Tumgik
#Buku Puisi baru
mariafraniayu · 6 months
Text
Jejak-jejak di Tepi Sungai: Sebuah Cerita di Balik Layar
Saya menerbitkan satu buku lagi! Sebenarnya, buku selanjutnya ini sudah terbit beberapa waktu yang lalu. Namun, perlu waktu yang cukup lama untuk memproses pikiran dan perasaan yang muncul ketika buku ini berhasil lahir dan siap dilumat pembaca. Buku yang saya terbitkan kali ini berjudul, “Jejak-jejak di Tepi Sungai (Kumpulan Catatan-catatan Perjalanan untuk memahami Diri Selepas Pergi)”. Buku…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
nonaabuabu · 7 months
Text
Meromantisasi Sendirian
Tumblr media
Aku sendirian itu nggak cuma dalam bentuk aku masih single, tapi aku benaran tinggal sendiri. Semua aktivitas di luar pekerjaan sepenuhnya aku lakukan sendirian.
Ini memasuki bulan ke-enam, kalau sebelumnya aku masih punya teman berbagi banyak kegiatan bersama karena dulu tinggalnya bareng teman lain, sekarang semuanya sendiri. Mulai dari belanja, masak, beresin rumah dan sederet kegiatan lain.
Jujur, lima bulan belakangan aku kesepian. Kalau diingat-ingat ini momen paling panjang aku sendirian, meski udah merantau belasan tahun, aku selalu punya teman dan momen sendiriannya hanya sekali dua kali. Jadi bisa dibilang, ini ujian yang susah sekali dipetik hikmahnya.
Berulang kali aku mencoba bersikap bijaksana, tapi pada akhirnya runtuh lagi dan jadi sesenggukan. Kepala rasanya penuh tapi hidup kosong, konon lagi kantong, melompom. Dan barangkali ini usaha kesekian untuk selamat dari rasa kesepian, ya lagi-lagi meromantisasi sendirian.
Aku baca buku mana aja yang mau aku baca, terlepas isinya ngeselin, menyenangkan atau aku nggak paham. Aku baca buku puisi dengan suara nyaring, seolah-olah aku lagi di pentas musikalisasi puisi, nggak lupa pakai penghayatan dan maki-maki. Aku putar musik genre galau untuk ikutan nyanyi, bertingkah kayak yang punya panggungnya sendiri. Ganti ke musik beat atau rock dan kadang bollywood juga kpop, terus joget asik seolah lagi di dancefloor. Aku masak makanan paling mampu yang kubuat, buat minum segar, dan makan sambil videoin diri sendiri (ini parah sih) biar kayak mukbang ala-ala.
Aku melakukan banyak hal yang menciptakan suasana meningkatkan mood sendiri, meski masih sering ambruk dan tiba-tiba melow berkepanjangan. Siklus berulang yang kadang aku yakinkan, nggak masalah jatuh asalkan aku nggak berencana selamanya di sana. Bahkan kalau mau berenang di tempat yang buat tenggelam, nggak apa-apa. Anggap aja lagi syuting mermaid dan kau adalah antagonisnya (ingat ya antagonis itu juga peran utama).
Mungkin satu-satunya yang nggak kulakukan dalam rangka meromantisasi hidupku yang sendirian ini adalah, menuliskan puisi cinta yang manis. Soalnya urusan itu, cintaku selalu terasa pahit, bahkan mungkin lebih pahit dari empedu. Meski, kayaknya aku mulai ngehalu dengan kisah manis dari buku yang kubaca baru-baru ini.
Tapi meski sebanyak itu yang kulakukan untuk meromantisasi kesendirian, aku nggak mau menyebut itu sebagai self love. Karena konon yang aku dengar, perempuan kalau self love menyenangkan dirinya dengan membeli hal-hal yang dia mau, dan aku belum mampu melakukan itu, dan kalau nanti aku mampu aku mau belajar frugal living dan hidup minimalis. Sekarang kan masih kategori miskin, jadi santai dulu nggak si. Kan nggak akan membeli barang yang nggak berguna juga meski suka. Prioritas kebutuhan masih banyak soalnya.
50 notes · View notes
mayweblue · 2 years
Text
gimana sih cara memperkaya diksi dan menemukan gaya menulis seperti aya?
Tumblr media
kayaknya, ada puluhan atau bahkan lebih pertanyaan semacam itu masuk ke halaman curiouscatku yang sekarang total inboxnya ada 712 unanswered questions. hampir tiap hari ada pertanyaan-pertanyaan yang tipenya sejenis. tapi aku, yang oon dan berjiwa pemberontak ini, jarang membalasnya. bukan karena aku gak suka berbagi ilmu, jawabannya justru karena: aku gak tahu formula yang tepat soal diksi dan gaya menulis ini. gak ada metode ilmiah yang aku bisa bagikan jadi aku takut kalau jawabanku malah seperti anak kecil yang meledek simply karena dia nggak tahu sebenernya isi kepalanya itu seperti apa.
to be fair, sekalipun aku akan dengan lantang bilang kalau aku adalah seorang amatir bahkan hingga sekarang, aku sudah menulis dengan konsisten sejak 2013. nyaris satu dekade. dan dalam kurun waktu itu, aku hampir tidak pernah berhenti menulis. sekalipun aku hanya memproduksi puisi yang luar biasa jelek, aku nyaris tidak pernah meninggalkan kesukaanku pada tulisan. bahkan, saat aku tidak menulis pun, aku tetap membaca sesuatu. memastikan kalau ada kata-kata yang aku ciptakan di kepala, sekalipun aku tidak mengeluarkannya.
tapi, apakah tulisanku langsung bagus? tentu saja nggak.
berikut adalah puisi yang aku tulis pada tahun 2013:
Tumblr media
tulisan ini ditulis oleh bocah yang baru masuk SMP. tidak paham komposisi puisi, tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membuat puisi ini nyaman untuk dibaca. di kepalaku yang usianya 12 tahun saat itu, aku cuma menginginkan satu hal: menulis. dan, keinginan itulah yang sampai sekarang nggak pernah berubah. meskipun sudah banyak waktu berlalu.
setelah melalui proses perenungan yang panjang (tiga puluh menit), aku akhirnya merumuskan beberapa hal yang mungkin bisa aku bagikan. ini sama sekali tidak ilmiah. dan aku bukan nabi yang bisa membagikan ilmu atas dasar wahyu. apa yang aku tuliskan di sini adalah hasil menulis selama beberapa tahun—entah untuk kesenangan atau pekerjaan. nah, jawaban dari pertanyaan paling mendasar (yang dengan tidak cerdasnya aku jadikan judul), kurang lebihnya adalah begini.
1. membaca satu buku untuk menghasilkan satu paragraf
oke maaf, sebetulnya nggak seberlebihan itu. aku cuma nggak ngerti caranya bikin sub-judul. intinya, kamu harus membaca untuk bisa menulis. dan ini mutlak. paten. fardhu.
konsepnya seperti mengisi air menggunakan teko. teko adalah kepalamu, air di dalamnya adalah buku, dan tulisan adalah apa yang akan dikeluarkan teko itu. apapun yang keluar dari teko itu tergantung apa yang kamu isi di dalamnya. nggak mungkin teko kosong bisa mengeluarkan air, kecuali kamu dapat mukjizat.
sebelum menulis, aku sudah lebih dulu membaca. aku tergila-gila pada bacaan. bukungitis. dan aku berharap selamanya aku nggak usah disembuhkan supaya aku bisa selalu menulis.
keluargaku punya toko buku turun temurun yang sekarang sudah tutup total karena bangkrut. makanya, sejak brojol aku sudah terbiasa dengan eksistensi buku. mungkin setelah diazani, aku dibisikkan ayahku, "hei, baca anwar di umurmu yang keempat tahun."
dan aku sudah bisa membaca sejak umur tiga tahun. jangan-jangan betulan karena anwar.
buku-buku yang aku baca juga nggak terbatas buku fiksi aja. aku membaca koran, membaca kumpulan esai, membaca novel sains, membaca roman, membaca hikayat, dan membaca cerita stensil (meskipun aku tidak menyarankan yang ini karena aku benci deskripsi soal selangkangan pria; bikin mual).
sejak dulu, aku selalu dapat nasihat dari ayahku. bacalah buku bukan agar kamu pintar, melainkan agar kamu bijaksana. dan aku mengamini itu seperti seorang beragama yang tekun. tiap kali membaca, ada sistem di kepalaku yang secara otomatis memproses komponennya. seperti memeras jeruk, aku mengambil sarinya, mengonsuminya, mengolahnya dengan organ-organku. sebelum akhirnya, aku mengeluarkannya lagi. tidak dalam bentuk jeruk utuh. melainkan dalam bentuk deskripsi mengenai perasaanku setelah mengonsumsi jeruk, apel, kiwi, mengkudu, dan buah-buahan lainnya.
aku membaca dee lestari dan menyembah supernova seriesnya. aku juga membaca catatan pinggir goenawan muhammad secara religius, hampir-hampir menganggapnya kitab suci. aku membaca puisi-puisi dari indonesia yang jumlahnya banyak sekali. membaca anton chekov, sekali-kali, dan cerpen-cerpen kompas juga. tapi, aku merasa gaya penulisanku justru dipengaruhi oleh dee dan goenawan muhammad.
2. menulis adalah berbicara
oke, kali ini kita bicara diksi. meskipun dari sub-judul nggak ada diksi-diksinya, tapi inti dari pembahasan ini adalah soal pemilihan kata.
kamu tahu soekarno? proklamator kita itu terkenal dengan kemampuan orasi dan komunikasinya. nggak cuma kepada perempuan, tapi juga kepada nyaris seluruh lapisan masyarakat. meskipun ia pernah tersandung masalah ideologi, kemampuannya untuk mengurai suatu ilmu menjadi sesuatu yang mudah dipahami oleh semua orang bukan hal yang sederhana. nah, cara ini lah yang aku lakukan dalam pemilihan kata-kataku.
sekalipun aku tahu apa itu jentera, aku akan tetap menggunakan roda karena orang-orang lebih tahu yang kedua. menulis adalah tentang mengomunikasikan isi kepala kita agar pembaca mengerti. jadi, kunci yang paling penting dalam memilih diksi bukanlah 'apa kata ini cukup indah?', melainkan 'apa kata ini cukup dipahami?'
i have nothing against diksi indah tesaurus, tapi penggunaan diksi langka yang tidak pada tempatnya, menurutku, akan membuat kunci dari tulisan itu akan kabur. alih-alih mengerti, orang-orang justru akan pusing. bingung. dan pada akhirnya, dibaca hanya akan dibaca saja. tidak dimengerti.
aku selalu menempatkan pembacaku sebagai lawan bicaraku. aku sedang menatap matanya, aku sedang berbicara padanya, aku ingin dia mendengarkan dan memahamiku. makanya, aku akan mengatakan apa mauku dengan terus terang. sekalipun aku menggunakan metafora, aku akan memastikan apa yang aku katakan dipahami.
dan diksiku tetap indah. aku percaya diri mengatakan itu sekalipun tulisanku praktis tidak banyak menggunakan sinonim, tidak banyak menyamakan rima, tidak banyak menggunakan kata-kata asing.
sebagai contoh:
Tumblr media Tumblr media
dua tulisan itu, tidak banyak pakai metafora macam-macam. kamu akan langsung paham apa maksudku tanpa harus membuka tesaurus atau bahkan kamus. kata-kata yang dipakai umum. dikenali. dipahami. tapi, sekali baca, orang juga tahu itu bukan tulisan berita. kukira, ini adalah kunci dari keindahan itu sendiri: sederhana dan tahu diri.
jadi, harus kuakui, sebetulnya aku ini payah soal kekayaan diksi. yang aku lakukan adalah mengolahnya. menjadikan bahan itu-itu saja menjadi makanan enak yang bisa dikonsumsi siapapun.
saranku, hal yang paling efektif untuk memperkaya diksi adalah membaca buku-buku filsafat atau membaca esai goenawan muhammad. banyak penggunaan istilah dan penempatan kata yang berbeda daripada yang digunakan dalam buku fiksi populer. cara ini sangat membantu.
(dan bonus ilmu, kalau kamu sedang iseng mempelajari soal keberadaanmu sebagai manusia serta kehidupannya.)
3. menulis adalah memaafkan kenyataan
kamu bisa jadi siapa saja. kamu bisa punya sayap dan tiga belas penis kalau mau, di dalam tulisanmu. tapi, menuliskan kenyataan, yang terjangkau oleh seluruh panca indra kamu, adalah hal yang sudah harus bisa kamu lakukan sebelum kamu menghancurkan seluruh aspek di dalamnya.
bagiku, cara paling rendah hati untuk menjadi seorang penulis adalah dengan membuka mata lebar-lebar. kejujuranmu mendeskripsikan susu akan menyelamatkan seorang bayi yang alergi. makanya, proses spiritual yang menurutku perlu dilalui seorang penulis, adalah dengan peka terhadap hal-hal di sekeliling kita.
gunakan empati ketika bercerita. pakai panca indramu. pakai hatimu. pakai kepalamu. pakai semua yang ada pada dirimu, dan kamu telah menuliskan kenyataan, sekaligus memaafkannya.
aku melakukannya dengan mengajak bicara tukang bengkel yang membetulkan motorku. menggunakan transportasi umum sambil menebak-nebak isi kepala mereka. aku juga sesekali melancong, kalau sedang punya duit dan waktu. bertemu orang asing dalam perjalananku, mendengarkan cerita-cerita mereka, lalu menuliskan kembali. versi mentahnya (yang tidak diedit dan diromantisir), bahkan bisa dibaca di akun tumblrku. bagiku, melihat kenyataan akan membuat kita paham kalau cerita itu tidak lahir begitu saja. ia lahir dari kehidupan yang terdistorsi, sebagaimana yang dilakukan saintis maupun filsuf, penulis juga mengabadikan rahasia-rahasia yang ada di alam semesta, dengan menggunakan kata-kata.
4. menulis itu harus interdisipliner
aku mempelajari banyak hal. agama, filsafat, sains, sastra, dan semua yang terjangkau untuk menghasilkan sebuah tulisan. di hadapan ilmu, aku selalu menempatkan diri dalam posisi begitu kecil. aku tidak tau apa-apa dan aku harus mencari tau.
dan sejujurnya, tidak ada yang lebih seksi daripada menuliskan backgroundmu sendiri. jadi, kalau kamu malas belajar ilmu lain, pelajarilah hal-hal yang sudah kamu pelajari. mungkin kalau dulu kamu cuma tahu kalau bernapas itu menggunakan oksigen, sekarang kamu cari tau bagaimana proses hingga oksigen itu terhirup. versi mendetail dan mendalam. biasanya, makin kita mencari, makin kita sadar kalau banyak sekali hal yang tidak kita tahu. dan aku suka perasaan itu. perasaan lapar ketika mencari, perasaan tidak sabar untuk menuliskannya kembali.
sekian.
iya, betulan sudah selesai. aku hanya punya empat tips dan aku ragu apakah bisa diterapkan. meskipun demikian, semoga apa yang aku pelajari selama beberapa tahun ini bisa jadi hal yang bermanfaat untuk kamu-kamu semua yang membaca ini.
pada akhirnya, yang paling penting dari menulis, sebetulnya adalah konsistensi. sebab keempat hal tadi tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu satu bulan saja. aku bahkan butuh satu dekade untuk memahami empat. yang harus stagnan itu keinginan kita untuk selalu menulis. makanya, aku yakin, dalam tahun-tahun berikutnya, akan ada banyak hal yang berubah dan berbeda dalam aspek-aspek pendukungnya. karena kita manusia harus selalu belajar.
seperti, ketika kita tidak menemukan sesuatu di kolom pencarian twitter; kadangkala itu cuma kesalahan teknis yang bukan kesalahan kamu. dan yang bisa kita lakukan cuma satu, 'kan?
coba lagi.
81 notes · View notes
deehwang · 11 months
Text
Tumblr media
Tidak ada yang lebih mencemaskan dari karir seorang penulis--ini lebih dari menahan lapar, honor yang lewat tempo, bahkan masuk penjara--daripada menghasilkan karya yang didikte. Bukan karena ketidakmampuan. Mimpi buruk itu adalah kehilangan kewenangan menulis; dilarang menulis sesuatu yang telah menggerakkan nurani mereka, dari apa yang diyakini secara pribadi. Karena ketika kerja kreatif tak bisa dilakukan secara independen, masa depan karya tidak mujur terbaca, setidaknya yang lahir bukanlah sesuatu yang organik.
Ketika para pekerja seni dituntut tak lebih dari memproduksi produk propaganda, dan penyensoran dilakukan agar sejalan dengan yang dikendaki penguasa, proses kreatif akan membusuk sampai ke akarnya, karena pembatasan adalah kejahatan itu sendiri. Terjawablah, bahwa yang sudi menentang suara hatinya sendiri, yang takut kelaparan karena di jalan kepenulisan ia sadar ia bisa saja sendirian, para penggentar ini sebutlah demikian, adalah yang mengalami kesialan kemudian. Dengan segala keruwetan dan hiruk pikuk di dalamnya, buku novel ini bisa digarisbesarkan seperti pembuka di atas.
Berkaitan dengan realitas Uni Soviet, Bulgakov mulai menulisnya di tahun 1928 semasa rezim Stalin, atas alasan penyensoran ini tidak diterbitkan bahkan sampai penulisnya sendiri wafat. Awalnya rombongan setan di tahun 1930an--Behemoth, Koroviev, Azazello, Hella, dan utamanya Profesor Woland (nama yang kurang lazim di kalangan orang Rusia, digadang-gadang terinspirasi dari salah satu nama setan dalam Faust karya Goethe, disebut-sebut prototipe Stalin sendiri)--yang kunjungannya mendatangkan kekacauan di Moskow. Yang disasar adalah seniman, utamanya elit sastra. Di sisi lain, muncul penceritaan tentang Pontius Pilatus, prokurator Yudea. Sementara Master dan Margarita sendiri adalah sepasang kekasih gelap. Master adalah penulis yang namanya tak disebut sepanjang cerita, seorang penulis terasing (akan terjelaskan di paragraf berikutnya), sementara Margarita adalah kekasih yang menjual jiwanya pada si setan, agar si Master kembali menemui kewarasannya.
Master-Margarita. Setan-Yeshua. Master-Margarita-Setan-dan-Yeshua bersilangan kisahnya satu dengan yang lain.
Si Master ini sempat dirawat di rumah sakit jiwa setelah membuat satu manuskrip yang beririsan dengan agama (kisah penghukuman Yeshua Ha-Nozri oleh Prokurator Yudea). Ia mengirimkannya ke penerbit, walhasil dikritik dan dicemooh habis-habisan di koran-koran oleh kritikus kenamaan. Ini tentu membuatnya patah arang hingga dibakarnyalah manuskrip itu (hal ini dalam kenyataannya juga sempat dilakukan Bulgakov pada manuskrip pertamanya). Lantas apa kedudukan Master? Seseorang baru bisa menjadi penulis--dan diakui bahwa ia penulis dengan identitas, terlebih-lebih disejahterakan--apabila ia tergabung dalam semacam perkumpulan penulis di Soviet tempo dulu. Kenyataan yang disebut Koroviev sebagai sesuatu yang konyol, karena 'penulis tidak ditentukan oleh kartu identitas apa pun, tapi oleh apa yang ia tulis'. Dalam hal ini, terjelaskan posisi si Master, sebagaimana keenganan ia memberitahu namanya.
Sedari bab pertama pembaca telah diberitahu bahwa sekelas penyair sekali pun (nama pena Bezdomny) boleh dikuliahi si editor kondang Berlioz, untuk bagaimana caranya menulis sebuah puisi panjang anti-agama, menempatkan tokoh tertentu sebagai mitos belaka. Bagaimana pun caranya menyangkal keberadaannya. Sekali lagi, penulis diletakkan sebagai pion-pion politik yang dituntut ritme kekaryaannya dengan kebenaran versi penguasa. Isu yang diangkat dalam novel ini juga adalah tentang ateisme. Namun mari fokus pada olok-olok si narator tentang ideologi yang dipegang Uni Soviet kala itu, tentang penyamarataan kelas. Dengan kontrol semacam ini, akibatnya, para penulis malah tidak sibuk pada karyanya, melainkan berfokus pada properti yang bisa mereka miliki dan makanan-makanan yang tersaji di restoran mewah di gedung Massolit. Tokoh-tokoh yang, kamu tahu, menganggap ketidaktahuan sebagai kebahagiaan tertentu, tidak hanya untuk orang lain tapi juga bagi mereka sendiri. Maksudku, bagaimana bisa seseorang masih bisa mengunyah dengan lahap setelah mendengar kematian Berlioz yang tentu, cara kematiannya sama sekali tidak mengundang selera makan?
Kisah ganda mengalir sepanjang pembacaanku selama dua Minggu ini--dari Moskow ke Yudea, dan sebaliknya. Ada kebimbangan mengenai persepsi baik-buruk. Kehadiran rombongan setan yang justru memberikan 'keadilan' (aku agak kesulitan mengikutinya karena nama-nama Rusia amat mirip satu dengan yang lain), sudut pandang Pontius Pilatus yang memerintahkan melindungi namun kemudian membunuh Yudas, kehadiran dua sisi yang menegaskan bahwa baik buruk, benar salah, hitam putih, amatlah kabur batasnya, persis kematian dan kehidupan dalam buku ini dimana saking gampangnya ia seperti kepala yang diputus kemudian disambung lagi! Semuanya adalah persepsi yang gampang berbalik, dibangun dari kepentingan apa ia untuk kita dan dari bangku mana kita menonton semua kejadian itu.
Novel klasik ini padat makna, full of images, ilustrasi sampul dan isi yang sama memikat dengan referensi yang tersedia karena mempermudah bacaan, dan lucu--di beberapa bagian aku terpingkal oleh kekurangajaran Behemoth, si kucing hitam berukuran babi, dan Koroviev, menyoal uang asing di dalam toilet Bosoy ("tapi adakah saksi mata?" Bisiknya). Aku suka buku ini. Terlebih ketika Woland menyampaikan bahwa "manuscript don't burn", memperjelas duduk karya yang, sekali pun ia melawan sensor, sekali pun ditiadakan, ia akan tetap ada di ingatan orang-orang yang mendukungnya.
.
Instagram : @hellodeehwang | ©deehwang | Tidak diperkenankan mencuri gambar untuk diunggah ulang.
11 notes · View notes
stardust-serenade · 10 months
Text
“Di dalam detik-detik kelahiranmu, keajaiban menyapa dunia. Dari saat itu, kehadiranmu membawa sinar bahagia dan arti yang tak terhingga dalam semesta.”
Tumblr media
Ditujukan untuk laki-laki hebat sekaligus seseorang yang hadirnya di bumi selalu meninggalkan kesan baik untuk setiap insan di dunia, Saka.
Di hari yang istimewa ini, hadirnya cahaya sorot matamu, menyinari langkahku dalam rentang waktu yang terhampar luas. Engkau adalah musim semi dalam hatiku yang gersang, membawa bunga-bunga cinta merekah, mekar dalam senyummu yang tulus. Seakan setiap detik terasa menjadi syahdu dalam irama kasih yang kita bangun bersama, seperti not balok yang selalu harmonis dalam simfoni asmara. Kisah kita terpahat dalam babak-babak indah, seperti puisi indah yang tak pernah pudar keindahannya. Engkaulah pelipur lara dalam setiap duka yang ku rasa, seakan cinta kita adalah obat yang menyembuhkan segala luka. Terima kasih telah senantiasa menjadi bintang dalam langit gelap, yang mengarahkan jalan dalam kegelapan, menjadikan hidup ini penuh warna-warni bagi setiap insan yang kau temui.
Kasih sayang yang kau bagi untuk dunia, terasa seperti puisi yang tak pernah kehilangan kata-katanya. Di setiap senyummu, aku menemukan kebahagiaan yang tak ternilai harganya, dan di setiap pelukanmu, aku merasakan ketenangan yang memeluk hatiku erat. Dua puluh empat tahun hadirmu di dunia, engkau telah menjadi teladan kesabaran, pengertian, dan cinta sejati. Bersamamu, aku dapat merasakan betapa beruntungnya aku memiliki seseorang yang selalu ada dalam setiap rintangan, seseorang yang selalu ada untuk memberikan dukungan dan cinta tanpa syarat. Segala kata-kata penuh rasa syukur kutitipkan untukmu, karena engkau telah hadir di dunia ini. Terima kasih karena telah menjadi sahabat, kekasih, dan teladan yang tak henti memberikan kebaikan. Aku bersyukur atas segala yang kau bawa dalam hidupku, dan aku yakin bahwa ada banyak orang diluar sana yang merasakan hal yang sama denganku. Keluargamu, kerabatmu, sahabatmu, temanmu, juga merasa bersyukur karena bisa mengenal sosok sepertimu.
“Engkau adalah sebuah keajaiban yang melengkapi rahasia kehidupan. Dalam setiap nafasmu, ada kebahagiaan yang tak tergantikan.”
Selamat ulang tahun untuk laki-laki hebatku, Saka. Kuucapkan selamat ulang tahun yang penuh makna untuk sosok yang tak tergantikan dalam hidupku. Engkaulah hadiah terindah yang diberikan kepada dunia ini, cahaya dalam kegelapan, harapan dalam keputusasaan. Dalam setiap tatap mata dirimu, kusaksikan kerlip bintang yang melintas di mata, membingkai harapan dalam damai yang tak terlukiskan. Engkau adalah seperti lukisan indah yang menghiasi kanvas kehidupan dengan warna-warna kebahagiaan, menyulam cerita yang tak terlupakan. Saat pandangan pertama kita dahulu bertemu, dunia seakan berhenti sejenak. Senyummu yang hangat, tatapan matamu yang memikat, serta kebaikan hatimu, memancarkan keindahan yang tak terlukiskan. Kita berjalan bersama dalam alur waktu, melangkah melalui badai dan matahari terbenam, dan setiap langkah membentuk jalinan kisah yang tak pernah pudar. Banyak rasa syukur aku panjatkan karena masih diberi kesempatan merayakan perayaan kelahiranmu untuk ketiga kalinya.
Di lembayung senja, doaku melayang menggapai langit, merangkai kata-kata dalam detik ulang tahunmu yang penuh makna. Ulang tahunmu, sebuah perjalanan yang membawa kilauan harapan, sebuah babak baru dalam kisahmu. Setiap detik adalah lembaran baru dalam buku kehidupanmu, di mana setiap kata adalah ungkapan perjalanan indah yang tak terhingga. Engkau, kekasih yang kusayangi, bagai embun pagi yang menyegarkan, kehadiranmu memayungi hari-hari dalam keteduhan cinta. Dalam setiap belahan jiwamu, kusaksikan sinar kebaikan yang memancar, menghiasi setiap waktu dan ruang. Ulang tahunmu, sebuah perjalanan panjang yang dipenuhi warna-warni kenangan, diiringi oleh doa-doa yang membentang luas, memohonkan keberkahan untuk langkah-langkah yang akan engkau jalani. Doa dariku, untuk manusia menakjubkan ini. Semoga dalam setiap helaan napas, rahmat dan kebahagiaan menyertai jejak langkahmu. Engkaulah puisi terindah dalam buku kehidupanku, semoga setiap halaman diisi dengan kebahagiaan, kesejukan, dan kedamaian. Aku panjatkan seluruh doa terbaik di segala penjuru bumi ini untukmu, dengan menyelipkan namamu di setiap doanya. Semoga setiap detik yang kamu lewati, dapat menjadi benang emas dalam kisah petualangan hidupmu yang akan senantiasa dipenuhi oleh lindungan Tuhan. Doa terindahku adalah semoga hari ini membawa kebahagiaan tak terhingga bagimu, dan semoga setiap detik yang akan kamu lewati, menjadi babak indah dalam perjalananmu yang tak berujung. Rasa cintaku padamu akan terus bersinar seperti bintang di langit yang tak pernah pudar kilauannya. Aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku.
Dengan cinta yang tulus, aku menutup surat ini dengan harapan akan banyak lembaran baru ceritamu yang akan terus terjalin indah. Teruslah bersinar, cintaku.
Selalu dan selamanya untukmu, Keiko.
7 notes · View notes
Text
Mencintai Buku, Sejak Kapan?
Tumblr media
Biasanya, pertanyaan yang sering didapatkan oleh pecinta buku adalah "Buku apa yang pertama kali membuatmu jatuh cinta pada dunia perbukuan?"
Sejujurnya, jika pertanyaan itu ditujukan padaku, aku dengan sangat yakin menjawab, "Aku tidak tahu." Aku bahkan tidak ingat buku pertama yang bisa aku baca itu buku apa. Aku juga tidak ingat bagaimana awal mula aku bisa jatuh di dunia perbukuan yang bagiku tidak ada jalan keluarnya ini.
Bagiku, sejak aku bisa mengingat, hal yang aku tahu hanya aku suka buku, aku suka menghabiskan waktu bermainku di dalam rumah sambil membaca atau dibacakan buku oleh ibuku. Berbicara tentang ibu, tentunya dia sosok yang sangat berperan besar dalam hobiku ini. Dengan kondisi geografis tempat itnggal kami yang kurang mendukung, ibuku benar-benar berhasil membuatku mencintai buku.
Aku tinggal dan tumbuh di desa daerah pesisir Jawa Timur paling utara. Benar-benar daerah paling ujung. Hence, the name of the village itself. Alhasil, akses buku waktu itu sangat terbatas. Ada pun, hanya buku pelajaran. Atau kalau sedikit beruntung, akan ada bazar buku di sekolah dengan deretan buku mulai dari Sari Kata, Pepak, atau buku tentang siksa neraka.
Aku ingat kalau ayah dan ibu ke kota sebab ada urusan satu dan lain hal, mereka pasti menyempatkan mengajakku mampir ke toko buku. Salemba, nama toko bukunya. Gerai toko buku yang ada di salah satu mal di kota. Jangan harap ada Periplus atau Gramedia, Togamas yang cabangnya di mana-mana saja tidak ada.
Selain kondisi geografis domisili yang tidak mendukung, keadaan ekonomi keluarga kami pun pas-pasan. Alhasil, jatah jajan bukuku juga amat terbatas. Dalam sekali beli, aku hanya boleh membawa pulang maksimal 2 buku. Itu juga ayah dan ibu belum tentu sebulan sekali pergi ke kawasan kota. Dari dulu sampai sekarang pun, rupanya buku masih menjadi sebuah barang yang dimiliki oleh orang-orang yang punya privilese.
Alasan lain aku bisa menyukai buku sebegininya adalah sifat ayahku yang cenderung protektif saat aku masih kecil. I rarely went outside playing with my friends. Jadi, kompensasi darinya adalah mengenalkan hobi baru yang bisa aku nikmati di dalam rumah.
Selain buku yang dibelikan ayah dan ibu itu, aku juga mengoleksi buku cerita seukuran buku saku yang aku dapat dari susu kemasan yang rajin aku minum. Forget Majalah Bobo, forget KKPK, I didn't have any idea about those things.
Saat beranjak remaja, aku mulai bisa memahami bacaan dari majalah islami yang ayah koleksi. Meskipun yang kucari hanya bagian cerpen di dalamnya, aku selalu rajin membaca satu persatu majalah berjudul Mimbar itu.
Di masa remajaku ini, aku juga mulai rajin membaca kisah-kisah inspiratif sufi. Lalu meluas ke genre nonfiksi terkait biografi, sejarah, dan keislaman. Aku masih ingat, saat aku duduk di bangku MTs itu, ada satu buku yang membekas sampai sekarang. Buku itu satu dari sekian buku yang dibawa oleh salah satu siswa ayah yang sudah bekerja di luar kota. Judulnya Gus Dur: Perjalanan Hidup Sang Guru Bangsa.
Saat itu, tidak hanya buku ayahku yang bertambah, koleksi buku dari om dan mas sepupuku pun bertambah. Mereka sering pulang membawa buku kisah sufi dan novel islami. Aku ingat karena saking aku kehabisan bahan bacaan, aku nekad membaca Ketika Cinta Bertasbih milik omku. Setelah kubawa ke mana-mana, khatam juga 2 buku itu meskipun dalam waktu yang tidak singkat.
Bertambah usia, akses buku mulai lebih mudah saat aku di bangku SMA. Aku bisa meminjam buku dari para teman di ma'hadku. Bahkan aku juga pernah pergi ke Salemba dengan beberapa temanku, lalu sengaja membeli buku yang berbeda agar kami bisa saling meminjam.
Masa kuliah, tentunya akses buku semakin lebar dan mudah. Hidup di perkotaan sangat mendukung hobiku ini. Genre bacaanku pun mulai meluas. Yang mulanya hanya kenal Teen-lit dan romansa, aku pun mulai merambah ke fiksi sejarah, puisi, dan roman (yang satu ini akibat tuntutan mata kuliah).
Hobiku ini mulai terfasilitasi lebih baik lagi saat aku sudah bekerja. Meskipun budget buku masih tetap harus dibatasi, setidaknya sekarang aku bisa mengakses buku lewat beberapa platform digital berkat sekitar tiga tahun lalu aku mulai mengenal dunia booktwt. Aku juga mulai aktif mengikuti komunitas perbukuan baik secara daring maupun luring.
Sampai aku menulis unggahan ini, rasanya aku masih tidak bisa menaksir sejak kapan aku mencintai buku. Aku sudah lama berteman dengannya, dan kekhawatiranku setiap harinya adalah "Apakah pertemanan kami ada tanggal kedaluwarsanya?"
7 notes · View notes
haninditaas · 7 months
Text
Bapak.
Hari ini, mau nulis sesuatu tentang Bapak.
Aku sedang merapihkan salah satu rak buku yang sudah lama sekali tidak tersentuh. Benar saja, buku dan kertas-kertas di dalamnya ternyata sudah berdebu dan beberapa berjamur. Di rak itu, aku tidak sengaja menemukan banyak paper yang pernah Bapak buat di tahun 1999, tahun lahirku. Sontak aku bertanya, ternyata di tahun itu Bapak sedang studi S2. Ah, aku baru mengetahui hal ini. Selama ini aku memang belum pernah bertanya banyak soal jalan tempuh pendidikan yang beliau jalani sebelum aku lahir.
Aku membaca sekilas tulisan-tulisan yang Bapak buat, yang juga diengkapi dengan coretan dan catatan pensil di dalamnya. Kurasa coretan itu diberikan oleh dosen pembimbingnya saat itu, salah satunya ada coretan pak Sapardi Djoko Damono, penulis puisi Hujan Bulan Juni yang banyak dikenang. Aku membayangkan bagaimana Bapak (juga Mama) menjalani kehidupan di tahun itu, tahun saat aku lahir. Mungkin hidup saat itu masih sulit pasca kejadian tahun 98? Entahlah.. Aku memikirkan tentang menjalani peran sebagai orang tua dengan dua anak, di tengah hidup sederhana, mandiri, dengan tetap bekerja sembari menuntaskan kewajiban studi. Keren sekali Bapak.
Membaca paper/makalah lama Bapak membuatku tertegun sejenak di tengah beres-beresku. Ternyata, Bapak memang sangat menyukai sastra. Aku sudah mengetahuinya. Namun kini aku rasa jadi lebih memahami passion Bapak dengan sastra. Passion itu beliau wujudkan dan perjuangkan melalui pendidikan dan penelitian, terkadang juga melalui kegiatan pengabdian, hingga kini masih beliau lakukan. Ternyata nasihat yang sering Bapak bilang: "yang tekun, yang konsisten" untuk kami anak-anaknya saat menempuh pendidikan adalah hal yang Bapak sendiri memang lakukan sejak dulu.
Aku jadi kembali teringat. Saat kecil dulu, aku pernah terkagum melihat Bapak mendalang memainkan wayang kulit. Aku juga masih ingat pernah diajak Bapak ke ruang gamelan lalu melihat beliau memainkan alat musik yang ada, termasuk gong, kendang, dan instrumen khas gamelan lainnya yang aku lupa namanya. Bapak juga pernah memerankan wayang orang, pertunjukkan yang aku sukai. Aku suka tokoh Arjuna, sosok yang adem dan entah kenapa pemerannya selalu tampan hahaha.
Selama ini mungkin aku terlalu sibuk dengan duniaku, sampai aku tidak menyadari betapa kerennya dunia dan jalan hidup Bapak. Yah, kuakui aku dan Bapak memang love-hate relationship. Tapi seiring mendewasa, kurasa aku bisa banyak belajar memahami bahasa cintanya.
Saat ini, di usianya yang sudah mencapai kepala enam, Bapak masih aktif berkarya dan berdaya melalui sesuatu yang beliau sukai dan kuasai. Kelihatannya menyenangkan ya bisa memaksimalkan diri dan memberi manfaat melalui passion yang dimiliki. Namun, aku yakin menjalaninya tidak semudah itu. Tentu saja Bapak memiliki kesulitan. Tapi, ada dua hal yang membuat Bapak bisa terus berjalan : kesabaran dan konsistensi.
Terkadang aku kasihan melihat banyaknya energi yang dihabiskan Bapak di depan laptop pagi-siang-sore-malam. Bapak tidak lagi sebugar dulu, kadang Bapak menceritakan apa-apa yang tidak enak dari tubuhnya. Namun, Bapak tetap berjalan, tetap menekuni profesinya, dan menjalani peran-perannya dengan sebaik-baiknya.
Iya, jadi hari ini mau nulis sesuatu tentang dan untuk Bapak.
Tulisan yang mungkin tidak akan aku tunjukkan kepadanya langsung karena malu. Malu, karena pernah salah menilai. Malu, karena pernah gagal memahami. Malu, karena belum bisa menjadi anak perempuan yang baik untuk Bapak..
Bapak, semoga Allah selalu menjaga dan melindungi Bapak kapanpun dan dimanapun Bapak berada. Semoga Allah ganti segala sesuatu yang sudah Bapak korbankan demi kebahagiaan dan keberlangsungan keluarga dengan sebaik-baik balasan, dengan syurgaNya. Semoga Allah meridhai dan memberikan kebaikan berlimpah untuk hidup Bapak. Aamiin.
3 notes · View notes
fadiladeen · 10 months
Text
Mata
Cerita ini aku rahasiakan dulu di Tumblr sebelum aku post dan nulis buku.
Tiga tahun yang lalu, aku adalah seorang aktivis muslimah yang penuh dengan kegiatan. Aku suka menulis dan mengajar. Tak tanggung-tanggung aku aktif di tiga organisasi sekaligus, dan beberapa organisasi lainnya yang aku join ketika senggang. Aku pulang ke asrama tempat singgahku hanya untuk istrahat dan tidur saja. Selain berorganisasi, tentu saja aku memiliki kewajiban untuk berkuliah karena statusku sebagai seorang mahasiswa. Aku disibukkan dengan segala kegiatan yang membuatku lupa dengan satu hal, yaitu urusan cinta.
Sebagai muslimah yang sedang belajar taat, saat itu aku ingin membatasi diri dari memiliki perasaan spesial kepada lawan jenis. Meskipun mungkin ada, dan itupun suka (belum cinta ya) dalam diam dengan seseorang yang pertama kali membuatku kagum di kampus.
Kami bertemu ketika ada acara Musabaqah Quran, aku menjadi panitia di belakang layar dan dia leadernya. Aku kagum dengan caranya bertutur dan berinteraksi dengan akhwat, sangat menjaga dan tidak pernah kontak mata secara langsung. Pun sama ketika beberapa waktu yang lalu, yayasanku mengadakan sebuah event. Aku terkejut dia tiba-tiba hadir lalu menyampiriku untuk mengisi registrasi. Sempurna, dia tak menatapku secara langsung. Tapi lucunya aku yang keterlaluan salah tingkah. Haha.
Diantara kisah cinta yang paling kusyukuri adalah aku pernah menjauh dengan seseorang setelah mengetahui perasaanya kepadaku. Saat itu aku sedang ada kelas yang digabung dengan kelas lain. Aku mendapati sosok laki-laki tinggi, putih dan fasih bahasa Inggris menyorot mataku dalam waktu lama. Aku tahu dia seseorang yang cukup terkenal di jurusanku yang mungkin banyak yang menyukainya.
Aku mencoba menunduk saat ia menatapku tapi tetap saja matanya terus menyorotiku dalam waktu yang cukup lama. Setelah selesai kelas dan masing-masing pulang ke kosnya. Aku mengecek HP dan melihat storynya. "Matanya sangat indah"
Kurang lebih seperti itu ia menulisnya dalam bahasa Inggris. Kukira hanya sekali tapi ternyata ia sering membuat story tentang perasaan kagum baik berbentuk puisi, majas, atau Quotes. Saat itu aku berpikir itu bukan untukku, mungkin saja ia sedang merangkai kata dalam bahasa inggris untuk meningkatkan skillnya. Aku merasa tidak peka dengan apapun yang ia tulis.
Namun suatu ketika rasa penasaranku semakin meningkat. Apa iya kata-kata begini hanya ditujukan padaku? Aku pun menanyakannya kepada teman teman kelasnya tentang storynya apakah di hide atau untuk semua orang. Dan ternyata benar, itu hanya untukku.
Namun lagi-lagi setelah aku tahu itu, aku tetap tidak merasakan apa-apa. Aku merasa bahwa tidak mungkin orang yang luar biasa seperti dia bisa mengagumiku yang perihal skincare saja tidak tahu apalagi memakainya. Aku memilih menjauh darinya, memblokir nomor hingga unfollow sosial medianya. Aku takut saja jika kekagumannya berlarut-larut pada orang yang banyak dosa seperti diriku.
Pun kalau saja aku merespon perasaanya, lalu setelah itu apa? meresmikan dengan pacaran?
Big no... Posisiku dalam lini dakwah saat itu cukup penting sehingga untuk berpacaran saja sudah benar-benar melanggar marwah sebagai aktivis dakwah. Aku tidak mau menggubris perasaanya, itu sama saja aku siap meluncur kedalam jurang yang mungkin membuatku tidak bertemu lingkungan kebaikanku saat ini.
Aku bersyukur karena memilih menjauh darinya meski ada perasaan iba dan tetap ingin dicintai namun prinsipku sangat kuat untuk tidak meresponnya. Hingga sampai saat ini, tak ada lagi komunikasi diantara kami, tidak pernah saling tahu sosial media masing-masing, nomor juga tidak saling save. Semua aman terkendali.
Tapi aku curiga ia datang dengan versinya yang baru, bukan untuk mengajakku pacaran tapi untuk ke jenjang yang serius seperti yang ada di cerita-cerita hehe. Canda, ini hanya kehaluan saja.
Namun yang pasti, di posisiku saat ini sebagai seorang muslimah yang aktif dan diharuskan berinteraksi dengan ikhwan sehari-hari, aku memang perlu berpikir untuk memliki tambatan hati. Karena jujur saja, aku merasa risih dengan beberapa laki-laki yang mendekatiku. Aku bisa merasakan mereka mengagumiku meski belum 100% pasti. Tapi karena mungkin tindak polosku yang membuat mereka salah paham sehingga bebas saja mereka menaruh rasa.
Perasaan ini menyiksaku. Aku rindu seseorang yang namanya tertulis dalam lauhul mahfudz. Aku rindu kehadirannya. Dia adalah satu-satunya orang yang akan menyelamatkanku, menjadi orang yang paling kucinta dan satu-satunya teman hidupku selamanya.
Kapankah kau akan menjemputku?
Semoga Allah menjagamu dalam ketaatan, melindungimu dari segela keburukan dan dosa. Semoga Allah jadikan perasaan rindu kita sebagai jihad cinta menuju SyurgaNya....
10.12.23 ~ Menunggumu disini.
3 notes · View notes
vanillatwlght · 7 months
Text
Neil, Mimpi, dan Kita.
Carpe diem. Seize the day.
Warning: Suicidal thought dan spoiler film/buku DEAD POETS SOCIETY
---
Semalam, aku baru saja menyelesaikan buku Dead Poets Society. Tidak pernah terpikir olehku kalau buku ini akan meninggalkan kehampaan. Tragedi yang terjadi pada Neil Perry adalah tragedi nyata yang bisa terjadi pada siapa saja, termasuk aku.
Dead Poets Society menceritakan tentang sekumpulan pelajar di sekolah ternama khusus laki-laki, yaitu Welton Academy. Welton Academy memiliki 4 pilar sebagai prinsip.
Tradition, Honor, Discipline, and Excellence.
Orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di sana berharap mereka bisa berprestasi dan setelah lulus akan masuk ke Ivy League.
Dengan aturan di Welton Academy dan beban yang diberikan oleh orang tuanya, kita bisa membayangkan betapa monoton dan beratnya keseharian mereka. Lalu, datanglah Mr. Keating, guru bahasa Inggris yang memperkenalkan hakikat puisi dan bagaimana puisi dapat mengubah hidup mereka. Puisi memberikan warna dan gairah dalam hidup. Dan saat itu, keseharian mereka pun berubah.
Dead Poets Society adalah klub rahasia, di mana mereka bisa membaca puisi sebebas penyair terkenal seperti Walt Whitman, Henry David Thoreau, Lord Byron, dan lain-lain. Di mana mereka bisa mengumpulkan keberanian untuk "memetik hari ini". Di sinilah seorang Neil Perry akhirnya menemukan tujuan hidupnya.
Neil Perry bersemangat untuk mengikuti audisi drama A Midsummer's Night Dream. Sejak itu, hari-harinya diisi dengan impian menjadi seorang aktor. Ia menemukan semangat untuk berakting.
Perjuangannya tidaklah mudah, mengingat bahwa ayahnya tidak akan setuju kalau Neil berakting. Baginya, kegiatan lain selain belajar hanya akan membuyarkan fokus Neil yang sudah dipersiapkan untuk menjadi seorang dokter.
Neil memberontak. Tentu saja dia tidak akan melewatkan kesempatan emas untuk menjadi bagian dari salah satu drama William Shakespeare yang terkenal. Dia berhasil mendapatkan peran dan berlatih tanpa sepengetahuan ayahnya.
Namun nasib tak ada yang bisa menduga, ayah Neil tahu dan segera menyeretnya pulang setelah penampilan Neil Perry yang memukau. Orang tuanya marah besar dan Neil Perry merasa terpuruk karena tak ada yang memahami keinginan hidupnya.
Diam-diam, saat orang tuanya sudah tidur, Neil Perry menyelinap ke ruang kerja ayahnya. Dia mengambil pistol di balik meja kerja dan merenggut nyawanya sendiri.
---
Tragedi Neil Perry, saudara-saudara, adalah masalah yang bisa terjadi pada siapa saja termasuk aku.
Mimpi adalah salah satu hal yang membuat manusia tetap hidup. Mimpi menjadi tujuan manusia untuk tetap hidup. Bila mimpinya direnggut, hanya 2 hal yang akan terjadi. Manusia mati atau berjalan di bumi seperti zombie. Yang mana aku?
Aku punya mimpi untuk menjadi penulis dan melihat dunia. Orang tuaku telah berkali-kali mencoba untuk merenggut mimpiku. Tidak boleh bermimpi besar, "Mau jadi apa penulis?"", tidak boleh masuk jurusan Bahasa, melanjutkan sekolah kedinasan, masuk ke lembaga pemerintahan. Tapi aku cukup berani untuk menentang. Aku cukup berani untuk mempertahankan mimpiku.
Tak semua orang memiliki kesempatan sepertiku. Tak semua orang memiliki privilege yang kumiliki. Ada yang bilang kita harus melihat realita. Aku tak setuju dengan hal ini.
Previlege yang dimiliki setiap orang berbeda-beda. Tapi peluang yang dimiliki tiap orang sama banyaknya. Tergantung pada diri kita sendiri, apakah kita mau berusaha menemukan dan memanfaatkan peluang itu.
Hanya satu kesulitan yang benar-benar sulit, yang harus sama-sama kita hadapi. Neil Perry juga. Kita harus menghadapi Perenggut Mimpi.
Menurutku, melawan omongan dan kehendak manusia adalah cobaan yang lebih berat dari realita. Omongan dan kehendak manusia bisa menjatuhkan, bisa membuat diri kita terpuruk, sama seperti yang dialami Neil Perry.
Sampai saat ini pun, omongan dan kehendak orang tuaku selalu membayangiku. Menjadi momok yang membuatku benci pada hidupku. Membuatku memiliki kecenderungan untuk merenggut nyawaku sendiri. Hanya satu peganganku yang masih membuatku terus hidup. Mimpi.
Saudara-saudara sekalian, di saat Anda mulai membenci, saat itulah Anda harus berani untuk meraih mimpi. Aku hanya bisa merangkul para pemimpi untuk berani memberontak.
Carpe diem. Seize the day. Petiklah hari ini.
4 notes · View notes
mewangitenang · 2 years
Text
Selamanya
Sudah lama rasanya tidak: - Menulis puisi dengan konsisten - Berdiam diri di peron stasiun untuk waktu yang lama - Jalan naik kereta tanpa tujuan - Meluangkan waktu sendirian di toko buku - Memutari swalayan tanpa beli apa-apa
Satu-satunya yang masih dan harus selalu dilakukan hanya ngobrol sama langit. Tidak boleh tidak.
Ah, banyak hal berubah. Rindu juga. Semua bermula sejak pandemi datang dan tanpa sadar kebiasaan yang sudah-sudah berganti. Kukira pandemi tidak memberikan pengaruh yang signifikan untukku pribadi, ternyata cukup mengubah kebiasaan-kebiasaan. Iya, berganti menjadi rutinitas baru.
Aku jadi teringat pada dialog Bhumi dan Gean yang pernah kutulis. “Bhum, apa arti kata ‘selamanya’ untukmu?” “Bhum, bukankah selamanya adalah sementara dengan durasi yang lebih panjang?”
Tapi, Eyang Sapardi bilang, “Yang fana adalah waktu, kita abadi.”
Barangkali memang seperti itu. Satu-satunya yang akan abadi hanya kita. Di salah satu pameran karya yang pernah kudatangi, aku ingat ada satu caption menarik karya Tandika Cendrawan. Isinya: Usia sebuah nama melebihi nafas. Menarik sekali. Bahkan jika tubuh sudah berpulang pun, nama si empunya tubuh akan tetap berumur panjang, dikenang, dan diabadikan di hati orang-orang yang memaknainya.
Maka, wajar rasanya banyak hal berubah di dalam perjalanan. Satu-satunya yang utuh dan semestinya mampu bertumbuh adalah diri sendiri, bukan?
Ah, aku luput pada satu hal. ‘Selamanya’ mungkin bisa bermakna: output dari adanya kemampuan untuk merawat? Untuk menjaga agar bisa berumur lebih panjang? ‘Selamanya’ adalah hasil dari upaya untuk memanjangkan. Seperti inikah? Seperti aku yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk ngobrol sama langit, sehingga rutinitas ini masih terus berlangsung. Bisakah disimpulkan bahwa ‘selamanya’ tak luput dari ‘kebersediaan untuk terus-menerus’?
Hm, intinya semua ini hanya perihal prioritas. Keadaan tidak memiliki kesempatan untuk mengubah apa pun jika ada kebersediaan untuk terus-menerus menghidupkan tujuan dari kata ‘selamanya’.
- ca
12 notes · View notes
shfnlf · 11 months
Text
Cerita tentang Aku dan Pena
Tumblr media
Cie cie.. dari judulnya agak-agak dipaksa estetik gitu ya.
Aslinya, ini cerita gue di akhir tahun 2019 yang berhubungan tentang 'kepenulisan', alias sedikit perjalanan gue lah ya, tentang dunia tulis menulis.
Ya, aslinya gue memang suka menulis. Apapun itu. Dari puisi sampai diary. Hehe, cuma lebih jago nulis diary sih kayaknya. Kalau menulis tentang penelitian or skripsi kayaknya gue mau mundur dulu pelan-pelan deh. Hehehe..
Sebenarnya, setiap orang kan punya minat yang berbeda. Orang yang sama-sama suka membaca belum tentu membaca buku yang sama. Begitulah orang yang suka menulis. Ada yang suka menulis cerita fiksi, ada juga yang suka menulis kisah nyata, seperti gue ini.
Di balik foto ini, ada peristiwa berkesan. Makanya kenapa gue unggah cerita ini di sini. Foto ini merupakan salah satunya foto yang gue punya bersama Ustadzah Leha.
Sekitar akhir bulan Desember 2019, Ustadzah Leha menawari gue tiket acara seminar ini. Berhubung dia saat itu menjadi panitia, maka dia menawari gue tiket acara ini yang lumayan mahal (kayaknya gue nggak bakal beli saat itu).
Kenapa Ustadzah Leha menawari gue tiket?
Ada cerita sebelumnya, sewaktu gue pengabdian di Al-Muhsin. Kami pernah satu kamar (di kamar ustadzah). Beliau adalah kakak kelas gue 3 tahun di Al- Muhsin. Seingat gue, kami pernah sharing-sharing seputar kepenulisan, karena kami memiliki minat yang sama di sana. Gue memang suka membaca juga menulis (entah nulis apa pokoknya nulis aja), begitu pun Ustadzah Leha. Sebetulnya, ada satu lagi, yakni Ustadzah Mimi (Mia). Namun tidak ada di foto ini. Begitulah sekilas cerita kedekatan gue dengan Ustadzah Leha saat itu.
Posisi ketika momen ini terjadi, gue sudah berada di Jogja. Gue sudah berkuliah 1 semester di Ma'had. Tepatnya akhir semester 1. Saat Ustadzah Leha menawari gue tiket seminar ini, gue meminta waktu dulu untuk menerimanya. Karena acaranya di Bandung, jadi gue meminta izin dulu kepada orang tua. Akhirnya orang tua gue membolehkan. Alhamdulillah. Gue langsung pesan tiket kereta untuk ke Bandung.
Di sisi lain, teman gue saat itu (Ela) mengabari bahwa ingin berlibur di Jogja. Ia ingin pergi menginap di kost gue. Akhirnya gue 'iyakan' saja. Namun gue bilang kalau gue harus ke Bandung sekitar 2 hari.
(Sebenernya ini galau banget gaes, karena si Ela main tapi gue tinggal pergi, wkwkwk)
Sebelum hari itu tiba, Ela sampailah di Jogja. Dia istirahat di kost gue. Baru deh, keesokan harinya gue yang pergi. (Maaf ya, Ela)
Gue pergi sendiri naik kereta ke Bandung. Sampai Bandung, gue dijemput sama Budhe yang saat itu tinggal di sana, karena budhe kerja di Bandung. Gue pun menginap di kostnya semalam.
Setelah itu, baru deh esok harinya gue pergi ke gedung tempat seminar ini (Graha Pos). Sampai sana, gue bertemu Ustadzah Leha dengan temannya. Kami sempat berfoto bersama.
Gue sangat menikmati acara seminar tersebut. Para penulis dan calon-calon penulis se-Indonesia kumpul di satu gedung. Senang sekali, walaupun gue belum jadi apa-apa. Baru mau mengumpulkan niat, baru membentuk cita-cita menjadi penulis, hehehe.
Para pengisinya merupakan penulis-penulis hebat Nasional, seperti Tendi Murti, Asma Nadia, dan lainnya. Di sana juga ada stand-stand bazar buku dan sebagainya.
Sepanjang seminar, gue mencatat ilmu yang saat itu disampaikan para pembicara. Yang paling gue ingat, ialah kata-kata yang disampaikan Bunda Asma, "Tiada karya tulis yang sempurna, karena karya tulis yang sempurna hanyalah Al-Qur'an". Betul sekali, bahwa wajar seorang penulis melakukan kesalahan, atau bahkan banyak kekurangan dalam karyanya karena kita manusia.
Kemudian perkataan bahwa "Para penulis adalah mujahid-mujahid pena". Hal itu sangat memotivasi gue. Apalagi ketika disuruh membayangkan bahwa nama-nama kita ada di rak-rak buku best seller.
By the way, gue memang sudah suka banget dengan karya-karya sosok Bunda Asma Nadia. Dari SMP, gue membaca buku-bukunya, hingga mendengar kisah suksesnya menjadi seorang penulis. Bahkan karya-karya beliau banyak yang di-film-kan. Sebenarnya di momen ini, gue sempat berfoto dengan beliau, namun foto itu entah dimana. Hehe.
Setelah acara selesai, gue dan Ustadzah Leha berfoto. Juga bersama temannya yang gue udah nggak ingat lagi siapa namanya.
Tumblr media
Setelah itu kami ke luar pergi makan bakso, lalu jalan-jalan di alun-alun Bandung, kemudian pulang. Ustadzah Leha dijemput temannya dan ingin menginap di sana. Sementara gue langsung pesan tiket kembali ke Jogja diantar oleh Budhe. Lucu sekali, ya. Ustadzah Leha datang dari Lampung, gue dari Jogja, lalu kami bertemu di Bandung setelah sekian lamanya tak bertemu.
Sesampai kembali di kost, gue menemukan Ela habis makan Mie. Yaa Allah.. kasiannya teman gue itu. Hehe.
2 notes · View notes
mejakerani · 11 months
Text
PUISI EKOLOGIS DAN POPULIS ATAS PENCARIAN KEBARUAN DALAM ANTOLOGI PUISI PERCAKAPAN DI DASAR SUNGAI
Tumblr media
Oleh: Muhammad Irwan Aprialdy
Lahirnya buku antologi Percakapan di Dasar Sungai sejatinya memang tidak lepas dari tradisi penyelenggaraan tahunan Aruh Sastra Kalimantan Selatan yang tahun ini berumur 20 tahun. Tahun ini, penyelenggaraan diadakan di Kota Banjarmasin, setelah sebelumnya diadakan di kota yang sama pada tahun 2012 lalu. Lokalitas masih menjadi tema sentral penyelenggaraan acara dari tahun ke tahun. Dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan tahun ini, sungai yang menjadi trademark Kota Banjarmasin diangkat sebagai tema besar acara. Dapat ditebak karya-karya sastra, baik karya peserta lomba maupun puisi-puisi dalam antologi ini, banyak membicarakan wacana ekologis yang menyaran pada keberadaan hati nurani penduduknya di tengah duka tangis bukit, gunung, hutan, laut, sungai atau penduduk lokal yang kehilangan tempat di tanah lahirnya sendiri oleh oknum-oknum tertentu. Selain subtema lokalitas yang telah disebutkan, mistisisme masyarakat Banjar, baik di kota maupun di pedalaman, serta puisi-puisi  bernapas islami atau sufisme kerap menjadi alternatif. 
Sebelum dilakukan pembedahan atas puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi puisi Percakapan di Dasar Sungai, pembedah merasa perlu untuk menegaskan pengertian puisi dari sudut pandangnya sebagai pengamat dan tujuan dikumpulkannya 200 sekian puisi dalam antologi bersangkutan. Namun puisi, sebelum ditegaskan makna atau ditinjau-tinjau isinya, perlu dirujuk pula pengertian dari kerja seorang penyair itu sendiri: seseorang yang menulis puisi atau sajak, begitu sederhananya. Puisi atau sajak itu sendiri merupakan jenis sastra tertua yang terikat baris, bait, rima, irama, matra, dan unsur-unsur fisik atau batin lainnya. Namun, pada praktiknya dewasa ini, puisi atau sajak ditemukan dalam bentuk-bentuk yang beragam: terlampau panjang atau pendek; tipografi yang ikut menegaskan unsur batin/fisik puisi dengan beragam pola; penggunaan slang, penggunaan istilah asing, penggunaan bahasa lokal atau bahkan penggunaan bahasa denotatif di seluruh baris puisinya. Penggunaan bahasa-bahasa kasar atau umpatan juga sesuatu yang kian hari kian lumrah digunakan dalam puisi sebagai penanda pada dunia yang jungkir balik. Lalu, apa kerja penyair memang mengotak-atik piranti bahasa dan kemungkinan estetika yang segar dan baru dalam puisi?
Fakta tentang tren puisi hari ini yang sudah berani menanggalkan perangkat bahasa estetik untuk berusaha mencapai level kebaruan seperti halnya Chairil Anwar di era Pujangga Baru semakin menciptakan kesenjangan pada pengertian konkret puisi (yang secara awam dianggap sebagai bentuk penulisan yang indah dengan segala teka-teki artinya). Hal ini tidak lantas menyebabkan pengukuran kualitas antara puisi baik dan buruk sulit untuk dikejar ketika sekian juta penyair telah menawarkan beragam tema dan bentuk dalam tubuh kekaryaan masing-masing, teori puisi diperbaharui, dan selera terhadap suatu karya selamanya subjektivitas yang dipersenjatai pengalaman membaca. 
Apabila ada tulisan serupa percakapan daring dan penulisnya menyatakan itu adalah puisi, maka jadilah ia puisi. Hal itu sah, seperti yang diterangkan Sapardi Djoko Damono dalam pengantar buku puisi Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur. Licentia poetica menjadi dalih yang membebaskan penyair melakukan bermacam eksperimen sastrawi di laboratorium puitikanya. Pertanyaannya, sejauh mana licentia poetica mampu mengakomodir kebebasan penyair atas bahasa, bila bahasa adalah piranti yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu, bahkan dalam puisi?
Apabila dipahami pengertian bahwa penyair adalah man speaks to men, menurut William Wordsworth, penyair era Romantik Inggris, atau, pembakar utama menulis puisi adalah keputusasaan, merujuk pada penjabaran penyair dan esais peraih Nobel 2020, Louise Glück, maka, apa para penyair dalam antologi Percakapan di Dasar Sungai telah berhasil membicarakan apa yang ingin dibicarakan lewat puisi atas dasar keputusasaan? Apabila digugat balik pertanyaan tersebut, apakah puisi harus selalu berhasil membicarakan sesuatu? Dan betapa kusamnya puisi apabila dasar penulisannya selalu berawal dari keputusasaan atau perasaan-perasaan nelangsa yang tak diangkat atau dibicarakan dalam konvensi komunikasi sehari-hari? Atau jangan-jangan topik wicara puisi diutarakan karena keharusan atau rasa penasaran untuk mengejar kebaruan? Seolah suatu topik bicara tidak dapat dikomunikasikan dalam bentuk-bentuk lain dan penyair mengidap sindrom Fear of Missing Out atas tema-tema segar dan bentuk baru sebagai respons atas hidup modern dalam tren berpuisi hari ini? 
Berdasarkan keresahan pada wacana kebaruan dan kesegaran pada variasi tema, bentuk, dan jenis puisi yang semakin beragam pilihannya sekarang ini, dengan segala keterbatasan, pembedah melakukan pembacaannya atas Percakapan di Dasar Sungai dengan harapan menemukan kesegaran pada tema lokalitas yang pasti dominan dalam antologi ini.
Seperti yang telah diungkapkan, dari tahun ke tahun, penulisan antologi puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan awet dengan tema-tema lokalitas. Apabila ini dipandang sebagai upaya pemertahanan budaya dan menumbuhkan semangat lokalitas dalam diri penyair, maka, upaya yang dilakukan dianggap lebih dari cukup. Upaya tersebut juga memiliki efek samping yang menimbulkan kemandekan dalam menggarap tema-tema lain dan pemberontakan dalam memandang dominasi tema lokalitas sebagai penyirat identitas kelahiran para penyair. Apa bedanya penyair sebagai agen promotor kebudayaan dan lingkungan hidup? 
Mudah ditemukan nama-nama penyair yang akrab bertutur dengan tema dan istilah lokal dalam antologi ini. Mudah pula ditemukan nama-nama penyair yang menolak sama sekali konsep lokalitas dan membicarakan perihal lain, yang bisa dipandang remeh atau bentuk karya romantisasi atas kontemplasi berkehidupan sehari-hari. Bisa juga puisi-puisi dipaksakan menyaran pada tema agar ikut termaktub dalam antologi ini. Man speaks to men. Apa penyair bicara lewat sastra atau atas nama sastra atau karena acara Aruh Sastra ia bicara (menulis)?
Penghayatan atas sungai, alam atau kota sebagai bagian tak terpisah dari ruang hidup masyarakat di Kalimantan Selatan sebagian besar memang hanya dilukiskan. Apakah dalam pelukisannya yang purna dan keluar-masuk antara lanskap alam atau kota yang jadi bermacam analogi memang dibarengi penghayatan hidup serupa yang dilukiskan dalam puisi? 
Saya membayangkan para penyair yang karya-karya masuk dalam antologi ini sebagai seorang flaneur yang melakukan plesiran ke berbagai tempat di tanah lahirnya dan membaca banyak wujud konkret yang ditandai sebagai kata atau frasa yang keluar masuk dalam sensor puitikanya untuk dimodifikasi lalu memberi tawaran perspektif atau dimensi baru dalam memandang kota atau alam. Dalam arti lain, tidak menjadikan lanskap semata objek lukisan atau topik dalam wacana populis atau ekologis, yang hanya dijejali fakta dan berita mentah tanpa diolah lewat puisi yang sejatinya mampu menawarkan dimensi yang mencerahkan pembaca dalam memandang kenyataan, pun dalam konteks lokalitas. Kalimantan Selatan sendiri dalam perkembangannya telah menjadi melting pot beragam kultur, sistem, dan warna hidup yang berbeda-beda. Percakapan di Dasar Sungai harusnya mampu memuat puisi-puisi yang memberi warna yang berbeda-beda atas ekspektasi untuk menemukan kesegaran dalam penulisan puisi di tahun 2023, di provinsi ini. 
“Kapan Sungaiku Benar-benar Merdeka” karya A. Rahman Al-Hakim menjadi puisi pembuka. Puisi ini tak hanya mengembuskan suara yang terus terang dari seorang penduduk Banjarmasin yang kecewa sungai-sungai di kotanya digusur oleh jalan-jalan aspal, bangunan beton, dan bentuk pembangunan infrastruktur lainnya. Puisi ini menampilkan suara yang menuntut pengembalian citra kotanya yang dikenal sebagai kota seribu sungai. Penjejeran nama-nama sungai di Banjarmasin yang sepertinya dikumpulkan dengan cukup cermat dan tekun cukup menambah wawasan indeks nama-nama sungai di Banjarmasin. Namun, daya tarik pengumpulan nama-nama sungai itu menggusur pula ciri utama puisi sebagai medium sastra berdaya ungkap tak langsung. 
Setelah puisi “Kapan Sungaiku Benar-benar Merdeka”, seperti biasa ditemukan puisi-puisi lain yang sebagian besar menyiratkan keprihatinan penduduk pada ekosistem sungai dan alam lainnya. Bolak-balik satu penyair ke penyair lainnya menjadikan objek alam tersebut sebagai modal personifikasi dan depersonifikasi dalam puisi mereka. 
Pengulangan tema ekologis dan populis tadi menyebabkan kegembiraaan ketika akhirnya ditemukan dua puisi yang menandakan jejak lintas kultur dalam ranah media atau seni yang memengaruhi suasana batin dalam puisi “Hujan, Sihir, Malam, dan Trompet Armstrong” karya Dewi Alfianti  dan “Bulan Larut di Sungai Kerokan yang Kusebut Zafri Zamzam” karya Munir Shadikin. 
Hujan lesap di daun jendela, sementara aku membayangkan tawamu yang serupa/ denting piano di kafe yang sepi pengunjung, begitu enggan, begitu acuh./ Namun, tak ada yang lebih menawan daripada ritme suaramu yang menghentak/ mengalahkan improvisasi Amstrong./ Bagiku kau lebih memukau dari alunan jazz di antara hujan/ yang menaklukkan sepi. Demikian Dewi menampilkan ruang puitika yang tidak berkelindan sama sekali dengan sungai, seperti yang diharapkan. Puisi “Hujan, Sihir, Malam, dan Trompet Armstrong” ini menyatakan selera referensi musik yang tak harus sejalan dengan laku tradisi. Puisi ini juga menyiratkan suara bahwa di 2023 sangat mungkin nama Ella Fitzgerald dan Neil Armstrong dipuja-puja di daerah buncu Pulau Kalimantan. 
Atau perhatikan bagaimana Munir menuliskan:  Bulan tersenyum mendengarku, Angelina/ kami beranjak menjadi Jesse & Julie/ Entah bulan sedang apa/ dan aku kembali larut dalam pasang sungai/ “Before Sunrise” dengan diriku sendiri. Seperti Dewi, Munir menyiratkan generasi yang terpapar oleh pengaruh globalisasi pada distribusi industri hiburan Barat ke tanah Banjar. Apa itu salah?  Indeks Fitzgerald, Armstrong, Jesse dan Julie, Jazz, Before Sunrise memunculkan kesan bahwa kota ini memang tidak setertinggal itu. Masih ada oknum-oknum yang mengejar pemaknaan estetika dengan referensi-referensi luar, tidak menjadikannya sekadar catatan kaki belaka, namun substansi yang akrab dengan imajinasi dan penghayatan hidup yang terasa remeh-temeh namun terjadi sehari-hari. Meski, penggunaan piranti bahasa dalam dua puisi tersebut belum diramu dengan matang. Atau, jangan-jangan upaya melawan konvensi terhadap bunga kata-kata puisi warisan Pujangga Baru?
Kejutan muncul dari puisi Maria Roeslie yang memberi suara yang jarang diangkat dalam gelanggang puisi Kalimantan Selatan, yaitu perspektif warga peranakan Tionghoa tentang sungai: 
Sesuatu meronta-ronta dalam jiwa mengumandangkan rindu
Rindu mentari pagi yang menghidupi cermin anak sungai tepekong
Bertalu-talu rinduku mengiang menggelitik dada
Tak mampu lagi mengukur dalamnya riak gelombang jukung tiung
Walau kuteropong dari ketinggian jembatan ulin yang semampai
Sirna
Tiang-tiang rumah bahari yang berbaris rapi
Oleh sang empunya si taci si engkoh si encim dan si encek
Perlahan sirna
Akar pohon jingah yang menggurita di tepian
Dan tali-temali akar gantung beringin yang menggelayut
Serta manis getir buah kasturi yang mewarnai subuh
Telah pula sirna
Mungkinkah suatu saat nanti kita akan bertemu kembali
Tuk menguraikan isak tangis air dan udara di seputaran jalan veteran
Semoga angin terus bertiup
Dan bumi mengijinkan
Entahlah
Banjarmasin, 24 Agustus 2023
(Puisi “Sungai Tepekong” karya Maria Roeslie)
Kehadiran puisi “Sungai Tepekong” memberi suara pada the other yang akrab kita beri label chindo, mengesampingkan fakta bahwa mereka telah hidup berdampingan dengan penduduk lokal selama ratusan tahun dan memiliki suara asli mereka sebagian dari populasi; bahwa suara mereka ada dan valid untuk berbicara tentang rindu dan juga sungai. 
Cara Diang Anggrek mengambil Pantai Jodoh yang bukan pantai, melainkan tepian sungai dalam puisi “Pantai Jodoh Tak Jodoh” juga menarik. Kehadiran puisi ini menjadikan buku antologi ini tak terasa baku. Tema yang bisa jatuh dikritisi sebagai karya picisan ini memberi kelenturan dan contoh bagaimana fragmen kehidupan sehari-hari digubah menjadi puisi. Ia memberi sorotan pada latar tempat nongkrong yang dijadikan titik kencan muda-mudi Kota Banjarmasin. Terkesan remeh untuk diangkat jadi puisi? Pembedah memandang Diang memberi gambaran yang abai tentang potongan kehidupan kota ini. Diang juga menambahkan deskripsi kehidupan sehari-hari lewat baris-baris: motor biru kita dorong/ lorong kampus hingga kayu tangi ujung/ duhai pujaan hati yang tak rendah hati. Puisi Diang tak hanya jujur, ia juga dekat.
Selain pendekatan pada sesuatu yang jarang diliput lampu spot puisi lokal, pengenalan lanskap kota dan alam sebagai sosok ibu juga muncul pada antologi ini, seperti Micky menulis dalam puisi “Banjarmasin”: Banjarmasin,/ kehilanganmu sebagai ibu/ tak lagi kusesali// juga mesti berulang kutangisi/ kutulis sajak ini untukmu/ sebagai isyarat aku makin menyayangimu/ tersebab kau adalah surga bagi cintaku.
Pengandaian alam sebagai ibu juga muncul dalam puisi “Sungai Adalah Rahim Ibu” karya Rahmat Akbar: Sungai ialah rahim Ibu, mengalirkan doa leluhur/ Sesekali batu bertafakur/ Menyimpan sakit bercampur/ Bahwa gemercik air yang melebur kini telah kabur.
Kekerabatan intelektual pada sosok alam atau kota yang diumpamakan ibu sebenarnya kerap terjadi, seperti pada cerpen pemenang Aruh Sastra terdahulu “Rahasia Sedih Tak Bersebab” karya Harie Insani Putra atau yang paling anyar buku puisi Kekasih Teluk karya Saras Dewi. Tak jemu-jemu konsep Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi muncul dalam karya sastra, menganalogikan tiap kerusakan alam sebagai aksi durhaka yang melukai suwung nurani ibu, yang tanpa pamrih melahirkan dan membesarkan jiwa-jiwa yang melukainya. 
Kerusakan alam yang kerap menjadi tema favorit para penyair yang karyanya tampil dalam buku-buku puisi bertema lokalitas menyaran pada fakta bahwa kondisi alam Kalimantan yang kaya dan tak henti-henti dibulangkir isinya. Di sini peran sastra sebagai media aktivisme para penyair mengambil tempat untuk menyuarakan atau setidaknya mencatat masalah hari ini yang tak kunjung menemu jalan tengah atau solusi. Selain itu, tradisi yang mulai kikis dan adab yang tumpang tindih dengan suara-suara sinis dan individualis juga mengisi halaman demi halaman di buku antologi ini. Namun, bukan berarti puisi-puisi berisi harapan dan doa redup digusur puisi bernada sinis. Simak puisi “Sungai Purba” karya Ratih Ayuningrum berikut ini:
Sungai di mataku
Mengalir purba
Sungai-sungai yang kujaga sejak lama
Hingga mata berkerut nyata
Tak tercemar, mengalir ke cabang-cabang kehidupan
Udara memanas
Sesekali deru pickup berhenti di sungai utama
Membawa ke kota-kota, ke rumah-rumah
Kini tak hanya sesekali
Puluhan kali deru pickup menggema
Membawa sungai-sungai hilir mudik masuk ke rumah-rumah
“Semua mulai tak lagi mengalir”
Sungai di mataku tetap setia
Tak tercemar
Meski banyak deru pickup bertamu dan membawa serta 
alirannya pergi
Ke kota-kota, memasuki rumah-rumah
Kotabaru, 30 Agustus 2023
Sungai yang dibawa mobil pick up. Sungai yang memasuki rumah-rumah. Sungai yang menolak dikira tercemar. Puisi Ratih ini bisa menandakan kedigdayaan sungai sebagai subjek yang mampu memilih aksinya sendiri di tengah ancaman deru mobil pick up, yang entah membawa tanah untuk menimbun dan membawa sungai sebagai sisa dongeng rumahan. Atau menghadirkan sungai sebagai banjir bah yang masuk rumah atas hasil dari hilir mudik mobil pick up yang datang membawa substansi-substansi penting si Sungai yang telah defect fungsinya dalam ekosistem sebagai penampung air serapan. Dalam ambiguitas yang terjaga hingga akhir, Ratih berbicara tentang harapan yang cenderung gelap.
Tema mistik khas Banjar tentang hantu banyu juga tak luput tercatat, dihadirkan dalam puisi “Nyanyian Hantu Banyu” karya Aluh Srikandi. Selain menggambarkan dengan deskripsi suasana muram tentang mitos masyarakat Banjar pada hantu banyu, “Nyanyian Hantu Banyu” cukup menghentak dengan bait penutupnya yang berbunyi:
Ah,
Aku si Hantu Banyu sang penunggu tumbukan banyu
Kini hanya bisa bernyanyi pilu
Mendendangkan lagu-lagu rindu
Akan indahnya masa dahulu
Sembari menunggu waktu
Kembali ke hadapan Tuhanku
(“Nyanyian Hantu Banyu”)
Hantu yang bertuhan. Religiusitas yang jadi subtema yang khas dalam gubahan penyair lokal tampil tanpa untaian doa yang ditulis indah berbunga kata-kata. Dengan sederhana, Aluh menyandingkan hantu banyu dengan Tuhan, seperti kerap puisi religius ditulis penyair lokal. Bait terakhir ini efektif memberi tawaran tentang asumsi lain yang mampu digarap dan dibicarakan dalam puisi: gelap yang menjunjung Tuhan. 
Cukup banyak sebenarnya yang dapat dibahas mengenai Percakapan di Dasar Sungai sebagai sebuah produk pencatatan para penyair Kalimantan Selatan tentang masyarakat, hidup mereka masing-masing, dan ekosistem yang melingkupinya. Meski pengulangan tema adalah siklus yang pasti terjadi dan kesegaran dalam segi bentuk dan tema masih menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah selesai di ranah puisi Kalimantan Selatan maupun nasional, namun, yang dapat disyukuri: puisi masih ditulis; penyair-penyair baru lahir kembali. 
Sebagaimana saya membaca keluguan dalam pemilihan diksi para penyair muda yang karyanya tampil dalam buku antologi ini, muncul harapan bahwa puisi dari penyair-penyair Kalimantan Selatan mampu berbicara banyak di kancah nasional atau internasional, mewakili dirinya sendiri atau khalayak sastra sekalian. Tentunya harapan itu disematkan pula pada para sepuh penyair yang puisinya terbaca sebagai kematangan tutur puitik, yang tentunya dicapai dari usia sepak terjang pembacaan mereka atas sastra dan jejak kepenyairan mereka.
Berbicara mengenai pembacaan, tentunya penulisan puisi dalam Percakapan di Dasar Sungai merefleksikan seberapa dalam para penyair menyelam ke sungai sastra untuk muncul ke permukaan, menulis tentang sastra sungai di buku ini. Muncul pertanyaan: apa sungai itu selamanya berwarna kecoklatan saja? 
Puisi-puisi yang judulnya disebut pada penjabaran di atas barangkali adalah riak-riak lain, di samping banyak juga puisi-puisi yang tak disebutkan dan menjadi gelembung-gelembung yang muncul dari dasar pembacaan yang cukup dalam. Kapan sungai itu berwarna bening? Barangkali ketika kita memutuskan untuk menyisihkan sampah-sampah yang tak perlu dan membiarkan sungai pembacaan mengalir dan surut sebagaimana mestinya cuaca tak selamanya menyaran pada hujan atau panas semata. 
Puisi adalah media dengan berbagai kemungkinan daya ungkapnya untuk berbicara tentang sesuatu. Apa sesuatu itu? Saya teringat alasan mengapa Jon Fosse dihadiahi Nobel Sastra tahun ini: untuk upayanya memberi suara pada hal-hal yang tak terucapkan. Bagaimana hal itu mungkin? Mari sama-sama mengingat bagaimana kita dulu mengumpulkan patahan fonologi sebagai produk suara di sudut-sudut mulut untuk membentuk kata, kata jadi susunan kalimat, kumpulan kalimat membentuk wacana merujuk pada bermacam tema dan stilistika. Penemuan pada hal-hal tak terkatakan itu tentunya dilakukan bertahap, tanpa paksaan, dan terus dilakukan. Seperti dulu kita belajar bicara, penyair sebaiknya memang terus belajar agar puisinya mampu terus berbicara pada sesama.
Sejatinya membaca dan menulis puisi adalah siklus yang berulang, namun juga tak pasti. Melalui Percakapan di Dasar Sungai dan penghelatan Aruh Sastra Kalimantan Selatan yang sudah menginjak usia dua puluh, ia menjadi bukti puisi masih terus digeluti dan ditulis lagi, pekerjaan rumah literasi dan meja kerja puitika yang tak pernah selesai dan selalu beregenerasi. Tentang kebaruan yang dicari-cari dalam antologi ini? Menurut hemat saya, hal itu akan terjadi ketika membaca dan menulis puisi mencapai kulminasi titik jemu, namun tak redup atau memutuskan mati.
2 notes · View notes
nonaabuabu · 5 months
Text
Tumblr media
Aku tidak tahu kenapa aku harus menulis ini, saat aku tahu ia tidak akan pernah singgah di sini, mengenaliku lebih jauh meski kebanyakan yang kurangkai adalah rekayasa perasaan alias fiksi belaka. Mungkin sebab itu aku menulisnya di sini, entah siapapun yang membaca mereka akan mengira-ngira apakah aku sedang berkarya atau sedang bercerita tentang kenyataan.
Aku tak ingin menceritakannya dengan gamblang, dengan jelas layaknya prosa yang menarasikan karakter utama dalam paragrafnya. Aku pula tak ingin menuliskannya sebagai puisi, yang setiap kata mewakili ia dari berbagai lini dan dimensi. Maka aku akan menuliskannya sebagai kalimat yang kehilangan keindahan, yang tak memiliki struktur serta ejaan yang tak disempurnakan.
Aku menuliskannya sebagai sesuatu yang rancu dan kehilangan pesan dalam isinya.
Kami bertemu dalam riuh rendah dunia yang semakin bising, hadir dengan wajah masing-masing. Aku menjelma bijak yang pendiam, membunuh diriku yang skeptis dan pemarah. Ia datang bagai rupa lamaku, dalam bentuk yang lebih matang. Tentu aku abai untuk pertama kali, hingga satu-persatu kebetulan atau kesengajaan mengetuk pertanyaan di dadaku, dan rasa penasaran itu bertamu.
Jika tak membohongi hati, aku bisa katakan yang sepertinya berulang kali aku temukan, namun jika menelaahnya menjadi sebuah perasaan yang lebih lekat, aku sudah lupa kapan terakhir kali ingin tahu tentang seseorang, dalam konteks yang lebih jauh. Mungkin empat tahun lalu, dan aku tahu itu bukan perasaan yang baik.
Maka aku menjelma nama yang hadir dalam banyak eksistensinya, berkeliaran untuk memuaskan rasa penasaran, mencari celah untuk jadi pelajaran, namun sayangnya aku malah terjebak dengan ilusi yang membuatku kembali mempertanyakan diri sendiri.
Jika ada seseorang yang menanyakan perasaan apa yang paling kubenci saat ini, ia adalah rasa penasaran kepada seseorang. Aku dibuat belajar kembali untuk menahan segala gejolak, keinginan spontan yang terkadang harus diredam paksa agar tak mengakibatkan buruk pada pola diri dan pikir. Karena bagaimanapun kadang aku menguasai diri, ada perasaan-perasaan baru yang harus mati-matian baru mampu dikendalikan.
Sekarang aku ingin menutup buku yang menuliskan tentangnya, aku lelah bertanya, goyah dan menebak-nebak. Meski sebagian besar bisa aku tepis, namun bukankah lebih baik tak memikirkannya sama sekali. Di saat aku bisa melihat satu dua tanda bahwa apa yang kulakukan hanya berujung kepada kesia-siaan.
53 notes · View notes
dkarmila · 1 year
Text
Tumblr media
Halo semuanya! Kali ini saya mencoba untuk review buku yang beberapa waktu lalu selesai saya baca. Buku berjudul Konspirasi Semesta karya Azhar Nurun Ala. Sebetulnya ini bukan buku baru dan kali kedua buku ini saya baca. Buku ini merupakan buku kedua dwilogi Tuhan Maha Romantis.
Konspirasi Semesta merupakan novel fiksi yang bercerita tentang perjalanan cinta yang mungkin cukup klasik dengan gaya penulisan yang sederhana dan mudah dimengerti. Perjalanan cinta seorang gadis pemalu, penurut kepada kedua orang tuanya, cantik bernama Annisa Larasaty sejak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga dijenjang perkuliahan sampai akhirnya tumbuh menjadi wanita dewasa dan menikah.
Tentang kisahnya terlibat dalam hubungan tanpa status bersama Ronal seorang anak laki-laki dengan perawakan tinggi tegap, warna kulit sawo matang, rambut belah pinggir yang memiliki tatapan tajam dan senyum manis serta dikenal sebagai anak yang sering berulah disekolah namun cukup berprestasi. Hingga perpisahan yang tiba-tiba tanpa berpamitan dan kejelasan. Hal tersebut cukup membuatnya trauma dan menutup hati. Sampai akhirnya suatu hari Laras bertemu dengan laki-laki yang mengingatkannya pada masa lalunya. Laki-laki itu adalah Rijal, adik tingkat satu tahun di bawah Laras, yang pada akhirnya menjadi suami Laras. Untuk keduanya sampai menikah, perjalanannya pun masih diwarnai konflik.
Selain bercerita tentang perjalanan cinta dan konfliknya, novel ini juga mengangkat konflik yang terjadi dikeluarga dan juga bercerita tentang persahabatan. Tentang keluarga dengan perbedaan agama, perselingkuhan, dan pertengkaran maupun tentang kehidupan keluarga yang begitu hangat dan religius. Bagaimana merasa dibohongi sahabat sendiri, hingga kehilangan sahabat untuk selamanya.
Alur cerita yang digunakan penulis pada novel ini yaitu alur mundur, karena penulis menceritakan perjalanan cinta masa lalu tokoh sebelum akhirnya bertemu dan menikah dengan suaminya saat ini. Dengan menceritakan dari sudut pandang orang pertama yaitu Laras. Penulisan didominasi dengan pemaparan dalam kalimat yang panjang sehingga ritme nya terasa lambat.
Latar tempat yang digunakan didominasi dengan lingkungan sekolah, kampus, rumah dan toko buku atau perpustakaan karena kegemaran salah satu tokoh yaitu membaca. Sehingga latar waktu yang tergambar dari cerita dalam novel pun adalah saat jam sekolah, pagi sampai sore hari, perpisahan sekolah, dan saat kegiatan-kegiatan di sekolah.
Yang cukup menarik dari cerita dalam novel ini, pembedahan singkat dari salah satu jenis karya sastra yaitu puisi dan pengenalan beberapa tokoh di bidang sastra. Hal tersebut dilatar belakangi karena tokoh dalam cerita yang merupakan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra serta hobi yang dimilikinya yaitu membaca.
@careerclass
9 notes · View notes
ceritalima · 2 years
Text
Menulis Buku Pertama
“Ada rencana bikin buku gak?”
Sejak kecil, menulis selalu menyenangkan bagiku. Saat SD, aku punya buku harian berwarna merah muda berukuran A6 dengan gambar karakten kartun favoritku. Ketebalannya kurang dari satu sentimeter tapi buku itu bisa bertahan lebih dari satu tahun. Tidak setiap hari aku menulis, dalam seminggu hanya menulis satu sampai dua kali. Hanya beberapa momen menarik yang aku tuangkan di buku tersebut.
Wadahku menulis mulai berubah ketika aku duduk di bangku SMP. Kala itu Facebook mulai ramai digunakan banyak orang, termasuk aku. Seorang teman membantuku membuat email dan mengajari cara menggunakan Facebook. Meski awalnya kesulitan, perlahan aku mulai menyukainya. Aku senang mengunggah foto dengan sepotong kalimat, mengotak-atik tampilan profil, dan menulis di dinding. Banyak sekali hal yang aku tulis, mulai dari cerita pendek, puisi, dan tulisan bebas. Tidak peduli orang berpendapat apa tentang tulisanku, tapi aku sangat menikmati momen tersebut.
Menulis selalu punya efek ajaib. Semua hal yang mengganggu pikiran bisa dengan mudah disalurkan. Seperti sedang membuka kepalamu dan mengeluarkan benang kusut dalam kepala. Menguraikan kerumitan dan membuat benang tersebut lurus kembali. Tentu ada yang bertanya, bagaimana jika aku tidak biasa menulis? Jangan terlalu dipikirkan. Cukup tuliskan apa yang ada dipikiran saat itu. Sampaikan saja semua isi di kepalamu. Ketika pertama kali menulis, aku pun melakukan hal demikian.
Butuh waktu dan pembiasaan sampai terbiasa menulis. Tidak jarang butuh paksaan dengan mengikuti tantangan. Setelah bertahun-tahun menulis di berbagai wadah, baru saat kuliah aku memberanikan mengikuti lomba menulis. 
Lomba itu diadakan salah satu komunitas penulis dan organisasi lingkungan dengan tema mencintai alam. Tulisannya terpilih akan menjadi antologi buku fiksi yang dicetak secara terbatas. Di luar hadiah pemenang dan kesempatan membukukan tulisan, aku sudah cukup senang bisa menantang diri untuk menulis.
Perjalanan bertemu penyu di daerah Sukabumi menjadi cerita yang aku angkat. Tulisan yang berdasarkan kisah nyata ketika berkunjung ke salah satu daerah konservasi di Sukabumi. Tulisan biasa yang dibalut cerita pendek dengan cerita alur maju mundur yang sederhana. Namun siapa sangka, tulisan yang aku anggap biasa ternyata bisa menjadi salah satu cerita yang masuk ke dalam buku tersebut.
Selayaknya orang jatuh cinta, aku sangat berbunga-bunga melihat buku antologi yang sudah dicetak. Tidak banyak memang, hanya beberapa buku yang dibagikan kepada pemenang dan orang yang hadir dalam acara perayaan yang diadakan penyelenggara lomba. Meski tidak dijual bebas, tapi ada kebahagiaan sendiri menyentuh bentuk fisik buku itu.
Pengalaman lomba di masa kuliah dulu menyadarkanku bahwa ada kalanya perlu memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang lebih. Menulis selalu menyenangkan bagiku dan menantang diri ternyata jauh lebih menyenangkan. Jika dulu aku sering menulis bebas sesuka hati dan waktu, sekarang aku suka mengikuti berbagai tantangan menulis.
Menulis bebas tentu memberikan kemudahan tersendiri. Aku menikmati saat-saat bisa menulis dengan tema apapun. Sedangkan pada tema yang telah ditentukan, biasanya aku kesulitan. Namun, rasanya tantangan lebih membantuku untuk keluar dari batas nyaman. Jika sebelumnya minimal jumlah kata adalah 200, sekarang peserta ditantang menulis minimal 500 kata. Luar biasa, lebih dua kali lipat dari sebelumnya. Otakku terasa panas dan aku hampir kehilangan kata-kata.
Senang bisa memiliki kesempatan untuk menantang kemampuan. Aku sungguh menikmati setiap prosesnya dan merasa tidak harus terburu-buru dalam setiap langkah. Ketika ditanya tujuan dan hasil yang ingin dikejar, sederhana saja. Aku hanya ingin tahu batas kemampuanku. Entah membuat buku atau tidak, aku tidak terlalu peduli.
9 notes · View notes
soedagoeng · 1 year
Text
Tumblr media
Bukunya Jamie S. Davidson ini baru sampai kemarin di rumah. Beliau cerita pengalamannya ke Kalimantan Barat sekitar tahun 1999 hingga 2000an. Dari Davidson saya baru tahu kisah-kisah kelam tahun 98 dan 2001 di tanah kelahiran. 
Dulu saya masih siswa SD kelas 3 yang takut karena adanya kerusuhan di tengah kota. Saya masih ingat Paman dan Bibi sekeluarga terhambat pulang dari arah Sambas terdampak aksi massa. Lalu, sekolah diliburkan beberapa kali. Kami juga diungsikan ke rumah kakek karena dianggap relatif aman lokasinya. Saya masih ingat waktu itu sampai demam karena takut dan memikirkan Papa yang belum bisa pulang dari kantor. Rentetan peristiwanya berdekatan selang sekian bulan dari peristiwa Reformasi 98 soalnya. Jadi tahun itu berat sekali rasanya.
Pas tahun 2000 atau 2001 saat kerusuhan baru lagi terjadi di Pontianak, malam hari saya dengar suara atap terlempar batu-batu. Kami dibangunkan orang tua. Ternyata rumah sebelah kami sudah dikepung warga yang gagal mau menyerbu kamp pengungsian Madura di stadion bola UNTAN. Persis lokasinya di seberang areal rumah kami. Berhubung tetangga kami juga Madura - boleh dibilang sosok Madura sukses karena bisa punya rumah megah dua tingkat di tengah kota - massa hendak melampiaskan amarahnya ke tempat beliau. 
"Bakar jak, bakar!" 
Saya dengar teriakan itu dari dalam rumah. Mama bilang iya mereka bakar, nanti rumah kita duluan hangus karena rumah kita bahannya kayu, tetangga itu rumahnya beton. Tidak lama kemudian Paklek Gagat datang menjemput kami sekeluarga untuk kembali diungsikan. Yang saya ingat dari cerita orang tua, massa berhasil ditenangkan dan tetangga sekeluarga berhasil dievakuasi ke rumah dinas gubernur lewat jalur belakang (rumah mereka ada dua akses).
Buku ini menghadirkan kembali sensasi dan memori itu. Boleh dibilang trauma masa kecil merasakan (tidak menyaksikan) periode kelam itu. 
Tumblr media Tumblr media
Davidson juga titip salam ke orang, lokasi, organisasi, dan kelompok yang begitu baik membantunya selama di Kalbar saat penelitian. Salah satunya almarhum Prof. Tangdililing. Saya sempat tandem sama beliau pas pertama masuk, makasih juga Prof sudah membimbing saya. Semoga saya bisa lanjutkan amanah Prof. Semoga tenang di sana.
Tumblr media
Foto terakhir kembali menambah semangat. Saya di trek yang benar buat ngobrol lagi sama Yangkong. Davidson sempar merujuk publikasi beliau soal migrasi swakarsa Madura di Kalbar. Terima kasih sudah membuka jalan buat kami ye, Yangkong. Maaf kite ndak pernah bisa benar-benar ngobrol soal riset di Kalimantan Barat. Setidaknya kita ngobrol lewat sitasi-sitasi orang yang membaca karya Yangkong ye? Nanti Danu ikut juga publikasi soal riset-riset di Kalbar biar kite selalu nyambung diskusinye. Beliau mengamalkan puisi Chairil Anwar berjudul "Sekali Berarti Setelah Itu Mati". Buku beliau terbit tahun 2001, padahal beliau sudah duluan berpulang tahun 1998. Dan beliau masih seperti pepatah "gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama." Terima kasih, Yangkong.
Wien, 14 Juli 2023
3 notes · View notes