Tumgik
#gopoh
prapuna · 10 months
Text
society if uni offered a reasonable course schedule
1 note · View note
manifestasi-rasa · 6 months
Text
Tumblr media
Menuju 2024, menuju 23 tahun dalam angka usiaku.
2023 adalah tahun yang kalau dituliskan, barangkali aku sampai habis kata untuk menarasikannya. Tapi aku bisa berbagi hal-hal yang telah kudapat di tahun ini:
1. Egomu adalah milikmu. Sebagai perempuan yg sadar kalau emg punya ego yg cukup tinggi dan merasa ngga nyaman saat terusik, mengenal dan berdamai dengan ego sendiri adalah niscaya. Wajib. Karena ego ini, kalau nggak dikendalikan bisa menyakitkan. Sakit buat diri sendiri. Sakit untuk orang lain. Memberi jeda adalah apa yang kulakukan saat ada hal-hal yang memang mengusik ego. Supaya aku ngga impulsif atas apa yang sedang terjadi, supaya aku dan siapapun yang berhubungan dengan ku tidak tersakiti. Kasih jeda buat memikirkan ulang, sadar kalau ngga semua alasan dan argumen perlu diutarakan demi kemaslahatan.
2. Semua orang punya pace masing-masing. Sepanjang tahun ini kadang aku mengeluhkan mengenai bagaimana orang" menilai luarku tapi tidak tau bagaimana aku menjalaninya. Tapi di penghujung tahun ini, kusadari kalau Allah emang kasih energi yang kadang berlebih. Di saat orang-orang sudh cukup lelah, aku masih bisa berlari. Saat yang lain sudah cukup jenuh, Allah masih kasih jalan istiqomah. Tapi aku juga kudu sadar kalau ngga semua orang bisa lari terus menerus. Selain menyadari kapasitas diri, dalam kerja tim, tau kapasitas yang lain juga perlu. Meski ngga bilang, selama aku jadi ketua bidang HRD, sekretaris bidang ku ngerasa cukup tergopoh-gopoh dgn ritme kerjaku.
3. Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Salah satu hal yang cukup kusesali tahun ini adalah komunikasi ku terhadap temen temen semasa SMP-SMA yang menurun. Aku sering skip agenda kumpul" karena kesibukan kampus dan organisasi. Jarang nimbrung di grup sirkel SMA. Ya boro-boro, chat WA ngga numpuk saja aku cukup struggle. Yh, masalah membalas pesan whatsapp ini kayanya masih jadi pr deh wkwkw. Tapi kemudian aku sadar kalau teman-temanku semasa SMA memang teman" Ideal untukku saat aku SMA. Dan teman"ku masa kini, adalah orang-orang yang kubutuhkan di masa kini.
4. In ahsantum ahsantum lianfusikum wa in asa'tum falahaa. Semua kebaikan yang kamu usahain, ya bakal kembali ke dirimu. Baik secara langsung ataupun ngga langsung. Ketika kita berbuat kebaikan untuk orang lain, sesungguhnya kita sedang berbuat baik utk diri kita sendiri. Untuk menjadi orang baik. Dan sebaliknya. Perihal berbuat baik ini, ngga usah terlalu dipikir panjang kalau mau berbuat kebaikan. Dan ngga usah risau kalau kita ga dapet feedback yg menyenangkan setelahnya. Sebaik-baik pemberi balasan adalah Allah. Jangan berhenti berbuat baik meski kebaikanmu ngga dianggap. Kalau kita berbuat baik karena Allah, kenapa harus berhenti karena manusia? Just go for it.
Well, mungkin empat dulu. Lainnya kapan-kapan. Terimakasih ya cinta, sudah banyaaakkk mengusahakan. Sudah menjadi tangguh dan teguh. Sudah mau banyak belajar. Luv u!
31 notes · View notes
iradatira · 5 months
Text
Jalan pagi
Beberapa bulan ini aku mulai membangun kebiasaan jalan pagi, mengelilingi jalanan di sekitar kampung rumahku. Saat aku memutuskan jalan kaki pertama kali di sekitar rumah, saat itu aku baru operasi patah tulang, masih cuti tugas dalam rangka pengobatan rutin ke rumah sakit. Aku tidak bisa melakukan olahraga yang banyak gerak. Akhirnya aku memutuskan jalan kaki saja sebagai ganti olahraga. Selain itu aku juga rindu kebiasaanku di penempatan saat menjadi Pengajar Muda yang kemana-mana jalan kaki, karena sebagai relawan, aku tidak punya motor di sana.
Saat jalan pagi ini, banyak yang kurasakan. Kadang aku takjub melihat perkembangan ekonomi di sekitar rumahku. Banyak toko/UMKM baru yang tak pernah kulihat sebelumnya sebelum aku berangkat penugasan. Begitu banyak variasi makanan, kadang aku berinisiatif menghitung seberapa banyak usaha laundry. Berapa banyak yang jual ayam krispi yang kutemui sepanjang jalan.
Suatu pagi aku jalan dengan fokus menghitung langkah kakiku secara manual. Cukup melatih mindfulness, karena ternyata aku cukup sering lupa berapa hitungan langkahku. "Langkah ke 78, 79, 89. Eh loh kok 89? Tadi kan 78?" Yah begitulah. Dengan segenap mengarahkan kefokusanku menghitung langkah, ternyata aku bisa berjalan sekitar 4000 langkah dalam sekali putaran.
Di pagi yang lain, aku fokus berjalan mengamati aktivitas orang-orang di sepanjang jalan yang kulalui, mencoba menerka apa yang sedang mereka lakukan. Ada raut wajah bersemangat meladeni pelanggan dengan dagangan sayurnya, juga ada raut wajah kelelahan tapi tetap memancarkan harapan agar jualannya laku. Ada orang tua yang tergopoh-gopoh mengantar anaknya sekolah.
Tak terasa di sepanjang jalan, aku jadi berdoa untuk kebaikan orang-orang ini. "Semoga dagangan sayur bapaknya laku banyak", "Semoga ibu itu bisa mengantarkan anaknya sukses hingga pendidikan tinggi". Aku sebagai orang asing, yang sekilas melihat kehidupan mereka, hanya bisa ikut mendoakan agar segala urusan mereka dilancarkan. Rasanya sudah lama sekali aku tak berdoa untuk orang yang tak kukenal, ternyata untaian doa ini membuat hatiku hangat dan menjadi suntikan semangat untukku melihat perjuangan hidup orang lain. Di dunia ini aku tidak berjuang sendirian, mereka pun sama, sedang berjuang mencari nafkah atau sedang berusahan menjalankan perannya dengan baik.
Di pagi yang lain, aku mencoba berjalan kaki dengan menggunakan perspektif kebijakan. Kira-kira kebijakan seperti apa yang bisa memihak pejalan kaki ya? Susah sekali rasanya rutin jalan kaki, jika bahu jalan saja digunakan berjualan kaki lima, atau bahkan tidak ada bahu jalan. Bagaimana bisa Indonesia ingin seperti Singapura yang rakyatnya rajin jalan kaki, kalau fasilitas bahu jalan, zebra cross saja sangat minim. Kenapa ya daerah rumahku ini terkenal susah ditertibkan..
Kemudian aku melihat para pejuang nafkah, mereka juga butuh untuk menyambung hidup dengan berjualan di bahu jalan. Alasan mereka menggunakan bahu jalan tentu tak punya uang untuk menyewa tempat secara legal, hanya fokus berjualan dari hari ke hari, untuk makan satu hari itu saja. Apakah adil menggusur UMKM ini supaya pejalan kaki lebih nyaman? Ah iya, memang untuk membuat kebijakan yang adil bagi berbagai pihak perlu mengakomodir berbagai perspektif dan mencari jalan tengahnya.
Ternyata rutin jalan pagi membuatku benar-benar melambat, berdialog dengan isi pikiran sendiri, kadang juga sekadar menjadi pengamat orang-orang yang terburu beraktivitas. Padahal, motivasi awal jalan pagiku hanya untuk menguruskan badan, tetapi setelah membiasakan ini beberapa waktu, aku justru mendapatkan banyak perspektif yang bisa kubawa pulang.
9 notes · View notes
futianz · 4 months
Text
Hari ini kerjanya benar-benar bolak balik ke sana kemari, dan literally start pukul 7 pagi udah di tempat.
Tapi Alhamdulillah lelahnya benar-benar tidak terlalu terasa. Ada apa ini? Padahal sebenarnya dulu mudah panikan kalo udah ngerjain banyak hal dalam satu waktu, tiba-tiba heran dengan diri sendiri, "kenapa kau jadi setenang ini, La?" Bahkan hari ini sudah jadi penenang bagi kawan-kawan yang tadi panikan sekali ngurusin banyak hal.
Macam kesurupan saja menjadi Ela yang tenang, aturan nafas nya stabil, tidak gusar, tidak tergopoh-gopoh, tidak misuh-misuh.
Hari ini Ela menaklukan dirinya sendiri (lagi)
Apakah hari ni jawabannya, Ya Rabb?
Benar-benar dapat kekuatan, dan kejernihan pikiran entah dari mana. Energinya benar-benar terasa.
Terima kasih sekali, didiklah dan karunikanlah hamba ketenangan itu selalu yaa rabb. Melihat sesuatu dengan hati dan pandangan yang luas.
Ajari aku terus seperti itu yaa Rabb. Beneran banget ini 🥹
Nikmatnya 🥹🥹
2 notes · View notes
afriansyahnst · 9 months
Text
Jika Aku Tidak Menjadi Apa-Apa
Suatu kali, aku merasa cemas tentang menjadi apa aku suatu saat. Bahkan saat menulis ini aku aku sedang gelisah, gelisah untuk jujur bahwa mungkin saja suatu hari aku tidak akan menjadi apa-apa.
Diantara miliaran manusia dengan impian mereka, kadang aku berpikir masih kah tersisa ruang untukku? Menjadi sesuatu seperti orang. Dengan memperhitungkan berapa banyak perusahaan yang akan dibuka, aku yang akan tergopoh-gopoh mengajukan surat lamaran dengan harap-harap cemas.
Menjadi apa aku esok, aku juga belum tahu. Bagaimana jika aku memang tidak akan menjadi apa suatu hari, siapa yang paling kecewa. Sejujurnya aku lelah, lelah hanya untuk menjadi seorang manusia karena ada sebuah standar berlaku untuk itu.
Sementara itu, aku tak ingin melakukan apa-apa. Aku hanya ingin tersenyum ketika melihat kucing liar dengan irama lucu mereka. Aku tak ingin menjadi apa-apa selain dari apa yang ku rasa. Namun, seberapa banyak yang akan terluka jika aku tidak menjadi apa-apa?
3 notes · View notes
nahdhiyahh · 7 months
Text
Untuk apa kamu berharap pada manusia yang tidak bisa diharapkan, nyatanya kita hanya berharap pada tuhan kita.
Aku belajar satu hal selama sepekan ini, ternyata kita berada dalam lingkungan yang baik pas keluar dari dunia sekarang kaget dengan kondisi luar yang begitu menakutkan. Semua hal sudah melewati batas, bahkan aku yang sekarang syok wahh ternyata kamu bersyukur berada ditempat yang terjaga coba kalo kamu tidak berada ditempat yang sekarang bagaimana bentuknya.
Terus aku juga belajar untuk tidak bergantung berharap sama dia yang tidak pantas untuk kamu, kamu terlalu berharga untuk jatuh pada orang yang salah nanti kamu tergopoh-gopoh menyikapi dia.
Sejatinya hati manusia masih bisa dibolak-balikkan, tapi kamu masih pantas untuk belajar menjadi lebih baik menjadi manusia yang bermanfaat menjadi diri sendiri mengetahui self awware diri kamu dan masih banyak hal yang perlu kamu pelajari.
Cukup untuk mengenalmu saja sudah cukup bagiku, cukup dekat denganmu pun apalagi, terima kasih sempat menjadi ruang tumbuh diri aku. Jika kita berkesempatan semoga kita bertemu kembali
3 notes · View notes
pemintalkata · 2 years
Text
Ban Serep
Hujan baru saja berhenti ketika Chaira masuk ke dalam sebuah kafe di kawasan condong catur. Ia celingak-celinguk mencari satu sosok yang akan ditemuinya sore itu.
Ia buka ponselnya, mengetuk aplikasi Instagram, dan mencari satu nama. Ketemu.
“Aku pakai kemeja hawai warna biru motif bunga ya, Cha. Pasti gampang nemunya.”
Dan benar, sedetik setelah membaca, Chaira pun menemukan sosok itu. Ia pun langsung menuju meja di mana laki-laki itu duduk.
“Hai, mas sorry i’m late.” ucap Chaira ketika sampai di depan laki-laki itu.
Laki-laki itu nampak kaget dengan suara Chaira yang tiba-tiba.
“Oh hai, Cha. Its okey. Aku juga baru sampe 10 menit lalu. Hujan ya Cha?” tanyanya ketika mengetahui baju Chaira sedikit basah terkena hujan.
“Iya tadi mas, tapi udah reda sih pas aku nyampe sini.” jawab Chaira sembari mengibaskan tangan untuk mengeringkan bajunya.
“Duduk, Cha.” ucap si laki-laki mempersilahkan.
“Thank you mas, udah pesen?”
“Belum, sengaja tunggu kamu.”
Chaira tersenyum. “Ya udah yuk pesen.” Chaira mengajak laki-laki itu berdiri menuju meja pemesanan.
“Hot chocolate no sugar satu ya mas.” pesan Chaira cepat.
“Nggak ngopi, Cha?”
“No mas, nggak bisa minum kopi. Nggak suka juga sih.”
“Harus cobain racikanku sih kapan-kapan. Americano satu ya mas.”
Setelah memesan, mereka pun kembali duduk.
“Tapi pernah coba kopi?” laki-laki itu membuka percakapan.
“Pernah, but i dont like haha. Mas Rifky pasti suka banget ya sama kopi?”
“Suka aja sih, nggak suka banget juga.”
“Suka aja tapi storynya tiap hari minum kopi.”
“Haha, iya juga ya.”
Pesanan mereka datang dan mendarat tepat di depan masing-masing.
“Kenapa no sugar?”
“Karena sejatinya cokelat itu pahit, dan aku suka pahitnya cokelat.”
“Menarik.” mas Rifky tersenyum. “Anyway thank you ya udah mau ketemu. Tau hujan, aku jemput kamu sih.” lanjutnya.
“It’s okey mas. Aku nggak biasa dijemput di pertemuan pertama. Takut diculik.” ucap Chaira jail.
“Emang cewek semenarik kamu sayang sih kalau ngga diculik.” wow mulai flirting nih si mas Rifky.
“Haha, bisa aja.” jawab Chaira sekenanya. “Tapi kita kudu makasih nggak sih ke Sita karena udah ngenalin satu sama lain?”
Ya benar. Chaira dan Rifky memang dikenalkan oleh seorang teman yang kebetulan mengenal mereka berdua. Mereka saling follow di instagram, ngobrol panjang lebar, hingga akhirnya ketemuan.
“Haha, nanti aja kali ya.” jawab mas Rifky dengan senyum jailnya.
“Nanti kapan?” tanya Chaira polos.
“Nanti kalau aku berhasil jalan lebih satu kali sama kamu.”
Yak, flirting lagi nih mas-mas. Ucap Chaira dalam hati.
“Kok diem Cha. Apa udah nggak berkenan ketemu aku lagi?”
“Oh nope, bukan bukan. Lagi mikir aja, kenapa aku harus mau jalan sama mas Rifky lagi.”
“Oke aku akan kasih alasannya ya, soon ya Cha.”
Tapi sayang, nasib baik sedang tidak berpihak ke Chaira. Setelah pertemuan pertama itu, mas Rifky justru menghilang sampai akhirnya Chaira melihat story yang berisi gambar seorang perempuan dan minuman boba dengan caption “Boba Date.”
“Anjir!” ucap Chaira refleks menggebrak meja. Untung saja kafe malam itu sedang sepi. Kalau tidak, seluruh mata pasti sudah mengarah ke Chaira.
“Apaan sih, Cha. Kaget tau.” Kata Sita yang sedang merapikan riasannya.
“Temen kamu nih, udah gila!.”
“Temen aku siapa?”
“Mas Rifky.”
“Kenapa dia?”
“Setelah nggak kasih kabar apa-apa abis ketemu, sekarang dia posting foto sama cewenya.”
Sita bergegas meraih ponsel Chaira yang masih menampilkan laman yang dimaksud.
“Nggak mungkin sih.”
“Nggak mungkin gimana? Itu instagram siapa? Mas Rifky kan? Captionnya dan fotonya apa? Pacarnya kan?”
“Rifky tuh nggak punya pacar Cha.”
“Ya kali aku ban serepnya doang, who knows?”
“Nggak, nggak mungkin. Rifky nggak kayak gitu orangnya.”
“Nyatanya?” Chaira menandaskan gelas es tehnya dan beranjak pergi meninggalkan Sita yang masih tidak percaya.
“Cha, tunggu.” panggil Sita sembari tergopoh-gopoh mengejar Chaira.
Chaira sudah berada di atas motor saat Sita sampai.
“Cha, tega banget sih ninggalin gitu aja.”
“Jujur ya, Sit. Aku bukan sakit hati karena mas Rifky punya cewek. Tapi kaalu aku emang cuma jadi ban serepnya dia, beneran nggak terima sih.”
“Tapi Rifky emang cari yang high spec sih, Cha.”
Chaira menoleh dan melotot pada Sita.
“Maksud kamu? Aku rendahan? Aku nggak lebih dari cewek yan ddia traktir boba itu? Denger ya, aku juga bisa cari yang lebih dari dia. Sorry Sit, but i dont respect to you again. Bye.”
Sita menepuk kepalaya tanda menyesal telah mengucapkan hal yang kurang tepat kepada Chaira. Dan Chaira pun sudah jauh meninggalkan Sita.
Sepanjang jalan, ia mengumpat dengan perasaan kesal.
“High spec? Apa maksudnya? Aku murah? Dih sok iye bangettt sih tuh orang. Mas Rifky kampret!” teriak Chaira ketika melewati jalanan sepi.
Dan sejak malam itu, hubungan Chaira dengan Sita pun merenggang. Meski Chaira sudah sempat minta maaf atas kesalahannya meninggalkan Sita dan marah-marah pada perempuan itu. Namun Sita sangat mengerti apa yang dirasakan Chaira.
“Sorry ya Cha, aku nggak tau rifky kayak gitu orangnya.”
Dan setelah kalimat itu, Chaira tidak lagi berhubungan dengan Sita ataupun mas Rifky.
***
Chaira sedang menunggu hujan saat satu foto baru saja diunggah di instagram story.
“Nunggu hujan reda juga, Cha?” sebuah suara mengagetkan Chaira.
Ia yang sedang duduk pun refleks menoleh ke sumber suara. Pemilik suara itu tersenyum pada Chaira.
“Mas Rifky?”
Chaira hampir tidak percaya dengan sosok yang dilihatnya. Sudah hampir tiga bulan dan ia harus bertemu dengan laki-laki yang sempat ia maki habis-habisan?
“I’m sorry ya, Cha buat kesalahan aku ke kamu.”
“Yang mana ya?” jawab Chaira ketus.
“Boleh aku duduk sini?”
“Silakan, tapi aku mau pulang.”
“Masih hujan, Cha.”
“It’s okey, aku bawa jas hujan.” Chaira berdiri dan tangan Rifky sudah lebih dulu menahan tangannya sebelum berjalan lebih jauh.
“Please, let me tell you.”
Chaira menghela nafas dan kembali duduk.
“Mau jelasin apa? Cepet.” Ucap Chaira tanpa melihat wajah Rifky.
“Yang kemarin itu aku dijodohin sama mama.”
“Terus?”
“Ya aku nyoba aja karena mau nyenengin mama, tapi ternyata aku nggak bisa sama dia.”
“Terus hubungannya sama aku?”
“Ya karena hal itu aku harus jauhin kamu.”
“Oke, udah kan?”
“Cha.”
“Apalagi sih mas?”
“I’m sorry.”
“Oke, udah aku maafin juga kok.”
“Tapi kita masih bisa coba lagi kan?”
Chaira tersenyum sinis. “Setelah semua ini mas bilang mau coba? Apa yang harus dicoba? Aku rasa mas sangat bisa buat nolak permintaan untuk dijodohkan terlebih mas sedang dekat sama aku saat itu. Tapi mas nggak lakuin dan memilih mencoba dengan perempuan itu. Terus apa yang harus dicoba sama aku?”
Nah kan diem juga!
Mas Rifky tidak menjawab pernyataan Chaira. Entah karena tidak punya jawaban atau justru sedang mengaminkan apa yang Chaira katakan.
Chaira pergi meninggalkan mas Rifky yang masih duduk di kursi tempatnya tadi.
Namun baru saja Chaira hendak mengenakan helm, Mas Rifky sudah memeluknya dari belakang. Chaira kaget dan langsung melihat sekitar. Dengan cepat Chaira melepas pelukan mas Rifky.
“Apaan sih mas, nggak sopan!”
“Aku serius mau coba sama kamu Cha. You’re so addorable.”
“Ya setelah kamu tahu perempuan yang dijodohkan sama kamu nggak se-addorable aku, kan?”
Mas Rifky terhenyak kaget dengan perkataan Chaira.
“Kenapa? Kaget? Semua kalimat aku benar?”
Mas Rifky masih terdiam.
“Kata Sita mas Rifky laki-laki dengan high value dan nyari yang setara. Tapi lihat kelakuan mas Rifky buat aku mikir ulang kenapa dulu aku bisa kagum sama laki-laki yang cuma smart dari luar. I’m sorry but your attitude is so bad!”
Chaira buru-buru mengenakan helm dan pergi meninggalkan mas Rifky.
Perasaan Chaira benar-benar lega. Akhirnya ia bisa mengeluarkan perasaannya kepada mas Rifky secara langsung tepat di depannya. Meski setelah itu air mata jatuh membasahi pipinya.
Kenapa sih mau ketemu jodoh aja gini banget jalannya. aaarrggghhhhh
15 notes · View notes
catatanbalqis · 1 year
Text
Obat
Pagi tadi terbangun dalam kondisi tidak baik. Setelah sekian lama memaksakan diri untuk berproduktif ria, hari ini akhirnya datang juga: tubuhku menyerah. Usai menenggak sebutir tablet putih, diriku memutuskan kembali tertidur. Berharap saat bangun nanti fisik mulai membaik.
Pukul 10, aku bangun tergopoh-gopoh. Hari ini ada janji pertemuan pukul 10.30 di bilangan Depok. Rasa nyeri masih menyelimuti sinusku, tapi hati menolak untuk tidak menghadiri pertemuan itu. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku mengabarkan kawan-kawan bahwa aku akan terlambat. Bergegas berganti baju, menyiapkan amunisi, dan meluncur dengan sepeda motor.
Setelah memarkirkan motorku di parkiran, aku menyempatkan diri membuka beberapa pesan sembari berjalan menuju lokasi pertemuan. Sebuah pesan singkat dari kawanku membuatku sedih. Akhir-akhir ini, aku merasa ada yang berbeda dengannya dan hal tersebut mungkin berkaitan dengan amanah yang baru saja kuembankan kepadanya. Aku sebal, namun aku tak berani pula menyampaikan langsung kekesalan ini kepadanya. Seingatku, dulu kami pernah berjanji bahwa jika kami menjadi kolega, kami akan saling menyampaikan apa yang dirasakan. Aku berusaha berbaik sangka. Masih ada beberapa kemungkinan lain yang membuatnya menjadi ketus terhadapku. Semoga hal ini segera usai. Sebelumnya, aku cukup sedih karena ketika aku menyampaikan bahwa aku sedang sakit, tidak ada satupun yang merespon dengan do’a, atau afirmasi lain yang biasa aku dapatkan. Sepanjang pertemuan pagi itu, aku beberapa kali menahan tangis. Rasa nyeri dan lemas yang sedang aku rasakan juga mungkin berpengaruh.
Siangnya, peserta pertemuan berkurang menjadi empat, kami berpindah ke suatu tempat makan. Sebuah kafe kecil yang semakin hari semakin ramai, dan menjadi langganan bagi kami untuk berkumpul. Masing-masing dari kami memesan satu makanan dan minuman. Sambil menunggu datang, beberapa diskusi dilemparkan ke forum. Cukup banyak yang bisa kami diskusikan saat itu. Makanan datang sebagai selingan saja, tak lebih dari 15 menit, kami kembali hanyut dalam diskusi hingga diselamatkan oleh pelampung bernama waktu. 
Ajaibnya, rasa nyeri yang sejak malam kurasakan menguap beriringan dengan obrolan kami. Sejak dulu, aku memang mencintai kegiatan seperti ini. Aku senang sekali bertemu dengan manusia-manusia yang sefrekuensi dan mendiskusikan satu dua hal. Tak peduli berapa lama waktu yang harus kuluangkan atau jarak yang harus kutempuh. Dan di lingkaran ini, aku menemukan manusia yang frekuensinya mirip sekali denganku. Suatu hal yang belum pernah aku temukan sebelumnya. Hal yang sebenarnya cukup berbahaya karena membiarkanku beberapa kali terlarut dalam pembicaraan privat dengan ikhwan yang bukan mahramku.
Semoga suatu saat kelak, aku bisa memiliki manusia yang dengannya, waktu terasa tak berdetik karena percakapan kami begitu menarik. :)
2 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Tanya
00.27 "Mas kok belum pulang?" Aku baca lagi pesan WhatsApp centang satu kesekian yang sudah kukirimkan kepada suamiku. Apakah kamu tau apa yang aku rasakan mas. Aku khawatir. Kesal. Geram. Gusar. Kepikiran. Kenapa pesanku tak kamu balas. Aku merasa tak berdaya. Kukirim pesan ke semua kontak terdekatmu yang aku punya. Perpikir positif saja sulit rasanya. Tak bisa melakukan hal lain selain bingung dan khawatir. Sudah semalam ini kenapa belum pulang, tanpa kabar lembur atau pergi bersama teman. Kamu kemana mas? Kuelus perutku yang sudah sebesar plastik isi laundry lima kilogram. Kutarik nafas berat sambil memegangi kepala. Seperti tak kuat lagi menyangga beban di dalamnya. "Tenangkan dirimu Lisa. Ada satu nyawa didalam sana yang sedang kamu bawa. Jangan membahayakan keselamatannya." Kutenangkan diriku sekuat tenaga. Terus mencoba kembalikan kesadaran dan keyakinan Allah adalah Sang Maha Penjaga. "Ya Tuhan. Aku khawatir, kenapa suamiku belum pulang. Jaga dia Tuhan. Ia tak pernah pulang selarut ini. Dia juga pasti menyempatkan membalas pesan. Apa yang sedang terjadi dengannya." Kini aku hampir menangis, tidak, air mata itu sudah terlanjur jatuh, meninggalkan aku yang terduduk diam sesenggukan. --- Terdengar suara gerbang pelan-pelan dibuka. Seperti tak ingin orang lain mengetahui kedatangannya. Aku kumpulkan kesadaranku, kucoba setengah berlari meski lebih tepat disebut tergopoh-gopoh. Kuputar kunci dan buka pintu untuk memastikan apa yang ada di luar sana. "Loh sayang belum tidur?" Kalimat itu yang pertama kali terucap dari mulutnya. Seakan tanpa dosa. Tanpa rasa bersalah meski hanya berisi permintaan maaf. Apa ia tak melihat kondisiku sekacau ini? Aku semakin menangis menjadi-jadi. "Nggakpapa, mas baik-baik aja. Diluar dingin, yuk kita masuk dulu." Dia memelukku, kemudian mengusap bayi yang ada di perutku. Mencoba menenangkan kami yang khawatir sedari tadi. Kudapati bajunya basah. Tapi bukankah hari ini sangat cerah? "Mas habis kehujanan? Kenapa WhatsApp adek nggak dibalas?" "Kita bahas besok saja ya. Sudah malam. Kita istirahat dulu saja." Jawabannya meninggalkan makin banyak tanya di kepala. Pikiranku mengembara. Tapi sudahlah. Setidaknya aku lega suamiku baik-baik saja.
2 notes · View notes
frasa-in · 2 years
Text
Tumblr media
Saat itu Aminah baru saja melahirkan. Ia berusaha untuk menyusui Nabi Muhammad kecil, tetapi sang bayi enggan untuk menyusu dari ibundanya. Aminah mengalami kesedihan yang mendalam akibat kepergiaan Abdullah hingga membuat air susunya lenyap.
Malam kedua pun berlalu. Aminah begadang disisi bayi kecilnya. Sang bayi mendongak ke arah langit, memandangi rembulan seolah sedang berbisik kepadanya.
Kehidupan tampak bersinar di wajahnya meskipun belum ada sesuap makanan singgah di dalam perutnya. Bayi ini seakan lebih menyukai makanan ruhani daripada makanan tubuh.
Pagi harinya datanglah Tsuwaibah untuk menyusui sang bayi dan akhirnya bayi itu mulai menerima asi dengan lahap. Pada hari kedelapan, Halimah dan teman-temanya dari bani Sa’d bin Bakar datang ke Mekkah untuk mencari bayi-bayi yang butuh disusui. Salah satu kebiasaan penduduk Mekkah adalah menyusukan anak-anak mere kepada wanita pedalaman (kampung Arab), demi menjaga kesehatan dan kefasihan sang bayi.
Ketika semua teman Halimah sudah membawa bayi susuan mereka, tersisa Halimah yang belum menemukan bayi susuan. Sedangkan saat itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kecil ditolak oleh para wanita bani Sa’d kendati Nabi Muhammad adalah seorang yatim. Tetapi Halimah bertekad untuk tetap membawa bayi susuan sebelum pulang, sehingga ia dan suaminya memutuskan untuk membawa Nabi Muhammad kecil.
Sejak kedatangan bayi itu di dalam keluarga Halimah, banyak sekali keberkahan yang dirasakan oleh keluarga tersebut. Halimah berkata, “Tatkala kuletakkan bayi itu di pangkuanku, asiku menjadi sangat banyak, hingga bayi itu dan anakku minum hingga kenyang.”
Ternak mereka yang kurus dan jarang sekali mengeluarkan air susu menjadi gemuk dan mengeluarkan susu yang melimpah, sedangkan ternak tetangga mereka tidak mengeluarkan susu. “Kami tidak henti-hentinya mendapat tambahan dan kebaikan dari Allah hingga dua tahun berlalu dan kami harus menyapih bayi itu. Bayi itu pun tumbuh menjadi seorang anak yang tidak sama dengan anak-anak lain seusianya. Begitu genap berumur dua tahun, ia telah tumbuh menjadi seorang anak yang sangat kuat.”
Halimah dan suaminya membawa sang anak kembali kepada ibunya, tetapi mereka sangat berharap anak ini tetap tinggal bersama mereka hingga Halimah memohon kepada Aminah, dan Aminah menyetujuinya dengan alasan untuk menghindarkan sang anak dari wabah di Mekkah saat itu. Setelah beberapa bulan Halimah bersama Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, atas kemauannya ia mengembalikan anak penuh berkah itu kepada ibunya. Aminah, sang ibu, menyambut putranya dengan segenap jiwa dan raga. Aminah menanyakan alasan Halimah memulangkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Kami memulangkannya karena demi Allah beberapa bulan setelah kepulangan kami membawanya kembali bersama saudara (sesusuan) nya, Muhammad sedang bersama kambing-kambing kami di belakang rumah. Saat itu tiba-tiba saudaranya tergopoh-gopoh menghampiri kami dan mengatakan: ‘Saudaraku dari Quraisy itu dibawa oleh dua orang laki-laki yang berpakaian putih. Keduanya membaringkan saudaraku lalu membelah perutnya seraya membolak-baliknya’.”
Aminah menenangkannya bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak diganggu oleh setan, karena sejak Aminah mengandung, sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah anak yang sungguh mulia. Sejak saat itu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal bersama ibunya.
Ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sudah dewasa dan menjadi Rasul, ia tidak melupakan Halimah, saudara sesusuannya, bahkan kabilah Hawazin tempat asal ibu susuannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam begitu memuliakan Halimah, suatu kali saat ia sedang berbincang dengan Halimah, ia meletakkan selendang di tempat duduk Halimah.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
18 notes · View notes
mutiarafirdaus · 1 year
Text
Anak baik, jangan dulu patah! Nyalakan kembali bara semangatmu yang dulu kau jaga dengan senyum sumringah!
Tekad tekad baik yang pernah kita canangkan. Jalan jalan menuju kesana yang sedang ditempuh, namun rasanya penuh hambatan.
Jeda demi jeda yang diciptakan, hingga berpikir apakah masih ada harapan untuk mewujudkan. Dan orang orang yang dulu bergerak dalam satu karavan kini sudah melejit dengan kilaunya yang benderang, bukanlah sebuah alasan kamu memilih menutup mimpimu dengan kain kafan.
Anak baik, selalu ada jalan bagi orang yang sabar. Dan memang hakikat perjalanan ilmu hanya bisa dinikmati eloknya oleh mereka yang memiliki kesabaran yang besar.
Jika tahun ini gagal lagi, kita akan ubah strategi dan coba lagi. Terus begitu sampai usiamu habis di jalan ini. Allah pasti akan membantumu yang begitu tergopoh gopoh memperbaharui amunisi.
Anak baik, Ramadhan tinggal menghitung hari. Maka mari kita sambut bulan mulia ini dengan mengerjakan hal hal yang penuh arti!
#RamadhanPenuhHarapan!
4 notes · View notes
ibnubasith · 1 year
Text
Persimpangan
Aku duduk di balik kaca sebuah ruangan yang menghadap jalan. Udara bergeming dan menyisakan suara jam dinding yang menunjukkan pukul 00.14. Seorang satpam memainkan ponselnya dengan wajah lesu, sesekali ia terhenti untuk melihat video lucu dan membuat wajahnya menyeringai. Tiga orang duduk di kursi tunggu menahan kantuknya. Aku sendiri dan belum merasa ingin tidur meskipun kemarin malam hanya terlelap dua jam.
Tiba-tiba laju mobil berhenti di jalan depan gedung ini. Satpam dan seorang rekannya terkersiap, seorang lelaki membuka pintu mobil dan keluar dari kemudinya. Ia tergopoh-gopoh menuju satpam dan menyuruhnya agar segera mengambil ranjang lantaran seorang perempuan hendak melahirkan. Terdengar suara dari beberapa perempuan dalam mobil untuk mengajak melafalkan doa-doa kepada perempuan yang beberapa kali meminta segera ditangani dokter.
Suasana sedikit ramai seketika, semua mata terfokus pada satu mobil di sana. Ada yang mendekat, ada yang ikut membantu. Sesaat sebelum satpam dan beberapa perawat tiba, jeritan tangis bayi terdengar kencang dan kepanikan ibu-ibu bersahutan dari dalam mobil. Hingga pada akhirnya salah seorang perawat perempuan berkata pada semua orang di sana untuk tetap tenang. Tali pusar bayi segera dipotong di dalam mobil dan dengan cepat sang bayi langsung dibawa ke dalam ruang IGD.  
Sementara seorang lelaki lain merogoh ponselnya dari saku, mulai merekam kejadian itu dengan mengatakan baru ditangani oleh rumah sakit ini. Ia mengutuk beberapa rumah sakit lain yang sempat mereka datangi, namun tak satupun dari rumah sakit sebelumnya menerima dengan alasan dipenuhi pasien yang terkena virus pandemi.
Perempuan yang baru saja melahirkan itu terduduk lemas di dalam mobil, kemudian dibantu perawat dan satpam untuk dibaringkan ke ranjang. Seorang perawat perempuan meminta agar lelaki itu ikut membantunya. Sebelum menutup ponselnya, lelaki itu melontarkan pertanyaan yang tak memerlukan jawaban di hadapan orang-orang, terkait di mana letak keadilan pemerintah. Nadanya heroik.
Sementara itu dua perempuan tua yang salah satunya duduk di belakang kursi tengah mobil dan satunya lagi di samping perempuan itu tidak henti-hentinya mengucapkan doa yang aku tidak mengerti sambil mengusap lengan dan kepalanya.
Di sekitar, orang-orang hanya sanggup melihat dan seperti ingin terlibat menolong, namun seperti aku, tidak tahu pertolongan macam apa. Hanya kekesalan yang kurasakan ditujukan kepada lelaki itu, bukan kalimatnya, melainkan sikapnya yang lebih mempersoalkan hal yang telah usai dibandingkan dengan kedaruratan yang sedang terjadi. Kurasa beberapa orang di sini yang menyaksikan peristiwa itu juga merasakan hal yang sama.
Beberapa lama berselang, situasi kembali kondusif.  Keadaan di ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat kembali seperti semula. Dengan napas yang agak tersengal, seorang ibu-ibu menghampiri ruangan ini, ruangan di mana aku menyaksikan semua yang baru saja terjadi. Beliau mengucapkan puji syukur berkali-kali.
“Baru kali ini mengalami kejadian seperti ini.” Katanya, dengan gestur seolah mengajakku bicara.
Aku mengucapkan selamat padanya. Di sela-sela napasnya yang ia sengaja tarik dan keluarkan secara perlahan, ia mengucapkan terima kasih dan memberi tahu kalau ini cucu pertamanya. Ia bercerita banyak, tentang bagaimana ia memangku bayi yang masih berlumuran darah, sampai dengan menyumpahi rumah sakit yang menolak menantunya yang hendak melahirkan. Aku mengangguk, berusaha berada di pihaknya untuk memahami.
Aku mengira-ngira bahwa nama rumah sakit, atau mungkin nama mobil, atau apapun yang bersangkutan dengan kelahiran bayi itu dini hari ini akan disematkan dalam namanya. Aku juga membayangkan suatu hari ketika cucunya beranjak remaja, ia akan diberi tahu neneknya bahwa ia dilahirkan di dalam mobil, tepat saat mobil berhenti di depan ruang Instalasi Gawat Darurat. Serta dengan bangga neneknya bercerita bahwa dirinyalah yang menjadi orang pertama memangku cucunya, bukan dokter maupun bidan di dunia ini.
Napasnya kini terdengar teratur, ia pun menyandarkan punggungnya di kursi dengan bergumam puji syukur. Aku merasakan kondisinya sekarang yang merasa plong. Ibu itu kemudian bilang dirinya gerah dan lelah, lalu kusuruh ia untuk beristirahat. Ia setuju dan meringkuk di kursi panjang sebelahku. Lamat-lamat aku melihat sekitar. Mobil datang dan pergi, mengantarkan pasien yang membuat pengantarnya panik. Aku melihat jam tangan, pukul 00.55 dini hari.
Dingin mulai merambah badanku. Keheningan terjadi setelah mobil-mobil itu pergi. Aku memandangi keluar kaca ini, parkiran hanya lengang, pohon-pohon bergeming seperti tertidur diterangi lampu taman. Satpam sesekali membuka pintu kaca itu, mengantar pasien dengan kursi roda, atau pada pasien yang baru datang ia menanyakan apa keluhan mereka.
Sambil meringkuk, ibu itu bertanya apakah aku sudah punya anak. Aku jawab bahwa aku baru menikah, seminggu yang lalu. Ia mengucapkan selamat atas pernikahanku.
“Siapa yang sakit?” tanyanya dengan tubuh masih meringkuk.
“Suami bu.”
“Oh!” ia sedikit terkejut,
Ia pun bertanya tentang penyakit yang diderita suamiku. Aku jawab tidak tahu, kendati suamiku orang yang terbuka. Aku mengatakan padanya selama kami pacaran ia tidak pernah punya riwayat penyakit apapun, selain penyakit yang umum seperti demam atau flu. Ibu itu berasumsi bahwa semakin banyak obat, makin bermacam pula penyakit. Terlepas dari asumsi itu benar atau tidak aku hanya mengangguk.
Kuceritakan padanya bahwa tiga bulan sebelum kami menikah, suamiku pulang kuliah dan ia pergi untuk menjemputku. Namun, karena cuaca hujan pada saat itu suamiku terjatuh dari motor.
Mendengar ceritaku, ibu itu kembali duduk, memerhatikanku. Aku melanjutkan bahwa dia babak belur pada daerah lengan dan kakinya. Namun ia memutuskan untuk tetap menjemputku, ia anggap kondisinya tidak parah. Aku lalu panik saat ia tiba, aku menangis di depan kantor tempat aku bekerja. Ia bilang tidak perlu menangis dan meyakinkan dirinya tidak apa-apa. Aku bilang bahwa lebih baik ke rumah sakit atau klinik terdekat, suamiku bilang tidak apa-apa. Ia masih mampu untuk pulang dan dirawat di rumah saja. Ponselnya hancur, layarnya membentuk pola sarang laba-laba. Laptopnya entah masih selamat atau tidak, yang jelas ia terkena benturan aspal. Ada berbagai macam berkas penting termasuk tugas akhir kuliahnya. Di perjalanan pulang, ia tampak tidak menyasali apapun.
Terdengar napas ibu itu dibuat kaget disela-sela aku menuntaskan kalimat. Bahwa suamiku percaya bahwa penyesalan tidak akan mengubahnya menjadi semula. Aku tahu matanya, dengan cara ia melihat segala yang terjadi seperti seharusnya. Ibu itu menatapku dalam, sementara aku menatap jauh pada ingatan. Aku lanjut bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, ia sering mengeluhkan sakit kepala, namun ia selalu bilang itu hal biasa. Bahkan saat kehilangan berkas skripsi yang sudah dipastikan hilang dan mendapati kelulusannya harus diundur, ia masih bisa menyikapinya dengan santai. Hingga pada akhirnya suamiku pingsan tidak sadarkan diri sekitar pukul 23.00 tadi saat ia baru beranjak dari kursi setelah ia meneruskan tugas skripsinya, mengetahui hal itu aku segera membawanya kesini.
Ibu itu tertegun mendengar ceritaku barusan. Aku melanjutkan bahwa pada kenyataannya suamiku tidak sedatar itu. Dia orang ceria dan romantis dan ya, menyebalkan. Saat  awal kami pacaran, dia datang pada malam minggu ke rumahku dan malah menonton bola dengan ayahku. Setelah pertandingan selesai, ia pamit pulang. Dan ia biasa melakukan itu setiap satu bulan sekali.
“Yah sama kayak suami ibu atuh Neng, kalau sudah nonton bola, wah mendadak lupa istrinya.” Ia menggaruk-garuk kepalanya. Ia pun mendapati gilirannya untuk bercerita tentang penyakit syaraf suaminya yang puji syukur katanya bisa sembuh. Suaminya nyaris berputus asa lantaran hasil pengobatan medis sampai pengobatan tradisional tetaplah nihil. Namun katanya, ia meneguhkan hati bahwa keyakinan untuk sembuh itu ada, dan ia menyampaikan bahwa ia ingin suaminya mewujudkannya dengan keyakinan yang sama. Akhirnya berkat kesabarannya untuk tetap berobat dan berdoa, suaminya kini telah sembuh. Ia juga tidak lupa bercerita panjang dari tingkah suaminya yang kadang kekanak-kanakan sampai dengan membagi tips cara mengatasi suami bila sedang marah.
Aku mendengarkan ceritanya, sampai ia harus berbaring lagi lantaran mungkin ia mulai tersadarkan kembali bahwa dirinya lelah. Di akhir kalimat sebelum ia tertidur pulas, ibu itu mengucapkan semoga suamiku lekas sembuh dan bisa menikmati lika-liku kehidupan rumah tangga. Katanya, perjalanan kami amat sangat masih panjang. Aku tidak menggubrisnya karena takut membangunkan tidurnya yang mulai terdengar mendengkur.
Di ruangan yang cukup luas ini aku menghirup napas perlahan. Aku baru menyadari bahwa aku telah bercerita terlalu banyak kepada orang yang tidak kukenal; seorang perempuan tua yang sedang tertidur pulas di sebelahku. Aku membayangkan apa yang diceritakan olehnya, bahwa pasangan tidak hanya bicara soal berbagi tempat tidur, melainkan berbagi segalanya, seperti makan; cerita; kesabaran, kesedihan serta kegembiraan. Ia bisa menjadi rem saat kita terlalu memacu semangat berlebih, namun juga pendorong saat kita merasa mandeg dan putus asa. Hingga aku sampai pada suatu konklusi bahwa pasangan adalah yang selalu bisa menjadi pengingat satu sama lain untuk menjadi manusia seutuhnya. Kita tidak akan menemukan jurang pemisah dari suatu perbedaan kecuali lengkap.
Aku merogoh saku, melihat kembali ponsel suamiku yang layarnya pecah seperti sarang laba-laba. Kemarin malam, sebelum tidur, suamiku memerhatikan lamat-lamat ponsel ini. Aku bertanya kenapa. Ia lalu menaruhnya di dalam laci dan berbaring. Aku di sebelahnya, melihat mata itu. Ia bilang bahwa pada akhirnya kita tidak memiliki apapun, dan kita tidak pernah kehilangan apapun, dan di sana keutuhan kita berada. Kendati aku tidak mengerti, saat ingin kutanyakan maksudnya ia malah sudah terlelap dan rasanya ingin mengganggu kelicikan yang dibuatnya. Di situlah poin di mana ia suka menyebalkan.
Beberapa saat kemudian, aku memasukkan kembali ponsel itu setelah mengetahui mobil ambulans ternyata telah tiba. Aku bangkit berdiri, rasanya ingin memberi tahu beliau yang sedang tertidur di kursi panjang itu, bahwa suamiku tidak akan pernah sakit lagi.
Kuputuskan untuk tetap membiarkan tubuhnya diselimuti lelap dan melangkah keluar mendekati ambulans, aku melambatkan langkah dan berdiri sejenak di ujung teras ini. Beberapa sanak saudara baru tiba di parkiran dan keluar dari mobil, melangkah terburu-buru menghampiri di tempat aku berdiri. Mereka terlihat menangis berbela sungkawa. Namun aku hanya tertegun memandangi jalan ini, tempat ini; sebuah persimpangan di mana kelahiran dan kematian begitu dekat.
Sebelum pintu mobil ambulans itu dibuka dan setelah beberapa sanak saudara mengeremuniku untuk agar aku tetap tegar dan tabah, tiba-tiba seseorang dari belakang memeluk tubuhku. Ibu itu, beliau menangis tersedu. Aku bilang padanya tidak perlu menangis, bahwa pada dasarnya dalam kelahiran kita tidak memiliki apa-apa, dan dalam kematian pun kita tidak pernah kehilangan apa-apa. Kini aku mengerti maksud kalimat suamiku, bahkan tanpa harus mengganggu lelapnya lagi.***
 29/6/21
2 notes · View notes
hopefullyicecoffee · 1 year
Text
Waktu dhuha, awal rajab tahun lalu, Muhammad lahir
Bertepatan dengan Haul Pelem, Haul ke-45 Habib Muhammad bin Thohir Baabud seorang wali mastur dari sadah Baalawy yang hijrah dan bermukim di Pelem, sebuah dusun kecil di pinggiran kabupaten kediri
Muhammad lahir disaat orang-orang berjalan arak-arakan menuju maqom untuk ziarah kepada shohibul haul sebagai pembukaan acara haul hari itu
Padahal, malam sebelumnya, saat pembacaan maulid diba' dan marawis, Muhammad masih anteng di perut meski sudah lewat 2 minggu dari HPL
Abi juga masih sibuk berkhidmah di pondok mengurus keperluan Haul, bahkan sejak jumat belum sempat menengok rumah
Namun, tetiba saja pukul 2 dini hari datang rasa mulas yang intens, yang bahkan sudah sesuai dengan rumus 511
Akupun mengirim pesan pada suamiku, mengatakan bahwa mungkin ini "waktunya"
Beliau segera pulang ke rumah dini hari itu dan menemaniku sampai subuh tiba, akhirnya setelah bersiap-siap berangkat dengan segala dramanya, pukul 6 pagi kami sampai di bidan tempat pilihanku untuk melahirkan
Setelah sampai disana bu bidan langsung mengecek dalam dan ternyata sudah sampai pembukaan 7
Dengan tergopoh-gopoh, segeralah aku dipindahkan ke ruang bersalin dan para bidan segera menyiapkan peralatan dan kebutuhan untuk persalinan
Qodarullah, saat itu, di tempat praktek bu bidan, aliran listriknya sedang bermasalah sejak 3 hari yang lalu sehingga aku pun harus melahirkan dengan cahaya yang remang dan hanya dibantu lampu sorot belajar milik putra dari bidan tersebut
Akhirnya, pukul 08.12, saat ratusan manusia berkumpul untuk Haul Pelem, saat mereka membuat arak-arakan menuju Maqom Habib Muhammad bin Thohir, Muhammad Thohir lahir dengan selamat sempurna 🤍✨
lanjut part 2😊🙏🤍
#MasyaallahTabarakallah #HaulPelem45 #GivingBirthStory
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
2 notes · View notes
satu-ruang · 2 years
Text
Wahai jiwa yang rapuh. Bersiapkah engkau nikmati petualangan ini?
Petualangan yang kini membawamu tergopoh-gopoh berjalan di muka bumi.
Rendahkan dirimu wahai jiwa. Letakkan beban di punggungmu pada sang empunya alam semesta
Perkenankan ruhmu untuk bersujud,
Untuk merapal doa kepada sebaik-baik pemberi ampunan, agar hatimu dilapangkan,
Juga pada...
Ah, kau tau kan? tentang perasaan abstrak yang selama ini engkau jaga supaya tak semakin dalam?
Monolog | 22 Juni 2022
7 notes · View notes
prasasri · 7 days
Text
Ada yang sekali makan saja habis berjuta-juta tapi sendirian dan kesepian, ada yang menganggap makanan mewah adalah nasi dan ikan asin tapi selalu istimewa karena dinikmati bersama orang-orang terkasih. Ada yang sekali belanja habis beratus-ratus juta tapi hubungan dengan keluarga saling acuh dan masa bodoh, ada yang harus menabung beberapa waktu untuk membeli sepatu harga puluhan ribu tapi punya hubungan yang harmonis dengan keluarga, saling rangkul, dan peduli. Ada yang baru bertemu lantas langsung saling menyempurnakan separuh agamanya tapi baru beberapa bulan menikah sudah dihantam prahara luar biasa, ada juga yang sudah lama jatuh bangun memperjuangkan hubungan namun berakhir berantakan tapi pada akhirnya dipertemukan juga dengan orang yang tepat dan bisa menjalani rumah tangga yang sehat. Ada yang hanya berjalan santai lantas bisa meraih mimpinya tapi mudah roboh dengan terpaan sekitarnya, ada yang harus berlari tergopoh-gopoh untuk mewujudkan mimpinya tapi akhirnya jadi tahan banting dengan segala hal yang menghalanginya. Ada yang tak berbuat apa-apa sudah dielu-elukan karena tampang yang rupawan tapi lambat laun akan terabaikan ketika ada yang lebih rupawan, ada yang susah payah membuktikan dan tetap diabaikan tapi berhasil mencapai titik keberhasilan yang mampu membungkam mulut-mulut yang pernah merendahkannya.
Apapun yang terjadi, meski nampak menyakitkan, hidup ini tetap adil. Tuhan tetap Maha Adil. Yang hidupnya terlihat sempurna tenyata banyak lukanya juga, dan yang hidupnya terlihat banyak kurangnya ternyata berkahnya melimpah dari sisi yang tidak disangka-sangka.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
pemintalkata · 2 years
Text
Late
Taman budaya Jogja sore ini ramai pengunjung karena sedang ada event tahunan, Pasar Kangen. Maklum selama pandemi gelaran yang menarik perhatian banyak orang ini tidak dapat digelar. Akhirnya, setelah bisa digelar lagi, orang-orang pun berbondong-bondong berdatangan.
Ada yang benar-benar melepas kangen, ada yang baru pertama kali datang karena belum pernah berkunjung, ada pula yang ingin icip-icip banyaknya kuliner yang tersedia di sana.
Mungkin karena hari ini kebetulan weekend jadi semakin ramai. Panggung seni dan stan-stan yang menawarkan pernak-pernik jaman dulu juga tidak kalah ramainya.
Dan di tengah keramaian yang untuk bernafas saja sulit, bisa-bisanya Sara mendapati satu sosok yang tidak asing baginya. Ia berjinjit berusaha menerebos pundak-pundak di depannya untuk memastikan bahwa yang dilihatnya betulan Rendra.
“Nyari siapa sih?” tanya Firas, lelaki yang sejak tadi menggenggam tangan Sara.
“Hah?”
“Kamu itu loh sampe jinjit-jinjit cari siapa? Ada orang yang kamu kenal?”
“Eh oh, nggak, kayaknya aku salah lihat aja sih hehe.” jawab Sara berbohong. Jelas ia yakin bahwa yang dilihatnya adalah Rendra.
“Yaudah yang bener jalannya, nanti jatuh.”
“Iya iya.”
Sara dan Firas pun terus berjalan hingga berhasil melepaskan diri dari kerumunan. Firas sedang melihat-lihat kedai makanan yang berjejer, sedang Sara kembali mencari Rendra yang saat ini sudah tidak terlihat sama sekali.”
“Nyari siapa sayang?”
“Nggak nggak, ini tadi Kai bilang mau ke sini, tapi nggak tau di mana.” lagi-lagi Sara berbohong.
“Kai ke sini sama siapa? Sendiri? Ditelfon aja, kasian ntar nyariin kamu.”
Aduh, bagaimana mau ditelepon kalau sebenarnya Sara hanya berbohong.
“Kok bengong, buruan ditelfon.”
“Hehehe, ntar aja deh, nggak tau juga dia jadi apa nggak. Udah cari makanan aja yuk.”
“Bener?”
“Iya sayang.”
“Ya udah ayo.”
Akhirnya, agar bisa membeli lebih dari satu jenis makanan, Sara dan Firas pun berpisah dan mengantre masing-masing. Tidak ada satupun stan makanan yang sepi. Benar-benar luar biasa.
“Fyuhhh.” suara helaan nafas Sara setelah berhasil membeli leker dengan antrian yang sangat panjang. 
Ia berusaha mencari Firas namun tiba-tiba saja ponselnya berdering. Aduh siapa sih telfon? Rame banget gini juga.
Meski menggerutu, Sara tetap mengangkat ponselnya dengan tergopoh-gopoh. Ternyata Firas.
“Halo sayang, kenapa? Di sini rame banget nih, aku repot banget kalo harus telfon. Aku samperin kamu aja ya, ini udah selese kok aku.”
“Nggak usah, sayang. Aku masih antre panjang nih. Aku juga mau beli makanan lain lagi. Kamu tunggu situ aja, nanti aku susulin kalo udah selese. Jangan ke mana-mana. Yaudah handphone-nya dimasukin tas lagi ya.”
“Oke, hati-hati yaa, see you.”
Dan Sara kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Celingak-celinguk ia mencari spot kosong untuk menepi.
Beruntung ia menemukan, meski tidak benar-benar kosong tapi bisa untuk menunggu Firas.
Sara meniup satu dua kali tempat yang akan ia gunakan untuk duduk, dan sekarang ia telah berada dalam posisi yang cukup nyaman. Baru hendak mengeluarkan ponsel lagi, namun ada seseorang yang tiba-tiba memanggil namanya.
“Sara.”
Sara mencari sumber suara yang ternyata berada tepat di sampingnya. Ia mendongak karena orang yang memanggilnya kini tengah berdiri.
Sedetik Sara terdiam. Ia kembali memastikan lai-laki yang dilihatnya.
“Mas Rendra?”
Ya, itu Rendra yang sama dengan yang dilihat Sara saat masuk pasar kangen pertama kali tadi. Sara memanggilnya mas karena Rendra adalah kakak tingkat Sara saat kuliah dulu.
“Iya aku. Kamu sendiri? Aku ikutan duduk ya?” tanya Rendra sembari duduk, meski belum dipersilakan Sara.
“Oh ya, mas silakan.”
“Pertanyaanku belum dijawab. Sendiri?”
“Oh nggak, berdua kok. Mas Rendra?”
“Berdua juga, sama calon istriku, cuma dia lagi ngantri.”
“Oh gitu.”
Dan suasana mendadak hening. Mas Rendra ini laki-laki pertama yang disukai Sara saat masuk kampus. Pembawaannya yang misterius dan nggak banyak bicara, membuat Sara penasaran. Mereka satu jurusan tapi tidak pernah satu organisasi karena jarak usia mereka yang terpaut 3 tahun. Sara mengenal Rendra dari masa orientasi jurusan, kebetulan Rendra datang sebagai alumni saat itu.
“Nih dipake, dingin.” ucap Rendra sembari memberikan jaket kepada Sara yang berstatus sebagai mahasiswa baru.
“Eh, nggak usah mas. Saya ada kok, cuma di tenda.”
“Makanya pake ini aja, daripada harus balik tenda.”
Dan dari sana perasaan Sara hangat. Percakapan pertamanya dengan Rendra nggak akan pernah ia lupakan seumur hidup. 
Sayang, perasaan yang Sara rasakan tidak pernah tersampaikan. Hanya jadi perasaan satu arah yang akan selalu tersimpan. Ia ingat betul bagaimana ia dan Rendra tidak banyak berkomunikasi. Sekali dua hanya papasan di kampus, itupun saling senyum aja. Chatting? Dulu masih sms dan itupun jarang kecuali Sara sengaja bertanya terkait organisasi yang sebenarnya ia sendiri sudah tau. Selebihnya hanya saling follow media sosial. Kata anak-anak Rendra ini susah didekati, konon juga saat itu belum bisa move on dari mantan kekasihnya.
Sara hanya pernah keluar makan bakso sekali bersama Rendra, itu juga karena tidak sengaja.
Sore itu di kampus, 
“Belum pulang?”
“Eh mas Rendra.” jawab Sara dengan cerah.
“Mau makan bakso nggak? Ada bakso enak dekat sini.”
“Gimana mas?”
“Iya temenin aku makan bakso, mau pulang tapi masih sore, mau makan males sendiri. Ayo.”
“Oh iya mas, tapi saya nggak bawa helm.”
“Aku anterin ambil di kos kamu, deket kan?”
Sara mengangguk. Menahan gejolak detak jantungnya yang sudah hampir lepas.
Namun, ajakan makan bakso dari Rendra tidak ada artinya sama sekali. Percakapan mereka saat makan bakso juga standar saja. Dan setelah itu mereka justru jarang bertemu. Rendra sibuk dengan skripsinya hingga akhirnya wisuda.
“Kamu sekarang di Jogja terus?”
“Iya mas.”
“Kaku amat, sih, santai aja.”
“Hehe iya mas, udah lama banget nggak ketemu soalnya.”
“Iya ya, tapi kok aku masih inget kamu ya.”
“Iya saya juga mau tanya itu.”
“Mungkin karena kamu salah satu orang yang berkesan di hidupku.”
Sara takut salah dengar hingga ia memastikan. “Gimana mas?”
“Haha iya, kamu berkesan buat aku. Cuma saat itu aku takut nyakitin kamu karena aku belum bisa lupa sama mantanku.”
“Oh gitu.” jawab Sara. OH GITU, JADI MAS RENDRA DULU MAU DEKETIN AKU ATAU GIMANA YA? Tanya Sara dalam hati.
“Aku ngikutin sih instagam kamu.”
“Iya mas, kan saya follback waktu itu.”
“Kamu berubah makin keren dari waktu ke waktu. Selamat ya. Dulu kayaknya masih mahasiswa baru yang takut-takut gitu.”
“Hehe iya mas.”
“Dulu aku mau deketin kamu lagi, tapi banyak ragunya soalnya kerja juga masih serabutan. Belum berani deketin anak orang.”
Sara masih terdiam dan Rendra melanjutkan, “Tapi setelah punya kerja bagus, malah harus pindah pulau. Makin sibuk, makin jarang lihat instagram, sekalinya lihat kamu udah ada cowok ternyata. Mau nikah pula.”
Sara bingung harus menanggapi ucapan Rendra dengan kalimat apa.
“Maaf ya, baru sekarang. Di tempat dan waktu yang mendadak. Mungkin kalo hari ini nggak ketemu kamu ya perasaan ke kamu ini cuma akan bisa disimpan aja. Nggak tersampaikan.”
“Sayang.” seorang perempuan datang menghampiri Sara dan Rendra yang sudah pasti adalah calon istri yang tadi disebutkan Rendra.
“Udah antrenya?”
“Udah, panjang banget deh.”
“Oke, udah atau ada yang mau dibeli lagi?”
“Udah aja deh, pulang aja yuk.”
“Nggak mau dimakan dulu?”
“Nanti aja cari tempat yang lebih enak.”
“Oke deh. Ayo pulang.”
Rendra dan perempuan itu meninggalkan Sara begitu saja. Rendra sama sekali tidak berpamitan ataupun memperkenalkan Sara pada calon istrinya dan sebaliknya.
Sara mematung, air matanya turun. Kenapa cinta selalu datang di waktu yang nggak tepat?
Mungkin pergi begitu saja adalah cara yang dipilih Rendra untuk mengakhiri sesuatu yang tidak pernah ia mulai bersama Sara.
Perasaan bertahun-tahun yang hanya akan jadi perasaan. Bahkan ia tidak membiarkan Sara untuk membalas semua pernyataannya.
Aku juga sayang sama kamu mas.
Ya, Sara tahu, saat ini, ia dan Rendra sudah sama-sama memiliki pasangan. Perasaan mereka juga tidak tahu betulan atau hanya sesaat saja.
Tapi mengakhiri sesuatu yang belum dimulai ternyata nyata semenakutkan itu. 
Sara buru-buru mengusap air matanya, saat melihat Firas menuju ke arahnya sembari tersenyum.
Pada akhirnya, akhir dari perasaan jatuh cinta memang bisa saja seperti kisah Sara dan Rendra. Tidak pernah terbalaskan dan hanya berakhir dipendam sebagai satu perasaa paling bersejarah. Perasaan yang dirawat namun tidak berhasil menemukan pemiliknya. Ya, terkadang mencintai dan memiliki memang jadi dua hal yang berbeda.
“Sayang.”
“Panjang banget ya antrenya?”
“Iya, lama ya?”
“Lumayan.”
“Maaf ya. Ya udah kita cari tempat yang lebih nyaman buat makan yuk.”
Dan Sara pun mengangguk. Ia menggenggam erat tangan Firas. Dan saat ia menengok ke suatu arah, Rendra sedang tersenyum ke arahnya sembari menggenggam tangan perempuannya.
Jaga diri baik-baik ya, ucapnya yang dapat dilihat dengan jelas oleh Sara meski tidak bisa Sara dengar.
Akhirnya, nama laki-laki yang terus Sara simpan bertahun-tahun sudah harus direlakan.
10 notes · View notes