Tumgik
#seriously sopan????
lightmonx · 1 year
Text
Some random BoBoiBoy thing
You're telling me BoBoiBoy isn't his real name?!?! I always thought that was his name
Anyone play the BoBoiBoy card game? I remember when they first release the first pack (pek adiwira), BoBoiBoy Solar and Kaizo (if I'm not mistaken) is the most powerful card there is
Speaking of the Boboiboy card game, I like that some recent pack contain artwork using the comic style and not all a 3d render. I also like that they show what card that each pack contain so you don't get to have double
Anyone remember the first comic that use hand-drawn (?) style? I want to try reading it but I can only find no. 3,4,5,6. The other three volume (1,2,7) I can find is expensive (come on, RM100+??????).
I also remember that the first issues of the Boboiboy comic, all using the 3d render, also the fact that they have some random 4-koma that I'm sad that they don't add with the Galaxy S2 comic
I also plan to read Galaxy S2 comic but that's going to take a while since the total is more than (RM165) considering the fact that the bundle is sold out (somehow?????)
I also recently read the Boboiboy Galaxy comic adaptation of the second movie. It's pretty good. I also remember that the first comic adaptation of the first movie always sold out in all stores
Good times
Oh yeah, Boboiboy Sopan I can't. The name is too funny
9 notes · View notes
antonio-velardo · 11 months
Text
Antonio Velardo shares: New Jersey Governor Joins School Halloween Fray: ‘Give Me a Break’ by Sopan Deb
By Sopan Deb The South Orange and Maplewood school district tried to help students who felt left out on Halloween. The governor’s response: “Seriously?” Published: October 25, 2023 at 04:15PM from NYT Education https://ift.tt/DTa4kjz via IFTTT
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
arifahsatria · 2 years
Text
Framing Kecantikan
Bagi setiap wanita, pasti ingin terlihat cantik oleh siapapun. Baik dari rupa, gaya, dan lain sebagainya. Standar cantik bagi setiap orang berbeda. Makanya kecantikan itu relatif. Ada yang cantik karena matanya yang teduh, senyumnya yang mempesona, gayanya yang anggun, dan lain sebagainya.
Standar kecantikan di setiap negara pun berbeda. Level negara loh ya. Bagi negara Indonesia, framing kulit putih, hidung mancung, rambut lurus, tinggi semapai, langsing; mereka disebut cantik. Beda halnya dg Amerika, mereka yang cantik adalah yang berkulit eksotis, rambut ikal atau keriting, bibir tebal, postur tubuh berisi, dan lain sebagainya; mereka disebut cantik. Bagi negara Jepang, salah satu indikator wanita cantik adalah bertubuh mungil.
See? Beda-beda kan ya standar kecantikan tiap negara. Jangankan negara, tiap orang pun memiliki standar sendiri.
Kenapa tiba-tiba mengangkat tema ini? Jujurly, sedikit miris dengan framing standar kecantikan di Indonesia. Gencarnya framing kecantikan ini tak terlepas dari pengaruhnya media masa. Umumnya, masyarakat Indonesia cenderung memiliki tone kulit gelap, tapi karena gembar gembor media menyatakan bahwa kulit putih is the best, menyerasikan pandangan orang-orang bahwa, "hoo jd kulit putih itu cantik."
Saya mengangkat tulisan ini karena miris dengan curhatan anak usia 4 tahun yang bertanya ke ibunya 'kenapa ia berbeda?'. Ia diledeki oleh teman-teman sebaya yang membanding-bandingkannya dengan ibu anak tersebut. Salah satunya karena tone kulit. (Seriously!)
Lalu, tahu apa solusi yang disampaikan oleh anak 4tahun tsb? Ia bilang ke ibunya, "ma, bagaimana kalau saya juga diberikan handbody seperti yang mama gunakan. Biar kulit saya juga terlihat lebih terang." (Ini sudah saya terjemahkan ke dalam bentuk baku).
Miris kan ya? Anak sekecil itu sudah terpengaruh oleh framing standar kecantikan yg diciptakan.
Dik, itu semua karena bisnis, Dik. Maksudnya, jika kamu tinggal di daerah dingin, ndk mungkinkan saya jualan kulkas. Saya bakal jual penghangat. Ndak laku kalau saya jualan kulkas di tempat yang dingin. Sama, Dik. Sama! Kalau kulit agak gelap, yang laku adalah cara menjadikannya terlihat lebih terang, Dik..
Lagi-lagi, sebenarnya ndak penting kulit kamu terlihat terang atau gelap. Yang penting bernutrisi. Ndak penting pakaianmu banyak atau sedikit, yang penting sopan dan rapi. Ndak penting rupa mu seperti apa, Dik, yang paling penting punya nurani, berbudi pekerti.
-semoga saja ia membaca apa yang mengganjal dipikiranku sedari kemarin.
Dibawah pekat malam, 4 Feb 2023
1 note · View note
hennapaste · 2 years
Text
Sepertinya kehadiran Alfi di rumah ini sudah menjadi suratan takdir dari Allah.
Alfi ini, karakternya sungguh unik. Aku nggak pernah kepikiran akan menghadapi secara langsung tipe remaja yang seperti ini. Dibilang nakal, dia juga anak yang baik dan sopan. Dibilang anak yang penurut, tapi dia juga beberapa kali bikin onar. Anaknya sungguh luar biasa enerjik, ingin melakukan banyak hal, tapi mudah sekali terdistraksi. Kadang nggak peka terhadap sekitar, tapi aku bisa lihat dia juga punya sisi sensitivitas yang cukup tinggi. Dengan cara yang tepat, dia bisa memahami nasehat, tapi beberapa kali juga dia enggan untuk mendengarkan. Tipe anak yang jago dalam akademik, tapi butuh effort yang lebih supaya dia betah belajar. Ini anak juga sedang dalam masa yang ingin tahu akan segala hal, kepo istilahnya. Dia sangat aktif, ekstrovert parah, kadang aku nggak bisa mengimbangi energinya setiap hari. Alfi ini sekarang masih susah untuk sholat secara mandiri, tapi kalau urusan gadget, itulah yang paling sering dia cari.
Dan masih banyak lagi gambaran unik lainnya. Entahlah, apakah ada satu istilah yang tepat untuk menggambarkan karakter Alfi?
I must take it seriously, karena dia dititipkan di rumah ini oleh Etek (Tanteku, ibunya Alfi), bukan sekadar nitip sekolah biasa. Tapi lebih dari itu. Alfi kini menjadi bagian dari tanggung jawab keluarga ini.
Jadi bismillah... aku tahu nggak akan mudah, baik bagiku maupun bagi ayah dan bundaku, haha. Kadang lelah juga, kadang rasanya jadi pesimis menghadapi remaja ini. Tapi aku harus sadar betul, bahwa ini kesempatan besar untukku supaya bisa belajar. Belajar terus, dan menerapkan langsung ilmu psikologi yang sudah aku dapat. Dengan niat yang benar, insyallah dapat menjadi berkah dan amal jariyah. 
0 notes
slythereeen · 4 years
Text
Emang Bener Kalau Cowok Pake kaos Item Suka Keliatan Cakep?
“Gatau kenapa cowok kalau pake kaos item polos keliatan cakep kalo mukanya cakep”, - Screen shot status [at] recehintwiter
Nemu yang kaya gini di explore, katanya cowok pake baju item jadi keliatan cakep (kalau cakep ya hiks). Saya mah pake kaos warna apapun gini gini aja perasaan haha. Tapi inget Patrick ke Spongebob, “Aku Jelek dan Aku Bangga”. Saya jadi penasaran, emang apa ya alesannya kaos item sama cakep. Kita bahas deh yaw!
Disclaimer: Materi ini saya dapetin dari bright side dengan judul Pscyhologist Point Out 11 Clothing Colors That Reveal Your Personality
Kalau kata David Zyla (penulis buku Color Your Style) mah gini
"meskipun lemari baju kita diisi dengan berbagai lima warna kaya merah kuning kelabu merah muda dan biru (tapi yang meletus yang ke enam which is hijau), selalu ada warna yang ngasih kita preferensi, yang kita banget yang secara gak langsung ngebuat kita nyaman kalau pake warna itu dan ngerasa pede gitu. It is the very color that reflects your character”
Kalau kasus saya sendiri, warna yang paling saya suka itu aesthetic. kalau ga abu, item, atau putih. Tapi banyakan abu sih hehe. Yuk kita bahas 11 warna yang reveal personality kita
HITAM
Warna ini yang katanya ngebuat cowok jadi keliatan cakep ya. Sama sih, cewek juga kadang jadi cakep kalau udah pake baju ini. Keliatan elegan (buat saya ya). Kata Karren Heller (Style expert), Black is a color that is taken seriously. warna baju item itu ngelambangin prestige, power, keseriusan, sama kecerdasan. Makanya nih banyak kampus di Europe, yang toga wisudanya itu item. Di Indonesia juga banyak yang toganya item kaya UI sama IPB (tapi toga Unpad masih juara sih kalau diliat dari segi design). Orang yang prefer baju item biasanya ambisius, purposeful tapi sensitive. warna item ini ngebantu mereka ngalihin perhatian orang-orang dari penampilan mereka ke personality mereka soalnya kualitas mereka itu yang paling penting.
COKLAT & Nuansanya
Saya jarang sih nemu orang yang suka pake baju coklat. tapi warna ini ngelambangin kalau orangnya dapat diandelin, kuat, sama stabil. Katanya orang yang prefer warna ini biasanya agak konservatif, respect orang tua mereka dan selalu nyari peace, stabilitas sama kekuatan dalam segala hal. Cewek yang pake baju coklat atau cowok yang pake jaket coklat ngasih kesan kalau ia cerdas dan rasional. Langsung cek saya punya baju coklat ga ya buat ketemu doi HHH
BIRU & Nuansanya
Kata Mba Lisa Johnson, warna biru ini warna yang paling cocok dipake buat wawancara. Makanya kadang kita suka liat orang yang wawancara pake kemeja biru soalnya ia ngelambangin percaya diri sama dapet diandelin. Study yang dilakuin sama Univ of British Columbia bilang warna biru tua itu punya calming effect. Nuasa biru di baju biasanya dipilih sama orang baik, sympathetic, sopan malah bahkan orang pemalu. Katanya sih person in blue biasanya bakal jadi wonderful parent atau seorang pekerja teladan
HIJAU & Nuansanya
Warna item ini erat sama alam. Kata ilmuwan dari Univ of Amsterdam mah warna biru itu biasanya ngebuat kita good mood. Makanya mungkin dulu wallpaper warnet itu padang hijau gitu. Biar mood internetannya dan nambah billing haha. Mereka yang prefere warna ini katanya peduli, baik, dan punya soft heart. Mereka aktif. Suka tinggal di daerah yang bagus, dan katanya nih mereka financially stable. Sultan nich
UNGU & Nuansanya
Sebagai mantan belieber (penggemar justin bieber) saat SMA haha, saya tau banget nih ini warna Justin Bieber banget. Nah ini nih, saya punya temen yang suka banget sama warna ungu. Entah kenapa suka banget. Warna ini ngelambangin kecanggihan, kaya, sama mewah. Katanya Cleopatra (Firaun) suka banget sama warna ungu soalnya dulu cuman orang kaya doang yang make barang-barang bernuansa ungu. Kalau sekarang sih warna ini nge indikasiin creativity, insight, sama love of art. Eh ternyata bener dongs. Temen saya yang suka banget sama ungu ini tuh emang designer. suka design design
MERAH & Nuansanya
Siawa siwa huwono huweni, yang baju merah jangan sampai lepas
Warna ini yang paling menarik perhatian. Richeese level 5 juga kan merah yah haha. Kata Mba Kenny Frimpong (Manager Brand Eredi Pisano), merah itu warna passion dan power. Kamu harus ngubah preferensi kamu ke warna ini kalau kamu pengen mengajak atau nge impress seseorang". Kalau kata Abby Calisch (Psikolog dari Eastern Virginia Medical School), "merah itu stimulant buat cowok-cowok". Mereka yang preferensinya warna merah itu cerah, mudah exciting, agak sedih egois, dan katanya addicted. Ke undangan pake warna ini auto jadi perhatian, apalagi ke nikahan mantan sambil nyanyi harusnya aku yang disana by Armada
KUNING & Nuansanya
Yo penggemar Billie Ellish mana suaranya, saya sampe punya jaket warna kuning gegara ngeliat lagu bad guy. 
kuning ini warna kebahagian, matahari, sama tertawa. Mereka yang preferensinya warna ini itu aktif, kreatif, sama orang yang addicted to something. Mereka pemimpi cerah dan berjiwa petualang. Siap explore apapun
PUTIH
Selain item, warna ini juga suka jadi kaos anak-anak start up kan ya. Buat yang preferensinya ini hati hati sih. Entar dijailin temen dikasih lipstick bentuk mulut gitu wkwk. Niat kangen ketemu doi gegara pandemi, eh pas ketemu malah berantem haha
putih itu simbol perdamaian, alami, innocence sama kesederhanaan. Manaknya nih banyak orang beli barang putih soalnya mereka kaya bisa mulai sesuatu yang baru di hidupnya. mereka biasanya teroganisir dalam melakukan apapun Mereka suka memulai dan berjuang buat kesempurnaan
MERAH MUDA & Nuansanya
Kayaknya ini warna favorit perempuan pertama kali deh. Hayo ngaku siapa yang nulis warna ini di biodata diarynya pas SD dulu. Ko bisa? Biasanya barbie ya yang sering pink-pink gini tuh. Walaupun gitu, mereka yang preferensinya ini tuh ngelatin umur yang matang, lembur sama biasanya ini tuh ngasih tau tentang betapa feminimnya mereka. Katanya juga mereka itu romantis, optimistis, sama merasa benar sendiri dalam hal yang baik tentunya
ORANGE & Nuansanya
Orang yang preferensinya ini biasanya optimistik, energetic, sama selalu keliatan bahagia. Even mereka bisa jadi orang yang sedikit tersinggung, tapi mereka bisa jadi ambisius dan bijaksana. Saya bingung mau cerita apa warna orange ini haha, dah lah itu pokoknya. Skip
ABU-ABU
Ini tuh kaya perasaan doi ke kamu, ya abu abu gitu. Too good to leave, Too bad to stay hiks. warna ini ngelambangin keseimbangan. Gak itam atau pun gak putih. Biasanya mereka yang preferensi ini tuh pengen kaya keliatan invisible. Doi mungkin sering kadang ilang-ilangan gegara ini haha. Warna ini juga berarti ketenangan, dimensi, dan kematangan. Orang Aesthetic Minimalist seneng banget sih sama warna ini. Karena abu ini termasuk warna netral, jadi orang nya agak sulit juga buat ditebak
77 notes · View notes
almirapeer · 4 years
Text
Describe My Personality
Tumblr media
Aku perlu membuka kotak surat lamaku untuk menjawab pertanyaan "Siapa Aku?". Di sana tersimpan surat dari teman-temanku sejak aku duduk di sekolah dasar sampai sekarang. Ya, aku menyimpan semua surat yang kalian berikan.
Ada satu surat isinya adalah tulisan teman-teman kelasku tentang kelebihan dan kekuranganku. Tiga puluh satu teman mengungkapkan kepribadianku dalam surat ini, tentunya aku tidak tahu siapa yang menulis bahwa aku baik dan siapa yang menulis bahwa aku jahat.
Lima tahun berlalu dan aku rasa tidak ada yang berubah dengan apa yang mereka tulis di sana. Banyak yang menulis bahwa aku pintar, kalem, polos, pendiam, suka membaca, positif thinking, rajin, dan suka menabung. Haha. Membaca tulisan mereka membuat aku senyum-senyum sendiri sepanjang hari. Begitu pula dengan kekuranganku yang mereka tulis bahwa aku suka melamun, suka berdiam diri, pelupa, nggak pernah hafal jalan, nggak pernah ngajak main, sering main tanpa izin, dan hanya bergaul dengan sedikit teman di kelas. Go figure. How could you know me so well? Do you always pay attention to me? Lol.
Tanggal 2 Agustus 2016, aku mengumpulkan tetangga-tetangga sepermainanku. Aku menyuruh mereka melingkar dan bermain permainan tulis kepribadian teman. Usai permainan, kami saling membaca surat yang kami dapat. Lagi-lagi aku tersenyum dan mulai menebak-nebak "hmm siapa nih yang nulis begini". Aku hanya tidak menyangka, di antara tulisan yang menyebut aku pintar, baik hati, sopan, lembut, halus, kalem, murah senyum, polos, cantik, dan alim, ada seseorang yang menulis bahwa aku galak seperti singa. Wow. Tidak terduga. Lalu mataku kembali menyapu menuju bawah. Ternyata ada tulisan 'galak' lagi. Semakin aku baca sampai bawah, aku menemui tiga kata galak, tiga kata cuek, dan lima kata jutek. Are you seriously, guys? Maybe, I just didn't mean to, but I'm sure that you got me wrong. Aku yang gemas dan tidak mau terjebak dalam pertanyaan why and why -pun, memberanikan diri untuk bertanya.
"Kenapa kalian nulis kaya gini? Aku galak pas apa? Aku cuek dan jutek gimana?"
Ada satu orang yang menjelaskan, aku minta maaf, kami menangis, dan tertawa bersama. Selesai.
Sepulang dari majelis ala-ala itu, aku membaca lagi surat mereka di kamar. Aku bahagia membaca tulisan mereka. Mereka menulis kalau mereka bahagia punya teman sepertiku. Mereka berterima kasih, karena aku adalah orang yang bisa membuat mereka berubah menjadi lebih baik. Ada empat orang yang menulis aku sebagai motivator mereka, lol, dan ada tiga orang yang menulis kalau mereka suka mendengarkan aku bercerita.
Apakah tulisan teman-temanku tersebut cukup menjawab pertanyaan "Siapa Aku?". Belum ya? Kalau begitu, let me tell you about my story from my perspective. Here we go!
I'm really sure that I'm an introvert. Or to be more exact, introvert hang over.
Selepas diterima menjadi mahasiswa baru, aku membaca sebuah nasihat yang bilang kalau masa kuliah adalah masa terbaik untuk mencari koneksi. Jadi kita perlu berteman dengan siapapun dari berbagai kalangan. It's okay. Hari pertama berangkat kuliah, ibuku pun memberi wejangan yang sama. Beliau berulang kali bilang kepadaku untuk tidak malu-malu dan menyuruhku berkenalan dengan banyak orang. Hfftt! Aku menghela napas panjang. Aku buang sifat pendiam dan rasa maluku. Aku akan mencoba menjadi periang, cerewet, dan bergaul dengan anak-anak hits. The mission was successful. Seharian di kampus dari pagi sampai malam, aku dan teman-teman baruku ini berkeliling kampus tiada henti. Berfoto-foto di setiap sudut, mengajak foto senior ganteng, dan bernyanyi-nyanyi di tengah keramaian sampai aku hafal lagu Love Scenario-nya iKON. OMG it's not my self. Sekitar pukul 7 malam, aku merasa energiku sudah habis. Pusing dan mual. Aku tidak bisa lama-lama dengan mereka yang tidak sefrekuensi denganku. Aku mencoba menghubungi beberapa teman lain. Aku mau ikut mereka yang biasa-biasa saja. Tapi mereka jauh, ada yang sedang di perpustakaan, ada yang di UKS, dan ada yang duduk di koridor kelas. Sementara aku sedang fake smile di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang berjoget dan bernyanyi ria di depan panggung.
Pulang-pulang, kepalaku sakit, tubuh lemas seperti nggak punya tulang, sampai muntah-muntah dan berakhir di pulau kapuk tanpa ganti baju hingga pagi.
Esoknya, aku mulai mendekati teman-teman lain yang biasa-biasanya saja, yang terlihat sefrekuensi denganku, yang tidak suka kehebohan, dan menyukai ketenangan. Kami duduk-duduk santai di pinggiran, saling berbagi cerita, apapun acaranya. Nah, aku baru merasakan kebahagiaan. Dari pengalaman ini aku baru mengerti bahwa kepribadian sulit sekali diubah. Introver menjadi ekstrover, atau sebaliknya, jangan harap. Lagi pula, introver bukanlah kepribadian yang buruk. Seorang introver bisa saja berteman dengan siapapun dan sangat bisa melakukan apapun. Hanya saja, kami selalu butuh waktu sendirian untuk men-charge energi.
Baru kali itu aku berusaha berubah untuk mencoba menjadi bukan diriku. Ternyata tidak bisa. Karena saat masa-masa sekolah, aku benar-benar menjadi diriku sendiri. Setiap ada konser musik, aku mengasingkan diri dari kerumunan orang. Membeli indomie goreng, dan menikmatinya di koridor.
Oya, aku bersyukur, sungguh bersyukur selalu dipertemukan dengan sahabat-sahabat yang baik. Yang mengerti "siapa aku". Di mana orang lain mengenal aku sebagai orang yang pendiam, tapi setiap hari teman-teman dekatku bilang aku gila. Haha! Karena kalau aku baca-baca, ada orang yang tidak punya teman. Sendirian. Sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sulit berbaur. Tidak apa. Kalau pun kamu benar-benar butuh teman, teman itu pasti datang. Suatu hari kamu akan menemukannya. Or you can knock my door. Xixi.
Terakhir, aku ingin bilang, kalau ada uneg-uneg atau hal yang ingin disampaikan kepadaku, sampaikan saja. Kalian bisa sampaikan pesan secara anonim di sini: https://secreto.site/id/15802532
Don't forget to love your self. You are beautiful every single day every you make a smile. You're awesome when you love your self. And I hope you can't stop to enjoying this life.
Cheers!
#30dayswritingchallenge #day1
3 notes · View notes
Text
Saat ini, pertanyaan yang paling gue benci adalah: ‘sekarang sibuk apa?’. Bukan karena itu pertanyaan ngga sopan atau melanggar privasi, tapi karena gue ngga tau jawabannya.
That question humiliates me. Because I don’t even know what’s going on in my life??? I don’t have any plan whatsoever to continue my life.
Gimana kalau gue mau mati aja? Kalau dipikir-pikir, di saat kakak gue menggambarkan secara detail peta hidupnya sejak bangku SMA dan kemudian satu persatu membuat rencananya jadi kenyataan, gue malah berencana untuk mati setelah gue lulus kuliah arsitektur. Now that I’ve graduated with a bachelor degree in architecture, what’s left on the plan?
Aneh ga sih anak SMA udah mikir mau mati aja? I wasn’t even depressed back then. I just didn’t know what I want to do, and still don’t know even now.
Cita-cita gue dari SD kan jadi arsitek?? Itu, atau cuman karena semua orang dewasa selalu bilang, “Wah, kamu pintar gambar ya. pasti gedenya mau jadi arsitek.” waktu mereka melihat gue menggambar? Atau jangan-jangan karena Nyokap gue pernah bilang dulu beliau kepingin masuk jurusan arsitektur, tapi malah milih Jurusan teknik mesin gara-gara dihasut Om gue, jadi gue dengan sok pahlawannya ingin mewujudkan cita-cita Nyokap gue?
Bukannya lo mau S2 ke luar negeri?? Gue aja gatau mau belajar apaan??? Kenapa gue mau belajar di luar negeri??? Kenapa??? Gue gatau. Apa itu bukan alasan aja supaya gue ga harus kerja, atau ga harus nikah cepet???
Bah, apalagi disuruh nikah. dengan keadaan kayak gini, not knowing what to do with my life, gue makin gamau nikahlah. Mana pantes ngomongin nikah, padahal gue sendiri gatau apa yang gue inginkan buat diri sendiri, gimana mau bikin rencana keluarga atau anak???
Gue paling benci sama cowok yang gamau kerja, santai-santai aja jadi parasit, gatau mau ngapain sama hidupnya. Now imagine how much I hate myself that I’ve turned to be someone I hate the most??? Walaupun gue bukan cowok, gue tetep kepikiran, gimana kalo at this point gue ga akan nikah, terus gue harus parasitin Nyokap Bokap gue sampe mereka meninggal gitu? Atau kalo gue nikah, terus ada worst case scenario tapi gue ga berdaya karena gue ga pernah kerja???
Kalau ditanya, “when did things go wrong?” gue rasa jawabannya, “my whole damn life!! Seluruh hidup gue adalah kesalahan!”
Bukan bukan. Gue bukan menyalahkan orang tua gue yang udah melahirkan gue ke dunia ini. Gue menyalahkan diri gue yang, never take life seriously. Bahkan kalau orang nanya gue ngapain aja selama 26 tahun hidup di bumi, gue kayaknya bakalan tetep jawab “gatau”.
I was a bright kid at school, you know? I didn’t even have to study and still always ended up in the top three. I had what they say gifted IQ of 150ish, and how they all said I’m genetically intelligent stroked my ego. Gue bener-bener ga pernah belajar, bukan karena gue tau bakal dapet nilai bagus, tapi karena gue lebih seneng kalo gue dapet nilai bagus padahal gue ga belajar, dan gue ga gengsi kalo gue dapet nilai jelek, karena gue emang ga belajar.
Dan itu kebawa-bawa sampe gue kuliah. Walaupun otak gue masih mampu bikin gue dapet kuliah di UI, pas udah masuk, I am nothing. Gue bukan siapa-siapa. Gue cuman kecebong di kolam hiu. Tapi gue bukannya kerja keras malah males-malesan. I didn’t want to sweat it, because I wont be that cool gal anymore if I succeed by working my ass off, and it would be even more humiliating if I fail. What a twisted way of thinking.
Dan sekarang gue bahkan takut buat memulai apapun karena gue takut gagal setelah gue susah-susah. I just want to do what I do best: nothing. What a piece of shit. Haha
.
.
.
Yang barusan Anda baca adalah apa yang ada di pikiran saya beberapa bulan terakhir ini. Saya ngga pernah cerita tentang ini sama orang lain karena setelah membaca ini pun, Anda pasti berfikir, “Wow, how pathetic”
Anda benar, saya menyedihkan. Saya cuman seonggok sampah yang ngga berguna. Di balik kata-kata mutiara yang sering saya ucapkan tentang hidup, this is how much negativity I actually have in my head, maybe even more. Saya sedang tidak bisa berfikir positif, setidaknya tentang diri saya sendiri. Saya juga sedang tidak bisa menerima nasihat atau kata-kata penyemangat apapun. Saya sedang menyesali seluruh hidup saya.
Saya tahu tidak ada kata terlambat, tapi saya juga tahu that the world waits for noone. Karena itu saya terus-menerus merasa gelisah. Saya tidak butuh validasi, karena saya tahu saya salah. Jika Anda sudah membaca ini dan masih mau mendukung saya, tolong tetap di sisi saya dan awasi saya, karena saya sangat takut tertinggal jauh di belakang ketika semua sibuk berlari.
Jika Anda sudah membaca ini dan menjadi jijik pada saya, Saya akan mengerti.
6 notes · View notes
hindunrisni · 5 years
Text
My Parents, My Sunshine
Bukan my kids my sunshine ya wkkw.
Gegara habis dikomen teman yg blg gue sering breaking promise buat ketemuan krn mendadak org tua dtg, gue jd pgn nulis soal orang tua. Bukan buat excuse ya btw wkwkwk.
Salah satu pelajaran terbesar yg sy dapat semenjak menikah adalah soal birrul walidain, berbakti pada orang tua. Tipe keluarga saya dan keluarga suami memang cukup berbeda. Mine is a type yang anti banget bilang 'sayang, kangen, dsb' secara gamblang (except my mom, my mom is outliar), sedangkan keluarga suami is a very very very open family. Setelah berkontemplasi, keterbukaan sepertinya melatih kita untuk lebih respek dan sayang sama orang tua.... At least thats what I feel.
Siapapun yg sedang dalam proses menikah, pasti pingin kan dianggap baik sama mertua. Saya waktu itu takut, bahkan sampai sekarang sy sering blg sama suami setiap kali akan bertemu mertua "aku deg2an, takut ga sopan" apalagi kalo udah melihat suami ngomong jawa kromo ke orang tuanya, saya merasa butiran debu yg keinjek2 sepatu orang saking merasa 'ngelunjak'nya diri ini. Wkwk lebay ya. But seriously, saya sangat tidak terbiasa untuk berlaku "sesopan itu" sama orang tua. Ibarat di chat whatsapp tuh ya kaya gini,
Umi: nong dimana? Tadi umi habis ketemu... Bla.. Bla... *Panjang*
Gue: di kosan. Oh iya mi
Atau
Umi: umi kangeeen, pengen ketemuuu *emote lope2 3 biji*
Gue: hehe sama mi
Atau gue sm kk cowok gue
Kk: umi ulang tahun ga kasi surprise?
Gue: ayo
Kk: ok
Kalau sama mertua/adik ipar bisa begini
Mertua: wooook, mamah lagi beginiii begituuu bla bla blaa *emote lope, tangan berotot, lope lg, senyum, lope lg, lope lg ampe seratus*
Gue: waah semangat mamaaah *emote lope 3biji*
That doesnt happen di wa aja, it does happen in real life. Karena gue gamau dianggap ga sopan sm mertua jelas dong gue ikut keramahtamahan mereka, walau gabisa se'heboh' mereka. Apa jadinya? Capek 😂
Jadi teringat kata2 prof Al-Attas yang bilang manusia sekarang seperti memakai topeng, bertingkah sesuai kondisi, bukan dengan adab sebenarnya. Frankly sy jadi teringat buku Susan Cain soal konsep Free Trait Agreement yg saya pegang teguh sampai skrg. Sepertinya selama ini saya salah mengaplikasikannya. Free Trait Agreement membuat kita berperilaku sesuai dengan lingkungan, ketika lingkungan kita memaksa kita harus making friends, kita harus mengeluarkan sedikit 'jiwa extrovert' kita walau pd dasarnya kita introvert, krn kita sejatinya butuh networking (cmiiw). Kemudian kok lama2 saya justru menggunakan konseo itu laiknya saya menggunakan topeng, tidak menjadi diri sendiri pada kondisi tertentu karena saya mementingkan reputasi sy di hadapan orang. Prof Al-attas mungkin berbicara soal para politikus/pemimpin yang tidak beradab dengan sifat kehewanannya, memakai topeng, berlaku curang dsb. Tp kalau saya tarik sedikit garisnya ke kondisi saya, sy jadi merenung, apakah selama ini saya benar2 mencintai orang tua saya sepenuh hati? Kenapa berbuat baik ke mertua membuat saya lelah kalau pada dasarnya sy memang berbuat baik utk orang tua sy sendiri? Hehe...
Kalau direcall, dulu waktu kuliah memang sy jarang pulang ke rumah. Klo orang tua mau dtg ke kosan, sy dengan entengnya bilang ada janji sama teman. Orang tua lg nelpon pengen ngobrol, kadang kalau sy mau belajar sy buru2 pgn minta tutup telepon (pdhl suami bisa 2 jam kalo telponan sm mamah/neneknya pdhl lagi ada deadline kerjaan). Kalo orang tua sendiri minta bantuan, rasa2nya sy ga setotalitas itu buat bantu dibanding kalo mertua minta bantuan.
Sy teringat saat pertama kalinya saya menangis sesenggukan ditinggal orang tua yg berkunjung saat minggu pertama baru menikah. Somehow itu adalah titik kulminasi yg paling saya rasakan bahwa saya sangat sayang dengan org tua saya (lah netes kan pas nulis ini). Mungkin krn sy baru menikah, sy baru sadar bahwa saya sepenuhnya sudah menjadi tanggung jwb suami saya. Saya menangis, baru saat itu merasakan rindu tersayat2 itu seperti apa :"""" Sy jadi mikir, mungkin saya sayang orang tua saya, tp apa iya rasa sayang yg saya beri sudah optimal? Apakah org tua saya layak mendapatkan hanya sebatas kata 'iya' ketika mereka bilang rindu? Atau sebatas kehadiran saat suprise ulang tahun tp tak diizinkan berkunjung karena sy harus bertemu teman yg padahal cuma pgn makan brg? :"
Akhirnya di satu waktu sy mencoba untuk lebih terbuka dalam mengekspresikan sesuatu ke org tua. It works. Mungkin ada kaitannya dengan smile brings positivity and the kinds. Rasa2nya kalau saya mengekspresikan rasa sayang dan cinta lebih terbuka, jadi terbawa sampai ke hati hehe, ga cuma berhenti di otak trs ngambang dikit di hati hehe. Saya lebih senang dan puas, org tua keliatannya sih lebih senang jg hehe. Percakapan juga jd lebih ngalir yg biasanya sy cuma ngangguk2 aja.
Saya berusaha untuk seadil mungkin pd org tua sendiri dan mertua. Belajar untuk melakukan segala sesuatu dari hati. Dan ekpresi cinta yang terbuka itu bagi saya bisa melatih kita untuk berbuat sepenuh hati. Bukan berarti org yg ekspresinya datar dan hemat kata tidak ikhlas dlm membantu orang, itu kembali lg ke hati dan kenyamanan kita sendiri. Saya hanya mencoba untuk berkontemplasi ketika melihat rasa2nya keluarga suami sy seperti dihujani rasa cinta dan hormat yang ga berhenti2. Sedang sy masih sering merasa hambar ketika mencoba menghormati dan mencintai org tua sy. Sy ingin apa yg sy lakukan ke mertua sy lakukan juga utk org tua saya dan sebaliknya. Karena bagaimanapun kt paksu dalam pernikahan gada istilah mertua, empat-empatnya adalah orang tua kita. Kalau kita sudah terbiasa berbuat baik dengan ikhlas, perbuatan baik yg kita lakukan ke siapapun akan mengalir insyaAllah, ga terpaksa krn keadaan dan ga capek 😅
Orang tua itu di atas segalanya. Segala2nya. Ridho Allah ada di ridho orang tua. Saya baru benar2 menghayati kalimat mainstream itu setelah menikah, sangat telat karena ridho utk sy sudah pindah ke suami. Kadang merasa hina ketika org tua msh mendoakan sy dg tulus pdhl bakti sy tidak ada apa2nya.Sangat layak bagi mereka utk mendapat kebaikan2 dr saya walau ridho utk sy sudah pindah. Memang telat, tp setiap kali sy melihat cara suami saya memperlakukan orang tuanya, sy selalu yakin bahwa Allah menjodohkan sy dengan beliau salah satunya adalah utk memberi kesempatan kpd sy dalam berbakti kpd umi dan abah, memperbaiki kesalahan sy terhadap mereka....*im literally crying now
Rabbighfirli waliwaalidayya warhamhuma kamaa rabbayaani shogiro..
Yuk berikan sesuatu yg layak bagi org tua kita sebelum terlambat :"
2 notes · View notes
bobby-jauw · 5 years
Text
#WeLoveYouTaeyeon: My thoughts on public figures depression
(Click Read more below for the ENG. Transalation)
Jadi ceritanya kali ini gue mau curhat berhubungan dengan satu hal yang masih hangat di dunia hiburan Korea. Memang gak selevel kasus Burning Sun dan YG, tapi ini menggelisahkan gue dan bikin gue pengen nulis sesuatu.
Sesuatu.
Haha #ketawamaksa #recehnyaaku
Nah ke intinya aja ya, sesuai judulnya ini terkait dengan leader girl group tercinta kita, Mbak Taeyeon~
Tumblr media
Semuanya bermula ketika mbak Taeyeon buka kolom pertanyaan di Instagram storiesnya, lalu dia jawab beberapa pertanyaan dengan singkat dan terkesan dingin. Dan jeng jeng jeng sampai muncul pertanyaan di atas. Lewat pertanyaan di atas Taeyeon membuka diri tentang depresi yang dialaminya. Yang kemudian para SONE memulai hashtag #WeLoveYouTaeyeon merespons hal ini.
Nah kemudian yang bikin gue gelisah dan pengen nulis adalah respons orang-orang yang minta dicipok pantat panci panas seperti di gambar ini:
Tumblr media
Ya gue emosi baca respons begitu. Bukan semata-mata karena gue mengidolakan Taeyeon, tetapi lebih karena gue merasa mengerti bagaimana berasa di posisi Taeyeon. Dibilang mengerti pun, rasanya skalaku lebih kecil, cuma ya ngerti lah.
Kelelahan secara mental dalam posisi publik figur itu hal yang sulit untuk dilewati. Memang gue bukan publik figur sekelas Taeyeon, tetapi dalam posisi gue sebagai seorang rohaniwan di sebuah gereja, I feel her.
Gue juga pernah mengalami depresi dan untuk berhadapan dengan orang itu sangat melelahkan. Yang gue pikirin tuh ya:
Just wanna be alone, but too afraid to be alone. Going around people, but too tired to react to them. Need some understanding, but turns out receiving judgemental responses.
Lalu gimana? Ya saat di publik gue jadi keliatan rese, gak punya sopan santun, dsb. Apa yang pernah gue terima persis kaya negative comments yang Taeyeon terima, hanya saja dalam skala lebih kecil. Dan itu semua menggiring ‘si penderita’ ke ujung kelelahannya, and BOOM.
Dan jangan tanya, “Kalau gak bisa terima orang, kenapa masih komunikasi sama orang?" Hih. Masalahnya dia bukan gak bisa terima orang, tapi apa yang lu kasih bukanlah yang mereka perlukan. Saat mereka meledak atau sedikit terbakar, mereka hanya ingin dimengerti, bukan ditakuti lalu dijauhi.
Ilustrasinya, pernah gak sih lu lagi serius sedih, lalu dianggap bercanda. Marah gak lu? Mungkin gak langsung, lu coba jelasin dulu. Masih dicandain terus menerus? Marah kan? Lalu apa itu karena lu pengen orang itu benci lu, takut sama elu, dan kabur?
Enggak kan?
Lu cuma pengen orang lain ngerti, lu pengen bawa orang lain bener-bener di jalur yang sama, cuma ya jadinya otot-ototan karena ternyata gak mulus prosesnya.
Selain itu, di luar depresinya, kondisi Taeyeon saat ini juga bukan kondisi yang mudah. Taeyeon sekarang berkarir sebagai seorang solo artist dan juga adalah seorang introvert, plus being far from her family and loved one (TaeNy forever <3). Once again, for that condition, I feel her.
Saat gue begitu rapuh dan ketika gue cuma bisa teleponan sama orangtua, cuma bisa chat sama koko dan dede gue, dan saat gue gak berani ganggu sahabat yang udah jauh (and I know their working loads), gue memberanikan diri untuk “menjelajahi” belantara pergaulan baru yang ada di dekat gue. Beruntungnya, gue bisa dapet teman pelayanan dan beberapa teman dari kalangan jemaat yang bisa mengerti kerapuhan gue.
Nah gue gak tau tuh dengan yang dialami Taeyeon, cuma ya ternyata dari netizen gak dapet tuh. Ya semoga di lingkungan kerjanya dia bisa ketemu orang yang paham dia. #StayStrongTaeyeon! #WeLoveYouTaeyeon! Muach muach for you mbak Taeyeon~ :***
Gue cuma berpikir, mungkin orang-orang yang tidak bisa berempati sama Taeyeon adalah orang-orang yang gak pernah depresi atau gak pernah menjadi center of attention atau punya kepribadian yang benar-benar beda dengan Taeyeon.
Sedikit saranku, dalam setiap momen, waktu coba merespons curhat seseorang, diem bentar, tarik nafas, dan berpikir.
Diem bentar. Kasih ruang supaya orang yang lu ajak ngobrol ngerti kalau lu mencoba mengerti dirinya, bukan orang yang sudah siapin peluru yang ready untuk ditembakin. Sekaligus juga untuk kasih ruang kalau memang dia masih pengen ngomong, it helps you to understand them better.
Tarik nafas. Lu juga perlu tenangin diri lu and get a grip. Dia yang sedang bingung, panik, dsb, lu perlu jadi lebih settle. Lu gak perlu jadi super, cuma perlu jadi lebih settle aja.
Berpikir. Cobalah ambil momen sebentar untuk memikirkan siapa lawan bicaramu dan pikirkan “what if(s)” sebelum bertindak.
Not a 100% guarantee for successful communication (karena bisa aja lawan bicaramu memang belum dewasa atau gak mengerti apa yang dia mau jadinya dia gak ngerti itikad baikmu), tapi ini supaya salahnya juga bukan dari kamu.
Rasanya itu aja sih yang bisa gue tulis. Terimakasih yang sudah bersedia membaca, gak ada yang baca pun aku sudah cukup lega.
                                                                               ENG. Translation
So this time I’m gonna write something about a hot topic in Korean entertainment news. Not as hot as Burning Sun or YG, but this really bothers me and force me to write something.
Something.
Haha #cringey
Straight to the point, as you see on this post’s title, I gonna write something about uri leader, Taeyeon noona~
Tumblr media
It all started when Taeyeon noona made a question box on her Instagram stories, then she answered several questions shortly and sounds cold. Aaaand *drum rolls* until she answered this question above. Taeyeon noona opens up about the depression she suffered. After that, SONEs begin to trend #WeLoveYouTaeyeon hashtag.
Then what bothers me so much is negative responses from people who asked to be kissed by hot pot with boiling water like this:
Tumblr media
Yeah, I feel really upset about this kind of responses. Not merely because I’m a SONE, but it’s more like I understand and feel Taeyeon noona’s position. Although I experienced things on a smaller scale than hers, I can say I understand her.
Experiencing mental fatigue as a public figure is a big deal. I know I’m not a public figure like Taeyeon, but with my position right now as a full-time minister in a church that people looked up to, I feel her.
I’ve once experienced depression and to deal with people on those times is truly exhausting. What’s running around my mind are:
Just wanna be alone, but too afraid to be alone. Going around people, but too tired to react to them. Need some understanding, but turns out receiving judgemental responses.
Then what? In public, people will found me unfriendly, impolite, etc. What I receive is similar to the negative comments Taeyeon receives, but on a smaller scale. And all those words just lead me to the edge of my exhaustion and BOOM.
And please don’t ask, “If you can’t deal with people, then why still start a communication?” Aish. The problem is not that we can’t deal with people, but your response is not what we need. And when we explode and furious, we just want to be understood, not to be feared and isolated.
Here’s a little imagery: Have you ever feel so sad, but people think you were only joking. Aren’t you mad? Maybe, before get mad, you gonna try to explain some points first to clear things up. But what if they still think you’re joking and don’t take you case seriously? You gonna be mad right? But your anger, is it to make them fear you, hate you, and retreat?
No, right?
You just want people to understand, you just want to make sure people really in the same track as you. But it becomes a little messy since the communication process isn't going smooth.
 Then, despite her depression, being Taeyeon at this time is also not easy. This time Taeyeon noona is doing her career as a solo artist and she’s an introvert, plus being far from her family and loved one (TaeNy forever <3). Once again, for that condition, I feel her.
When I find myself fragile and then I only could contact my parents through phone, reach brothers from our group chat, and even it’s difficult to reach my besties (which live in different cities rn with all their working loads), I begin to push myself “discovering” new people around me. Luckily, I get what I need, supportive workmates and supportive friends from my congregation, those who could understand my fragility.
For Taeyeon noona’s case, Idk what she experiences, but at least we know she didn’t get the support from the netizens. I only hope she could get supportive people among her work peers. #StayStrongTaeyeon! #WeLoveYouTaeyeon! Xoxo for you Taeyeon noona~ :***
 What’s on my mind rn, I guess, those who can’t empathize with Taeyeon are those who never depressed before or those who never be the center of attention or have an opposite personality to Taeyeon.
A little advice from me, if you find occasions someone told you her/his feelings, pause, take a breath, and think.
Pause. Let your friend knows that you try to understand her/him and know that you’re not someone who has prepared tons of advice-bullets to be shot at any moment. Pause is also an open space for your friend if he/she still has few things to say, it gonna help you to understand them better.
Take a breath. You also need to calm yourself down and get a grip. Your friend is in confusion, maybe panic, and etc. So you need to be more settle than him/ her. Don’t need to be a superperson, just need to be more settled.
Think. Try to take a moment to think who your friend is and try to think several “what ifs” before doing something.
 Not a 100% guarantee for successful communication (since it could be your friend isn’t mature yet or doesn’t know what her/himself need so might not understand your goodwill), but at least this might help you to not do the wrong.
I guess that’s all that I wish to write. Thanks for reading. Even if no one’s reading, at least I relieved already for posting this.
2 notes · View notes
tinadeviana · 6 years
Text
Singkat cerita -Ratih.
“Lo aja yang duduk di pojok, gue gampang.”
****
15.00 PM
[Di dalam Angkot dari Pasar Semin ]
“Masih jauh ya pak?”
“Ndak, sebentar lagi mbak.”
*****
15.32 PM
[Terminal Gunung Kidul ]
Persiapan keberangkatan bus Gunung Kidul – Jakarta, sore itu bersama ransel kesayangan dan dua kantong kresek pemberian Ibu Yanti di terminal. Ketika memutuskan untuk menitipkan susu ultra dan roti coklat di warungnya, Ratih bergegas ke toilet sebelum bus pilihannya menunggu. Sekeliling orang-orang sibuk lalu lalang terseok membawa barang bawaan yang cukup berat mencari-cari nomor bus tujuan. Apalagi seorang perempuan berlawanan arah denganku menatap sambil menggendong bayi dan tas besar yang sesak. Bapak-bapak merokok dihirup asapnya oleh si bayi yang menangis karena sore itu yang cukup padat. Mas-mas mengepel lantai terminal, diinjak orang lalu lalang, dibersihkannya lagi mungkin sampai larut malam. Buru-buru ku segerakan, toilet dengan air keran yang tidak bisa dihentikan. Pintu toilet yang macet untuk dikunci, segeralah ku keluar dengan perasaan yang cukup lega. Namun, kutengok arah jam tangan sepertinya bus keberangkatanku masih lama untuk berangkat.
“Nih bawa buat makan di jalan pulang ya, nduk.”
“Duh, matur nuwun, ibu. Ndak usah repot, lagian ku cuma sebentar saja singgah di warung ini ndak beli apa-apa.”
“Ndak apa, ingat bu Yanti nanti kalau kembali ke terminal ya nduk.”
“Matur nuwun, ibu. Makasih banyak. Sampai ketemu, ibu. Mari.”
 *****
16.05 PM.
Aji mumpung seorang diri di terminal, dapet keripik kentang sama dua kantong bakpia hangat. Ratih senyum-senyum dengan ransel kesayangannya bergegas mencari-cari nomor bus pemberhentian arah Jakarta.
Ternyata di pojok paling kanan. Desal-desul suara sekumpulan bapak terbahak-bahak di kelilingi warung-warung yang banyak. Lantai merah yang sebentar dibersihkan oleh mas-mas berseragam biru polos. Kakinya melangkah sambil menoleh kanan kiri menuju nomor bus tujuan. Dua tangga bus ditolehkan “Masih kosong.” Melihat kondisi bus yang baru saja sampai di terminal. Kondektur dan Pak supir langsung memesan kopi hitam dibalik kaca bus tujuan. Ratih memasuki bus tersebut dari pintu depan menuju dua tempat duduk belakang sebelah kanan, sesuai dengan nomor dalam tiketnya. 
“Yah ternyata dipinggir.” 
“Gak bisa nyender”.
Ratih tinggalkan dua kresek dari bu Yanti untuk menandakan bahwa dirinya sudah menemukan tempat duduk untuk perjalanan pulangnya. Satu, dua, setelahnya orang-orang mulai memadati bus dan wajah lega yang ditemukan karena panas menunggu di luar.
Ratih keluar meninggalkan bus, berpikir untuk memberi es dawet karena bapak kondektur berteriak “masih satu jam lagi kita berangkat ya bapak, ibu.” Sendal jepit merah muda kusam bersama si ransel dan tas mukena di bahu untuk sholat ashar, duduk dengan asap rokok yang memenuhi pernapasannya, Ratih tetap menikmati es dawet dinginnya sambil melongok bus dihadapan mulai terisi penuh. Di lepasnya headset di telinga Ratih, bergegas ia langsung ke masjid sebrang serong kanan dari bus tujuannya. Gumam, 
“Air wudhu yang segar ini menjadi penenang hati, ketika sore yang lama sekali untuk berangkat.” 
“Puji syukur, Ratih damai dengan pikiran-pikiran-nya sebelum kembali ke Jakarta.”
17.02 PM
“Mbakkkkk, ayo 10 menit lagi dah mau berangkat.” Pak kondektur keliling sekitar meneriaki yang dipikir penumpang bus tujuan.
Ratih tergesa-gesa dengan sandal merah muda kusam, melewati pintu belakang bus dan gumam, “Semoga duduk sama ibu-ibu, atau mbak-mbak.” “Oke gue udah duduk sekarang.”
17.04 PM
[ Di dalam Bus ]
“Bus berangkat ya bapak ibu….” Teriakan dari arah depan.
“Ini bus, suka-suka bapak kondektur dan bapak supir ya.”
Laki-laki ransel biru, jaket parka terlihat seperti pulang naik gunung menganggu dua kresek hitamku. Sok tahunya si Ratih dan gumamnya ibu-ibu atau mbak-mbak ternyata keliru. Laki-laki lebih muda dariku atau seumuran sepertinya dari Jakarta juga. Sepatu hitam mirip converse, jeans hitam, rambut yang rapih tapi juga berantakan. Headset hitam senyum-senyum dibalik layar handphone­-nya. Laki-laki kulit sawo matang, tinggi sekitar 170-an, look yang lumayan okay dilihat, kelihatannya bukan mas-mas aneh, atau mas-mas iseng, atau mas-mas alay yang doyan selfie. Tapi, laki-laki yang sepertinya pendiam, sopan (?), gerik yang suka berpergian, tahu dari mana, entahlah laki-laki yang gak bikin paranoid di awal perjalanan pulang.
Gak ada buku di ransel Ratih, cuma suara “rara sekar-growing up” di telinganya di dengar berkali-kali. Dilihatnya kanan jendela bersama teman sebelahnya yang dipikir ibu-ibu atau mbak-mbak, alias laki-laki jaket parka hitam yang suka senyum-senyum sendiri diponselnya. 
“Jangan kena bahu gue” 
*****
Lamunan menunggu kabar seseorang dari Jakarta, saat itu. 
Kabar seseorang yang berarti untuknya, untuk waktu yang cukup lama. 
Kumandang maghrib, isya berlalu di perjalanan pulang, dengan pantat yang cukup panas yang akan terus panas karena duduk dengan gaya satu arah gumamnya 
“Alhamdulillah udah dapet kabar.” 
“Udah lama gak bercanda.” 
“Tapi, gapapa.” 
Sembari si bus banyak melewati lampu merah yang sepertinya masih di tengah kota Jogja.
Perjalanan semakin gelap dan sepertinya sudah asing buatku mengenal arah bus ini untuk pulang ke rumah. Cuma ada rumah warga, penerangan yang buram, dan laki-laki jaket parka (L) mengajakku ngobrol pertama kalinya,
20.45 PM.
L : “Lo mau duduk di pojok?”,
R : “Eh enggak.”
L : “Lo aja yang duduk di pojok, gue gampang.”
R : *asli sok asik*
L : “Eh iya boleh. Hehe. Thank you ya.”
*Pindah tempat duduk*
R : *Akhirnya-akhirnya, Ratih yang tida tahu diri.”
L : “Mau pulang ke Jakarta atau mau liburan ke Jakarta?”
R :“Mau pulang ke Jakarta, hehe.” Lo juga?”
L : “Iya, gue turun di Bekasi, tapi.”
R : “Oalah”
L : “Asli Jogja atau liburan aja?”
R : “Rumah nenek di Jogja, hehe.”
L : “Kenapa naik bus?”
R : “Pesen baru kemarin, tiket kereta abis, tiket pesawat harganya kaya mau ke raja ampat. Bus pilihan pasar semin emang gak pernah boong, poolnya deket sama rumah gue, tapi ini pertama kalinya. Hahaha.”
L : “Hahahahaha, kasian amat. Kenapa pulang?”
R : “Ada urusan kampus mendadak. Hehe. Lo nanya mulu, rumah di Jogja juga?”
L : “Iya, Rumah nenek, sampe SMA gue tinggal di Jogja, baru kuliah ini aja gue ikut bokap nyokap di Bekasi.”
R : Oalah gitu. Eh tapi lo gak medok dan gak keliatan lama tinggal disini, hahaha.”
L : “Hahaha iya gue bolak balik bekasi-jogja, gak keliatan bisa ngomong bahasa jawa lancar juga. Haha.
R : “Oalah gitu. Gue keturunan jawa doang, Disuruh ngomong jawa juga bingung. Cuma di medok-medokin aja. Haha.”
L : “Gapapa, haha.” Eh, nanti lo turun gak pas bus-nya istirahat?”
R : “Tergantung, pengen ke toilet atau enggak.”
L : “Yaudah bareng aja. Udah lebih dari 10 kali gue naik ini bus bakal rame banget nanti pas istirahat, apalagi libur lebaran gini.”
R : “Eh iya boleh deh. Gue mau makan juga kali ya.”
L : “Oke bareng aja.”
R : “Sip.”
*****
Sesekali Ratih cek google maps kemana ini arah bus di perjalanan, sambil mengecek pesan di WhatsApp, Cuma ada balasan dari ibunya dan tertanda “checklist satu” untuk seseorang yang sangat berarti untuknya. Tertanda bahwa pesan belum deliv. Belum sampai di ponselnya. Entah ponselnya yang tidak aktif secara tidak sengaja atau memang tidak begitu penting memikirkan ponsel yang aktif atau tidak. Lagi-lagi “Udah lama gak bercanda.”
Pesan gumam Ratih, 
“Udah lama gak bercanda” di dalam hatinya hanya menandakan bahwa sesekali ingin dirinya membagi sesuatu yang terjadi pada saat itu. 
Bahkan desakannya harus pulang buru-buru ke Jakarta di waktu liburan. Bahkan,
Riwehnya memesan tiket, 
Tidak bisa ikut berlibur dengan keluarga, 
TIdak nyamannya dua hari sampai di Jogja dan harus kembali lagi ke Jakarta, 
Patuhnya harus menunggu bus dua jam lamanya di terminal , 
Tidak sampai hati harus merepotkan ayah-ibu-nya untuk mengantar ke terminal memilih naik angkot dari pasar dekat desa.
Tanpa suara dari dirinya di setiap situasi dan kondisi,
Terkadang ingin ia bagikan untuk seseorang yang berarti baginya, tetap begitu hening. 
Bahkan, bertemu dengan laki-laki parka hitam teman perjalanan pulangnya, 
Tidak membuat Ratih excited untuk membagikan kepada seseorang yang berarti untuknya.
Laki-laki yang membuat suasana menjadi terasa ingin di dengar, 
Bertukar cerita ringan, 
Mengalihkan semua keegoisan dengan setiap keadaan. 
Rasa syukur Ratih ketika teman bercakap malam itu sampai pukul 02.20 AM.
Ratih terlelap setelah makan di Rest Area pemberhentian bus bersama laki-laki parka di sebelahnya.
Ratih terbawa dengan kebaikan menemaninya turun dari bus untuk berisitirahat, 
Mengantar dan menunggu di depan toilet rest area yang sesak, 
Makan soto mie, 
Minum teh hangat,
Menjadi teman bersua,
sela-sela tertawa sepanjang jalan,
Kami kembali...
Dan bus melanjutkan perjalanan…….
*****
05.30 AM.
L : “Eh bentar lagi Bekasi nih.”
R : *Sengaja dibangunin* 
      *Belum sadar* 
      *Masih merem*
L : “Bisik pelan* 
.
.
“Hati-hati, biasanya nanti ganti bus kalo udah di Bekasi. “
“Dan banyak bapak-bapak bau. Haha.”
R : “Eh seriusan?” Ribet banget.” 
      *masih merem*
       *Bus berhenti*
L : “Eh gue pamit ya.
.
.
.
.
     ” Sampe ketemu ya.”
.
.
.
.
R : *langsung bangun* 
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Nama lo siapa?
*****
07.30 AM
[Jakarta Selatan]
Growing up
What are we supposed to see, to feel, to meet
Growing up
What are we supposed to miss, to keep, to leave
When it hurts
It hurts me
When it hurts
Still hurts everytime
One leaves, one ceases
Growing up
How are we supposed to give, to take, collate
Growing up
How are we supposed to love, to breath, to be
When it hurts
It hurts me
When it hurts
Still hurts everytime
We fall and we crawl
Can anybody tell me
Can anybody tell me
Can anybody help me
How to / what to do…
Denizens of the deep
Drifters of the current
Where do we go
Where do we seek?
If not,
Within
Within me
Within you,
 Song by : Rara Sekar.
 ******
We know only little-not-to-seriously-
1 note · View note
arumpuspa29 · 2 years
Text
Random thoughts #3
Catatan emotional-dumping (ga penting-penting amat, silakan skip aja)
Mau selama apapun nahan nangis, ternyata tetep gabisa terus-terusan ditahan. Pada akhirnya bakalan nangis juga.
Yaa Allah, mohon ampun. Udah ngerasa berusaha dikuat-kuatin kok selama ini, tapi memang hamba-Mu ini lemah sekali.
Ga berniat ngeluh, tapi nangis dan ngeluh tuh beneran membantu banget buat jaga kewarasan.
Emang random tiba-tiba, tapi beneran jadi pengen banget baca bukunya Teh Urfa yang judulnya "Jika Bersedih Dilarang, Untuk Apa Tuhan Menciptakan Air Mata?" btw. Barangkali ada jawaban yang kucari disana, dan bisa jadi teman kontemplasi tanpa harus ada orang yang ngejudge atau menilai diri sekenanya.
Like seriously, whyyy, orang lain kan gapaham seberapa besar usaha kita, gapaham seberapa sakit kita pas jatuh, gapaham seberapa kecewa pas kita lagi gagal, tapi masiih aja menilai kita kurang usaha, kurang bersyukur, kurang ini itu endeblah.
Yang paling tahu gimana rasa sakit, sedih, dan kecewanya seseorang ketika berada di titik rendah dalam hidup tuh ya orang yang ngalamin itu sendiri. Meskipun ya ada yang sama pengalamannya, perasaannya pasti beda, karena tiap orang punya resiliensi masing-masing.
Tolong, jangan karena merasa 'sok' paham gimana perasaan orang lain, trus langsung ngerasa jadi si paling bijak dengan kasih nasihat yang sebenarnya ga lagi dibutuhin. Orang yang lagi ngedown tuh sebenernya yang paling dibutuhin tuh ruang buat menata perasaan sendiri yang lagi kacau. Berempati boleh, tapi empati yang sopan dan tahu tempat. Bukan dengan menilai, apalagi menyalahkan. Syukur kalo bisa seenggaknya menenangkan, nepuk pundak kek, bilang kata-kata yang positif kek, bilang 'gapapa' kek, peluk kek, kasih makanan kesukaan, usaha apa gitu deh.
Mau nyemangatin juga boleh, tapi liat-liat juga timing dan sikonnya. Kalo kira-kira orangnya lagi ga butuh atau malah lagi muak sama kalimat motivasi/penyemangat, yaudah jangan. Kadang didengarkan secara penuh dan hadir secara utuh, ditemenin, gitu aja udah sangat membantu banget kok.
Maaf ya, kalo jadi kesannya ngeluh ato marah disini, karena rasanya udah lama nahan-nahan dan emang lagi butuh sarana buat emotion-dumping aja biar lega. Dan disini (tumblr) tuh rumah paling nyaman buat ngutarain uneg-uneg apapun. Orang-orang disini juga baik-baik dan positif semua (seenggaknya yang aku tahu selama ini disini pada baik-baik semua), lain dari insta atau wa yang lebih ramai orang julidnya.
Udah, alhamdulillah, nulis ginian lumayan bikin hati agak lega. Makasii banyak kalo ada yang baca sampe akhir. Kalo engga ada yang baca pun gapapa bangett.
Nulis ginian, semoga bisa jadi reminder buat diri sendiri juga kalo suatu saat ngadepin seseorang yang lagi down, dan ada di posisi sebagai pendengar. Biar lebih tahu gimana cara berempati, gimana sebaiknya bersikap yang baik dalam menanggapi cerita seseorang yang lagi ngedown, biar seenggaknya orang-orang yang sudah mempercayakan ceritanya ke kita merasa dihargai dan didengarkan dengan tulus.
Semoga juga teman-teman disini dimanapun berada selalu Allah lindungi, dengan sebaik-baik perlindungan. Aamiin..
(Sukoharjo, 10 Juni 2022, pukul 16:33. Sore dengan langit kelabu pekat.)
1 note · View note
allsdiary · 3 years
Text
Mr
Daripada mikirin masa lalu yang udah ga ada harapan dan gatau kemana.. mari kita liat kedepan aja.
Gara-gara bapak dan ibu selalu nyebut nama ini, mau gak mau akhirnya aku juga kepo. Siapasih yang bisa memikat hatinya bapak dan ibu buat dijodohin sama aku..
"oh ini"
Kita sebut saja mas Er. Dari hasil penelitian detektif dadakan selama kurang lebih setahun, aku tau mas Er 3 taun lebih tua dari aku, lahir di Jakarta dan lulusan tekim undip hmm mayan pinter. Sekarang kerja dan satu kantor sama bapak. Bapak dan mas Er ini sering main tenis meja bareng kalo ada waktu luang di kantor. Hobi mas Er adalah sepedahan. He's taking it seriously, ikut komunitas, pake helm sepeda, outfit sepedahan, sepatu sepedahan sampe ngukur ukuran sepeda. Aku baru tau sepeda juga ada sizenya wk
Mas Er ini punya cat dimples, matanya sipit dan tinggi banget..
At some point ternyata mas Er sangat sopan dan santun juga friendly. Mungkin ini yang bikin bapak naksir buat dijadiin menantunya wkwk karna emang bapak orangnya gampang2 susah. Jadi kalo sampe bisa memikat hatinya bapak berati spesial banget ni orang..
Dari setahun yang lalu sampai saat ini kita masih sebatas tau aja. Karna memang aku ngerasanya "kok kayanya buka dia yang aku tunggu"..
Lagian, aku ga pengen terlalu menggebu-gebu takut ujungnya ada salah satu yang tersakiti..
Semoga ada waktu? Atau mending gausah sama sekali ya (?)
0 notes
rubahlicik · 7 years
Text
The Election
Pertengahan semester ini adalah masa-masa panas untuk jagad politik himpunan. Gimana enggak, pendaftaran ketua himpunan dan ketua rohis jurusan sudah dibuka. Dua jabatan bergengsi ini sering diperebutkan dengan sengit dari tahun ke tahun. Tahun ini giliran angkatan aink, angkatan yang paling minim persatuan dan kesatuannya. Perebutan jabatan tahun ini jelas bakalan sengit.
               Pagi ini aink sarapan di kantin salman, bareng Wibi sama Randi. Aink lagi males bikin sarapan di rumah. Sarapan pagi di kantin depan mesjid salman selain murah, banyak, bergizi dan kayaknya barokah. Depan mesjid gitu loh. Menu makan kita bertiga kompakan makan nasi goreng. Di tengah khusuknya sarapan, Wibi ngajuin pertanyaan yang bakal jadi topik obrolan Seseleket Army selama beberapa minggu ke depan.
“Nyet, mau nyalon ga?”, Wibi tanpa basa basi langsung nodong pertanyaan.
“Ogah ah, tuh ajak aja si Randi. Aink biasanya juga ke tukang cukur pinggir jalan”, rambut aink emang uda agak panjang. Tapi dompet aink ga sebegitu tebelnya buat potong rambut di salon.
“Boleh Wib, gua emang ada rencana mau ke salon. Bareng yuk?”
“Nyalon kahim, nyet! Bukan ke salon cukur rambut”
“Ooooh” koor aink ama Randi. Aink pribadi ga terlalu minat di organisasi. Ini juga aink masuk di divisi keuangan himpunan cuma iseng doang. Siapa tau dapet ide bisnis yang oke. Lulus kuliah aink pengen jualan aja. #Bobisalahjurusan
“Si Ranjit katanya mau daftar kahim”. Wibi masih ngotot ngobrolin topik soal pencalonan. Nasi gorang yang tadi dia pesan tampak ga habis-habis, lebih sering terlihat mikir dari pada nyuapin nasi.
“Mane mau nyalon, gobs?”
“Aing bingung, antara pengen jadi kahim atau aktif di keluarga mahasiswa pusat,..”
“Lah, lu aktif di keluarga mahasiswa pusat?”
“Belom, baru kemarenan daftar”
“Ga telat Wib daftar gituan? Biasanya anak tingkat dua yang hari gini sibuk daftar”
“Aing daftar bareng Silvi kemaren, nemenin”
“Oooh” modus ternyata.
Wibi tampaknya masi gencar ngusahain Silvi. Ya mendinglah, dari pada ga bisa move on dari lola, mending cari yang lain. Asal ga dimainin aja. Fisik dan perasaannya.
Nasi goreng aink uda ludes ketika Icak baru nyampe ke kantin.
“Kalian tadi kenapa ga masuk Kelas Kuantum?”
“Biasa Cak, telat dateng” Wibi jawab seadanya. Dosen Fisika Kuantum emang strict. Jam masuk kuliahnya adalah jam ketika doi nyampe ke kelas. Kalo doi dateng jam tujuh kurang lima menit dan pintu uda ditutup berarti mahasiswa yang datang jam tujuh kurang semenit otomatis dianggap telat dan ga boleh masuk.
Mantap jiwa.
Dari pada bete nunggu di depan kelas, aink bareng dua mahasiswa telat lainnya mutusin buat sarapan di kantin Salman.
“Gaes, urang mau daftar jadi ketua rohis jurusan,.”
Sontak Randi tepok jidat. Tadi Wibi yang ngobrolin soal jadi Kahim, sekarang si Icak ngedadak mau jadi ketua Rohis jurusan. Seriously?
“Cak, maneh baru sekali ikut pengajian uda pengen jadi ketua Rohis, jangan-jangan ntar kalo uda sebulan ikut pengajian manehmau bikin agama baru?”
Randi sama Wibi sontak ngakak. Aneh banget emang anak satu ini. Uda mah ga punya background berorganisasi, ikut pengajian baru sekali, trus sekarang tiba-tiba mau jadi ketua Rohis.
NGIMPI!
“Siti aktif di Rohis, kali aja kalo urang jadi ketua Rohis dia bakal bisa lebih notice,..” Icak menjawab dengan tampang serius.
Suara cekikikan tadi uda ga ada, tinggal sisa hening. Aink emang ga ada minat sama politik atau organisasi, tapi kalo emang bisa bantu Icak deketin Siti,..
“Ayoklah, daftarnya kemana emang?” aink siap-siap beranjak, nemenin arjuna satu ini yang sedang mengejar cinta.
“Ke musholla aja katanya, disana ada anak Rohis yang standby”
“Ok, yuk gaes”.
Jam kuliah berikutnya pukul sembilan. Sekarang masih jam delapan lewat empat puluh lima. Masih sempat mampir ke musholla.
***
“Lo tumben mau daftar ginian?”
“Ah, manfaatin waktu luang aja, hehehe”
“Manfaatin waktu luang apa manfaatin kesempatan?”
“Tau aja lu. Lumayanlah buat jadi media pendekatan sama akhwat-akhwat di jurusan. Lagian lumayan taun ini akhwat yang masuk lumayan banyak, beberapa lumayan bening.”
“Sikat lah, To!”
“Yoi, Bungkuuus!”
Tadi ketika masih baca pengumuman di mading, Seseleket army ga sengaja dengerin obrolan Tito sama Robi. Keduanya teman seangkatan. Tito yang berpenampilan ala anak Rohis dan Robi yang aktif di DKM kampus pusat.
“Anak rohis obrolannya kayak gitu ya?” Randi cuma geleng-geleng kepala.
“Si Tito emang agak-agak playboy kali,. Tampilannya doang yang kayak anak mesjid” Wibi menimpali. Sesama playboy mungkin bisa saling mengidentifikasi.
“Jadi daftar, Cak?” aink memastikan. Tito setau aink emang uda aktif di rohis jurusan dari tahun kedua. Aink juga pernah solat diimamin dia ketika solat magrib. Bacaannya bagus jauhlah ama Icak yang baru sekali ikut pengajian.
“Jadi,.. jadi kok” Icak agak-agak ga yakin. Lawannya berat. Wajarlah.
Di dalam musholla ada seorang anak rohis. Anak seangkatan sama Amanda, baru dilantik beberapa bulan lalu.
“Ada yang bisa dibantu kak?” si anak rohis bertanya dengan sopan.
“Ini, Icak katanya mau daftar jadi ketua Rohis”, Wibi yang jawab, sementara Icak dan Randi masih sibuk liat-liat interior mushalla. Keliatan banget mereka ga pernah shalat disini.
“Oh gitu, Alhamdulillah,.. Taun ini lumayan banyak pesertanya.”
“Berapa banyak emang?”, aink penasaran.
“Sama kak Wicak uda empat kang... tadi kang Tito daftar, trus beberapa hari yang lalu ada pendaftar atas nama Fajar wahyudin sama Bobby Risfandi.”
Mendengar nama terakhir yang disebut si anak rohis, otomatis kita berempat cengo. Bobby,.. Bobby Risfandi,... aink hafal banget nama itu. ITU NAMA AINK!
“Nyet, maneh daftar jadi ketua Rohis?” Wibi penasaran. Icak menatap aink dengan tatapan merasa dikhianati, mungkin aink dianggap curi start dan pura-pura ga peduli.
“Engga anjir,. Sumpah aink ga daftar ginian,...eh, aink bisa lihat formulirnya?”si anak rohis yang juga tampak kebingungan mulai buka-buka berkas. Ga lama, dia mengeluarkan selembar kertas formulir pendaftaran  dengan nama Bobby risfandi tercantum di bagian atas.
“Ga mungkin,...” Wibi terlihat kaget dengan kerta formulir yang sekarang aink pegang
“Iya, ga mungkin,...” Randi sama kagetnya,
“Kok bisa,.... ” Icak semakin mangap tak percaya.
Aink adalah orang yang paling kaget. Selain karena ga inget pernah daftar, aink kaget tulisan di kertas formulir ini rapi banget. Kayak dicetak sama printer. Tulisan aink ga mungkin sebagus ini.
“Eh, tapi personal infonya bener semua” Wibi ngecek satu persatu kolomnya. Nama, alamat, nomor induk semuanya bener.
“Tapi coba cek kolom isian motivasinya” Randi menunjuk ke kolom isian paling bawah.
Disana tertulis
Saya ingin menjadikan jurusan ini sebagai jurusan yang paling beriman, taat dan berguna bagi peradaban Islam. Dengan mencalonkan diri sebagai ketua rohis, saya berharap agar saya bisa menjadi lebih termotivasi agar bisa jadi ulama besar nantinya.
Tungkai kaki aink ngedadak lemas. Aink ga bisa berkata-kata lagi.
ULAMA BESAR PALE LU KOTAK!
“Mane ga berkepribadian ganda kan, Bob??” Wibi mulai merhatiin aink dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Tau jangan-jangan di lubuk hati yang terdalam mane emang seorang rohis? Icak semakin ngaco.
“Atau ada orang yang malsuin formulir ini dengan make nama, elu Bob,..”
Bener juga, so far, Statement Randi yang paling masuk akal. Tapi siapa yang iseng banget daftarin aink ke pemilu rohis? Siapa yang tau basic info aink? Yang dengan ga warasnya malsuin formulir pendaftaran rohis.
Siapa pula yang tulisannya bagus kayak gini?
.
.
.
“Hana!”, kompak, berempat nyebut satu nama.
Luck nut
Siapa lagi kalo bukan dia.
Selesai jumatan aink ga langsung cabut. Tadi di lorong deket Tata Usaha papasan sama Pak Syamsul. Dosen Fisika Statistik, sekaligus pembimbing Rohis jurusan. Aink dikasi beberapa wejangan singkat. Ada lima belas menit aink manggut-manggut. Seseleket yang lain kecuali Icak ngakak dari jarak yang aman.
Aink sempet protes ke panitia, minta keikutsertaan aink dibatalkan. Tapi katanya ga bisa, berkas uda masuk dan dilaporkan ke Pak Syamsul, makanya pas tadi ketemu di jalan dia langsung ngasi wejangan gratisan. Disangkanya seorang Bobby Risfandi punya jiwa anak rohis.
“Kayaknya pak Syamsul berharap lu yang menang deh, Bob” celetuk Randi. Dari dua peserta yang formulirnya uda disetor mungkin aink terlihat lebih mencolok. Kontestan yang satu lagi ga terlalu aktif di kampus, entah apa motivasinya buat ikut pemilihan ketua Rohis.
Tapi yang jelas, aink ga ada motif apa pun.
“Maneh aja, Cak yang jadi ketua. Jangan aink”
“Iya Bob, urang aja. Biar bisa pedekate ama Siti.”
“Siapa pun juga boleh asal jangan si Titit.” Wibi memplesetkan nama Tito dengan sebuah anggota badan yang krusial. Seketika, pengucapan nama Tito jadi terasa sakral.
“Eh, ada calon Ulama besar nih”. Dari ujung lorong, Hana datang menghampiri. Segera setelah lehernya ada di jarak sentuh, langsung aink cekik tanpa ba bi bu.
Sontak seseleket yang lain panik. Disangkanya aink mau bunuh orang di kampus. Padahal aink cuma mau bikin Hana pingsan, trus bunuhnya di luar kampus.
Setelah menjauhkan aink dari Hana, Randi nyodorin air minum untuk Hana. Sambil masih terbatuk-batuk, Hana mencoba bernafas dengan tenang dan meneguk air dari Randi.
“You are crazy, Bob. I almost die.”
“Kok maneh daftarin aink sih?” aink ga terima.
“Ngobrol berdua yuk di Lab atas, ada yang pengen aku obrolin. Yang lain tunggu di luar aja ya.”
***
Hari menjelang sore ketika aink beres ngobrol sama Hana. Seseleket yang lain katanya nunggu di bunker depan himpunan. We talked a lot.
Tentang pemilu, tentang motif Hana, juga tentang Elaine yang uda seminggu ini ga bisa aink kontak. Rencananya sabtu pagi besok mau aink datengin ke Kosannya.
Kejadian minggu kemarin pure accident. Ga ada apa-apa antara aink sama Hana. Sampai uda berbusa-busa aink jelasin, Elaine ga bergeming. Di sisi lain, Hana juga uda nyoba ngontak Elaine.
Hasilnya sama aja.
I’m depressed..
Aink ga bisa juga nyerita ke Seseleket yang lain karena bahkan mereka ga tahu aink punya pacar. Ditambah sekarang aink resmi ikut Pemilihan ketua Rohis. Aink yang sekarang sedang menjalin asmara dengan mahasiswi non-muslim dari jurusan sebrang. Jalinan yang sekarang lagi susah payah aink pertahankan.
“Bob!”
Suara tadi membuat lamunan aink buyar. Seseorang manggil aink ketika aink baru aja beberapa keluar dari lab elektronika. Aink menoleh dan menemukan seorang mahasiswa berbusana muslim yang sedang tersenyum ala-ala model pepsodent ke arah aink.
“Bob, i’ve come to bargain,..”
Tito.
Previously on 1201: Ch.13 Aku Bisa Jelasin
34 notes · View notes
perlasafeplace · 3 years
Text
Papa Ebi
Ini adalah curhatan gue tentang mantan gebetan duda satu anak namanya Ebi (nama samaran) , yaaa.. jadi dia kita sebut saja dia Papa Ebi. Cuss...
Kurang lebih tahun lalu gue ketemu dia dari online dating yang kuning (tau dong ya). First impression gue ini orang adalah alpha male yang pemikirannya maju dan sefrekuensi sama gue. Dan bener aja, ga lama dari match, kita chat bentaran, terus dia izin mau telp gue buat ngobrol. I mean so dewasa kan.. dan gue seneng ama cowo modelan begitu. Di telepon juga dia sangat sopan dan kita saling tuker cerita. Jadi dia itu baru setahun balik dari USA, ga lama setelah dia cerai. His ex-wife dan anaknya si Ebi stay di Belanda. Gue sendiri ga ada masalah dengan statusnya dan kita sama-sama not looking for serious relationship so I agree untuk lanjut. Beberapa hari kemudian, kita ketemu. Tidak ada yang begitu berkesan buat gue, unless his size, lol. Not my type, but again.. ga berharap apa-apa dari hubungan kaya gini. Dari sisi finansial, itu orang bisa dibilang struggle juga, ditolong sama tabungan aja. Dia currently resign dari perusahaan yang hampir colapse. Again I don’t judge this part, semua orang juga suffer di pandemi ini. I guess karena dia currently unemployed jadi punya waktu buat keep contact me. Sebenernya part ini ga masalah sih until apa yang akan terjadi setelah ini.
Beberapa hari kemudian dia ngajak ibadah minggu bareng, jujurly gue iyain karena bosen di kostan aja, bukan yang eager buat ketemu atau ibadah. Satu hal yang gue aware, ini orang kok mulai playing couple ya sama gue, hmmmm.. misalnya “iya aku tadi pamit ke mamaku mau jemput kamu” like... dude? gue ga perlu tahu dan ga mau tahu nyokap lo, iya gasihh? Barulah gue juga ngeh beberapa hari sebelum ini dia mau nganter gue pulang abis kerja di salah satu mall di Jaksel, literally nganter doang. Ada lagi yang aneh, kelar ibadah dan makan siang, dia ngajak ke acara keluarga dia di Cibubur. Seriously? Gue nolak dengan alesan mau kerja abis ini.
Malem abis kerja di Metropolitan, dia nelp gue nawarin nganter pulang, gue udah rencana mau obrolin maksud dia dengan segala agenda terselubungnya. Karena ingatan gue kuat, kira-kira percakapan intinya seperti ini:
M (Me) : Sebenernya kamu cari apa sih? Cos the last time I remembered you are not into serious thing
P (Papa Ebi): Ya aku blm mau nikah dalam waktu dekat
M: Ohh I see, so you are looking for relationship, 
P: Karena memang manusia harus ke arah itu, apalagi buat orang Batak. Kamu itu boru Batak, harusnya kamu bisa hargain diri kamu, kamu bisa aja sekarang deket sama siapa saja, but one day, you have to make up your mind. Kamu harus pikirin orang tua kamu, mereka mau yang terbaik buat kamu, sama kaya aku mau yang terbaik buat anak aku.
Hening tuh sebentar, gue masih mencerna kata-katanya. Jujur bingung mau bereaksi kaya gimana waktu itu. Intinya ini orang BAHAYA. Tuinggggg... saved by the “sampe kost”. Gue cuman respon:
M: udah selesai? aku naik ya
Pintu mobil nya gue banting kenceng, blassss.. and i never see him eversince. 
Sampe di kost, gue mulai ritual gue mandi dan siap-siap tidur. Lucky me, gue di telpon sama temen-temen, concall gitu, tumpahlah semua emosi gue. Baru tuh dapet kesimpulannya “dia patronizing” my life, since then we call that stupid man si “patronizing” .  Beberapa minggu dan beberapa bulan setelahnya itu orang masih reaching out sih, dasar gatau malu.
Pelajaran sih buat gue. Seseorang udah tinggal di negara maju, ga menjamin pola pikirnya maju. Dan dari situ gue agak ngurangin sama orang yang lebih tua dari gue. Abis dia gue ngedatenya sama yang seumuran or 1 2 tahun lebih tua. Apakah berhasil? tentu tidak. Hahahaha... Kapan-kapan gue pasti cerita. 
Udah dulu ya. bye...
0 notes
elizavitri · 4 years
Photo
Tumblr media
FROM ALI TOPAN ANAK JALANAN by TEGUH ESHA
“Percuma belajar sopan santun kalau yang mengajari juga tidak mau memakai sopan santun itu,” kata Ali Topan.
*
Bel sekolah berdentang. Jam pertama hari itu adalah jam yang paling tidak disukai oleh murid-murid, yaitu “pembinaan budi pekerti” oleh Ibu Dewi. Ali Topan memberi sebutan “pendidikan overacting” untuk jam pelajarannya
*
Mereka melihat Anna dan Ika sebagai anak kecil melihat boneka-boneka. Anak-anak tak punya hak cukup untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Hukum wajib dan larangan, semata-mata datang dari pihak orangtua. Kebebasan berpendapat, kebebasan menentukan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Anna dan Ika, cuma ada di dalam hati. Tak pernah diberi kesempatan.
*
Kehadiran Ali Topan dalam hidupnya membawa kesejukan di dalam hati. Tapi orangtuanya menganggap justru sebagai badai yang memporak-porandakan segalanya. Tanpa alasan yang masuk akal. Hingga Anna kesal dan mulai nekat. Diam-diam ia sudah ambil keputusan untuk memberontak, merebut haknya, seperti Ika.
*
“Lantas apa maumu? Apa yang kau cari, Ali Topan?” kata Bobby. Dia ini paling doyan omong gaya tinggi, gaya teknokrat sama Ali Topan.

“Aku tak mau apa-apa dalam hidup yang singkat ini. Yang kucita-citakan adalah menjadi suami yang baik bagi istriku dan menjadi ayah yang baik bagi anak-anakku kelak, kalau Tuhan mengizinkan lho,” sahut Ali Topan dengan irama tukang pantun.
***
This is a breakthrough teenage rebel novel from Indonesia, written in everyday language, the way real teenagers back then spoke, not in the formal, good and proper Indonesian language (bahasa Indonesia yang baik dan benar), the only form that is often said to be fitting for literature. Even today, Indonesian novels that use everyday language is often considered less seriously, deemed lower in quality—but I think it increases the novel’s value in realism (I also write the dialogues in my novel in everyday language.) At the time of its publication in 1977, this book must’ve been considered crass, rude, and was probably looked down upon by the literary elite, but it still managed be a cult hit and a movie, directed by the author himself. The use of everyday language can also be seen as a refusal to conform to state-sanctioned euphemism, propaganda, and forced politeness of language to cover up and avoid talking about corruption, government atrocities, race and interfaith relations, and anything real in life.
The story centers on Ali Topan and his friends—he is a somewhat idealized portrait of the male teenage rebel: handsome, very smart, defiant, with a troubled home life and a tender heart. Yet he is hardly a street kid (anak jalanan), he comes a from a blue-blooded dysfunctional family with housekeepers and drivers, but he distances himself from his them and prefers to hang out on the streets with his friends and speed all over town on his motorbike. His father spends all his free time with sex workers and his mother retaliates by dating young men his son’s age.
Ali Topan refuses to be blindly obedient and dutiful (berbakti) to his parents and teachers, as is expected of a son and a student. He shows other teenagers that to be defiant (durhaka) is the more moral choice when your parents and teachers abuse their authority and have done nothing to earn your respect. 
The novel is set in real locations, presenting a complex portrait of 1970s Jakarta, especially Melawai-Bulungan-Pasar Minggu-Kebayoran areas, sprinkled with glimpses into the country’s economic and political scape at the time: people’s fear of and admiration for the military; the vague yet pervasive feeling of surveillance on the streets and in schools; the creeping liberalism that places money as source of respect and encourages corruption, and that if you have the money you can basically hire the police as your own private security; and so on.
Ali Topan is in love with a girl named Anna Karenina, because she’s beautiful, because he needs someone to love, and because she’s sympathetic to him although he is considered bad by others. The author is not proud (gengsi) enough to make his main character an unconquerable boy immune to all feelings, even including a scene of Ali Topan being vulnerable and writing a romantic love letter to Anna. Through Anna he learns to be less selfish, putting her needs before his own.
Like Ali, Anna is a privileged girl with rich parents and a driver, who secretly lusts after her. Her parents limit her movements very much, because her older sister became pregnant outside of marriage by a Betawi boy, an ethnic group that is often looked down on by the aristocratic Javanese people. In the beginning Anna was docile, but after hanging out with Ali, Anna dares to defy her parents and even stands up for her sister.
Ali and his friends demand honesty, justice, and upright role models, while performing and perpetuating certain unfair attitudes. They constantly objectify girls and women and divide them into marriage material and not: cewek opletan vs cewek Mercy (girls who look like public buses vs. girls who look like Mercedez Bens). Ali doesn’t acknowledge or isn’t aware of the unfairness in calling his mother “jalang” (bitch) and his father “main perempuan” (playboy)—the former term positions women as immoral and the latter as object. When Ali’s older brother got their houseworker pregnant, the family ordered her to have an abortion; Ali then told her to run away and keep her pregnancy because aborting it would be shameful and a sin. Ali seemed convinced that he did the right thing, not realizing that he didn’t even ask the her what she needed or what she really wanted to do, or if her sexual relation with Ali’s brother was consensual or not.
Perhaps, though, the boys’ unfair attitudes can also be attributed to the lack of role models around them—the adults are too busy posturing with no humility, drunk with whatever small power they have and using it to their own benefit, and when they don’t get respected, they abuse that power even more to force respect out of others. (Although, we mainly see the parents and teachers as characters who fail at their roles and responsibilities, not as fully fleshed individuals with complex reasons for their behaviors.)
In the end, this is a story of friendship, love, and family—the nation’s young generation craving for something true and fair in a country that was becoming increasingly corrupt and unjust.
0 notes
riskakhsnh · 4 years
Text
Salam,
Semoga kesehatan dan barokah senantiasa meliputi hamba-hambaNya yang pandai bersyukur dan istiqomah meniti jalan yang diridhoiNya.
Kalau dibandingkan siapa yang lebih dulu, tidak berlebihan sepertinya kalau saya menyebut beberapa teman anda, yang karena event dan organisasi kami cukup dekat, dan dari mereka pula saya barangkali lebih dahulu ‘cukuptau’ beberapa nama mahasiswa universitas kota sebelah termasuk anda, hehe. Tentu saja saya paham itu adalah masa lalu, kalau dalam istilah Dee Lestari, pengetahuan saya hanya sebatas persona atau lapisan informasi paling rapuh, paling dangkal, dan oleh karena itu paling cepat musnah.
Terang saja, setelah beberapa komunikasi tipis yang ada (atau memang sengaja diada-ada kan ehe) dari anda ke saya atau sebaliknya, walau yang terjadi jarang sebaliknya, perlahan saya mulai berani memberikan kesan; anda laki-laki yang sopan.
Saya masih ingat ketika tiba-tiba ada postingan teratas di timeline instagram, ketika itu pula saya memberi ucapan selamat layaknya teman yang bangga dengan pencapaian teman lainnya. Dibalas, lalu ada terima kasih, lalu selesai. Padahal saya baru ketemu langsung sekali dengan orangnya itupun samar, atau ketika tiba-tiba ada pertanyaan ilmu kesehatan yang entah atas dasar apa kok memilih saya sebagai sasaran padahal saya tidak begitu menguasai, tapi juga mendadak jadi semangat membantu. Dalam fase itu, hemat saya, belum dapat saya menghukumi diri saya untuk menilai seseorang lebih dalam sampai media melahirkan komunikasi dan pertemuan.
--
Kemampuan memimpin. Jebolan OSIS atau mengepalai sebuah organisasi, jiwa kepemimpinan mutlak ada, setidaknya menjabat staf saat ini (sepengetahuan saya ya). Tapi pada saatnya kudu ditingkatkan. Bukan untuk berharap atau meminta jabatan, tetapi membuktikan pada masyarakat bahwa kita mampu, bahwa kita bisa menjadi inisiator dan menggerakkan, tidak melulu digerakkan dan sebatas punya usul, tetapi bertanggung jawab dengan usulan tersebut. Memimpin memang berat, namun semua manusia telah sepakat tidak akan ada peningkatan yang tidak diiringi perjuangan dan pengorbanan. Ditunggu mengepalai sebuah nahkoda ya, hehe.
Menulis. Sehebat dan seluarbiasa menginspirasinya seseorang, kalau kurang cakep nulisnya kok bagi saya tetep kurang idaman gitu. Bukan berarti saya menyampaikan kriteria atau lebih-lebih meminta anda masuk kriteria. Hanya menekankan, disamping tengah menyandang generasi yang kental dengan literasi, kekuatan tulisan seseorang yang kokoh, bijaksana, dan tidak cengeng memiliki daya ubah yang besar, seriously. Saya mengatakan ini juga bukan tanpa pertimbangan, saya pernah membaca tulisan esai anda yang cukup menarik. Eman kan kalau kepalang tanggung tidak diasah sekalian.
Barangkali demikian, coretan-coretan tidak jelas saya yang coba saya sempatkan ditengah tugas yang menumpuk. Tenang saja, ini sama sekali tidak merepotkan, bahkan ini cukup menjadi refreshing ditengah penat saya untuk menulis mengalir dan lepas.
Terakhir, selamat atas pencapaian dan mimpi yang masih dapat diusahakan sampai 2020 ini. Tentu sebuah anugerah dari Allah atas kesempatan hidup hingga detik ini, semoga kedepan lebih menghargai hal-hal sederhana, diringankan dalam bersyukur, dan kian bermanfaat untuk masyarakat dan sekitar. Barakallahu fii umriik.
Yogyakarta, 20.41 WIB
0 notes