zahralutfiah
zahralutfiah
Lutfiatuzzahra
87 posts
Ruang hati dan kata, tempat setiap rasa menemukan makna. Berbagi cerita, menggenggam harapan, dan menelusuri jejak rasa dalam setiap pesan. My Books: The Best Choice From Allah, GAMSHA: Bagiku Dia Sempurna, HAYYAFANDRA, ZEINZADA: Quit Breaking My Heart, dan Ketika Doa Menjadi Bentuk Terindah dari Cinta. IG: @zahralutfiah13_
Last active 60 minutes ago
Don't wanna be here? Send us removal request.
zahralutfiah · 8 days ago
Text
Antara Empati dan Kehilangan Diri Sendiri
Aku paham perasaan orang lain. Sering kali bahkan terlalu paham, sampai-sampai aku melupakan perasaanku sendiri.
Saat temanku kecewa, aku yang merasa bersalah. Saat temanku sedih, aku buru-buru menghibur. Saat temanku butuh bantuan, aku selalu datang duluan—tanpa menimbang perasaanku sedang seperti apa.
Aku tidak ingin melukai siapa pun. Aku takut mereka merasa tak dipahami. Maka aku terus meraba isi hati orang lain, tanpa sempat menyentuh isi hatiku sendiri.
Empati membuatku dekat dengan banyak orang, tapi perlahan aku menjauh dari diriku sendiri. Aku begitu sibuk menenangkan, menyesuaikan, mengerti, hingga lupa bertanya:
Apa aku juga sedang baik-baik saja?
Apa aku masih menjadi diriku sendiri, atau hanya bayangan dari harapan orang lain?
Mungkin, terlalu banyak memberi ruang untuk orang lain bisa membuat kita kehabisan ruang untuk diri sendiri.
Dan diam-diam, aku mulai merindukan diriku yang dulu—yang tahu apa yang dia mau, yang berani jujur, yang tak takut mengecewakan orang lain hanya demi mempertahankan dirinya sendiri.
8 notes · View notes
zahralutfiah · 12 days ago
Text
Ayah, Suara Pertamaku Adalah Untukmu
Ayah, orang-orang bilang, suara pertamaku adalah tangis. Tapi bagimu, itu adalah lagu yang paling merdu.
Bukan karena nadanya indah, tapi karena di sana, kau tahu: aku telah lahir ke dunia, dan kau harus siap menjadi pelindungku.
Saat aku menggenggam jari besarmu kala itu, tubuhku masih rapuh, namun matamu penuh haru. Kau tak bicara banyak—tetapi dari cara kau memelukku, aku tahu, bahwa aku aman bersamamu.
Ayah, mungkin aku belum bisa mengingat detiknya, tapi aku percaya kau tak pernah melupakannya. Hari itu bukan hanya hari kelahiranku, tapi hari ketika kau memilih menjadi rumah pertamaku tanpa ragu.
Suara tangisku hari itu adalah awal dari seluruh kisahmu mencintaiku. Dan suara lelahmu sejak hari itu… selalu kau simpan agar aku tak tahu.
10 notes · View notes
zahralutfiah · 12 days ago
Text
Doa yang Mengawali Segalanya
Sebelum aku hadir ke dunia, kalian sudah memanggil namaku dalam setiap doa.
Bukan karena aku istimewa, tapi karena kalian berharap—kelak, aku menjadi titipan yang tak kalian sia-siakan. Kalian menengadahkan tangan, berharap satu hal sederhana: agar anak yang lahir dari kalian, bisa membawa kebaikan. Bisa tumbuh dengan akhlak, dengan cinta, dan dengan keteguhan hati. Bahkan sebelum aku punya wujud, kalian sudah menyebutku: “anakku.”
Aku tidak tahu seperti apa wajah kalian saat berdoa kala itu. Tapi aku yakin, ada harapan besar yang kalian sematkan. Harapan yang tak pernah kalian ucapkan dengan keras, namun begitu nyata dalam cara kalian menyambutku.
Aku bukan hadiah. Aku adalah amanah. Dan kalian memilih untuk menjaga, bukan hanya menerima.
Hari ini, aku menulis ini bukan karena aku sudah pantas dibanggakan. Tapi karena aku ingin mengenang bahwa segalanya dimulai dari doa. Doa yang kalian panjatkan bukan sekali, tapi berkali-kali. Doa yang kelak ingin kutepati lewat caraku mencintai kalian.
30 notes · View notes
zahralutfiah · 13 days ago
Text
Menjadi Pendengar yang Tidak Pernah Didengarkan
Aku terbiasa menjadi telinga. Tempat cerita ditumpahkan. Tempat keluh dilampiaskan.
Banyak orang datang padaku saat mereka sedang butuh tempat bersandar—dan aku menerimanya.
Bukan karena tak punya beban sendiri, tapi karena aku tahu rasanya ingin dimengerti.
Aku mendengarkan dengan sepenuh hati. Berusaha hadir, walau kadang sedang lelah sendiri. Aku tidak pernah meminta mereka untuk balik bertanya, "Kamu gimana?" Tapi dalam hati, aku berharap.
Sayangnya, harapan itu sering kali diam. Dan diam itu lama-lama jadi terasa sepi. Sebab di balik telinga yang setia mendengar ini—ada suara dalam diri sendiri yang ingin dipahami.
Aku tidak menyesal menjadi pendengar. Tapi kadang, aku ingin tahu rasanya didengarkan. Bukan karena ingin membalas peran, namun karena manusia juga membutuhkan ruang—untuk berbicara, bukan hanya menjadi tempat bicara.
Menjadi kuat bukan berarti tak punya cerita. Dan menjadi pendengar bukan berarti tidak punya luka.
16 notes · View notes
zahralutfiah · 13 days ago
Text
Tak Semua “Aku Bisa” Artinya “Aku Sanggup”
“Aku bisa.”
Itu kalimat yang sering keluar dari mulutku— hampir otomatis. Tanpa pikir panjang. Tanpa jeda untuk bertanya pada diri sendiri:
“Benarkah aku sanggup?”
Kadang aku bilang bisa, bukan karena aku benar-benar yakin. Tapi karena aku tahu— kalau bukan aku, mungkin tidak akan ada yang melakukannya.
Lama-lama aku jadi terbiasa mengambil semua peran, memikul semua tanggung jawab, karena orang-orang telah percaya bahwa aku akan selalu bisa diandalkan.
Padahal, aku tahu: ada batas. Ada hari-hari di mana kata “bisa” hanya menjadi topeng untuk menyembunyikan rasa enggan, rasa takut, atau rasa jenuh.
Tapi aku tetap mengangguk. Tetap berjalan. Tetap menjawab, “Iya, aku bisa.”
Karena menjadi “yang bisa” sering dianggap sebagai bentuk kekuatan, padahal terkadang itu hanya bentuk diam-diam dari kelelahan.
Mungkin dunia butuh orang-orang yang sanggup, tapi lebih dari itu, dunia juga butuh orang-orang yang jujur pada dirinya sendiri.
Hari ini, aku sedang belajar hal itu—bahwa mengatakan... “Maaf, aku belum sanggup” juga adalah bentuk keberanian.
14 notes · View notes
zahralutfiah · 13 days ago
Text
Luka yang Ditutupi dengan Senyuman
Ada banyak hal yang tidak bisa diceritakan. Bukan karena tak ingin, tapi karena tak tahu harus mulai dari mana.
Aku terbiasa tersenyum saat hati sedang tak karuan. Bukan sedang baik-baik saja, hanya sedang berusaha tetap terlihat tenang.
Kadang aku bertanya,
“Kalau aku berhenti tersenyum, apakah mereka akan sadar?”
“Atau semua akan berjalan seperti biasa, seolah tak ada apa-apa?”
Terlalu sering menyimpan luka membuatku pandai menyamarkannya. Orang bilang aku ceria, hangat, dan menyenangkan. Padahal, aku melakukannya karena sedang berusaha bertahan. Bukan ingin berpura-pura, tapi itu satu-satunya cara supaya tidak merepotkan siapa pun.
Tapi diam-diam, aku berharap...
Ada seseorang yang dapat membaca dan memahami perasaanku lebih dari sekadar ekspresi wajah. Yang bersedia duduk diam bersamaku, mendengarkan keluh kesahku, tanpa menuntutku untuk tetap tersenyum.
Semua orang tahu, bahwa senyum bisa menyembunyikan banyak hal, tapi tidak pernah benar-benar menyembuhkan.
19 notes · View notes
zahralutfiah · 14 days ago
Text
Kenapa Aku Harus Selalu Kuat?
Aku tidak pernah memilih untuk selalu kuat. Tapi entah sejak kapan, dunia seolah sudah sepakat: aku harus jadi tempat bersandar— bukan yang bersandar.
Apa mungkin karena aku terlihat bisa? Atau mungkin karena aku jarang mengeluh dan selalu tersenyum ceria? Tapi siapa pun yang terlihat baik-baik saja, bukan berarti sedang benar-benar baik-baik saja.
Ada hari-hari saat aku juga ingin menangis, ingin diam saja tanpa dituntut apa-apa. Tapi setiap kali aku mulai menunjukkan rapuhku, aku merasa bersalah. Takut dianggap lemah. Takut mengecewakan.
Dan akhirnya aku belajar menyembunyikan lelahku. Menerima peran sebagai Si Kuat— walau dalam hati aku juga sering kali goyah.
Terkadang aku bertanya:
“Kenapa harus aku?”
“Kenapa aku harus menjadi satu-satunya yang bertahan ketika semua orang mulai menyerah?”
“Kenapa aku harus menguatkan, bahkan saat aku sendiri hampir runtuh?”
Tapi hari ini aku ingin jujur pada diri sendiri: Aku lelah. Dan aku ingin berhenti jadi selalu kuat untuk sebentar saja.
Karena menjadi kuat itu baik. Tapi dipaksa untuk selalu kuat, itu menyakitkan.
57 notes · View notes
zahralutfiah · 21 days ago
Text
Kamu tak harus langsung hebat di setiap permulaan, tapi jangan jadikan keraguan sebagai alasan untuk mengabaikan potensi yang Tuhan titipkan. Semua yang besar selalu lahir dari ketekunan.
40 notes · View notes
zahralutfiah · 28 days ago
Text
Percakapan Kemarin Malam
"Teh, gimana kabar hatimu? Apakah sudah sembuh?" Abah (ayah) bertanya padaku.
Sebuah pertanyaan sederhana yang tanpa aba-aba terlontar dan meluruhkan diamku. Abah menatapku dalam-dalam malam itu—di tengah percakapan yang tidak kusangka akan menyinggung kembali luka hati yang pernah kubenamkan begitu dalam.
Aku tersenyum tipis, lalu menjawab pelan, "Alhamdulillah, sudah, Bah."
Dan memang benar demikian. Luka itu tidak lagi berdarah. Ia kini hanya bekas yang mengajarkanku banyak hal: tentang keikhlasan, tentang melepaskan, dan tentang mencintai diri sendiri lebih dulu.
Setahun telah berlalu. Aku pernah jatuh hati pada seorang laki-laki yang tengah mengejar pendidikan dan kariernya di negeri para nabi. Kami pernah mempunyai mimpi yang sama, pernah saling percaya, saling menanti. Tapi kenyataan menuntun kami ke arah berbeda, hingga kami memilih kembali ke kehidupan masing-masing. Ya.. bukan karena berhenti mencintai, tapi karena kami memilih untuk tidak lagi menyakiti.
Abah mengangguk, lalu bertanya kembali, "Sudah ada yang mengisi hatimu lagi, Teh?"
Bingung. Aku bingung harus menjawab apa. Jadi, kali ini aku hanya tersenyum canggung dan menggeleng pelan.
Bukan tak ada. Sebenarnya ada seseorang yang sempat mengetuk pintu hatiku. Katanya, dia ingin mengenalku lebih jauh. Katanya ini, katanya itu. Namun, di balik katanya ternyata ada perempuan lain yang telah dia sandingkan diam-diam. 'Katanya' itu hanya tinggal cerita, karena nyatanya... masih ada nama yang disembunyikan di balik doanya.
Aku belajar lagi satu hal: cinta yang benar tak pernah berdiri di atas kebohongan.
Dan dari semua yang pernah datang dan pergi, aku tahu satu hal penting: hatiku bukan tempat singgah. Ia adalah rumah yang pantas dihuni oleh seseorang yang tahu caranya pulang dengan benar.
Untuk kamu yang juga sedang belajar untuk sembuh, peluk dirimu erat-erat. Kamu tidak sendiri. Dan untukmu yang pernah tersakiti oleh "katanya", ingat ini: kamu layak dicintai tanpa rahasia.
8 notes · View notes
zahralutfiah · 30 days ago
Text
Kamu Gagal Bukan Karena Kamu Bodoh, Tapi Mungkin Karena Kamu Belum Mengerti Caranya
Kamu pernah ngerasa begini?
“Kok orang lain bisa, ya? Kok aku gini-gini aja? Kayaknya aku emang nggak sepintar mereka, deh.”
Kalimat kayak gitu sering muncul di kepala kita, terutama pas kita lagi jatuh, gagal, atau segala rencana yang kita susun dengan baik enggak sesuai ekspektasi kita. Kita merasa semua usaha yang dilakukan cuma sia-sia. Nilai jelek, hasil enggak maksimal, skill juga enggak berkembang, dan ujung-ujungnya kita nuduh diri sendiri: “Aku emang bodoh.”
Stop. Berhenti di situ.
Bukan karena kita bodoh. Tapi mungkin, kita belum ngerti caranya.
Kita sering keliru bedain antara gagal sama enggak mampu. Gagal itu kondisi. Enggak mampu itu kesimpulan yang belum tentu benar. Dan sering banget, kita terlalu cepat loncat ke kesimpulan.
Padahal bisa jadi, kita gagal karena:
Kamu belajar dengan metode yang salah.
Kamu kerja keras, tapi enggak ngerti prioritas.
Kamu nyoba, tapi enggak konsisten.
Kamu enggak punya mentor atau arah yang jelas.
Contoh: Ada orang yang berkali-kali ikut lomba pidato. Dia selalu gugup kalau di atas panggung, terus dia nyimpulin, “Aku emang enggak bisa public speaking.”
Padahal, bisa jadi:
Dia belum latihan cukup banyak.
Belum tahu teknik pernapasan yang benar.
Belum latihan intonasi dan gesture.
Belum pernah nonton video pembicara hebat buat dijadikan motivasi.
Dan semua itu bisa dipelajari.
Belajar Bukan Soal IQ, Tapi Soal Strategi
Zaman sekarang, belajar itu bukan cuma soal rajin. Tapi soal cara yang tepat. Kalau kita belajar dari buku yang bahasnya berat semua, kita bakal pusing duluan. Tapi kalau kita mulai dari tutorial interaktif dan proyek kecil, kita mungkin bisa lebih ngerti. Bukan karena kita tiba-tiba jadi lebih pintar, tapi karena caranya lebih masuk ke kita.
Belajar itu bukan one-size-fits-all. Setiap orang punya gaya belajarnya sendiri. Ada yang harus lihat video dulu. Ada yang harus praktik langsung. Ada yang harus baca dulu. Ada juga yang harus ngajarin orang lain biar makin ngerti.
Kalau kita terus maksa diri belajar dengan cara yang enggak cocok, kita bukan cuma lambat, tapi juga bisa merasa gagal padahal sebenarnya cuma salah pendekatan.
Gagal Itu Data, Bukan Drama
Kalau kamu main game dan kalah di level 3, kamu enggak akan langsung uninstall, kan? Biasanya kamu mikir:
“Oh, tadi salah loncat.”
“Kayaknya musuh muncul dari kiri, harus siap-siap.”
“Tadi darahnya udah dikit, lupa ambil potion.”
Artinya, kamu baca data dari kegagalan itu. Bukan drama atau nyalahin diri sendiri. Dan akhirnya kamu coba lagi.
Kenapa di kehidupan nyata kita enggak bisa gitu juga? Kenapa pas ngalamin gagal sekali di pelajaran atau pekerjaan, kita langsung down, insecure, ngerasa enggak berguna?
Padahal seharusnya, gagal itu petunjuk. Gagal itu arah. Gagal itu bahan evaluasi.
Cari Cara, Bukan Cari Alasan
Orang sukses itu bukan yang selalu benar. Tapi yang terus nyari cara baru saat yang lama enggak berhasil.
Kalau kamu nyoba satu strategi dan gagal, bukan berarti kita gagal selamanya. Cuma berarti: "Coba cara lain."
Gagal bangun pagi buat belajar? Coba tidur lebih awal.
Gagal konsisten nulis? Coba bikin target harian kecil.
Gagal paham pelajaran? Coba ganti sumber belajar, atau tanya ke teman.
Kuncinya: jangan berhenti nyari cara.
Semua Orang Pernah Jadi Pemula
Enggak ada orang lahir langsung jago. Bahkan atlet dunia pun pernah gagal berulang kali. Bahkan konten kreator terkenal pun pernah bikin video yang views-nya cuma puluhan. Bahkan penulis buku bestseller pun pernah ditolak penerbit.
Kalau lihat orang lain sukses, kita cuma lihat hasil akhir aja. Bukan proses berdarah-darah yang mereka lewati.
Jadi, berhenti bilang, “Aku ini bodoh.”
Ubah kalimat di kepalamu jadi:
“Aku belum ngerti caranya. Tapi aku bisa belajar.”
“Aku belum berhasil. Tapi aku enggak bakalan menyerah.”
“Aku bukan gagal. Aku cuma dalam proses.”
Karena pada akhirnya, ini bukan soal siapa yang paling pintar yang menang. Tapi, soal siapa yang enggak berhenti belajar meski terpontang-panting menuju kesuksesan.
14 notes · View notes
zahralutfiah · 1 month ago
Text
Yang Tak Perlu Dijawab Dunia
Tidak semua tanya harus buru-buru ada jawabnya. Tidak semua luka harus dipaksa cepat sembuhnya. Tidak setiap langkah harus terlihat jelas tujuannya, sebab tidak semua juang harus diumumkan bentuknya. Ada rasa yang lebih baik dibiarkan tumbuh tanpa suara. Ada rindu yang cukup diam di dada tanpa perlu disapa. Ada mimpi yang disimpan bukan karena tak bisa, tapi karena sedang belajar menunggu waktunya tiba.
Mengapa harus selalu terlihat baik-baik saja, padahal diam pun bisa menjadi cara untuk berkata? Mengapa harus selalu tampak bersinar, padahal keruh dan buram pun pernah berjasa membawa seseorang sampai ke titik sadar? Hari-hari tak selalu cerah, dan itu bukan cela—langit abu-abu pun punya makna. Justru dari gelap, bintang bisa bersinar nyata. Justru dari jatuh, arah bisa lebih terasa.
Maka, berlombalah dengan diri, bukan dengan semesta. Hidup bukan tentang siapa paling bisa, tapi siapa yang paling setia pada versi dirinya, meski belum sempurna. Ada yang tumbuh pelan, tapi tak pernah mundur ke belakang. Ada yang tak bersuara, tapi terus menanam harapan sepanjang jalan. Ada yang terlihat diam, namun sebenarnya sedang menang—melawan bisik-bisik yang datang bertandang.
Tak semua hal harus dijelaskan pada dunia. Tak harus membuat semua percaya pada rencana. Yang penting bukan apa kata mereka, tapi bagaimana hati tetap percaya pada langkahnya. Kuat bukan berarti tak pernah terluka. Bijak bukan berarti tahu semua arah. Kadang yang paling hebat justru yang bisa pasrah—bukan pada keadaan, tapi pada Tuhan yang Maha Kuasa.
Jadi, jika hari ini terasa lambat, terasa jauh dari harap dan doa, tak mengapa. Semua yang baik memang tak pernah tiba dengan tergesa. Yang penting bukan siapa cepat atau siapa juara, tapi siapa yang tak kehilangan siapa dia. Dan kelak, ketika waktu berpihak pada usaha, yang dulu dianggap lambat akan tampak cemerlang di panggung cahaya. Yang dulu dianggap tak mungkin akan menjadi nyata. Bukan karena semuanya tiba-tiba sempurna, tapi karena tetap berjalan walau tak dipandang siapa-siapa.
93 notes · View notes
zahralutfiah · 1 month ago
Text
Bagi yang hari ini sedang diam-diam tumbuh, yang tidak banyak bicara tapi tak pernah menyerah—tenang saja, semesta tidak buta. Yang diam pun bisa sampai. Yang sabar pun bisa menang. Hanya saja, mungkin panggungnya tidak hari ini.
94 notes · View notes
zahralutfiah · 1 month ago
Text
Oi, Kapan Nikah?
Pertanyaan ‘kapan nikah?’ bisa terasa biasa saja bagi yang mendengarnya sesekali. Tapi bagi yang mendengarnya setiap hari, dari banyak arah, di berbagai momen hidup—itu bisa menjadi tekanan yang diam-diam menggerus harga diri. Terutama ketika pertanyaan itu datang tanpa empati. Tanpa pengertian. Tanpa konteks.
Jadi, kalau ada yang tanya lagi, ‘kapan nikah?’... tersenyumlah.
Tenang saja, jodohmu enggak akan hilang, enggak akan ke mana-mana. Kalaupun dia nyasar, nanti akan balik sendiri kalau kamu memang tujuannya.
10 notes · View notes
zahralutfiah · 2 months ago
Text
Hal Indah Butuh Waktu
Usaha sudah dilakukan, doa sudah dipanjatkan, tapi hasilnya belum juga kelihatan. Wajar kalau muncul rasa lelah, bahkan kecewa. Tapi satu hal yang sering terlupa—hal indah butuh waktu. Lama? Ya, memang lama.
Tidak semua hal bisa didapat dengan cepat. Kadang perlu jatuh dulu agar tahu caranya berdiri. Kita perlu belajar sabar, belajar ikhlas, dan terus berjalan meski pelan. Setiap proses punya tujuannya sendiri, dan tidak ada yang sia-sia kalau dijalani dengan sungguh-sungguh.
Mungkin sekarang terlihat belum ada perubahan, tapi siapa tahu, sedang ada hal besar yang sedang Allah siapkan. Justru di saat-saat paling berat, biasanya perubahan sedang tumbuh diam-diam. Maka jangan berhenti. Terus melangkah, sekecil apa pun langkahnya.
21 notes · View notes
zahralutfiah · 2 months ago
Text
Sering kali kita berlomba menunjukkan pencapaian, hingga lupa bahwa bernapas tanpa beban pun adalah kemenangan.
349 notes · View notes
zahralutfiah · 2 months ago
Text
Berteman Gelisah
Kegelisahan membuatku bergerak, berpikir, dan berubah. Tidak nyaman, memang. Tapi justru di situlah hidup terasa nyata.
14 notes · View notes
zahralutfiah · 2 months ago
Text
Aku Pernah Gagal, dan Enggak Apa-Apa
Tumblr media
Aku pernah gagal. Bukan sekali-dua kali, tapi berkali-kali. Aku pernah ngerasa udah ngasih segalanya, tapi tetap jatuh di tempat yang sama. Aku pernah ngerasa udah belajar mati-matian, tapi hasilnya jauh dari harapan. Aku pernah percaya banget sama seseorang, lalu disakiti tanpa rasa bersalah. Aku pernah bangun mimpi tinggi-tinggi, lalu semuanya runtuh dalam sekejap mata. Rasanya? Jelas! HANCUR. NYESEK. Kayak ditampar keras sama kenyataan yang enggak ngasih jeda buat bernapas.
Waktu itu, aku mikir gagal, tuh, akhir dari segalanya. Aku jadi ngeraguin diri sendiri. Apa aku sebodoh itu? Apa aku seenggak layak itu? Dunia kayaknya jalan terus, tapi aku diam di tempat, enggak tahu harus ke mana. Tapi, tahu enggak? Di balik semua kegagalan itu, aku pelan-pelan belajar satu hal penting: gagal itu bukan akhir. Gagal itu bagian perjalanan dari hidup manusia.
Aku nggak akan bisa jadi aku yang sekarang kalau dulu nggak pernah jatuh dan ngerasain pedihnya patah. Aku enggak akan ngerti arti usaha kalau hidup selalu mulus-mulus aja. Dan aku juga enggak akan tahu betapa berharganya keberhasilan kecil kalau aku enggak pernah melewati malam-malam penuh air mata.
Kalau aku jatuh lagi—karena iya, jatuh itu bisa berulang—aku enggak akan buru-buru nyalahin diri sendiri. Aku akan peluk rasa kecewanya dulu. Aku akan bilang ke diri sendiri, “Enggak apa-apa, kita coba lagi nanti. Pelan-pelan aja, ya.” Karena ternyata, bukan cuma sukses yang bikin kita tumbuh. Tapi kegagalan juga. Bukan cuma tawa yang bikin kita kuat, tapi juga air mata.
Kalau kamu juga lagi gagal, lagi kecewa, lagi ngerasa jadi manusia paling enggak bisa apa-apa... tenang, kamu enggak sendirian. Semua orang pernah ada di titik itu. Aku pun begitu. Dan aku di sini sekarang, masih hidup, masih berjalan, masih berjuang. Kamu juga pasti bisa. Kita enggak harus langsung bangkit dengan sempurna. Yang penting, kita tetap mau coba lagi, meskipun perlahan.
Jadi, buat kamu yang lagi ngerasa jatuh banget, peluk diri kamu, ya. Bilang ke diri sendiri, “Aku pernah gagal, dan enggak apa-apa.” Karena gagal bukan berarti kamu lemah. Kadang, justru dari kegagalan itulah kamu akan jadi versi terbaik dari dirimu sendiri.
38 notes · View notes