan menyaksikan makhluk itu terbelah menjadi dua bagian di tengah, dan jatuh menghantam tanah. Daun semak terguncang karena monster itu terjatuh ke sana. Kepala monster itu berjarak kurang dari setengah meter dari An Zhe. Mata merah darah itu masih melihat ke arahnya.
Di Abyss, An Zhe telah melihat makhluk-makhluk dipotong menjadi tiga dan masih bisa bergerak. Dia berpikir untuk sedikit menjauh dari hal ini ketika dia tiba-tiba mendengar suara yang tidak jauh.
"Itu bom uranium terakhir. Setelah mengambil tubuh, kembali ke pangkalan." Terdengar suara pria yang sangat tegas.
"Cangkang Arthropoda tidak murah. Aku tidak berharap akhirnya menangkap satu." Ada suara pria lain, yang ini suaranya sedikit lebih tajam dari yang sebelumnya.
Setelah percakapan singkat, mereka tidak lagi berbicara. Langkah kaki datang. Suara sepatu bot kulit tebal yang menginjak pasir, bercampur dengan suara gesekan pasir.
Manusia.
Setelah kematian AnZe, An Zhe belum pernah melihat manusia dalam waktu dekat. Dia diam-diam mengangkat kepalanya dari semak-semak. Semak-semak gemersik berbunyi dan pria pertama berkata, "Hati-hati!"
Detik berikutnya, moncong dari tiga senjata menunjuk pada An Zhe.
An Zhe hanya menatap mereka. Mau tidak mau ia mengingat tentang malam yang kacau saat dia kehilangan spora. Namun, keberadaan AnZe telah menunjukkan kepadanya kebaikan dan keramahan manusia. Dia memikirkan situasinya saat ini dan berkata, "Ha... Halo."
Di bawah cahaya aurora, pemandangan di depannya menjadi jelas. Ada tiga orang dengan pakaian gelap dan mereka semua laki-laki. Mereka memiliki sabuk cokelat lebar di pinggang mereka dengan magazine yang terikat padanya. Pria yang berdiri di tengah tinggi sedangkan dua lainnya sedikit lebih pendek.
(Gatau indonya magazine apa, tapi itu kayak buat peluru gitu)
Pria yang di tengah adalah orang yang pertama kali berbicara tentang 'bom uranium terakhir'. Suaranya sangat tenang. "Seorang manusia?"
An Zhe ragu-ragu sejenak. Kemudian dia memikirkan senjata yang menghancurkan monster itu dan dia menjawab, "Ya."
"Siapa namamu? Apa nomor ID? Di mana rekan setimmu? "
"An Zhe, 3261170514, hilang."
Pria itu mengerutkan kening dan menatapnya. Alis orang ini tebal dan matanya hitam, hidungnya tinggi dan bibirnya tebal. Kombinasi fitur wajah ini tidak membuat An Zhe merasa takut, tidak seperti perasaannya terhadap binatang buas di Abyss. An Zhe mengerutkan bibirnya dan melihat ke belakang pria itu.
Tiga detik kemudian, seorang pria lain muncul di sebelah yang pertama. Seorang lelaki kecil berkulit gelap yang mengarahkan senjatanya padanya, penuh waspada. Dia memandang An Zhe dan memerintah dengan suara rendah. "Buka pakaianmu."
An Zhe bangkit dari semak-semak. Dia membuka kancing pertama dari kemeja abu-abu, lalu yang kedua. Kulit lehernya terbuka. Kulitnya putih susu mulus dan seperti warna miseliumnya.
Lalu, dia mendengar siulan dari orang ketiga. Pria itu berkulit pucat dan berambut kuning dengan banyak kerutan di wajahnya, yang berarti penuaan pada manusia. Matanya biru abu-abu dan dia menatap An Zhe.
An Zhe menunduk, membuka kancing-kancing yang tersisa, dan melepas kemejanya. Pria bermata kelabu mendekatinya, bersiul untuk kedua kalinya, dan mulai memandangnya dari atas ke bawah.
Mata lelaki itu melekat lengket padanya, seperti air liur binatang buas di Abyss. Setelah melihat An Zhe, dia menuju ke sisi An Zhe. Detik berikutnya, pergelangan tangan An Zhe dicengkeramnya. Dia menggosokkan jari-jarinya ke kulit pergelangan tangan An Zhe, ibu jarinya menyentuh tulang pergelangan tangan An Zhe. Lalu dia bertanya dengan suara agak tajam, "Apa ini?"
An Zhe menatap punggung tangan dan pergelangan tangannya. Ada beberapa tanda merah di mana dia telah tergores oleh semak-semak saat melarikan diri dari serangan monster itu. Dia menoleh dan bergerak ke semak-semak di belakangnya. "Semak-semak."
Ada keheningan singkat. Setelah beberapa saat, pria itu membuka bibirnya, "Apakah kamu ingin melepas sisanya sendiri atau aku akan melepasnya untukmu?"
An Zhe tidak bergerak. Dia mungkin tahu apa yang mereka lakukan. Ada adegan serupa di memori AnZe. Kontaminasi genetik terjadi antara monster dan monster dan antara manusia dan monster. Cara pertama untuk memastikan apakah orang asing terkontaminasi dengan memeriksa apakah ada luka.
Namun, pria di belakangnya ini membuatnya merasa tidak nyaman. Perasaan yang sama ketika dia masih jamur dan seekor ular merangkak di atas payung jamurnya. Jadi, dia menatap pria di tengah. An Zhe telah melihat banyak binatang buas di Abyss dan bisa menilai seberapa bahaya mereka. Sekarang dia punya perasaan bahwa pria yang paling tidak agresif di antara ketiganya.
"Horsen." Setelah melihat sekilas, pria di tengah berbicara dengan suara berat. "Jangan bertingkah aneh di alam liar."
Horsen mencibir dan memandang An Zhe dengan cara yang bahkan lebih liar.
Tiga detik kemudian, pria itu berbicara kepada An Zhe, "Ikut aku di belakangku."
An Zhe dengan patuh mengikuti pria itu ke tempat dimana dekat kepala monster itu. Tidak ada luka di tubuhnya selain tergores oleh semak-semak.
Pria itu bertanya, "Berapa lama kamu terpisah dari rekan satu timmu?"
An Zhe memikirkannya dan menjawab, "Satu hari."
"Kamu memiliki kehidupan yang hebat."
"Tidak ada banyak monster di sini."
"Namun, ada banyak gangguan." Pria ini berbicara dengan cara yang sangat singkat tetapi dia tampaknya dapat diandalkan.
An Zhe mengangkat kancing bajunya kembali dan berbisik, "Apakah kamu akan kembali ke Pangkalan Utara?"
Pria itu menjawab, "Ya."
"Itu ..." An Zhe bertanya. "Bisakah kamu membawaku bersamamu? Aku punya makanan dan air sendiri. "
"Aku bilang tidak." kata manusia pendek, berkulit gelap.
Saat dia berbicara, pria yang diikuti An Zhe tadi melangkah keluar dan menghampiri dua pria lainnya. "Dia tidak terluka. Bawa dia?"
Horsen tersenyum ketika dia melihat An Zhe dan bersiul untuk ketiga kalinya. "Kenapa tidak membawanya? Lagi pula hanya dia. "
Kemudian dia memandang pria yang lainnya. "Bukankah begitu?"
An Zhe melihat ke pria berkulit gelap itu dengan mata suram.
***
Previous
Next
9 notes · View notes
justcallmefey · 4 years
Text
SAYAP - SAYAP PATAH BY KHALIL GIBRAN
Wahai langit  Tanyakan pada-Nya Mengapa dia menciptakan sekeping hati ini... Begitu rapuh dan mudah terluka.... Saat di hadapkan dengan duri-duri cinta Begitu kuat dan kokoh Saat berselimut cinta dan asa...
Mengapa dia menciptakan rasa sayang dan rindu  Di dalam hati ini... Mengisi kekosongan di dalamnya  Menyisahkan kegelisahan akan sosok sang kekasih Menimbulkan segudang tanya Menghimpun berjuta asa Memberikan semangat... juga meninggalkan kepedihan yang tak terkira
Mengapa dia menciptakan kegelisahan dalam relung jiwa Menghimpit bayangan  Menyesakkan dada... Tak berdaya melawan gejolak yang menerpa...
Wahai ilalang... Pernah kan kau merasakan rasa yang begitu menyiksa ini... Mengapa kau hanya diam  Katakan padaku sebuah kata yang bisa merendam gejolak hati ini... Sesuatu yang dirasakan raga ini... Sebagai pengobat tuk rasa sakit yang tak terkendali
Desiran angin membuat berisik dirimu Seolah ada sesuatu yang kau ucapkan padaku Aku tak tahu apa maksudmu Hanya menduga...  Bisikanmu mengatakan ada seseorang di balik bukit sana.. Menunggu dengan setia... Menghargai apa arti cinta...
Hati yang terjatuh dan terluka merobek malam  Menoreh seribu duka Kukepakkan sayap-sayap patahku mengikuti hembusan angin yang berlalu Menancapkan rindu... Disudut hati yang beku... Dia retak, hancur bagai serpihan cermin Berserakan ... Sebelum hilang di terpa angin... Sambil tertunduk lemah... Ku coba kembali mengais sisa hati bercampur baur dengan debu Ingin kurengkuh...
Ku gapai kepingan di sudut hati... Hanya bayangan yang kudapat.. Ia menghilang saat mentari turun dari peraduannya Tak sanggup ku kepakkan kembali sayap ini Ia telah patah...
Tertusuk duri-duri yang tajam... Hanya bisa meratap... Meringis... Mencoba mengapai sebuah pegangan...
2 notes · View notes
inisialnya-a · 4 years
Text
Apa lagu yang pas untuk malam ini? Sedangkan dari tadi pagi, hati dan kepalaku sudah selesai dicabik-cabik musibah yang tak berhenti memilihku jadi sasarannya. Bagaimana tidak? Di kondisi yang memang qodarullah sedang sulit-sulitnya, aku masih mencari satu dua kisah-kisah pilu seantero negeri, cuma untuk membuatku tidak terpuruk.
Namun, beberapa orang mungkin beranggapan semua ini seperti pesulap memainkan mantranya "simsalabim", lalu semuanya bisa menjadi semudah itu. Tidak! Woy, dengerin! Banyak orang main-main dengan hati saya yang retak-retak. Yang kutambal dengan apa saja, yang kusangga dengan motivasi-motivasi apapun, asal... hati ini masih mau bekerja sama dengan waras.
Kalian... tahu sakitnya menjadi seorang guru yang dibohongi muridnya atas hasil pekerjaan rumahnya? Belum tentu. Kebanyakan teman-teman sekolahku saja menghalalkan tradisi "barter" jawaban saat ujian. Kalian... tahu rumitnya bertahan di posisi menjadi tenaga pendidik di zaman-zaman sekarang? Guru lebih banyak di koreksi oleh orang tua. Sedikit-sedikit anaknya tidak bisa, guru menjadi titik paling pas untuk dipersalahkan. Bodoh! Posisi ini kadang terasa sangat rendahan, mengingat segala sesuatu yang berhubungan dengan guru hanya persoalan angka, angka dan angka. Aku merasa guru zaman sekarang kehilangan bobotnya yang sakral di mata orang tua. Apalagi di tengah kota-kota besar. Nama guru mudah sekali tersingkir hanya dengan satu dua bentuk protes sakartis wali murid.
Persoalan anak? Ada yang mengatakan "Tidak ada anak yang bodoh." Its okay. Aku setuju. Bahkan seribu persen setuju. Dan karena aku setuju, aku akan mengatakan hal serupa tapi beda makna, "In this world, that have no stupid teacher or angry teacher." Biar adil.
Sebenarnya di luar masalah bohong dan dibohongi yang merusak hari ini, aku dipermasalahkan lagi dengan honor di tengah kondisi yang memang sedang memprihatinkan. Nah, kondisi keuanganku juga tidak kalah miris. Ditambah dua tahun ini aku mengabdi pada "majikan" yang semaunya sendiri pada hak-hak guru. Astaghfirullah! Untuk urusan hakku yang tidak terpenuhi, aku biarkan dia. Itu artinya dia bukan main-main lagi dengan kehidupanku, tapi dengan Tuhan. Biar dia yang membicarakannya suatu hari nanti denganNya.
Aku bersyukur. Meskipun keadaanku memang selalu terpojok dan kurang pilihan. Aku masih bernapas sedikit lega. Karena, Allah selalu menjadi alasan paling kokoh untuk tidak menyerah. Walaupun, mungkin aku sedang menyusun langkah untuk keluar dari titik menyebalkan ini. Hahahah.
Anonamed.a
3 notes · View notes
coretanpenamaya · 5 years
Text
Kesempatan
Mencintaimu tampak begitu mudah, lambat laun perasaan ini mulai menggebu-gebu.
Tapi aku sadar, tidak setiap perasaan harus dimiliki oleh si pemiliknya, bukan ?
Sebab itu, aku bertanya-tanya siapalah aku dimatamu ? Pantaskah aku bisa memiliki mu ?
Selama ini kamu tahu, dirimu sangat berharga dimataku.
Kesetiaan mu tak perlu diragukan lagi dalam hal suka maupun duka.
Sayang seribu sayang, aku merasa tak pantas bersanding denganmu yang begitu sempurna.
Aku pun sadar diri untuk segera menjauh, tapi bukan berarti menghilang, hanya saja menjaga jarak dari pandanganmu.
Bukan tanpa sebab aku begini.
Seiring bergulirnya waktu, krisis kepercayaan diriku mulai meredup, melihat dirimu yang tampak bersinar.
Sungguh tak mudah bagiku untuk bertahan mendengarkan kicauan di telinga kanan-kiri ku tentang aku dan kamu.
Cukup, biarkan kisah kita yang (retak) ini menjadi rahasia. Tak perlu diumbar kesana kemari. Biarlah seperti ini, ku mohon.
Maaf, ku tak bisa memenuhi pintamu lebih dari ini. Apalagi menemani berjuangmu lagi.
Sekarang akan ku pasrahkan segalanya pada sang waktu.
Biarlah ia yang berkehendak, untuk menentukan kisah antara kita berujung dramatis atau romantis.
Sekali lagi, bukan maksud hati memberimu duka dan lara yang menyakitkan ini.
Aku sendiri pun tak menyangka, jika sikap ku sangat kelewat batas bagimu.
Sungguh aku sendiri tak tahu apa artinya, hanya saja aku tampak bodoh.
Jangan tanya mengapa, karena aku sendiri pun tak pernah tahu jawabannya.
Maksud hati ingin melindungi segala potretmu tapi nyatanya sebaliknya.
Jika saja, aku bisa mengubah sang waktu, maka aku ingin bisa berjuang bersama mu hingga akhir.
Tapi, mustahil bukan ? Oleh sebab itu, aku hanya meminta berikan kesempatan kembali untuk memperbaiki segala hal yang telah kulakukan padamu.
-Typu-
Selamat malam minggu dari kami @coretanpenamaya x Jessy RH.
27 notes · View notes
kopijingga · 6 years
Text
Bahkan...
Seribu warna yang ada kala kita bersama,
Menjelma menjadi abu tua saat kau pilih dia.
Mungkin kau pikir aku tak apa,
setelah langkah yang kau pacu beralih asa.
Sementara,
Hatiku retak bahkan luluh lantak,
Menyajikan kenangan yang berserak,
Membuatku beku tak bergerak.
3 notes · View notes