Mengejar Ketertinggalan
Awal ramadhan rasa nya semangat membuat target. “Ayo lebih baik dari tahun kemarin!”
Di malam ke 25 ini baru bisa atur napas lagi, setelah 2 minggu kemarin banyak keteteran. Dipikir-pikir bukan keteteran, hanya gue yang kurang pintar membagi waktu. Nyatanya beberapa hari terakhir target capaian ramadhan gue done semua, dengan kesibukan yang relatif bertambah dari awal ramadhan.
Memasuki 10 hari terakhir ajakan buka bersama malah semakin sering datang silih berganti. Iya bukber menyambung silaturahim, tapi kalau sampe jam 9 malam yang ada gue sampe kos langsung terkapar. Di ramadhan yang tinggal 6 hari ini, target yang gue pasang masih nggak bergeser, dan yaaa nggak boleh bergeser. Target ramadhan kan cermin penaklukan diri sendiri ehehehe.
Tapi sekarang, nggak bisa lagi bergantung sama waktu-waktu kondisi nggak puasa. Lagi istirahat, duduk bentar, buka hp, ya ndridil. Mau lagi tunggu buka puasa di cafe ada yang setel lagu juga tutup kuping aja. Kejar target cuy wkwk. Ada hal yang lebih besar yang harus diupayakan sekuat tenaga, eak.
Ramadhan nya memang tinggal 6 hari. Tapi semoga kebiasaan baik yang berhasil dibangun sebulan kemarin membawa kita kepada ramadhan tahun depan dengan kondisi yang jauh lebih baik. Selamat mempersiapkan diri menyambut kemenangan! Semoga Allah pertemukan kita di ramadhan yang akan datang😊
2 notes
·
View notes
Menyambut Lebaran dengan Baju Baru!
Tentang Libasut-Taqwa, Agama Ageming Aji, dan Idul Fitri
Ajaran Islam itu unik. Seringkali dalam penyampaiannya menggunakan sebuah permisalan atau pengibaratan untuk menjelaskan dan menguraikan sebuah hal. Sebagai contoh adalah salat. Dalam Islam, salat diibaratkan seperti tiang agama, yang mana jka kita cermati dengan baik maka kita akan menjadi paham posisi salat itu sepenting apa. Yap, kita sangat membutuhkan salat agar ‘bangunan’ kita tidak roboh.
Contoh yang lain adalah infaq dan sedekah. Dalam sebuah ayat, ketika kita mengeluarkan harta di jalan Allahﷻ, kita diibaratkan seperti sedang menanam sebuah biji. Dari biji itu kemudian tumbuh sepohon dengan 7 tangkai, lalu menghasilkan 100 biji dari tiap tangkainya. Jika kita perhatikan dengan baik, maka kita bisa menangkap makna bahwa infaq dan sedekah itu pahalanya berlipat. Ia tidak menguras habis harta, akan tetapi malah memberi ganti yang jauh lebih baik.
Selain yang di atas, masih banyak lagi permisalan-permisalan yang dipakai. Salah satu hal yang menarik adalah Islam juga menjadikan baju atau pakaian sebagai permisalan. Allahﷻ berfirman,
يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَٰرِى سَوْءَٰتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ ٱلتَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Artinya: Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS Al-A’raf: 26)
Buya Hamka menerangkan dalam tafsirnya bahwa fungsi utama pakaian adalah sebagai penutup aurat. Lalu ada fungsi tambahan yaitu pakaian sebagai perhiasan (tentu dengan tidak menghilangkan fungsi utama) dalam kepentingan hubungan dengan sesama manusia. Kemudian ada sebuah pakaian yang disebut dengan 'pakaian takwa' sebagai inti dari keduanya untuk menangkis serangan musuh besar umat manusia, yaitu Iblis.
Pakaian yang tiga macam itu adalah termasuk sebagian dari ayat-ayat Allahﷻ. Artinya, tanda kebesaran Allahﷻ yang telah memberi manusia kemajuan hidup. Memberi manusia hidup dan akal. Kita bisa menilik bagaimana perkembangan pakaian, dari yang dulunya baju dibuat dengan menganyam dedaunan sampai kepada era di mana fashion merupakan sesuatu yang digeluti adalah kemajuan hidup manusia itu sendiri, yang disebut kebudayaan.
Hal yang menarik dalam ayat ini adalah, Allahﷻ mengibaratkan taqwa seperti sebuah pakaian, dan poin inilah yang akan kita kupas dalam tulisan kali ini.
Dalam Tasfir Ibn Katsir, diampaikan bahwa ulama tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya. Meski berbeda, pengertian semua pendapat tersebut mirip. Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘libasut-taqwa’ ialah pakaian yang dikenakan oleh orang-orang yang bertakwa kelak di hari kiamat. Demikian menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Zaid ibnu Ali, As-Suddi, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa ‘libasut-taqwa’ ialah iman. Sedangkan menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, ‘libasut-taqwa’ ialah amal saleh. Disebutkan dari Urwah ibnuz Zubair bahwa ‘libasut-taqwa’ ialah takut kepada Allahﷻ.
Dalam Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, beliau menuliskan tentang ‘libasut-taqwa’ bahwa pakaian bukanlah semata-mata dua yang lahir saja (pakaian sebagai penutup aurat dan pakaian sebagai perhiasan), tetapi ada lagi pakaian ketiga yang lebih penting, yaitu pakaian takwa, pakaian jiwa. Ibnu Zaid menafsirkan bahwa takwa itu sendiri adalah pakaian. Ibnu Abbas menafsirkan bahwa iman dan amal saleh merupakan yang dimaksud dari ‘libasut-taqwa’.
Dalam Tafsir dari Kemenag, cara ‘memakai’ pakaian takwa adalah dengan menghambakan diri kepada Allahﷻ dengan penuh ketulusan dan kecintaan, karena hal tersebut akan mendatangkan kebahagiaan, meraih cinta-Nya, dan menyelamatkan dari azab-Nya.
Begitulah makna ‘libasut-taqwa’ secara umum. Menariknya ada satu ungkapan Jawa yang maknanya senada. Agama ageming aji, atau yang jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia menjadi agama adalah pakaian yang mulia.
Ungkapan agama ageming aji terdapat pada sebuah karya tulis agung yaitu dalam Serat Wedatama karya KGPAA Mangkunegara IV. Beliau merupakan pimpinan Kadipaten Mangkunegaran (Principality of Mangkunegaran) yang naik tahta pada tahun 1853 M hingga wafatnya pada 1881 M.
Singkat tentang Mangkunegara IV, beliau adalah seorang pemimpin yang memiliki kapasitas dan kecakapan yang tinggi. Selain dikenal sebagai administrator ulung, beliau juga merupakan seorang yang ahli dalam ekonomi. Pada masa kepemimpinannya, beliau mendirikan pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu, yang pertama kini masih bisa dikunjungi sebagai kawasan museum dan pusat konvensi yang sangat menarik dengan nama De’ Tjolomadoe. Beliau juga dikenal sebagai sastrawan ulung sebab beliau merupakan salah satu dari sekian tokoh yang melahirkan karya besar. Salah satu karyanya, Serat Wedatama, merupakan karya tulis yang terbilang lengkap isinya. Mulai dari ajaran Islam hingga pesan-pesan kehidupan.
Kembali pada pembahasan agama ageming aji. Ungkapan agama ageming aji terdapat dalam Pupuh pertama (Pangkur) pada bait pertama pula. Kata ageming merupakan perubahan dari kata ageman yang mendapat imbuhan -ing, ageman berarti pakaian. Kata ageman berasal dari kata agem, yang berarti memakai. Sedang aji berarti mulia. Maka ungkapan ini jika diterjemahkan secara bebas, maknanya adalah agama merupakan pakaian yang mulia.
Ada tambahan yang menarik. Ungkapan orang Jawa untuk memeluk agama adalah ngrasuk (berasal dari kata rasuk), contoh: ngrasuk agami Islam, berarti memeluk agama Islam. Apabila rasuk ditambah dengan imbuhan –an dibelakang, akan menjadi rasukan. Nah, rasukan sendiri merupakan sinonim dari ageman, yang sama-sama memiliki makna pakaian.
Maka dari pengertian ini, kita menjadi paham bahwa bagi masyarakat Jawa, orang yang memeluk agama diibaratkan orang yang memakai pakaian. Jika ditarik lebih dalam, maka beragama itu tidak sebatas berikrar bahwa kita adalah muslim, tapi lebih dari pada itu. Sebagaimana kita yang selalu memakai pakaian dalam setiap aktivitas harian kita. Sudah selayaknya kita 'memakai' ajaran Islam dalam setiap kegiatan kita. Serta seluruh lika-liku kehidupan kita, semuanya didasari dengan melaksanakan ajaran Islam yang dibawa oleh Kanjeng Rasulullah Muhammadﷺ.
Benang merahnya sudah terlihat. Bila kita perhatikan kutipan ayat ‘wa libasut-taqwa dzalika khayr’ beserta tafsirnya, dan ungkapan Jawa ‘agama ageming aji’, dua kalimat ini memiliki makna yang kurang lebih sama. Hal ini dikarenakan pada masa ketika Serat Wedatama ditulis, Islam sudah berkembang pesat di tanah Jawa. Bukan tidak mungkin bahwa Kanjeng Adipati Mangkunegara IV sudah membaca tafsir ayat tersebut dan kemudian dibahasakan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Setelah kita membahas kedua ungkapan tentang pakaian tadi, saatnya kita masuk ke pembahasan inti, yaitu “Memakai Baju Baru di Hari Lebaran.” Cukup kita bahas secara singkat saja, karena inti-intinya sudah kita kupas. Sesi ini hanya menyatukan potongan-potongan puzzle yang sudah terbahas di awal.
Kita akan membahasakan libasut-taqwa dan ageman aji sebagai baju taqwa agar lebih mudah. Dalam tafsir tentang libasut-taqwa yang sudah disampaikan di atas, kita menjadi tahu mengapa Allahﷻ memilih baju sebagai permisalan dalam taqwa. Baju atau pakaian, setidaknya memiliki 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu
cara memakainya,
cara merawatnya,
serta cara membersihkannya apabila kotor.
Dalam beberapa tafsiran di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa cara memakai baju taqwa ini adalah dengan menaati perintah Allahﷻ dan menjauhi hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Kemudian cara merawatnya adalah tentu saja dengan senantiasa meningkatkan ketaqwaan, sebagaimana pesan Khatib tiap Jumat. Lalu cara membersihkannya apabila kotor adalah dengan bertaubat dan memperbanyak istighfar. Sebagaimana yang masyhur dalam sebuah hadits yang kemudian dijadikan sebagai doa Iftitah,
اللَّهُمَّ نَقِّنِى مِن خَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ
Artinya: Ya Allah, bersihkanlah hamba dari dosa-dosa hamba sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari noda.
Sebagaimana baju pada umumnya, sebagus-bagus baju dan semahal-mahal baju, kalau yang memakai manusia pasti ada kala dimana baju itu kotor. Tidak lain sebab manusia adalah tempat salah dan dosa. Walaupun setiap hari Allah memberi waktu kepada kita untuk selalu beristighfar dan ingat dengan rahmat-Nya, yang namanya warga kalau tidak mengerjakan sesuatu secara bersama-sama maka akan ada yang terasa kurang. Maka Allahﷻ jadikan bulan Ramadan sebagai momen besar bagi hamba yang ingin bersih-bersih massal. Walaupun dalam hari-hari dan bulan-bulan lain kita bisa membersihkan baju taqwa kita dengan banyak beristighfar, namun tidak ada yang dahsyatnya melebihi Ramadan. Jika diibaratkan seperti deterjen, mungkin akan muncul iklan bahwa deterjen Ramadan bisa membersihkan noda 1000 kali lipat. Sekali celup, noda hilang.
Sangat rugi apabila Ramadan selesai tapi baju taqwa kita masih masih banyak noda. Bisa jadi karena tidak memaksimalkan Ramadan dengan banyak bertaubat atau menyia-nyiakan kesempatan beramal baik selama Ramadan. Sebagaimana sabda Kanjeng Rasulﷺ,
“…Dan sungguh rugi seseorang, ketika Ramadan sudah selesai ia belum mendapatkan ampunan…”
Maka bersyukur bagi yang kemarin sudah memaksimalkan Ramadan dengan baik. Sebab tidak ada momen ‘cuci baju taqwa’ secara besar-besaran selain pada bulan Ramadan. Bagi yang kemarin sudah memaksimalkan Ramadan dengan baik, insyaallah baju taqwa yang dikenakan akan kembali bersih. Putihnya maksimal. Maka hal inilah yang patut disyukuri. Maka tidak heran, sebagian orang memaknai Idul Fithr yang aslinya bermakna Hari Raya Makan-makan, sebagai Hari Kembali Suci.
Setelah kita berjuang habis-habisan untuk membersihkan baju taqwa kita di bulan Ramadan, maka cara kita menyambut Hari Raya ini adalah dengan menjaga baju taqwa kita agar senantiasa bersih, pun ketika kotor kita langsung sigap membersihkan. Dengan apa kita menjaganya? Dengan membiasakan diri dengan amal yang kita lakukan di bulan Ramadan. Tidak harus sama persis. Berat. Yang penting adalah konsisten dalam beramal baik. Jadi bukan dengan balas dendam. Malam dilewatkan dengan tidak salat malam, makan sehari 6 kali, tidak mengeluarkan harta untuk sedekah.
Bukan karena kita sudah lulus Ramadan, kita malah mencoret-coret baju taqwa kita seperti anak sekolahan ketika lulusan.
Justru seharusnya kita menjaga baju taqwa yang sudah kita bersihkan dengan maksimal. Sebagaimana dalam pengertian agama ageming aji tadi, bahwa seharusnya kita berusaha untuk senantiasa mengamalkan ajaran Islam dalam setiap aktivitas kita.
Semoga kita semua diberi umur yang barokah, agar tetap bisa menjaga libasut-taqwa, ageman aji, ataupun baju taqwa kita semua dengan baik agar baju taqwa yang kita kenakan ini selalu terlihat indah di mata Allahﷻ.
Sebenarnya ada satu lagi ungkapan Jawa yang menarik terkait baju, yaitu dalam Tembang Lir-Ilir.
Cah angon cah angon, penekna blimbing kuwi. Lunyu-lunyu ya penekna, kanggo mbasuh dodot ira. Dodot ira dodot ira, kumitir bedah ing pinggir. Dondomana jlumatana, kanggo seba mengko sore.
Namun karena bukan momennya untuk bahas tembang tersebut, insyaallah kita bahas di lain waktu saja hehe.
Wallahu a’lam.
0 notes