Tumgik
#Abdullah Al-Maliki
thinkwinwincom · 2 years
Text
Copa del Mundo 2022: Despierta la barra de fútbol americano
Copa del Mundo 2022: Despierta la barra de fútbol americano
Esta es una edición de The Great Game, un boletín informativo sobre la Copa del Mundo de 2022 y cómo el fútbol explica el mundo. Registrarse aquí. Cuando el capitán de Polonia, Robert Lewandowski, le robó el balón a Abdelilah Al-Malki en el partido de la Copa Mundial del sábado pasado entre Polonia y Arabia Saudita, y luego anotó su primer gol del torneo, los fanáticos de Polonia en el Kleos Bar…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
abdazizef · 6 months
Text
☪️ ULAMA’ NUSANTARA: MENGENAL PENGARANG DOA KAMILIN Siapa pengarang doa Kamilin yang dibaca setelah shalat tarawih…? Ada yang khas dari sejumlah masjid dan mushalla kala Ramadhan. Salah satunya adalah digunakannya”Doa Kamilin” oleh imam setelah menyelesaikan shalat tarawih. Dan sudah selayaknya, semua mengetahui siapa pengarang dari doa fenomenal tersebut. Sekadar diketahui bahwa doa yang hampir selalu dibaca oleh umat Islam di Tanah Air ini juga termaktub dalam kitab-kitab doa ulama Nusantara. Salah satunya Majmû‘ah Maqrûât Yaumiyah wa Usbû‘iyyah karya Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban, Allahumma yarham, KH Muhammad bin Abdullah Faqih. Pada lembar pengantar, Sang ayah, KH Abdullah Faqih, mengatakan bahwa doa-doa dalam kitab itu merupakan hasil ijazah dari Kiai Abdul Hadi (Langitan), Kiai Ma’shum (Lasem), Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, dan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. KH. Abdullah Faqih memberikan restu atau ijazah kepada siapa saja yang mengamalkan (dengan ijâzah munâwalah). Sejumlah takmir masjid mencetak secara khusus doa yang hendaknya dibaca usai melaksanakan shalat tarawih. Bacaan sekaligus doa dan permohonan tersebut dikenal dengan istilah Doa Kamilin. Sebagai imam maupun jamaah, ada baiknya mengetahui arti dari doa yang diaminkan dengan sangat antusias tersebut. Dan berikut ini adalah doa yang lazim dibaca para ulama selepas shalat tarawih sekaligus artinya: اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ، وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ، وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ، وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ، وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ، وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ، وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ، وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ، وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ، وَفِي الْاٰخِرَةِ رَاغِبِيْنَ، وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ، وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ، وَعَلَى الْبَلَاءِ صَابِرِيْنَ، وَتَحْتَ لِوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ، وَعَلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْن، وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ، وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ، وَعَلَى سَرِيْرِ الْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ، وَبِحُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ، وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ، وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ، وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ، بِأَكْوَابٍ وَّأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْنٍ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا، ذٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا فِي هٰذِهِ لَيْلَةِ الشَّهْرِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ، وَلَا تَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاٰلِه وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. Artinya: Ya Allah, jadikanlah kam...
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
salatisnoor · 2 years
Text
In the name of Allah, the Beneficent, the Merciful
Imam An-Nawawi mentions that scholars have said all good character and manners can be derived from four prophetic traditions.
An-Nawawi writes:
وَقَدْ قَالَ الْإِمَامُ الْجَلِيلُ أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زَيْدٍ إِمَامُ الْمَالِكِيَّةِ بِالْمَغْرِبِ فِي زَمَنِهِ جِمَاعُ آدَابِ الْخَيْرِ يَتَفَرَّعُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحَادِيثَ
The Imam Al-Khaleel Abu Muhammad Abdullah ibn Abu Zaid, the leader of the Maliki scholars in the West in his time, said that all good manners are derived from four traditions.
Source: Sharh Sahih Muslim
These four traditions are the following:
Abu Huraira reported: The Messenger of Allah, peace and blessings be upon him, said:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Whoever believes in Allah and the Last Day, let him speak goodness or remain silent.
Source: Sahih Muslim 47, Grade: Sahih
We have been commanded to speak good words or remain silent. It is not permissible to use the tongue for bad purposes like telling lies, slander, gossip, curses, profanity, or abuse. If we apply this tradition, we will be saved from the sins of the tongue by which many people enter Hellfire.
Ali ibn Hussein reported: The Messenger of Allah, peace and blessings be upon him, said:
إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكَهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
Verily, from the perfection of Islam is that a person leaves what does not concern him.
Source: Sunan At-Tirmidhi 2318, Grade: Sahih
We have been commanded to leave what does not concern us and to mind our own business. It is not permissible to gossip, repeat everything we hear without verification, spy on others, seek out people’s faults, or to busy ourselves with matters beyond our concern. If we apply this tradition, we will make the most of our time and avoid violating the privacy and honor of others.
Abu Huraira reported: A man came to the Messenger of Allah, peace and blessings be upon him, and said, “Advise me.” The Prophet said:
لَا تَغْضَبْ
Do not get angry.
The man repeated his request twice and the Prophet said:
لَا تَغْضَبْ
Do not get angry.
Source: Sahih Bukhari 5765, Grade: Sahih
We have been commanded to control our anger and to avoid acting impulsively. It is not permissible to allow anger to be the cause of transgression, aggression, oppressing others, harboring rancor in our hearts, or envying others. If we apply this tradition, we will be saved from the innumerable sins caused by losing control of our anger.
Anas ibn Malik reported: The Messenger of Allah, peace and blessings be upon him, said:
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
None of you will have faith until he loves for his brother what he loves for himself.
Source: Sahih Bukhari 13, Grade: Muttafaqun Alayhi
We have been commanded to love for each other what we love for ourselves and to treat each other the way we would love to be treated. We should have a desire and intention to benefit others and to love good for them. We should not hold any malice towards others or have an intention to harm others. If we apply this tradition, Allah will honor us on the Day of Resurrection in the same way that we treated others well in this life.
From these four prophetic traditions are derived the foundations of all good character and manners in Islam. We should strive to apply these four traditions and thereby achieve a blessed rank among the righteous in the Hereafter.
Success comes from Allah, and Allah knows best
0 notes
penadiksi · 3 years
Text
Kehidupan Imam Bukhari
Tumblr media
Nama lengkap imam Bukhari adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al - Mughirah bin Bardizbah Al - Ju'fiy Al - Bukhari. Lahir di Bukhara, daerah Uzbekistan, Asia tengah sekarang. Karena tempat lahirnya tersebut, ia masyhur dikenal sebagai Bukhari. Dalam sebuah catatan disebutkan tanggal lahir imam Bukhari adalah 13 Syawal 194 H atau 21 Juli 810 M.     
Dalam sebuah catatan, tak lama setelah imam Bukhari lahir dan membuka mata, ia kehilangan penglihatannya. Ayah Imam Bukhari yakni Ismail yang juga seorang alim sangat sedih karena hal itu. Ibu imam Bukhari pun tak henti - hentinya berdoa supaya Allah Swt menyembuhkan penglihatan Imam Bukhari. Beberapa waktu kemudian, ibu Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan nabi Ibrahim As. Dalam mimpinya, nabi Ibrahim As memberitahukan Ibu imam Bukhari bahwa Allah Swt. telah menyembuhkan penglihatan Imam Bukhari,  hal itu berkat doa - doanya yang tiada henti. Betul saja, ketika ibu Imam Bukhari bangun, imam Bukhari telah sembuh dan dapat melihat kembali.   
Ayah imam Bukhari, Ismail, adalah seorang yang sangat alim, wara dan menghindari hal - hal yang subhat. Ia murid dari Imam Malik, seorang ahli fikih yang masyhur dan pendiri madzhab Maliki. Ia memberikan pelajaran yang baik terhadap imam Bukhari kecil, sehingga tertanam pondasi akhlak mulia dalam diri imam Bukhari. Namun, sang ayah wafat ketika Imam Bukhari masih kecil. Setelah ayahnya wafat, imam Bukhari diasuh oleh ibunya. Pada usia 10 tahun, imam Bukhari belajar kepada Syeikh Ad - Dakhili, seorang ulama hadis yang masyhur di Bukhara saat itu. Dalam usianya ke 18 tahun imam Bukhari menerbitkan kitab pertamanya yang berjudul, Kazaya Shahabah Wa Tabi'in.
Referensi lebih lengkap di penadiksi.com
2 notes · View notes
Text
THEY WERE ACTUALLY SHIA RAFIDA!!!
Tumblr media
LIST OF CONTENTS (Just click each links below)
Abu Hanifah al-Nu’man, Imam Madhab of “Ahlussunnah wal Jama’ah” (the Founder of Hanafi Jurisprudence) Said that the Belief (Iman) of Abu Bakr al-Siddiq and the Belief (Iman) of Iblees were Equal!
Malik ibn Anas, Imam Madhab of “Ahlussunnah wal Jama’ah” (the Founder of Maliki Jurisprudence) Said that Temporary Marriage (Nikah al-Mut’ah) is Permissible (Ja’iz)!
Idris al-Shafi’i, Imam Madhab of “Ahlussunnah wal Jama’ah” (the Founder of Shafi’i Jurisprudence) Took the Knowledge First from Muslim ibn Khalid al-Zanjiy the Disciple of Ibn Jurayj Who Performed Temporary Marriage with 70-90 Women!
Ahmad ibn Hanbal, Imam Madhab of “Ahlussunnah wal Jama’ah” (the Founder of Hanbali Jurisprudence) Did Not Deem Temporary Marriage (Nikah al-Mut’ah) Forbidden (Haram), But Only Disliked (Makruh)!
Ahmad ibn Hanbal, Imam Madhab of “Ahlussunnah wal Jama’ah” (the Founder of Hanbali Jurisprudence) Took the Knowledge from ‘Abdurrazzaq al-San’ani the Shia Rafida!
Ahmad ibn Hanbal, Imam Madhab of “Ahlussunnah wal Jama’ah” (the Founder of Hanbali Jurisprudence) Narrated Many Narrations about the Virtues of ‘Ali ibn Abi Talib Than the Virtues of Abu Bakr al-Siddiq or ‘Umar ibn al-Khattab al-Faruq!
Ahmad ibn Hanbal, Imam Madhab of “Ahlussunnah wal Jama’ah” (the Founder of Hanbali Jurisprudence) Narrated a Narration that ‘Ali ibn Abi Talib was the First Male-Muslim and Not Abu Bakr al-Siddiq!
Ahmad ibn Hanbal, Imam Madhab of “Ahlussunnah wal Jama’ah” (the Founder of Hanbali Jurisprudence) Took a Hundred Narrations from Shia & Shia Rafida Narrators (i.e, Those Who Insult Many Companions)!
Ahmad ibn Hanbal, Imam Madhab of “Ahlussunnah wal Jama’ah” (the Founder of Hanbali Jurisprudence) Deemed a Hundred Nasibi (Those Who Insult ‘Ali ibn Abi Talib) Narrators as Truthful (Saduq) & Trustworthy (Thiqah)!
Yahya ibn Ma’in, the Greatest Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” from Hanafi Madhab & the Master of the Science of Rijal Hadith, Deemed a Hundred Shia & Shia Rafida Narrators (Who Insult Many Companions) as Truthful (Saduq) & Trustworthy (Thiqah)!
al-Bukhari, the Author of Sahih al-Bukhari, Took Many Narrations from Shia Rafida (Those Who Hate & Insult Many Companions) Narrators & Nasibi (Those Who Hate & Insult ‘Ali ibn Abi Talib) Narrators!
Muslim ibn Hajjaj, the Author of Sahih Muslim, Took Many Narrations from Shia Rafida (Those Who Hate & Insult Many Companions) Narrators & Nasibi (Those Who Hate & Insult ‘Ali ibn Abi Talib) Narrators!
Abu Dawud, the Author of Sunan Abu Dawud, Took Many Narrations from Shia Rafida (Those Who Hate & Insult Many Companions) Narrators & Nasibi (Those Who Hate & Insult ‘Ali ibn Abi Talib) Narrators!
Ibn Majah, the Author of Sunan Ibn Majah, Took Many Narrations from Shia Rafida (Those Who Hate & Insult Many Companions) Narrators & Nasibi (Those Who Hate & Insult ‘Ali ibn Abi Talib) Narrators!
al-Tirmidhi, the Author of Jami’ al-Tirmidhi, Took Many Narrations from Shia Rafida (Those Who Hate & Insult Many Companions) Narrators & Nasibi (Those Who Hate & Insult ‘Ali ibn Abi Talib) Narrators!
al-Nasa’i, the Author of Sunan al-Nasa’i, Took Many Narrations from Shia Rafida (Those Who Hate & Insult Many Companions) Narrators & Nasibi (Those Who Hate & Insult ‘Ali ibn Abi Talib) Narrators!
al-Nasa’i, the Author of Sunan al-Nasa’i, Wrote a Special Book about the Virtues of ‘Ali ibn Abi Talib & Did Not Want to Wrote a Book about the Virtues of Mu’awiyyah ibn Abi Sufyan!
Ibn Jarir al-Tabari, the Oldest Explainer of Holy Qur’an (Mufassir) of “Ahlussunnah wal Jama’ah” Narrated a Narration from a Shia Narrator in His Exegesis (Tafsir) Jami’ al-Bayan, Surah al-Bayyinah Verse 7 that the Saved Sect of Islam in The Hereafter is the Shia of ‘Ali ibn Abi Talib!
Ibn Jarir al-Tabari, the Oldest Mufassir & Great Historian of “Ahlussunnah wal Jama’ah” Narrated a Narration that the Conversion of Abu Bakr to Islam was Late, After 50 Men!
Ibn al-Khallal, Great Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” & the Teacher of Ibn Hibban, Used to Visit the Grave of 7th Imam of Shia (Musa al-Kadhim), Whenever Faced Difficulties!
Ibn Hibban, Great Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah”, Used to Visit the Grave of 8th Imam of Shia ('Ali al-Rida), Whenever Faced Difficulties!
Ibrahim al-Nakha’i, Great Tabi’in of “Ahlussunnah wal Jama’ah” Preferred Reading the Holy Noble Qur’an Over Praying Tarawih in the Month of Ramadan!
Ibrahim al-Nakha’i, Alqamah ibn Qays & al-Aswad ibn Qays, Three Great Tabi’in of “Ahlussunnah wal Jama’ah” Did Not Performed Tarawih with the Muslims in the Month of Ramadan!
Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr, Salim ibn 'Abdullah ibn 'Umar ibn al-Khattab & Nafi' Mawla Ibn 'Umar, Another Three Great Tabi’in of “Ahlussunnah wal Jama’ah”, Leaving the Masjid in the Month of Ramadan, i.e, Did Not Performed Tarawih with the Muslims!
Malik ibn Anas & Idris al-Shafi’i, Two Imam Madhab of “Ahlussunnah wal Jama’ah” Preferred Praying Alone in the Month of Ramadan, i.e Did Not Performed Tarawih with the Muslims!
‘Abdullah ibn ‘Umar, Great Companion & the Son of ‘Umar ibn al-Khattab, Said that Praying Tarawih Behind an Imam was Like a Donkey! And He Gave a Fatwa to Pray Alone in the Home!
al-Shatibi, the Author of al-I’tisam & Great Scholar of Maliki Madhab, Said that All Innovations (Bid’at) are Misguidances (Dalalat)! And al-San’ani al-Kahlani, the Author of Subul al-Salam Sharh Bulug al-Maram, Said that the Tarawih in Congregation that ‘Umar ibn al-Khattab Deemed as Good Innovation is Actually Misguidance (Dalalah)!
Ibn al-Jawzi, Great Scholar of "Ahlussunnah wal Jama'ah" from Hanbali Madhab in His Book Kashf al-Mushkil min Hadith al-Sahihayn, Stated that the Innovation of Tarawih Prayer in Congregation Established by ‘Umar ibn al-Khattab was Called as Innovation (Bid’ah) for It Does Not Have the Precedent from the Prophet Muhammad!
Shihabuddin al-Qastalani al-Shafi'i, One of the Prominent Scholar of "Ahlussunnah wal Jama'ah" from Shafi’i Madhab in His Book Irshad al-Sari fi Sharh al-Bukhari, and al-Zarqani al-Maliki, One of the Prominent Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” from Maliki Madhab in His Book Sharh al-Muwatta al-Malik, Both Said that the Prophet Muhammad has Never Commanded the People (His Companions) to Pray Tarawih in Congregation, Nor in the First Nights of Ramadan, Nor in All Nights of Ramadan, So It Called as Innovation (Bid’ah)!
Jalaluddin al-Suyuti, Great Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” Who Wrote al-Masabih fi Salat al-Tarawih, Said the Tarawih that ‘Umar ibn al-Khattab Deemed as Good Innovation was Never Exist in the Era of the Prophet Muhammad!
Jalaluddin al-Suyuti, Great Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” Wrote in His Famous Book Tarikh al-Khulafa, Said that the First Person Who Forbid the Temporary Marriage (Nikah al-Mut’ah) was ‘Umar ibn al-Khattab!
Jalaluddin al-Suyuti, Great Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” Narrated in His Book Jami’ al-Ahadith, a Narration, that the Prophet Muhammad Said “No Religion for Those Who Do Not Do Taqiyyah”!
Ibn Abi Shaybah, Great Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” & the Teacher of al-Bukhari, Narrated in His Book al-Kitab al-Musannif al-Ahadith wal Athar, that Muhammad ibn al-Hanafiyyah Said “No Belief (Iman) for Those Who Do Not Do Taqiyyah”!
Shaikh Musa Shahin Lashin, A Hadith Verifier (Muhaqqiq) & Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” from Cairo, Egypt, in His Book Fath al-Mun'im Sharh Sahih Muslim, Directly Attacked ‘Aisha the Wife of the Prophet Muhammad!
Shaikh Rabi' ibn Hadi 'Umayr al-Madkhali al-Salafi al-Wahhabi al-Saudi, Great Salafi-Wahhabi Preacher from Saudi, in His Book ‘Awn al-Bari Sharh Sunnah Imam al-Barbahari, Indirectly Attacked ‘Umar ibn al-Khattab! 
Ahmad ibn Hanbal, Imam of "Ahlussunnah wal Jama'ah" & the Founder of Hanbali Madhab, Narrated in His Famous Book Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, that the Prophet Muhammad Prostrated in His Prayer on the Ground Like a Shia!
al-Hakim al-Naysaburi, Notable “Ahlussunnah wal Jama’ah” Scholar, Narrated in His Famous Book al-Mustadrak 'Ala al-Shahihayn that the Prophet Muhammad Prostrated in His Prayer on the Stone Like a Shia!
‘Amr ibn al-Khurayth, Rabi’ah ibn Umayyah, Ma’bad ibn Umayyah, Three Companions Who Did Temporary Marriage (Nikah al-Mut’ah) After the Demise of the Prophet Muhammad!
‘Abdullah ibn ‘Abbas, ‘Abdullah ibn Mas’ud, Jabir ibn ‘Abdullah al-Ansari, Imran ibn Hushayn, Ubay ibn Ka’ab, Salamah ibn al-Akwa’, Abu Sa’id al-Khudri, Seven Great Notable Companions Who Deemed Temporary Marriage (Nikah al-Mut’ah) Never Abrogated!
Sa’id ibn Jubayr, Great Tabi’in of “Ahlussunnah wal Jama’ah” & Famous Disciple of ‘Abdullah ibn ‘Abbas, Performed Temporary Marriage (Nikah al-Mut’ah) in Mecca & Deemed It Legal (Halal) as Legal as Drinking Water!
Ibn Jurayj, Great Tabi’ut Tabi’in of “Ahlussunnah wal Jama’ah” from Mecca, Performed Temporary Marriage with 70-90 Women!
‘Ata’ ibn Abi Rabah, Mujahid ibn Jabr, Tawus ibn Kaysan, ‘Amr ibn Dinar, al-Hakam ibn ‘Utaybah, al-Suddi, Ibn Abi Mulaykah, Seven Great Notable Tabi’uns Who Deemed Temporary Marriage (Nikah al-Mut’ah) Legal (Halal), Never Abrogated!
‘Amr ibn al-Hamiq al-Khuza’i, Great Companion Who Killed the Third Caliph, ‘Uthman ibn ‘Affan!
Buraydah al-Aslami, Great Companion, Loved None Except ‘Ali ibn Abi Talib After the Prophet Muhammad!
Prophet Muhammad Smiled and Did Nothing When Someone Insulted Abu Bakr al-Siddiq, But Prophet Muhammad Instantly Got Angry When Someone Insulted ‘Ali ibn Abi Talib!
Prophet Muhammad Chose ‘Ali ibn Abi Talib Over Abu Bakr al-Siddiq and ‘Umar ibn al-Khattab!
Allah & Prophet Muhammad Loved ‘Ali ibn Abi Talib Than Abu Bakr al-Siddiq and ‘Umar ibn al-Khattab!
LAST! Abu ‘Amr al-Dani, Great Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” in the Field of Writing-System (al-Rasm) of Qur’an, Said that the First Person Invented & Added the Diacritical Marks in the Mushaf of the Holy Noble Qur’an was Abu al-Aswad al-Duali!
LAST! Ibn Sirrin, Great Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” in the Field of Dream Interpretation (Tafsir al-Ahlam), Said that the First Person Invented & Added the Diacritical Marks in the Mushaf of the Holy Noble Qur’an was Yahya ibn Ya’mar!
LAST! Jalaluddin al-Suyuti, Great Scholar of “Ahlussunnah wal Jama’ah” in His Influential Book al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Stated that the First Person Invented & Added the Complete Diacritical Marks in the Mushaf of the Holy Noble Qur’an was Khalil ibn Ahmad!
2 notes · View notes
muhammadraihanhakim · 4 years
Photo
Tumblr media
     Detik detik Wafatnya Siti Khadijah Istri Rasulullah Pada 11 Ramadhan      
     Siti Khadijah radiallahu 'anha, istri tercinta Rasulullah SAW disebut dalam sejumlah Sirah Nabawiyah wafat pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian. Lebih detail Sayyid Muhammad Bin Alwi Al Maliky Al Hasan dalam Kitab Al-Busyro fi manaqib sayyidati khodijah Al Kubro menulis sang Ummul Mukminin itu berpulang pada hari ke-11 bulan Ramadhan.
Beberapa saat sebelum meninggal, perempuan pertama yang mengakui kenabian Muhammad SAW itu menyampaikan permintaan terakhirnya. "Ya Rasulullah Aku memohon maaf kepadamu, jika selama menjadi istrimu aku belum berbakti kepadamu," kata Khadijah
Mendengar perkataan sang istri, Rasulullah menjawab, "Jauh dari itu ya Khadijah. Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya."
Kepada Rasulullah SAW, Khadijah kemudian mengatakan bahwa dia sudah tak punya apa-apalagi untuk mendukung perjuangan Islam. Seluruh hartanya telah habis. Sementara perjuangan Rasulullah SAW dalam menyebarkan Islam belumlah selesai.
"Wahai Rasulullah seandainya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyeberangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyeberangi sungai, namun engkau tidak memperoleh rakit atau jembatan, maka galilah lubang kuburku jadikanlah sebagai jembatan untuk kau menyeberangi sungai itu supaya engkau bisa melanjutkan dakwahmu," kata khadijah.
Ucapan Siti Khadijah  itu kian membuat hati Rasulullah SAW sang penghulu Rasul itu bersedih. Khadijah kemudian memanggil putrinya, Fatimah Az Zahra.
Dia minta Fatimah agar memintakan sorban Rasulullah untuk dijadikan kain kaffan.  Mendengar itu Rasulullah SAW berkata, "Mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?"
Padahal, kata Rasulullah, Khadijah telah mengorbankan semua hartanya untuk perjuangan syiar Islam. Semua umat Islam waktu itu ikut menikmati. Bahkan semua pakaian kaum muslim ketika itu kebanyakan juga dari Khadijah.
Saat itu Khadijah memang salah satu orang terkaya di Kota Mekah. Bahkan disebutkan dua pertiga kekayaan Kota Mekah adalah milik Khadijah.  Namun justru di akhir hayatnya, Khadijah tak memiliki harta sedikit pun, baju yang dia kenakan penuh tambalan. Disebutkan ada sekitar 83 tambalan.
Bahkan menjelang wafat, Khadijah pun tak punya selembar kain untuk digunakan sebagai kaffan.  Sehingga dia merasa perlu meminta kain sorban yang dikenakan Rasulullah SAW. Sorban itu lah yang kerap dipakai Rasulullah saat menerima wahyu dari Allah SWT.
Mendengar permintaan terakhir Khadijah, Rasulullah menjawab,"Wahai Khadijah, Allah SWT menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga."
Siti Khadijah wafat di pangkuan Rasulullah SAW. Sang Ummul Mukminin itu meninggal dunia saat berusia 65 tahun.  Rasulullah SAW bersama Khadijah dikarunia enam orang anak yakni Abdullah, Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Fatimah Az-Zahra, dan Ummi Kalsum.
7 notes · View notes
gsatriaandika · 5 years
Text
“Qunut Subuh”
Cukup sering mendapatkan pertanyaan semisal: "Jika dihadapkan dengan imam pada waktu shalat yang mengamalkan qunut subuh terus menerus, semisal anda ikut pendapat yang tidak disyariatkan demikian, apa sikap yang anda lakukan ketika bermakmum? Mengikuti imam atau diam?” 
Walaupun tidak persis demikian diksinya, dan pernah saya jelaskan disini.  Saya izin menjelaskan dan posting ulang disini sesederhana mungkin, agar memudahkan saya untuk menjawab pertanyaan senada yang butuh perincian agar tidak disalahpahami.
Pertama, perkara qunut subuh ini adalah perkara khilaf mu'tabar (ada perbedaan pendapat yang masih teranggap) di kalangan ulama terdahulu hingga sekarang. Dimana terjadi perbedaan pendapat dalam menghukuminya. Dan perbedaan pendapat ini jangan sampai diingkari. 
Kedua, Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dikarenakan dalil yang mendasarinya masih memungkinkan untuk ditakwil dan diubah ke arti yang lain.(dzanni dilalah). 
Ketiga, ada perbedaan pendapat Ulama dalam menilai derajat hadits tentang qunut subuh ini. Sehingga berbeda pula hukum yang diambil. 
Mari kita bahas pelan-pelan,
Bagi orang yang belajar ilmu fiqh, kita akan menyimpulkan bahwa Qunut itu ada tiga; Qunut Nazilah, Qunut witir, dan Qunut Subuh. untuk qunut nazilah dan qunut witir jumhur ulama/mayoritas ulama sepakat bahwa hukumnya Sunnah (disyari'atkan).
Lalu pertanyaannya, apa hukum do'a qunut terus menerus pada shalat subuh? Ulama yang mu'tabar berbeda pendapat. Inilah yang di sebut dengan ‘khilafiyyah’. Oleh karena semua ulama yang berbeda pendapat itu adalah para Ulama yang diakui keilmuannya, dan masing-masing memiliki dalil dan argumentasi yang sama-sama kuat, maka disebut khilaf mu'tabar.
1. Menurut mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i: Qunut Subuh hukumnya Sunnah. Bedanya, menurut Mazhab Maliki qunut subuh dibaca sebelum ruku’ dengan sirr (dibaca pelan tanpa di keraskan). Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, qunut subuh itu dibaca setelah bangkit dari ruku’ yaitu i’tidal.
Mana dalilnya?
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca qunut pada shalat Subuh sampai beliau meninggal dunia (wafat)”.
Hadits ini dikeluarkan Imam ‘Abdurrazaq dalam kitab Al-Mushonnaf dan yang lainnya.
2. Menurut pendapat mazhab Hanafi dan Hanbali: Qunut Subuh tidak Sunnah/tidak di syariatkan.
Mana dalilnya?
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu:
عن أبي هريرة قال: كان رسول الله صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ كان لا يَقنت في صلاة الصبح إلَّا أن يدعو لِقومٍ ، أوْ يدعو على قومٍ
“Dari Abu Hurairah ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam tidak qunut dalam shalat Subuh kecuali kalau mendoakan kebaikan atau mendoakan keburukan atas suatu kaum”.
Pendapat mana yang paling kuat?
Saya dan juga para ustadz ditempat saya bermajelis mengikuti pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah dalam masalah ini: bahwa membaca Qunut pada shalat Subuh secara terus-menerus itu tidak disyariatkan.
Mengapa kami mengikuti Ulama?
Dalam masalah Fiqh, kami mengikuti pendapat bahwa wajib hukumnya mengikuti salah satu atau yang dianggap mendekati kebenaran dari para Imam Mazhab yang ada selama ia bukan ahlul ilmi yang mampu berijtihad. Sebab Al-Quran dan As-Sunnah hanya bisa kita pahami melalui penjelasan para ahlinya.
Siapa ahlinya? Para Ulama yang mu'tabar.
Al-Qur'an dan Sunnah tentunya tidak “berbicara” sendiri kepada kita tanpa penjelasan dan keterangan para Ulama.
Mana dalilnya wajib ikut Ulama bagi yang tidak mampu berijtihad?
Allah yang berfirman dalam Al-Qur’an:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ.
“Dan bertanyalah (kembalilah) kepada para ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An-Nahl :43)
Muncul pertanyaan lagi, dimana letak khilafiyyah (perbedaan pendapat) nya para Ulama dalam masalah Qunut subuh ini?
Letak perbedaan pendapat para Ulama mengenai Qunut Subuh ini ialah pada Hadits yang berbunyi:
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa wa sallam membaca qunut pada shalat Subuh sampai beliau meninggal dunia (wafat)”.
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi bernama Abu Ja’far Isa Bin Mahan Ar-Razi. Abu Ja’far Isa Bin Mahan Ar-Razi meriwayatkannya dari Ar-Robi’ bin Anas dari Anas bin Malik. Nah, Abu Ja’far Isa Bin Mahan Ar-Razi ini adalah seorang perawi yang di perselisihkan para Ulama tentang kuat tidaknya hafalan dia dalam meriwayatkan Hadits.Imam Syafi’i, Imam Ali Al-Madini, Yahya Bin Ma’in, dll menganggap Abu Ja’far Isa Bin Mahan Ar-Razi TSIQOH (kuat hafalannya).Sedangkan Imam Bukhari, Imam Ahmad Bin Hanbal, Imam Abu Zur’ah, dan ulama lain menganggap Abu Ja’far Isa Bin Mahan Ar-Razi DHO’IF (lemah hafalannya).
Mana pendapat yang kuat?
Saya pribadi mengikuti pendapat kedua, yang menjelaskan bahwa Abu Ja’far Isa Bin Mahan Ar-Razi lemah hafalannya. Sebagaimana yang di katakan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Taqribut Tahdzib:
ابو جعفر الرازي صدوق سيئ الحفظ
“Kritikan/celaan yang di rinci penyebabnya, di dahulukan daripada pujian/tazkiyyah”.
Maka, saya memilih pendapat para Ulama yang menyatakan bahwa Abu Ja’far Isa Bin Mahan Ar-Razi adalah lemah hafalannya dalam meriwayatkan Hadits sehingga haditsnya belum bisa diterima. bahkan semua jalur-jalur periwayatan lain tentang Qunut subuh ini juga dha'if
Apakah lantas qunut subuh itu bisa disimpulkan sebagai bid’ah? Bisa iya, bisa tidak.
[1] Karena hadits tentang Qunut subuh meski banyak ulama yang men-dhaifkannya, tapi banyak pula yang menganggapnya shahih. disinilah kita simpulkan bahwa ia masuk kategori khilaf (perbedaan pendapat yang ilmiah).
[2] Imam At-Tirmidzi mengatakan hadits tentang qunut subuh: Hasan. Imam Al-Hakim mengatakan: Shahih. Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar mengatakan: sanadnya shahih.
Dijelaskan bahwa, anggaplah hadits-hadits tentang Qunut subuh terus menerus itu shahih dan bisa gunakan sebagai hujjah, tetap tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya atau di syari’atkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu sendiri secara lughoh/bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada banyak makna sebagaimana yang dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Singkat kata, sampai hari ini (allahu a’lam) saya mengikuti pendapat para ustadz tempat saya bermajelis yang juga beliau-beliau mengikuti ijitihad para ulama yang berpendapat bahwa Qunut pada shalat Subuh secara terus menerus tidaklah disyariatkan. 
Muncul pertanyaan, apakah ijtihad ini bisa membatalkan ijtihad yang lain sehingga dapat disimpulkan bahwa Qunut pada shalat subuh adalah Bid’ah?
Jawabannya: TIDAK. sebab, penetapan hukum Sunnah atau tidak Sunnahnya Qunut pada shalat subuh ini bersumber dari Ijtihad (pendapat). Sedangkan dalam kaidah disebutkan:
الإجتهاد لا ينقض بالإجتهاد
“Suatu Ijtihad tidak bisa dimentahkan oleh Ijtihad lainnya”.
Kesimpulannya begini, kami mengikuti pendapat ulama yang kami anggap lebih kuat (rajih); yaitu membaca doa qunut pada shalat subuh secara terus menerus itu bukanlah yang disyariatkan. Tetapi jika kami shalat subuh berjamaah dan bermakmum kepada imam yang membaca Qunut, maka kami memilih ikut berqunut (ikut angkat tangan dan meng-aamiinkan).
Mana dalilnya?
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti” dan juga Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَخْتَلِفُوْا عَلَى أَئِمَّتِكُمْ  
“Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian”,
Dan dalam hadits shahih juga bahwasanya beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ.
“Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian mendapat pahala sedangkan mereka mendapat dosa.” [HR. Al-Bukhari (no. 694) dan Ahmad (II/355, 537), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu)]
Artinya, jika imam baca Qunut maka makmum ikut berqunut. Jika imam tak baca Qunut, maka makmum pun tidak baca Qunut. Jangan malah baca qunut sendiri di belakang imam.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Lihatlah para Imam (kaum muslimin) yang benar-benar memahami nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat qunut shalat Subuh yang dilakukan terus menerus adalah tidak disyari'atkan. Meskipun demikian beliau berkata, “Jika engkau shalat di belakang Imam yang qunut maka ikutilah qunutnya, dan aamiinkanlah doa imam tersebut. Semua ini demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ 4/86).
Begitupun tentang khilaf derajat hadits bid’ahnya qunut subuh: Riwayat ini dinilai dhaif (lemah). (Nashbur Rayyah, 3/183).
Imam Al Baihaqi mengatakan: tidak shahih. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/345. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) Karena di dalam sanadnya ada periwayat bernama Abdullah bin Muyassarah dia adalah seorang yang dhaiful hadits (hadits darinya dhaif). (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 6/ 44. Lihat juga Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 16/197)
Kami pun mengikuti pendapat yang mana “kritikan dan celaan lebih didahulukan daripada pujian”.
Meskipun kami ikut pendapat ulama yang tidak mensyari’atkan qunut subuh terus menerus, tetapi kami tidak keras menolak untuk mengikuti imam yang qunut subuh ketika kami menjadi makmum, karena ini perkara khilaf. 
Bagi yang tidak sepemahaman dengan apa yang saya ikuti, silakan dengan pendapat yang diyakini. Tanpa harus saling mencela. 
Demikian, wallahu waliyyut Taufiq was sadaad.
https://instagram.com/gsatria
147 notes · View notes
giriangga · 4 years
Text
Ringkasan Fiqih Thaharah (Air, Najasah, Wudhu, dan Tayamum)
Bab 1. Fiqih Air
Ibnu Hajar mengatakan, "jangan merasa cukup dengan amal kebaikan dan jangan merasa biasa saja dengan amal keburukan". Air merupakan bagian dari alat untuk thaharah sehingga merupakan bagian yang sangat penting untuk kita ketahui hukum fiqihnya. Air dibagi menjadi 3:
1. Air thahur yaitu air yang masih dalam keadaan aslinya, airnya belum berubah dalam 3 hal yaitu sifatnya (bau, warna, rasa), air ini disebut juga air mutlak yang artinya tidak ada ikatan dengan apapun. Air ini boleh digunakan untuk 2 hal yaitu thaharah dan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi dll. Dalil Quran surat Al Furqon ayat 48 yang artinya dan kami turunkan dari langit air yang suci. Contoh: air hujan, air sumur, air laut, air sungai, air salju, embun.
2. Air thahir yaitu air yang berubah sifat aslinya (bau, rasa, dan warna) dengan sesuatu yang suci. Misalnya air susu, air kopi, air teh dan lain-lain. Kemudian air tersebut tidak ada halangan untuk membuat air tersebut kembali ke aslinya atau dipisahkan. Jenis air ini hanya bisa digunakan untuk adat/kebutuhan sehari-hari dan tidak bisa digunakan untuk thaharah.
3. Air najis yaitu air yang berubah sifat aslinya (bau, rasa, dan warna) dengan sesuatu yang najis. Misalnya air kolam yang tercampur dengan air seni. Jenis air ini tidak boleh digunakan untuk thaharah dan tidak boleh digunakan untuk keperluan sehari-hari. Air yang terkena najis ada 3 kondisi yaitu pertama, air yang disepakati oleh syariat bersifat najis. Kedua, air yang disepakati oleh syariat bersifat tidak najis. Ketiga, air yang diperselisihkan oleh para ulama tentang sifat najisnya. Bagian pertama maknanya air yang berubah salah satu sifat aslinya (bau, rasa, dan warna) dengan sesuatu yang najis.  Bagian kedua maknanya air yang banyak terkena najis dan tidak merubah sifatnya, maka tidak bersifat najis. Contohnya air kolam yang besar walau terkena sifat yang najis seperti air seni dan tidak merubah sifat aslinya (bau, rasa, warna) maka tidak najis. Bagian ketiga maknanya air yang sedikit dan terkena najis namun tidak merubah sifat asli.
Muncul pertanyaan jika bak mandi yang terkena sedikit air seni, maka bagaimana hukumnya?
Dijawab.
Pertama pendapat Mazhab Maliki, mengatakan airnya tetap tidak najis. Dalilnya hadits dari abu said al khudri, apakah kami menggunakan air dari sumur yang tercampur dengan sesuatu kotoran dan nabi mengatakan air itu suci (ahmad, tirmidzi, abu dawud, an nasai dll). Kedua pendapat Jumhur Ulama, mengatakan bahwa jika airnya di bawah 2 qullah maka air tersebut najis walaupun tidak berubah sifat aslinya. Dalil hadits dari Ibnu Umar (ahmad, ibnu majah dll). Pendapat jumhur dibantah oleh mazhab Maliki. Pertama, air 2 qullah maknanya di atas 2 qullah. Kedua, hadits tersebut sifatnya mudtharib dari segi sanad dan matan. Ketiga, standarisasi qullah dilihat dari apa. Dijawab oleh Mazhab Jumhur bahwa makna qullahnya dari negara Yaman, Hajran.
Ubaidullah bin Abdullah bin Utban bin Masud merupakan gurunya Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Syihab Az Zuhri. Ubaidullah belajar langsung ke para sahabat seperti Aisyah, Ibnu Masud, Ibnu Abbas dll. Diantara keutamaannya adalah beliau seorang ahli ibadah.
Mazhab berasal dari kata dzahaba yang menunjukkan pada tempat. Secara maknawi artinya tempat bertolaknya seseorang terkait dalam masalah fiqih. Mazhab ini diperlukan dan pasti terjadi khilafiah mengenai seputar fiqih peribadahan. Namun mazhab tidak dipakai untuk urusan qod'i atau aqidah. Mazhab merupakan jalan yang memudahkan setiap muslim utk melakukan ibadah. Mazhab yang 4 yaitu Abu Hanifah, Malik, Syaifi'i, dan Ahmad tidak akan keluar dari al quran dan sunnah.
Pertanyaan: 1. Wajibkah setiap muslim bermahzab?
2. Mazhab ini apakah diperuntukkan bagi orang awam atau ahli ilmu?
Di dalam bermazhab kita tidak boleh ta'ashub terhadap mazhab tertentu. Kita sebagai orang awam membutuhkan mazhab utk memahami fiqih peribadahan namun dalil dari al quran dan sunnah itu yang lebih diutamakan.
Kembali ke permasalahan fiqih air. Contoh dari air thahur (suci dan mensucikan) yaitu air zam zam, air hujan, air sungai, air danau, air laut, air salju, embun, mata air, air sumur. Contoh air thaahir (suci tapi tidak mensucikan) yaitu air musta'mal walau terjadi perbedaan pendapat para ulama.
Hewan yang dagingnya halal dikonsumsi oleh manusia, maka hewan tersebut tidak najis (bahkan kotorannya). Dalilnya berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud, bahwa ketika Rasulullah shalat di ka'bah, disekeliling ada orang2 kafir, datanglah salah seorang kafir bernama zubair dan menyiramkan rahimnya unta dibagian tubuh Rasul ketika shalat dan fatimah membersihkan kotorannya tersebut. Namun Rasulullah tetap melanjutkan shalatnya.
Air najis merupakan air yang terkena di dalamnya najis dan berubah sifatnya. Kemudian air yang banyak namun tidak berubah sifatnya maka bersifat thahur. Mazhab jumhur berpendapat bahwa air dikatakan najis ketika di bawah 2 qullah. Dalilnya berdasarkan hadits Ibnu Umar yang mengatakan bahwa air jika 2 qullah maka tidak najis. Artinya secara mafhum di bawah 2 qullah itu najis jika terkena sesuatu yang najis walau tidak merubah sifatnya. Sedangkan mazhab maliki mengatakan tidak najis walau di bawah 2 qullah ketika tidak merubah sifat air. Karena hukum asal air dikatakan najis ketika berubah sifatnya.
Ibnul Qayyim mengatakan, mengapa urusan yang sebesar ini terkait thaharah tidak ada yang meriwayatkan kecuali ibnu umar dan 2 puteranya ubaidullah dan abdullah. Salim tidak meriwayatkan, nafik tidak meriwayatkan juga. Maka ibnul qayyim menguatkan mazhabnya Imam Malik. Begitu juga dengan gurunya yaitu Ibnu Taimiyah yang menguatkan pendapat Imam Malik.
Berdasarkan hadits riwayat anas bin malik, bahwa Rasulullah berwudhu sebanyak 1 mud (2 telapak tangan). Rasulullah mandinya dengan 1 sha' (3 mud atau 2,75 L). Berdasarkan hadits Aisyah mengatakan Rasulullah pernah mandi berdua dengan Aisyah sebanyak 5 sha'. Artinya israf (berlebih-lebihan) dalam thaharah dalam hal ini berwudhu maka ini dilarang dan tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah.  
Hukmul aasaar yang secara jamak dari sukrun artinya sisa, secara istilah artinya sisa air dalam satu wadah disebabkan diminum oleh sesuatu. Misal ada air di ember diminum oleh kucing. Bagaimana hukum air mengenai hal tersebut. Para ulama sepakat bahwa sisa air dari seorang muslim itu suci. Adapun para ulama berselisih tentang beberapa hal.
Pertama, Mazhab Hanafi mengatakan mengenai aasaar ada 4 hal:
1. Thahir dan muthahir, yaitu yang diminum bekas manusia. Pada mazhab ini mutlak untuk seluruh manusia, sisa minumannya thahir. kecuali orang kafir yang bekas minum khamr maka najis. Kemudian sisa air yang diminum oleh hewan yang dimakan dagingnya oleh manusia, yaitu sapi, kuda, kambing, unta, ayam dll. Kecuali jika sebagian besar yang diminumnya memang minumannya hewan tersebut atau mayoritas telah diminum. Dalilnya yaitu hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah berkata, "ya Rasulullah, Engkau bertemu denganku dan aku sedang junub. Aku tidak suka duduk dekat Engkau karena aku sedang junub. Maka Rasulullah berkata, subhanallah sesungguhnya setiap mukmin tidak najis". Dalil kedua dari Aisyah riwayat Bukhori, kata Aisyah, "Aku pernah suatu hari minum air di gelas ketika sedang haid. Kemudian Rasulullah minum dan meletakkan bibirnya di letak bekas bibir Aisyah minum."
2. Makruh, air tersebut thahir namun makruh menggunakannya ketika ada air yang lain. Jenis-jenisnya yaitu pertama sisa minum oleh kucing, kedua sisa air minum oleh ayam yang tidak dipelihara atau berkeliaran di lingkungan sekitar, ketiga unta dan sapi yang tidak dipelihara atau berkeliaran di lingkungan sekitar, keempat burung-burung buas seperti elang, kelima hewan-hewan yang berkeliaran di rumah-rumah seperti tikus dan binatang melata.
3. Masykuq atau diragukan thahuriyyahnya, yaitu pertama sisa air yang diminum oleh keledai peliharaan, bigol. Riwayat Bukhori menjelaskan mengenai keledai, "Allah dan RasulNya melarang kalian memakan keledai peliharaan."
4. Najis, yang dimaksud najis disini adalah najis mugholadzhoh, seperti anjing, babi, hewan-hewan buas yaitu singa, harimau, serigala, kera dll.
Kedua, Mahzab Maliki:
1. Sisa anak adam, jika muslim dan tidak minum khamr maka sisa minumannya tahir dan muthahir, jika kafir dan peminum khamr maka tidak boleh.
2. Sisa dari tikus, kucing, jika dimulutnya diyakini tidak ada najasah maka thahir.
3. Sisa dari hewan-hewan buas, maka dikategorikan thahir.
4. Sisa dari anjing dan babi, maka dikategorikan thahir.
Jika hewan dipastikan berkeliaran dan pasti melewati tempat yang najis, maka sisa airnya dikategorikan ke dalam hukum najis.
Ketiga, Mazhab Syafi'i dan Hanabilah:
1. Sisa manusia (mukmin dan kafir), maka termasuk thahir. Jika peminum khamr minum air saat itu juga maka najis, adapun jika ada jeda maka tidak.
2. Sisa hewan yang dimakan dagingnya, maka termasuk thahir dan bahkan muthahir.
3. Sisa tikus, kucing dll, maka termasuk thahir.
4. Sisa semua hewan yang dimakan dagingnya dan tidak dimakan dagingnya, maka termasuk thahir.
5. Sisa anjing dan babi, maka termasuk najis.
(Bersambung insya Allah)
3 notes · View notes
kreditmultiguna · 5 years
Quote
Hafal Ribuan HaditsDi Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya. Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih Al-Alawy Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.diringkas dari manakib tulisan Habib Soleh bin Ahmad Alaydrus, pengajar Ponpes Darul Hadits Malang, Jawa Timur Di posting ulang dari halaman facebook : SEJARAH ULAMA DAN KARAMAHNYA Di dalam halaman tersebut tulisan ini di publikasikan oleh : Firman Syarief Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita semua, Amin..
http://www.masdull.com/2020/01/al-habib-abdul-qadir-bin-ahmad-bilfagih.html
4 notes · View notes
salafiway · 5 years
Text
SALAFI MASHAYKH
This is a list of SOME (NOT ALL) Salafi scholars and (senior) students of knowledge of this era (a few are dead but the majority are alive today) who resided in Saudi Arabia, Kuwait, Egypt, Yemen, U.A.E., Algeria, Iraq and Jordan.
A handful of the scholars on this list have been refuted by other scholars on the list on particular issues but nothing that takes them out of Salafiyyah to the best of my knowledge.
PLEASE DO NOT MESSAGE ME OR SEND ME ANY REFUTATIONS ETC TO DISSCUSS, AGRUE OR DEBATE WITH ME OVER ANY OF THE MASHAYKH ON THIS LIST BECAUSE YOU HOLD THEY ARE NOT SALAFI.
List Of Contemporary Mashaykh (Divided In To Places Of Residence Of These Mashaykh Not Places Of Birth)
Saudi Arabia
Shaykh Abdul-Azeez Aal Shaykh
Shaykh Abi Abdillah Mahir Bin Dhafer Al-Qahtani
Shaykh Alee Ridaa
Shaykh Abdul-Kareem Al-Khudair
Shaykh Mustafa Mubram
Shaykh Saalih Aal-Taalib
Shaykh Khaalid Al-Ghaamadi
Shaykh Ali Abdur-Rehmaan Al-Huthayfi
Shaykh Salaah Al-Budayr
Shaykh S’ad Naasir Ash-Shithri
Shaykh Saalih Al-Luhaydaan
Shaykh Abdul-‘Azeez Ar-Raajihi
Shaykh Abdur-Rehmaan Al-‘Ajlaan
Shaykh Abdul-Muhsin Al-Abbad
Shaykh Rabee Ibn Haadi Al-Madkhali
Shaykh Saalih Al-Ubood
Shaykh Abdullaah Al-Jarboo
Shaykh Mis’ad Al-Husayni
Shaykh Saalih As-Sindi
Shaykh Ali At-Tuwayjari
Shaykh Ibrahim Ar-Ruhayli
Shaykh Khalid Ar-Raddadi
Shaykh Sulaymaan Ar-Ruhayli
Shaykh Muhammed Al-Hujayli
Shaykh Abdullah Al-Bukhari
Shaykh Saalih As-Suhaymi
Shaykh Wasi-Ullaah Al-‘Abbas
Shaykh Abdur-Rehmaan As-Sudays
Shaykh Ghurmullaah Zahrani
Shaykh Uthmaan Mu’Allaam
Shaykh Muhammed Umar Bazmool
Shaykh Aadel As-Subayee
Shaykh Abdullaah Al-Musallam
Shaykh Fahad Al-Fuhayd
Shaykh Saalih As-Sadlaan
Shaykh Ahmed Al-Munayee
Shaykh Abdul-‘Azeez As-Saeed
Shaykh Muhammed Aadam
Shaykh Salaah Al-Budayr
Shaykh Abdul- Azeez Al-Faalih
Shaykh Salaah Muhammed Aal Shaykh
Shaykh Ahmed Bazmool
Shaykh Abdul Majeed As-Subayyal
Shaykh Muhammed Al-Munayee
Shaykh Abdul Azeez Rayyis
Shaykh Abdullah Al-Ghunaymaan
Shaykh Alee Naasir al-Faqeehee
Shaykh Dr ‘Abdul-‘Aziz al-Sadhan
Shaykh Dr Khalid al-Mushayqih
Shaykh Muhammad al Maliki
Shaykh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhaab Al-’Aqeel
Shaykh Saalih Ibn Saalih al-Fawzaan
Shaykh Ubayd Ibn ‘Abdullaah al-Jaabiree
Shaykh ‘Uthmaan Ibn Yahya al-Hamali
Shaykh Abdul-Muhsin Al-Ubaykan
Shaykh Ubaylaan
Shaykh Abdullah Ibn Sulfeeq adh-Dhafiri
Shaykh Muhammad Ibn Haadee al-Madkhalee
Shaykh Fu’ad Ibn Sa’ud al-‘Amri
Shaykh Prof. Asim al-Qaryuti
Shaykh Dr. Adil Muhammad Subay’ee
Shaykh Haythem Sarhaan
Shaykh Abdul Qaadir Ibn Muhammad al-Junaid
Shaykh ‘Adil Mansoor
Shaykh Fawaaz al-Madkhalee
Shaykh Hani Bareek
Shaykh Muhammad Sagheer ‘Akoor al-Madkhalee
Shaykh Muhammad Ibn Ramzaan al-Haajiree
Shaykh Badr Ibn Muhammad al-Badr al-‘Anazy
Shaykh Yahya at-Taaliby
Shaykh ‘Arafat Muhammady
Shaykh Muhammad ‘Awaji al-Muhjari al Madkhalee
Shaykh Hasan Daghriry
Shaykh Usamah Ibn Sa’ud al-‘Amri
Shaykh ‘Abdul’Azeez Ibn Moosaa Ibn Sayr al-Mubaaraky
Shaykh Muhammad Ibn Rabee’ Ibn Haadee al-Madkhalee
Shaykh ‘Awaad Sabty al-‘Anazy
Shaykh Abu ‘Umar Usamah al-‘Utaybi
Shaykh Khalid Namazy
Shaykh Ahmad ‘Aloosh al-Madkhalee
Shaykh ‘Uthmaan al-Mu’alim Somali
Shaykh Saalim Baamihriz Yemeni
Shaykh Doctor ‘Abdur Razzaaq Ibn ‘Abdul Muhsin al-‘Badr
Shaykh Abdul Malik ar-Ramadani
Shaykh Nasir Alaql
Shaykh Saeed Bin Ali Bin Wahf Al-Qahtani
Shaykh Abdur Rahman Muhay Deen
Yemen
Shaykh Abdullah Ibn Naajee al-Hadaad
Shaykh Rashaad al-Hubaishi
Shaykh Abu Amr’ Abdul Kareem Ibn Ahmed Al Hajooree
Shaykh ‘Ali Ibn Naasir Al ‘Adani
Shaykh Abdul-Ghani al-Umaree
Shaykh AbdulHameed al-Hajooree
Shaykh Abu Abdis Salaam Hasan Qaasim Ar Raymee
Shaykh Fath Al-Qadsi
Shaykh Khalid Abdul Rahman Al-Misree
Shaykh Muhammad al-Hakami
Shaykh Muhammad Bin Hizam
Shaykh Abu Abdur Rahman Abdullah Airyaani
Shaykh Salaah Kentush
Shaykh Abu Razzaq Al Nehmee
Shaykh Abdul Rakeeb Al Kawkabanee
Shaykh Muhammad Al Imam
Shaykh Muhammad Ibn ‘Abdul-Wahhaab al-Wassaabee
Shaykh ‘Ali Ibn Ahmad ar-Razihi
Shaykh ‘Abdul ‘Azeez Ibn Yahya al-Bura’ee
Shaykh ‘AbdulGhafoor al‑Lahaji
Shaykh ‘Abdur Rahmaan al-‘Adani
Shaykh Abu ‘Abdullah ‘Uthmaan Ibn ‘Abdullah as-Saalimee
Shaykh Abu Ammaar ‘Ali al-Hudayfee
Shaykh Abu Abdullah Uthmaan Ibn ‘Abdullah as-Saalimee
Shaykh, ‘Ali al-Qaleesee
Shaykh Ahmad Ibn Ahmad Shamlaan
Shaykh Saalim Baamihriz
Shaykh Yahyaa al-Jaabiree
Shaykh ‘Ali Ibn Ahmad ar-Razihi
Shaykh Abu Yahya Zakariyyah al-‘Adani
Shaykh ‘Abdur Rahmaan al-‘Adani
Shaykh Nu’maan al-Watr
Shaykh ‘Abdul Wasee’ as-Sa’eedi
Kuwait
Shaykh Ahmed al-Subai
Shaykh Abdullah Shreikah
Shaykh Faisal al Jaasim
Shaykh Falaah Ismaa’eel al-Mundikaar
Shaykh Falah al-Thani
Shaykh Hai Al Hai
Shaykh Hamd Al Uthman
Shaykh Hamdi Abdul Majeed
Shaykh Hamoud al-Najdi
Shaykh Mohammed al-Anjaree
Shaykh Saalim Taweel
Egypt
Shaykh Muhammad Abdul Wahhaab Al-Banna
Shaykh Khalid Abdul Rahman Al-Misree
Shaykh Khalid Bin Uthmaan
Shaykh Adil As’Sayyid
Shaykh Aadl Shoorbojee
Shaykh Talaat
Shaykh Raslaan
Shaykh Hasan ibn ‘Abdul Wahhab al-Banna
Shaykh Ali al-Waseefi
Shaykh Taamir Fatooh
Jordan
Shaykh Abu Islam
Shaykh Mohammed Musa Nasr
Shaykh Husain al-A’waiyashah
Shaykh Aba al-Hasan ‘Ali Ibn Mukhtar ar-Ramly
Shaykh Mashoor Hasan
Shaykh Sa’ad al-Husayn
U.A.E.
Shaykh Haamid Ibn Khamees al-Junaybi
Shaykh Ahmad Ibn Mubarak al-Mazroo’i
Iraq
Shaykh Mowafaq Hussein al-Jaboory
Shaykh Abu ‘Abdul Haqq ‘Abdul Lateef al-Kurdi
Algeria
Shaykh Azhar Sniqra
Shaykh Muhammad Ferkous
Shaykh Yusuf Al-Jazaa’iree
(A Few Mashaykh Who Died In This Era)
Shaykh Muqbil
Shaykh Uthaymeen
Shaykh Bin Baz
Shaykh Albaani
Shaykh Shaykh Abdus-Salam Bin Burjis
Shaykh Dr Saleh Al-Saleh
Shaykh Muhammad Ibn ‘Abdullaah As-Subayyal
Shaykh Zayd Ibn Haadee al-Madkhalee
Shaykh Abdullah An-Najmee
Shaykh ‘Abdur-Razzaaq Ibn ‘Afeefee
Shaykh Bakar ‘Abdullaah Abu Zayd
Shaykh Abdullaah al-Ghudayyaan
Inshallah this list will get updated from time to time.
13 notes · View notes
Text
Why Chopping Off Limbs in Sharia is Stupid
It’s pretty self-evident that mutilating someone is a barbaric practice fit only for savages, but then you learn how bizarre these ruling came to be. First off, the Quran really spells it out for you.
As for the thief, both male and female, cut off their hands. It’s their reward for their own deeds, an exemplary punishment from Allah. (Quran 5:38)
The reason this ruling came to be is because it was an common practice in Arabia and Islam merely uphold it - in fact, many practices adopted by Islam like polygamy were taken from local customs - and apologists argue that the point of this law was to deter the people from ever stealing something. 
Opinions among jurisprudence schools (Hanafi, Shafi, Maliki, Hanbali and Jafari) vary on what is done to the thief if he steals again after being punished once again, but they can potentially get all their limbs chopped off before being finally killed. This is based on authentic hadith where a particularly bloodthirsty Muhammad finds a thief. 
It was narrated from Al-Harith bin Hatib that a thief was brought to the Messenger of Allah and he said:
"Kill him." They said: "O Messenger of Allah, he only stole (something)." He said: "Kill him." They said: "O Messenger of Allah, he only stole (something)." He said: "Cut off his hand." Then he stole again, and his foot was cut off. Then he stole at the time of Abu Bakr, untilo all his extremities had been cut off. Then he stole a fifth time, and Abu Bakr, may Allah be pleased with him, said: "The Messenger of Allah knew better about him when he said: 'Kill him."' Then he handed him over to some young men of Quraish to kill him, among whom was 'Abdullah bin Az-Zubair who liked to be in a position of leadership. He said: "Put me in charge of them," so they put him in charge of them and when he struck him, they would strike him, until they killed him.
I see two problems problems here: 
How the FUCK did this dude manage to steal again after having his hands chopped?
If the point of this punishment was to serve as a deterrent, it clearly failed here.
I really have to wonder how do Muslims feel about this rule: do they defend it because they genuinely believe it’s an effective punishment or they do it because it’s in the Quran and hadith and they feel obliged to defend it? 
Because if it really is the former case, I have to Christiansplain it to you: cutting off limbs harms society. It leaves those punished as a burden because of their inability to work and the constant care they now require. 
Besides not all cases of stealing are motivated by greed or malice, more often than not people steal because they are hungry. Have you ever considered that?
2 notes · View notes
ummuaiysah · 6 years
Text
Antara Rasa Harap (Roghbah) dan Takut (Rohbah).
Saudaraku -yang semoga selalu ditunjuki kepada ketaatan-. Allah telah mengisahkan tentang Zakaria dalam firman-Nya,
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ (89) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (90)
”Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan Aku hidup seorang diri (tanpa keturunan, pen) dan Engkaulah waris yang paling baik. Maka kami memperkenankan doanya, dan kami anugerahkan kepadanya Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap (rogbah) dan cemas (rohbah) dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami”. (QS. Al Anbiyaa’: 89-90).
Dari ayat ini, Allah mengisahkan tentang Zakaria, istrinya dan Yahya yang selalu bersegera dalam melakukan ketaatan dan mendekatkan diri pada Allah. Allah memuji mereka karena mereka berdoa kepada Allah dengan mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, serta dengan merendahkan diri kepada-Nya. Mereka menyembah Allah dengan berbagai bentuk ibadah tersebut. (Lihat Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi). Maka saudaraku, perhatikanlah dalam ayat yang mulia ini, Allah mensifati para hambanya yang ikhlas yaitu yang beribadah dan berdo’a kepada-Nya dengan rasa harap dan cemas (rogbah dan rohbah) serta merendahkan diri (khusyu’) kepada-Nya.
Pengertian Rogbah dan Rohbah
Makna rogbah adalah meminta, merendahkan diri, dan mengharap sepenuh hati dengan penuh kecintaan yang mengantarkan kepada sesuatu yang dicintai. Sedangkan makna rohbah adalah takut yang menyebabkan seseorang menjauh dari sesuatu yang ditakuti. (Lihat Hushulul Ma’mu bisyarhi Tsalatsatil Ushul, Syaikh Abdullah bin Sholih Al Fauzan).
Rogbah memiliki makna yang hampir sama dengan roja’. Namun keduanya memiliki perbedaan. Roja’ adalah menginginkan (hanya sekedar keinginan) sedangkan rogbah adalah usaha untuk mendapatkan yang diinginkan, namun belum bisa dipastikan keinginannya itu tercapai. (Lihat Madarijus Salikin Juz kedua, Imam Ibnul Qoyyim).
Jadi, rogbah adalah rasa harap yang lebih khusus dari roja’ dan rohbah adalah rasa takut/cemas yang lebih khusus dari khouf. (Lihat Syarhu Kitaab Tsalatsatil Ushul, Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alu Syaikh)
Ibadah Dibangun di atas Rasa Harap (Rogbah) dan Rasa Takut (Rohbah)
Syaikh Sholih Alu Syaikh hafidzohullah mengatakan,”Jika kalian memperhatikan dan merenungkan keadaan kaum musyrikin di sekeliling sesembahan mereka dan keadaan penyembah kubur di sisi kuburan, maka kalian akan mendapati mereka dalam keadaan khusyu’. Mereka tidak pernah melakukan ibadah di kuburan tersebut sebagaimana di rumah Allah (masjid) -yang tidak memiliki kubur maupun kubah-. Di sisi kuburan tersebut, mereka begitu takut (rohbah) dan begitu menaruh harapan (rogbah). Mereka juga khusyu’ dan tuma’ninah (tenang), tanpa ada gerakan dari anggota badan maupun jiwa, bahkan mereka sampai takut melirik ke kanan kiri. Perbuatan seperti ini tidaklah boleh ditujukan kecuali pada Allah Ta’ala semata. Karena setiap muslim tatkala shalat telah menegakkan ibadahnya dengan ibadah rogbah dan rohbah. Sebagaimana tersirat dari surat Al Fatihah (surat yang minimal 17 kali dibaca setiap harinya, pen) pada firman-Nya:”Ar Rohmanir Rohiim (Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)”. Ini menunjukkan bahwa ibadah dibuka dengan rasa harap (rogbah) dan firman-Nya:”Maliki yaumiddiin (Yang menguasai di hari pembalasan)”. Ini menunjukkan bahwa ibadah dimulai dengan rasa cemas/takut kepada Allah (rohbah). Jadi, ibadah itu dibangun atas dua unsur yaitu rogbah (harap) dan rohbah (cemas/takut).” (Lihat Syarhu Kitaab Tsalatsatil Ushul)
Ustz. Muhammad Abduh Tausikal Hafidzahullah.
6 notes · View notes
shaikhimrans-blog · 5 years
Text
Is masturbation haram in Islam?
It is considered permissible for spouses to masturbate each other, with the only sexual acts forbidden in Islam being anal intercourse and vaginal sex during menstruation.
Sahabah view
Abd Allah ibn Abbas (Ibn-e-Abbas) said :
★"it is nothing but rubbing one's private parts until a fluid comes out"
Abdullah ibn Umar said :
★"it is merely rubbing an organ"
★"it is your water; you can discharge it (if you want)".
Jābir ibn Zayd said :
★"it is your water; you can discharge it (if you want)".
What Madhab says about Masturbation…?
Hanafi view
It is generally prohibited according to the Hnafi Madhab, unless one fears lust or fornication , or is under the desire pressure, in which case, it is permissible to seek a relief through masturbatio.
Maliki view
It is considered as haram according to the Sunni Imam Malik Ibn Anas. It is prohibited all the time according to the Maliki Madhab.
Some Maliki school that allows masturbation if done in private and without the use of illicit materials such as pornography and drugs.
Shafi'i view
It is prohibited all the time according to the Shafi`i Madhab.
It is considered haram (forbidden) according to Sunni school Shafi'i.
Imam Al-Shafi’i stated that masturbation is forbidden based on the following verses from the Quran
Allah says:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حٰفِظُونَ
"And they who guard their private parts"
(Chapter :23,Al-Muminoon Verse 5)
Allah also says:
إِلَّا عَلٰىٓ أَزْوٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
"Except from their wives or those their right hands possess, for indeed, they will not be blamed -"
(Chapter : 23,Al-Muminoon: Verse 6)
Allah says:
فَمَنِ ابْتَغٰى وَرَآءَ ذٰلِكَ فَأُولٰٓئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
"But whoever seeks beyond that, then those are the transgressors -"
(Chapter:23, Al-Muminoon: Verse 7)
Here the verses are clear in forbidding all illegal sexual acts (including masturbation) except for the wives or that their right hand possess and whoever seeks beyond that is the transgressor.
Hanbali view
It is generally prohibited according to the Hanbali Madhab unless one fears adultery or fornication, or is under the desire pressure, in which case, it is permissible to seek a relief through masturbation.
So…
According to Ahmad ibn Hanbal, it is permissible for prisoners, travellers and for men and women who have difficulty in finding a lawful spouse.
Actually There is no clear verse in the Quran or hadith that says masturbation is haram. The position that masturbation is haram is not an absolute one. There are different opinions on the matter. Some scholars and madhabs rule it haram, others say it is disliked (makruh), while others say it is permissible under certain circumstances. Often this verse is quoted as a proof:
“And those who guard their private parts save from their wives and those (slave-girls) which their right-hands own – so there is no blame upon them. Then whoever seeks beyond that (which is lawful), they are the transgressors.” Al-Muminoon: Verse:5–7
The position is based on the Al-Muminoon: Verse that guarding one’s private parts could imply from his or her own self (masturbation). A similar subject that we often hear is haram is oral sex, yet once again there are no clear commands referring to oral sex being haram.
The Prophet taught us that only two sexual acts are haram: anal sex and sex during menstruation. If the Prophet got that explicit and did not mention oral sex or masturbation, then perhaps these acts were left unsaid as they require interpretation based on context. Allah knows best.
In some cases, masturbation is permissible and can be a lesser of two evils, such as committing zina versus masturbation. This was the position of Ahmad ibn Hanbal and Ibn Qayaam al Jazawi, for example. Thus, it is based on circumstances. I personally believe that masturbation is not haram, and in our times of pornography, highly sexualized stimuli and zina being so accessible in some societies, masturbation can be a way to protect many young people.
1 note · View note
Note
assalamu aleikum, so my grandmother’s side of the family are christians and she lives in our home country and we live in europe, she rarely gets the chance to come visit us and so do we, but she came for the holidays season and she’ll spend christmas and new year’s eve here, she wants to celebrate and organize a family dinner because she does back home with the rest of the family, is it haram if we just do that not to break her heart?
Alaikumassalam wa rahmatullah,
There is some difference of opinion on the permissibility of attending non-Islamic religious celebrations. Among the scholars who permit it are the Egyptian al-Azhar-educated sheikh Ahmad al-Shirbasi and the important Maliki scholar sheikh Abdullah bin Bayyah. Egypt’s fatwa authority, which is run by al-Azhar-educated scholars and issues fatwas for all of Egypt, also issued a fatwa permitting celebrating Christmas with Christians. The respected European Research and Fatwa Council also issued a fatwa permitting it. 
No alcohol should be present at the celebration while the Muslims are there (it is not permitted to sit in a gathering where people drink alcohol). The celebration should also not include anything else that Islam forbids, but this should be obvious.
Therefore since there are highly respected scholars who permit it, and since there is nothing in it that reason or conscience objects to, I would say it is safe to do it.
Sources (all in Arabic): Collection of relevant fatwas from various scholars | European Research and Fatwa Council’s fatwa
6 notes · View notes
Text
Get To Know: (Imam Shafi’i)
Life/Personal Facts:
 Imam As Shafi’i was born the year Imam Abu Hanifa passed away: 150 AH in Gaza, Palestine
Imam as Shafi’i belonged to the tribe of Banu Muttalib, which was known to be connected in terms of lineage with Banu Hashim (meaning Imam Shafi was related to the Prophet )
Imam as Shafi’i’s father passed away when Imam Shafi’i was only a few years old
His mother, Fatima bint Abdullah (also related to the Prophet) took him to mecca while he was a toddler to “connect him to his roots and to learn his religion”
He was very close to his mother as she sacrificed her life and dedicated it to the growth of his knowledge
Shafi’i would get his knowledge by sitting in halaqahs and he would be able to memorize the teacher’s words (at the time he was 6 years old)
His family did not have much money such that each night they didn’t know what they were going to eat
They survived on gifts presented to them
His mother would gather old paper from the dumpsters and left-over ink from government official’s so Imam Shafi’i could take notes
To learn the Arabic language in it’s purest form, Shafi’i spent 17 years with the tribe of Huzyl, whose people spoke the most authentic form of Arabic
At the age of 15 years old, he was licensed by the mufti of Makkah to give fatwa
At the age of 15 he was also the right-hand man of the of the mufti of Makkah
He migrated to Medina 173 H to study Fiqh from imam Malik as suggested by the leader of Makkah
Imam Malik was very impressed with the genius of Shafi’i and spent a lot of time with him: debating, talking, and listening
Imam Malik asked Shafi’i to become his assistant teacher
After Imam Malik passed away, Shafi’i moved back to Makkah
At this point his reputation had spread throughout far lands as an incredible Islamic Scholar
While visiting Makkah and hearing about Shafi’i, the governor of Yemen was inspired to ask Shafi’i to come to Yemen where he would be offered the position of Chief of Justice of Najran
Shafi’i accepted and at the age of 31, he settled in Yemen
Being amidst the political world did not work out for Shafi’i as he was just and honest
Members of the political party and social elites implicated shafi’i of siding with the Shi’a (who were rebelling against the Abbasid Empire)
The authorities of Najran chained Imam Shafi’i and sent him to Baghdad in 803 (Shafi’i was 36)
In Baghdad’s court, Shafi’i logically and eloquently  refuted the many charges made against him which impressed Harun Al-Rashid, the Abbasids empire’s Caliph
Shafi’i arguemnts along with assurance from the Chief of Justice Of Najran (Shafi’i’s old classmate), Harun Al-Rashid pardoned the charges and asked Shafi’i to remain in Baghdad
Shafi’i accepted and continued searching for knowledge regarding fiqh and hadith
Shafi’i studied Hanafi fiqh and had countless discussions and debates with devout hanafis, solidifying his knowledge on both Malaki fiqh and Hanafi fiqh
In 804, Shafi’i left Baghdad and returned to Makkah as a teacher and scholar
At this time, Imam Ahmad Ibn Hanbal travelled from far to become his student
Shafi’i continued to teach for six years, until he decided to go back to Baghdad (810) , and from there to Egypt (in 814)  
Through his travels he met reputable scholars of Islam with whom he engaged in religious discussions and debate
Shafi’i felt there needed to be a middle path in between the Hanafi fiqh (which was heavy on spirituality and principles) and the Maliki fiqh (which was hadith based)
Combining both schools of thought, Shafi’i scripted his ideas in his books Kitab al-Umm, and Al-Risalah
Wherever he went, people would be convinced to join his school of thought
For the first time, there was a convergence of the two existing schools of thought
Imam Shafi’i passed away at the age of 53 in Egypt and was buried in al-Fustat
Interesting Facts:
He was taught by Imam Malik and taught Imam Ahmad
His lineage goes back to the Sahabha, Saaid Ibn Ubaid Ibn Hashimi, his grandfather who was the cousin of the Prophet (pbuh)
At the age of 7 he memorized the Quran
At the age of 9, Shafi’i, memorized the Muwatta in 9 day
He had the most beautiful recitation of the Quran
When Shafi’i became a scholar, people who had no interest in the religion would come and sit in his halqahs only to hear him speak Arabic because it was so profound
He was a master at the Arabic language, horseback riding, and archery
He had a baby face his entire life and didn’t have a beard longer than a few hairs on his chin
His  was a tall, slim man who was always well dressed
He disliked anyone to ask him his age because he knew that is also what Imam Malik used to do
He had a photographic memory that was so strong that when he opened the Quran he made sure he covered the left page because if both pages were covered, he’d look at the page and memorize it across in mere moments
His nickname was Aba Abdullah
Imam Malik said “I’ve never had a scholar more brilliant and who had more fear of Allah swt come to me as a student than Muhammad Ibn Idris Ibn Shafi’i”
He stayed with Imam Malik for 6 years
Imam Shafi’i had the quality of Firasa: the quality of being able to decipher a person just by looking at them
He was known for his extensive Qiyam and for his beautiful recitation
He never lost a debate
Imam Shafi’i was considered to be The Father of the Science of Islamic Jurisprudence
Imam Shafi’i mastered Hanafi and Maliki fiqh
45 notes · View notes
dailytafsirofquran · 2 years
Text
Tafsir Ibn Kathir: Surah Al-Ma’idah Ayah 5
In the Name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful.
5:5 Made lawful to you this day are At-Tayyibat.
The food of the People of the Scripture is lawful to you, and your food is lawful to them.
(Lawful to you in marriage) are chaste women from the believers and chaste women from those who were given the Scripture before your time when you have given them their due, desiring chastity, not illegal sexual intercourse, nor taking them as girlfriends (or lovers).
And whosoever rejects faith, then fruitless is his work; and in the Hereafter he will be among the losers.
Permitting the Slaughtered Animals of the People of the Book
After Allah mentioned the filthy things that He prohibited for His believing servants and the good things that He allowed for them, He said next,
Made lawful to you this day are At-Tayyibat.
Allah then mentioned the ruling concerning the slaughtered animals of the People of the Book, the Jews and Christians,
The food of the People of the Scripture is lawful to you...,
Ibn Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa`id bin Jubayr, Ikrimah, Ata', Al-Hasan, Makhul, Ibrahim An-Nakhai, As- Suddi and Muqatil bin Hayyan stated,
meaning, their slaughtered animals.
This ruling, that the slaughtered animals of the People of the Book are permissible for Muslims, is agreed on by the scholars, because the People of the Book believe that slaughtering for other than Allah is prohibited. They mention Allah's Name upon slaughtering their animals, even though they have deviant beliefs about Allah that do not befit His majesty.
It is recorded in the Sahih that Abdullah bin Mughaffal said,
"While we were attacking the fort of Khyber, a person threw a leather bag containing fat, and I ran to take it and said, `I will not give anyone anything from this container today.' But when I turned I saw the Prophet (standing behind) while smiling.''
The scholars rely on this Hadith as evidence that we are allowed to eat what we need of foods from the booty before it is divided.
The scholars of the Hanafi, the Shafii and the Hanbali Madhhabs rely on this Hadith to allow eating parts of the slaughtered animals of the Jews that they prohibit for themselves, such as the fat. They used this Hadith as evidence against the scholars of the Maliki Madhhab who disagreed with this ruling.
A better proof is the Hadith recorded in the Sahih that;
the people of Khyber gave the Prophet a gift of a roasted leg of sheep, which they poisoned. The Prophet used to like eating the leg of the sheep and he took a bite from it, but it told the Prophet that it was poisoned, so he discarded that bite. The bite that the Prophet took effected the palate of his mouth, while Bishr bin Al-Bara bin Ma`rur died from eating from that sheep.
The Prophet had the Jewish woman, Zaynab, who poisoned the sheep, killed. Therefore, the Prophet and his Companions wanted to eat from that sheep and did not ask the Jews if they removed what the Jews believed was prohibited for them, such as its fat.
Allah's statement,
and your food is lawful to them.
means, you are allowed to feed them from your slaughtered animals.
Therefore, this part of the Ayah is not to inform the People of the Scriptures that they are allowed to eat our food -- unless we consider it information for us about the ruling that they have -- i.e., that they are allowed all types of foods over which Allah's Name was mentioned, whether slaughtered according to their religion or otherwise.
The first explanation is more plausible. So it means:
you are allowed to feed them from your slaughtered animals just as you are allowed to eat from theirs, as equal compensation and fair treatment.
The Prophet gave his robe to Abdullah bin Ubayy bin Salul, who was wrapped with it when he died. They say that he did that because Abdullah had given his robe to Al-Abbas when Al-Abbas came to Al-Madinah.
As for the Hadith,
Do not befriend but a believer, nor should other than a Taqi (pious person) eat your food.
This is to encourage such behavior, and Allah knows best.
Allah said,
(Lawful to you in marriage) are chaste women from the believers.
The Ayah states: you are allowed to marry free, chaste believing women.
This Ayah is talking about women who do not commit fornication, as evident by the word `chaste'. Allah said in another Ayah,
Desiring chastity not committing illegal sexual intercourse, nor taking them as boyfriends (lovers). (4:25)
Abdullah Ibn Umar used to advise against marrying Christian women saying,
"I do not know of a worse case of Shirk than her, saying that `Isa is her lord, while Allah said And do not marry(idolatresses till they believe).'' (2:221)
The Permission to Marry Chaste Women From the People of the Scriptures
Ibn Abi Hatim recorded that Abu Malik Al-Ghifari said that Ibn Abbas said that;
when this Ayah was revealed (And do not marry idolatresses till they believe), the people did not marry the pagan
women. When the following Ayah was revealed,
(Lawful to you in marriage) are chaste women from the believers and chaste women from those who were given the Scripture before your time) they married women from the People of the Book.''
Some of the Companions married Christian women and did not see any problem in this, relying on the honorable A y a h , ( ( L a w f u l t o y o u in marriage) are chaste women from those who were given the Scripture before your time), therefore, they made this Ayah an exception to the Ayah in Surah Al- Baqarah, ِ(And do not marry the idolatresses till they believe), considering the latter Ayah to include the People of the Book in its general meaning. Otherwise, there is no contradiction here, since the People of the Book were mentioned alone when mentioning the rest of the idolators. Allah said,
Those who disbelieve from among the People of the Scripture and the idolators, were not going to leave (their disbelief) until there came to them clear evidence. (98:1)
And say to those who were given the Scripture and to those who are illiterates: "Do you (also) submit yourselves!'' If they do, they are rightly guided. (3:20)
Allah said next,
When you have given them their due,
This refers to the Mahr, so just as these women are chaste and honorable, then give them their Mahr with a good heart.
We should mention here that Jabir bin Abdullah, `Amir Ash-Sha`bi, Ibrahim An-Nakhai and Al-Hasan Al-Basri stated that;
Allah said,
Desiring chastity, not illegal sexual intercourse, nor taking them as girl-friends (or lovers).
And just as women must be chaste and avoid illegal sexual activity, such is the case with men, who must also be chaste and honorable. Therefore, Allah said, (...not illegal sexual intercourse) as adulterous people do, those who do not avoid sin, nor reject adultery with whomever offers it to them.
nor taking them as girl-friends(orlovers)
meaning those who have mistresses and girlfriends who commit illegal sexual intercourse with them, as we mentioned in the explanation of Surah An-Nisa'.
And whosoever rejects faith, then fruitless is his work; and in the Hereafter he will be among the losers.
1 note · View note