Tumgik
#khalid ; terang bulan
turtleduckmocha · 2 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
CLAUDE'S PURPLE POLYCULE SUMMER IS REAL!! 💜💜💛💜💜
BELATED WELCOME TO ASKR BEACH PETRAAAA!!!
alt. versions under read more!
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
i'm ngl f!shez's art style looks so out of place with the others, esp with the pose 😭 it's so hard trying to place her in a way that doesn't make her head look crazy huge
28 notes · View notes
endriatjeh · 3 years
Text
TERUNTUK SI MALAIKAT KECIL: Sisa-Sisa Kenangan, Serpihan Munajat & Nasihat
Tumblr media
Anakmu bukan milikmu
Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.
___
Tulisan ini dibuat dalam rangka menutup ruang lupa tentang memori di ulang tahun pernikahan yang ke-tiga. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Setelah dua tulisan sebelumnya mengulas tentang pernikahan dan LDR yang saya jalani, kali ini saya pikir waktunya menceritakan tentang satu sosok mungil yang sudah dua tahun ini mewarnai hari-hari perjalanan rumah tangga kami.
Khawla namanya. Shafiya Khawla El-Batrisyiya lengkapnya. Nama ini pun dipilih setelah melalui diskusi yang panjang, dan tentu setelah mendengar banyak masukan. Begini kira-kira maknanya.
Shafiya, istri Rasulullah. Wanita yang terkenal cantik parasnya sampai-sampai Aisyah ra. pernah dibuat cemburu. Di saat gundah gulana karena cacian dan hinaan masyarakat Jahiliyah sekitar, Rasulullah sejukkan hatinya bahwa pada Ummul Mukminin yang satu ini berkumpul kemuliaan nasab, keislaman yang baik dan ketinggian akhlak.
Khawla, the female version of Khalid bin Walid. Dalam sebuah peperangan melawan pasukan Romawi, Khalid bin Walid, panglima perang saat itu bertanya tentang seorang prajurit yang sedang berjibaku di medan perang melawan musuh. “Siapa ksatria itu? Demi Allah, dia tidak peduli dengan keselamatannya”. Dialah Khawla binti Azwar, seorang wanita yang bersembunyi dalam baju zirah dengan pedang terhunus di tangan.
Batrisyiya, diambil dari bahasa Arab, artinya cerdas cendikia. Jika mengutip Buya Hamka, orang disebut cerdas kalau akalnya tajam, buah pikirannya baik, cepat mengambil kesimpulan karena paham maksud, terang otaknya, luas pandangannya, jauh tiliknya. Orang dikatakan cerdik pandai karena pemahamannya luas, penyelidikannya dalam, bacaannya banyak. Tidak canggung bergaul dengan segala lapisan karena banyak yang diketahui, karena ada pengetahuan dalam suatu masalah, sedia bertanggung jawab.
Setelah timbang sana sini, akhirnya nama dengan tiga suku kata inilah hasilnya. Karena hasil kompromi, jadi ya agak panjang karena mengakomodir “ingin” nya dua pikiran orang tuanya. Tentu saja tersirat banyak doa dalam nama, ya demikianlah doa, banyak semoganya.
Lahir pada 21 Maret 2019 di kota kecil berhawa sejuk, lereng Dieng, Wonosobo. Kehadirannya ibarat keajaiban kecil bagi kami, disambut dengan penuh ketakjuban, syukur dan suka cita. Bagaimana tidak, saat ia lahir bundanya masih menjalani magang cakim saat itu, saya sendiri di Medan, di tengah kondisi orang tuanya yang masih harus LDR-an dan banyak keterbatasan; sebuah kondisi yang sungguh sangat tidak ideal. Pertama tentu anugerah ini membahagiakan, menjadi pelipur lara. Tetapi juga menjalani kehidupan rumah tangga dalam kondisi yang demikian ditambah lagi membesarkan anak seorang diri, jauh dari sosok ayah tentu tidak mudah.
Jika boleh memutar waktu kembali, rasa- rasanya sulit untuk kembali melukiskan apa yang ada di pikiran dan benak saya dan bundanya sebagai orang tua. Semenjak mengandung Khawla, masa-masa penantian selama 9 bulan lamanya hingga detik-detik kelahiran boleh dibilang masa-masa yang mendebarkan, apalagi ini anak pertama. Ada banyak was-was, menuntut siaga setiap saat. Saya pikir apa yang dilukiskan Buya Hamka sebagai berikut cukup mewakili itu semua.[1]
“Telur yang kecil di dalam sperma (mani) itu melekat dalam rahim si ibu. Ditakdirkan Tuhan tidak akan tanggal lagi sampai waktu dia lahir. Dan selama dia melekat dalam rahim itu dia akan menghisap makanan yang masuk ke dalam rahim itu, sehingga sejak dia melekat dia telah menghisap darah ibunya untuk makanannya yang pokok. Tambah sehari si janin tabah membesar, berendam dalam darah ibu dan menghisap makanan ibu. Sehingga sejak mulai mengandung telah terasa oleh si ibu bagaimana anak itu menghisap, sehingga si ibu sendiri menjadi lemah, menjadi berubah selera. Si ibu makan, minum, menelan dan mencerna dan semua yang dimakan, diminum, dan dicerna itu disaring untuk dijadikan makanan oleh si janin. Terutama bisa si janin telah mulai tumbuh tulang, setelah melalui asa jadi nuthfah (air segumpal), ‘alaqah (darah segumpal) sampai kepada jadi mudhghah (daging segumpal) dalam masa 4 bulan sepuluh hari. Kemudian tumbuhlah tulangnya, dan tulang yang telah mulai tumbuh ini pun lebih banyak lagi meminta bahan makan, sehingga tenaga ibunya benar-benar diambilnya, sehingga si ibu jadi lemah. Malam-malam si ibu dengan bangga membukakan perutnya dan memperlihatkan kepada suaminya bahwa anak yang dalam kandungan mulai “nakal”, mulai keras gerak-geriknya. Begitu dia payah, namun dia senyum. Dia payah, tetapi dia senyum: payah mengandung, senyum mengingat bahwa tidak lama lagi dia akan memangku.
Sembilan bulan lamanya kondisi yang demikian dialami Bundanya, setiap hari, setiap saat. Saya sering bersedih hati jika mengingat masa-masa ini, ada perasaan bersalah yang besar, di saat-saat seharusnya kehadiran fisik begitu dibutuhkan, justru saya tidak di sana, saya tidak ada di sisi bundanya saat itu.
Hamka melanjutkan.[2]
“Maka datanglah bulannya, sekitar sembilan bulan dan mulailah terasa si anak akan lahir. Si anak akan memandang dunia nan luas dan si ibu menceringir dan merintih kesakitan, namun senyum tidak juga hilang dari bibirnya. Di saat itulah si ayah gelisah, dada berdebar, duduk tidak senang, berjalan keluar dan ke dalam, ke hilir dan ke mudik. Sambil setiap sejenak melihat jamnya, menunggu berita dari doktor atau bidan, sambil berdoa, sambil berseru dalam batin, selamatlah kiranya istriku melahirkan anakku. Maka dari jauh-jauh kedengaranlah anak menangis! Tandanya dia sudah lahir. Tidak berapa lama dukun atau bidan pun keluar dengan muka berseri menyatakan bahwa si buyung atau si upik sudah lahir dengan selamat. Si ayah terharu, air matanya berlinang. Ia kejar istrinya, dilihatnya anaknya sudah tidur di samping istri dan si istri masih saja tersenyum walaupun dia baru saja terlepas dari suatu kepayahan besar. Si ayah mulailah surut rasa harunya, lalu diciumnya kening atau pipi istrinya dan si istri pun mendambakan dirinya membiarkan diciumnya pula si anak yang tadi mulai merasakan hangat-dinginnya dunia, mulai terlancar dari perut ibunya menangis keras. Sekarang dia tidur nyenyak sekali, dan di pun menerima cium ayahnya.”
Demikianlah kira-kira detik-detik pada malam tanggal 21 Maret 2019 pukul 21.30 WIB. Mendengar berita yang mengejutkan saat subuh, dilanjutkan dengan perasaan kalut tak terhingga sepanjang perjalanan Medan-Wonosobo tak mungkin terulang untuk saya alami lagi, dan kekhawatiran itu terbayar ketika mendengar tangis bayi mungil di bangsal saat itu. Suara itu sesuatu, haru bahagia campur aduk. Tuhan memang punya skenario terbaiknya untuk kita.
___
Berikan mereka kasih sayangmu,
Tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
___
Hamka melanjutkan.
“Sesudah itu akan mulailah kepayahan yang baru, yaitu kepayahan mengasuh anak. Kepayahan mendengarkan tangisnya, kepayahan mencuci kotorannya, kepayahan memandikannya, kepayahan atas kepayahan, namun hatinya tetap senang. Kira-kira dua bulan sesudah dia dilahirkan barulah dia mulai memberikan obat penawar, atau obat jerih bagi kepayahan ibu itu. Dia mulai tersenyum.
Menyusukan dan membesarkan: seluruh daging dan seluruh kekuatan tulang diberikan, yang menjelma dalam air susu. Hari dan jiwa terpadu dalam pemeliharaan: semua diberikan dan semua dikurbankan dengan segala senang hati dan dengan segenap kegembiraan. Tak pernah bosan, tak pernah benci dan tak pernah mengeluh.”
Apa yang digambarkan Hamka di atas persis seperti ungkapan peribahasa Arab, “Sungguh jika bukan karena harapan dan cita-cita, tidak akan seorang ibu menyusui anaknya”. Pasca kelahirannya, banyak hal berubah. Benar adanya, kehadiran anak adalah tali pengikat hubungan manusia. Pun dalam keseharian, seakan semua sepakat bahwa kepentingan dan kebutuhan anak adalah prioritas. Ini yang saya pikirkan sebagai efek kasih sayang kepada anak tadi.
Tantangan terbesar setelah mengandung dan melahirkan anak ialah membesarkan dan mendidiknya. Hal ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi semua orang tua. Dalam konteks ini, kita perlu menginsafi dan mencermati apa yang disampaikan Buya Hamka tentang kehidupan rumah tangga.
“Islam menjadikan rumah tangga sebagai asa atau sendi pertama dari berdirinya suatu bangsa ataupun suatu agama. Pergaulan dengan ibu dan bapak di waktu kecil itulah yang dinamai dalam Ilmu Pendidikan dengan lingkungan pertama, atau yang disebut dalam bahasa Arab al-bai’atul ulaa”, sebelum manusia memasuki dua lingkungan lagi, yaitu lingkungan kawan bersekolah dan lingkungan sepermainan. Maka lingkungan pertamalah, ibu dan bapak yang meninggalkan kesan yang dalam sekali pada jiwa anak. Asuhan di waktu anak masih kecil itulah yang sangat penting menentukan hidup di hari dewasa kelak. Didikan yang diterima, permainan, pergaulan di masa kecil, tergambar dan tidak akan terlupakan selama-lamanya. Asuhan di waktu kecil itulah bibit pertama yang akan menumbuhkan rumah tangga bahagia dan dari rumah-rumah tangga inilah kelak akan tersusun masyarakat.”
Hari demi hari dalam membesarkan anak, dengan penuh pengharapan dan cita-cita itulah, perlu kita iring-iringkan pula banyak doa. Patutlah kita bermunajat dengan munajatnya Para Nabi dan Rasul ketika mendoakan keturunannya.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Furqan ayat 74).
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya menjelaskan bahwa seorang hamba yang insaf belum merasa cukup kalau sekiranya ahli rumahnya, anaknya dan istrinya belum merasai kehidupan yang demikian pula. Seorang ‘Ibadurrahmah senantiasa bermohon kepada Tuhannya agar istri-istri mereka dan anak-anak mereka dijadikan buah hati permainan mata, obat jerih pelerai demam, menghilangkan segala luka dalam jiwa, penawar segala kekecewaan hati dalam hidup. Betapapun saleh dan hidup beragama bagi seorang ayah, belumlah dia akan merasa senang menutup mata kalau kehidupan anaknya tidak menuruti lembaga yang dituangkannya. Seorang suami pun demikian pula. Betapa pun condong hati seorang suami mendirikan kebajikan, kalau tidak ada sambutan dari istri, hati suami pun akan luka juga. Keseimbangan kemudi dalam rumah tangga adalah kesatuan haluan dan tujuan. Hidup muslim adalah hidup jamaah, bukan hidup yang nafsi-nafsi.
Semua kita yang beranak berketurunan merasa sendiri bahwa inti kekayaan ialah putra-putri yang berbakti, putra-putri yang berhasil dalam hidupnya. Putera berbakti adalah obat hati di waktu tenaga telah lemah. Apakah hasil itu? Dia berilmu dan dia beriman, dia beragama dan dia pun dapat menempuh hidup dalam segala kesulitannya, dan setelah dia besar dewasa tegak sendiri dalam rumah tangganya. Inilah anak yang akan menyambung keturunan. Dan inilah bahagia yang tidak habis-habisnya. Si ayah akan tenang menutup mata jika ajal sampai.
Sebagai penutup dari doa itu, dia memohon lagi kepada Allah agar dia dijadikan imam daripada orang-orang yang bertakwa. Setelah berdoa kepada Allah agar istri dan anak menjadi buah hati, permainan mata karena takwa kepada Allah. Maka ayah atau suami sebagai penanggung jawab menuntun istri dan anak menempuh jalan itu, dia mendoakan dirinya sendiri agar menjadi imam, berjalan di muka sekali menuntun mereka menuju Jalan Allah.
Demikian penjelasan Hamka tentang salah satu doa untuk anak-anak kita.
Nabi Ibrahim, Ayah Para Nabi mendoakan keturunan-keturunannya sebagai berikut:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh” (QS. Ash-Shaffat ayat 100).
Nabi Ibrahim mengharapkan agar Allah memberinya keturunan. Karena sudah lama dia kawin, namun anak belum juga ada. Bertahun-tahun lamanya dia menunggu putra, tidak juga dapat. Ternyata kemudian bahwa istrinya yang bernama Sarah itu mandul. Dengan persetujuan anjuran istrinya Sarah itu, dia kawin lagi dengan Hajar, dayang dari Sarah, karena mengharapkan dapat anak. Dalam usia 86 tahun barulah permohonannya terkabul. Hajar melahirkan anak laki-laki yang beliau beri nama Ismail.
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim ayat 40)
Dari Nabi Ibrahim, kita ketahui lahir keturunan Ishak yang muncul berpuluh Nabi-nabi dan Rasul-rasul; termasuk Yakub, Yusuf, Musa, Harun, Yusya’, Ilyasa, Ilyas, Zulkifli, Ayyub, Daud, Sulaiman, Zakariya, Yahya dan Isa dan lain-lain dari Anbiya Bani Israil. Dan dari keturunan Ismail, datanglah penutup segala Nabi (khatimul anbiya), dan yang istimewa dari segala rasul (sayyidil mursalin), Muhammad saw. inilah keberkahan doa Nabi Ibrahim as.
Setelah membangun Kabah, sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 128 Nabi Ibrahim bersama Ismail berdoa:
 رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
"Wahai Rabb kami, Jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah taubat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima taubat, Maha Penyayang."
Pun dengan Nabi Zakaria as., ia berdoa kepada Allah swt:
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa” (QS. Ali Imran: 38).
Nabi Musa as. berdoa kepada Allah swt.
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al Ahqaf ayat 15)
Terakhir, patutlah kita dengarkan sepenggal doa yang dipanjatkan Istri Imran ketika melahirkan Maryam yang termuat dalam QS. Ali Imran ayat 36.
وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk".
Istri Imran memohon kepada Tuhan agar anak itu diperlindungi. Dan kelak sebab dia perempuan, moga-moga kalau ada keturunannya, maka keturunan itu pun moga-moga kiranya diperlindungi Tuhan juga dari segala perdayaan dan pengaruh setan yang terkutuk, yang dirajam oleh kutuk Tuhan ke mana saja pun dia mencoba memperdayakan.
Demikianlah selayang pandang doa-doa untuk anak cucu keturunan kita sebagaimana termaktub dalam Al-Quran, yang tentu saja selayaknya kita pedomani dalam mendoakan keturunan-keturunan kita.
Setelah memanjatkan doa-doa kepada Allah swt. layaklah kita kutip nasihat yang disampaikan Luqmanul Hakim kepada anaknya tentang modal menjalani kehidupan di dunia; prinsip-prinsip yang patut menjadi bekal dan diingat-ingat hingga dewasa nanti sebagaimana tersurat dalam Al-Quran.
“Wahai anakku,  janganlah engkau persekutukan dengan Allah.”
Maksudnya janganlah mempersekutukan Tuhan yang lain dengan Allah, jangan berlaku syirik.
“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan payah bertambah payah”.
Ayat ini menggambarkan bagaimana payah ibu mengandung, payah bertambah payah. Payah sejak dari mengandung bulan pertama, bertambah payah tiap bertambah bulan dan sampai di puncak kepayahan di waktu anak dilahirkan. Lemah sekujur badan ketika menghajan anak keluar. Maka hormati dan sayangi orang tua yang telah banyak berkorban dan bertaruh nyawa melahirkan kita.
“Dan memeliharanya dalam masa dua tahun”.
Yaitu sejak melahirkan lalu mengasuh, menyusukan, memomong, menjaga, memelihara sakit senangnya. Sejak dia masih terlentang tidur, sampai berangsur pandai menangkup, sampai berangsur bersingsut, sampai berangsur merangkak, sampai bergantung berangsur berjalan, bersiansur, tegak dan jatuh dan tegak, sampai tidak jatuh lagi. Dalam masa dua tahun. Sungguh sebuah proses yang lama dan menyita tenaga.
“Wahai anakku! Dirikanlah shalat dan menyuruhlah berbuat yang ma’ruf dan mencegahlah berbuat yang mungkar, dan sabarlah atas apapun yang menimpa engkau.”
Sembahyang adalah tiang agama. Dia membentuk pribadi agar berani menghadapi hidup dengan berbagai aneka persoalannya. Dan harus berani menyerukan yang ma’ruf, berani mencegah yang munkar, dan mesti tabah. Sabar!
“Dan janganlah engkau palingkan muka engkau dari manusia dan janganlah berjalan di muka bumi dengan congkak. Sesungguhnya Allah tidaklah menyukai tiap-tiap yang sombong membanggakan diri”.
“Dan sederhanakanlah dalam berjalan.”
Jangan cepat-cepat mendorong-dorong, takut kalau-kalau lekas payah. Jangan lambat tertegun-tegun, sebab itu membawa malas dan membuang waktu di jalan, bersikaplah sederhana.
“Dan lunakkanlah suara”.
Jangan bersuara keras tidak sepadan dengan yang hadir. Apatah lagi jika bergaul dengan orang ramai di tempat umum. orang yang tidak tahu sopan-santun lupa bahwa di tempat itu bukanlah dia berdua dengan temannya itu saja yang duduk.
Adab sopan santun dalam pergaulan diperingatkan pula; jangan memalingkan muka dari manusia, hadapi orang dengan sepenuh hati. Jangan berjalan dengan sombong di muka  umi. Bertindaklah dengan serba sederhana, jangan kesusu dan jangan lamban, dan suara hendaklah dilunakkan. Semuanya ini adalah akhlak, menyuruh orang rendah hati tinggi cita-cita. Bukan rendah diri sehingga hina. Dan bukan pula melambung ke atas berlebih dari ukuran iri yang sebenarnya.
Banyak hal yang ingin Ayah dan Bunda nasihatkan, tidak cukup lembaran-lembaran kertas ini memuatnya.
Semoga menjadi wanita yang hebat ya Anak, yang baik paras dan budi, yang berani, yang gigih berjuang, yang bijak bestari. Hidup ini ibarat berjalan di tengah taman bunga yang berduri, meskipun mata kita melihat indahnya bunga-bunga bermekaran ditambah semerbak wangi, namun hati-hati pula melangkahkan kaki. Memang banyak harapan yang terbeban di pundak, memang hidup demikian adanya. Besar pengharapan, besar tanggungan beban.
Terima kasih Khawla sudah hadir mewarnai hari-hari Ayah Bunda. Terima kasih sudah menjadikan rumah mungil kita menjadi layaknya sebuah potongan kecil dari surga. Kekallah selalu sebagai memori indah bagi kami. Jika sudah dewasa nanti, ingat-ingat pesan-pesan ini.
___
Kau busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah.
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
(Kahlil Gibran, SANG NABI)
-----------------
[1] Lihat Tafsir Al-Azhar Jilid 9 halaman 6652 tentang QS. Al-Ahqaf
[2] Lihat Tafsir Al-Azhar Jilid 9 halaman 6653 tentang QS. Al-Ahqaf
17 notes · View notes
kerahlekung · 4 years
Text
Quo vadis Azmin Ali...
Quo vadis Azmin Ali....
“Azmin ini party loyalist,” ujar seorang teman, antara ramai lagi teman yang mengulang kenyataan yang serupa. “Hang gila ka dia nak keluar parti?” soalnya kemudian, menegaskan bahawa Azmin sudah jadi orang nombor dua dalam PKR. Mana mungkin beliau mencabar Anwar Ibrahim; batang tubuh yang menjadi roh dan jasad parti itu. 23 April, genap dua bulan Azmin dan rakan-rakannya membuat keputusan keluar dari parti Anwar. Pengumuman keluar mungkin dibuat pada 24 Februari, tetapi sambil makan malam bersama Umno dan PAS di Sheraton itu, keputusannya pasti sudah dicapai. Menariknya, rakan-rakan Azmin ini bukan cicak mengkarung dalam rangkaian Anwar. Seperti juga Azmin, si “pemegang diari merah” mantan timbalan perdana menteri, gerombolan yang mengikut beliau meninggalkan parti juga boleh tahan “Anwarist”. Namun begitulah hakikatnya, bagaimana tiada kawan dan lawan yang kekal dalam politik. Seperti yang diulang sebut mendiang Karpal Singh. Apa yang kekal adalah prinsip. Itu pun kalau ada prinsip. Bagi kebanyakan orang yang menyertai pergulatan politik, prinsip adalah barang kudapan cita-cita utama untuk memperoleh pengaruh dan kekuasaan. Pengaruh dan kekuasaan itu pula digunakan untuk mendapatkan duit. Dan duit itu pula digunakan untuk mendapatkan lebih banyak pengaruh dan kuasa. Inilah dia apa yang dipanggil “realpolitik”.
Realpolitik itulah yang menyebabkan kuasa tiba-tiba beralih kembali ke tangan-tangan kotor Umno dan rakan-rakannya; tanpa perlu menang sebarang pilihan raya. Tetapi takkanlah setakat itu saja hasilnya untuk seorang Azmin? Dalam dua wawancara saya bersama beliau, Azmin tidak pernah menyatakan sebarang keinginan untuk menjadi perdana menteri. Kali pertama, Azmin bercerita panjang tentang kisah zaman remajanya menternak kambing dan ayam; sebelum sambung belajar ke Amerika, dan pulang ke tanah air untuk bekerja dengan Anwar. Kali kedua, wawancara setelah menjadi menteri besar Selangor. Pun tidak ada sebut mahu jadi PM. Walaupun saya tanya terus terang saja. Meski tidak pernah menyebut dengan jelas, kita semua tahu Azmin akhirnya bukan saja tidak mahu Anwar menjadi perdana menteri. Tetapi menurutnya yang paling layak mengambil alih jawatan PM itu, adalah beliau sendiri. Sejak bertanding timbalan presiden parti pada 2010, sehinggalah bergerak mengguling Khalid Ibrahim, dan akhirnya menghalang Anwar daripada menjadi PM, itulah dia objektif utama. Mungkin melampau kalau kita katakan Azmin melihat Muhyiddin Yassin sepertimana orang mendakwa Anwar melihat Dr Wan Azizah Wan Ismail – sebagai sekadar pemanas kerusi. Tetapi itulah hakikatnya. Kan?
Tumblr media
Dilema Muhyiddin Pengarah Pendidikan Politik DAP Liew Chin Tong menulis panjang hujung minggu lalu tentang dilema Muhyiddin, pasca krisis Covid-19. Kerajaan Muhyiddin sebenarnya ditopang dengan majoriti sekadar dua atau tiga kerusi. Ertinya di Parlimen, sebarang urusan dan usul kerajaan cenderung gagal dengan hanya kekurangan beberapa undi. Dalam fabrik gabungan yang begitu demikian longgar; tanpa struktur parti, tanpa satu dasar bersama, tanpa titik temu yang sekata, Muhyiddin “dipegang telurnya” (maaf tiada bahasa yang lebih sesuai) oleh setiap seorang yang menyokongnya menjadi perdana menteri. Kalau tidak puas hati, atau ada tuntutan yang tidak didengari, picit saja. Umno contohnya, beberapa hari lalu dengan selamba mengutus surat dengan senarai tuntutan untuk saki baki pimpinannya di Sabah, tanpa rasa segan silu. Muhyiddin akan harus melayan dan pastinya nanti memenuhi permintaan itu. Ini belum dicampur masalah ekonomi dan peluang pekerjaan yang bakal merundung negara sebaik saja PKP berakhir, serta masalah sumber pendapatan negara akibat kejatuhan harga minyak dunia. Beban yang ditanggung Muhyiddin memang besar gedabak. Tetapi kalau Azmin mahu jadi perdana menteri menggantikan Muhyiddin, maka Azmin harus bertanya dirinya sendiri sama ada beliau bersedia untuk memikulnya.
Jalan menuju kerusi PM Untuk menjadi PM, Azmin yang kini ahli parti Bersatu pastinya akan perlu terlebih dulu naik menggantikan presiden parti itu, iaitu Muhyiddin. Maka jalan yang lebih mudah pastinya dengan menubuhkan parti sendiri. Parti itu pula mestilah membawa idea “muafakat agung”, idea perpaduan nasional yang secara ironinya kini diusung sebuah gabungan yang berpaut kepada sentimen Melayu-Islam dengan memomokkan DAP. Seperti biasa, analisis pasaran dilakukan terlebih dulu dengan mengajukan idea ini melalui pertubuhan seperti Pemuda Negara yang menampilkan wajah pegawai-pegawai Azmin dan logo bulan bintang seperti yang turut tertera di laman Wikipedia Perikatan Nasional. Apa yang sedikit lucu ialah bagaimana idea ini cuba dibungkus dengan menggunakan Dato’ Onn sebagai jenama besar, justeru mencetuskan cakap-cakap dalam kalangan wartawan tentang bagaimana Azmin akan menubuhkan Parti Negara, sepertimana Dato’ Onn juga. Dato’ Onn tidak berakhir menjadi perdana menteri. Beliau hanya pernah menjadi menteri besar Johor atas lantikan Sultan, sepertimana arwah bapanya yang merupakan MB Johor pertama, serta dua adik beradiknya yang turut dilantik sebagai MB ketika demokrasi masih belum wujud di Tanah Melayu.
Jawatan itu ditinggalkannya setelah menubuhkan Umno, yang kemudiannya turut beliau tinggalkan dan selepas itu menubuhkan Parti Malaya Merdeka, sebuah parti yang ditubuhkan sebagai lawan idea ketuanan Melayu yang dijuarai Umno. Parti Malaya Merdeka pun bungkus juga setelah dilihat tidak berjaya mendapat sokongan ramai. Parti itu hanya didekati kaum India. Dato’ Onn akhirnya menubuhkan Parti Negara pada 1953, sebuah parti politik yang prinsipnya bertentangan langsung dengan Parti Malaya Merdeka yang ditubuhkannya sebelum itu. Atas tiket Parti Negara inilah Dato’ Onn akhirnya berjaya menjadi Ahli Parlimen setelah menang dalam pilihan raya 1959, jauh di kerusi Kuala Terengganu Selatan. Malah ada juga yang menyebut Dato’ Onn akhirnya menyertai PAS sebelum meninggal dunia tiga tahun kemudian. Parti Negara turut hilang bersama Dato’ Onn. Justeru bagi Azmin, pilihan di tangan tidak begitu banyak. Ruang di depan semakin sempit. Beliau pastinya tahu Umno tidak akan begitu mudah memberi laluan, begitu juga PAS yang tidak kalah berdendam. Bersatu apatah lagi. Maka ke mana Azmin Ali akan pergi? – Roketkini.com
Amanat Duta Khas 
Kerajaang Tebuk Atap...
"Percayalah saudara, " Kita menyokong UMNO bukan kerana nama dia UMNO. Kita menyokong UMNO kerana dia memperjuangkan Melayu, dasar partinya Melayu walaupun tidak sokong hudud. Kita menentang PH bukan kerana namanya PH, kita menentang PH kerana partinya berbilang kaum dan PH menangkap pemimpin Melayu Islam yang rasuah. Oleh kerana PH mengekalkan dasar menentang rasuah, oleh itu kita menentangnya. Oleh kerana kita melawan puak2 ini, maka perjuangan kita adalah jihad. Ucapan kita adalah jihad. Rampasan kuasa ikut atap juga adalah jihad. Khianat mandat rakyat juga adalah jihad. Jadi duta khas adalah jihad. Jika kita mati di dalam keadaan kita jadi menteri dalam kerajaan tebuk atap ini, mati kita adalah syahid" . - From: Rusila,f/bk
The Ketuanan Melayu Agenda...
May 9th will mark two years since Pakatan Harapan (PH), against all odds, swept to victory. A party that did not expect to lose was swept from power by a coalition that didn’t think it could win. What giddy days they were! To say we were jubilant would be an understatement. The excited crowds outside the gates of Istana Negara waiting for Dr Mahathir Mohamad to be sworn in as prime minister will forever be etched in the memories of those who were there.  It made all the years of effort – including risking arrests to attend those Bersih rallies, training as election monitors and campaign workers, and going out of our way to vote – worth the while. Together, we took back the government from the hands of unscrupulous, immoral and corrupt politicians. For one moment in time, we were united by a shared hope that at last Malaysia would be able to embrace its destiny as a united, prosperous and democratic nation. Not since Merdeka had there been such a national outpouring of pride, hope and excitement. But it was not to be; our brief tryst with spring ended as abruptly as it began. Many factors, no doubt, contributed to the fall of the PH government; certainly, the bitter rivalry between Tun Dr Mahathir Mohamad and Datuk Seri Anwar Ibrahim dominated much of the news. Ultimately, however, it was the race factor more than anything else that proved destructive. Ketuanan Melayu ideologues from across the political spectrum – PPBM, UMNO, PKR and PAS – felt deeply threatened by the prospect of having to share power, even minimally, with the non-Malays. Unsurprisingly, the DAP which surged to new heights following GE14 quickly became the “Great Satan,” the embodiment of an existential threat to the Malays. If the whole concept of power-sharing was to be aborted, the DAP had to be discredited and removed from government. It is no secret that since May 1969, we’ve always had a multiracial government in name only; absolute power remained in the hands of UMNO which ruled primarily on behalf of one community. MCA, MIC and Gerakan were never more than bit players, they simply to lend credence to the lie that multiracial politics and national unity were alive and well.  It allowed UMNO, masquerading as Barisan Nasional, to rule as a multiracial government while pursuing an essentially race-based agenda.
GE14 upended that construct. The bitter, very personal battle between Mahathir and Datuk Seri Najib Tun Razak divided Ketuanan Melayu ideologues along with much of the Malay polity. So bitter was the feud with Najib that Mahathir, the architect of the Ketuanan Melayu agenda, was even willing to find common cause with the DAP and his other bitter rival (Anwar) to bring down Najib. Malay disunity – as Mahathir himself later claimed – allowed the non-Malays to win a record number of seats in parliament. It still left the Malays in an unassailable position given their majority in parliament, the civil service, the armed forces and police and in almost every other area of national life, but it did bring a more balanced representation to parliament at least. While many considered it a positive development, Ketuanan Melayu ideologues, long accustomed to seeing politics as a zero-sum game, saw the outcome of GE14 as a disastrous setback. To them the very idea of power-sharing was unacceptable, a direct challenge to the Ketuanan Melayu agenda and all it stood for. Consequently, while both Malay and non-Malay progressives and reformists celebrated, Ketuanan Melayu ideologues fumed. The former talked about democracy, transparency and accountability; Ketuanan Melayu ideologues complained about the loss of face, the threat to race, religion and culture. Reformists wanted to press ahead quickly with “reformasi”; Ketuanan Melayu ideologues wanted to hold on to the essentially authoritarian political structures that they had put in place since 1969.  Reformists wanted a fair distribution of wealth; Ketuanan Melayu elites wanted to maintain the system of crony capitalism that allowed them to exploit the wealth of the nation at will. Progressives yearned for a more open, tolerant and inclusive culture; Ketuanan Melayu ideologues would have none of it. The rejection of power-sharing was clearly evident in Malay political discourse post-GE14.   Incendiary statements like “Malaysia is for Malays”, non-Muslims ought not to be given senior positions in government, Malay rights and culture were being undermined, the position of the Malay rulers was being challenged, non-Malays were disrespecting the Malays, were aggressively thrown into the narrative.  At the same time, non-existent threats from Communists, Christians and Tamil Tigers were deliberately played up to give the impression that the nation was facing a dire and imminent threat to its very existence. Reality didn’t matter; the objective was to manufacture a crisis of confidence in the PH government. The underlying message was clear: the Malay community alone had the exclusive, God-ordained right to rule Malaysia. “Immigrant” communities – the pendatang – could remain for so long as they did not challenge Malay rule or even aspire to be equal partners in the governance of the nation. 
It was not a novel idea. In his seminal treatise The Malay Dilemma written almost 50 years ago, Mahathir opined that “Malays are the rightful owners of Malaya, and that if citizenship is conferred on races other than the Malays, it is because the Malays consent to this. This consent is conditional.” Such a view was, fundamentally, a complete repudiation of the Merdeka agreement which envisaged shared citizenship and joint responsibility for the governance of the nation within a secular, democratic and constitutional framework. Ketuanan Melayu ideologues had long complained, albeit erroneously, that the British had done the Malays a great disservice when it forced them to accept non-Malay citizenship and participation in the political process in exchange for independence. When they saw an opportunity to correct what was in their mind a historic injustice, they jumped at it. As pressure grew for Anwar to take over from Mahathir (as per the PH succession plan), Ketuanan Melayu ideologues – united by their common disdain for sharing power with non-Malays – were galvanised into action. To them Anwar was unacceptable because, as Mahathir himself complained, he was not sufficiently committed to the Ketuanan Melayu agenda. His leadership of a multiracial coalition, his constant calls for unity, tolerance and inclusiveness was a bridge too far for the right-wing members of his own community. Mahathir himself had, of course, been plotting and planning for months to create a more Malay-centric government both to advance his Ketuanan Melayu agenda as well as to stymie Anwar (whom he personally loathed). His plan was to entice UMNO and PAS parliamentarians (sans some of their leaders) to join his own stable of parliamentarians to form a new Malay unity government.  What he didn’t count on was that Muhyiddin, who did not share his scruples about tainted UMNO leaders, would beat him to it. Whatever it is, the end result was a seismic political shift no less significant than May 13th. The ‘Sheraton Move’ effectively nullified the results of GE14, disenfranchised the non-Malay vote, curtailed power-sharing with non-Malays and re-established absolute Malay hegemony. The Malaysian spring, along with the reformasi agenda, is now over. Will a harsh winter follow? - Dennis Ignatius 
Nilah Rohingya yg walaun dok sanjong...
Kalu UMNO bela 'lembu dlm kondo'..
mai Rohingya, depa bela kambing dlm flat...
Ni Melayu Islam di Kawthaung Island, South of Myanmar...
Story kat sini...
Katanya esok EXCO Perak dan Timbalan Menteri Kesihatan akan didakwa di Mahkamah Gerik esok kerana melanggar PKP... Tahniah lah Polis Perak..Sebab sebelum ni ada laporan kata, yang pihak Polis kata mereka ni duduk dalam jarak selamat.Diharap dipenjaralah walaupun sehari sebagai satu teladan kepada Rakyat..jangan hanya denda..sebabnya itu bukanlah satu teladan yang baik..Rakyat bukan hanya didenda, ada dipenjara, ada diikat jamin dan dinafikan ikat jamin..Lepas tu jangan lupa anak Presiden UMNO dgn suaminya pulak...- f/bk
Menteri Afrika Selatan didenda pasa langgar PKP...
Tumblr media
cheers.
Sumber asal: Quo vadis Azmin Ali... Baca selebihnya di Quo vadis Azmin Ali...
0 notes
duniairputih · 5 years
Text
Fathu Makkah, Kemenangan yang Nyata
Tak ada yang lebih menggelora semangatnya selain para sahabat yang telah mendapat seruan perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Peperangan hanya salah satu cara Allah memuliakan jiwa-jiwa manusia yang tertanam kokoh keimanan dihatinya. Karena makna jihad bukan untuk menguasai sebuah negeri, melainkan menegakkan kalimat Allah.
Sungguh bagi para sahabat kemenangan bagi kaum muslimin telah semerbak harumnya. Disaat dengan mudahnya Rasulullah menandatangani perjanjian Hudaibiyah yang tidak menguntungkan kaum muslimin, namun seketika kaum muslimin dibuat tenang oleh ucapan Rasulullah bahwa, "Aku hanyalah seorang hamba Allah, dan utusan-Nya."
Sahabat tahu, ada saat dimana Rasulullah tidak menjawab sebuah pertanyaan, dan itu adalah wahyu. Hilanglah sudah segala keraguan. Begitulah batin yang telah terselimuti dengan cahaya keimanan. Sahabat meyakini bahwa ini adalah awal mula kemenangan yang besar.
Mukmin itu paling teguh memegang janjinya. Sedangkan kaum kafir Quraisy mudah sekali mengingkarinya. Maka perjanjian yang awalnya berlaku untuk 10 tahun ke depan, hanya bertahan tak sampai 2 tahun lamanya. Inilah awal mula proses pembebasan Makkah meski dengan berbagai macam strategi awal yang Rasulullah lakukan sebelumnya. Kisah ini juga menjadi saksi bagaimana seorang pemimpin Quraisy saat itu (Abu Sufyan) benar-benar dipermalukan di Madinah, negeri yang kelak jadi pusat peradaban islam itu.
Saat itu bulan Ramadhan di hari ke-10 bersama dengan tak kurang dari 10.000 pasukan muslimin, Rasulullah memimpin pasukan dengan gegap gempita bergerak kearah Makkah yang berada di selatan Madinah. Sampai pada suatu daerah, Rasulullah membagi rombongan menjadi beberapa kelompok diantaranya dipimpin oleh Abu Ubaidah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Ubadah yang nantinya dipertengahan jalan akan digantikan dengan sang anak, lalu kelompok terakhir dipimpin oleh Khalid bin Walid yang belum lama memeluk keislamannya.
Kelompok-kelompok itu akan berjalan ke arah berbeda, dimaksudkan untuk menyelimuti Makkah dari segala sisi. Membuat gentar bagi manusia manapun melihatnya. Sedangkan dihadapan Rasulullah, ada Abbas yang membimbing Abu Sufyan bertemu dengan Rasulullah.
"Sungguh bukankah engkau telah meyakini bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam dan aku adalah utusan-Nya?"
Pada saat itu pula Abu Sufyan menyatakan keimanan dihadapan Rasulullah. Telah luruh kekuatannya melihat begitu banyak pasukan muslimin yang telah Memasuki Makkah.
Untuk melembutkan hati seseorang terkadang kita harus memberikan sesuatu yang mereka sukai. Rasulullah tahu benar bahwa seorang Abu Sufyan adalah seorang yang gila hormat. Maka saat itu diberinya sebuah kepercayaan.
"Wahai Abu sufyan, sampaikan kepada penduduk Quraisy, bagi mereka yang berada di rumah ibadah, mereka aman. Bagi mereka yang menutup pintu rumahnya, mereka aman. Bagi mereka yang berlindung di dalam rumah Abu Sufyan, mereka aman."
Terbukalah gerbang kota Makkah dengan pasukan muslimin memenuhi setiap jalan utamanya. Melangkah maju ke dalam pusat kota. Menghancurkan 350 berhala yang mengelilingi Ka'bah dengan sempurna itu hingga tak bersisa. Lalu dibuka dengan seorang kulit hitam yang dengan gagahnya mengumandangkan adzan di atasnya.
Berkumpullah seluruh penduduk Quraisy di depan Ka'bah. Siap mendengarkan perkataan apapun dari Rasulullah, lelaki mulia pembawa risalah itu dengan penuh ketakutan dan rasa jeri.
Namun bukan muslim namanya jika menguasai sebuah kota menyebabkan kehancuran di dalamnya. Suatu negeri yang pernah dikuasai muslim, maka terbebas dari segala sisi kegelapan. Negeri itu akan makmur dengan kejayaan dan kemuliaan.
Jiwa yang paling lapang adalah ketika mampu memaafkan saat mampu membalas.
Seperti perlakuan Nabi Allah Yusuf 'Alaihisalam kepada saudara-saudaranya. Hingga perkataan itu Rasulullah ucapkan pula saat Fathu Makkah. Subhanallah ketika Rasulullah masuk ke dalam Ka'bah, diajaknya Usamah dan Bilal untuk menemani beliau. Bukan tanpa sebab, Rasulullah ingin menunjukkan kepada penduduk Quraisy bahwa orang-orang yang dulu mereka hinakan, kini memiliki kedudukan yang jauh lebih mulia dari para penghinanya terdahulu.
Hari itu, dari dalam Ka'bah diawali dengan pujian kepada Allah, Rabb semesta alam. Dihadapan para pembesar Quraisy yang gemetar ketakutan. Rasulullah berkata, "Kira-kira menurut kalian, apa yang akan aku lalukan terhadap kalian?"
Kita tahu masa-masa berat Rasulullah dalam menyampaikan risalah begitu keras mendapat pertentangan dari para kafir Quraisy. Segala bentuk kekerasa fisik maupun verbal telah mereka perbuat kepada manusia yang paling lembut hatinya.
Maka dengan tubuh yang bertambah gemetar, terkoyak jiwanya, runtuh harga dirinya, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain mengemis belas kasih dihadapan Rasulullah.
"Kalian adalah saudara kami yang mulia, yang dermawan. Kalian juga anak dari saudara kami yang mulia, yang dermawan."
Tapi beginilah jawaban dari lelaki yang paling lapang jiwanya, "Hari ini aku akan berkata seperti Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya. ....kalian sudah tidak memiliki kesalahan lagi padaku. Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian. Semoga Allah mengampuni kalian. Dan Allah adalah zat Paling Penyayang diantara para penyayang."
Usai sudah segala kejahiliyahan, kemusyrikan, serta kekufuran. Fathu Makkah adalah kemenangan terbesar. Hari dimana penuh dengan kasih sayang. Saat dimana Allah muliakan ka'bah-Nya. Menerangi seluruh kota yang selama ini terlingkup dengan kemusyrikan menjadi terang benderang dengan cahaya keimanan. Tak ada kehinaan, sebab pada hari itu telah termuliakan kaum Quraisy. Mereka yang tak beriman, berhak meninggalkan kota dengan keadaan aman.
Rasulullah tinggal di Makkah sampai 19 hari. Timbul ketakutan pada batin kaum Anshar bahwa Rasulullah tidak akan lagi kembali ke Madinah. Maka indah nian Rasulullah menjawab, "Aku hidup bersama kalian, aku mati juga bersama kalian."
Subhanallah, tidak ada hati yang lebih riuh penuh kegembiraan dibanding mendengar ucapan dari sebaik-baik manusia di seluruh semesta itu. Tak ada obat hati paling mujarab selain Rasulullah yang menetap pada jiwa-jiwa yang mencintai dan dicintainya. Maka telah hilang kegundahan, sungguh bersama islam adalah kemenangan yang begitu nyata.
0 notes
wrismawan · 7 years
Text
Surat Al-An’am [Bag.1/22]
Surat ke-36 dari Serial cuplikan “Khowatir Quraniyah: Kunci Memahami Tujuan Surat-surat Al-Quran”, karya Amru Khalid. InsyaAllah terbit setiap hari jam 4.00am WIB (khusus di bulan Ramadhan). Surat lainnya bisa disimak di sini.
1. Malam yang Terang
Surat Al-An’am diturunkan dengan sejumlah keistimewaan. 
Pertama, diturunkan kepada Nabi saw langsung satu surat penuh pada satu malam. Sementara itu semua surat yang terbilang panjang (Ath-Thiwal) dalam Al-Qur’an, ayat-ayatnya diturunkan secara terpisah (tidak sekaligus).
Kedua, suwaktu surat tersebut diturunkan, tujuh puluh ribu malaikat yang memiliki zajlun, suara keras lagi memekik, berhimpun sambil mengucap tasbih dengan penuh ketulusan. 
Semua ini berlangsung pada waktu malam hari. Betapa agung malam kedatangan para Malaikat yang mengembangkan sayapnya di kegelapan malam yang mengiringi turunnya surat Al-Qur’an yang mulia. Hal itulah yang memberikan naungan halus dan menjadikan kita selalu mencari dan mendalami kandungan surat dan tujuannya.
>> Index pembahasan surat Al-An’am <<
Serial lainnya:
Khowatir Qur’aniyah: Al-Maidah
Khowatir Qur’aniyah: An-Nisaa’
Khowatir Qur’aniyah: Ali Imran
Khowatir Qur’aniyah: Al-Baqarah
Khowatir Qur’aniyah: Al-Fatihah
Khowatir Qur’aniyah: Juz 28
Khowatir Qur’aniyah: Juz 29
Khowatir Qur’aniyah: Juz 30
100 Muslim Paling Berpengaruh 1-76 | 77-100
5 notes · View notes
riohidayat · 7 years
Text
Daya Kritis Ngaji
Saya kok agak gelisah. Belakangan, seorang sahabat saya bilang, “Ane udah ga ngaji halaqoh Le, Ane sekarang ngaji sunnah.” Terus saya candai, “Lha, emang halaqoh ga sunnah?” sambil senyum. Dia bilang, “Istilah Le...” Dia juga senyum salah tingkah, terus kata saya, “Oh... Yaudah gapapa.” Percakapan itu terjadi beberapa bulan lalu. Toh memang tidak apa-apa, dia masih mau ngaji itu baik, dan toh saya sudah biasa bersahabat dengan orang dari beragam latar belakang. Duh gimana bilangnya dengan nada yang nggak terkesan pencitraan ya, tapi intinya ya gitu. Hehe.
Namun belakangan saya agak khawatir sama beliau ini. Setiap ada jamaah muslim tradisional yang dzikir, atau ketika kita berbicara dan diskusi, ujungnya selalu ke penilaian; ini salah, ini enggak ada dalilnya, ini bid’ah dan... seterusnya.
Selalu saya bilang, “kalo yang mengecap dan bilang gitu ustadz-ustadz di pengajian, ya mungkin mereka bisa mempertanggungjawabkan. Mereka belajar bertahun-tahun sehingga punya kesimpulan demikian. Kita jamaah nyimak aja, enggak perlu ikut-ikutan menilai.” Biasanya, setelah kalimat saya ini, diskusi kita makin hangat.
Kita skip dulu ya, bicarain sahabat saya ini. saya mau bicara hal lain dulu yang saya temukan malam tarawih kemarin.
Untuk pendahuluan, saya mungkin perlu bilang bahwa, negri kita ini mayoritas muslim tradisionalnya menganut paham akidah asy’ariyyah (diwakili kalangan NU yang mendakwahkannya), yang, asy’ariyyah (asya’iroh) ini dicap oleh kalangan salafi (akidah atsari) sebagai kalangan yang sesat. Fakta yang lebih menarik lagi, menurut DR. Yusuf Qaradhawi, akidah Asy’ari ini mayoritas di dunia. Waduh!
Oke, saya mengajak siapapun yang baca tulisan ini untuk jujur pada beberapa poin ini:
Di antara dua kalangan yang sering berbenturan (atau dibenturkan?) ini, (Atsari dan Asy’ari)
1. Mana yang dakwahnya lebih ilmiyah (dalil-dalilnya kuat, dan shahih)?
2. Mana yang dakwahnya lebih mengutamakan adab dan mengena di masyarakat?
Saya pikir kalau kita semua jujur dan objektif, saya rasa jawaban untuk pertanyaan pertama adalah Atsari dan kedua Asy’ari.
Terus terang, kegalauan saya tentang cap sesat Asy’ari dari Atsari sudah lama saya rasa dan renungkan. Ada waktu yang cukup panjang untuk saya menelusuri bagaimana posisi keduanya ini sampai saya menemukan keduanya memang tidak akur. Saya lupa detilnya, tapi keduanya saling ada tuduhan bahwa pihak sana memalsukan hadits, atau menghapus hadits dari kitab ini dan itu. Sampai di sini, saya merasa saya sudah tidak perlu mencari tahu lebih lanjut. Tuduh-tuduhan tidak akan ada akhirnya.
Dan silakan lakukan penelusuran yang sama, saya yakin kamu juga akan menemukan hal yang sama. Selain karena lupa, dan penelusuran saya sifatnya daring (online), sengaja, saya pikir saya tidak perlu tulis di sini. Semua orang bisa melakukan hal yang sama. Cuma butuh daya kritis dan semangat mencari kebenaran.
Kenapa perlu kritis sampe ke ranah akidah begini? karena ini akar dari salah paham yang terjadi di masyarakat kita. ada cap sesat dari salah satu pihak, dibalas oleh pihak lain, ada (banyak) cap bid’ah untuk hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak oleh pihak lain, lalu ada cap panggilan yang tidak tepat dan buruk untuk pihak lain dari pihak yang satunya. Sudah jadi lingkaran setan, kalau aku benar, maka dia salah. Kalau aku sunnah, maka dia... (apa dong?)
Oke jangan sampai terlalu jauh. Kembali ke apa yang saya temukan kemarin di solat tarawih, saat imam memimpin solat witir. Ketika rakaat ketiga, sang imam memimpin doa qunut. Imam ini, bacaannya indah sekali masya Allah, sayang yang mengangkat tangan ketika qunut di shaf pertama di masjid ini hanya segelintir. Lho kenapa ya?
Inilah kegagalan kita mencari tahu tentang agama. Kita telanjur percaya dan menerima apa saja yang diberikan, tanpa dikritisi, atau dicari lebih lanjut.
Saya akui, ada masa-masa saya ragu ketika bermakmum solat subuh dan imam ketika membaca qunut apakah saya ikut mengaminkan atau tidak. Sampai kemudian hari saya temukan bahwa salah satu kaidah bermakmum itu, mengikuti imam sepenuhnya. Bukankah pernah kita membaca Buya Hamka dan KH. DR. Idham Khalid yang saling bertoleransi soal fiqh ini ketika salah satunya mengimami yang lain. Ketika Buya Hamka yang Muhammadiyah menjadi imam, saat subuh ia akan membaca qunut bagi makmumnya, KH. DR. Idham Khalid; demikian sebaliknya. Kalau jadi imam saja bisa, kenapa jadi makmum tidak bisa?
Yang lebih menarik lagi adalah, qunut witir adalah satu hal yang dianjurkan oleh semua mazhab (kecuali mazhab Malikiyah). Jadi kenapa ini tidak mengangkat tangan ketika qunut? Karena bid’ah? Karena beda mazhab? Atau karena munfarid? Lha kok berdiri di belakang imam? Hehehe. 
Itulah kenapa semakin kesini, saya pribadi merasa tidak perlu men-judge amalan seseorang. Seperti diskusi saya di hari yang lain dengan sahabat saya tadi, mengenai mengirimi bacaan quran kepada mayit, bid’ahkah?
Silakan dijawab dan cari tahu sendiri, insyaAllah kebijaksanaan itu bukan diberitahu, tapi penulusuran yang kita lakukan sendiri.
Dengan kebablasan, masyarakat barat menganggap agama adalah hal privat yang tidak boleh samasekali dibacarakan di muka umum. Sementara Islam menyeimbangkan itu dengan konsep dakwah.
Saya pikir, yang privat itu soal imannya. Soal agamanya adalah perkara umum (dakwah). Maka, ketika menemukan amalan masyarakat Islam manapun yang kita lihat berbeda dengan apa yang kita kerjakan selama ini, cobalah ubah semangatnya. Ubah untuk memahami, dan kesimpulannya, bisa jadi masuk ranah privasi, bisa juga perkara dakwah.
Anggaplah perkara qunut witir yang saya temukan tadi. Karena dulu saya pernah baca, dikuatkan dengan barusan saya baca ulang lagi, maka ini perkara dakwah yang perlu disampaikan (mudah-mudahan pemahaman saya benar, insyaAllah). Namun, jika kesimpulannya sekedar perbedaan penafsiran, perbedaan metode dalam memahami fiqh, dan seterusnya... Saya pikir ini perkara privat. Sebab, perkara privat ini juga soal preferensi, selain soal iman. Bisa jadi yang kita temukan baru itu ternyata sesuatu yang kita belum ketahui dan kita sepakat dengan metode, penafsiran dan kita sukai, maka kita setujui; bisa jadi kita amalkan di kemudian hari. Namun, jika yang kita temukan baru itu adalah sesuatu yang berbeda metode, penafsiran, dan tidak kita sukai, (selama masih dalam bingkai ahlusunnah wal jama’ah), cukup kita simpan dalam ingatan dan bertoleransi dengan pengamal-pengamalnya.
Dengan zaman yang informasi bisa kita akses dalam hitungan detik dan materi kajian bisa kita gapai hanya dalam beberapa menit melangkah keluar rumah ini, apa susahnya jika menambah semangat berilmu itu disertai dengan semangat memahami, bukan membenci, bukan cap yang diberi?
Maafkan kelemahan dalil dan argumentasi dari tulisan ini. Rasanya sudah lama saya tidak menulis seperti ini. Belakangan saya mencukupkan diri saya untuk berdakwah-tulisan melalui fiksi saja, sementara hal-hal semacam ini saya anggap wilayah privat, tapi rasanya gelisah juga kalau tidak ditulis.
Saya pikir tulisan ini cukup sampai di sini saja, sebab tujuan bukan memberitahu, tapi menyebarkan semangat. Saya ingin siapapun yang membaca tulisan ini tergerak untuk melakukan hal yang sama. Tambah semangat mengilmui untuk diri itu dengan semangat memahami bagi orang lain. Ubah semangat menjustifikasi itu menjadi semangat untuk mengerti. Kita ini muslim, satu negeri. Dan bukankah kita berbeda-beda agar saling mengenal? Mengenal tentunya memahami. Mengenal pastinya mengerti. Mengenal artinya memberi toleransi.
Mari timbulkan daya kritis dalam diri, timbulkan pertanyaan mengapa, apa, bagaimana setiap melihat sesuatu yang baru. Bukan sekedar apa-maka.
(catatan: tadinya saya mau mengutip hadits nabi SAW mengenai terpecahnya umat Islam kedalam 73 golongan dan hanya 1 yang diridhoi Allah, tapi tidak jadi. Faktanya, saya belum menemukan kesimpulan apakah akidah dua murid Imam Syafi’i, Asy’ari dan Maturidi, yang mengaku ahlusunnah adalah betul ahlusunnah sebagaimana akidah atsari. Sepertinya semua ini masalah adab dan salah paham saja sebab sejauh ini yang saya temukan ketiganya hanya berbeda dalam metode memahami dan memahamkan akidah Islam yang lurus).
(catatan kedua: musibah umat Islam beberapa waktu lalu, yang mengundang berulang-ulang kali Aksi Bela Islam sebetulnya membawa kabar gembira juga. Baik kalangan penganut akidah atsari (meskipun sebagian) maupun penganut akidah asy’ari turun ke jalan karena merasa sakit hati yang sama, kitab sucinya dituduh dan dihina. Jika iman itu benar masalah privat, bukankah kita sudah berada di jalur dan semangat yang sama?).
Allahu’alam.
© Rio Pale Bogor | 16 Ramadhan 1438 H
2 notes · View notes
edgarhamas · 8 years
Text
... BAHKAN DALAM WAKTU YANG SULIT DIUKUR LOGIKA...
Kisah Umat Nabi Muhammad diawali dengan perjuangan. Ditindas, diremuk redam, diboikot sampai dibantai telah jadi tabiat ketika dakwah hadir. Namun selalu dan selalu, ketika pengemban dakwah berteguh memegang risalah, dunia kan takluk bahkan dalam waktu yang sulit diukur logika. "Jika Allah menolong kamu, maka tak ada yang dapat mengalahkanmu; jika Allah biarkan kamu, maka siapakah yang dapat menolongmu" [Ali Imran 160] Kamu ingat, saat dakwah terang-terangan kali pertama, Muslimin dilempar batu & disiksa, dibunuhi dan disandera. Ternyata, 18 tahun kemudian Rasul & umatnya masuki Makkah sebagai pembebas. Kamu ingat, situasi menegangkan saat Nabi tercinta & Abu Bakar bersembunyi di Goa Tsur dari ancaman pembunuhan kafir Quraisy? Dengan menakjubkan, 13 tahun kemudian Islam telah sampai berjaya di Persia, ribuan kilometer dari padang pasir Arabia. Kamu ingat gurumu bercerita? Kala Nabi tercinta tertanggal giginya, bermandi luka sekujur tubuhnya di medan Uhud dilengkapi dengan terbunuhnya Hamzah sang Singa Allah. Hebatnya, 14 tahun kemudian Islam telah sampai di aliran Sungai Nil dan piramida Mesir, jauh di timur Arabia. Kamu pernah baca, kala Rasul tersayang & umatnya kelaparan berbulan-bulan bertahan melawan koalisi puluhan kabilah kafir di perang Khandaq. Secara menakjubkan, 9 tahun berikutnya Umat Islam telah berdiri kokoh membebaskan Palestina, ribuan mil di utara. Kamu pernah dengar, kala Rasul termulia & umatnya berpeluh dan amat lelah mengepung belasan benteng Khaibar & nyaris diracuni. Dan hebatnya, 41 tahun kemudian Umat Islam telah berlayar tuk kepung Konstantinopel, ibukota Romawi Timur! Kamu ingat, tatkala Umat Islam meradang menerima seri dalam perang Mu'tah melawan Romawi dan sekutunya, Khalid bahkan pulang ke Madinah menunduk malu. Namun uniknya, dengan cepat 3 tahun berlalu, Umat Islam dipimpin Khalid menangkan perang Yarmuk melawan setengah juta pasukan Romawi. Kemenangan adalah urusan Allah, sungguh benar bahwa tugas kitalah untuk berusaha dan terus beramal demi tegaknya dakwah Islam mulia. Maka tak perlu kaget jika kelak; setelah hari ini kita lihat Arab diretakkan dan diluluhlantakkan, kelak ia akan kembali jaya dan berizzah. Maka tak perlu ragu; walau hari ini kita lihat Umat Islam Indonesia dipermainkan, Ulama dikerdilkan perannya, kemenangan akan teranugerahkan pada yang istiqomah. Wallahu A'lam @edgarhamas
173 notes · View notes
asqinajah · 8 years
Text
Jaket dan Sa'id bin Amir
Tadi pagi sempat mengutarakan ingin untuk membeli jaket baru dengan alasan hanya punya satu jaket yang hampir selalu dipakai dalam berbagai aktifitas, mulai dari perjalanan jauh, perjalanan pendek, dalam kondisi dingin, dan bahkan tidur. Kesannya memang alasan ini begitu masuk akal; kalau hanya punya satu, maka tiap ia dicuci tak ada lagi jaket yang bisa dipakai.
Namun, barusan Allah memberi kesempatan untuk teringat dengan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namanya, Sa'id bin Amir. Tak setenar Abu Bakar ataupun Bilal bin Rabah memang, tapi kukira kita telah sering mendengar kisahnya.
Sebuah kisah yang settingnya adalah masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Kezuhudan yang dimiliki oleh sahabat Rasulullah inilah yang jadi salah satu alasan Umar menjadikan Sa'id bin Amir sebagai kepala daerah di Syria, di Kota Homs; kota dimana orang-orangnya gemar menentang pemimpinnya, namun terhadap hamba Allah yang sholih-Sa'id bin Amir-, mereka cinta dan taat kepadanya.
Hingga suatu ketika, Khalifah Umar mengadakan kunjungan ke Homs, dan lalu menanyakan kepada para penduduk perihal pendapat mereka tentang Sa'id. Dan mereka pun mengajukan pengaduan yang sungguh malah mengungkap pribadi Sa'id yang mulia.
Satu diantara empat yang disampaikan adalah mengenai adanya dua hari di tiap bulan dimana Sa'id tak hendak menemui masyarakatnya.
Terang Sa'id tentang hal itu adalah: “Aku tak memiliki pembantu yang akan mencucikan pakaianku, sedang pakaianku pun tidak pula banyak. Jadi, terpaksalah aku mencucinya dan menunggunya sampai kering, dan baru dapat keluar di waktu petang.”
Itu baru cerita Sa'id bin Amir yang termaktub dalam buku Khalid Muhammad Khalid, “Karekteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah”, belum cerita-cerita lain perihal kezuhudan para manusia mulia di masa Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam.
Kisah-kisah nyata penuh pelajaran yang sungguh seharusnya lebih kita perhatikan dan disimak untuk diambil ibrahnya, dibanding dengan drama, maupun cerita buatan yang marak sekali adanya.
Dan dari sahabat semisal Sa'id itulah, jadi tamparan besar untuk bisa lebih bersederhana lagi dalam kehidupan. Bersederhana dalam gaya hidup, karena hari ini kita terlampau banyak mengikuti tren barat dan tren-tren negara maju lain yang menjauhkan kita dari prinsip kehidupan islam yang menjunjung tinggi kesederhanaan. .
Jadi, jaketnya cukuplah satu~
Jakarta, 21 Februari 2017
0 notes
turtleduckmocha · 2 months
Text
Tumblr media
cringe is dead, make crossover crackships of your blorbos NOW
THANK YOU @sozo-snipes for drawing the world's first ever Melclaude art, 10/10 would commission again 💯🔥🔥🔥
(it's an outfit swap bc i love outfit swaps. i think they look good in each other's drip)
25 notes · View notes
pesantrenpandeglang · 6 years
Text
Maimunah binti Al-Harits: Ummahatul Mukminin Terakhir
Dialah Maimunah binti al-Harits bin Huzn bin al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah al-Hilaliyah. Saudari dari Ummul Fadhl istri Abbas, dan beliau adalah bibi dari Khalid bin Walid dan juga bibi dari lbnu Abbas.
Beliau termasuk pemuka kaum wanita yang masyhur dengan keutamaannya, nasabnya, dan kemuliaannya. Mulanya beliau menikah dengan Mas’ud bin Amru ats-Tsaqafi sebelum masuk Islam, sebagaimana beliau. Namun beliau banyak mondar-mandir ke rumah saudaranya Ummu Fadhl, sehingga beliau mendengar sebagian kajian-kajian Islam dan tentang nasib dari kaum muslimin yang berhijrah. Sampai kabar tentang Badar dan Uhud yang mana hal itu menimbulkan bekas mendalam pada dirinya.
Tatkala tersiar berita kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar, kebetulan ketika itu Maimunah berada di rumah saudara kandungnya yaitu Ummu Fadhl, maka dia juga turut senang dan sangat bergembira. Namun manakala dia pulang di rumah suaminya ternyata dia mendapatkan, bahwa suaminya sedih dan berduka cita karena kemenangan kaum muslimin. Maka, hal itu memicu mereka pada pertengkaran yang mengakibatkan perceraian. Maka beliau keluar dan menetap di rumah al-‘Abbas.
Ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah yang mana Nabi SAW diperbolehkan masuk Makkah dan tinggal di dalamnya selama tiga hari untuk menunaikan haji dan orang-orang Quraisy harus membiarkannya.[1] Pada hari itu kaum muslimin masuk Makkah dengan rasa aman, mereka mencukur rambut kepalanya dengan tenang tanpa ada rasa takut. Benarlah janji yang haq, dan terdengarlah suara orang-orang mukmin membahana, “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaik…”
Mereka mendatangi Makkah dalam keadaan tertunda, setelah beberapa waktu bumi Makkah berada dalam kekuasaan orang-orang musyrik. Maka, debu tanah mengepul di bawah kaki orang-orang musyrik yang dengan segera menuju bukit-bukit dan gunung-gunung, karena mereka tidak kuasa melihat Muhammad dan para sahabatnya kembali ke Makkah dengan terang-terangan, kekuatan, dan penuh wibawa. Yang tersisa hanyalah para laki-laki dan wanita yang menyembunyikan keimanan mereka, sedangkan mereka mengimani bahwa pertolongan sudah dekat.
Maimunah adalah salah seorang yang menyembunyikan keimanannya tersebut. Beliau mendengarkan suara yang keras penuh keagungan dan kebesaran. Beliau tidak berhenti sebatas menyembunyikan keimanan, akan tetapi beliau inginkan agar dapat masuk Islam secara sempurna dengan penuh izzah (kewibawaan) yang tulus agar terdengar oleh semua orang tentang keinginannya untuk masuk Islam. Harapannya adalah kelak akan bernaung di bawah atap nubuwwah, sehingga dia dapat minum pada mata air agar memenuhi perilakunya yang haus akan akidah yang istimewa tersebut, akhirnya mengubah kehidupan beliau menjadi seorang pemuka bagi generasi yang akan datang.
Dia bersegera menuju saudara kandungnya yakni Ummu Fadhl dengan perasaan yang tergesa-gesa untuk menjadi seorang ibu dari Ummahatul mukminin. Saudarinya tersebut kemudian membicarakan dengan suaminya ‘Abbas dan diserahkanlah urusan tersebut kepadanya. Tidak ragu sedikit pun ‘Abbas tentang hal itu, bahkan beliau bersegera menemui Nabi SAW dan menawarkan Maimunah untuk Nabi. Akhirnya Nabi menerimanya dengan mahar 400 dirham.[2] Dalam riwayat lain, bahwa Maimunah adalah seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi SAW maka turunlah ayat dari Allah Tabaraka wa Ta’ala:
“… dan perempuan mukmin yang menyerahkan diri kepada Nabi kalau Nabi mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin…” (QS. al-Ahzab: 50).[3]
Ketika sudah berlalu tiga hari sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy mengutus seseorang kepada Nabi SAW. Mereka mengatakan, “Telah habis waktumu maka keluarlah dari kami.” Maka Nabi SAW menjawab dengan ramah:
“Bagaimana menurut kalian jika kalian biarkan kami dan aku merayakan pernikahanku di tengah-tengah kalian dan kami suguhkan makanan untuk kalian??!”
Maka mereka menjawab dengan kasar, “Kami tidak butuh makananmu maka keluarlah dari negeri kami!”[4]
Sungguh ada rasa keheranan yang disembunyikan pada diri kaum musyrikin selama tinggalnya Nabi SAW di Makkah, yang mana kedatangan beliau meninggalkan kesan yang mendalam pada banyak jiwa. Sebagai bukti dialah Maimunah binti al-Harits, dia tidak cukup hanya menyatakan keislamannya bahkan lebih dari itu beliau daftarkan dirinya menjadi istri Rasul SAW, sehingga membangkitkan kemarahan mereka. Untuk berjaga-jaga Rasulullah SAW tidak mengadakan walimatul ‘urs dirinya dengan Maimunah di Makkah. Beliau mengizinkan kaum muslimin berjalan menuju Madinah. Tatkala sampai di suatu tempat yang disebut “Sarfan” yang berjarak 10 mil dari Makkah maka Nabi SAW memulai malam pertamanya bersama Maimunah r.a.. Hal itu terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hijriyah.
Mujahid berkata, “Dahulu namanya adalah Bazah, namun Rasulullah SAW menggantinya dengan Maimunah.[5] Maka sampailah Maimunah ke Madinah dan menetap di rumah nabawi yang suci sebagaimana cita-citanya yang mulia, yakni menjadi Ummul Mukminin yang utama, menunaikan kewajiban sebagai seorang istri dengan sebaik-baiknya, mendengar dan taat, setia dan ikhlas. Setelah Nabi SAW menghadap Ar-Rafliqul A’la, Maimunah hidup selama bertahun-tahun hingga 50 tahunan. Semuanya beliau jalani dengan baik dan takwa, serta setia kepada suaminya penghulu anak Adam dan guru seluruh manusia yakni Muhammad bin Abdullah SAW. Hingga karena kesetiaanya kepada suaminya, beliau berpesan agar dikuburkan di tempat di mana dilaksanakan walimatul ‘urs dengan Rasulullah.[6]
‘Atha’ berkata, “Setelah beliau wafat, saya keluar bersama Ibnu Abbas. Beliau berkata, ‘Apabila kalian mengangkat jenazahnya, maka janganlah kalian menggoncang-goncangkan atau menggoyang–goyangkan.’ Beliau juga berkata, “Lemah lembutlah kalian dalam memperlakukannya karena dia adalah ibumu’.”[7]
Berkata ‘Aisyah setelah wafatnya Maimunah, “Demi Allah telah pergi Maimunah, mereka dibiarkan berbuat sekehendaknya. Adapun demi Allah beliau adalah yang paling takwa di antara kami dan yang paling banyak bersilaturrahim.”[8]
Keselamatan semoga tercurahkan kepada Maimunah yang mana dengan langkahnya yang penuh keberanian tatkala masuk Islam secara terang-terangan membuahkan pengaruh yang besar dalam mengubah pandangan hidup orang-orang musyrik dari jahiliyah menuju dienullah, seperti Khalid dan Amru bin ‘Ash r.a. dan semoga Allah meridhai para shahabat seluruhnya. [WARDAN/DR]
Sumber: Mereka adalah Para Sahabiyat
Footnote:
[1] lsi perjanjian bahwa Rasul dan para sahabat akan kembali pada tahun 6 Hijriyah, maka mereka tidak akan masuk pada tahun itu. Kemudian mereka masuk Makkah pada tahun berikutnya dan mereka menetap selama tiga hari. Lihatlah Isi perjanjian Hudaibiyah dalam Tarikh ath-Thabari (III/79) dan Thabaqat Ibnu Sa’ad (Il/70)
[2] Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIII/133)
[3] Lihat As-Sirah lbnu Hisyam (IV/296), aI-Ishabah (Vlll/192), al-Istii’ab (IV/1916), Thabaqat Ibnu Sa’ad (Vlll/137) dan aI-Ahzab: 115.
[4] As-Sirah (IV/296), Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIIl/138), ath-Thabari dalam ath-Tarikh (III/100) dan aI-Ishabah (VIII/192).
[5] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (Vlll/137) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (lV/30) dan dishahihkan serta disetujui oleh adz-Dzahabi.
[6] Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (VIlI/139) dan al-Hakim dalam aI-Mustadrak (lV/31) dan dishahihkan serta disepakati oleh adz-Dzahabi.
[7] Separuh pertama diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (VIII/140) dan al-Hakim (IV/32) dari jalan lain, dishahihkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Adapun separuh yang kedua dari perkataan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad dari jalan al-Waqidi (Vlll/140).
[8] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (Vlll/138) dan al-Hakim (lV/32), keduanya dari jalan Yazid bin al-Asham.
from WordPress https://ift.tt/2PTtXRi via IFTTT
0 notes
belajarislamonline · 6 years
Photo
Tumblr media
Perang Tabuk (1): Mengguncang Romawi di Tabuk
Latar Belakang Perang
Pasca peristiwa Fathu Makkah, sirnalah keraguan manusia terhadap risalah yang diemban Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun memeluk Islam berbondong-bondong. Sementara kaum muslimin mulai tenang mempelajari dan mengamalkan Islam di negeri-negeri mereka sendiri.
Tetapi, nun jauh di utara, di luar bumi Hijaz; satu kekuatan besar mengancam perkembangan agama yang baru bersemi ini. Kekuatan Imperium Romawi!
Sebuah kekuatan imperium yang menguasai belahan bumi bagian barat. Negara yang sudah memiliki strata peradaban maju untuk ukuran kala itu. Jauh melampaui negara-negara Arab yang ada. Bahkan, kekuatan kabilah Arab yang ada seperti Quraisy, tidak ada artinya di hadapan kekuatan imperium Romawi.
Namun kebesaran Romawi tak menyurutkan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selepas Perjanjian Hudaibiyah, beliau mengirimkan beberapa surat kepada para raja, antara lain ditujukan ke kekuasaan Romawi. Beliau pun mengutus Harits bin Umair al-Azdi. Namun dalam perjalanan, utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dibunuh oleh Syurahbil bin Amr al-Ghassani.
Membunuh utusan bukan hanya pelanggaran HAM tingkat tinggi tapi juga penghinaan besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun segera mengirimkan ekspedisi sehingga pertempuran sengit di Mu’tah. Perang melawan pasukan Romawi ini menyebabkan gugurnya para panglima pasukan muslimin; Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah. Meski ketiga panglima itu gugur, tapi umat Islam bisa menyelamatkan diri dengan pimpinan Panglima tersohor Khalid bin Walid yang belum genap empat bulan keislamannya saat itu.
Kemenangan pasukan Islam di Mu’tah tidak pernah diperhitungkan oleh Heraklius, raja Romawi ketika itu. Sehingga dia tidak merasa perlu melakukan perjanjian damai dengan kaum muslimin untuk menjaga keamanan wilayah kekuasaannya.
Sebaliknya, bagi kabilah Arab lainnya yang menjadi jajahan Romawi, peristiwa Mu`tah telah memberi pengaruh begitu dalam. Satu demi satu mereka melepaskan diri dari kekuasaan Romawi dan perlahan memeluk Islam.
Setelah melihat kondisi inilah Heraklius baru menyadari betapa perlunya menyiapkan pasukan untuk menumpas gerakan kaum muslimin agar tidak mengganggu kekuasaan Romawi. Maka Heraklius pun segera memobilisasi rakyatnya.
Sampailah berita persiapan tentara Romawi untuk menyerang kaum muslimin ke kota Madinah. Berita ini cukup mengguncangkan para sahabat di Madinah. Keguncangan ini antara lain tampak dari dialog antara Umar bin Khaththab dengan seorang sahabat Anshar.
Saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang “memboikot” istri-istrinya selama satu bulan dan menyendiri di sebuah loteng (tingkat atas) rumah beliau. Waktu itu, Umar bin Khaththab dan sahabat Anshar saling bergantian hadir di majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu ketika sahabat Anshar itu datang mengetuk pintu Umar dengan kerasnya. Umar langsung membuka pintu dengan bergegas dan berkata, “Ada apa? Apakah pasukan Ghassan (Romawi) sudah menyerang?”
“Bukan. Ada yang lebih dahsyat dari itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikan istri-istri beliau,” kata sahabat tersebut.
Dialog ini menunjukkan betapa gentingnya keadaan saat itu. Sampai-sampai ketika ada berita yang datang, mereka mengira kabar tentang datangnya serangan pasukan Romawi, bukan yang lainnya.
Persiapan Menuju Tabuk
Pertahanan yang paling baik adalah menyerang. Itulah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertekad menyerang Romawi lebih dulu meskipun ketika itu musim panas begitu hebat. Keadaan perekonomian sedang mengalami masa-masa sulit.
Berbeda dengan perang-perang sebelumnya, kali ini beliau sengaja menampakkan rencana perang ini kepada kaum muslimin. Padahal biasanya, apabila hendak berangkat berperang, beliau selalu menampakkan seolah-olah bukan untuk berperang. Tapi dalam perang ini tidak. Bahkan beliau mengajak kabilah-kabilah Arab dan orang-orang badui agar berangkat bersama beliau. Maka terkumpullah pasukan cukup besar, yaitu sekitar 30.000 orang.
Walaupun keadaan serba sulit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mendorong kum muslimin bersiap-siap untuk berperang. Beliau membangkitkan semangat orang-orang yang berharta agar berinfak di jalan Allah. Maka berlomba-lombalah para hartawan mengeluarkan hartanya untuk membiayai Jaisyul ‘Usrah (Pasukan yang kesulitan) tersebut.
Imam az-Zuhri menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya kalau ingin berangkat berperang, melakukan serangkaian taktik. Misalnya dengan membuat kiasan atau kata-kata sandi. Tetapi dalam perang Tabuk ini, beliau justru menyampaikan terang-terangan tujuan dan sasarannya agar kaum muslimin bersiap-siap. Beliau sampaikan bahwa yang dituju adalah Romawi.”
Seruan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini direspon dengan sikap berbeda-beda. Suatu hari dalam situasi persiapan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jadd bin Qais, salah satu keluarga kabilah Bani Salimah. “Hai Jadd, apakah tahun ini engkau ada keinginan terhadap orang-orang kulit Banil Ashfar (orang bule)?”
Jadd menukas, “Ya Rasulullah, izinkanlah saya (tidak ikut berperang). Jangan Anda jerumuskan saya dalam fitnah. Demi Allah, kaumku semua tahu bahwa tidak ada laki-laki yang paling besar kekagumannya kepada wanita daripada aku. Saya khawatir kalau saya melihat wanita bule itu, saya tidak dapat bersabar.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meninggalkannya sambil berkata, “Saya beri izin untukmu.”
Tentang Jadd inilah turun firman Allah:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ ائْذَنْ لِي وَلَا تَفْتِنِّي أَلَا فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُوا وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةٌ بِالْكَافِرِينَ
“Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah.” Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (QS at-Taubah: 49).
Ada pula dari kalangan kaum munafikin yang mengatakan, “Janganlah berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Mereka merasa tidak membutuhkan jihad serta meragukan kebenaran dan menimbulkan keguncangan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah menurunkan firman-Nya,
فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah, “Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas (nya)”, jikalau mereka mengetahui.” (QS at-Taubah: 81).
Nabi terus memotivasi para sahabatnya untuk berangkat atau membiayai perang. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mempersiapkan pasukan ‘usrah maka surga baginya.” Maka berinfaqlah para shahabat, seperti Utsman bin Affan.
Abdurrahman bin Hubab menceritakan tentang infaq Utsman bin Affan, “Aku menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi para shahabat dalam Jaisy al-‘Usrah, maka Utsman bin Affan berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku akan memberikan 100 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi lagi, dan Utsman kembali berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku akan memberikan 200 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi lagi, dan Utsman kembali berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan memberikan 300 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!’.
Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar dan berkata, ‘Tidak ada bagi Utsman sesuatu yang akan menimpanya setelah ini, tidak ada bagi Utsman sesuatu yang akan menimpanya setelah ini’. (HR Tirmidzi 5/626).
Tak hanya hewan tunggangan, Utsman juga memberikan dana cash. Abdurrahman bin Samurah berkata, “Utsman bin Affan datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa 1000 dinar dalam kantong pakaiannya, ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mempersiapkan pasukan dalam Jaisy al-‘Usyrah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya dan berkata, ‘Tidak ada yang dapat membahayakan Ibnu ‘Affan setelah hari ini (yaitu jaminan surga atas Utsman, pen)’, beliau mengulang-ulang perkataan ini.” (Musnad Imam Ahmad 5/63).
Umar bin Khaththab bershadaqah dengan separuh hartanya. Ia mengira itu bisa mengalahkan Abu Bakar. Ternyata Abu Bakar datang membawa semua yang ia miliki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku tinggalkan untuk mereka, Allah dan Rasul-Nya.” Umar pun berkata, ‘Tidak akan pernah aku mengalahkan Abu Bakar selama-lamanya.’ (Sunan Abi Daud 2/312 dan 313, no. 1678).
Abdurrahman bin Auf juga berinfaq dengan 2000 dirham, dan itu adalah separuh dari harta yang ia miliki saat itu, untuk keperluan perang Tabuk (Lihat As Sirah fi Dhau’ Al Mashadir Al Ushuliyah hal. 616).
Juga diriwayatkan bahwa shahabat lainnya berinfaq dalam jumlah yang besar, seperti Abbas bin Abdul Muthalib, Thalhah bin Ubaidillah, Muhammad bin Maslamah, dan Ashim bin Adi (Lihat Al-Maghazi Al-Waqidi 3/391).
Tak ketinggalan, para shahabat yang berasal dari golongan fuqara’ juga menyumbangkan apa yang mereka miliki. Hal ini menjadi bahan  ejekan kaum munafiqin.
Dikisahkan, Abu Uqail datang membawa setengah sha’ kurma, kemudian kaum munafiqin datang membawa infaq yang lebih banyak, dan berkata, “Sungguh Allah tidak butuh shadaqah sesedikit itu, tidaklah orang berinfaq sedemikian rupa melainkan hanya untuk riya’”
Kemudian turun ayat,
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ
“(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya,”  (QS at-Taubah: 79)
Setelah turun ayat tersebut, mereka ganti berkata, “Tidaklah (Abdurrahman) Ibn Auf bersedekah melainkan karena riya.”
Begitulah karakter orang munafik. Mereka menyebut shadaqah orang-orang kaya sebagai riya’, dan mengejek shadaqah orang-orang faqir.
Para fuqara’ dari kalangan mukminin sedih karena mereka tidak memiliki harta yang dapat digunakan untuk berjihad. Adalah Ulbah bin Zaid, ia shalat malam dan menangis dalam shalatnya berkata, “Ya Allah sungguh, Engkau telah perintahkan aku untuk berjihad, dan aku sangat ingin untuk itu, namun tidak Engkau jadikan di sisiku ini apa yang dapat membantuku dalam memperkuat kedudukan Rasul-Mu.”
Hal ini pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengabarkan bahwa Ulbah telah diampuni. (Diriwayatkan dari jalur yang lemah, namun terdapat beberapa syahid yang shahih, lihat al-Mujtama’ al-Madani lil ‘Umari hal. 235).
Ada pula sebagian shahabat yang menyumbangkan tenaga. Kaum ‘Asy’ariyun dipimpin oleh Abu Musa al-Asy’ari meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejumlah unta dan kendaraan agar dapat turut serta dalam jihad. Namun tidak ada unta yang dapat dinaiki dan berselang beberapa waktu, akhirnya mereka memperoleh tiga ekor unta. (lihat Al Mujtama’ Al Madani hal. 236).
Mengenai segolongan kaum mukminin yang lemah, sakit, dan tidak mampu berangkat jihad, Allah berfirman:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”. lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS at-Taubah: 91-92).
Nabi bersabda tentang kelompok yang tertahan dari jihad,
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ
“Sungguh di Madinah terdapat kaum yang tidak ikut berperang, tidak ikut mendaki bukit, menuruni lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala, pen).”
Maka para shahabat bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ
“Wahai Rasulullah, mereka ada di Madinah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ
“Mereka ada di Madinah, tertahan karena ada udzur.” (HR Bukhari dalam Kitab al-Maghazi, no. 4423).
Dengan segala perlengkapan yang sangat terbatas itulah, pasukan Islam berangkat menuju Tabuk. Bagaimana peristiwa selanjutnya?
(Bersambung)
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2018/04/24/perang-tabuk-1-mengguncang-romawi-di-tabuk/
0 notes
turtleduckmocha · 2 months
Text
Tumblr media
happy birthday claude here's the first meme i ever made of him from 20 FUCKING 19!!!! i can't believe i've had him for FIVE WHOLE ASS YEARS NOW!!!!!!! insane. we're literally married btw
anyway second one ever was this
Tumblr media
13 notes · View notes
turtleduckmocha · 3 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
pride month's over, here's some variations of my pride icons over the past few years!!
bigender flag (slightly modified) on the top, bisexual + genderqueer flags on the bottom <3
11 notes · View notes
turtleduckmocha · 2 years
Link
Happy birthday Khalid!!!
this was an animatic my dear partner, @sozosnipes, & friends,  @ilvernaa  & Thyme, made for my birthday in April 2021 based on my messy rambling about Claude + this song <3 i cherish this gift deeply and i’m glad to share it with everyone on his birthday!!
ty sozo for finally making this public!!! love u sozo, rizzy, & thyme!!!
40 notes · View notes
turtleduckmocha · 2 years
Note
How would you feel if Claude and Mercedes actually had a support chain together?
HIII sorry for the very very late response but i actually really love this ask!! i would love that, i think! not my first choice for a new support, but definitely a welcome one :)
i'd really enjoy if they leaned into a sibling-like dynamic. Claude's implied to be the youngest brother, and Mercie is a big sister at heart, so i think it'd be nice to see him learning to lean on her a bit, and her indulging him like in her Felix supports. i think it'd also be a good chance to reveal a bit about Claude's own (half?)siblings, what their relationship was like, etc.
i also this it'd be interesting to see their differing relationships with faith would play out, considering how callous Claude can be and despite her gentleness, Mercie's perfectly capable of reading him and calling him out. (side not that i don't believe that claude is atheist/agnostic, i think he just follows a faith more common in Almyra, although evidently he'd given up on relying on that at some point)
if they had a paired ending (if they passed B-support at all) i'd definitely prefer a platonic one!
that being said, i highly recommend @/indigowallbreaker's take on this concept (which i love!!) and also this adorable short fic! i think they both get across the dynamic i hope for very well! thank u again for the ask & sorry for being slow!! ily anon <3
10 notes · View notes
turtleduckmocha · 4 years
Text
Tumblr media Tumblr media
What if: the Legendary Claude lockscreens from FEH twitter, but not whitewashed (and with extra lipgloss!)
Free to use! No disrespect to the original intended.
158 notes · View notes