Text
How’s life so far?
Scroll… scroll.. and so on. Di tengah-tengah jemariku yang melihat berbagai postingan Instagram, pandangku terhenti sejenak pada stories seorang teman. Sebuah potret yang memperlihatkan senyuman lebar dengan piala dan bunga di tangan. Iya, ia baru saja memenangkan penghargaan atas karyanya. Sebuah karya novel islami ketiganya. Aku turut bangga dan kagum dengan pencapaiannya tersebut. Sedikit tahu bagaimana usaha keras dirinya dalam melahirkan karya yang memberi dampak. Mengenal pribadinya yang cerdas, berhati baik, cantik, dan pekerja keras.
Melihat pencapaiannya selalu berhasil membuatku ingin berkaca, bukan untuk membandingkan, tetapi sebuah refleksi untuk diriku sendiri.
Aku melihat dari sini, sebagai penonton, aku yang selalu menjadi viewers, sedangkan ia dan banyak teman lainnya perlahan tapi pasti mencapai pencapaian masing-masing. Menapaki setiap milestone dengan apik.
Sedangkan aku, bagaimana dengan aku? Masih setia menjadi penonton bagi mereka. Masih betah berlama-lama dalam kehidupan yang pasif. Saat orang lain bergerak, aku masih senantiasa berdiam diri dan berkutat dengan refleksi. Hari-hariku terasa seperti jalan di tempat. Tak banyak progres yang kucapai, sedangkan terasa tak ada waktu untuk diriku sendiri.
Aku tau, aku bukan tidak berbuat apa-apa atas apa yang menjadi prioritasku kini. Tetapi, aku hanya sedang menyayangkan diriku yang tak pandai memberi waktu untuk diri sendiri. Self-blaming, secara sadar atau tidak itu terjadi. Merasa sedih dan kecewa dengan diri sendiri, merasa bersalah, dan seperti membuatku menarik diri.
Aku merasa kesulitan memberi waktu produktif untuk diriku sendiri. Apa yang kulakukan? Saat aku seperti tak bergerak. Pikiranku berjalan, tetapi ragaku terhenti. Aku tidak sedang menyalahkan siapa pun atau menyalahkan keadaan, tapi menyalahkan diri sendiri. Ya, walau aku tau itu tak akan berakhir baik.
Hari ini, bagaimana dengan aku yang terus memandang ke arah luar melalui jendela?
Aku pun, sebagaimana kamu dan mereka, ingin berjalan menuju impian. Sebuah tujuan yang akan menjadi alasan menyambut hari dengan bahagia, menjadi alasan untuk tak berhenti melangkah walau lelah, menjadi alasan untuk tidur cepat agar esok hari kembali bersemangat.
Di ceritaku, mungkin ini adalah bab awalnya.
1 note
·
View note
Text
Indeed.
Setiap kamu ridha dengan takdir Allaah, maka kau akan bahagia. Meski keadaanmu berubah, meski orang-orang di sekitarmu berubah. Tetapi kamu akan tetap bahagia, karena sebab kebahagiaanmu adalah Allaah ta'ala.
📝 Ustadzah 'Aafiyah hafidzahallaah | 🔁 instagram lathifafirdauzi
410 notes
·
View notes
Text

Saat ditanya seperti ini, Biidznillah tentu saja.
Aku sendiri tak tahu pasti kenapa diri ini terlihat betapa cepatnya berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan kegundahan hati dan dengan segala kecemasan.
Saat situasi terasa tidak ideal, saat realita berbenturan dengan apa yang sudah direncanakan. Saat luka kembali terasa nyata.
Tentu saja kemelut hati itu ada, dan bukan serta merta langsung baik-baik saja. Semuanya memerlukan proses yang tak teramat sulit, tapi juga tak mudah.
Saat kedua tanganku tak bisa menyelesaikan segala kerumitan urusanku, sejenak aku lupa bahwa ini semua memang bukan kuasaku sebagai manusia. Bahkan, Rasulullah pun mengajarkan umatnya berdoa,
yaa hayyu yaa qayyum, birahmatika astaghiist, ashlilī sya'nī kullahu walaa takilnī ilaa nafsī tharfata 'ain.
"... perbaikilah segala urusanku, jangan limpahkan urusanku kepadaku walau barang sekejap mata"
Bukankah dari doa itu kita menjadi belajar, bahwa kita tak akan sanggup menyelesaikan segala urusan yang kecil sekalipun jika bukan Allah yang membantu menyelesaikan. Jika kita tak akan sanggup menanggung segala urusan walau sekejap mata. Bukankah sekejap mata itu waktu yang sangat singkat?
Ternyata, dengan memahami hakikat segala urusan dunia ini atas kuasa siapa, dunia ini berjalan atas izin siapa, hati menjadi tenang, hati menjadi lapang dan mudah melihat setiap kebaikan di balik takdir yang Allah berikan. Mungkin benar, segala urusan tak serta merta terselesaikan saat itu juga, tapi hati kita yang berubah.
Cara pandang kita terhadap apa yang ada di depan mata yang berubah.
Sungguh taufik melihat segala sesuatu dengan kacamata ilmu adalah sebuah kenikmatan yang sangat layak diperjuangkan.
Benar, ini tak mudah. Benar, ini memerlukan proses dan waktu. Tapi, bukan berarti tak mungkin.
#self reflection#notes#catatan#selfreminder#journey#renungan#self love#my writing#life quotes#self thoughts#islamic reminders#self journey#muslim reminder#muslimah#adult life
2 notes
·
View notes
Text
"Jika yang mampu melemahkan selemah-lemahnya adalah diri sendiri, maka yang bisa menguatkan keyakinan juga diri sendiri."
Tentang impian-impian yang ingin diwujudkan, aku tahu aku tak bisa berdiam diri jika ingin menjadikannya nyata. Tak bisa hanya berandai dan mengharapkan terjadi keajaiban dari doa-doa yang kulantunkan.
Allah yang Maha Mengabulkan, membutuhkan pembuktian berupa ikhtiar. Allah akan izinkan jika Ia melihat hamba-Nya pantas.
Bukankah aku mempercayai dan meyakini itu? Lalu apa yang menjadi alasan raga tak juga bergerak hingga detik ini?
Ternyata, aku lah penghambat diriku sendiri. Sisi gelap dalam diri, berupa bagian diri yang dipenuhi rasa tak percaya diri, murung, dan merasa terlalu berat melalui jalan yang terlihat di depan mata. Bagian dalam diri yang mudah sekali melemah saat semangat itu mulai hidup.
Apa sebabnya? Ternyata, kaki yang baru saja mau melangkah itu, dibuat melemah karena mata yang secara jelas melihat pencapaian orang lain. Memberi isyarat pada hati, bahwa rasanya terlalu jauh untuk sampai pada titik itu. Terlalu lambat memulai, sedangkan ada orang di luar sana yang telah mencapai apa yang menjadi tujuan. Menimbulkan rasa tertinggal, dan terhanyut dalam keraguan,
"sepertinya usahaku akan sia-sia”, “sepertinya aku sudah terlambat”, “sepertinya aku akan kesulitan mencapainya”.
Berbagai macam narasi keraguan muncul tanpa bisa dibendung, melemahkan kaki yang baru mau memulai langkah. Membuat raga kembali berdiam diri.
Ternyata, penghambatku adalah diriku sendiri. Diriku yang harus terus menerus kembali diyakinkan bahwa menyembuhkan luka juga merupakan pencapaian. Bahwa memulai saat ini juga bukanlah hal yang terlambat. Bahwa titik mulai perjalanan tidak harus selalu sama. Bahwa pencapaian, buka pula semua hal yang bisa diukur menggunakan angka dan standarisasi kekaguman manusia.
Sebagai individu, menetapkan KPI sebagai standar pencapaian bukanlah hal yang tepat. Karena setiap individu berbeda. Jika yang mampu melemahkan selemah-lemahnya adalah diri sendiri, maka yang bisa menguatkan keyakinan juga diri sendiri.
4 notes
·
View notes
Text
“the potential (still not the reality) that we see on the others, is their own choice and responsibility”
Kalimat yang muncul dalam postingan akun instagram @wantja semacam menjadi validasi dari hal yang muncul di dalam pikiran beberapa hari terakhir. Hal ini berkaitan dengan seseorang yang terlihat memiliki potensi perubahan dalam dirinya, setelah beberapa kali tak terlihat adanya perubahan positif pada beberapa aspek di dalam pandanganku. Perubahan ini terletak pada ranah pola pikir dan kesadaran diri, belum sepenuhnya terlihat ada perubahan, tetapi memiliki potensi ke arah sana.
Pikiranku mulai disibukkan dengan berbagai skenario “what if”. Sedangkan logikaku secara sadar mengatakan bahwa potensi perubahan, tidak bisa menjadi jaminan untuk saat ini. Memberi kesempatan jika pun dibutuhkan, belum tentu juga menjadi keputusan terbaik. Apalagi aspek yang dipertimbangkan merupakan aspek krusial yang tidak bisa dikompromi. Jika pada akhirnya hal ini dikompromikan dan level yang dibutuhkan diturunkan, rasanya dampaknya juga tak begitu baik. Ada rasa takut bahwa diri ini kemudian terkecoh oleh keadaan, sehingga memudahkan proses yang seharusnya menjadi bagian penting.
Bisa dikatakan benar adanya, bahwa tidak bisa mengharapkan perubahan dari seseorang hanya karena kita bersikap baik dan berusaha memberi pengaruh baik. Lagi-lagi, perubahan seseorang bergantung pada dirinya sendiri. Jika seseorang itu ingin berubah, tanpa adanya campur tangan orang lain pun, ia akan melakukan perubahan. Begitu pula sebaliknya. Adanya potensi perubahan juga tidak bisa menjadi acuan. Potensi tetaplah potensi sampai ia diwujudkan dalam tindakan nyata. Bersandar dan mengandalkan hal yang masih potensi hanya akan melahirkan kekecawaan hingga luka di kemudian hari.
3 notes
·
View notes
Text
Bertahan sendirian itu, sulit. Berada di tempat yang tak sejalan dengan nilai yang kau punya itu, sulit. Tak punya teman untuk saling menguatkan itu, sulit.
Di kondisi seperti ini, rasanya seperti Allah ingin menginginkan kita membuktikan kejujuran diri. Apakah benar bisa istoqamah, apakah benar tetap mampu memperjuangkan menjadi baik? Sudahkah niat itu jujur, sudahkah niat itu benar?
Tetapi Ya Allah, bolehkah mengakui bahwa diri ini lemah, hati ini lemah. Bahkan saat berada di tempat yang ideal pun, masih mudah tergelincir. Bahkan saat ada teman yang saling mengingatkan pun peluang jatuh itu begitu besar. Maka kesendirian ini sungguh menakutkan. Takut terkalahkan oleh diri sendiri yang sangat lemah pertahanannya. Takut pada diri sendiri yang tak berdaya, jika tanpa pertolongan Allah yang Maha Menjaga.
6 notes
·
View notes
Text
Mungkin Aku memang belum siap
Aku adalah orang yang memiliki banyak keinginan, meski pun keinginanku itu tak membuat ku terlalu berambisi untuk mendapatkannya. Satu sisi, ketidak ambisi-an itu memiliki dampak positif, tapi di sisi lain juga memiliki dampak negatif. Dampak negatifnya adalah membuat ku mudah menyerah dan berpuas diri dengan apa yang ku dapatkan. Menjadikan ku tidak memiliki cukup keberanian untuk memperjuangkan. Bahasa sederhananya, menjadikan ku mudah menyerah bahkan sebelum benar-benar memulai. Masalah yang sebenarnya tak begitu besar akan dengan mudah menghambatku untuk melanjutkan apa yang telah aku mulai. Disinilah kelemahan diriku yang sangat merugikan, menyerah. Hal ini berbuntut pada banyak sisi. Menjadikanku pribadi yang tak kuat dalam memegang komitmen yang telah dideklarasikan dan mudah sekali goyah. Keinginan yang tak begitu kuat dalam mendapatkan sesuatu membuat ku mudah melepaskannya. Hingga pada akhirnya tak ada apa-apa yang ku dapatkan. Ya, lemahnya daya juang menjadi masalah yang besar dalam perjalanan hidupku hingga saat ini.
Beberapa hal yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir membuat ku kembali tersadarkan. Aku kecewa dan merasa terluka dengan fakta yang ku hadapi. Sebuah fakta yang membuat ku jatuh. Tepatnya, membuat hati ku benar-benar perih. Pada aku siapa aku kecewa? Tak lain pada diriku sendiri. Karena tak ada yang bisa ku salahkan. Pihak di luar diriku hanyalah perantara untuk membuat ku merasakan ini. Jika dipikirkan lagi, tak ada yang salah dengan mereka, setidaknya tidak bersalah padaku. Aku saja yang overthinking dan pada akhirnya membuat ku merasakan sakit karena ulahku sendiri. Ingatan tentang hal-hal itu seketika membuat ku merasa perih, sesak, dan berurai air mata. Tak ada yang bisa ku pikirkan selain luka yang terus kurasakan. Hingga akhirnya, perasaan terluka itu mengacaukan semuanya. Lalu menyadarkan ku kembali. Menarik ku ke permukaan dan membuat ku menyadari kesalahan.
Aku yang seakan terjatuh sangat keras itu merasa tak sanggup bangkit. Untuk sesaat mengabaikan semuanya. Ibadah yang seharusnya aku perjuangkan, komitmen yang seharusnya aku pertahankan dan kupegang erat. Aku mengabaikannya, lalu aku dengan mudahnya menyerah pada komitmen yang sebelumnya aku niatkan. Hingga akibat kecerobohan dan kelalaianku itu memukul telak diriku. Sebuah nasihat sederhana yang seharusnya telah ku ketahui selama ini benar-benar terasa menusuk dan menyadarkanku. Sebuah komitmen untuk menyelesaikan satu hal yang ku khianati, sebuah juang yang padanya aku dengan mudahnya mengambil kata menyerah, berakibat pada kerugian orang lain yang aku tak sadari. Orang lain yang tak mendapatkan kesempatan sepertiku, sedangkan aku yang mendapat kesempatan itu menyia-nyiakannya begitu saja. Sebuah laku adab yang kulalaikan pun, membuat orang lain melihatku dengan kecewa. Ya, teguran-teguran kecil namun tepat sasaran itu membuatku tersadar.
Bagaimana mungkin aku mendapatkan apa yang aku inginkan sedangkan aku masih lemah dalam memegang tanggung jawab, masih lemah dalam memegang komitmen, dan masih lemah dalam berjuang. Tentu saja, hal ini jelas menandakan aku belum siap. Wajar jika akhirnya luka menyadarkanku untuk memperbaiki apa yang masih salah. Wajar teguran ini aku dapatkan, dan luka aku rasakan. Hal ini bukan mengartikan Allah tak sayang, tapi malah menunjukkan begitu sayangnya IA, masih menegur kelalaian hamba dan menyadarkan apa yang terlalaikan. Terimakasih pada luka, segala puji bagiNya atas jatuh yang IA berikan. Jika tak terluka, mungkin aku tak akan segera memiliki kesadaran. Ya, aku menyadari bahwa sesungguhnya diriku belum siap, belum siap dalam mendapatkan hadiah-hadiah terbaik dariNya. Karena untuk menerimanya, aku diharuskan membuktikan bahwa diriku layak.
#notes#self love#my writing#life quotes#selfreminder#renungan#adult life#personal post#journey#personal#muslim reminder
2 notes
·
View notes
Text
Tentang hidupmu sendiri
Bukankah kita tidak bisa membandingkan satu manusia dengan manusia lainnya? Tentang cerita satu dan cerita lainnya?
Tidak ada yang benar - benar bisa terlahir sama dan memiliki takdir hidup yang sama. Kita hidup dalam perbedaan yang sudah pasti. Kesamaannya hanyalah, kita terlahir sebagai manusia.
Takdir yang mereka alami belum tentu juga kau alami. Manisnya kisah hidup yang mereka miliki belum tentu kau miliki. Pun manisnya kisah hidupmu belum tentu mereka miliki. Pada akhirnya kita akan memiliki makna hidupnya masing-masing. Kau bukan orang paling bahagia, kau juga bukan orang yang paling menderita.
Kau bahagia dengan caramu, mereka pun bahagia dengan caranya. Selama kita diberi hidup di dunia, bukankah yang paling penting adalah bagaimana agar hidup kita bermakna?
Tapi benar adanya, bahwa sebagai manusia biasa hati itu masih bisa bergejolak, masih bisa merasa iri, masih bisa membandingkan satu dengan yang lain. Tak apa, kau tak harus menjadi manusia suci yang tak melakukan kesalahan. Kita bukanlah manusia pilihan yang terbebas dari dosa bukan? Kau juga berhak sedikit merasa sedih dan marah, asalkan kau tak pernah lupa bahwa yang paling utama dalam hidupmu adalah dirimu sendiri. Bahwa tokoh utama dalam hidupmu adalah dirimu sendiri. Dan pada akhirnya nanti kau yang bertanggung jawab seorang diri atas hidup yang kau lalui di dunia ini.
Maka tanyakanlah dan carilah lagi ke dalam dirimu, bagaimana kisah yang ingin kau baca di hari akhir nanti?
#notes#catatan#selfreminder#renungan#journey#adult life#life quotes#self love#insecurity#quarter life crisis#self thoughts#growth
9 notes
·
View notes
Text
Teruntuk kamu, diriku.
Saat ini segala sesuatunya mungkin benar-benar terasa melelahkan. Semua permasalahan silih berganti berdatangan. Bahkan seringkali tanpa jeda, hingga membuat mu tak kunjung bisa bernapas lega. Segalanya menumpuk menjadi satu, lambat laun seperti bola salju yang menggelinding, semakin membesar dari waktu ke waktu. Seakan tak memberimu kesempatan untuk memilih menyelesaikan salah satu.
Menjadikan mu terpaku, lalu diam membisu.
Lelah ya?
Semua hal yang kau hadapi sangat menguras tenaga yang ada. Hampir habis rasanya kekuatan itu. Jika saja hati dan raga yang kau miliki bagaikan porselen, mungkin saat ini sudah tak tahu lagi bagaimana bentuknya. Mungkin sudah hancur tak berbentuk. Saking seberat itu rasanya beban yang harus dipikul. Tapi syukurlah, hati dan ragamu lebih kuat dari itu, bahkan lebih kuat dari baja sekali pun. Meski sekian banyak masalah yang menghantam, sebegitu berat beban yang harus dipikul, kau mampu untuk menghadapinya. Karena kau adalah manusia hebat yang diciptakan oleh Pencipta yang Maha Hebat juga.
Kau tahu? Kau adalah manusia hebat. Mau tahu kenapa?
Meski kau mengalami banyak hal yang melelahkan lagi menyakitkan, kau tetap mencoba untuk terus berjuang. Meski begitu banyak masalah yang harus kau selesaikan, kau memilih menghadapi dengan berani. Alih-alih pergi melarikan diri. Mencoba menyelesaikan satu persatu hal yang kau hadapi. Raga mu mungkin lelah, hatimu mungkin patah. Tapi dengan sisa-sisa tenaga yang ada kau terus mencoba bangkit dan berdiri tegak. Meski terasa tak kunjung selesai, tapi kau masih percaya pada secercah harapan bahwa semuanya akan segera usai.
Tak apa jika harus menangis. Air mata yang kau keluarkan bukan tanda bahwa kau adalah manusia cengeng dan lemah. Air mata itu menunjukkan bahwa kau adalah manusia yang memiliki rasa. Adakalanya menangis akan membuatmu lebih kuat, karena dengan menangis kau mengakui bahwa yang kau hadapi adalah hal berat, sehingga kau akan kerahkan sekuat tenaga untuk menghadapinya. Air mata yang kau keluarkan juga tak akan sia-sia, karena setelahnya kau akan sangat menghargai arti dari senyum bahagia.
Percaya dan yakin lah, semua akan berakhir pada waktunya. Tugasmu hanya terus berjuang sekuat yang kau bisa. Tugasmu adalah bertahan hingga waktunya tiba. Lagi pula, tak akan ada beban yang tak mampu kau pikul. Karena seberat apa pun bebanmu, tak akan pernah melebihi batas kemampuan yang kau miliki. Itu janji dari Tuhan mu yang tak akan pernah ingkari janji. Maka bukankah tak ada yang perlu kau ragukan lagi?
Hingga hari ini pun, kau telah banyak melalui banyak perjuangan bukan?
Kumpulan tahun yang kau lewati sebelumnya menunjukkan bahwa kamu hebat karena bisa bertahan sampai hari ini. Berapa tahun kau hidup? Belasan? Bahkan puluhan?
Setiap waktumu adalah perjuangan, dan ternyata kau telah berjuang selama itu pula.
Bukankah itu menunjukkan bahwa kau benar-benar kuat?
Jadi, mari berjuang lagi untuk setiap sisa waktu yang kau miliki nanti. Kau akan kuat, karena ada Allah yang akan membuatmu kuat.
#notes#catatan#selfreminder#journey#renungan#adult life#life quotes#my writing#self love#self thoughts#my journey#journaling
4 notes
·
View notes
Text
Sebuah catatan awal 20-an
Masa yang berjalan begitu cepat membawaku pada titik yang saat ini aku rasakan. Banyak hal yang menjadi penting untuk dipikirkan. Memasuki usia 20an merupakan masa-masa yang membuatku benar-benar memikirkan terkait masa depan. Ketika usia masih belasan, tak ada pikiran untuk sebuah jalan keseriusan. Kedewasaan masih belum menyentuh pikiran kala itu. Segala yang dijalani hanyalah berdasarkan kesenangan yang tak dipikirkan secara panjang.
Memasuki usia 20an, pikiran ku akhirnya mengalami keterkejutan yang besar. Apa yang selama ini ada di pikiran seakan tak lagi relevan dengan keadaan yang ada. Terkait visi kedepan yang harus ku tentukan. Terkait dengan tujuan hidup. Terkait dengan jalan yang ingin dan akan ku lalui. Terkait aku yang ingin menjadi orang seperti apa.
Segalanya memusingkan bagiku. Aku kesulitan dalam merencanakan masa depan yang ku inginkan. Aku yang terbiasa hidup mengalir apa adanya, harus dituntut untuk mencoba membuat segala sesuatu nya terencana. Tidak ada yang mengharuskan sebenarnya, akan tetapi lingkungan tempatku berada seakan menuntutku sama dengan mereka. Maka ketika aku tak mampu mengikuti apa yang aku rasa harus aku ikuti, aku menyerah. Pada akhirnya membuatku tidak percaya diri dan mempertanyakan mengapa aku seperti ini. Usaha yang lebih keras harus aku keluarkan untuk selalu meyakinkan diri bahwa apa yang aku miliki adalah karunia yang Allah beri dan harus aku syukuri. Segala yang kumiliki, entah berupa kelebihan atau kekurangan sebenarnya adalah potensi. Potensi untukku mengembangkan diri, memperbaiki apa yang kurang dan menguatkan apa yang sudah baik.
Akan tetapi, itu semua memiliki satu dasar yang harus ada. Tak akan pernah bisa aku menentukan visi ke depan dengan baik tanpa aku kenal siapa diriku, tanpa aku ketahui kelebihan dan kekuranganku. Potensi yang aku miliki pun tak akan mampu berkembang dengan baik jika aku belum mampu mengarahkannya pada jalan yang seharusnya.
Ku sadari, setelah aku mengenal diri, tak sulit bagiku untuk menyimpulkan dan menentukan visi yang harus aku capai. Visi yang aku jadikan jalan dalam menjalani kehidupan ku kelak. Tujuan yang jelas, tujuan yang pasti meskipun memiliki jalan yang tak pasti dalam mencapainya. Pada akhirnya aku mengerti, di titik mana aku harus memperbaiki dan di titik mana aku perlu mengembangkan lagi. Ku sadari, menerima diri dan tak lagi membandingkan dengan kehidupan orang lain menjadikan ku menemukan sejatinya diriku. Menerima segala yang kumiliki tanpa merasa insecure dengan orang lain. Ternyata selama ini, hal ini lah yang menghalangiku dari menentukan tujuan kehidupan yang memang benar-benar ku ingini.
2 notes
·
View notes
Text
Kuatnya wanita
Aku kagum pada kuatnya wanita, saat mudah baginya untuk tersenyum kala menahan luka. Aku heran pada tegarnya wanita, saat tawanya tersemai di tengah tangis yang seharusnya ia urai. Betapa heran aku pada hati wanita, di balik rapuhnya yang bagai kaca, ia begitu kuat menahan segala sakit yang dirasa. Tak segan ia berkorban demi yang ia cinta.
Katanya wanita itu sosok yang lemah dan rentan. Di dalam dirinya ada kelembutan yang telah penciptanya berikan. Tapi, wanita dengan kelembutannya tak selemah itu. Justru ia kuat bersamaan dengan kelembutan yang dimilikinya. Wanita itu kuat, aku kagum pada kuatnya ia. Dibalik raganya yang tak sekuat lelaki ada hati yang kuat melebihi besi. Di balik hati yang begitu lembut dan mudah terluka, ia masih mampu tersenyum menahan segalanya, seakan tak terjadi apa-apa. Luka yang dengan mudah ia tutupi dengan senyum yang menenangkan hati.
Wanita, ia begitu tegar. Masih mampu tertawa dan menebar bahagia kala seharusnya ia mengurai air mata. Terlihat baik-baik saja di hadapan orang-orang yang ia tak ingin mereka tahu tentang lukanya. Terlihat baik-baik saja agar orang lain tak mengasihani ia yang terluka. Ia tegar, karena memang begitulah ia. Ia kuat, karena memang begitulah hatinya. Sebagaimana pun luka menggores hatinya, ia tahu bahwa lemah dan menyerah bukan pilihannya. Kuatnya hati dan jiwa, mengalahkan kuatnya fisik yang ia miliki. Dari luar ia memang terlihat biasa saja, mudah sekali rapuh bahkan. Tetapi, ketika ia memutuskan untuk kuat maka tak ada yang mampu melemahkannya.
Aku heran, dua hal yang bertolak belakang bisa menjadi satu pada diri seorang wanita. Hatinya rapuh, mudah sekali pecah bak kaca. Bahkan harus berhati-hati kala sudah menyangkut mengenai hatinya. Jika salah sedikit saja, mudah bagi kaca yang rapuh itu untuk retak. Tapi lagi-lagi wanita begitu kuat menahan setiap luka. Begitu kuat ia menahan segala sakit yang dirasakannya. Begitu sabar ia menata kembali hatinya yang telah pecah bagai kaca.
Satu hal lagi, kala wanita telah memiliki cinta, ia tak segan untuk berkorban. Mengorbankan hati juga apa yang ia miliki demi apa yang ia cintai. Sebagaimana ibu yang berkorban bagi buah hatinya, sebagaimana wanita yang berkorban demi laki-laki yang dicintainya. Pengorbanan yang penuh dengan ketulusan. Pengorbanan yang penuh dengan keikhlasan. Pengorbanan yang padanya ia kerahkan segala kekuatan. Jangan sekali-kali diremehkan. Jangan sekali-kali dianggap tak berharga. Jangan pula menganggap wanita begitu lemah. Karena wanita memiliki sisi lemah dan kuat di saat yang bersamaan.
#catatan#journey#selfreminder#notes#self love#life quotes#adult life#renungan#perempuan#muslimah#strong women#mother#ibu#pengorbanan
18 notes
·
View notes
Text
Persimpangan Jalan
Aku kembali dihadapkan pada persimpangan jalan. Pada keputusan-keputusan besar yang akan menentukan bagaimana masa depanku akan berjalan.
Aku kembali dihadapkan pada kebimbangan, pada ketidak tahuan, dan keraguan.
Tentang rencana-rencana masa depan yang tak lagi hanya sekedar rencana.
Tentang waktu yang terus berjalan dan raga yang harus dipaksa untuk beranjak.
Tentang langkah yang meragu namun juga disertai keyakinan.
Aku dihadapkan pada kenyataan, bahwa bukan lagi waktunya banyak bersendau gurau. Bukan lagi waktunya untuk memprioritaskan hal-hal sederhana tanpa memikirkan tanggung jawab besar lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang menuntut untuk segera mendapat jawaban.
Tak ada lagi waktu untuk memilih menunggu.
Segera beranjak atau tenggelam, begitu kira-kira.
Banyak rencana yang harus segera diputuskan. Agar segera pula kaki melangkah. Tanpa tapi, tanpa tunggu nanti.
Seperti saat berdiri di persimpangan jalan, tak banyak waktu untuk memutuskan jalan mana yang akan diambil.
#personal reminder#decisionmaking#selfreminder#my writing#journey#self love#adult life#renungan#notes
3 notes
·
View notes
Text
Pandanganku tertuju pada ibu muda yang duduk di sudut kafe. Bayi perempuannya yang tenang dalam pangkuan, sesekali tertawa saat ibunya menggerak-gerakkan stroller untuk menghiburnya.
Tak berselang lama, seorang pria berjalan mendekat, tersenyum hangat pada putri kecilnya. Segera bayi mungil itu berpindah pada pelukan ayahnya. Tersenyum senang dengan tatapan berbinar. Hatiku menghangat.
Dengan nyaman, si bayi menyandarkan kepalanya manja pada dada bidang ayahnya. Seakan-akan tahu ia itulah tempat teraman baginya.
Di tengah lalu lalang orang-orang di sekitar, rasanya waktu bergerak lambat dan membuat pandanganku terfokus pada keluarga muda itu tanpa bisa menahan senyuman.
Ada rasa damai yang hadir dalam dada, melihat bagaimana interaksi sederhana antara ayah dan anak perempuannya. Sebuah ungkapan tanpa kata cinta sejati yang tak bersyarat.
5 notes
·
View notes
Photo

Karena kita tidak akan mampu bertahan, bersabar, beramal shalih, meraih keberhasilan tanpa pertolongan Allah Ta'ala. Berkat Rahmat dan Taufiq dari Allah lah seseorang dapat beramal, seseorang menjadi kuat dan bersabar, dan karena hidayah dariNya-lah seseorang dapat ikhlas dalam beramal. Maka ucapkan kalimat afirmasi yang tetap tidak lepas dari tauhidnya kita kepada Allah Ta'ala, Dia lah satu-satunya tempat kita bergantung dan dimintai pertolongan. Semoga dengan demikian, Allah ridha kepada kita. Jangan sampai penyebab keterhalangan dan ketiadaan Taufiq-Nya adalah karena sikap kita yang menyandarkan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan diri kita sendiri. Juga keterpedayaan diri kita lantaran selalu mengandalkan pemahaman dan ‘kecerdasan’ diri kita sendiri, serta lalainya diri dari doa dalam semua perkara. Maka ketika kita dihadapkan kepada permasalahan yang tidak kunjung usai, begitu menyulitkan, berlarilah kepada Allah dengan taubat, istighfar, memohon pertolongan dan memohon perlindungan, seraya berharap kebenaran turun dari sisi-Nya.. Begitupun ketika mendapatkan keberhasilan, seperti yang diterangkan dalam ayat terakhir surat an-nashr, Allah Ta'ala memerintahkan untuk bertasbih, bertahmid dan istighfar dalam segala makna, dimensi dan konteksnya, yang akan selalu mengiringi dan menjadi cermin apakah ‘perjuangan’ masih dalam koridor Nashrullah (pertolongan Allah) atau tidak? Dengan memahami hal tersebut, setiap perjuangan dalam hal apapun tidak akan menghalalkan segala cara, bahkan yang diperbolehkan secara logika pun akan dihindari karena khawatir Nashrullah tidak mengiringi perjuangannya. Sekalipun secara dzahir hal tersebut bisa menghasilkan keberhasilan. Karena itulah tidak ada euforia kemenangan ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum muslimin berhasil menguasai kota Mekkah. Karena Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam lebih fokus merenungi semua proses hasil perjuangan yang telah dilaluinya. Begitupun ketika kalah dalam perang Uhud dan perang Hunain, maka Allah Ta'ala jelaskan dalam surat Ali Imran ayat 165 dan surat At Taubah ayat 25, kenapa hal tersebut bisa terjadi. Wallahu waliyyut Taufiq. https://www.instagram.com/p/CS6fXtpBG6e/?utm_medium=tumblr
405 notes
·
View notes
Text
Ada perasaan asing saat melihatmu kini
Bukan senang maupun sedih
Sebuah perasaan yg tak bisa kujelaskan
dan belum dapat kuberi nama
Aku tersenyum, tapi mataku memberi makna yang berbeda, dan hatiku entah kenapa terasa seperti terguyur hujan
Sambil menghela nafas panjang, bersamanya beriringan dengan semoga,
Semoga kau selalu baik-baik saja, semoga kau selalu diberi yang terbaik, semoga apa pun bebanmu diringankan dan segala tanggung jawabmu tertunaikan.
Semoga jalan yang kau tempuh saat ini dan di masa depan selalu diberi penerangan.
Ah, begini rasanya
Mendoakan Seseorang dengan rasa yang begitu tulus
Karena, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain mendoakan. mendoakan kebaikan atasmu
Mendoakan tanpa kau tahu itu.
1 note
·
View note
Text
Tidak perlu memaksakan. Jika memang ia mau, ia akan memperjuangkan tanpa kamu minta. Jika tidak, berarti memang kamu tidak berarti apa-apa. Pada titik tertentu kamu harus mencukupkan diri. Mencukupkan diri dari mendoakan dia akan menjadi bagian dari hidupmu. Jika pun belum mampu menghilangkan dirinya dari barisan doamu, doakan kebaikan untuknya, dan itu cukup.
Jangan lagi kau membebani hatimu dengan mencari-cari kemungkinan-kemungkinan kecil yang bahkan kau ada-adakan. Anggap saja urusan ini sebagaimana hitam dan putih, jelas dan tidak ada keabu-abuan.
1 note
·
View note
Text
Diantara kita mungkin tak semua memiliki tempat nyaman untuk bercerita. Disaat 'dunia' sedang tidak baik-baik saja, diisaat dada terasa begitu sesak, bahkan disaat hidup terasa hampa. Hanya bisa menyimpannya sendiri tanpa ada tempat untuk berbagi dan telinga untuk mendengar.
Berbagi dan berkeluh kesah pada IA Yang Maha Mendengar adalah yang terbaik. Tapi, tak perlu malu mengakui, bahwa kita juga manusia biasa yang membutuhkan sesama, membutuhkan ruang untuk didengarkan, membutuhkan dorongan untuk dikuatkan. Ada kalanya kehadiran seseorang akan terasa begitu berharga, siapa pun ia.
Aku memang tak banyak memberi dalam bentuk rupa, pun aku terbatas sebagai manusia. Tapi, aku ingin kehadiranku bermakna. Setidaknya, aku ingin memberi ruang bagimu yang merasa sesak. Aku akan menyediakan dengar saat kau ingin didengarkan. Aku akan ada saat kau perlu dikuatkan. Tak perlu kau merasa malu untuk terlihat lemah, tak perlu kau takut untuk menjadi apa adanya dirimu sebagai manusia biasa tak peduli statusmu apa. Setidaknya aku ingin menjadi ruang yang nyaman saat kau kembali pulang.
1 note
·
View note