Tumgik
#Refleksi Ramadan
hilyahkamilah · 1 year
Text
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa; (Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.
[Qs. Ali Imran: 132-134]
Dari Uqbah bin Amir Al-Jahmy ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda kepadanya, "Wahai Uqbah maukah kamu aku tunjukkan akhlak yang paling baik, bagi penghuni dunia dan akhirat? (Yaitu) engkau menyambung (persaudaraan) orang yang memutus persaudaraanmu, memberi hadiah kepada orang yang tidak pernah memberimu hadiah dan memaafkan orang yang menzalimimu."
[HR. Al-Hakim]
Beberapa poin yang bisa kita tadabburi dari dua pedoman hidup manusia (Qur'an dan Hadits) di atas, ada beberapa akhlak baik bagi orang-orang bertakwa yang bisa kita lakukan:
• Berinfaq
• Menahan amarah/ emosi
• Memaafkan
• Silaturahmi
• Memberikan hadiah
Baarakallah fiikum
1 Ramadan 1444 H
0 notes
penaimaji · 5 months
Text
Yang Terlupa dari Ramadan
Seringkali menjelang bulan Ramadan, yang kita pikirkan selain kewajiban membayar zakat, diantaranya; mudik kemana, budget oleh-oleh lebaran, budget THR orang tua, mertua, ponakan, sepupu, bocil-bocil tetangga, hampers untuk kolega juga teman, belanja kue lebaran, baju lebaran, dkk.
Kita hampir melupakan budget lebih untuk makanan, laundry, jasa beberes rumah atau kebutuhan kita lainnya di bulan Ramadan. Bulan yang penuh berkah, dimana dilipatgandakan setiap amal ibadah manusia; yang kita temui hanya setahun sekali (semoga Allah izinkan untuk bertemu Ramadan kembali, dan beri keberkahan pada umur kita).
Mengapa tidak kita siapkan dana khusus? Selama sebelas bulan kita anggarkan pos untuk Ramadan, supaya kita tidak perlu repot-repot memasak, menyuci, beberes rumah. Sehingga, kita bisa memaksimalkan waktu untuk beribadah.
Mungkin kondisi setiap individu berbeda-beda, tidak bisa kita samaratakan. Apabila kita merasa masih bisa diusahakan—setidaknya di sepuluh malam terakhir, kenapa tidak? Bukankah tujuan hidup ialah beribadah? Kenapa kita tidak tergerak untuk berlomba-lomba dalam melakukan amal shalih?
Semoga Allah jadikan hati dan fisik kita ini, kuat dalam berjuang pada momen Ramadan. Semoga Allah pertemukan kita dengan Ramadan yang akan datang, dengan tekad terus memperbaiki diri dan amal :'))) biidznillah.
تقبل الله منا ومنكم. صيامنا وصيامكم
كل عام و أنتم بخير. و عساكم من العيدين والفائزين
Jakarta, 10 April 2024 | Pena Imaji
33 notes · View notes
unimiff · 5 months
Text
Catatan Penghujung Ramadan 1445
Tumblr media
0 notes
kurniawangunadi · 5 months
Text
Ramadan #29
Cawan hanya akan mengeluarkan apa yang menjadi isinya. Kalau isinya air, maka yang akan tertuang adalah air. Kalau isinya kopi, yang tertuang juga kopi. Isinya susu, yang akan tertuang juga susu.
Seperti itulah kita melihat ke diri sendiri, selama ini apakah yang keluar dari pikiran, lisan, dan tindakan kita. Kalau sulit melihatnya, minta orang lain untuk melihat diri kita sendiri seperti apa, apa yang mereka lihat dan rasakan selama ini tentang diri kita sendiri.
Jangan-jangan selama ini, kita tertipu dengan diri. Merasa diri sudah baik, ternyata yang keluar dari dalam diri kita adalah muntahan-muntahan kalimat negatif, pikiran negatif nan pesimis, kasar, kalau bicara tidak mampu memfilter kata-kata, dan tetap merasa diri telah berbuat hal yang benar dan membenarkan karakter diri yang demikian.
Astaghfirullah hal adzim.
Di salah satu kajian Ust. Adi Hidayat, saya pernah teringat bahwa salah satu ciri orang beriman itu tenang, tidak hanya dirinya. Tapi membuat orang-orang di sekitarnya juga tenang ketika bersamanya. Ini bikin refleksi lagi, apakah selama ini orang-orang disekitarku merasa terusik dan tersakiti oleh perilaku/lisanku dalam ketidaksadaranku? Atau mereka merasa tidak nyaman ketika berkomunikasi? Dan rasa-rasa lainnya.
Memang paling benar sebelum kita menilai orang lain, mari belajar untuk menilai diri sendiri. Khususnya di bulan ramadan yang penuh dengan refleksi diri ini.
Semoga kita semua bisa menjadi cawan dengan isi yang baik, sehingga apa-apa yang keluar dari diri kita adalah hal-hal baik, diterima oleh orang-orang di sekitar kita juga hal yang baik dan bermanfaat.
Aamiin
87 notes · View notes
rifkihidayat · 6 months
Text
Tumblr media
#PUKS #2Ramadan1445H
---
#PUKS, pesan untuk kami sendiri adalah refleksi Ramadan saya dan istri. Tahun ini memasuki edisi ke-10.
Edisi-edisi sebelumnya dapat dilihat di blog rifkihidayatdottumbrldotcom ini.
30 notes · View notes
innnnna · 6 months
Text
Ternyata untuk menyampaikan apaa yang kita rasa selama ini dengan menggunakan bahasa paling sederhana dan dengan kehati-hatian menurut kita belum tentu orang tersebut dengan lapang perlahan menerima. Butuh waktu dan proses betul-betul.
Setelah semalam berbicara menyempatkan dengan orangtua, terkhusus ibu (semoga senantiasa Allah jaga dan mampukan ibu dalam kebaikan dan terus sama sama belajar ya buu🤍) entah dorongan apa tiba-tiba perbincangan kami semakin mengobrak abrik batin masing².
Maaf ibu, kalau mba harus jujur mengungkapkannya, karena jujur anak tengah ibu ini nampak makin lama makin sakit jika terlalu lama dipendam dan menumpuk. Yap, sakit, mulai pupus, menyerah dgn faktanya yg seperti itu. Kita sama sama saling olahrasa ya buk, lapanghati dan lapang pikiran sebelum nantinya anak tengah ibu ini dipinang seseorang (entah kapan wkwkw)
Jujur saya orang yang paling susah untuk menata kata-kata sederhana terhadap orang terdekat atau siapapun, karena itu bukan kebiasaan dan lingkungan semasa kanak-kanak tidak pernah mengajarkannya. Hanya bayang-bayang tuntutan, tekanan, dan ekspektasi.
Semakin jauh dan lama saya tinggal di perantauan membuat saya banyak belajar, bagaimana memahami karakteristik orang, memecahkan masalah, baik pribadi, keuangan , belajar, organisasi, dll ternyata ini pelajaran hidup yang tidak ada teorinya, namun berangkat dari pengalaman, nasehat-nasehat guru, kawan sahabat, dan berdiskusi dengan sejawat.
Selama bapak - ibu masih ada, sebisa mungkin kita ga menunda-nunda untuk bercengkrama, barang sebentar untuk sama sama melegakan antara kita. Karena kita tak pernah tau takdir akan membawanya kemana.
Refleksi –
Cairo, 29 Maret 2029
19 Ramadan 1445 H
9 notes · View notes
mamadkhalik · 1 year
Text
Menuju 1/4 Abad
Malam ke- 18 ramadan ini entah mengapa banyak sekali dapat refleksi.
Dari fenomena anak muda yang dewasa secara umur namun pikiranya masih ke kanak-kanakan. Ada yang egois, individualis, padahal hidup di lingkungan yang mengharuskan bersosialisasi.
Lain lagi, ada yang sudah kuliah, tapi hidup penuh dengan kesia-siaan. Ketika orang tua kerja banting tulang, mereka dengan sengaja sibuk mengejar dunia, lupa dengan segalanya.
Yang paling mengerikan lagi, saat bulan Ramadan adalah ketika waktu berbuka tiba, banyak dari mereka yang buka bersama namun sholat maghrib terlewat begitu saja.
Lebih lebih saat tarawih, cafe-cafe penuh anak muda yang asyik bersenda gurau, padahal tak jauh 500m ada masjid yang dipenuhi orang tua dan juga anak-anak.
Tapi, tulisan ini tak bermaksud untuk merasa lebih baik atau merendahkan orang lain. Hanya sekadar membagikan realita yang nyata adanya dan sebagian besar lebih memilih mengabaikanya.
Dalam kajian-kajian mainstream pemuda yang sering kita ikuti, selalu dijelaskan bahwa pemuda adalah pilar kebangkitan dan ketika ingin menghancurkan sebuah generasi, rusaklah para pemudanya.
Saya jadi teringat sebuah pesan dari seorang senior, binalah 1 orang, selamatkan 1 orang dari jurang kemaksiatan, karena menyelamatkan 1 orang sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia.
Anggapan saya dulu, kata-kata itu hanya kiasan belaka. Namun kalau berkaca dari Siroh, menyelamatkan 1 orang yang yakin akan tauhid itu lebih berarti dibanding membunuh banyak musuh. Dan kita juga tahu, dari orang-orang yang terselamatkan inilah yang nantinya akan mendukung dakwah Islam, menjadi pembelanya yang paling kokoh.
Menuju 1/4 abad ini, masih merasa banyak kurangnya, masih perlu belajar lagi, mencari sebanyak-banyaknya hikmah, untuk menjadi sebenar-benarnya manusia, yang bermanfaat bagi sesama juga mendapatkan RidhoNya.
Tumblr media
32 notes · View notes
yasmijn · 1 year
Text
Day 26-30
Aduh sekalian aja lah ya sampe day 30  😭😭😭😭 agak melenceng dari esensi challenge ini tapi yaudah at least I’m finishing it. 
Day 26 - Write a letter to yourself, reflecting on your spiritual growth during Ramadan
Again, ku gak suka writing a public letter (to my own self, on top of all that), jadi aku akan tulis refleksi general aja. 
Satu hal yang w syukuri dari proses adulting dan menua ini adalah rasa nyaman w untuk beragama. Sempet sih kepikiran, apakah waktu aku dapet kesempatan untuk kuliah di Eropa aku akan diverting away from Islam atau punya pertanyaan-pertanyaan kritis tentang agama? Tapi kayanya foundation agamaku udah cukup kuat haha... jadi nggak kayak binatang lepas kandang juga gitu untuk melakukan hal-hal yang dilarang. Pertanyaan kritis, iya tentu saja, apalagi karena w banyak diskusi juga sama orang-orang asing nonmuslim yang genuinely curious aja gitu tentang Islam. Tapi w bersyukur karena w selalu menemukan jawaban yang melegakan, menenangkan - jadi ya memang semakin yakin aja bahwa memang Islam adalah the true one religion. Not necessarily saat bulan Ramadan sih... spiritual growth is a lifelong journey.
Day 27 - Write a reflection on how Ramadan has impacted your relationship with Allah
I would like to say that I am closer to Him but I don’t think I have given Him my best in and out of Ramadan... I know that He knows everything so I just hope that He can give me more time in trying to become a better person. 
Day 28 - Discuss the importance of patience and perseverance during Ramadan
Ramadan tu lebih jadi kaya wahana training gitu ga sih. Bisa ga nih selama 30 hari konsisten menjadi manusia yang lebih sabar, lebih persevere, lebih taat, lebih menahan diri, lebih baik aja gitu. Sabar di Ramadan itu lebih keliatan hilal akhirnya. Laper mau makan? Sabar 2 jam lagi udah Magrib. Aduh capek taraweh terus tiap malem? Sabar, 2 minggu lagi Ramadan beres (hanya contoh). Aduh emosi banget? Sabar, nanti abis Lebaran bisa dilanjut emosinya (dan mudah-mudahan udah luntur jadi udah lupa kenapa waktu itu emosi). 
Day 29 - Write a story about a person who overcomes a personal challenge during Ramadan
Mau menukil kisahnya Rasulullah aja deh, nggak dalam kapasitas diri ini untuk menulis kisah-kisah teladan. Ada tiga peristiwa besar yang dialami oleh Nabi Muhammad saw: (1) Penerimaan wahyu pertama dari Allah swt melalui Malaikat Jibril, (2) Pasukan Rasulullah memenangkan Perang Badar, dan (3) Rasulullah melakukan pembebasan Kota Mekkah dari kafir Quraisy.
If Rasulullah saw could receive the first ever revelation, won a big war, and freed a city, then we could certainly hold back our hunger and thirst for 30 days. 
Day 30 - Write a reflection on the blessings of Ramadan and how they inspire gratitude
Nikmat berkumpul dengan keluarga, berkumpul dengan teman-teman, nikmat harta untuk bisa beli makanan yang ingin dibeli, nikmat makan dan minum setelah berlapar-lapar seharian, untuk bisa bersedekah dan berbagi, untuk bisa menjalankan puasa di negara mayoritas muslim lagi. Menurutku selalu ada hal yang bisa disyukuri, sekecil apapun itu, dan Ramadan itu memberikan kesempatan bagi kita untuk bisa lebih sadar akan nikmat-nikmat yang tak pernah luput diberikan-Nya.
15 notes · View notes
navisyamlikho · 1 year
Text
Tumblr media
Ramadan Terindah
Tadi malam adalah malam dengan solat tarawih terakhir. Ini adalah malam 29.
Aku biasanya suka solat berganti-ganti masjid, namun di malam terakhir Ramadan ini kuputuskan menghabiskan waktu dengan inadah di Masjid Omar, Auburn. Alasannya justru tidak umum: karena solat tarawihnya paling lama.
Bacaannya lama, satu juz per tawarih. Namun suara qori’ sang Imam betul-betul tidak ada duanya. Lembut sekali masuk ke telinga, bikin sejuk di hati.
Solat tarawih malam ke-29 pun dimulai.
Sang Imam membaca Al-Fatihah. Baru ayat pertama, tiba-tiba ia menangis sesenggukan. Menangis yang benar-benar menangis. Mungkin karena ia tahu, ini adalah malam terakhir di Ramadan kali ini ia menjadi iman tarawih. Ramadan sudah akan berpamit.
Ia meneruskan surat Fatihah dengan masih tersedu-sedu. Sungguh, ini pengalaman pertamaku bisa solat dengan imam yang menangis haru, karwna biasanya hanya bisa melihatnya melalui internet.
Surat berikutnya, sang imam membaca Al-Kafirun. Dengan masih sesenggukan.
Di situlah, entah darimana datangnya, aku begitu berat melepas Ramadan kali ini. Aku tidak rela ini menjadi ibadah tarawihku di tahun ini. Rasanya masih sungguh ingin berlama-lama.
Di situlah, untuk kali pertama, aku menangis dalam solat. Menangis sesenggukan.
Pada rokaat terakhir di solat witir, sang imam membaca qunut dan doa lainnya. Aku benar-benar menangis mengamini setiap doanya.
Seusai solat, hatiku merasa lega. Lega sekali.
Tidak ada sedikitpun rasa penyesalan karena mengurangi pekerjaan, yang menjadikanku tipis pemasukan di bulan ini (bahkan minus), guna ingin meluangkan lebih banyak waktu untuk menikmati ibadah di bulan suci ini.
Usai bubar tarawih, para jamaah banyak menyalami sang imam. Beberapa bercakap ria dan mengucap terima kasih.
Aku turut mengantre di barisan. Ikut bersalaman.
Kuucapkan “Jazakallah dor being beautiful imam. This is the best Ramadan I’ve ever experience.”
Ia menjawab “May Allah hive you better Ramadan in the future,” lalu kuaminkan dengan lirih.
Sambil berjalan pulang, menempuh 30 menit ke rumah dengan berjalan kaki, aku banyak melakukan refleksi diri.
Aku sangat bersyukur bisa menikmati Ramadan kali ini dengan sebaik-baiknya. Tentu mungkin masih jauh dari kata maksimal, namun aku sudah banyak mengusahakan hal baik terjadi di bulan ini. Alhamdulillah.
Berjalan ke masjid setiap Subuh yang dingin, melakukan i’tikaf hingga syuruq, mengaji dan melancarkan kembali hafalan Qur’an, bersedekah, hingga selalu mengusahakan tarawih di masjid. Banyak kekurangan, tapi ini ibadah yang sangat personal yang pernah kurasakan.
Entah kapan rasanya benar-benar menikmati perjalanan ke masjid. Sudah lupa.
Lalu, banyak hal baik pula datang. Diajak buka bersama dengan teman Malaysia, tarawih bersama di rumah kenalan orang Indo, mendengarkan kajian pakai bahasa Inggris yang sangat tidak membosankan, hingga masih ada orang yang peduli dengan kehadiranku di sini.
Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya Allah untuk semua pengalaman indah ini.
9 notes · View notes
syifanafisah · 1 year
Text
Gigit Lidah
Beberapa waktu lalu diundang hadir ke acara bukber teman-temannya suami. Di sana aku ketemu dengan keluarga-keluarga muda yang baru sama seperti kami, anaknya masih satu atau dua, baru mulai belajar juga tentang puasa dan lain sebagainya.
Yang membuatku jadi mikir adalah, beberapa kali dari beberapa ibu menanyakan "Asahy udah bisa puasa?" "Ikut bangun sahur juga?" "Wah, anakku belum mau nih." "Kl anakku masih susah puasa nih." Dan ucapan-ucapan serupa.
Kalau dipertemukan dengan momen seperti itu, aku memang jadinya lebih banyak gigit lidah. Seumpama aja, biar maksudnya jangan sampai memberi respons yang salah. Apalagi udah tau juga dan udah menjalaninya sendiri, motherhood journey bukanlah hal yang ecek-ecek. Kadang aku cuma bales, "Oh iya, Mbak?" "Oh gitu..." sambil manggut-manggut dan senyum. Tahan banget jangan sampe kelanjut dengan kata-kata yang membanggakan anak sendiri.
Karena who knows? Perjalanan yang sudah dilewati oleh si ibu-ibu lain 24/7 bersama anak-anaknya? Mungkin dalam beberapa hal mereka masih struggling, tp aku yakin, they have their own journey and so do I.
Minimalisir banget ngomongin pencapaian-pencapaian anak, guna menghindari ortu lain membandingkan dengan kondisinya.
Minimalisir bangetttt ngebandingin, aku aja bisa beginiin anak aku, masa kamu gak bisa? Aku juga anaknya segini, sama kok bisa juga, masa kamu nggak?
Karena duhai, perjalanan setiap Ibu berbeda. Sering banget baca, tiap anak istimewa. Mereka punya keunikan masing-masing. Bersamaan dengan itu, keberadaan mereka juga pasti membawa pembelajaran dan tantangan masing-masing bagi orangtuanya.
Note to myself. Jika tidak betul-betul dimintai saran atau komentar, sebisa mungkin untuk menjaga hati saudari kita apalagi sesama para Ibu. Sebuah refleksi di bulan Ramadan pada agenda silaturahim pertama. Emg pasti ada aja sih yang bisa diambil hikmahnya. Dan pelajaran begini mungkin baru betul tertanam juga setelah punya anak dua. Dulu-dulu aku jg sadar banyak khilafnya. Ya karena belom ngerti juga kalau membandingkan anak secara langsung atau tidak langsung itu bisa menyinggung atau bkin orangtua lain kepikiran. Tapi things to learn, yang jelas sekarang jangan sampai terulang lagi, sadar gak sadar, menyakiti dengan lisan ini.
Semoga Allah memaafkan khilaf-khilaf kita..
Selamat 4 Ramadan 1444H semuanya! ❤️
9 notes · View notes
acupofdisaster · 1 year
Text
Flash Thoughts: Ramadan Reflection
As we are about to close the Ramadan, I think writing a bit of reflection would be great as a self-reminder…
Ramadan tahun ini, aku berusaha melakukan habit baru yaitu nulis. Aku berusaha nulis hikmah yang bisa aku ambil selama Ramadan. Kebiasaan ini bagus banget karena sebelum aku tidur, aku jadi refleksi diri tentang keseharianku dan berusaha mencari sisi baik yang bisa aku ambil. Hasilnya aku jadi lebih peka terhadap hal-hal kecil dan membuat hariku ga berlalu tanpa arti. Proses untuk membuat ‘habit’ ini berjalan lumayan berat…tapi lama-lama aku menikmati karena jadi sangat bersyukur atas hariku. Bahkan ketika ga ada apa-apa yang signifikan terjadi di hari itupun, aku jadi mencari hal-hal kecil yang patut aku syukuri sih dan ternyata ketika aku melihat lebih dalam ‘hal keci’ tersebut, maknanya jadi ngena. Rencana awalnya, I would love to post it, all of them, tapi makin hari ternyata refleksiku makin personal. I am not a huge fans of sharing my personal journey in public, so I decided to keep it for myself instead but would definitely share some of them later on. 
Aku tumbuh di kelilingi lingkungan yang bilang “semakin dewasa, Ramadan makin ga berasa” dan kalimat tersebut lama-lama tertanam aja tanpa sadar di dalam diriku, terus aku jadi tumbuh menganggap ‘euphoria’ ramadan tuh akan menghilang seiring waktu dan aku mewajarkannya. Sejak 2021, memori bahagia kumulatif Ramadan yang aku punya tuh ketutup sama memori dukaku dari Ramadan 2021. Tiap aku berkaca ke Ramadan 2021, yang aku lihat cuman dukanya aja dan puncak kesendirian yang aku laluin susah payah. Dari situ aku udah yakin sih starting from my 21, as I grow older, whenever I think about Ramadan, it will always associate with loneliness and painful experience, and it will never get better until I am able to celebrate it with my family back home. 2022 kisruh dan kalut mengenai Ramadan ga berhenti, walaupun aku merayakannya di rumah, bersama keluarga, tapi mama sakit di malam pertama Ramadan, membuat keteraturan rumah kalang kabut. Dari situ aku udah yakin aja sih, Ramadan versi dewasaku akan selalu diwarnai dengan aku yang sebisa mungkin jadi tangguh dan tahan banting. Kesannya ‘euphoria’ Ramadan itu ga ada di kamus Cut versi dewasa. 
Pemikiran di atas menurutku negatif banget sih, akupun ga nyaman dengan pemahaman yang terbentuk dari pengalaman tersebut, tapi aku ga mau nyalahin cara berpikir diri pada saat itu, toh pengalaman kemarin emang mengores luka buatku. Tapi aku ga mau juga menyerah pada keadaan, apalagi menyerah karena past experience taught me so. Makanya ini jadi salah satu niat utama kenapa aku harus nulis, setiap hari, selama Ramadan. Hitung-hitung buat mengikis luka yang kebentuk karena duka dua tahun kemarin. Karena aku yakin sih, kalau aku cuman nunggu waktu yang sembuhin, ga akan kelar juga sakitnya, yang ada penglihatanku tentang 'Ramadan - bulan penuh berkah' akan terus luntur.
Setelah sebisa mungkin memberikan yang terbaik dalam menekuni kebiasaan itu, di penghujung Ramadan aku jadi punya prinsip kalau ‘euphoria’ itu emang manusia yang bentuk. Ternyata kita punya kehendak atas emosi yang kita rasakan. Kalau dalam kasusku, aku sebisa mungkin membuat ‘Ramadan vibes’ hidup dalam diriku, walaupun tanggung jawabku udah lebih berat dibanding Cut versi yang tiap sore datang TPA dan ngabuburit beli teh sisri bareng tetangganya.
Aku benar-benar merasakan proses mencari; mencari kajian yang seru selama Ramadan, mencari tempat taraweh baru yang harus aku coba, mencari cara bagaimana tanggung jawabku bisa fit-in dengan ibadah Ramadan harianku, mencari hal positif setiap harinya untuk aku tuang di tulisan harianku. Proses mencari ini yang bikin jiwaku terus merasa Ramadan hidup. Proses mencari ini yang bikin aku terus berapi-api menjalani bulan penuh berkah setiap harinya. Proses mencari ini yang bikin makna berpuasa buatku sudah bukan tentang menahan lapar seharian, tapi tentang mencari tujuan dan meluruskan niat, setiap harinya. Dan dari semua proses mencari itu, aku merasa mencari hal yang perlu disyukuri setiap harinya adalah yang paling menguatkan. Niat awalku memang cuman mencari hal kecil yang bisa aku abadikan ditulisanku, tapi ada titik di mana Ramadan terasa melelahkan dan pas aku mencoba untuk menutup hari dengan nulis, yang aku rasakan malah rasa syukur yang melimpah karena ternyata banyak hal kecil yang membuat ibadahku terasa mudah (padahal aku ga sadar pas itu terjadi). Menulis jadi membantuku untuk refleksi diri, refleksi diri mendekatkan aku pada rasa syukur, rasa syukur memudahkan aku untuk mengimani sifat Allah, Al-Wadud, the affectionate. Ibadah yang membuat aku semakin dekat dengan penciptaku ternyata datang dari kebiasaan kecil seperti ini. 
Aku jadi sadar sih, mungkin kita tidak lagi bisa merasakan atmosfer Ramadan yang hangat ketika kita tumbuh dewasa karena tanggung jawab kita yang semakin bertambah atau karena keadaan yang menuntut kita, tapi bukan berarti suasana Ramadan yang hangat itu hilang sepenuhnya. Mungkin memang kita harus mencari dan terus mencari. Sama halnya dengan mencari tujuan hidup? kadang aku merasa apa yang membuat aku bertahan dan melangkah sejauh ini karena  I have purpose in life. I have ultimate goals and I would love and willing to try my best to achieve it. Mungkin konsep menghidupkan atmosfer Ramadan sama dengan itu dan itu sepenuhnya tanggung jawab kita, kita punya kontrol terhadap emosi atau vibes apa yang ingin kita bawa selama Ramadan. Sama halnya dengan menentukan tujuan hidup dan manfaat apa yang ingin kita tebarkan di lingkungan, semuanya personalised tergantung tujuan apa yang ingin kita bawa. Tergantung intensi awal kita.
Terlepas dari proses mencari yang punya peran penting di sini, aku sadar juga betapa komunitas dan lingkungan sangat membantuku menemukan atmosfer Ramadan yang aku cari. Aku cukup percaya betapa kita sebagai manusia selalu punya kehendak atas apa yang kita rasakan dan juga kemampuan untuk menyalamatkan diri dan berdiri di atas kaki sendiri, tapi berada di tengah komunitas dan lingkungan yang tepat ternyata sangat sangat memudahkan...
Aku rasa menjaga kehangatan Ramadan yang aku bangun susah payah sampai hari ke-30 akan terasa sangat berat kalau aku tidak tinggal di suburb yang mayoritas orang muslim. Alhamdulillah sekali sih rumahku di Sydney dekat masjid, dekat Ramadan market, aku punya teman-teman yang ikut menghidupkan pengalaman spritualku di sini. Ramadan taught me how powerful the community are. Aku terharu betapa komunitas dan lingkungan yang suportif dalam hal spiritualku bisa ku temukan ketika aku lagi di Sydney, yang mayoritas penduduknyapun bukan muslim. Hal yang lagi-lagi di luar kehendakku dan kesannya ga mungkin aku temui - I once believed that I would never have proper Ramadan if I keep staying here, tapi entah kenapa proses mencariku dimudahkan dengan keberadaan komunitas dan lingkungan di sekitarku. Alhamdulillah for everything, always.
Kesimpulan, aku sangat mensyukuri proses pencarianku untuk menghidupi Ramadan kali ini. Niat awalku cuman satu, untuk menyembunyikan duka yang aku rasakan dua tahun ke belakang, tapi dalam prosesnya Tuhan mempertemukanku tidak hanya dengan luka yang sembuh, tapi prinsip dan cara berpikir yang baru. 
“For indeed, with hardship [will be] ease. Indeed, with hardship [will be] ease. So when you have finished [your duties], then stand up [for worship]. And to your Lord direct [your] longing.” [94:5-8]
Aku berdoa, semoga setiap aku terpuruk atau menemukan kesulitan, aku selalu diberikan kekuatan untuk bergerak dan mencari; entah itu mencari jalan keluar atau mencari cara kembali ke intensi awalku, yaitu menuju-Nya.
Selamat merayakan hari kemenangan! May Allah accept all our efforts during this blessed month and continue to preserve us after Ramadan.
Semoga Tuhan membersamai. 
3 notes · View notes
ulfarodia · 1 year
Text
Tumblr media
Beberapa waktu terakhir, sempet kepikiran sesuatu. Pengen meet up atau ada momen ketemu sama temen sekolah gitu. Cuma mikir lagi "eh tapi kayanya udah pada sibuk deh, bahkan grup eskul aja gada bahasan buat ngadain bukber atau semacamnya. Grup angkatan sekolah aja, yang diniatin mau ada bukber eh...gajadi kayanya sih.", jadi yaudah. Saya mikir lagi, kayanya emang udah sebeda itu yaa jalan hidup dan kesibukannya, nggak usah nyari-nyari yang nggak ada. Bukber di luar, yang terbatas di temen-temen komunitas dan di lembaga sudah cukup. Saatnya fokus ke urusan sendiri, fokus mendulang pahala Ramadan tanpa kepikiran bukber-bukberan lagi.
Terus, akhirnya grup yang udah lama ga aktif tetiba aktif. Grup kelas 9 dulu. Yaa isinya ngajak bukber, tadinya pertengahan Ramadan tapi ternyata dikit yang bisa, akhirnya digeser ke waktu-waktu sebelum Idulfitri. Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga, setelah saya yang kurang lebih hmm tiga atau empat tahunan belum bisa ikut karena beragam sebab.
Yaa isinya nggak jauh beda, tetap ceng-cengan wkwk dan yang agak beda sih nyimak cerita soal beberapa temen yang berkesempatan umroh atau cerita soal temen yang kehilangan anggota keluarganya karena sakit & ada juga karena kecelakaan. Bagian nyimak cerita yang ini, bikin saya mikir & bener-bener refleksi soal kondisi keimanan saya gitu.
Misal, soal pergi umroh, kita kadang ga yakin kalau Allah tuh bisa aja ngasih 'nasib' ke kita buat berangkat. Nggak mesti selalu ada uang banyak, ada aja jalan yang nggak diduga. Atau pas di Tanah Suci, ada kejadian-kejadian yang kalo dipikir itu di luar nalar manusia banget, cuma bisa "masyaAllah masyaAllah".
Terus, soal kejadian kehilangan anggota keluarga tadi, diingetin soal... tingkatan penerimaan atas kejadian yang mungkin sebagian besar nggak mengenakan, bikin sedih, susah, atau semacamnya. Gimana kita bisa sabar, terus naik setingkat jadi ikhlas, dan naik lagi udah ke dalam level ridha sama apa yang Allah gariskan buat hidup kita. Sadar kalau ternyata semua yang ada pada kita itu titipan, segimana pun jumlahnya; sedikit atau banyak.
Terus sebelum pulang, diingetin juga, emang sih nadanya becanda gitu lah ya...ada temen yang bilang "gue mau umroh deh, akhir tahun tapi, kaya gue belum siap tapi pengen gitu." Terus direspon gini sama temen yang lainnya "emang yakin bakal sampe umurnya?".
Ya Allah 😭
Pulang-pulang pas jalan, dalem hati, "itung-itung latihan nanti buat tawaf atau bolak-balik penginapan ke Masjidil Haram sama Masjid Nabawi beserta mesjid lainnya."
Yaa berdoa aja dulu yaa, apalagi masih bulan suci Ramadan. Mudah-mudahan bisa Allah panggil untuk bertamu ke rumahNya dalam waktu dekat. Aamiin
2 notes · View notes
fitryharahap · 2 months
Text
Refleksi: Tentang Kupu-kupu Mulanya.
Seluruh permukaan masih basah sisa hujan semalam, dan kabut memeluk erat pepohonan sejauh saya memandang. Sepasang kupu-kupu terbang di pucuk pohon belimbing. Seekor lain terbang di antara rimbun daun jambu, lainnya di pohon pucuk merah, dan lainnya lagi di antara putik pohon mangga. Tampak sebentar, menghilang sebentar, lalu terbang jauh entah kemana.
Musim kemarau tahun lalu saat hujan tak turun sama sekali, pikiran saya teralihkan pada kupu-kupu yang tak tampak seekor pun. Itu adalah awal saya mulai memperhatikannya. Memanggil kepercayaan silam saat saya hanya seorang bocah bahwa kemungkinan terjadinya perbedaan corak, pola warna, atau tanda-tanda pada sayap kupu-kupu meski dari spesies yang sama bukan karena faktor genetik, lingkungan, atau perkembangannya, melainkan para peri melukis mereka secara manual, sehingga inkonsistensi seringkali terjadi. Hal lain yang kemudian saya ketahui dengan pasti selain coraknya adalah kecepatan terbangnya yang ternyata bisa sangat tangkas. Saya bahkan pernah kecewa mendengar guru saya di sekolah dasar menjelaskan metamorfosisnya yang mesti melewati proses kepompong yang tampak gelap dan terkurung. Begitulah saya memikirkan kupu-kupu diantara irama khas pemakaman pagi ini.
Sebenarnya, seminggu sebelum saya pulang ke rumah Ibu, salah seorang kerabat telah berpulang. Ada bagian dari diri saya yang berduka, tapi tak bisa diuraikan. Ingatan saya tentang beliau membeku di tahun 2021 silam—terakhir kali kami bertemu—saat beliau memanggil nama saya, tertawa, dan bercanda. Bagaimana beliau setelah waktu itu adalah hal yang tak lagi bisa saya bayangkan.
Tanah dan lipat lipan daun pandan di permukaan pusara beliau bahkan masih basah. Sekali lagi, tangis saya pecah. Saya menekan kuat-kuat mata saya dengan kerudung berbahan diamond berwarna army sampai doa-doa selesai dipanjatkan. Kata "Aamiin" menjadi pangkal keikhlasan saya melepas beliau. Semoga sakitnya cukup untuk menggerus salah dan khilafnya yang pernah.
Saya sempatkan juga mampir ke makam Kakek. Sudah pernah saya ceritakan tentang beliau di tempat yang lain. Beliau berpulang tujuh tahun sebelum saya dilahirkan. Begitu pun, saya memilih mencintainya lewat kisah-kisah yang orangtua dan kerabat ceritakan.
Berpulangnya kerabat yang tak sempat saya hadiri adalah alasan utama saya berziarah bertepatan di hari raya 1445 Hijriah. Hari besar seperti ini boleh jadi moment yang tepat untuk berziarah kubur, tapi seingat saya, hampir tak pernah saya lakukan tepat di momen lebaran. Biasanya sebelum bulan Ramadan, tapi ternyata ramainya sama saja. Saya takjub sebentar. Padahal hal-hal seperti ini tak pernah saya perhatikan sebelumnya.
Setelah semuanya, saya berakhir dengan melihat-lihat pusara yang dipenuhi bunga dengan jenis dan warna yang beragam, tebal tipisnya taburan, dan besar kecilnya karangan bunga. Bunga selalu menjadi perhatian karena saya salah satu pencinta beratnya. Bunga adalah alasan utama saya mendekati makam demi makam, tapi nama lengkap dengan nasab, tanggal lahir, dan tanggal berpulang yang tertulis di setiap batu nisan menarik perhatian saya lebih dalam. "Untuk apa semua itu ditulis di sana?" saya berpikir sejenak. Ingatan manusia memudar seiring waktu. Jadilah batu nisan sebagai penanda waktu yang berhenti; tempat fisik di mana orang-orang bisa kunjungi untuk mengenang, mungkin juga merayakan. Dan pada setiap batu nisan yang saya tatap itu, ada kisah-kisah keabadian yang takkan pudar dan takkan pernah saya tahu hanya dengan menatapnya.
Langkah saya kemudian berhenti di sebuah makam seseorang yang berpulang setahun silam (2023). Makamnya penuh bunga. Lebih tua empat tahun dari saya. Melihat itu membuat saya terenyuh sejenak dan bergumam, "Wah, bunganya banyak. Makamnya rapi dan bersih. Sosoknya pasti sangat dicintai. Saat saya tiada, akankan seseorang mengingat saya seperti ini?"
Saya bergeming cukup lama disana, dan baru beranjak saat seekor kupu-kupu terbang melintas tepat di depan mata saya. Tenyata, ada banyak kupu-kupu di pemakaman. Bukan hanya satu, dua, atau lima, tapi puluhan.
Melihat banyak kupu-kupu yang terbang di antara makam, saya menyadari bahwa jika bunga-bunga itu memiliki cukup banyak nektar, mereka bisa menjadi lebih dari sekadar hiasan; mereka juga dapat menjadi sumber makanan berharga bagi kupu-kupu.
Rupanya terkadang, ada makna mendalam dalam hal-hal yang tampaknya sederhana atau sepele.
0 notes
kurniawangunadi · 5 months
Text
Ramadan #28
Dalam rangka menyelesaikan 2 tulisan di draft yang belum selesai di ramadan kemarin :) وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ ۝١٠ Kami anugerahkan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antaramu. Dia lalu berkata (sambil menyesal), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)-ku sedikit waktu lagi, aku akan dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang saleh.”
Pada malam itikaf beberapa waktu lalu, membaca ayat ini. Sebelum-sebelumnya biasa saja ketika membacanya, tapi pada malam itu menjadi amat tertarik dan menelusuri beberapa tafsir dan pembahasannya yang lebih mendalam.
Semacam ada pertanyaan di kepala, "Mengapa orang-orang ini pada saat sudah datang kematian di dirinya, ingin dihidupkan lagi untuk melakukan satu amalan dan sangat spesifik, yaitu sedekah. Bukan amalan yang lainnya?" Kebayang ga sih, ada kan amalan-amalan lain seperti haji, puasa sunah, shalat wajib dan sunah super lengkap, qiyamul lain tiap hari, dsb. Tapi ini, spesifik disebut, sedekah. Kayak, udah di alam kubur, udah mati, ketemu malaikat, berharap bisa diidupin lagi buat sedekah. Mau sedekah. Karena aku tidak bisa membahas secara lengkap di sini, teman-teman bisa membaca tafsir dan pembahasan-pembahasannya by googling. Dan ini membuatku refleksi banget, dari harta yang kumiliki, seberapa besar di porsi sedekahku. Kalau pendapatanku naik, apakah sedekahnya juga ikutan semakin besar. Kalau sedekah, apakah masih merasa berat dan perhitungan. Kalau lagi ga ada harta buat disedekain, kenapa ga sedekah yang lain seperti ilmu, tenaga, waktu, dsb? Asli bener-bener bikin mikir pada waktu itu, apa karena sedekah itu salah satu bentuk amal jariyah yang mana pahalanya akan terus mengalir meski kita telah mati? Apa karena mungkin dari 3 aspek amal yang takkan terputus yaitu ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, dan doa anak yang saleh, kemungkinan besar orang di dunia ini pasti memiliki potensi untuk bisa sedekah jariyah (karena kan ga ada batasan minimal nominal - jika berbentuk harta), sementara 2 yang lain belum tentu memiliki ilmu dan tidak semua orang memiliki rezeki anak yang saleh, punya anak mungkin, tapi apa saleh? Nangis kalau inget selama ini, masih merasa berat, penuh perhitungan waktu sedekah :(
30 notes · View notes
rifkihidayat · 6 months
Text
Tumblr media
#PUKS #28Ramadan1445H
---
#PUKS, pesan untuk kami sendiri adalah refleksi Ramadan saya dan istri. Tahun ini memasuki edisi ke-10.
Edisi-edisi sebelumnya dapat dilihat di rifkihidayatdottumbrldotcom
13 notes · View notes
beracun · 5 months
Text
Jalan-jalan di Jalan Pedang (Part II)
Tumblr media
Di penghujung Ramadan 1445 akhirnya saya berhasil mengkhatamkan Ghost of Tsushima (maafkan segala kealpaan hambamu ini, apabila ada ibadah-ibadah yang justru terlewat). 
Rasanya? Sumringah, menyenangkan, sekaligus sedih. Menyenangkan karena akhirnya saya berhasil menyelesaikan salah satu game terbaik yang pernah saya mainkan dalam hidup saya ini. Sedih karena berarti saya tidak bisa lagi mengeksplorasi Pulau Tsushima sambil berburu para Mongol. Kata Herald yang sudah lebih dahulu menamatkan game ini dan seseorang yang lebih ngulik soal jejepangan, sejarah dalam game ini tidak begitu tepat. Karena seharusnya invasi Mongol datang di waktu yang lebih lama lagi, yang pasti bukan di zaman samurai ala Jin Sakai.
Cerita dalam game ini lumayan solid dan termasuk asik untuk diikuti sehingga hampir setiap movie sequence-nya tidak saya skip dan bila saya bisa mengambil ‘hikmah’ dari game ini adalah: Tidak ada orang yang benar-benar ‘bersih’ di Tsushima. Jin Sakai sang karakter sebagai samurai yang harusnya memegang beberapa kode etik tertentu mengkhianati dirinya sendiri dengan menjadi seorang ‘hantu’ walau atas nama Tsushima harga mati. Jin akhirnya mengamini dirinya sendiri sebagai seorang ‘Ghost’ walau itu berarti harus bertentangan dengan prinsip sang paman, Lord Shimura, seorang samurai yang bersikukuh terhadap kehormatan seorang Samurai. Begitu pun dengan karakter-karakter lainnya, Lord Ishikawa yang akhirnya menghalalkan segala cara untuk bisa menangkap Tomoe, murid yang mengkhianatinya, Lady Masako yang menyimpan dendam membara untuk menuntut balas atas kematian keluarganya, Yuna yang hidup sebagai pencuri dan bandit untuk bertahan hidup. Semua punya masalah yang begitu kompleks sehingga tidak ada yang benar-benar menjadi pahlawan tanpa cela.
Menyelesaikannya di ujung Ramadan menjadi bahan refleksi tersendiri, sebagai manusia tentunya saya bukannya tanpa cela dan apakah saya bisa meng-embrace sisi hantu saya seperti yang dilakukan Jin Sakai adalah sebuah pertanyaan. Paling tidak yang saya sadari manusia adalah makhluk yang rumit, ia tidak sehitam-putih pahlawan atau setan, tapi dalam upaya-upaya mencari kebenaran, manusia harus terus berupaya di dalamnya.
0 notes