Tumgik
nikkolassaputra · 6 years
Photo
Tumblr media
Yusron Fuadi, Director of Tengkorak Film - From Zero To Hero Kalau kamu ingin bikin film panjang yang bisa menghentikan kamu cuma kamu sendiri Beberapa pekan lalu saya berkesempatan mendatangi JAFF ke-12 di Jogja. Sebuah perhelatan festival film paling berpengaruh bagi perfilman Indonesia. Hadir saat itu seorang sineas muda yang filmnya juga tayang dalam perhelatan tersebut. Teman saya itu bernama Yusron Fuadi, sutradara dari film berjudul Tengkorak. Filmnya lolos seleksi perhelatan JAFF, bahkan masuk dalam Special Gala Screening. Sebuah program khusus yang dibuat oleh pihak JAFF untuk mengapresiasi film Indonesia yang menjadi sorotan utama tahun ini. Hanya ada 2 film yang masuk dalam Special Gala Screening, Tengkorak dan Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran (Carousel Never Stop Turning) karya Ismael Basbeth. Malam itu saya berkesempatan berbincang dengan Pria yang juga dosen UGM yang kerap dipanggil Mas Yos ini, berikut penggalan obrolan penuh kelakar kami; Saya (S): Mas... Yusron Fuadi (YF): heh koe entuk tiketku ora? (eh kamu dapat tiketku tidak?) S: wah gak dapat e.... Mas, film mas masuk JAFF kali ini bahkan masuk dalam special screening juga, tanggapan mas? YF: apa ya.... bahwa film saya itu bukan tipe film (untuk ditayangkan di) JAFF gitu. Pada saat pendaftaran itu berdoa aja, semoga masuk. Jadi sak studio (seluruh studio) termasuk kru-kru ku yang masih muda-muda itu langsung "yeaaaah" waktu film ku dinyatakan lolos seleksi. "Iki tenan ora iki (ini bener apa gak)" "wah iki hoak iki (ah jangan-jangan Hoax aja)" bahkan aku sampai ngecek, kan dapat surat gitu, iki tenanan ora (ini beneran ga sih), soalnya filmku bukan film tematik atau film dengan tema-tema penting gitu. Lalu aku telpon panitianya "ow ya masuk mas". Ya lumayan lah buat batu loncatan gitu. S: tapi dengar-dengar, koreksi kalau saya salah, filmnya mas ini cukup ditunggu-tunggu sama penikmat film YF: ya kalau ditunggu-tunggunya ya ga tahu. Serius aku ga tahu. Aku ngeceknya dimana aku ga tahu (tertawa). Cuma saat online ticketing itu beberapa jam langsung habis. Terutama yang hari pertama. Beberapa hari kemudian pemutaran hari kedua juga habis. S: lalu tanggapan mas? YF: Surealis. Absurd. Ga percaya (tertawa) S: lho koq (tertawa) YF: karena producerku kan masih kecil-kecil ya masih 22 tahun mereka pada panik, ayo gimana caranya nanti kita cari penonton, yang online itu ada yang beli, eh ujung-ujungnya mereka sendiri ga kebagian. Sedih sekaligus aku senengnya bukan main. I'm happy for them. Karena ini bukan film ku saja, ini filmnya 'umat', filmnya orang banyak. S: filmnya rame-rame... YF: Ya filmnya rame-rame. Collective Happiness nya itu lho yang arrrrghhh (menjerit tertawa) S: apa harapannya kedepannya mas? YF: semoga dengan ini aku jadi punya 'bahan bakar' untuk tayang di XXI. Dah itu aja (tersenyum) S: apakah sejauh ini ada kesulitan untuk tayang disana? YF: belum ada sih. Cuman sejauh ini aku belum cukup pede. Tapi melihat respon kemarin (penjualan tiket online) aku jadi agak pede untuk nawarin ke XXI. Entah endingnya kayak gimana. S: berarti masih ada harapan untuk tayang kesana? YF: ada. Aku pingin nawarin film ini ke XXI dan jaringan bioskop regular (tertawa terbahak-bahak). Karena dirimu kan tahu produksinya... S: ya... ya... YF: bahkan tak ada orang perfilman, godfather sekalipun di belakangku (support finansial). Pure our Blood and sweat. S: dan dengan tekad yang kuat begitu YF: ya dengan tekad yang kuat. S: bisa tolong diceritakan sedikit saja filmnya tentang apa, produksinya bagaimana? YF: ini film genre fiksi ilmiah masih agak sedikit di garap di tanah air, premise nya sendiri apa yang terjadi pada umat manusia dan masyarakat, jika kita menemukan fosil kerangka manusia setinggi 2km. Ini bukan film horor. Ini bukan film monster. Tapi aku mengangkat kekacauan seperti apa saat para akademisi tak punya jawabannya. Saat Kyai-kyai juga tak punya jawabannya begitu. S: Premis nya cukup dalam ternyata ya... YF: sebetulnya... iya. Semoga sih filmnya juga cukup dalam (tertawa). S: Produksinya sendiri bagaimana mas apakah ada kendala? YF: aku mulai komit (berkomitmen) menggarap film ini, shooting film ini, tahun pertama itu biayanya cuma dari gaji dosenku 1,8 juta. Perbulan. S: serius mas? Wow... YF: aku Shooting kalau aku punya uang. That's it. Setahun pertama itu. "70% adegan dalam film ini nanti jadinya seperti apa ya mas Yusron?". (Aku jawab) "Ora reti (Ya ga tau)" (sambil tertawa). Cuma memasuki tahun ke 2 menarik beberapa orang yang teracuni dengan semangat kami. Orang-orang penting. Dekan yang "koe ki gawe opo to Yus? Kurang gawean banget (kamu ini sedang buat apa sih Yus? Koq seperti kurang kerjaan sekali)" jadi ya melihat sepak terjang sekaligus kami yang terlunta-lunta dalam membuat film tapi terbukti bahwa tim kami itu tidak terhentikan. Meskipun kru-kru nya hanya dibayar nasi pecel lele (tertawa). S: serius mas hanya pecel lele? (Tertawa) YF: serius (tertawa). Kami tetap jalan. Shooting, edit, shooting, edit. Kalau kamu ga shooting itu berarti kami ga punya uang. S: kalau kita ngomongin soal Budget, kalau mas BW (BW Purbanegara film Ziarah) Budget ditangani dengan membuat dan menjual Merchandise. Kalau Mas yusron sendiri bagaimana? YF: kalau budget tahun pertama benar-benar dari gajiku sebagai dosen, kadang dapat penelitian tak arahkan seputar visual efek atau animasi untuk film itu. Ya lumayan lah dapat 1 scene agak mahalan dikit gitu (tertawa), sementara 70% adegan lain piye ngono (gimana gitu). Tapi setelah kita dibantu oleh pak Dekan Vokasi UGM, kita dikenalkan sama orang-orang yang bersedia ngasih sumbangan untuk membantu kami menyelesaikan film ini. Endingnya budget itu buat bikin set, bikin properti. Karena hanya karena film ini indipenden dan tak ada orang besar di belakang bukan berarti saya nge-cut (memotong) Production Value. Saya ingin film tetap jalan. Kalau pun kita mau shooting di puncak gunung merapi kita akan shooting di puncak gunung merapi. Kalau kita ingin shooting yang menggambarkan Jogja sepi sementara kita ga bisa nyetop jalan kita akan Shooting pada Idul Fitri jam 6 pagi. S: mas ini JAFF ke-12. Bagaimana Mas memandang festival film ini? YF: sebetulnya film pertama ku, film pendek yang judulnya Pendekar Kesepian juga diputer disini. Filmku itu somehow bukan film festival atau film kompetisi. "Yusron film mu terlalu aneh untuk ikut kompetisi sron" (tertawa sambil menirukan), ya terima saja. S: melihat animo malam ini dan JAFF kali ini mas? YF: sebetulnya aku ini orang jogja dan aku harus bekerja di kapal selama 3 tahun sejak 2012 aku kayak orang ga tahu apa-apa gitu lho. Kalau kamu liat disini, aku tuh kayak orang hilang. Aku cuma kenal dia (menunjuk seorang teman). Jadi ya. Seingatku JAFF itu selalu rame sih sudah seperti Jogja punya Artjog itu kan sudah dapat audience nya. Ga usah bingung screening itu nanti ada yg nonton apa ndak. Kalau animonya wes oye (udah bagus). S: ini kalau kita bicara soal film dan JAFF... YF: wah aku ki pingin koe nonton film ku e... S: pasti sebisa mungkin saya nonton. Nonton paling depan ga apa deh (tertawa). Tapi kalau melihat Film, dan sineas muda, apa pesan buat mereka? YF: ini versiku ya, langsung ke film panjang aja ya karena aku sudah mengalami itu, sineas muda itu takut membuat film panjang sebelum nyantrik (dibantu) nama besar, sebelum ada dana besar di belakangnya, Itu gak benar. Kalau kamu ingin bikin film panjang yang bisa menghentikan kamu cuma kamu sendiri. That's it. Bikin film panjang itu cuma butuh dengkul, sama hati, sama kepala. Wes (sudah). Sama teman-teman. Dan jalan. Nanti kalau kamu liat filmku ini bukan film murah lho tapi kayak mahal. Asal otaknya jalan sih... S: dan semua elemen dimaksimalkan... YF: ya dan bersabar. Persistance gitu lho. 3 tahun e. Shooting pertama itu oktober 2014. Shooting terakhir 3 minggu yang lalu (tertawa) S: tapi mas masih berkeyakinan bahwa film ini tetap jalan dan jadi begitu ya YF: ya karena aku dikelilingi anak-anak muda yang mereka ga tahu apa-apa tentang film. "Berarti nanti kita pakai dslr atau handycam gitu ya mas ya?" (Dijawab) "sing penting koe ngewangi aku sik wae (yang penting kamu bantuin aku dulu saja)". Mereka itu kayak anak-anak yang masih polos tapi energinya ga habis-habis dan itu nyalur banget ke aku yang sudah tua. Film ini shooting 127 hari, dan mayoritas mereka ikut selama itu, that's mean... mereka ikut selama lebih dari 100 hari dan tak dibayar. Mencurahkan cinta dan air mata wes (tersenyum). Begitulah Yusron Fuadi sineas muda yang angkat nama lewat film terbarunya berjudul Tengkorak. Filmnya kemudian diganjar 2 kali full theater saat di tayangkan dalam program Special Gala Screening, bahkan meski tiketnya habis terjual para penonton setia mengantri mengular hingga keluar bioskop demi rela duduk lesehan dalam theater. Pada hari screening pertama Yusron secara pribadi ke pada saya mengungkapkan bahwa filmnya lolos seleksi festival film Cinequest di Sillicon Valley San Francisco Amerika Serikat awal tahun depan. Sebuah perhelatan festival film besar di negara tersebut. Ini lah bukti kegigihan Yusron Fuadi yang memulai filmnya dari cita-cita, tekad, dan situasi budget filming yang minim, dan kecintaan akan Star Wars saga film favoritnya. Semoga Tengkorak berjaya di Cinequest dan dapat mengharumkan nama Indonesia dan perfilman tanah air. View on Path
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Tengkorak Yos: Nak kalian arep ngomongi aku mending pindah ke atas wae, aku arep ngising iki wes sangu kopi (Kalau kalian tetap mau bicarakan aku, mending pindah ke atas saja. Aku mau buang air besar, ini udah bawa bekal kopi) Fyi, film ini dikerjakan sejak tahun 2014 dan pengambilan gambarnya baru berakhir beberapa minggu sebelum film ini tayang perdana di 12th JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) 2017 lalu, dan Yusron Fuadi selaku Sutradara dan penulis naskah sudah memastikan film ini akan bersaing dalam perhelatan Cinequest Film Festival februari 2018 mendatang di San Francisco. Salah festival film besar di Amerika. Imho, Mind Blowing! Sebuah suguhan fiksi ilmiah yang memadukan Mockmentuary, dengan sentuhan dan sudut pandang yang kreatif. Cerdas! Sesaat setelah gempa besar meluluhlantahkan Jogjakarta sebuah fosil kerangka manusia ditemukan di sebuah desa dekat episentrum gempa. Namun fosil itu bukanlah fosil biasa. Itu adalah fosil manusia raksasa sepanjang 1,8km yang menjadikan fosil manusia paling besar yang pernah ditemukan sepanjang sejarah manusia. Waktu berjalan dan situs prasejarah itu dinobatkan menjadi Balai Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT). Seorang gadis muda bernama Ani kemudian di buru oleh kelompok misterius saat ilmuwan-ilmuwan BPBT dinyatakan meninggal dunia karena terbunuh. Sesaat Ani akan dibunuh munculah seorang pemuda misterius yang mencoba menolongnya dan mengungkap apa misteri pembunuhan-pembunuhan, dan makna munculnya Tengkorak raksasa ini. Berhasilkah mereka mengungkap takbir misteri ini? Film besutan sutradara muda bernama Yusron Fuadi ini pertama kali tayang dalam Gala Special Screening perhelatan JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) tahun 2017 lalu dan menyedot animo sangat besar. Antriannya mengular hingga ke luar bioskop. Selain duduk di bangku sutradara, Yusron Fuadi juga meramu naskah film ini, dasarnya adalah kecintaan ia pada dunia fiksi ilmiah, dan Star Wars saga. Film bergenre Sci-fi/Fiksi Ilmiah ini boleh dibilang menjadi film cukup dinanti sejak kurun waktu 2 tahun belakangan ini. Pasalnya cerita dibalik pembuatannya yang terbilang unik kadung terdengar di telinga para penikmat film tanah air dan menjadi incaran tersendiri. Sayang film ini baru selesai di tahun 2017 akhir jelang perhelatan JAFF ke-12. Mari kita bahas ceritanya lebih detail tanpa harus membeberkan sejumlah poin utama cerita atau spoiler. Yusron Fuadi secara eksplisit mengatakan bahwa Star Wars dan cerita-cerita islami menjadi inspirasi pembentukan cerita film ini. Namun menariknya tak hanya itu. Yusron juga melengkapi dengan sejumlah Mockmentuary yang berusaha mencekoki alam bawah sadar penonton sejak 15 menit pertama. Bayangkan, 15 menit pertama anda disuguhkan sebuah sajian khas dokumenter yang membuat anda takjub sekaligus harus mengernyitkan dahi kala anda kemudian mulai mempertanyakan eksistensi tema cerita yang dibawakan film. Mulai dari skema ukuran, hingga wawancara-wawancara para ahli lengkap dengan penggalan-penggalan berita yang sebagian terlihat asli dan sebagian terlihat untuk kebutuhan film. Namun itu jelas sudah akan mengubah alam bawah sadar anda. Luar biasa. Yusron meramu cerita memang dengan tempo sedikit lambat, berbeda dengan film kebanyakan yang 'pace' nya pasti dan terarah, Yusron malah menyuguhkan kebutaan saat penonton mulai menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dengan masalah ini, atau kenapa mereka harus dibunuh/diburu, atau bagaimana para karakternya bisa saling terhubung dengan tiba-tiba. Namun Yusron tak mau memanjakan penonton. Ia mengembalikan kembali pertanyaan-pertanyaan itu dijawab penonton sendiri, liar imajinasi penonton malah membuat film ini terasa nikmat. Memang hal itu malah bagi sebagian memberikan lubang-lubang kecil di sepanjang film. Tapi tak masalah karena babak konklusi akhir yang Yusron suguhkan akan membuat penonton mengerti kenapa Yusron tak mengumbar jawaban-jawaban tadi secara gamblang. Film ini terasa urban sekali. Ini dapat dilihat dari gaya tutur dialog yang di ketengahkan para karakternya. Bahasa yang digunakan jelas Indonesia dengan sentuhan bahasa jawa. Bahkan joke-joke nya pun terasa sekali Jogja. Apakah akan terasa garing di telinga penonton luar? Saya rasa tidak juga. Hal ini malah membuat film ini terasa berbeda sekali dari film kebanyakan. Ia lebih menonjolkan sendiri ke-Jogjakarta-annya, seakan melihat film sci-fi semisal Cloverfield namun dengan khasanah lokal. Menarik dan tak terbayangkan. Dari segi akting saya rasanya harus berdiri dan memberikan applause riuh untuk ketiga pelakon nya. Eka Nusa Pertiwi, Guh S. Mana dan Yusron Fuadi sendiri berperan sangat apik. Eka Nusa yang berperan sebagai Ani menjadi perwakilan akan ketidaktahuan, kebutaan, keingintahuan, dan kebingungan yang dirasakan oleh penonton. Ia melebur memberikan penampilan apik dan menawan sepanjang film. Wajahnya yang segar dan terkesan bersahabat nan familiar seakan membuat film ini terasa hidup dan terkesan seperti "ini bisa saja terjadi di dunia nyata". Ia yang memang seniman tari dan teater dengan mudah menghidupi karakternya. Guh S. Mana adalah seorang seniman kerajin seni seperti lukis, ukir, dan pematung, disini ia malah memerankan (Purn) Kolonel Joko dengan sangat natural. Tak ada kesan terlalu berlebihan, atau dibuat-buat, semuanya terasa natural dan alami ditangan Guh. Sementara Yusron yang selain menyutradarai film ini juga berperan sebagai laki-laki misterius bernama Yos, mengawali debut aktingnya dengan sangat baik. Tak ada persona layaknya James Bond yang parlente, atau Ethan Hunt yang diperankan Tom Cruise yang berpikiran cepat, analitis, dan mempesona, sedang Yos terbalik dari itu. Yusron meramu karakter Yos ini dengan sangat menarik. Ia slengean, urakan, smoke addict, terkesan compang camping dengan hanya mengenakan celana pendek saja. Belum lagi sikapnya yang tukang bercanda hampir disegala situasi membuat film tak terasa garing bahkan di momen-momen tertentu terasa menggelitik. Sebuah persona yang menarik yang jarang ada di film Indonesia, atau bahkan Hollywood kebanyakan sekalipun. Belum lagi ditambah dialog yang natural. Pas sekali. Overall, film ini jelas sekali film yang tak rugi untuk dinanti. Suguhan tema dan ceritanya yang jarang di Indonesia menjadi bukti bahwa film ini adalah oasis ditengah kemajuan perfilman Indonesia yang masih dipenuhi beberapa genre saja. Secara pribadi saya memberikan nilai 8,5 untuk apa yang Yusron suguhkan. Saya menikmati sekali sajian cerita hingga karakter-karakternya. Belum lagi ending yang terkesan 'Mind Blowing' membuat saya dalam hati harus mengatakan "asem arahnya kesana" kepadanya, sedang lubang-lubang cerita dan hubungan antar karakter yang masih kurang yang terkesan saya catat-catat terus dalam benak sepanjang film bergulir mampu terkikis. Sebuah sajian yang tak biasa, menggelitik, dan tak terduga. Sukses di Cinequest Film Festival di Sillicon Valley tahun depan kawan. Saya yakin kamu berhasil :). Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Thor: Ragnarok Thor: There was one time my brother transformed himself into a snake because he knows how much I like snakes, and so I picked the snake up to admire it, but then he turned back and went "AAHH! It's me!" And then he stabbed me. Fyi, dalam film ini Thor merubah Mjolnir menjadi sebuah Payung saat ia sedang berada di bumi. Sedangkan dalam komik, saat Thor sedang berubah ke bentuk mortalnya bernama Dr. Donald Blake ia merubah Mjolnir menjadi sebuah Tongkat bantu jalan. Imho, strange, hilarious, and unexpected. Setelah beberapa saat Thor kembali ke Asgard namun tak disangka Odin yang ia kira berada di Asgard ternyata adalah Loki yang sedang menyamar. Berusaha mencari jejak Odin, lewat bantuan pihak-pihak bumi terutama Dr. Strange. Thor malah mendapati Odin tengah rapuh dan tak kuasa, begitu lemah, kemudian meninggal. Disaat itulah muncul seseorang tak dikenal bernama Hela yang mulai memporak porandakan Asgard. Siapakah Hela? dan apa tujuannya? Seri Thor ke-3 ini kini di sutradarai oleh Taika Waititi, ia juga ikut berperan di dalam film sebagai Korg manusia menyerupai batu yang membantu Thor. Film ini di ramu Taika sebagai film yang jauh dari citra Thor sebelumnya yang lebih serius. Kini Taika meramunya ke dalam film humor, penuh gelak tawa, banyolan-banyolan slapstick namun tak meninggalkan ciri khas Marvel dengan perang masif nya. Kisah Thor kali ini sedikit berbeda dari Komik Thor yang mengusung cerita Ragnarok namun masih mengedepankan pokok cerita yang sama, dimana kehancuran Asgard yang tak terelakkan. Chris Hemsworth sekali lagi didapuk melanjutkan perannya sebagai Thor, Dewa Petir Asgard dalam mitologi Norse. Sementara Mark Ruffalo juga masih melanjutkan peran yang sama untuk Monster hijau, Hulk. Aktris senior Cate Blanchet ditunjuk untuk memerankan Hela, dewi kematian dalam mitologi Norse. Demi menjaga agar ceritanya terasa natural dan hubungan antar masing-masing karakter dapat terhubung dalam dialog yang segar, Taika membuat filmnya berisi 80% improvement. Agak sedikit janggal memang, namun inilah yang diterapkan Taika agar ia bisa membawa warna lain dalam cerita Thor yang dikenal serius. Overall, secara pribadi saya lebih menyukai gaya penceritaan Thor yang lebih serius seperti pada seri Thor pertama yang disutradarai Kenneth Branagh. Lewat film itu Thor digambarkan dengan banyak sisi. Namun apa yang dilakukan Taika dalam Thor Ragnarok agaknya tidak buruk pula. Saya menyukai komedi segar yang ditawarkan olehnya, belum lagi hubungan antar karakternya yang terjalin baik. Namun beberapa porsi karakter rasanya terlalu singkat atau disudahi dengan cepat semisal Odin dan kontribusi Dr. Strange. Bahkan Dr. Strange terasa tak memberikan impact apapun, yang rasanya bisa lebih dari itu. Sangat disayangkan. Ditambah lagi adanya perubahaan scene yang cukup banyak dan berbeda dari trailer yang beredar membuat para penonton merasakan sekali perubahannya. Cerita juga sedikit tak terasa natural di bagian akhir bahkan meninggalkan cerita yang menggantung antara pertempuran Hela dan Surtur. Terasa ingin cepat menyudahi sementara flow cerita sepanjang film berjalan terasa lambat dan terkesan bertele-tele. Sangat disayangkan sekali. Pun begitu rasanya saya harus memberikan apresiasi lewat suguhan cerita komedinya yang segar dan, meski American Jokes masih mampu di cerna penonton. Secara keseluruhan nilai 8 layak disematkan. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak/Marlina the Murderer in Four Acts Marlina : Sa wanita paling sial sudah malam ini Fyi, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak menjadi film panjang Indonesia pertama yang ditayangkan di Cannes film Festival setelah 12 tahun lamanya. Sebelumnya tahun lalu Prenjak unjuk gigi sebagai film pendek pertama Indonesia yang meraih penghargaan dalam perhelatan itu. Marsha Timothy bahkan berhasil mengalahkan Nicole Kidman dalam kategori Best Actrees in Leading Role pada perhelatan Sietges Film Festival Jerman. Imho, paket lengkap akan Eksotisme secara penokohan, cerita, dialog hingga tata sinematografi. Marlina disambangi Markus, salah satu gembong mafia di tanah Sumba. Markus mengatakan bahwa Marlina harus membayar semua hutang-hutangnya dengan ternak hingga tubuhnya. Markus tidak sendirian ia kemudian di susul 4 orang teman lainnya yang bersiap memperkosa Marlina. Terkejut mendengarnya, Marlina berusaha mempertahankan kehormatannya dan keselamatannya. Ia kemudian meracuni makanan ke empat teman Markus, dan menghabisi Markus dengan memenggal kepalanya. Sadar hidupnya belum selamat sepenuhnya, Marlina membawa potongan kepala Markus ke aparat hukum demi mendapatkan keadilan. Berhasilkah Marlina? Film besutan Mouly Surya ini tampil memukau di perhelatan Cannes tahun ini. Tak hanya itu Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak juga laris di negerinya sendiri lewat penayangan terpilih di beberapa kota. Ceritanya sendiri datang dari sineas senior Garin Nugroho yang bercerita kepada Mouly saat mereka sedang menjadi juri dan meyaksikan film yang sedang mereka akan nilai. Keduanya kemudian mengembangkan cerita tersebut. Sejak awal film bergulir film ini terasa tak asing bagi saya pribadi. Entah disadari betul oleh Mouly dan Garin (atau memang diarahkan kesana) film ini terasa seperti 'film koboi'. Anda akan merasakan sekali atmosfir film Spagethi Western semisal The Good, The Bad and The Ugly, Hateful Eight milik Quentin Tarantino atau film-film Clint Eastwood lainnya. Kenapa saya katakan seperti itu tak hanya scoring, tapi film ini didukung dialog, penokohan hingga penceritaan yang khas Spagethi Western. Mulai dari pembabakan cerita yang masing-masing memiliki makna, tokoh-tokoh dalam cerita yang saling tumpang tindih menimbulkan kontradiksi akan situasi yang terjadi, hingga dialog yang kasar nan 'saru' yang malah terasa mewarnai sepanjang film. Menilik pembabakan film ini memang terasa sederhana dan tak terlalu sukar untuk ditelaah. Namun baik The Robbery (Pencuri), The Journey (Petualangan), The Confession (Pengakuan), dan The Birth (Persalinan) memiliki pokok masalah cerita yang saling berkaitan dengan Marlina sebagai subjek utama film. The Roberry sendiri bercerita bagaimana Marlina mengawali cerita sebagai seorang 'heroine' yang berusaha menuntut keadilannya. Disini Marlina ditampilkan sebagai wanita yang rapuh secara batin dan hidup, namun lewat himpitan situasi yang tak terduga Marlina harus berupaya menguasai ketakutan-ketakutannya. Sementara The Journey menjadi awal bagaimana kisah Marlina diramu. The Confession menjadi babak menarik, karena pada babak ini Marlina 'diuji' kebenarannya. Pada bagian The Journey Marlina sempat di ajak temannya untuk mengaku dosa di gereja setelah apa yang telah Marlina lakukan namun tak mau dilakukan sebab Marlina tak merasa bersalah, babak ke 3 The Confession ini lah jawabannya. Babak akhir The Birth menjadi babak paling berpengaruh buat Marlina secara pribadi. Pasalnya lewat babak ini Marlina menemukan arti menjadi wanita sesungguhnya yang tak pernah ia rasakan sebelumnya meskipun kali ini bukan ia yang merasakannya secara langsung. Keempat babak penceritaan tadi tak akan sukses tanpa penampilan pelakonnya. Marsha Timothy jelas paling disorot, Marsha berhasil menyuguhkan karakter heroine paling sadis, paling berwibawa, namun haus pengakuan, ia juga tampil rapuh. Penampilan Marsha ini belum lengkap tanpa dialog dan logat khas Sumba. Meski mungkin bagi masyarakat asli Sumba logat-logat pemainnya terasa tak pas namun rasanya hal ini bisa dimaklumi. Overall, sejak awal film dimulai saya sudah mencintai film ini, usungan temanya yang terasa sekali seperti film Spagethi Western ditambah pengambilan sudut kamera yang panoramic landscape yang mengeksplorasi cinematografi Sumba yang cantik mengingatkan saya akan film Hateful Eight atau The Good The Bad and The Ugly. Tapi tak hanya itu ceritanya juga tak terasa membosankan, banyak sekali dialog yang menggelitik seputar seks, atau kata-kata makian nan 'saru' yang bukannya membuat kita emosi malah membuat kita tebahak-bahak. Namun harus saya akui film ini terasa sangat indah bukan menyoal pemandangannya semata tapi keseluruhan elemen di dalamnya. Sayang masih ada beberapa bagian yang menurut saya seharusnya bisa disajikan lebih baik lagi. Secara keseluruhan film ini layak diganjar standing applause Mouly dan Garin Nugroho benar-benar meramu tak hanya sebuah cerita namun sebuah Saga yang bisa dieksplor lebih jauh lagi. 8 untuk Marlina. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Tara Basro and Her First Performance in Horror Film Selama hampir sepekan semenjak penayangan perdananya, Pengabdi Setan telah menjadi buah bibir di Indonesia. Lebih dari 500.000 penonton, sejak 5 hari lalu, sudah menikmati film ini. Tak hanya mengumbar kengerian semata, film ini tampil menarik dengan suguhan cerita yang apik dan performa aktor dan aktrisnya yang mengundang decak kagum. Pada pertemuan saya dengan Joko Anwar, Sabtu 30/9 lalu, ia mengatakan bahwa ia beruntung filmnya diisi aktor dan aktris yang sudah tak diragukan lagi kemampuannya. "Mereka memang orang-orang yang saya kagumi ya. Tara Basro sudah sering bermain bersama saya, dan ia tak pernah mengecewakan. Ia membuat film saya menjadi bagus banget. Begitu juga Endi Arfian, dan ibu Ayu Laksmi. Jadi kenapa mereka dipilih, karena mereka The BEST!" Tara Basro memulai karier aktingnya saat bermain dalam film Catatan Si Boy tahun 2011 silam. Sebelumnya ia dikenal lewat dunia model. Sejumlah judul film ternama ada dalam filmografinya berikut penampilannya yang memukau. Sebut saja Pendekar Tongkat Emas bersama Nicholas Saputra, Eva Celia dan Reza Rahadian, ada lagi A Copy of My Mind yang juga dibesut Joko Anwar, Another Trip to the Moon besutan Ismail Basbeth, ada pula 3 Srikandi, dan masih banyak lagi. Nama Tara Basro makin diperhitungkan di industri perfilman, sedang kemampuannya semakin tak diragukan lagi. Lewat Pengabdi Setan, Tara berusaha mengekplorasi kembali kemampuan aktingnya. Genre baru yang belum pernah dicicipi sebelumnya. Namun siapa sangka, penampilan pertamanya dalam genre horor ini dengan cepat menyentuh hati para penonton. Di tengah-tengah rangkaian promo Pengabdi Setan di Yogyakarta, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan Gadis yang sangat bersahabat ini. Berikut perbincangan saya dengannya; Saya (S): Tara, saya sudah mengikuti Tara sudah cukup lama dan saya terpukau dengan penampilan Tara kemarin di 2 film lalu, A Copy of My Mind dan Another Trip to the Moon... Tara Basro (TB): Ow sudah nonton Another Trip (to the Moon) ya. S: Iya dan itu luar biasa sekali aktingnya. TB: Terima kasih. S: Ada banyak karakter yang sudah Tara mainkan. Namun yang terakhir ini di Pengabdi Setan cukup unik. Bisa ceritakan? TB: Banyak sih tantangannya khususnya sebagai seorang yabg sangat penakut dan harus membintangi film Horor itu sebuah Challenge. Tapi dari awal saya sudah percaya dengan Bang Joko (Joko Anwar) bahwa apapun yang dibuatnya selalu di eksekusi dengan baik sekali. Awalnya bisa terlibat dalam film ini pun melalui tahap Casting. Bang Joko bilang "datang dong, Casting, aku lagi mau bikin film nih". Dan datang lah saya ke tempat Casting, ternyata untuk film Horor (sambil tersenyum) saya pikir drama gitu kan. Setelah nunggu beberapa waktu, Bang Joko bilang yang cocok untuk perannya itu ternyata saya. Mulai dari situ biarpun takut tapi bisa mengesampingkan hal itu. Bang Joko juga minta saya harus menaikan berat badan, karena menurut dia tahun 80an ga ada cewek-cewek yang kurus-kurus gitu. S: Hahaha bahkan sampai ada seperti itu ya? TB: Iya (tersenyum). Terus saya seneng banget bisa kerja sama lagi dengan Bang Joko, karena pemainnya itu dimanjakan sekali, misal Set sudah dibangun sedemikian rupa mulai dari Properti, Set, atmosfirnya, energi, dan Chemistry antar pemain pun secara tidak sadar pun sudah terbentuk dengan sangat baik dengan metode-metode pendekatan yang dibuat sama Bang Joko. S: Lalu bagaimana kemudian Tara me-maintance karakternya, karena ini cukup berbeda dari sebelumnya seperti di drama, lalu kolosal juga di Pendekar Tongkat Emas? Apakah ada riset sebelumnya? TB: Iya bener. Riset pasti ada. Tapi saya lebih mempercayakan kepada sutradaranya. Soalnya bagaimanapun Sutradaranya yang mempunyai visi, kita (para pemain) adalah yang 'make it dream come true' lah gitu ibaratnya. Karena sayapun sebagai seorang filmmaker melihat kalau misalnya dari bahan mentah terus liat ke hasil akhirnya itu suka apa ya, kaget-kaget sendiri gitu, ow gini jadinya. Soalnya kadang apa yang ada di pikiran kita sama di pikiran sutradara setelah editing, sound editing dan lain sebagainya suka beda jauh gitu. Jadi saya selalu seneng ngeliat 'Element of Surprise'nya gitu. S: Saya melihat dalam film ini elemen karakter Tara mainkan itu penuh makna, mulai dari keibuan, seorang kakak tertua, tapi di sisi lain, waktu saat penayangan saya sempat mewancarai beberapa penonton saat itu mengatakan bahwa Tara menjadi figur sensualitas, skeptisme, tapi juga pemberani bahkan ada scene yang cukup kuat waktu Tara membuka pintu dan berteriak lantang begitu. Bagaimana kemudian Tara melihat keunikan karakter Rini tersebut? TB: Iya... iya benar. Kalau menurut saya, film itu harus bisa 'relate able' dengan keseharian dan kehidupan orang lain. Dan kehidupan orang itu ga mungkin cuma komedi terus, drama terus, romance terus. Bang Joko itu memuat semuanya dalam 1 packaging yang sangat menarik begitu, bahwa orang bisa tertawa ngakak riang, dan terharu dalam 1 film, yang biasanya (bagi orang lain) sulit sekali untuk dieksekusi. S: Kedepannya apakah akan ada project lagi dalam waktu dekat? TB: Project kedepannya... itu ada, tapi kalau dalam waktu dekat-dekat ini sih saya lagi mau mencoba Teater dulu. Bareng projectnya mbak Happy Salma, sama Reza Rahadian, Chelsea Islan, Marsha Timothy, sama teh Sita (Sita Nursanti - Gie). S: Bisa dibocorin sedikit? TB: Uhmm... Perempuan-Perempuan Chairil Anwar. S: Jadi menceritakan kisah percintaan disekitar Chairil begitu ya? TB: Iya bercerita tentang kisah cintanya Chairil Anwar. S: Sangat menarik. Kapan penampilannya? TB: Saya sih gak tahu apakah akan tampil ke luar kota. Tapi mengenai tanggalnya saya kurang tahu pasti, tapi jika sesuai jadwal November sih. Gadis cantik berkulit sawo matang yang ramah, dan murah senyum ini begitu antusias terhadap pertanyaan-pertanyaan saya. Hingga akhir perbincangan pun ia masih surprise ketika saya mengatakan film favorit saya yang dimainkannya adalah termasuk film alternatif. Baginya film Pengabdi Setan menjadi sebuah bentuk kematangan akan kemampuannya. Tara terus berusaha mengeksplor dan meningkatkan kemampuannya dengan juga ikut serta dalam seni pentas panggung. Luar biasa. Terima kasih untuk Tara Basro dan Joko Anwar untuk kesediaannya diwawancarai. Sayang sekali saya tak berkesempatan mewawancarai Ayu Laksmi dan Endi Arfian, karena padatnya rangkaian promo. Terima kasih. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Joko Anwar, Brilliant Man Behind Pengabdi Setan Jika menyebut sineas paling berbakat dan paling berpengaruh dalam industri perfilman tanah air dewasa ini, nama Joko Anwar adalah yang paling disebut. Sineas yang gemar mengeksplorasi genre film ini, tampil mempersembahkan film terbarunya minggu ini. Berjudul Pengabdi Setan, film besutan Joko ini adalah film horor Indonesia yang berdasarkan Buat Ulang/Remake dari film berjudul sama yang rilis tahun 1980an. Bersama Pengabdi Setan, Joko menyuguhkan sebuah film horor dengan sentuhan yang sangat brilian, alur cerita yang menarik, penokohan yang baik, juga elemen-elemen pendukung lainnya yang semakin membuatnya layak diganjar standing ovation. Pengabdi Setan sudah menjadi buah bibir sejak proyek ini mulai digulirkan oleh Joko beberapa waktu lalu. Tak heran, pada penayangan hari pertamanya lebih dari 90 ribuan penonton menikmati filmnya. Jumlah ini termasuk kejadian yang langka dan belum pernah terjadi sebelumnya pada film Indonesia bergenre horor. Sebuah bukti nyata bahwa ia layak dianggap sebagai salah satu sineas paling berpengaruh di negeri ini. Hari sabtu tanggal 30 September 2017 lalu. Joko bersama Tara Basro pemeran Rini, Endi Arfian pemeran Tony, dan Ayu Laksmi pemeran Ibu hadir di salah satu mall di Jogjakarta guna mempromosikan film Pengabdi Setan. Di tengah-tengah padatnya serangkaian acara saya berkesempatan berbincang-bincang singkat dengan sineas yang sangat bersahabat ini. Berikut perbincangan singkat saya dengan Joko Anwar; Saya (S): Perkenalkan nama saya Nikkolas Saputra Joko Anwar (JA): Widih mirip juga koq. S: Hahaha (tertawa). Ceritakan dong awal mula sampai punya pemikiran bahwa film ini harus dibuat ulang? JA: Pengabdi Setan tahun 81 itu adalah film favorit gue waktu kecil, dan itu ingatan nonton gue yang paling intens sampai dewasa masih keingat. Dan setelah jadi Filmmaker gue bilang sama diri gue "gue harus bikin Pengabdi Setan" nih untuk menakar kemampuan gue. Kan gue suka film horor gitu, gue bisa ga membuatnya lebih baik. Film Pengabdi Setan yang terdahulu filmnya seru, tapi ada skrip yang lemah, karakternya lemah. Jadi hal itu yang gue upgrade, cerita dan karakternya. S: Berarti ada perbedaan cerita dengan film terdahulunya? Kebetulan saya belum nonton yang terdahulunya. JA: Ow belum nonton? Uhmm, mungkin style nya sama. Terus kalau elu nonton yang pertama elu akan tahu ow hubungannya hal ini dengan hal yang itu misalnya. S: Kebetulan kemarin saya menonton penayangan perdana. Saya melihat ada formula yang berbeda dari film-film anda sebelumnya sebut saja Modus Anomali, A Copy of My Mind dan lain sebagainya. Jika tadi dibilang 'menakar', sebenarnya alasan apa sih kemudian mencoba genre yang berbeda? JA: Gue sebenarnya ga pernah buat film dengan genre yang sama, atau style yang sama. Karena pertama gue pembosan, dan gue juga ga punya pemikiran spesifik harus membuat genre tertentu. Jadi kadang-kadang gue membuat film hanya untuk bercerita saja. Maka kadang-kadang ada beberapa film gue yang Genre nya ga jelas. S: Tapi jika saya melihat mas lebih fokus ke Psikologi Thriller begitu? JA: Gak sih. Pengabdi Setan yang sekarang bahkan ga ada unsur Psychological sama sekali. Karena gue suka sekali film gue ga pernah membeda-bedakan Genre film. Semua sama dan gue pingin nyoba semua. S: Melihat animo penontonnya, dihari pertama bisa memperoleh 90 ribu penonton? JA: Jujur gua terkejut sih. Maksudnya gue ga pernah berharap sebanyak itu. Hingga 2 hari 200 ribu penonton, untuk film horor lho ya. Menurut gue sih melampaui ekspektasi. S: Ow ya? JA: Iya (Sambil mengangguk dan tersenyum). S: Kemana nanti larinya setelah ini, kan kebetulan ini juga di produksi oleh CJ Entertainment. Apakah akan putar secara internasional? JA: Rencana putar Internasional pasti Ya. S: Berarti nantinya akan diputar di film festival, seperti Busan International Film Festival mungkin? JA: Gue sih awalnya buat film ini gue khususkan buat Indonesia. Jadi kalau gue putar di Festival Film, gue jadi harus nunggu dulu festival tersebut buat premiere dulu. Sementara gue udah ngebet banget film gue tayang September ini. Dan gue bilang ke produser gue, tayang buat Indonesia dulu deh. Karena menurut gue, kalau gue tayang di festival film internasional gue dapat standing ovation, applause gitu. It's nice gitu. Tapi begitu gue dapat standing ovation di Indonesia itu... Wow. Beda banget. S: Next genre atau project apa lagi ke depannya. JA: Next project ada. Tapi ga bisa diumumin saat ini. S: Kalau yang menjadi Pastor waktu lalu itu? JA: Ow itu gue cuma main. Judul filmnya The South Living the Sea. Sutradaranya Robby Ertanto. Kebetulan saya juga main film. S: Saya sering liat anda menggunakan elemen sama, seperti cameo anda, atau figur ibu-ibu hamil begitu ada apa? JA: Kalau ibu hamil, iya ada di semua film gue. Mungkin secara psikologis gue ada sesuatu dengan ibu hamil. Gue sendiri ga tahu apa atau kenapa. Setelah gue pikir-pikir "Ow ya koq ada lagi, dan ada lagi". Kalau Cameo untuk Pengabdi Setan gue ga ketemu orangnya. Udah nyari yang cocok tapi ga ketemu. Udah nanya sama Sunil (Sunil Samtani - Eksekutif Produser), "Elu aja deh Jok". Sore itu bincang-bincang saya diakhiri dengan kami menyempatkan untuk berfoto bersama sebelum akhirnya ia bergegas menuju Bioskop yang terletak 4 lantai di atas kami berbincang, guna menyapa para penonton yang telah setia menonton filmnya. Begitulah perbincangan singkat saya dengan seorang Joko Anwar. Ia tampil sangat humble, ramah, bersahabat, dan setia sekali meladeni dan menjawab berbagai pertanyaan saya ditengah padatnya kegiatan promosi Pengabdi Setan. Terima kasih. Semoga Pengabdi Setan meraih kesuksesan. Sukses terus Mas... eh Bang Joko Anwar, saya akan selalu jadi pengemar setia karya-karyamu. Sukses terus. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Pengabdi Setan Rini : Kalau benar itu ibu, kita bilang ke ibu untuk jangan ganggu kita. Fyi, terdengar kabar bahwa Joko Anwar hanya memerlukan 2 Miliar Rupiah untuk Budget film ini. Jumlah tersebut jauh sangat kecil dibanding film-film Indonesia saat ini yang membutuhkan budget hingga belasan miliar Rupiah. Pengabdi Setan juga merupakan remake dari judul yang sama, sebuah film horor klasik Indonesia yang pernah dinobatkan menjadi film paling terseram yang pernah dimiliki dunia perfilman tanah air. Imho, Suatu pernyataan sikap yang kuat dari Joko Anwar terhadap dunia perfilman Indonesia lewat genre film horor. Luar biasa. Salah satu film horor terbaik yang di miliki Indonesia. Cerita berawal dari sebuah keluarga yang terdiri dari 2 orang tua dan 4 orang anak beserta nenek mereka. Ibu mereka sudah 3 tahun mengalami sakit misterius. Setiap harinya hanya menggunakan lonceng tua sebagai media komunikasi memanggil anak-anaknya jika ingin meminta bantuan. Suatu ketika ibu mereka akhirnya meninggal secara misterius, seluruh keluarga berkabung. Namun beberapa hari kemudian bunyi lonceng terdengar di rumah mereka dan sesosok menyerupai ibu mereka menghantui mereka. Rini, diperankan Tara Basro (Another Trip to the Moon, A Copy of My Mind) anak tertua di keluarga itu mencoba mengungkap tabir misteri tersebut. Namun nalarnya selalu berbenturan dengan kondisi yang ada. Berhasilkah mereka sekeluarga lepas dari bayang-bayang kabut misteri yang menghinggapi keluarga mereka? Joko Anwar duduk di bangku sutradara sekaligus peramu naskah dan cerita. Film ini merupakan remake/ulang buat dari film horor klasik Indonesia yang berjudul sama. Pengabdi Setan versi terdahulu sempat dinyatakan sebagai film paling terseram dalam perfilman tanah air. Itulah sebabnya Joko berupaya mengangkat lagi cerita ini dan mengemasnya lebih modern dengan tutur cerita yang lebih “Joko-ish”. Dan seperti perkiraan film ini sukses menjadi sebuah standar baru genre film horor tanah air. Bukan Joko namanya jika membalut cerita misteri hanya sebatas itu saja, tak terkecuali Pengabdi Setan 2017. Joko membalut cerita misteri ini dengan sangat apik, demi menjaga tensi horor mencekam dan ketegangan Joko juga melengkapi dengan siasat membolak-balikkan kedudukan karakter sehingga kita para penonton dibuat bertanya-tanya, sebenarnya apa dan siapa dalang dibalik ini semua. Ceritanya tak memulu soal cekam-mencekam, tapi lebih dari itu Joko membubuhi dengan sisi komedi, kekeluargaan, dan sejumlah elemen lainnya. Bahkan jika Joko mengatakan bahwa film ini tak tampil cekikikan dalam artian komedi nyatanya seperti itu. Namun beberapa titik komedi itu malah membuat penonton tidak bisa tertawa malahan dibuat ketakutan karena maknanya menjadi bias, apakah lucu, atau malah mencekam. Luar biasa sekali. Selain itu dalam film ini Joko menyuguhkan banyak sekali Jumpscare. Namun berbeda dari film horor kebanyakan penonton dibiarkan mengetahui kapan datangnya Jumpscare tersebut. Pun begitu meski tahu penonton malah dibuat mati ketakutan mana kala jumpscare apa yang sudah di prediksikan malah melebihi ekspektasi sebelumnya. Hal ini malah meningkatkan level ketakutan yang diderita penonton. Namun yang paling utama dari cerita adalah bahwa Joko menghasilkan babakan akhir cerita yang tak tertebak. cerita yang dipelintir, karakter tak terduga, hingga ending yang memuaskan menjadi jualan utama. Perlu kerelaan hati besar agar saya tak membocorkan hasil akhirnya, dimana hal itu sangat sulit sekali dan menggoda untuk dibicarakan. Selain cerita Joko memenuhi filmnya dengan sejumlah elemen nan ciamik seperti tone warna gambar yang dibuat selaras, tata pencahayaan setting yang menambah mencekamnya cerita, penataan ruang yang terasa sempit yang menghadirkan kesan menghimpit pada penonton, namun yang paling disoroti adalah cinematografi itu sendiri. Ical Tanjung yang duduk sebagai Director of Photography di film ini piawai sekali mengambil sudut-sudut kamera yang kaya akan makna. DOP yang sebelumbya bekerja sama dengan Joko Anwar dalam Film A Copy of My Mind ini menyuguhkan sudut kamera yang rajin mengeksplorasi sisi klaustrofobik penonton, maka tak heran kita dibuat seakan-akan benar-benar kacau dan merasakan betul kengerian yang dirasakan para aktor. Setelah cerita dan sisi produksi yang patut diacungi jempol yang tak kalah membuat decak kagum adalah jajaran pemain di dalamnya. Tara Basro jelas mengambil peran central dalam film ini, ia tak hanya menjadi manifestasi Joko terhadap ketakutan dan kekacauan ini. Lebih dari itu Tara menjadi berbagai simbol seperti keibuan, skeptisme, perlawanan, sensualitas, dan menjadi arah jalan cerita. Ditengah mencekamnya film, penonton dibuat harus ternganga ketika melihat Tara berakting dengan sangat natural, penuh meyakinkan menanggalkan karakter-karakter yang pernah ia mainkan sebelumnya, bahkan menjadi fantasi sensualitas para penonton tak hanya pria namun juga wanita lewat sikap keibuan dan kakak paling besar dalam cerita. Sebuah karakter yang mungkin tak kompleks namun kaya akan nilai di dalamnya. Salut kepada Tara. Namun tak hanya Tara ketiga aktor muda yang berperan sebagai adik-adiknya rasanya juga patut diganjar acungan jempol dan standing ovation. Endi Arfian yang berperan sebagai Tony, sebenarnya bukan wajah baru di belantika film nasional. Ia lebih dikenal sebagai bintang cilik dahulunya. Kini ia telah remaja dan sukses menjelaskan ke publik bagaimana kemampuannya sebagai seorang aktor. Nazar Anuz yang berperan sebagai Bondi dan Adhitiya Abdulkhadir yang berperan sebagai Ian, keduanya memang masih kecil, tapi jangan underestimate dahulu dengan kemampuan akting keduanya. Mereka berdua mampu menohok benak penonton lewat karakter dan akting masing-masing. Overall, tak ada lagi yang bisa saya katakan decak kagum saya akan film ini. Joko benar-benar mampu meramu film lewat cerita sederhana dari film terdahulunya namun mampu di pelintir sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah alur cerita yang luar biasa mengagumkan. Selain itu elemen-elemen lain seperti tata kamera, pencahayaan, akting yang luar biasa mengagumkam dari seluruh jajaran pemain membuat kita malah betah ditakut-takuti dan enggan beranjak dari kursi bioskop. Disaat sineas-sineas lain beramai-ramai mengangkat tema reboot film drama terdahulu, atau melanjutkan seri film drama atau horor tahun 2000an, Joko malah bermain lewat genre horor klasik Indonesia yang sering kali dipandang sebelah mata karena dianggap terlalu dibuat-buat dan tak masuk akal sehat, namun semua di tangan Joko Anwar film sederhana ini berhasil menjadi sebuah standar baru akan film-film horor tanah air nantinya. Karenanya tak berlebihan jika saya mengganjarnya dengan nilai 8,5. Luar biasa Joko, saya jadi memperhitungkan kembali pesona film horor tanah air berkat film anda. Salut. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Negeri Dongeng Potret Nyata Keindahan Nusantara Teguh: Sampai akhir menutup mata (menyanyi) Matthew: Beta itu siapa? Teguh: itu anak tetangga sebelah... yang jual gado-gado Matthew: (tertawa) Beberapa waktu lalu saya menghadiri special screening film Negeri Dokumenter karya Anggi Frisca dan Aksa7. Sore itu XXI Empire Yogyakarta sudah dipenuhi ratusan penonton yang telah mengantri untuk menukarkan tiket film Negeri Dongeng. Sebuah keadaan yang jarang sekali terjadi terutama terhadap film alternatif yang tayang diluar program semisal festival atau lain sebagainya. Ratusan penonton muda tersebut antri dengan cukup rapi dan teratur. Namun ternyata ada masalah terkait tiket. Banyak tiket yang dinyatakan 'palsu'. Sempat mengalami masalah juga dikarenakan tiket undangan saya dinyatakan 'palsu' membuat saya cukup tidak nyaman. Namun untungnya para kru penyelenggara cukup informatif dan cukip sabar meladeni para penonton yang gagal menukar tiket. Namun pada akhirnya pihak penyelenggara memberikan kami tiket menonton. Petang itu hampir tidak ada kursi yang kosong di 2 teater yang menayangkan film Negeri Dongeng. Mengagumkan. Begitu gumam saya dalam hati. Film Negeri Dongeng mengusung genre dokumenter/dokumentasi. Filmnya sendiri mengisahkan tentang tim Aksa7 yang dikomandoi Anggi Frisca, yang juga duduk di bangku penyutradaraan untuk mendaki 7 gunung di Indonesia. Mulai dari Gunung Semeru, Puncak Jaya Wijaya, Gunung Binaiya, dan lain-lain, Tim Aksa7 menyuguhkan potret-potret keindahan Nusantara. Aksa7 lewat pendakian-pendakiannya tidak hanya mengupas tentang cerita pendakian itu sendiri, lebih dari itu Aksa7 menghadirkan banyak cerita dan nilai-nilai mulai dari Nasionalisme, persahabatan, sosial, kehidupan, hingga kritik-kritik pedas akan tingkah laku manusia terhadap alam. Film Negeri Dongeng menjadi sebuah air pelepas dahaga ditengah kekeringan film bertema sama (dan bergenre sama) dalam masyarakat. Genre nya yang diulas lewat kacamata dokumenter malah membuat film ini terasa lebih nyata ketimbang di produksi dengan budget besar-besaran atau bombastis. Negeri Dongeng mengusung garis cerita yang sebenarnya agak bias meski pengolahannya sangat menarik. Anggi Frisca menyuguhkan jepretan rekam kamera yang begitu natural, begitu bersahabat, begitu terasa dekat dengan para penonton sehingga sejak awal penonton bisa merasakan kedekatan terhadap film meski mungkin sebagian dari penonton bukan para fans kegiatan ekspedisi semacam ini. Namun Anggi Frisca kurang memberikan elemen-elemen penting agar jalan cerita dapat mudah dicerna penonton seperti teks, atau monolog dari para pengisi film yang menegaskan ke mana arah cerita akan berjalan. Seperti misalnya, sakit yang diderita Teguh hingga harus dilarikan ke rumah sakit, atau Kepulangan yang mendadak dari Darius. Kurang sekali informasi. Begitu pula dengan masing-masing antar subplot, atau pergantian dari ekspedisi ke ekspedisi lainnya, kurang ada penghubung yang sebenarnya bisa diisi dengan monolog atau dialog. Sisi positif di film ini adalah bagaimana, sekali lagi, Anggi dengan sangat detail memotret banyak sekali gambaran tentang ekspedisinya namun lewat perspektif yang lebih terbuka dan open minded. Hal ini dapat dilihat bagaimana Anggi saat menyuguhkan kondisi salah satu gunung yang rata dibabat habis pohonnya karena upaya land clearing demi pertambangan emas. Anggi tak hanya menyuguhkan "Akibat"nya saja namun juga "Sebab"nya. Dan disini Anggi memberikan himbauan lewat dialog-dialog para pengisi film akan bagaimana melestarikan alam demi kehidupan, tanpa mengguruinya. Namun berbanding dari scene di atas, kamera juga menangkap momen budaya merusak lingkungan yang mungkin sudah lazim dan berlangsung lama, kala Kru-kru salah satu kapal di negeri ini membuang sampah yang mereka hasilkan di kapal dan membuang sampahnya tepat di tengah lautan. Sebuah gambar yang mencengangkan, sekaligus menampar wajah kita sebagai penonton bahwasannya masyarakat Indonesia masih jauh dari kata peduli terhadap alam negerinya. Meski tak tampil bombastis, film ini jelas membangkitkan semangat-semangat kecintaan akan negeri ini. Tak perlu bintang-bintang film keren yang dibayar mahal, atau susunan cerita yang mampu membuat penonton terkesima, Anggi Frisca dan tim lewat kealamiahan, lewat pesona yang bersahaja, dan lewat ekspedisinya berbicara lebih banyak dari yang lain. Ia mampu membakar semangat para penonton lebih dalam dan menghipnotisnya sehingga lahir kepekaan akan kecintaan negeri tercinta ini Negeri Dongeng. Ditambah dengan penyajian screening yang dilengkapi dengan menyanyikan lagu Bagimu Negeri dan Indonesia Raya lengkap dengan pengibaran Bendera Merah Putih di dalam teater bioskop setelah pemutaran film, membuat film ini terasa wajib diganjar decak kagum. Sangat Nasionalis. Sayangnya, setelah berakhirnya film saya tak bisa mendapatkan akses untuk menanyakan lebih dalam mengenai pembuatan film kepada para sineas yang hadir malam itu dikarenakan saya termasuk media independen. Ditambah keadaan yang sangat ramai dimana penonton berusaha meminta Nadine Candrawinata selaku Co-Produser dan juga pengisi film untuk berfoto bersama. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Baywatch Mitch Buchannon: You going night-night, bitch. Fyi, Zac Efron sendiri yang meminta Dwayne Johnson untuk memanggilnya dengan sebutan-sebutan seperti dalam film. Termasuk One Direction. Imho, missed the old Baywatch series. Bercerita tentang sekelompok penjaga pantai yang dipimpin oleh Mitch Buchanon (Dwayne "The Rock" Johnson) mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar pantai tempat mereka bertugas. Suatu ketika ditemukan mayat tak wajar, dan serangkaian kasus yang ditengarai pembunuhan. Kasus-kasus tersebut semakin ditelusuri mengarah pada merebaknya peredaran narkoba disekitar wilayah pantai. Salah satu yang diduga sebagai biang keladinya adalah pemilik bar baru. Para penjaga pantai tersebut mencoba mengusut dan menyelesaikan masalah ini. Berhasilkah mereka? Disutradarai oleh Seth Gordon yang dikenal akan film-filmnya bergenre komedi seperti Four Christmases, Horrible Bosses, dan Identity Thief membuat gaya tutur Baywatch juga tak lepas dari tone penceritaan yang sama. Komedi-komedi yang terdengar konyol, dan dialog-dialog cheesy bisa kita jumpai hampir di setiap scene. Belum lagi ditambah jalan cerita yang tak jelas dengan ending yang tak masuk akal. Ah sangat disayangkan. Dwayne Johnson mencoba lepas dari bayang-bayang stereotip karakter-karakter terdahulunya dengan memainkan sebanyak mungkin genre film. Namun rasanya hal ini malah membuat Johnson tak bisa menetapkan standar tertentu dalam peran-peran yang diambilnya. Johnson sempat memukau penonton saat berperan sebagai Sheriff yang mencoba mengatasi permasalahan kota kelahirannya dalam Walking Tall, atau sebagai Body Builder yang tersangkut obat-obatan bersama Mark Wahlberg dalam Pain & Gain, atau berjibaku aksi laga dalam film Snitch. Johnson sudah memiliki basis karakter yang benar, namun sayang lagi-lagi ia salah memilih peran. Semoga kedepannya sejumlah film yang akan datang seperti film adaptasi game Rampage, atau remake film Jumanji, membuat nama dan kemampuan aktingnya makin diperhitungkan lagi. Kondisi serupa sedang dialami pula Zac Efron yang bermain dalam film ini. Jika menyebut nama Efron yang terlintas dalam pikiran kita lasti High School Musical yang melambungkan namanya beberapa tahun silam. Setelah itu meski banyak film yang dibintanginya belum ada yang benar-benar membangkitkan namanya kembali. Perannya dalam film The Lucky One sempat mendapatkan raihan positif meski filmnya sendiri dicap biasa saja. Sama halnya dengan Johnson, Efron sebenarnya punya kemampuan akting yang memukau untuk peran-peran yang lebih serius. Semoga saja ia tak salah ambil peran lagi. Overall, cerita yang terlalu nyeleneh menjadi poin utama negatif film ini. Gordon jelas tak mampu menyampaikan atmosfir serialnya yang dulu sempat terkenal. Belum lagi ditambah dialog-dialog yang cheesy dan humor yang terlalu dipaksakan menambah lengkap bagaimana buruknya adaptasi ini. secara keseluruhan, nilai 4 harus saya sematkan untuk penilaian kali ini. Terrible. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Cek Toko Sebelah Johan: Lu masih perjaka? Erwin: Enggak. Johan: Ah. Elu ngapain aja klo pacaran sama Natalie? Main Monopoli? Erwin: Enggak. Fyi, Cek Toko Sebelah milik Ernest Prakasa tayang hampir bersamaan dengan Hangout milik Raditya Dika. Keduanya sering dianggap rivalitas kuat dalam sebagai Komika yang rajin menelurkan film. Uniknya pasangan Giselle dan Gading Marten terlibat dalam kedua film tersebut, Giselle untuk Cek Toko Sebelah, dan Gading untuk Hangout. Gading juga sempat tampil pada bagian Bloopers saat credit title di akhir film Cek Toko Sebelah. Imho, Ernest menyuguhkan permasalahan keluarga yang lazim ada, disuguhkan dengan konflik yang tidak terlalu berat namun meninggalkan kesan mendalam. Koh Afuk, diperankan Chew Kin Wah (Interchange), harus dihadapkan pada masalah pelik mengenai kesehatannya yang kian memburuk. Ia diharuskan menunjuk salah satu anaknya sebagai penerus pemegang usaha toko kelontong keluarganya. Anak pertama koh Afuk, Johan, diperankan Dion Wiyoko (Sundul Gan the Story of Kaskus), memberanikan diri untuk mengelola toko tersebut namun Koh Afuk tak setuju. Ia menganggap Johan tidak akan mampu mengurusnya. Ia lebih mempercayakan pada anak bungsunya, Erwin, diperankan Ernest. Awalnya Erwin menyutujui hanya sampai waktu tertentu sampai promosi kerjanya ke luar negeri di setujui. Keadaan makin runyam saat Erwin meninggalkan Toko, sedang Koh Afuk tetap tak bs mempercayakan toko pada Johan. Bagaimana nasib toko kelontong keluarga Koh Afuk? Ernest menjadi orang penting dalam film ini. Ia berdiri sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor di film ini. Ceritanya sendiri terinspirasi dari toko kelontong milik ayah Ernest. Ini menjadi sebuah poin penting dikarenakan lewat kedekatan pada topik masalah Ernest mampu menghadirkan konflik-konflik yang sebenarnya sederhana namun menjadi cukup mendalam, dan tak jarang mengocok perut kita dengan bagian-bagian komedi nya. Ernest meramu cerita ini dengan lebih dari 60% komedi di film ini dan menyisahkan hampir sedikit untuk lebih serius dalam menghadapi permasalahan yang ada. Hampir 50-60% dari keseluruhan diisi dialog-dialog yang mengocok perut penonton. Hal ini juga dikarenakan jajaran para pemain pendukung yang diisi seluruhnya Komika atau para stand up comedian. Humor yang segar ditambah wajah-wajah baru membuat bagian ini tak terasa membosankan. Permasalahan yang lebih serius malah di fokuskan di paruh akhir film saja. Pun begitu tak mengurangi poin utama film. Lebih terfokus dan Ernest mampu menjejali pikiran penonton lebih dalam saat di penghujung film. Sehingga diharapkan nilai-nilai positif dari cerita bisa tetap membekas hingga penonton meninggalkan ruang Bioskop. Chew Kin Wah salah satu aktor senior Malaysia ini dilibatkan sebagai tokoh utama film. Ia dikenal lewat penampilannya yang memukau di film Interchange dan My Stupid Boss. Chew mampu menampilkan dengan sangat lugas karakter Koh Afuk yang terasa Tionghoa Indonesia kental lengkap dengan dialek Tionghoa ibukotanya. Overall, film ini tak hanya mengumbar sisi komedik dari cerita dan filmnya yang bertabur para komika-komika nasional, meski Dion Wiyoko tak cukup humoris sepertinya di film ini, namun juga nilai-nilai penting terkait persaudaraan, keluarga, percintaan dan kerelaan dalam mengutamakan keluarga ketimbang pekerjaan. Jangan lewatkan pula banyaknya parodi-parodi nama merk-merk ternama yang diplesetkan dan terletak hampir di seluruh sisi toko Koh Afuk. Lumayan menjadi easter egg tersendiri. Secara keseluruhan baik ramuan cerita, komposisi pemain, dan sisi humor yang segar, nilai 7 layak disematkan. Menghibur. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
The Mummy  Dr. Henry Jekyll: We recognize, examine, contain, destroy. Fyi, Untuk Scene Zero Gravity pengambilan gambar dilakukan dalam 64 kali pengambilan gambar dan memakan waktu 2 hari penerbangan. Selama berlangsungnya pengambilan gambar hampir seluruh kru mengalami gangguan kesehatan, muntah-muntah, pusing-pusing dan lainnya. Berbeda dengan kru-kru, aktor utama mereka Tom Cruise dan Annabelle Wallis malah sehat dan terpukau dengan konsep pengambilan gambar mereka yang realistis. Imho, i still love 'Rick O'Connell and Evelyn' duet, funny, loveable, and quite thrilling than this boring reboot. Nicholas Morton (Tom Cruise) dan partnernya Chris Vail (Jake Johnson) serta arkeolog Jenny Halsey (Annabelle Wallis) menemukan sebuah ruang rahasia di bawah tanah sebuah desa kecil di timur tengah. Ketiganya berhasil menarik keluar sebuah peti yang berisi mumi bangsawan mesir dan membawanya ke London. Saat di dalam pesawat mumi tersebut hidup dan seketika membuat kekacauan dan menyebabkan pesawat jatuh. Berhasil selamat dari peristiwa jatuhnya pesawat Nick dan Jenny berusaha menyikap tabir misteri ini. Film yang diproduseri Roberto Orci yang terkenal lewat Star Trek Reboot Trilogi membawa kembali saga The Mummy yang sempat populer di akhir tahun 90an. Trilogi The Mummy sebelumnya memang mendapatkan respon positif dari kalangan penonton meski filmnya terbilang tak begitu wah, namun duet maut Brendan Fraser dan Rachel Weisz muda kala itu sukses memikat hati semua orang, ditambah sense humor yang sangat menggelitik sepanjang film. Demi mengulang sukses Orci melibatkan teman sesama produser Star Trek Alex Kurtzman untuk duduk sebagai Sutradara dalam film ini. Sejauh ini Kurtzman memang tak punya rekam jejak penyutradaraan yang wahid. Hanya 2 episode dari 2 serial tv yang berbeda dan 1 film drama berjudul People Like Us yang juga dibintangi Cris Pine (Star Trek) dan Elizabeth Banks (Power Rangers reboot), ada dalam daftar filmografi yang disutradarainya. Ini lah mungkin awal permasalahan jebloknya hasil akhir The Mummy reboot. Saat pertama kali bergulir, saya cukup impresif dengan di pilihnya Tom Cruise sebagai aktor utama. Bukan lantaran saya fans setia Cruise, namun ini artinya Cruise keluar dari genre yang selama ini dibawakannya. Cruise selalu identik dengan genre Action Spionase, atau Sci-fi, sementara Action Thriller belum pernah ada dalam daftar filmnya. Hal ini bisa menjadi sebuah terobosan yang positif. Namun ternyata hal ini tak berbanding lurus. Cruise tak bisa leluasa memainkan perannya. Hal ini juga dikarenakan konsep cerita yang membuat karakternya fibuat seakan akan mengalir begitu saja terhadap jalannya cerita tanpa memberikan Cruise mengeksplorasi kedekatan karakter dengan ceritanya. Selain Cruise masih ada Sofia Boutella sebagai Putri Ahmanet atau The Mummy. Jika menyebut nama Boutella dan kaitannya dengan film ini dan Orci serta Kurtzman dan anda sedikit heran, anda tidak sendirian. Beberapa penonton juga akan mendapati nuansa 'nepotisme', hal ini karena Orci dan Kurtzman lebih dulu terlibat dengan Boutella dalam Star Trek Beyond. Namun berbeda dengan penampilannya di Star Trek Beyond, Boutella di The Mummy tak bisa menghadirkan kengerian yang ingin dicapai ke penonton. Alih-alih mengedepankan tensi film yang lebih serius dan kehancuran yang jauh lebih masif, karakter Boutella seperti ogah-ogahan dalam membangun kondisi ini. Jelas tak ada kengerian seperti Imhotep yang tampil botak, normal humanform, tapi agak sadis di saat bersamaan. Jelas karakter-karakter di film ini terasa tak 'match', terutama Docter Jekyll yang seakan akan hanya sebagai penghubung cerita ini ke film selanjutnya yang berhubungan langsung dengan Dr. Jekyl and Hyde. Komposisi cerita pun rasanya agak terburu-buru, mengabur, dan tak konsisten. Menyuguhkan premise yang sama dengan saga The Mummy sebelum-sebelumnya soal kecerobohan menggali kuburan Mummy Mesir, cerita kali ini terasa begitu saja. Tak ada unsur mesir selain nama Mummy itu sendiri. Sebuah miskonsepsi yang membuat penonton tak menyadarinya. Selain itu aksi laga dan sense humor juga terkesan sekenanya. Overall, sejak bergulirnya proyek ini yang muncul di benak saya adalah Urgensi apa sampai akhirnya reboot The Mummy ini dilaksakan. Memang dari 3 film The Mummy sebelumnya, seri ketiga The Mummy Tomb of the Dragon Emperor yang paling jeblok, namun hal itu tak harusnya jadi alasan utama. Sampai akhirnya berita mengenai sharing universe yang kemudian dinamai Dark Universe yang melibatkan karakter-karakter dunia gelap akan dihubungkan. Sharing Universe menjadi alasan utama sampai akhirnya reboot dilaksanakan. Namun sebagai film awal saga besar, The Mummy reboot ini jelas tak menyuguhkan fondasi cerita besar yang mumpuni. Karakter yang sekenanya, cerita yang tak kuat dan bias, membuat film terasa hambar dan tak membekas. Muncul skeptis akan sekuel selanjutnya dari film ini. 4,5 untuk film ini. Terasa sekali menyianyiakan potensi besar Tom Cruise dan Russel Crowe. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Death Note (Netflix 2017 Version) Ryuk: Every human spends the last moments of his life in the shadow of a death god. Fyi, saat masa Post Production, kantor ph Netflix dibobol maling. Sejumlah barang turut raib digondol maling. Salah satunya Flash Drive yang berisi hasil-hasil VFX atau Visual Effect untuk film ini hilang. Kejadian ini memunculkan guyonan dikalangan pecinta saga ini, bahkan ada yang berceletuk “Who dumba*s put the VFX in Flash Drive like usb stick.” Imho, Netflix, you ruined one of the best Psychothriller saga into a crap! Light Turner seorang remaja tanggung SMA tiba-tiba menemukan sebuah buku hitam misterius saat sedang menikmati istirahat siangnya. Buku bertuliskan Death Note itu jatuh dari langit dan mendarat tepat disampingnya. Saat sedang membaca isinya, ia terkejut ada sesosok misterius yang mengatasnamakan dirinya Ryuk sebagai pemilik utama buku tersebut. Ryuk mengatakan siapa saja yang namanya di buku itu, akan mati. Sesaat Light takut namun provokasi Ryuk membuat Light mencoba menuliskan sebuah nama di buku tersebut. Dan saat itulah kekacauan ini dimulai. Netflix sebagai pemegang hak untuk adaptasi film dari Manga berjudul sama ini awalnya digadang-gadang akan menghasilkan sebuah sajian yang jauh melampaui ekspektasi, dan cibiran skeptis para penikmat saga orisinilnya. Namun semua komen negatif tersebut terbukti benar. Adam Wingard, sutradara V/H/S dan Blair Witch diserahi tugas untuk mengkomandoi Film Televisi atau FTV Netflix ini. Berbekal 2 seri V/H/S dan sejumlah judul film Horor Wingard dipercaya dapat menghidupkan saga psikotriler ini. Namun arahannya terbukti tak menghasilkan sebuah franchise bagus. Cerita kali ini memang awalnya diarahkan untuk lebih orisinil ketimbang merombaknya menjadi sebuah cerita baru. Namun entah kenapa ceritanya terasa bias. Disatu bagian pada perempat awal cerita kisah orisinil disuguhkan guna mendekatkan penonton dengan saga ini. Terasa familiar meski ada perubahan sedikit diberbagai karakter awal, seperti dihilangkannya sosok ibu dan adik perempuan tokoh utama yang sebenarnya mempunyai pengaruh pada karakter utama. Namun setelah itu cerita dibuat di rombak total. Acak-acakan. Alur cerita dibiarkan berantakan lengkap dengan karakter yang sekenanya yang malah tak meninggalkan bekas apa-apa. Saga yang terkenal sebagai sebuah saga yang mengusung psikotriler terbaik, hancur sudah. Meski menyuguhkan ending yang baru dan sedikit menarik untuk dikaji ulang, ftv ini sudah benar-benar tak berbentuk lagi (dalam pengertian yang negatif). Natt Wolff yang didapuk memegang karakter Light atau dalam versi Jepang bernama Raito, tak bisa berbuat lebih untuk menghilangkan cibiran fans setia. Karakter Light/Raito yang dingin, lihai memanipulasi psikologis, kuat, ruthless kini berubah menjadi anak SMA pengecut, lemah, cengeng dan berteriak seperti perempuan ditangan Wolff. Akting Wolff juga terbilang seperti aktor drama pentas sekolahan dimana berbagai scene ia terlihat datar dan tak mampu mengatasi perubahan atmosfir peristiwa dan setting. selain Wolff masih ada Lakeith Stanfield yang berperan sebagai L dalam ftv ini. Sama halnya seperti Wolff dan Light nya Stanfield dan L nya menjelma menjadi sebuah karakter yang tak bisa diandalkan dalam pergumulan cerita ini. Dalam saga aslinya L adalah sebuah karakter misterius, tak mengedepankan emosi gegabah, pintar menyusun rencana, dan bahkan menjadi lawan seimbang bagi Light/Raito di hampir setengah total cerita. L menjadi sebuah manifestasi perlawanan terhadap sikap Light/Raito dengan “Kira” nya. Namun di film ini, ah lupakan itu semua, L tampil cengeng dan mengedepankan emosi sesaat tanpa berpikir panjang bahkan termakan dendam akibat terbunuhnya Watari. Selain kedua karakter tadi masih ada beberapa karakter janggal yang makin membuat film ini terasa sangat-sangat tidak sepadan untuk ditonton. Poin positif akan karakter malah terdapat pada Willem Dafoe yang mengisi suara Ryuk. Dafoe berhasil menyuguhkan kengerian tersendiri, dengan tone suara ‘green goblin’ nya. Tone suara Dafoe serupa dengan tone cerita yang digambarkan gelap dan misterius. Ya suara Dafoe menjadi sebuah nilai positif, but that’s it, no more. Overall, awalnya saya sempat berharap nama besar Netflix akan mengubah saga ini ke bentuk yang lebih menarik ketimbang membanding-bandingkannya dengan versi aslinya. Namun saya salah. Film ini tak ubahnya film gore dimana korban dibiarkan tercabik-cabik atau mati mengenaskan hanya untuk meninggalkan decak kagum dan kengerian kepada penonton. Padahal dalam saga Death Note, kebanyakan korban malah dibuat mati serangan jantung namun dengan skema cerita yang lebih ciamik ketimbang ditabrak armored truck sampai tercabik-cabik. Tak ada nilai positif dalam keseluruhan film ini cerita yang amburadul, karakter yang tak kuat dan terkesan lemah, akting sekenanya, skema permasalahan yang jauh dari kata psikotriler, sampai eksekusi akhir yang biasa saja menjadi poin permasalahannya. Selain suara Dafoe yang lumayan bikin merinding. Nilai 3 layak disematkan untuk ftv Netflix satu ini. Netflix… Netflix, i’ve put so much expectation on you… pfft. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Dunkirk Mr. Dawson: Men my age dictate this war. Why should we be allowed to send our children to fight it? Fyi, Dunkirk dibuat dengan menggunakan kamera dengan format 70mm yang mana lazimnya film layar lebar menggunakan format kamera 35mm. Format 70mm ini menghasilkan sebuah format gambar yang lebih tajam, lebih luas dan lebih detail. Hasil perekaman yang masuk ke dalam film terproyeksi 2 gambar, kanan dan kiri dalam format 60mm (dalam format 35mm terproyeksi 4 gambar). Sedang sisa ruangnya yakni 10mm di isi untuk hasil suara yang terekam lebih presisi dan lebih luas, di kanan dan kiri sisi luar film. Hal ini menghasilkan suara yang lebih jernih dan lebih kaya dibanding format 35mm yang hasil rekam suaranya tidak dipisah dari hasil gambarnya. Beberapa film yang menggunakan format kamera widescreen 70mm adalah Hateful Eight karya Quentin Tarantino, sedang The Dark Knight dan The Dark Knight Rises yang juga karya Chris Nolan memadukan 70mm dan 35mm. Mengapa format 70mm jarang digunakan sineas dunia hal itu dikarenakan pengadaan kamera dan penyediaan bahan film hasil kamera 70mm terbilang sangat mahal (sebagian bahkan mengatakan biayanya 3x lebih mahal dibanding film 35mm). Imho, The only enemy in here is TIME. One of Chris Nolan's film that i love. Awesome. Perang Dunia ke-2 dibuka dengan titik krusialnya. Para prajurit sekutu yang terdiri dari prajurit tentara Inggris, Perancis dan beberapa negara lainnya yang jumlahnya lebih dari 400.000 jiwa, harus dibuat mundur dari medan perang setelah tentara Nazi menguasai seluruh kawasan. Tentara sekutu hanya punya 1 wilayah tersisa yaitu Dunkirk. Kota Dunkirk pun sudah dianggap tidak aman sampai akhirnya semua tentara sekutu harus ditarik mundur dari kawasan itu. Evakuasi besar-besaran. Sebuah keadaan mengerikan dimana para prajurit tersebut harus berpacu dengan waktu, berhasil mundur evakuasi keluar dari Dunkirk atau tergerus oleh strategi Blitzkrieg Nazi di pantai Dunkirk. Film ini adalah film besutan sineas handal Christopher Nolan yang terkenal lewat banyak karyanya seperti Batman Trilogy The Dark Knight, Interstellar, Inception dan masih banyak lagi. Nolan termasuk sineas paling jeli dalam meramu semua filmnya, mulai dari komposisi cerita, karakter, alur cerita hingga elemen-elemen lainnya. Walaupun terbilang 'rumit' film karya Nolan bukan film kelas menengah atau gampangan, film karya Nolan selalu dianggap sebagai film dengan sentuhan artistik yang luar biasa. Dunkirk adalah manifestasi idealisme Nolan. Seperti halnya Inception yang mengetengahkan konsep rumit bernama Mimpi, dan Batman The Dark Knight Trilogy yang mengetengahkan konsep heroisme dengan sudut pandang yang lebih realis, atau Interstellar yang mengetengahkan konsep Sci-fi dibalut dengan mimpi-mimpi utopis, Dunkirk tampil dengan konsepnya sendiri, Perang dan Ketakutan akan keadaan. Namun demi melengkapi itu semua 'Waktu' ditambahkan dalam formulanya yang kemudian menghasilkan sebuah penceritaan yang lain dari yang lain. Nolan meramu film perangnya ini menjadi 3 babak, The Mole yang mewakili Darat, The Sea yang mewakili Laut, dan The Air yang mewakili Udara. Uniknya ketiganya memiliki timeline yang berbeda yang bermuara pada satu garis waktu utama yang saling bertautan. The Mole yang bercerita tentang upaya para tentara di pesisir pantai Dunkirk untuk mengevakuasi diri dari medan pertempuran mengambil waktu "1 Minggu" sebelum Present Time. Sedang The Sea bercerita tentang upaya penyelamatan tentara yang terjebak di Dunkirk dengan menggunakan Kapal Perahu Sipil mengambil waktu "1 Hari" sebelum Present Time, dan yang terakhir The Air. The Air mengambil waktu "1 Jam" sebelum Present Time yang menceritakan kelompok pesawat Spitfire milik Sekutu yang bertempur dengan armada udara Nazi di langit English Channel demi agar bisa memberikan perlindungan untuk tentara sekutu di pesisir Dunkirk. Rumit? Tidak, ini Unik. Sama seperti Memento karya Nolan yang menggunakan penceritaan garis waktu yang terbilang unik dengan menempatkan Opening dan Ending yang berjalan saling bertautan, Dunkirk lebih unik lagi kala 3 garis waktu yang berbeda berjalan bersamaan. Ketiga bagian waktu baik The Mole, The Sea dan The Air membentuk garis waktu utama yang saling bertautan, bersinggungan, bahkan saling silang sulam hal ini menarik dan tak pernah ada dalam film lain sebelumnya. Ketiga bagian di atas selain konsisten dengan waktu, juga dengan karakter. Sebuah realitas waktu yang sulit diungkapkan namun berhasil di suguhkan Nolan dengan sangat baik dan menarik. Karakter. Setiap bagian memiliki karakter utama dan permasalahannya sendiri-sendiri namun tak menghilangkan permasalahan utama yang dihadapi oleh para tokoh. The Mole yang mengupas evakuasi menghadirkan sebuah karakter yang serius, namun penuh dengan strategi. Karakter Commander Bolton yang diperankan Kenneth Branagh mewakili konsep tersebut, sementara Fionn Whitehead, Harry Styles dan kawan-kawan yang berperan sebagai tentara sekutu mewakili jalannya waktu utama bergerak. The Sea diisi karakter Mr. Dawson yang diperankan oleh Pemenang Oscar, Mark Rylance. Karakter Mr. Dawson mewakili sikap pantang menyerah dan berjiwa hiroik kala keadaan perang menunjukkan keadaan peliknya. The Sea, diisi oleh para pilot Spitfire, Farrier dan Collins yang berjibaku dengan waktu dan 'dogfighting' atau perang udara dengan pesawat Nazi. Masing-masing karakter utama pada masing-masing bagian mewakili karakter pahlawan atau keheroismean itu sendiri. Sebuah penyusunan karakter yang tak biasa. Mungkin bagi anda yang menonton film ini akan terasa tergugah dengan scoring film yang terasa memacu anda, dan memberikan dampak mencekam sepanjang awal film hingga akhir. Mulai dari detik jam yang suaranya diambil langsung dari jam milik Nolan, hingga suara partitur musik gubahan Hans Zimmer yang terasa mencekam dan terasa tak berkesudahan. Scoring diawali dengan bunyi klik pada jarum jam, atau ticking oleh Zimmer. Hal ini sebenarnya biasa dilakukan oleh komposer besar dunia. Namun yang membuat hal ini hebat karena Zimmer menerapkan sebuah Auditory Illusion bernama Shepard Tone. Musik dibuat menggulung dan tak berkesudahan padahal musik sendiri tetap konstan dan pada dasarnya tak berubah. Ini karena Zimmer menerapkan 3 partitur. Yang pertama adalah suaranya keras di awal namun mengecil di akhir. Yang kedua adalah suaranya konstan sejak awal hingga akhir dengan kuat dan lemah dibeberapa bagian sebagai bentuk dari suara yang disuguhkan. Sedang yang ketiga, suaranya mengecil sejak awal namun membesar di bagian akhir. Ketiga partitur ini jika di satukan akan menghasilkan sebuah partitur yang saling melengkapi dimana saat bagian akhir dan bagian awal menjadi bias dan terasa saling sambung menyambung. Loop suara ini kemudian yang dinamakan Shepard-Risset Glissando. Sebuah suguhan suara yang mencekam, menekan, dan mengejar yang menghasilkan sensasi pada indera pendengaran kita. Luar biasa. Overall. Nolan menyuguhkan sebuah film perang paling realistis dan mendekati kenyataan (kalau boleh saya katakan) dibanding film-film perang kebanyakan. Saving Private Ryan, Black Hawk Down, atau film perang lainnya menjadi terasa fiksi dihadapan Dunkirk meski sama-sama didasarkan pada keadaan atau cerita nyata perang tersebut. Nolan secara gamblang menyoroti waktu sebagai musuh utama di film ini. Menyelamatkan sebanyak mungkin prajurit, dan evakuasi secepat mungkin. Format 70mm rasanya menjadi format tepat untuk film ini. Gambar yang lebih hidup dan luas serta detail menyatu dengan suara yang crisply, dan intens dihidupkan secara ril oleh format 70mm. Jika Nolan menggunakan format 35mm saja keseluruhan, mungkin ia tak akan mencapai hasil maksimal ini. Garis waktu penceritaan juga menjadi sorotan utamanya, tak ada sineas di dunia yang pernah menampilkan film mereka dengan gaya penceritaan yang seperti ini. Namun 1 yang tak pernah hilang dari film-film milik Nolan adalah plot hole. Nolan menyuguhkan beberapa plot hole yang terasa sekali sejak awal film. Di awal film kita melihat Dunkirk yang digambarkan lewat warna warni bangunannya, what we should saw is a Devastated. Tak ada warna warni gedung yang tertata rapi yang ada hanya kehancuran. Di bagian akhir film pun kita masih bisa melihat plot hole dimana pesawat Spitfire milik Farrier yang diperankan Tom Hardy melayang kehabisan bahan bakar. Padahal Spitfire adalah pesawat paling hemat bahan bakar dijamannya. Pesawat itu bahkan masih bisa mengudara hingga beberapa jam kedepan dan ratusan mil lagi jika mengacu pada keadaan akhir yang dialami karakter Farrier. Namun apakah beberapa plot hole itu menyisakan lubang yang tak dapat dimaklumi sebagai penilaian akhir filmnya? Tidak. Titik utamanya bukan menyorot pada keadaan itu, namun pada ketakutan yang dialami para prajurit terhadap waktu itu sendiri, sedang Plot Hole menjadi sisi dramatis paling manis dalam film itu. Mengagumkan. Tak henti-hentinya saya mengucapkan decak kagum pada film ini. Ramuan cerita dan karakter yang luar biasa unik menghasilkan karya Masterpiece yang sulit untuk disanggah. Secara keseluruhan nilai 9,5 menjadi nilai keseluruhan untuk Dunkirk. Nyaris sempurna. Sayang untuk melewatkan film ini. Awesome. Maaf jika terlambat review dan terlalu panjang. Saya berusaha menyuguhkan hasil pengamatan secara detail dan berimbang mengapa nilai nyaris sempurna saya sematkan pada film ini dan berusaha menghindari spoiler bagi anda yang belum menontonnya. Terima kasih. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Melawan Pembajakan Film dan Musik bersama Marcella Zalianty Beberapa waktu lalu saya menghadiri perbincangan yang diselenggarakan oleh CfDS (Center for Digital Society) Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gajah Mada. Perbincangannya terbilang cukup menarik karena mengangkat tema melawan pembajakan haki yang marak di negeri kita, tak tanggung-tanggung Ketua Parfi 56 yang juga kepala bidang perlindungan haki untuk Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif Indonesia) Marcella Zalianty didatangkan sebagai narasumber. Siang itu acara mundur 1 jam dari jadwal namun venue sudah dipenuhi baik dari mass media, mahasiswa, dan dari berbagai pihak. Setelah moderator membuka acara, Marcella Zalianty langsung memaparkan materi pembahasan lengkap dengan berbagai data pendukung. Jika melihat dari permasalahan yang ada, Marcella melihat ada 2 hal pokok yang menjadi pokok masalah yaitu Ekosistem dunia perfilman, dan SDM itu sendiri. Marcella melihat lewat ekosistem yang lebih bersih dapat makin meningkatkan perkembangan film sendiri, juga SDM yang makin terampil akan memajukan dunia film. Industri perfilman Indonesia, dinilai Marcella menjadi semakin bagus kedepannya setelah Presiden Jokowi mencabut industri perfilman dari daftar investasi negatif. Hal ini dimaknai sangat baik oleh Marcella karena akan banyak investor yang masuk memajukan industri ini. Film adalah sebuah media yang menyentuh banyak sisi, kata Marcella. Film tak ubahnya hanya sebuah hiburan semata, namun juga alat diplomasi budaya, menginspirasi, mengedukasi, bahkan juga sebagai media propaganda pula namun hanya lewat film kita bisa bicara lintas benua. “Lihat apa yang terjadi pada Amerika di perang Vietnam. Mereka kalah total dan dipaksa mundur, tapi lewat film Rambo kita melihat ‘gagahnya’ Amerika pada perang tersebut”. Kembali pada permasalahan, Marcella melihat belum adanya ketegasan terhadap perlindungan Haki/Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Law enforcement yang masih kurang akan masalah tersebut, ditambah lagi masih minimnya kesadaran masyarakat akan kegiatan pembajakan tersebut yang memang melanggar undang-undang dan termasuk tindakan kejahatan. Namun saat moderator menanyakan lebih mengenai peran atau yang dilakukan Parfi dan Bekraf untuk memberikan edukasi ke masyarakat, Marcella hanya menjawab mengenai pembicaraan-pembicaraan seperti yang dilakukan. “Ya kami selalu melakukan acara pembicaraan seperti ini. Selain menyentuh masyarakat langsung kami berharap bisa diteruskan ke halayak ramai lainnya. Sedang kampanye pasti ada.” Sedikit kurang puas saya mencoba menanyakannya di sesi perbincangan yang akan saya tulis dibawah. Marcella menutup perbincangan siang hari itu dengan mengatakan. Selain ekosistem dan SDM, infrastruktur juga harus dibenahi, Bioskop yang kurang, mahalnya harga tiket, menjadi poin-poin yang harus di benahi. Investasi penting tapi jangan dikuasai oleh pemodal juga. “Jika pemodalnya Korea terus film yang diputar hanya film Korea saja, begitu juga tidak baik” tutur Marcella. Saya kemudian menemui Marcella selepas acara untuk berbincang dan menanyakan sejumlah pertanyaan. Berikut perbincangan saya, Saya (S): Marcella setelah 2011 mbak hilang begitu aja, kemana nih selama ini? Marcella Zalianty (MZ): iya nih, selain karena sudah punya anak 2, cowok-cowok, jagoan-jagoan saya stop dulu. Saya juga selesaikan program Magister saya. Baru kemudian aktif lagi di sini (Parfi dan Bekraf). Film bagi saya bukan soal kuantitas melainkan kualitas. S: kan lagi nyiapkan film baru nih, bisa cerita sedikit? MZ: iya banyak berbagai tawaran datang ke saya. Tapi saya masih memilah mana yang akan saya ambil atau tidak. Saya sih sedang mengerjakan satu project yang ini merupakan mimpi saya. Ada 1 film yang mana saya akan main 1 karakter di dalamnya ditunggu saja. S: Yang (temanya) kolosal itu? MZ: iya. Itu saya mau karena ceritanya bagus dan karakternya bagus sekali. S: bisa kasih bocoran lebih soal itu? Sutradaranya? Atau aktor pendukung lainnya? MZ: hahaha. Sutradaranya Angga (Dwimas Angga Sasongko) itu aja deh yang bisa saya sampaikan dulu takut salah. Tunggu konfrensinya dulu aja ya (tertawa). S: mbak jika tadi saya mendengar kita membahas soal melawan, melawan, dan melawan pembajakan itu sendiri. Tapi saya masih belum menangkap menyoal edukasinya. Edukasi apa sih atau program konkrit apa soal pengedukasian yang sudah Parfi atau Bekraf lakukan untuk menyentuh lini masyarakat menengah kebawah yang banyak mengkonsumsi film dan musik bajakan? MZ: pertanyaan yang bagus mas. Sebenarnya kalo menanyakan itu pembuatan program kampanye wewenangnya ada pada Bekraf, kalau Parfi kita hanya menjadi corong untuk menyuarakan masalah pembajakan lewat artis-artis kami. Sedang Bekraf yang lebih tepat untuk membuat program kampanye-kampanye terkait hal itu. Akan saya sampaikan ke Bekraf nanti perihal program untuk edukasi masyarakat terbawah. S: kembali soal penonton mbak. Kebiasaan orang nonton ke bioskop sudah bagus yang dipenuhi oleh kalangan atas. Melihat masalah itu? MZ: Justru kebalik mas. Kalangan atas masih kurang menonton film Indonesia. Justru seperti yang saya bilang tadi di dalam, kalangan Alay yang malah banyak menonton film Indonesia. Menurut survey kami kalangan atas minim apresiasinya. Mungkin sedikit sekali seperti yang kenal sama sutradaranya atau pemainnya. Belum masif. Lewat permasalahan itu Kadin dan Parfi mencoba membuat acara nobar. Itu program paling yang langsung masuk ke pokok masalah. Dan hal ini menjadi penjebatan Industri dan pengusaha juga. Begini lho industrinya sudah semakin maju. Nah penonton Alay ini adalah yang nonton film apa aja tapi ngeshare lewat bigolive atau streaming-streaming yang malah merusak nilai-nilai sakral film Indonesia. Penonton alay tidak bisa dikategorikan masyarakat level manapun karena Alay bisa siapa saja. S: terakhir dari saya mbak. Cita-cita terhadap industri perfilman dan film Indonesia kedepannya? MZ: Mau saya Bioskop tingkat kedua itu tetap ada dan berkembang jumlahnya. Tapi juga bioskop sekelas XXI juga bertambah juga. Keduanya secara infrastruktur harus ada ini yang membuat ekosistem ini jadi sehat. S: apakah program Pak Ahok tentang bioskop di pasar itu juga kemudian akan diadopsi? MZ: untuk di DKI sih saya mendorong sekali. Bahwa aset pemerintah DKI bisa menjadi microcinema itu saya mendukung sekali. Mudah-mudahan ini bisa kita dorong. Saya pernah juga nagih janji itu. Saya lewat Parfi saat itu menemui 3 cagub DKI kala itu untuk mendorong hal ini bahwa microcinema itu perlu. Dan kita akan tagih janji itu. Selain itu juga mau ada gedung pertunjukan, literasi sinema, dan sekolah film makin maju jadi akan tumbuh kesadaran akan perlindungan Haki itu sendiri. Kami berharap akan hal itu Begitulah perbincangan saya dengan Marcella Zalianty. Ia begitu ramah dan menjelaskan begitu detail lewat perbincangan saya siang itu. Bahkan meski saya telah menyudahi wawancara saya siang itu, ia masih sempat menambahkan poin-poin pernyataannya. Marcella berharap untuk melindungi Haki, law enforcement di Indonesia terkait hal tersebut dapat makin digalakkan, namun juga edukasi ke sekolah-sekolah dimulai sejak dini agar saling berjalan beriringan. Terima kasih untuk Marcella Zalianty atas waktunya untuk wawancara ditengah kesibukan dan waktu yang padat di Jogja. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Spider-Man: Homecoming Peter Parker: Spider-Man is not a party trick! Fyi, Donald Glover pemeran Aaron Davis adalah juga seorang penjahat bernama Prowler. Dalam salah satu adegan ia mengatakan ia mempunyai keponakan laki-laki. Keponakan itu adalah Miles Morales, Spider-Man kedua setelah Peter Parker. Imho, when Spidey met Batman. Charming yet complex story on shoulder of Tom Holland. Fortunately Holland succeeded play Peter Parker and his alter ego Spider-Man. Bercerita tentang anak laki-laki remaja bernama Peter Parker (Tom Holland) yang merangkap tugas sebagai seorang penumpas kejahatan bernama Spider-Man. Peter yang masih duduk dibangku sekolah menengah atas diberikan kesempatan bergabung dalam tim Avengers oleh Tony Stark. Namun Peter tak kunjung dilibatkan dalam kasus-kasus penting Avengers. Merasa tidak dianggap Peter terus saja menumpas kejahatan di kotanya sampai suatu hari ia menemukan penjahat yang bersenjatakan teknologi Alien. Peter kemudian mengusut kasus tersebut yang mengarah kepada penjualan senjata ilegal. Peter kemudian berkonfrontasi dengan seseorang yang menggunakan sayap mekanikal yang merupakan pedagang senjata tersebut. Peter mencoba melaporkan kepada Tony namun tidak kunjung digubris. Sampai akhirnya Peter harus menyelesaikan sendiri kasus tersebut. Film reboot ke-2 dari franchise Spider-Man ini di sutradarai oleh Jon Watts. Film ini mengalami perjalanan panjang untuk bisa dilibatkan dalam seri panjang saga MCU. Setelah kejadian hacking ke Sony Pictures yang merugikan Sony karena sejumlah materi film dirilis kehalayak ramai, Sony kemudian menjalin kerjasama dengan Marvel untuk membawa Spider-Man kembali ke Marvel. Meski tanpa kehadiran Symbiote (Venom dan Carnage yang hak miliknya ada pada Sony), Marvel meramu cerita dengan mengedepankan Sinister Six sebagai musuh Spider-Man. Sinister Six adalah sebuah tim musuh Spider-Man yang terdiri dari 6 orang (Dr. Octopus, Rhino, Prowler, Scorpion, dll). Mengangkat Sinister Six sebenarnya sudah menjadi agenda Sony pada seri Amazing Spider-Man lalu. Namun berhubung kejadian yang menimpa Sony, Franchise itu resmi tidak dilanjutkan. Marvel meninggalkan konsep cerita Origins Spider-Man yang sudah 2 kali diangkat oleh Sony. Lewat Jonathan Goldstein, John Francis Daley dan lain-lain, cerita diarahkan pada kisah Peter saat awal menjadi Spider-Man. Tim penulis cerita juga menyisipkan kejadian Captain America Civil War sebagai fondasi cerita yang malah memberikan fondasi yang kuat ketimbang harus mengangkat lagi kisah Origin. Lalu apakah Marvel tetap menggiring penonton agar mengerti kisah awal Spider-Man? Jawabannya, tidak. Mulai dari kisah Peter mendapatkan kekuatan, hingga kisah Uncle Ben yang sudah meninggal dunia hanya diceritakan dengan beberapa baris dalam percakapan saja. Namun hal ini tak meninggalkan lubang terbuka lebar di penceritaannya. Menarik. Selain itu demi menghadirkan cerita yang menarik, tim penulis mengangkat musuh Vulture dengan tim pemulung senjata alien nya. Sedikit melenceng dari cerita asli di komik, namun bagaimana cerita diarahkan malah memberikan kisah lain yang jauh lebih kuat, kompleks, njelimet, dan diberikan sentuhan psikologis akan Peter dalam pencarian jati dirinya sebagai seorang pahlawan super. Tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa Tom Holland adalah Spider-Man masa kini. Penonton atau fans Spider-Man jelas akan menyebut nama Tobey Maguire sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man terfavorit menurut mereka. Selain karena Tobey dianggap sangat pas memerankan tokoh Peter Parker, namun cerita Spider-Man trilogi versi Sam Raimi memang dekat dengan cerita di komik sehingga para fans setia dengan mudah mencintai versi itu. Namun bagi sebagian penonton, versi Sam Raimi terbilang terlalu gelap, down, bahkan terlalu depresi. Berbeda dengan seri tersebut, cerita kali ini lebih hidup, Tom Holland berhasil menghidupkan karakter Peter yang 'unik' dan baru. Jika Tobey memerankan karakter Peter yang terlalu serius, dan Andrew Garfield memerankan Peter yang mencoba lucu, Holland berhasil memerankan karakter Peter yang murni anak SMA, keluguan, kenakalan, serta ke'tengil'an khas anak remaja berhasil dihidupkan Holland. Paras wajahnya yang masih terlihat seperti anak umur 15 turut mendukung hidupnya karakter tersebut. Sesuatu sisi Peter Parker yang layak untuk diapresiasi. Selain itu ada nominator Oscar Michael Keaton yang berperan sebagai Adrian Toomes atau Vulture. Keaton mungkin tak kesulitan sama sekali memerankan karakter ini selain kemampuan aktingnya yang sudah tidak diragukan lagi, ia juga pernah memainkan tokoh superhero sebanyak 2 kali, yakni 2 film Batman besutan Tim Burton dan mantan pemeran tokoh pahlawan super Birdman di Birdman (The Unexpected Virtue of Ignorance). Hal ini membuat chemistry Keaton akan film Superhero tak sulit. Karakter Adrian Toomes ditampilkan Keaton dengan keras dan bengis tanpa ampun di dalam tapi terlihat lembut di luar pada saat yang bersamaan. Selain keduanya, masih ada pemeran Oscar Marisa Tomei yang berperan sebagai Aunt May. Sayang porsi Tomei di film ini tak terlalu banyak. Overall, saya terpukau dengan cerita yang tim penulis sajikan dalam film ini. Film ini menjadi tak ubahnya 'rite of passage' Peter Parker untuk menjadi seorang Superhero, lengkap dengan kerumitannya. Selain itu meninggalkan konsep Origins namun masih menyisipkan keterangannya dalam 1-2 baris kalimat di sela-sela dialog antar karakternya menjadi sesuatu yang menarik. Bahkan tanpa di jelaskan sekalipun penonton masih akan mampu mencerna filmnya dengan baik, namun ditambahkannya keterangan itu menjadi menyempurnakan lubang-lubang kecil di bagian ceritanya. Selanjutnya adalah Spider Sense. Entah apa maksud Jon Watts tidak memasukkan Spider Sense di film ini. Namun saya memberikan apresiasi terhadap keputusan itu, hal ini karena Spider Sense yang jadi khas milik Spider-Man selalu digambarkan dengan sangat monoton dan begitu-begitu saja. Menampilkan semuanya secara spontan malah membuat film menjadi lebih memiliki ritmenya. Yang terakhir adalah Tom Holland itu sendiri. Holland lewat kemampuan gymnastic nya menambah realitas karakter Peter Parker itu sendiri. Ia juga menguasai karakter Peter Parker dan menampilkannya dengan khas miliknya, sebuah penggambaran karakter yang familiar menjadi baru. Secara keseluruhan nilai positif di atas membuat film ini menjadi film Spider-Man favorit saya. Mungkin tidak akan mendapatkan nominasi Oscar seperti trilogi versi Sam Raimi yang juga kuat dalam sisi penceritaannya, namun film ini terasa segar dan sangat menghibur. Akhir kata, nilai 8 rasanya layak disematkan pada Spider-Man versi Tom Holland, dan saya berterima kasih pada Marvel sudah menanggalkan 'The Great Power Comes The Great Responsibility' sh*t, we're done with that concept. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Life Rory Adams: Control, if you're listening, and you probably are 'cause you're creepy that way, can I just rant for a second about the micromanagement? We're not blood-filled meat puppets. I come from a long line of plumbers that can fix a shower, but I can't. Well, Hugh doesn't shower anyway - he's British. It's not being critical, you're just a very under-bathed nation; everybody knows it. Fyi, Ryan Reynolds awalnya didapuk sebagai pemeran utama. Namun ia harus mengambil peran pendukung lantaran jadwal syuting yang bentrok dengan The Hitman's Bodyguard yang ia lakoni pula. Namun begitu ia dikabarkan tetap mendapatkan bayaran paling tinggi dibanding aktor-aktor lainnya. Imho, a new taste of alien film with a lot of elements of "Alien". Sekelompok Kosmonot peneliti yang berbasis di stasiun antariksa dekat Mars sedang melakukan penelitian mengenai kehidupan di Mars sebagai program Mars sebagai planet kehidupan setelah bumi. Berbekal tanah yang diambil dari permukaan Mars, kelompok ilmuwan tersebut berusaha memecahkan misteri kehidupan Mars. Mereka akhirnya berhasil menemukan organisme baru yang dapat menjelaskan semuannya. Namun keadaan menjadi pelik saat Organisme tersebut berusaha menyerang mereka. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Film besutan Daniel Espinosa ini mengadopsi sejumlah elemen dari berbagai film namun yang utama adalah franchise Alien. Espinosa memang tidak terlalu dianggap berpengaruh, 2 film terakhirnya yaitu Safe House (diperankan Denzel Washington dan Ryan Reynolds) dan Child 44 ( diperankan oleh Tom Hardy, Gary Oldman dan Noomi Rapece) mendapat respon yang kurang. Pun begitu Espinosa memiliki gaya tutur penyutradaraan yang cukup khas. Film ini ceritanya ditulis oleh Rhett Resse dan Paul Wernick yang juga duduk sebagai penulis cerita dan produser film superhero nyeleneh Deadpool. Rebecca Ferguson yang mencuri perhatian publik sejak penampilannya sebagai Elsa Faust di film Mission Impossible jelas menjadi visual di film ini. Aktingnya begitu segar, dan terasa hidup, walau sesekali datar. Karakter Rebecca mengingatkan kita pada karakter Ripley di franchise Alien. Rebecca Ferguson kembali dipastikan akan hadir dalam seri terbaru Franchise Mission Impossible yang masih belum memiliki judul resmi. Selain Ferguson ada Jake Gyllenhaal yang memerankan pemeran utama pria. Karakternya sedikit dingin, datar, dan menjadi pembangun tensi ketegangan film. Gyllenhaal, makin dikenal publik lewat perannya sebagai Prince Dastan dalam film Primce of Persia. Meski mendapat respon yang tak buruk kala itu, film ini tak mendapatkan seri lanjutan sejalan dengan Ubisoft sebagai pemegang hak atas karakter dan judul filmnya yang diangkat dari video game berjudul sama yang lebih fokus pada Assassin's Creed. Assassin's Creed juga telah diangkat ke layar lebar namun tak mampu menghindar dari gempuran respon negatif bahkan nilai buruk di semua portal database film. Karakter ke-3 diperankan oleh Ryan Reynolds. Reynolds sudah lebih dulu bekerja sama dengan Espinosa lewat Safe House, ia juga memerankan pahlawan DC Deadpool yang diproduseri Wernick dan ceritanya ditulis oleh Resse. Karakter yang diperankannya mengimbangi kedua karakter diatas lewat sikap nyeleneh, celoteh tak berkesudahan, dan bahasa-bahasa satir. Memberikannya kepada Reynolds seperti memberikan mainan kepada bayi. Sayang karena jadwal yang bentrok porsi Reynolds di film ini hanya sampai seperempat awal film saja. Menilik cerita, film ini sebenarnya mempunyai potensi cukup besar dan franchise nya diperluas lagi. Ini karena sejauh ini film bertema alien tak banyak yang mengadopsi elemen seperti dalam film Life. Sebut saja Alien Convenant yang mengusung tema yang sama, namun setting yang dianggap membatasi membuat Franchise Alien terbaru kurang mendapat respon membangun, meski diwarnai dengan respon beragam dari para penonton dan sejumlah pihak. Sementara itu Arrival yang sempat mengundang decak kagum tahun lalu lewat gaya penceritaan yang sangat menarik rasanya tak mungkin diperluas lagi. Life berhasil menjadi jawaban akan lesunya kemajuan tersebut. Tapi apakah Life berpotensi sejauh itu? Melirik cerita, konsep isolasi gaya Gravity yang di adopsi Life sebenarnya bisa menjadi poin utama. Banyak pokok elemen pendukung yang membuat ceritanya lebih jauh menggigit. Namun sayangnya Life terasa sangat mendatar, membosankan bahkan hingga pertengahan film. Fase-fase awal yang bisa dijadikan momen untuk penonton semakin masuk jauh ke dalam cerita malah dituturkan dengan sangat datar sekali, bahkan scoring tak mampu membantu mengangkat atmosfir mencekam yang coba dibangun Espinosa. Belum cukup sampai di situ. Semua menjadi semakin terasa hambar kala kita bahkan bisa menebak akhir cerita yang terasa sangat familiar, ada planning dan hasil yang di luar prediksi. Sejak itu Life telah diakhiri begitu saja. Sayang. Overall, Life memiliki potensi yang lumayan dibanding film kebanyakan saat ini, bahkan wujud alien nya jauh dari wujud alien yang familiar saat ini dengan mengusung konsep Anthropomorphic mereka. Sayangnya hal itu tak dibarengi dengan cerita yang mumpuni. Berbagai elemen dan pendukung-pendukung film tak mampu membangkitkan film ini ke titik yang lebih baik. Semakin memburuk dengan eksekusi akhir cerita yang sekenanya, mudah ketebak, dan 'biasa banget'. Akhir kata, rasanya nilai 6 sudah sangat mewakili keseluruhan film. Namun saya mengapresiasi 3 karakter utama film ini yang memberikan keseimbangan sepanjang film. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes
nikkolassaputra · 7 years
Photo
Tumblr media
Beauty and the Beast Belle: What are you reading? Beast: Nothing. Belle: "Guinevere and Lancelot." Beast: Well, actually..."King Arthur and the Round Table." Knights, and men, and swords and things... Belle: Still... It's a romance. Beast: Alright... Fyi, saat bergulirnya penggodokan naskah cerita, Daniel Radcliffe awalnya diprediksi tepat untuk memerankan tokoh Beast. Namun akhirnya keputusan tersebut dibatalkan. Awalnya alasannya adalah Radcliffe tidak cukup tinggi. Namun jika diperhatikan jika Radcliffe menggunakan penyangga tinggi sama seperti Dan Stevens, yang kemudian memerankan Beast, tinggi mereka hanya terpaut beberapa centimeter saja. Namun alasan tepat untuk menganulir gagalnya Radcliffe mendapatkan peran tersebut karena Radcliffe dinilai terlihat tak terlalu garang. Ryan Gossling kemudian didapuk untuk karakter Beast, namun kemudian ia menolak dan malah fokus untuk film La La Land. Sedangkan Emma Watson yang tadinya didapuk untuk peran utama wanita di film La La Land malah menolak dan fokus untuk film ini. Imho, not much beauty as the animation version. But still, it show the true love of Beauty and the Beast. Seorang gadis bernama Belle hidup dan tinggal bersama ayahnya. Karena didikan ayahnya, Maurice, yang seorang thinker/penemu, Belle menjadi seorang yang gemar membaca. Suatu ketika ayahnya pergi hendak mengantarkan barang penemuannya. Namun di jalan ia di serang kawanan serigala, sampai akhirnya ia harus bermalam di sebuah kastil tua guna menyelamatkan diri. Akan tetapi Maurice malah mendapati kastil itu penuh dengan barang mistis yang hidup dan kemudian lari dari tempat itu. Saat hendak pulang ia memetik mawar untuk oleh-oleh Belle namun ia diserang seorang berbentuk binatang buas dan menawannya. Berbekal kuda yang kembali pulang tanpa Maurice, Belle menyusul dan mendapati kenyataan bahwa ayahnya ditahan oleh seorang buruk rupa. Belle kemudian menawarkan diri menggantikan ayahnya. Sementara itu si buruk rupa tanpa sadar menaruh harapan pada Belle, agar ia bisa berubah kembali ke wujud normal. Film yang diadaptasi dari animasi Disney ini masih mengusung tema serupa seperti animasinya. Usungan utama sebagai film musikal tetap menjadi fondasi utama film. Demi keabsahan film, Bill Condon yang didapuk sebagai sutradara, tetap menggunakan akar cerita yang sama dengan animasinya namun menambahkan beberapa karakter pendukung guna meluaskan dasar cerita. Karakter-karakter tambahan seperti Master Cadenza, Madam Garderobe (didasarkan pada karakter Wardrobe), Plumette, dan warga-warga desa lainnya. Namun meski dibuat serealistis mungkin, usungan konsep 'Enchanted' yang memang lekat dengan dongeng Beauty and the Beast dan sesuai dengan animasinya tak lantas hilang. Untuk memerankan tokoh Belle sendiri, Condon menyerahkan pada Emma Watson, aktris muda Inggris yang dikenal lewat penampilannya sebagai Hermione dalam saga Harry Potter. Sedang karakter Beast diserahkan pada Dan Stevens, aktor muda yang dikenal lewat penampilannya di serial Downtown Abbey, dan sejumlah judul film. Stevens juga merupakan main actor dalam film berjudul Apostle (tayang 2018) garapan Gareth Evans sutradara duology The Raid dan Merantau. Selain keduanya masih ada Ewan McGregor, Sir Ian McKellen, Kevin Kline, Emma Thompson dan Stanley Tucci. Emma Watson rasanya perlu diberi acungan jempol karena peningkatan kualitas akting dengan mengambil peran ini. Terlihat sekali bagaimana sesi musikal miliknya terdengar masih segar dan masih patut mendapatkan jam terbang yang tinggi. Pun begitu Watson juga menampilkan akting yang memukau di film ini. Image Belle yang lekat sekali seperti pada animasinya, dapat ia munculkan sehingga para penonton mendapatkan gambaran bahwa Belle berarti Watson. Cukup berhasil. Sedang Dan Stevens, pada sesi cgi saat memerankan Beast ia tak terlihat canggung. Cukup natural dan tidak kikuk, meski beberapa kali ekspresinya terlihat datar. Namun yang membuat saya sedikit terganggu adalah kala ia harus berakting setelah berubah menjadi normal, ia terlihat sedikit berlebihan. Namun ucapan apresiatif rasanya harus kita sematkan pada trio McGregor, McKellen dan Thompson yang 'memandu' kita sepanjang film lewat penampilannya yang khas meski hanya saat mengisi suara saja. Kecenderungan Disney mengeluarkan film animasi bertema kerajaan, enchanted, atau Princess rasanya sudah mulai ditinggalkan atau setidaknya dikurangi. Meski Princess terakhir Disney Elsa dan Moana memiliki raihan yang masih terbilang fantastis. Disney mulai memikirkan cara lain membawa konsep lama mereka di era sekarang agar mudah diterima. Konsep Live Action kemudian dibidik. Setelah Maleficent yang diambil dari animasi Sleeping Beauty, dan Cinderella yang diambil dari animasi berjudul sama, kini Disney mengangkat tema Beauty and the Beast. Live action menjadi konsep yang tepat dewasa ini, selain karena teknologi semakin jauh berkembang akan tetapi adanya pergeseran minat menonton pada masyarakat. Penggabungan konsep animasi dan tema semacam kerajaan dan Princess kini hanya menyentuh kalangan anak-anak saja, paling jauh remaja tidak lebih. Padahal kalau kita lihat animasi Beauty and the Beast tayang 1991 kala itu dinikmati hampir semua kalangan baik tua maupun muda. Bahkan ia berhasil menyabet 2 piala Oscar sekaligus (Original Soundtrack terbaik dan Scoring terbaik). Pergeseran itu yang kemudian membuat Disney harus merubah konsep film mereka yang tadinya animasi menjadi Live Action. Tahun 2018 mendatang Disney sudah menyiapkan 2 judul film live action based on fairy tale story milik mereka. 1 judul belum diberitahukan ke publik, namun Mulan sudah akan siap rilis di penghujung tahun 2018 mendatang. Uniknya setiap Live action based fairy tale/cerita kerajaan/Princess mereka memiliki keunikan cerita masing-masing. Jika Maleficent lebih menitik beratkan pada makna cerita, dan Cinderella pada konsep enchanted namun lebih realistis, Beauty and the Beast setia pada konsep musikalnya dan tak berubah. Sedangkan Mulan yang akan rilis mendatang tak mengusung tema seperti musikal dan enchanted melainkan Kolosal. Tak bisa dibayangkan bagaimana Mulan dengan konsep kolosal bisa tercapai. Seperti memadukan cerita keputri-putrian, dan sisi feminisnya dengan Pirates of the Carribean. Mungkin akan seperti itu. Kita tunggu saja. Overall, kembali ke Beauty and the Beast. Beauty and the Beast merupakan salah satu cerita klasik Disney yang mengusung tema True Love bahkan dibandingkan dengan kisah lainnya. Bagi anak-anak ini tak ubahnya putri mencintai seorang buruk rupa, namun bagi penonton dewasa film ini memiliki banyak makna tersembunyi. Ada keikhlasan cinta yang tulus saat Belle mencintai Beast yang buruk rupa, tak ada kemegahan istana, yang ada hanya kastil tua yang menyeramkan. Selain itu Belle juga merupakan figur yang 'tough' dan mandiri, berbeda dengan Putri-Putri Disney yang lain yang ceritanya lebih banyak diawali dengan air mata. Kisah Belle menjadi sebuah kisah yang tulus dengan kerelaan yang tiada tara dalam menerima Beast akan banyak segi. Terlepas dari plus dan minus film ini, ceritanya merupakan cerita favorit saya. Namun sekali lagi ada beberapa faktor yang melandasi nilai 7 saya untuk film kali ini. Live action Cinderella sepertinya masih menjadi yang terbaik dari 3 live action based on fairy tale Disney. Semoga Mulan akan lebih baik lagi. Good Job, Em. Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path
0 notes