Tumgik
#pernahjadimaba
fadhila-trifani · 4 years
Text
Keluar Dari Zona Nyaman
Tumblr media
"Someday we will find what we are looking for. Or maybe not, maybe we will find something much greater than that." -Noelle Mae Lumb.
Nyaman itu jebakan. Pernah dengar istilah itukan sebelumnya?
Bagaimana tidak, 6 tahun lamanya aku terbiasa mendengar lantunan ayat suci dan perkataan lembut, dikelilingi dengan orang-orang baik, selalu hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang memperhalus budi pekerti. Pondok pesantren sangat nyaman. Tempat di mana hati terasa damai dan tentram, tak ada gadget yang membuatmu resah dengan banyaknya informasi, udarapun bersih tak ada polusi yang berarti.
Salah satu alasanku ingin mengabdi kala itu adalah: aku terlalu nyaman di pondok. Hatiku masih berat di sini. Jujur, aku sangat menyayangi tempat ini. Aku tidak siap membayangkan betapa sulitnya hidup di luar pesantren. Benakku berkata: Dunia luar kejam, kalau belum punya cukup bekal, aku berpotensi bisa terseret ke sana kemari tanpa arah.
Kita hanya berencana, Tuhan yang menentukan.
Hingga akhirnya aku mendapatkan kabar kalau aku lolos SNMPTN dengan jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Jakarta. Aku tidak merasa excited. Namun jika pilihan ini tidak aku ambil, pondok pesantren bisa kena blacklist untuk menerima SNMPTN di tahun berikutnya.
Akhirnya langkah demi langkah kujalani. Aku resmi berhenti mengabdi, namun resmi menjadi mahasiswa.
Banyak hal-hal baru yang mengejutkan. Aku banyak tidak siapnya kala itu. Mungkin ketidaksiapan merupakan kata dengan makna negatif. Tapi aku pernah mendengar kutipan "If we wait untill we are ready, we will be waiting 'till the rest of our lives."
Percayalah: selepas lulus dari pesantren dan merasakan bagaimana kehidupan sesungguhnya di luar pesantren, aku banyak merasa tidak percaya diri dan kurang kuat dengan prinsip diri. Aku telah merasakan beberapa momen di mana aku hilang kendali, patah, kehilangan harapan, dan putus asa.
Ternyata aku belum cukup kuat. Aku berada di fear zone kala itu. Aku bertanya-tanya: Siapakah aku sebenarnya? Fani seperti apa yang ingin aku bentuk? Sampai kapan harus tidak siap dengan kenyataan? Aku ingin menjadi apa di kemudian hari?
5 tahun silam aku banyak bertanya dan belajar mengenal diriku sendiri. Aku perlahan belajar bersahabat dengan diriku agar tahu ke mana harus menuju. Tantangan demi tantangan terlewati dan itulah yang membentukku sekarang.
Tidak siap bukan berarti buruk. Tidak siap nyatanya menjadi batu pertama di mana kita 'sadar' dan harus menjadi dewasa. Ternyata, ketika kita melihat ke belakang: banyak sekali hal yang sudah dipelajari, tujuanpun perlahan-lahan sudah mulai kokoh untuk diwujudkan.
Aku berterima kasih kepada Tuhan yang memberiku kesempatan belajar untuk menembus keterbatasanku. Tuhan yang senantiasa menunjukanku jalan dan membimbingku.
Dan kini, aku akan terus belajar, aku akan terus melangkah menghidupkan impian, aku akan terus mendewasakan diri seiring usia.
Keluar zona nyaman mungkin terdengar menakutkan, tetapi percayalah: di sana akan ada hal baik yang menyapa, hal yang mungkin besar dan tak pernah kamu sangka-sangka. @henniarum​ @sekotenggg​ @mathmythic​ @adhit21​ @gugunm​
20 notes · View notes
sukasenja · 4 years
Text
Hampir Salah Pita
Malamnya laman Facebook ku penuh dengan notifikasi sana-sini. 'Wow' sekali bisa jadi bagian mereka yang kata orang "dapet tiket emas". Tapi hati sendiri memang hanya bersama Tuhan diketahui. Tekadku belum bulat, kalian tau sendiri kenapa. Orang tua juga tidak memaksa harus ini harus itu, semua keputusan kembali lagi kepada, aku.
Bisa saja saat itu ku coba untuk kabur dan percaya diri mencoba SBM saja, tapi itu masalahnya, percaya diriku semakin ciut setiap harinya. Ku pikir lagi, ku cerna lagi. Hingga tiba saat aku kembali mengingat do'a ku pada Tuhan kala itu.
"Ya Allah, Henni pengen lolos di UPI aja. Pengen kuliah di Bandung. Pengen lolos SNMPTN, biar gak repotin orang tua sama tes-tes an"
Aku sebut UPI, aku sebut juga alasanku, tapi tak ku sebut Pendidikan Biologi. Alih-alih makin penasaran dengan jurusan itu, ku pindah fokus ku menjadi, coba bersyukur, berterimakasih, dan berbahagia diri. Tak semua mendapatkan kesempatan hebat ini, lantas ego harusnya tak punya tempat sama sekali di sini.
"Bimbelnya gapapa lanjutin aja Teh, itung buang kesel di rumah, udah dibayar juga kan sampe lunas", bapak bilang gitu.
Tapi sengaja tak ku lanjutkan. Memilih menikmati hari-hari libur di rumah, siapkan diri juga mental menjadi mahasiswa baru di kota Bandung. Tak sedikit juga teman yang bilang,
"Selamat ya Hen, cita-citanya kesampean deh. Kuliah di Bandung, UPI. Mantap lah, calon guru Biologi masa depan!"
Aku balas dengan senyum.
***
Tiba di hari pendaftaran ulang mahasiswa baru. Peraturannya: Memakai seragam SMA.
Berkas-berkas pendaftaran di siapkan. Satu yang belum, pita warna (karena warna pita setiap fakultas beda-beda). Waktu itu ku yakin hendak membeli pita warna yang mewakili Fakultas Ilmu Pendidikan. Aa nanya:
"Emang IPAI masuk FIP teh?"
"Iya lah, masuk apalagi coba?"
"Cek dulu, nanti salah ribet loh"
Ternyata ada di Fakultas Sosial FPIPS. Terlihat ya, betapa tak pedulinya aku dengan jurusan itu. Andai IPAI itu ada di FPMIPA, mungkin gedung yang sedikit kurangnya dibangun atas kerjasama UPI dengan Jepang, gedung yang jadi ikon anak-anak lab, gedung yang gambarnya petantang-petenteng di halaman pertama buku catatan pribadiku selama di pondok, memang akan jadi gedung yang sangat aku tunggu-tunggu mendatanginya tanpa harus lagi ku lihat draft pedoman daftar ulang itu berkali-kali. Tapi kawan maaf, semua itu adalah "andai". Bagaimana pula ilmu ketuhanan dengan ilmu laboratorium bisa berada dalam rumpun yang sama, yang kita sebut fakultas (?).
Pagi-pagi sekali aku dan teman pondok (yang kebetulan lulus SNM juga) pergi ke kampus. Berdiri diantrian. Lama-lama risih juga jadi "pusat perhatian". Gimana tidak? Yang lain putih Abu-Abu (kayak lirik lagu wkwk) aku berpatung diri dengan baju hitam putih (100% seragam pondok). Gapapa, cobaan tahap pertama dari kiai pondok sepertinya.
Beres di bagian administrasi, lanjut ke pendataan jurusan. Pikirku santai saja, paling cuma tes baca Qur'an. Di sinilah kembali ku lakukan kecerobohan yang hakiki. Kating yang mewawancara:
"Dulu di SMA aktif ikut rohis?"
"Rohis apaan ka?"
Kating senyam senyum.
Rohis? Makhluk jenis apa itu? Setelah dijelaskan ku jawab saja,
"Tidak ada rohis ka di pondok kami. Semua kegiatan disana berbasis keislaman"
Kurasa dia cukup puas. Harus dong! Kalau kamu ngerti apa yang aku maksud, harusnya kamu ngangguk, atau ketawa ketiwi karena tau kenapa saya emosi sekali menjawab pertanyaan kaka tingkat itu.
Ini baru awal, bagaimana kedepannya?
Kita liat besok...
@adhit21 @mathmythic @sekotenggg @fadhila-trifani @gugunm
11 notes · View notes
pcltlr · 4 years
Text
Pascal
Salam..
Semester baru tiba dengan segala kejutannya. Di semester ini penyesalan memilih jurusan teknik informatika mulai bermunculan. Kayaknya gw salah jurusan deh, mata kuliah apaan ini, susah amat, buset tugas apaan ini banyak beudh kayak dosa gw. Itu seenggaknya pikiran-pikiran yang selalu aja ada dikepala gw. Di semester ini ada satu mata kuliah killer pertama bagi mahasiswa informatika. Pertama? Yoi cuy baru siksaan pertama, kenapa begitu? Lu tau, mata kuliah ini setiap tahunnya penyumbang mahasiswa ngulang terbanyak se-kampus. Gw ulang, SEANTERO KAMPUS. Kurang tersesat apa gw waktu itu.
Oiya, matkul ini btw namanya "Dasar Algoritma dan Pemrograman (DAP)". Gila ga, baru dasar aja udah kayak gini, gimana lanjutannya. Apees apes. Akhirnya hari pertama praktikum tiba, gw lupa hari apa tepatnya. Dihari itu gua masih polos banget cuy, baru tau ngoding aja di mata kuliah itu. Dan asal lu tau, temen gw baaanyak yang lulusan SMK, beuh makin bikin mampus aja gw. Apa cuma gw dikelas ini yang nekat masuk jurusan ini yang backgroundnya dari pondok? Gw dipondok seringnya megang nampan ama jailin orang, nyampe sini dikasih komputer ama layar biru. Gila! Tp disitu gw mulai mencerna apa yang dibicarakan oleh dosen dengan ampun2an, dikit demi dikit, tetep susah.. ga masuk sama logika anak pondok :v. Apaan ni ngoding, mending nulis i'dad dah bodo amat walaupun dicoret mulu. Oiya, dipraktikum itu ada beberapa asisten yang bantuin kalo misal ada kebingungan dengan pelajarannya. tapi tidak membantu banyak juga buat gw wkwk.
Saat itu bahasa pemrograman yang gw pelajari sekaligus bahasa pemrograman yang pertama kali gua tau selama gw hidup, namanya PASCAL. Buset cuy, kalo lu tau, itu layar cuma biru, terus tulisannya item. YaAllaah ga beda jauh ama masa depan lu, ga jelas banget. Mau nanya malu, ga nanya kagak ngerti, karna temen gw rata-rata udah pada bisa. Lah samping gw senasib, sama-sama newbie. Tapi bener, masa-masa tersulit belajar ngoding adalah saat lu masih awam, ga tau kodingan itu jenis makhluk tuhan kayak gimana, dan lu udah terlanjur terjun kedalamnya.
Tapi untungnya karna dipondok udah dibiasakan dengan bersosialisasi, gw pun ga mau nyerah gitu aja. Gw samperin orang-orang pinter diluar jam kelas buat memperdalam tuh makhluk tuhan yang susah dipahami, yaa kira-kira sebanding susahnya kayak memahami kaum hawa kalau lagi ada maunya tapi gengsi buat ngomong :v. Allah emang begitu baik, gw dibantu diloloskan dari praktikum itu, walaupun nilainya C. Seenggaknya gw ga menyumbang nama sebagai mahasiswa ngulang di mata kuliah itu hahaha. Mau lanjut cerita, tapi masih mikir mau cerita apa, lanjutin besok kayaknya..
Sesuatu yang menyeramkan menurut orang lain mungkin benar menyeramkan. Tapi kita memiliki kemampuan masing-masing untuk menghadapinya. Percayalah bahwa kemampuan kita bisa menaklukkan hal itu.
-to be continued-
Salam hangat #darirumah
@fadhila-trifani @henniarum @sekotenggg @mathmythic @adhit21
10 notes · View notes
mathmythic · 4 years
Text
KELUAR DARI PENJARA SUCI
"Bebas.....Lepas....
Kutinggalkan saja semua beban di hatiku"
Bebas - Iwa K
Seperti itulah kira-kira rasanya lulus dari pondok pesantren selama 6 tahun. Larangan gadget sudah tidak berlaku dong. Mau sejam, dua jam, bahkan seharian juga, ya bebas dong.
Melanjutkan studi, sebenernya bukan pilihan gue sedari awal. Gagal SNMPTN membuat gue patah semangat. Kalo bukan karena mencari Rido ortu, gue udah sah dipanggil ustadz, mengabdi menjadi pengajar di pondok.
"Mah abis lulus, mau ngabdi di pondok ya"
"Mendingan nanti dlu, kuliah dlu aja, sayang setahun juga"
Ok.
Gue gambarkan kondisi gue saat itu. Dari keluarga gue belum ada yang melanjutkan sekolah sampai sarjana. It means, gue yang pertama dong. Hal itu membuat gue miskin akan informasi.
"Mau kuliah dimana?"
"Ambil jurusan apa?"
"Lanjut ke Akademi gak?"
Dan pertanyaan lainnya yang gak gue pahami pada saat itu.
Dari SNMPTN gue sudah membulatkan tekad, Pendidikan Matematika UPI. Bukan gue so' jago matematika. Bersyukur gue, dari TK hingga SMA gak benci pelajaran ini. Malah condong ke suka.
SUKA ---> MINAT ---> INGIN TAHU LEBIH
Bukan hanya gue suka matematika. Salah satu faktor lainnya adalah gue menutup mata untuk kesempatan lain. Gak ada tuh kepikiran masuk kedinasan, akademi, sekolah tinggi. Kenapa? Ya karena informasi yang gue dapat minim sekali.
Ya udah lah. Target udah ada nih, pendidikan matematika UPI, lalu apa? Setelah lulus malah gue kagak ikutan bimbel samsek. Kegiatan gue adalah menjadi guru di madrasah ibtidaiyah, mengamalkan gelar S.Pd, -Santri Pondok darqo- hehe
.
@gugunm @henniarum @sekotenggg @adhit21 @fadhila-trifani
8 notes · View notes
adhit21 · 4 years
Text
Yogya?
Ini bukan pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota Yogyakarta. Yogyakarta atau biasa disingkat jogja merupakan kota dimana ayahku melanjutkan pendidikan magisternya. Hanya saja pada saat itu usiaku masih berinjak 3 tahun. Jadi, aku tidak mengingat sama sekali kejadian itu. Di waktu lain aku mengunjungi jogja adalah ketika melakukan survey lokasi ke pondok pesantren Darussalam Gontor. Itu pun hanya sekedar “numpang nginap”.
Setibanya di jogja, aku menginap di tempat kenalan sepupuku. Lokasinya berada di jalan kaliurang KM 7,3. Aku menginap di sana kurang lebih 3 hari hingga pelaksanaan ujian tulis mandiri UIN Sunan Kalijaga. Setelah ujian mandiri itu aku melihat status salah seorang teman pondokku yang kebetulan saat itu juga berada di jogja. Yusuf Iqbal saat itu bernasib sama denganku. Belum menemukan tempat untuk melanjutkan pendidikan tingginya. Akhirnya, kami berdua mulai mencari tempat tes perguruan tinggi yang masih membuka jalur mandiri.
Salah satu yang menjadi tempat kami mengadu nasib adalah universitas islam indonesia. Dari 3 kali percobaan akhirnya keterangan lulus muncul di layar monitor. Oh iya, tes yang kami ambil adalah tes CBT (Computer Based Test) jadi keterangan lulus tidaknya bisa segera diketahui setelah tes. Tapi, tak satu pun dari kami yang mengambil tiket kelulusan itu. Pendidikan bahasa inggris memang tidak menjadi minat kami. Jadi, daripada kuliah tidak niat lebih baik ditinggalkan.
Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu pengumuman tes mandiri UIN yang ternyata meluluskan ku di jurusan teknik industri. Iqbal? Dia kembali mengadu nasib di akademi manajemen dan ilmu komputer (AMIKOM) yang sekarang telah berubah status menjadi Universitas. Sepulangnya dari tes, wajahnya tampak berseri menandakan kelulusannya di jurusan teknik informatika.
Aku memilih teknik industri bukan karena sengaja. UIN Sunan Kalijaga sendiri menyediakan dua jurusan teknik: Industri dan Informatika. Belum sempat aku mencari tahu banyak soal teknik industri, tapi karena sudah terlanjur basah kenapa tidak sekalian saja, ya kan? Apakah aku puas setelah diterima di universitas? Untuk saat ini akan ku jawab dengan “tidak”.
Lanjut besok lagi yah
@mathmythic @sekotenggg @gugunm @henniarum @fadhila-trifani
5 notes · View notes
fadhila-trifani · 4 years
Text
Ngabdi di Pondok Atau Kuliah?
Hidup ini lucu ya. Seringkali apa yang sudah kita rencanakan dengan rapi dan matang, berubah haluan karena Tuhan punya rencana lain.
Agustus 2015
Aku sudah memantapkan hati ingin mengabdi di pondok dengan menjadi ustadzah. Sudah kubicarakan baik-baik niatku ini dengan orang tua. Bahkan beberapa hari sebelum wisuda kelulusan pondok (kami menyebutnya dengan Haflah), aku berhasil mengajak 3 orang teman lainnya untuk ikutan mengabdi.
Haflahpun tiba, rasanya campur aduk. Sedih akan berpisah dengan teman-teman setelah 6 tahun bersama, serta mereka yang mewarnai hari-hari di pondok, senang atas segala asa yang telah kucapai, terharu melihat tangis bapak-mama yang pecah sambil memelukku setelah acara ceremonial haflah telah usai.
Pelan-pelan, mulai meninggalkan pondok. Tapi kenangannya menetap. Ada rasa yang sulit diartikan semacam: "Aku pergi untuk kembali. Sebentar lagi aku kembali untuk mengabdi."
September 2015
Akhirnya tiba lagi di pondok. Rasanya senang sekali, bisa mengabdi bersama dengan teman-teman. Disapanya pun berbeda: sudah bukan Ukhti Fani lagi, tapi Ustadzah Fani.
Selang 2 minggu mengabdi, tiba-tiba aku dipanggil seorang ustadzah senior, Ustadzah Rita namanya. Beliau memberi kabar kalo aku berhasil lolos seleksi SNMPTN Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.
Rasanya kaget, tapi keinginanku untuk menjadi ustadzah sama sekali nggak goyah. Sampai akhirnya beberapa ustadzah senior berkumpul dan berkata: "Fan, soal mengabdi, jika kamu ingin: kamu bisa kembali lagi setelah lulus kuliah. Tapi tiket SNMPTN nggak bisa kamu tunda. Ini kesempatan dan rejeki untuk kamu kuliah sekarang. Ambillah.. Pondok ini akan selalu terbuka kalo kamu mau kembali lagi."
April 2020
Dan sekarang: 5 tahun setelah kejadian itu, aku tumbuh menjadi seseorang yang berbeda. Banyak hal di luar rencana yang aku alami. Namun, aku sangat berterima kasih atas pengalaman 3 minggu mengabdi yang sempat aku rasakan sebelum akhirnya benar-benar merasakan dunia di luar pesantren. Mungkin suatu saat nanti, aku akan kembali mengabdi ke pondok. Namun bukan dengan cara menjadi ustadzah, ataupun peran lainnya. Aku memiliki cita-cita yang lain yang tak bisa kusebutkan di sini untuk menunjukkan pengabdianku. Bentuk terima kasihku telah disayangi selama 6 tahun lamanya, bahkan sampai saat ini. @gugunm @henniarum @sekotenggg @adhit21  @mathmythic
9 notes · View notes
sukasenja · 4 years
Text
Kayak Apa yang Pernah Temen Lama Gue Bilang, Tiap Orang Punya Timeline-nya Masing-masing
Pake "gue" biar makin kerasa gimana bar-bar nya gue di tengah para akhi dan ukhti 😗
Lu tau? Waktu gue nangis di bawah pohon cuma ada rasa marah bertubi-tubi. Kayaknya setan pohon depan fakultas gue juga ngedukung apa yang gue lakuin. Gue terima-terima aja kalau orang nilai diri gue karena emang sifat murni dari diri gue. Yang gak bisa diterima itu, kenapa harus bawa-bawa pondok gue sih WOY!
Gak tau kenapa di sana gue ngerasa ancur banget. Terlalu alay emang, tapi ya gimana? Ngehina pondok gue berarti juga ngehina guru-guru gue yang selama ini udah ngasih banyak ilmu. Nambah nyeseknya lagi adalah ketika gue tau alasan mereka ngehina pondok gue adalah karena, gue. Langsung detik itu juga mikir, apa gue perlu beneran berubah. Seenggaknya demi khidmat gue ke asatidz dan pondok tercinta? Aelah tercinta amat. Tapi emang bener.
Setelah kejadian itu, gue pantang pake style itu lagi setiap ketemu anak jurusan. Masuk kuliah? Jangan ditanya. Tapi ya, masih gue colong-colong tuh kalau gue ada acara di luar gue pake style apa adanya aja. Gak jarang juga sih gue kepergok, tapi ya easy going aja. Biar mereka terima gue sebagai, gue.
Kecemasan itu mulai menghilang seiring gulirnya waktu. Gue mulai sibuk sama berbagai aktifitas yang gak jarang mengharuskan gue malah makin tenggelam di tengah-tengah para akhi ukhti ini. Jadi ketuplak penyambutan mahasiswa baru buat adik tingkat (cielah gak kerasa udah tingkat dua ekekekek), ngonsep acara ospek jurusan sampe lima bulanan, dan sebagainya lah. Intinya gue lagi seneng banget kalau beres kuliah dikelas ada yang teriak "Hen rapat". I really enjoy it. Gak ada alasan jelas karena emang gue suka aja. Bekel di pondok yang lumayan sering gue ikut ribet-ribet ngurusin kepanitiaan marhalah ngurusin MMS tiap taun, jadi p3 (panitia pergantian pengurus) yang di ospek nya hampir kayak orang gila, ngurusin kholasoh tiap taun juga, disuruh manage paskibra cewe angkatan gue yang jadwal ngibar dua minggu sekali (lumayan mejeng wkwk) pengurus angkatan, panitia tambahan lainnya, sampe malem sebelum marhalah gue haflah aja, masih gue ngurusin surat-surat cinta buat orang tua santri. Ah luar biasa. Tapi tanpa disadari emang itu cara pondok ngajarin gue buat tetep bisa up walau di bawah tekanan yang gak manusiawi, termasuk di dunia kuliah.
Sepanjang kesibukan itu gue mulai ngerasa orang-orang udah gak masalah sama penampilan gue itu. Apalagi ngeliat gue yang seneng banget wara-wiri ngurusin kegiatan. Ya walaupun masih ada aja satu dua orang yang kayak gitu, tapi gue gak peduli.
Tahun-tahun setelahnya makin banyak yang gue rasain, khususnya tentang perubahan pola pikir dan cara pandang gue. Emang mungkin ini do'a pimpinan prodi di awal mukaku jurusan waktu gue maba yang becanda sambil bilang
"Buat kalian yang merasa salah jurusan, bersyukurlah karena kalian dijerumuskan oleh Tuhan ke jalan yang lurus"
Tapi semesta emang punya jalannya sendiri buat ngarahin penghuninya. Satu persatu rasa gak nyaman gue sama penampilan gue saat itu muncul. Ntah dari kerudung yang mulai gue pake lebih rapih dan gak di linting-linting lagi, lebih sering pake rok atau kulot, atau coba nyari baju-baju sepanjang lutut buat bisa dipadu sama jeans. Sampe gue akhirnya beraniin beli gamis (heboh satu angkatan coy gue pake gamis hahaha kampret emang) bahkan udah gk ada lagi celana jeans yang diem di lemari, gue milih ganti jadi celana bahan. Gue gak tau perubahan itu muncul sejak kapan, tapi emang kuliah yang tiap harinya ngebahas norma agama ini ya kayak di pondok, hampir tiap harinya "diceramahin" sedikit banyak mulai pengaruhin cara pikir gue. Makin ke sini nya makin mikir gue gimana kalau gue gak bisa amanah sama apa yang udah Tuhan kasih. Gimana kalau gue gak bisa jadi amal jariyah buat orang tua sama guru-guru gue dari zaman SD dulu, gimana kalau gue gak mampu ngelahirin kebaikan kedepannya. Ya tahun-tahun akhir kuliah itu emang mulai agak krisis sih hidup gue. Banyak pertanyaan sejenis yang muncul, emang mungkin karena diri juga yang masuk zona dewasa. Ntah gimana yang gue pelajarin waktu itu cuma satu, gue gak bisa ubah mereka ataupun dunia, karena satu-satunya yang bisa gue kontrol adalah diri gue sendiri. Kalaupun bukan lewat tampilan fisik gue, seenggaknya ada hal lain yg bisa mereka liat bahwa pondok gue gak pernah salah ngajarin gue.
Pada akhirnya gue cuma bisa bilang terimakasih sama Tuhan. Mungkin kalau waktu itu gue maksa minta buat jadi mahasiswa di Pendidikan Biologi diri gue makin ombang ambing. Tuhan tau gue masih butuh dibimbing makanya di masukin lagi ke jurusan yang 11,12 sama pondok gue. Mungkin juga kalau itu kejadian, gue sampe detik ini belum di wisuda dan malah jadi mahasiswa tua di kampus karena otak gue gak bisa ngejar materi mipa lainnya. Mungkin gue juga gak bisa sebebas gue bisa aktif di organisasi sana sini karena kepikiran tugas dan praktek lab yang sangat gak manusiawi itu. Mungkin juga gue gak akan pernah sadar buat apa gue hidup (gilee filsafatnya muncul wkwkwk). Ya bener lagi kata orang bijak. Kalau berdo'a itu yang detail mintanya sama Allah. Biar Allah tau kalau kamu itu sungguh-sungguh mintanya. Bukannya mau ngedikte Allah, karena emang Allah gak perlu didikte. Tuhan semesta alam emang punya jalannya sendiri buat ngajarin hambanya. Tugas kita ya mau diajar dan belajar. Emang udah jalannya kalau yang lain diuji mentalnya untuk hadapi materi kuliah dengan orang-orang baru, kalau gue diuji buat hadapi diri sendiri 😌
Haiii gak kerasa tema pertama udah beres hahha. Waktunya flashback udahan deh. Tulisan setelahnya mungkin lebih beda genre, biar gak stuck di zona aman :)
Terimakasih sudah mau membaca apa-apa yang jarang gue buka ke publik. Semoga kalian suka. The last for this theme,
"Beberapa perubahan sering kali buat manusia kaget. Tanda dia belum siap, tanda dia belum bisa terima. Tapi itu gak masalah karena tiap insan punya jatah jadi manusianya masing-masing, dan Tuhan gak pernah lupa itu. Cukup ikuti dulu mau Tuhan apa, bilang aja "Iya" dulu. Karena tanpa kita sadari Tuhan emang paling tau apa yang ngebuat hati yakin atau ragu. Dan di sana semesta mulai bekerja buat bantu kita sampai di ruang kita bisa menjelma menjadi kebermanfaatan bagi sesama. Semua hanya soal waktu"
Jadi, kalau ditanya gue pernah salah jurusan? Iya. Tapi kalau ditanya gue salah jalan/tujuan? I don't think so. Biar cita-cita gue dulu jadi dokter atau ahli biologi bisa diterusin sama orang lain, anak gue nanti? Atau murid gue? Gue bimbing mereka lewat agamanya aja :)
@fadhila-trifani @gugunm @sekotenggg @adhit21 @mathmythic
8 notes · View notes
pcltlr · 4 years
Text
Sesal.
Salaam..
Penyelasan terdalam gua ada di part ini.
Tapi sebelum kesana, gua cerita hal lain dulu. Masih ingat tentang hadits bukhari? bukan, maksud gua tentang tugas akhirnya. Gua sidang di akhir tahun 2018, dan jadi sejarah juga sih buat gua, karena apa? karena gua yang lulus dengan jalur sidang TA pertama diangkatan gua. Padahal waktu itu, angkatan gua masih ga boleh ikut sidang emang karena bukan jadwalnya. Lah kok bisa? iya, dosen pembimbing gua, beliau nyuruh gua buat daftar sidang bulan desember 2018 (lewat jalur khusus dong daftarnya :v), gua kaget banget, karena emang itu masih jadwal sidangnya angkatan kakak tingkat gua haha. dan sampe hari ini juga gua ga tau alasannya kenapa gua disuruh sidang desember, padahal sidang bulan januari juga ada (buat angkatan gua). Dengan segala revisinya, akhirnya gua sidang yudisium kalau ga salah tanggal 8 Januari 2019. Tanggal bersejarah, karena sebenarnya itulah tanggal resmi lu jadi alumni di perguruan tinggi, bukan tanggal pas wisuda wkwkwk.
Sekitar bulan juli 2019, gua main ke Bandung buat refreshing, mengunjungi sahabat gua yang masih menjalankan kuliahnya (yang gua sebut di eps.1/#odp1). Masih ingat orang yang waktu itu ketemu di depan gerbang pas mau pendaftaran ulang diawal masuk kuliah? iya, kami dulu sempet ngontrak bareng dipertengahan kuliah, karena timeline kuliah kami berbeda, jadi kami memutuskan untuk tidak satu kontrakan lagi. Oiya, btw gua ke Bandung karena lagi ada di fase mencari tempat kerja yang baru, sebelumya (setelah sidang yudisium) gua sempet kerja 3 bulan di salah satu startup di Jakarta. Karena bosen dirumah aja, akhirnya gua mutusin buat main ke Bandung.
Agak flashback dikit pas masa-masa bimbingan tugas akhir, dulu dosen pembimbing gua sempet ngajak buat lanjut studi dikampus yang sama, sembari penelitian gitu. Ngga tau alasannya kenapa, orang yang entah tugas akhirnya pun tanpa persiapan diajak lanjut studi. Tapi ternyata ceritanya nyambung, Allah begitu baik, semuanya memang telah di tulis oleh-Nya, skenario terindah untuk setiap hamba-Nya. Entah bagaimana ceritanya, gua ada di hari jum'at ketika lagi di Bandung. Gua keliling kampus dan ketemu sahabat gua, dia baru selesai bimbingan tugas akhirnya kalau gak salah. Di persimpangan jalan, gua bilang buat shalat jum'at dideket kosan temen gua aja, sekalian ketemu karena udah lama ga ketemu. Tapi entah gimana ceritanya, gua akhirnya mutusin buat shalat jumat bareng dia di mesjid kampus.
Akhirnya kami shalat bareng di masjid kampus. Karena kami shalatnya tidak bersebelahan, akhirnya setelah shalat gua keluar masjid sendirian buat langsung ke kosan temen gua yang tadi gua sebut. Lu tau? pas keluar pintu masjid, tiba-tiba gua ketemu sama dosen pembimbing gua cuy. Beliau ternyata masih ingat sama gua, kira-kira gini.
"Ehh gugun, apa kabar? dimana sekarang?" sapa beliau
"Alhamdulillah sehat Pak, lagi dirumah aja pak nunggu panggilan kerja. Bapak apa kabar?" jawab gua seraya bertanya balik.
"Baik juga Alhamdulillah, gimana.. mau ga kalau lanjut studi lagi?" tanyanya,
what? gua cuma bisa mikir keras sambil ngebatin.. yaAllaah, sekenario mana yang Kau turunkan saat ini di depan hamba, sebegitu kagetnya gua saat itu. Ajakannya masih sama seperti dulu gua pas masa-masa bimbingan. Ga mungkin juga kan gua langsung memutuskan, gila cuy ini bukan keputusan mudah, karena gua suka nonton youtube politisi-politisi yang diundang di talkshow seperti di Mata Najwa dan ILC, ada terpatri untuk mencoba bahasa-bahasa diplomatis yang gua pelajari dari para politisi tersebut :v. Akhirnya jawaban diplomatis itu keluar dari gua.
"Terimakasih pak, tapi nanti saya pikirkan dulu pak, sambil tanya sama orang tua dulu juga.. insyaAllah saya kabarin Bapak lagi." jawab gua sembari tersenyum :)
"Okay kalau begitu, jangan lupa kabari ya kalau sudah ada keputusan." pungkas beliau.
Setelah itu kami berpisah. Singkat cerita gua meminta arahan dan bimbingan untuk memutuskan hal ini ke orang terdekat serta orang tua gua. Keputusan akhirnya adalah gua memilih untuk melanjutkan studi, kembali lagi ke almamater tercintaah dengan jurusan yang sama wkwk.
Di masa-masa S2 gua, temen pondok gua yang kuliah di mesir lagi libur dan datang ke Bandung buat main. Yang inti ceritanya adalah bahwa biaya kuliah di mesir lebih ringan daripada di kampus gua. Deg, langsung gua nyalahin diri sendiri dalam hati. Kenapa dulu pas lulus dari pondok ga kesana aja, kenapa dulu terlalu dangkal mencari alasan untuk kuliah di bidang ini, dan kenapa kenapa yang lainnya. Sebenernya jujur gua ga terlalu bodoh juga sama bahasa arab, dan bahkah gua lebih menyukai pelajaran bahasa arab daripada pelajaran umum seperti keluarga IPA dan IPS. Dulu sebenernya juga gua pernah ada rencana buat lanjut studi kesana sehabis mondok, tapi dulu kayaknya ngewujudin keinginan itu cuma mimpi buat orang kayak gua. Andai waktu bisa diulang, ah tapi rasanya ga akan pernah terjadi, yang tersisa cuma penyesalan terdalam yang gua lakukan di 5 tahun lalu. Semoga lu yang baca ini ga ngelakuin hal bodoh itu. Tapi tak apa, nasi sudah menjadi bubur yang ga akan pernah menjadi nasi lagi. Tinggal bagaimana gua ngolah bubur ini menjadi bubur terbaik dan bermanfaat untuk orang lain.
Thank you sudah membaca panjang lebar cerita tentang masa kuliah gua di eps. terakhir ini.
Kita mungkin pernah merasa menyesal atas keputusan yang pernah diambil di masa lalu. Tapi kita juga tidak bisa menjamin jalan mana yang akan membuat kita bahagia, ingatlah bahwa semua ini telah Allah tuliskan untuk kita, skenario terindah.
Semoga kita bahagia,
Salaam terhangat #darirumah
@sekotenggg @mathmythic @adhit21 @fadhila-trifani @henniarum
6 notes · View notes
sukasenja · 4 years
Text
Label Mulia
Agustus-Desember 2015
Hari pertama masuk kuliah setelah satu minggu ditempa hingar bingar ospek universitas, kami menyebutnya MOKAKU UPI. Beruntungnya aku, ada dua teman lama di pondok yang ternyata memang ditakdirkan melanjutkan kuliah satu jurusan denganku. Senang sekali karena masa-masa sulit pengenalan pertama dengan dunia kuliah itu akan bergantian dengan keseruan wara-wiri kami selanjutnya.
Hari pertama kuliah ini, tidak ada kuliah. Kami dikumpulkan dalam satu ruangan yang aku lupa kalau itu sudah ber-AC atau belum. Yang pasti hari itu adalah hari pertama kami, satu angkatan bisa saling kenal. Angkatan yang selanjutnya senang sekali dengan jalan-jalan/touring.
Singkatnya, aku yang jiwa ekstrovert nya lebih dominan ini tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan orang-orang baru. Bahkan di hari pertama itu, aku sengaja berkeliling ruangan untuk mencatat satu-satu nama teman baruku. Terlalu rajin memang. Ku jalani hari-hari berikutnya dengan tanpa beban. Oh jelas,, Hampir tiap minggu sengaja kami (aku dan teman 'geng'ku) sengaja wara-wiri ke setiap tempat yang ada di list akun "destinasi wisata Bandung". Materi kuliah? Ayolah, enam tahun di pondok benar-benar tiket emas bagiku kala itu (ingin rasanya menyombongkan diri hehe). Yang justru tanpa disadari semakin hari semakin ia menjelma menjadi bumerang, bahkan bola api, bagi diriku sendiri.
Banyak yang bilang bahwa itu adalah sebuah anugerah. Tak perlu berpikir terlalu sulit di bangku kuliah, karena semuanya sudah di lahap habis sejak di pondok dulu. Minggu-minggu pertama tidak ada masalah, dan justru karena itu aku mulai banyak dekat dengan orang-orang. Terlebih bila ada yang merasa kesulitan memahami ilmu-ilmu dasar nahwu, sharaf dan Bahasa Arab, tak jarang aku di panggil hingga ke sebrang kelas. Masalahnya adalah kian lama rasa risih itu kian hadir. Kala ada satu hal yang terlihat "tak seharusnya" muncul dari diri yang beratnya tak jua lebih dari 45 kg kala itu. Orang-orang baru itu mulai memasang "label" yang terlalu mulia bagi kami, orang-orang lulusan pesantren. Menurut mereka, segala ucapan, prilaku, bahkan pola pikir, harusnya jadi yang utama, hingga layak ditempatkan sebagai "contoh" bagi yang lain. Khususnya di jurusan yang memang kerap kali berurusan dengan serba-serbi per-akhirat-an ini.
Cobaan pertama datang saat beberapa teman baru yang ku kenal lewat grup online daftar ulang kala itu, mulai menjauh satu persatu. Aneh rasanya, namun belakangan aku tau alasan mereka, kami lulusan pondok tak bisa masuk ke zona mereka. Ntah orang-orang itu yang merasa insecure dengan kami yang lulusan pesantren, atau sebaliknya. Benar adanya, karena itu benar terjadi sesaat setelah mereka tau identitas kami yang sebenarnya. Masih ku anggap hal itu menjadi hal yang tidak cukup penting untuk dipikirkan. Karena mungkin baik mereka, ataupun kami hanya butuh waktu untuk sama-sama mengenal hingga memahami.
Cobaan kedua hadir justru dari kalangan mereka yang sesama lulusan pesantren. Bisa dibilang jurusanku itu jadi ajang saling unjuk diri dari mana masing-masing berasal. Untuk mata kuliah dan debat intelektual di kelas memang tak ada masalah, karena sesama kami bisa saling mengimbangi. Tapi justru di luar kelas. Kembali, ku ingatkan tentang pandangan mereka yang terlalu cepat menyematkan lebel "mulia" di tiap-tiap jidat kami lah yang justru kami rasa saat itu sebagai cobaan terberat.
Baiklah, mari berbicara tentang diri ini sendiri dengan segala kekurangannya. Sejak di pondok dulu, memang aku bukan termasuk orang-orang yang punya pendirian kuat dalam berpakaian. Dengan lingkungan keluarga yang juga pemahaman agamanya tidak setinggi para ajengan/kiai, aku terbiasa dan tumbuh dengan pemahaman agama seadanya, umum sekali. Terlebih, keinginan masa remaja yang selalu ingin merasa bagaimana rasanya jadi mahasiswa seperti yang ada di acara-acara televisi. Memakai baju sopan, kerudung model simple, tentunya masih menggunakan celana panjang bahan jeans (agar terlihat modis). Jujur saja, itu hal yang sangat menyemangati diri ini untuk bisa segera hadir di bangku universitas. Tapi ternyata, dengan jurusan yang ku ambil saat itu semua sulit sekali direalisasikan. Tak jarang jika ada dari kami yang menggunakan style itu ke kelas, beberapa dosen yang "fanatik" meminta dengan hormat untuk kami meninggalkan kelas. Maka mulai saat itu, aku berusaha untuk bisa beradaptasi dan menerima keputusan dan kebijakan jurusan atas norma yang memang harus bisa dipahami ini.
"Ya gapapa lah, masuk kelas doang kan. Main masih bisa pake style gitu", pikirku ringan.
Ternyata tak seringan itu kawan. Sudah ku bilang angkatan ku saat itu menjadi angkatan yang senang sekali berkumpul bersama membuat acara dan sebagainya. Maka tak jarang aku pribadi menggunakan style yang aku nyaman dengan itu. Beberapa kali memang ada dari mereka yang sedikit risih dan tunjukkan ketidaksukaan mereka. Bisa ku tebak mungkin dalam kepalanya banyak bisikan kemarahan
"KAMU TUH ANAK PONDOK PESANTREN, SEKARANG KULIAH DI JURUSAN AGAMA. HARUSNYA BERPAKAIAN SOPAN DONG. MENUTUP AURAT BERDASARKAN SYARIAH. KERUDUNG PANJANG DAN ROK/GAMIS. KAMU TUH KOQ GAK BISA JADI TELADAN SIH".
Ketidaknyamanan itu sempat ku bagi dengan beberapa teman dekat. Tapi kami sering kali menyimpulkan, toh memang ini kita apa adanya. Segini juga sopan dan menutup aurat, tapi memang jauh sekali dari ekspektasi mereka yang terlampau tinggi pada kita. Kami simpulkan, tak terlalu ambil pusing. Karena bagi kami lebih baik perubahan itu ada memang karena hati yang menginginkan, bukan perkataan atau bahkan penilaian orang lain.
Upaya menenangkan diri sendiri itu terus mengalir hingga satu waktu Tuhan berhenti menghitung. Hari itu kami bersiap untuk acara ngaliweut di salah satu rumah rekan angkatan kami. Seperti biasa kami saling tunggu di fakultas. Hari itu mungkin memang salahku mengenakan celana jeans dengan warna lebih terang dari biasanya dan atasan rajut serta kerudung yang dipakai layaknya anak SMA di luar (kebayang ya). Memang hari itu aku setengah hati ikut acara, selain karena tak ada baju yang 'cocok', badan ku pun sedikit meriang. Tapi rasa tak enak ku pada rekan yang lain, maka aku paksa diriku. Agak telat hadir hingga saat tiba di Fakultas, beberapa orang terlihat sinis. Sekali lagi mungkin memang salah ku hari itu. Hingga ada seorang dari mereka yang menyindir ku secara terang-terangan dan sempat menyindir pondokku. Aku maklum karena dia juga memang berasal dari suatu pesantren salafi modern, dia seorang laki-laki. Dengan hati yang terbiasa sensitif, aku memilih menyingkirkan diri sejenak dari tempat itu. Ada rasa perih yang gak bisa digambarkan. 'Nyesek' banget denger pondok mendapat nilai buruk dari orang lain karena bersanding dengan agennya yang lemah iman ini. Aku melangkah keluar gedung fakultas lalu memilih terjongkok di bawah pohon, menangis.
Lanjut besok ya :)
@sekotenggg @fadhila-trifani @gugunm @adhit21 @mathmythic
6 notes · View notes
mathmythic · 4 years
Text
DIARI PERTAMA KU
Menulis diary identik dengan kegiatan cewek. Padahal buku diary adalah tempat curhat yang paling aman, setidaknya dibandingkan media sosial
Dari SD gw udah suka nulis, hmm atau bisa lebih disebut corat-coret. Biasanya sih gw pake di halaman belakang. Dari sanalah gw mulai mempunyai dunia sendiri yang aktif ketika gw melamun
Lulus SD gw lanjut ke pondok pesantren, bukan SMP. Jadi kalo orang ditanya,
"lu kelas berapa? Kelas 7"
Kita bilang kelas 1
Salah satu kegiatan di pondok adalah mengaji bersama guru ngaji masing-masing, setelah shalat magrib. Guru ngaji gw namanya Vicko, biasa dipanggil akh Vicko. Beliau menjabat sebagai Ketua ISMI atau setara dengan Ketua OSIS. Gw bersama 3 teman gw, salah satunya @adhit21 bersama-sama belajar mengaji guna menggapai Ridho Ilahi. MANTAP
Mulai lah kami rutin menulis diary. Sampai sekarang, gw nulis cerita ini, ada sekitar 3-4 buku diary yang gw punya
"Nanti kalian bikin buku diary ya, tiap hari nanti sama al-akh (kakak) baca"
DIPAKSA --> "SERU YA" --> TERBIASA --> BOSEN
Yup. Udah lama gw berhenti nulis diary. Bosen. Semakin berumur kayaknya semakin "nothing special"
Tapi kadang ada sih kejadian yang bagus yang kemudian gw tulis dalam diary
Ada momen dimana ketika pengurus ISMI akan HAFLAH (WISUDA), gw meminta tanda tangan semua pengurus di buku diary gw
Sampe gue sering ditanya,
"Ente ngelanggar apa emang?"
Hah? Gw cuman sekedar pengen koleksi aja padahal, ternyata yang gw lakuin pernah menjadi salah satu opsi hukuman untuk para pelanggar
GILE, GUE VISIONER BRO
Tumblr media
.
@gugunm @henniarum @adhit21 @sekotenggg @fadhila-trifani
6 notes · View notes
sukasenja · 4 years
Text
Emang Mau jadi Guru PAI?
Juni-Juli, 2015
Hidup jadi santri di salah satu pondok pesantren modern itu cukup menantang kawan. Tidak ada hp, penggunaan laptop dibatas waktu, beberapa source internet juga di block, jadi ya gak bisa akses sebebas itu. Imbasnya, agak sedikit ngap-ngap an berusaha cari info jurusan dan univ yang dipengen nantinya. Untuk bedakan apa itu jalur undangan, tes, dan mandiri saja harus bolak-balik ke bagian konseling. Apalagi pada zamannya, pondok saat itu masih dalam tahap pertumbuhan memperbaiki informasi studi karir, seperti beasiswa, layanan konseling, rekam jejak alumni, dan sebagainya. Maka untuk bisa dapat informasi yang optimal, harus dari dua arah. Itu berarti diri sendiri juga yang harus pro aktif bertanya sebanyak-banyaknya. Konselor, guru, bahkan teman.
Aku yang sejak kelas 4 (satu SMA) sudah mengazamkan diri untuk melanjutkan studi ke Kota Bandung mulai mewanti-wanti pilihan universitas juga jurusan. Ketakutan tak bisa lolos di UPI nanti, ku lirik Universitas Padjadjaran jurusan Biologi murni. UPI-Pendidikan Biologi ku simpan di urutan pertama, lalu UNPAD-Biologi murni di urutan kedua. Pintar sekali bukan? Ayolah jawab iya. Maklum waktu itu belum begitu fasih tentang reting universitas. Hingga di penghujung masa pendaftaran jalur undangan (saat itu kami menyebutnya SNMPTN), seorang teman dekat memberitahu kalau reting universitas pilihan bisa mempengaruhi kelulusan SNMPTN. Ditambah lagi informasi dari konselor yang bilang kalau hanya ada kesempatan memilih maksimal 2 univ dengan total 3 jurusan, satu univ WAJIB universitas negeri yang ada di provinsi asal. Itu berarti aku harus membuang satu kesempatan pemilihan univ di Bandung untuk diganti dengan Universitas yang sungguh tak pernah ada listnya dalam hidupku, Universitas Sultan Agung Tirtayasa (UNTIRTA). The one and only kampus negeri di provinsi ku, Banten.
Putar otak aku bagaimana caranya kesempatan sempit itu tetap bisa digunakan semaksimal mungkin. Maka mulailah surat2 beterbangan. Surat yang berisi kebingunganku tentang pemilihan jurusan dan univ pada beberapa teman yang ku percaya, intinya ku minta pendapat mereka (kalau di antara kalian ada yang merasa pernah ku repotkan dulu, berbahagialah wwkwk, aku masih ingat kalian :). Seorang teman bilang:
"Harus milih Hen, mau pertahanin jurusannya, atau mau univnya?"
Seorang teman lain bilang:
"Kita tuh dari pondok, jadi lebih aman ambil PAI aja daripada PGSD, PGSD juga passing grade nya tinggi di UPI, PAI masih newbie. Kita dari pondok, insya Allah aman"
FYI guys, posisi pertama masih dipegang UPI Pendidikan Biologi, posisi ketiga sudah jelas UNTIRTA Pendidikan Biologi, posisi kedua, masih gelap otakku, tapi yang pasti harus di UPI.
Tiba hari pendaftaran SNMPTN, di depan komputer saat itu mulutku komat-kamit. Tak mau lewatkan kesempatan berharga seleksi gratis masuk univ ini, karena tau finansial keluarga ku tak cukup banyak untuk bisa biayai mobilitas nantinya kalau aku harus bolak-balik tes SBM hingga seleksi mandiri di univ-univ lainnya. Di luar itu, mentalku juga tidak cukup kuat jika ada di posisi itu nampaknya, FYI again aku punya semangat juang yang gampang naik tapi juga gampang turun, masuk ke jurang. Dan terlebih, aku tau kapasitas diri ku yang semakin dekat kelulusan SMA ini nilai IPA nya semakin meroket, ke bawah. Kecuali, Biologi tentunya :)
Kekhawatiran itu masih terus muncul hingga akhirnya aku tetap meminta kepada umi dan bapak untuk tetap mencarikan tempat les bimbel guna membantuku dalam menyelaraskan ilmu-ilmu IPA juga siapkan diri menghadapi tes seleksi masuk universitas yang luar biasa heboh itu.
Singkat cerita, hari ketiga setelah hari kelulusan ku di pondok, jadwal hari perdana masuk les bimbel itu sudah ada. Hari-hari yang harusnya masih jadi hari bersantai-santai ria (FYI again, lulus pondok itu harus ngelewatin berlapis-lapis ujian guys! I would like to tell it soon). Belum lagi perjuangan itu harus dilewati seorang diri, tak ada teman pondok di sekitar rumahku. Parahnya lagi, aku terlalu rajin masuk les bimbel karena ternyata hari itu hanya ada aku sendiri dengan satu guru privatnya. Ya maklum, hari itu sekolah-sekolah di luar belum ada di tahap wisuda para siswanya, dengan kata lain, pondok ku terlalu rajin.
Seminggu awal jadi anak bimbel ternyata tak semenyenangkan jadi santri. Lebih tepatnya, suasana asing ini sangat-sangat menghabiskan energiku. Tak terbiasa memang di tempat baru dengan orang-orang yang baru. Dan hey lihat, pelajaran IPA ku ngap-ngap an. Makin aku tak semangat menghadapi tes SBM nanti. Maka do'aku saat itu pada pemilik semesta adalah:
"Ya Allah, Henni pengen lolos di UPI aja. Pengen kuliah di Bandung. Pengen lolos SNMPTN, biar gak repotin orang tua sama tes-tes an"
Benar kata orang bijak untuk kesekian kalinya, jangan pernah main-main dalam berdo'a. Seminggu kemudian, sore hari, sedetik sebelum takbiratul ihram asar ku laksanakan,
"Teh, lulus, UPI", teriak aa dari ruang tengah
"Alhamdulillah"
"Tapi bukan Biologi, lulusnya IPAI"
Wow Tuhan menjawab, tapi koq,
To be continue...
15 April 2020
@fadhila-trifani @gugunm @mathmythic @sekotenggg @adhit21
6 notes · View notes
mathmythic · 4 years
Text
KAJIAN AA GYM
Belum afdol kalo kuliah di Bandung, apalagi di UPI klo belum datang ke kajiannya Aa Gym. Apalagi sebagai anak FPMIPA yang gedungnya sangat dekat sekali denga masjid DT.
Dulu gw sempet ngebayangin bagaimana sih keadaan santri lain ketika mendengarkan ceramah. Datanglah gw ke kajian Ma'rifatullah di malam Jum'at.
Fyi, buat lu yang emang punya keinginan untuk datang di kajian Ma'rifatullah, ada baiknya datang sebelum shalat masjid. Karena antusias jamaahnya sangat membludak.
Gw datang ketika shalat Isya, shalat dan denger kajiannya di luar masjid, depan minimarketnya DT. Kajian dimulai sekitar pukul 8 malam, diikuti oleh para santri (wajib) dan terbuka untuk umum.
Sedikit flashback tentang kegiatan di pondok. Pernah suatu hari, para santri kumpul di GSG (Gedung Serba Guna) dan pimpinan pondok pesantren DQ2, KH. Odhy mengisi ceramah. Keadaan gw ngantuk berat. Di tengah ceramah beliau, gw tertidur dan terbangun ketika kumpulan bubar.
Pernah ngerasain tidur dalam posisi sila?
Pegel kan?
Iya, itu yang gw rasain. Bukan sekedar pegel leher, tetapi gw kesemutan. Santri lain udah mulai bubar, gw mencari teman buat bantu berdiri. Setelah berdiri, gw masih belum bisa jalan.
Lanjut ke kajian Ma'rifatullah.
Salah satu yang gw sukai dari kajian Aa Gym adalah, bahasa penyampaian beliau yang menyejukkan hati sekaligus humoris. Di awal kajian, gw bawa buku tulis dan pulpen, karena klo bawa HP suka gak fokus.
Baru 15 menit Aa Gym ceramah, gw melihat sekitaran gw yang ternyata santri, (ada syal di lehernya) banyak yang tepar. Ada yang tidur sambil sila, selonjoran, bahkan ada yang sambil telentang. Sayangnya gw gak melihat santri yang saling pijit wkwk.
Kajian berakhir sekitar pukul 9 malam. Buat lu yang mau wisata kuliner daerah Gegerkalong, sebaiknya menghindari jam-jam tersebut. Kenapa ? Karena RAMEE PISAAAN.
.
@henniarum @fadhila-trifani @gugunm @adhit21 @sekotenggg
5 notes · View notes
adhit21 · 4 years
Text
Kita Semua Pernah Bodoh..
Pasti pernah, paling tidak sekali, kita melakukan hal yang sangat bodoh? Melakukan kesalahan? Bereksperimen dengan kehidupan?
Sebagai orang yang memiliki curiosity yang tinggi aku sudah memantapkan niat untuk melanjutkan pendidikan tinggi di jurusan teknik. Saat itu bidang yang menjadi idolaku adalah elektro. Terlebih semenjak SMA ku mendirikan ekskul robotik, niatku kian matang. Tinggal menetapkan universitas. Kota Bandung selalu menjadi primadona bagi sebagian besar teman-teman SMA ku. Sehingga mulailah aku mencari-cari daftar universitas di Bandung. Tanpa berfikir panjang, mantap sudah pilihanku pada sebuah universitas berlogo gajah. Hingga pada masa pendaftaran Seleksi nasional masuk perguruan tinggi baik jalur tes (SBMPTN) maupun jalur undangan (SNMPTN) selalu kutuliskan pada urutan pertama yang menunjukkan urutan prioritas.
Itu bukan lah sebuah kebodohan, melainkan sebuah impian seorang anak remaja. Lantas dimana letak bodohnya? Kebodohan pertama, semua keputusan itu dilakukan tanpa adanya pertimbangan matang seperti penilaian terhadap diri sendiri. Aku tidak melakukan riset tentang siswa seperti apa yang akan diterima oleh universitas. Semua hanya didasarkan oleh egoisme anak muda (Nekad) yang memutuskan dengan tergesa-gesa. Tidak berhenti di situ, kebodohan selanjutnya yaitu tidak menyiapkan rencana B apabila rencana A gagal. Fokusku hanya pada satu universitas dan hanya bermodalkan kepercayaan diri. Pada saat itu aku lupa bahwa ikhtiar harus didahulukan sebelum tawakal. Apakah kebodohannya berhenti di situ? Tidak.
Setelah SNMPTN & SBMPTN ditutup, aku tidak berminat untuk mengikuti tes jalur mandiri yang disediakan oleh beberapa perguruan tinggi. Kebetulan universitas incaranku itu tidak membuka pendaftaran jalur mandiri sehingga hilang motivasiku untuk mengikuti seleksi jalur mandiri. Hingga ketika semua jalur mandiri untuk perguruan tinggi negeri ditutup. Melihat latar belakang pendidikanku kalian pasti sudah tahu kalau aku tidak diterima baik SNMPTN maupun SBMPTN. Setelah pengumuman SBMPTN keluar, setelah itu juga aku mencari informasi perguruan tinggi negeri yang masih terbuka walau sebelumnya sempat mendapat shock dan berbagai macam ceramah dari orang tua. Hingga akhirnya aku melihat satu-satunya universitas negeri yang masih terbuka pada saat itu adalah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Universitas negeri menjadi prioritas utama karena biaya kuliahnya tidak terlalu tinggi.
UIN Sunan Kalijaga, namanya sangat asing di telingaku. Bahkan Kota Yogyakarta pun tak pernah terbesit di benakku sebagai destinasi melanjutkan pendidikan tinggi. Andai waktu dapat kuulang, mungkin sudah kuturankan ego dan mengambil keputusan yang lebih matang. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, Sekarang hanya tinggal mengolahnya menjadi bubur ayam yang lezat untuk disantap. Maka, dimulailah lembaran baru kehidupanku di Kota Yogyakarta.
To Be Continued!!!
@henniarum @gugunm @sekotenggg @fadhila-trifani @mathmythic
5 notes · View notes
pcltlr · 4 years
Text
Salah Langkah
Tumblr media
Salaam..
Hmm.. kurang lebih 5 tahun lalu gue mengenal kampus swasta itu, dan sekarang gue udah jadi alumninya, hahaha. paragraf selanjutnya agak sedikit formal yaa.
Perantauan dimulai ketika aku dan satu temanku melihat brosur tentang kampus itu. dulu kami belum memutuskan kemana akan melangkah selanjutnya, padahal waktu itu kami sudah kelas 3 sma. Melangkah selanjutnya? Iya, karena kami adalah pelajar yang merantau dari umur 12-an tahun. Bagi kami rindu itu sudah biasa, terdidik selama 6 tahun sudah cukup meneguhkan hati kami. Akhirnya kami berdua mencoba mendaftar menjadi mahasiswa baru di kampus tersebut. Kau tau jurusan apa yang aku pilih? Teknik Informatika. Alasannya sangat dangkal, karena aku merasa bosan sekali selama 6 tahun mempelajari pelajaran yang rata-rata dalam bahasa arab, serta nama jurusan itu bagiku terlihat cukup keren. Pikirku saat itu, sepertinya belajar komputer akan membuka sedikit wawasan baru tentang hal lain di dunia ini. bukankah hidup ini tentang mencari hal baru? hal yang belum kita ketahui, agar kita mampu merasa bagaimana orang lain menjalankan setiap perannya sebagai khalifah di dunia. Tapi entahlah, rasanya tak akan cukup juga umur kita untuk mengetahui segala hal yang ada di bumi ini, manusia teramat kecil.
Singkat cerita kami pun diterima di kampus tersebut dengan sedikit test. sampai detik itu, aku belum tau wujud nyata calon kampusku. Ah masa bodo, masalah saat ini saja masih banyak yang belum diselesaikan (karena waktu itu memang sedang banyak ujian untuk siswa akhir), nanti saja mencari tahunya. 
Hingga waktu kelulusan pun tiba, kami biasa menyebutnya dengan Haflah. Namun bagiku acara itu tidak lebih dari hari raya merindu. Kami akan dipisahkan oleh jarak sampai waktu yang tidak ditentukan, dengan sahabat yang telah mengganti peran menjadi keluarga selama 6 tahun. Satu hal yang selalu terpatri dalam hatiku bahwa dalam dunia perantauan, sejatinya sahabat adalah keluarga yang kita pilih. Perasaannya tidak kalah sedih saat berpisah dengan keluarga (orang tua) di hari pertamaku diantar ke tempat suci itu. Dari sudut yang lain, hati ini juga merasa senang atas pencapaian yang telah aku catatkan pada sejarah hidup ini (setidaknya sejarah hidupku untuk kubuka kembali saat menjalani hari tua nanti). Benakku juga selalu berkata, inilah waktuku untuk melakukan pencarian hakikat hidup, mengumpulkan bekal pengalaman untukku tuai nanti. Walau nanti hidupku tak sekaya billgates, setidaknya pengalamanku tak semiskin kamu, yang membaca ini. :v 
Di penantianku memasuki dunia perkuliahan, aku adalah salah satu orang yang tidak mengikuti les dimanapun. Bahkan untuk mendaftar SBMPTN pun tak terbesit di otakku. Aku juga bingung, jangan tanyakan hal itu. Akan tetapi ada kabar mengejutkan setelah pengumuman SBMPTN tersebut, temanku yang dahulu mendaftar kampus bersama, memutuskan untuk pindah dikarenakan dia memiliki pilihan kampus lain untuk melanjutkan pendidikannya. I’am ok with that, sampai hari pertamaku menapakkan kaki dikampus itu tiba.
Inilah cerita awal tentang Salah Langkahku..
Terimakasih sudah mampir, kita berjumpa lagi esok hari jika semesta masih menerima kehadiranku dibumi ini.
Salam hangat #darirumah
@henniarum​ @mathmythic​ @adhit21​ @fadhila-trifani​ @sekotenggg​
5 notes · View notes
sukasenja · 4 years
Text
Awalnya Begini
Beberapa hari kemarin teman lama menghubungi, mengajak untuk membuat project bersama. Ya setidaknya ada hal baru untuk menemani lamanya #dirumahaja ini di luar kebiasaan nulis dan baca novel. Kami berenam, akan menulis secara berkala, one day one post. Sesuai dengan tema yang telah disepakati perminggunya. Jadi, selamat menikmati.
Oia untuk hari pertama, aku curi start ah. Sedang semangat :)
Tangerang, 2013
"Mi, teteh mau ke Bandung yaa liburan nanti?"
"Ngapain? Mau ke mana emang? Sama siapa?"
Satu persatu pertanyaan itu ku jawab dengan mantap. Sudah jadi kebiasaan memang setiap kali meminta izin. Why, where, and who adalah tiga pertanyaan pamungkas. Karena jika itu terjawab, izin sudah pasti bisa terkantongi. Tidak ada pertanyaan 'butuh duit berapa?'. Karena haram hukumnya minta izin jalan-jalan kalau harus di tutup dengan minta uang. Minta izin jalan-jalan sama artinya dengan 'aku udah punya uangnya'.
Tapi rencanaku tahun itu bukan sekedar rencana jalan-jalan biasa, kawan. Ku beri judul 'Perjalanannya Awal menuju Mimpi'. Satu tahun lalu, tepat ketika beberapa teman di pondok sedang di pusingkan dengan pilihan Go Nihai (yg berarti lanjut tingkat SMA di pondok) atau Go Three (memilih keluar setelah kelas 3 SMP, lalu SMA di luar pondok) aku malah di sibukan dengan pilihan Dokter atau Guru. Sudah terhitung 9 tahun nampaknya aku mendeklarasikan 'Dokter' sebagai cita-cita tiada dua. Tapi ada benarnya kata orang bijak, semakin dewasa semakin berkurang idealisnya. Dengan kata lain aku memasuki fase menjadi orang yang sangat realistis saat itu. Ku pikir kalau tetap menjadi Dokter, itu tandanya aku egois. Mau makan apa umi dan bapak di rumah? Kuliah aa mau berhenti tengah jalan? Belum lagi, lu berani bedah-bedah orang nanti? Mainan ama darah? Masuk kamar mayat pas ujian akhir? Ahh, ku ubah saja cita-cita itu sedikit lebih manusiawi. Setidaknya untuk diriku sendiri. Cita-cita yang sama-sama mulia, tapi tetap dengan kegemaranku akan dunia IPAI, jadi guru Biologi.
Akhirnya sejak cita-cita baru itu terdeklarasi, tanda-tanda semesta mulai ku coba pahami. Sejak kecil memang suka sekali aku dengan kota Bandung. Ntah kenapa, tapi ada keinginan kuat untuk bisa suatu saat 'hidup' di sana. Awalnya memang karena alasan 'ikut aa' yang kebetulan kuliah di salah satu universitas swasta di Bandung. Tapi setelah bertahun-tahun keinginan itu menguat dengan alasan lain. Ada universitas keguruan di sana, UPI.
Singkat cerita, terwujudlah kenekadan anak kecil ini untuk bisa ke kota Bandung, sendirian. Gak sendiri banget sih, ku paksa seseorang dari Cilegon biar ku tetap dapat izin. Bermodal punya teman pondok orang asli Bandung, kami menginap di sana beberapa hari. Ajaibnya di hari kedua, aku bisa menginjak jalanan aspal gerbang utama UPI secara langsung, dengan kedua kakiku. Masih ingat aku bagaimana rasanya loncat-loncat berteriak 'Gue nyampe UPI'. Tapi tak banyak tempat yang kami datangi saat itu, hanya sedikit berjalan ke atas, menuju gedung putih yang amat terkenal, Ishola.
Sembari menunggu gerombolan kakak mahasiswa yang ntah sedang apa itu, kami bertiga menunggu di seberang jalan. Sore itu langit terlihat mendung dan rintik hujan sedang nyaman menyapa bumi. Kami berteduh di bawah pohon. Kami bertiga mulai kesal menunggu giliran untuk bisa foto bersama di gedung putih itu. Aku lupa siapa yang memulai percakapan kala itu, hingga ada ide kami untuk menuliskan nama di batang pohon. Seperti ini:
Hennika Arumsari ever here. Pendidikan Biologi, UPI.
Dengan satu kepercayaan, mungkin kelak semesta punya caranya sendiri untuk mengaminkan. Ntah bagaimana, bisa jadi nama yang tertulis di pohon ini jadi nama yang ada di pengumuman kelulusan masuk universitas tiga tahun kedepan.
Semangat itu terus ku bawa hingga diri menuju nihai. Mati-matian aku belajar Biologi, tapi lupa belajar matematika, fisika, dan kimia. Saat tahun itu tiba, ada banyak sekali hal yang perlu disyukuri. Walaupun ada juga banyak kejutan yang perlu dipahami.
Apakah semesta mengaminkan?
Rupanya iya, walau ada 'tapi' di setiap pertanyaan baru setelahnya. Kita lanjut besok :)
14 April 2020
@gugunm @sekotenggg @fadhila-trifani @adhit21 @mathmythic
5 notes · View notes
adhit21 · 4 years
Text
Perjuangan yang Memuaskan
Bagi sebagian besar mahasiswa skripsi adalah hal yang paling menyulitkan kelulusan. Aku tidak sepenuhnya setuju. Karena menurutku asal kita rajin mengerjakan dan berkonsultasi dengan dosen pembimbing maka skripsi itu akan segera selesai. Namun, aku cukup idealis dengan tugas akhir ini. Tema yang aku ambil masih jarang digunakan dalam tema tugas akhir jurusanku. Bahkan, ketika aku mencari skripsi kating (kakak tingkat atau senior) dengan tema yang sama, tidak kutemukan satu pun di perpustakaan.
Bagiku skripsi atau tugas akhir merupakan pekerjaan sekali seumur hidup. Aku tidak ingin menyesalinya hanya karena “ingin cepat lulus”. Tema yang ku ambil adalah tentang data mining karena saat ini permintaan akan data analyst atau kemampuan dalam mengolah big data banyak dicari membuatku semakin tertarik untuk membahasnya sebagai tugas akhirku. Memang aku tidak bisa “lulus tepat waktu” tapi kehidupan sudah terlalu banyak memberiku pelajaran. Lagipula orang tua ku tidak menuntut untuk macam-macam yang penting aku menyelesaikan dan kalaupun tertunda bukan karena hal yang disengaja.
Kendala yang ku dapatkan dalam pengerjaan skripsiku sebenarnya sederhana saja. Karena data yang ku butuhkan bersifat sensitif tidak sedikit perusahaan yang menutup datanya untuk disebar atau digunakan untuk penelitian. Hal ini yang kemudian menyebabkan aku harus pindah perusahaan hingga tiga kali dan akhirnya berujung pada Koperasi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Mungkin ada rasa empati antar mahasiswa jadi mereka bersedia untuk dimintai data sebagai bahan penelitian. Dosen pembimbingku sebenarnya sudah memperingatkan. Masih teringat kata-kata beliau “kalau kamu mau lulus cepat saya sarankan ganti objek atau ganti tema. Tapi kalau kamu tetap mau dengan tema ini saya tetap akan bimbing.” Kata-kata itu juga sebagai penyemangat bagiku bahwa harapan itu masih ada.
Di hari pertanggung jawaban aku benar-benar puas saat mempresentasikan tugas akhirku. Kilas balik perjuangan tiba-tiba muncul. Keluh dan kesah yang ku rasakan terbayar dan sangat memuaskan. Dosen-dosen yang menjadi pengujiku pun tidak terduga. Seakan semesta membantuku seraya berkata “karena perjuangan sudah cukup istirahatlah ketika sidang nanti. Biar kuberikan dosen yang tidak memberatkan.” Awalnya, penguji pertamaku adalah dosen PTLF (Perancangan Tata Letak Fasilitas). Beliau adalah dosen yang terkenal karena banyak mahasiswa yang mengulang kelas beliau. Namun, h-1 sidang beliau mengkonfirmasi tidak dapat menjadi penguji karena suatu acara. Sebenarnya aku mengharapkan beliau menjadi pengujiku. Bahkan, aku sudah menyiapkan daftar pertanyaan potensial yang akan beliau ajukan saat sidang. Jujur, aku pun penasaran bagaimana pendapat beliau tentang penelitianku ini. Karena judul yang ku gunakan erat kaitannya dengan mata kuliah beliau yakni “Analisis Perancangan Tata Letak Toko Retail Menggunakan Metode Market Basket Analysis dan Activity Relationship Chart.”
Tanggal lulusku terhitung 7 september 2019 tapi wisuda baru bisa dilaksanakan februari 2020 jadi tinggallah aku di jogja untuk sementara waktu. Untungnya, aku masih bisa mengejar wisuda februari. Bila tidak, aku harus menunggu setelah lebaran yang kemungkinan november baru akan diadakan. Penundaan wisuda april ini diakibatkan oleh pandemi yang tidakmembolehkan perkumpulan orang dalam suatu ruangan tertutup seperti wisuda.
Masih banyak kisah yang tidak dituangkan dalam waktu singkat. Bila memungkinkan kisah lainnya mungkin akan aku ceritakan di lain kesempatan. Sekian.
@henniarum @fadhila-trifani @gugunm @sekotenggg @mathmythic
4 notes · View notes