#merupa
Explore tagged Tumblr posts
Text
"Penerimaan"
Seumpama nasib ialah 'buta', mungkin cinta merupa atma, menggantung pada tabir bentala yang tumbuh beriringan mengikuti arah langkah tuannya.
Berdesak-desakan penerimaan, menggerogoti keraguan, menopang keyakinan, meski tertatih ... menadah takdir dengan cinta. Biar rela itu datang, menjelma bait-bait dalam aksara 'h i d u p k u'.
-Rahl, 4225
#28hariberprosa#jejaringbiru#puanberaksara#tadikamesra#amorfati#puisi#sajak#sastra#artists on tumblr#write#cinta#takdir#berpuisi#penulis#indonesia#aksara#writers and poets#tulisan#poem#prosa#poetry#penulis indonesia#viralpost#popular posts#text post#katakata#bait kata#fypage#foryou#pengarangrahl
88 notes
·
View notes
Text
Ini masih melaju Bulan November, tapi aku temu buah tanya;
"mengapa sisi marahnya kita, serta merta ditujukan sebagai kedok asli kita? warna asli kita?"
Bagaimana dengan kebaikan yang trang kita tuai pada setiap momen mereka?
Bagaimana dengan waktu dimana kita memberikan semuanya?
Waktu dimana kita mencintai mereka lebih dari yang seharusnya? Waktu dimana kita ada untuk mereka ketika terlampau dalam sedihnya?
Bagaimana jika ternyata, warna asli manusia tidak terukir ketika sisi marahnya mengalun?
Bagaimana jika memang ternyata mereka merupa baik, dan itu warna aslinya?
— Arief Aumar | true colors
108 notes
·
View notes
Text
Puan..
Kau lestari dalam anganku, terpatri dalam seluk beluk urat nadiku, menggerutu merdu dalam pusara logikaku, menyeruak indah pada titian frasa intuisiku, tertawa syahdu diambang batas niscayaku. Kubiarkan kau berbaring tenang disana, kuabadikan tentangmu sebagai pijar bintang berpangku sukma.
Puan..
Jika cinta ini lautan hina, akankah kau bumi dengan samuderanya?. Jika kau biru segara, apakah bagimu cintaku ini merupa bencana?. Sejauh gurat yang kubaca, tintamu tetaplah gemercak rancu yang menghujamiku dengan rangkaian tanya tanpa susunan aksara. Sejauh hati ini merasa, megamu merundung angkasa bercampur mendung dan badai. Sedang aku langit dengan pasak rapuh yang dengan lancangnya mencoba mendekapmu penuh.
Kau terluka, dan aku lumpuh..
Sebab itulah aku pergi, tapi lubuk hati terdalamku tak pernah sedikitpun membencimu. Kau tetaplah rangkaian bunga yang melingkari pergelangan lenganku. Namun kini ia merupa ungkapan kasih yang sudah tak mampu kuemban lagi hanya dengan sebatas sabar. Ia merupa sajak-sajak kecemburuan, senandung bait-bait keikhlasan, deburan ombak tanpa teguran yang kelak kan menghantam. Ia bara api yang takut kedinginan tuk membakar, dan larik puisi yang dengan pengilhaman tidak untuk diprosakan.
Puan..
Aku mencintaimu dengan penuh ketakutan dan sadar. Namun jika mencintaimu dalam kediamanku membuatmu merasakan arti kedamaian, maka biarkan aku mewakilkan angin untuk membelai wajahmu dari kejauhan. Jika setulus juangku kau anggap tak lebih dari debu jalanan, biarkan aku menjadi hamparan angan yang bahkan tak tampak dalam harapan, hingga kemudian hilang.
Orang-orang kan berlalu lalang, tapi kau akan tetap terpatri dalam ingatan, mengalun indah pada tiap melodi memori yang terlinimasakan. Sebab cinta itu rumit, karenanya kepala ini merunduk kikuk. Maka puan, jika kepergianku ialah senja yang mampu untuk kau nikmati jingganya, biarkan aku terbenam dalam sore yang menunggu malam memadam. Bahkan bila mencintaimu bermaknakan untuk mengajariku penyesalan, maka biarkan aku menyesal dalam keabadian.
Puan...
Sebab aku merasa, menjadi mentarimu terlalu lancang bagiku. Siapalah aku ini. Sungguh tak layak bagiku menggerutu, memintamu mengorbit bintang katai merah tua renta yang tak tahu malu. Cahayaku terlalu redup untuk sekedar menghangatkan dinginmu. Gemerlap keberanianku telah terhisap kegelapan lubang hitam yang kau ramu.
Sejauh kata terucap, nafasmu pun masihlah hembusan keyakinan yang kuanggap tabu. Sepelik inikah berdamai dengan masa lalu?. Rasanya ingin kuingkari saja kenyataan bahwa kau disana, terbakar lalu lebur mengabu. Sesulit inikah mengubur sajak-sajak cinta yang pernah tumbuh sepenuh untukmu?. Rasanya ingin kubungkam saja seluruh pujangga dengan segala omong kosongnya perihal cinta dan rindu.
Puan...
Kini larik puisi kehidupanku telah runtuh. Bagai reremahan pecahan kaca yang basah menggunung, sedang kau di dalamnya, diam termangu tanpa ada sedikitpun keinginan mencipta lagi percikan getaran hati yang telah terbunuh.
Larik itu sudah tak indah lagi, bahkan sejak dari dulu kau tahu itu kan?. Ia telah gugur, bak dedaunan yang kalah dengan musim, kesusahan mempertahankan asupan klorofil yang tersalur. Selepas pergimu, kini ia mulai menguning, dan waktu kan menghukumnya hingga kering.
Meski aku kembali, binar matamu pun telah berbeda, sebab kini bagimu ada-ku hanyalah pupuk kompos yang menyuburkan kelopak bunga egomu. Namun bagaimanapun juga aku telah puas, sebab telah mengerti bahwa aku bukanlah lebah yang kau mau.
Untukmu yang takkan kembali,
kututup kisah ini dengan bab keikhlasan
dengan berat hati kuucapkan; Selamat jalan...
Kudoakan segala tentangmu selalu berpayungkan kebahagiaan.
V N B
71 notes
·
View notes
Text
masuk tanpa permisi
nostalgia mungkin sesekali menyelinap masuk lewat jendela pikiranmu. membawa hidangan masa lalu penghibur insomnia di pelupuk mata. langit-langit kamar merupa kaleidoskop dengan episode sama yang diputar berulang-ulang.
bunyi tetikus berlarian di atas meja. dering telepon menunggu diangkat tuannya. suara printer menelan dan memuntahkan kertas satu per satu tanpa jeda. dan papan tik yang berderap lalu melompat setiap memencet tombol pemisah antar kata.
apakah kau merindukannya? kedamaian dalam sebuah rutinitas yang tak memerlukan kerja cerdas. hanya patuh menjalankan instruksi serta ketahanan jiwa melewati hari-hari kering makna.
jika kenyataan yang saat ini kauhadapi terasa berat, ingatlah bahwa ada Zat Yang Maha Kuat.
surabaya, 13 oktober 2024
9 notes
·
View notes
Text
jangan selalu minum air sejuk baik laki mahu pun perempuan.,terutama yg dah kawin.,ais batu merupa kan sgt tak elok bila ingin bersama laki bini.,boleh menyebab kan jem kaki atau anggota badan masa bersama dan boleh menyebab kan radang usus.,
6 notes
·
View notes
Text
Sedang disiasati malam
Pagi tiba dengan segera
Kicauan burung hembusan angin beriak
agar tak runduk di hadapan sunyi.
puisi puisi cinta bermekaran
Menyapamu di pagi yang indah
Kata kata seperti bertamasya
Di atas pembaringan, segala rindu merupa
Mengusir dingin dengan kalimat hangat
9 notes
·
View notes
Text
Kala Gempa
Aku ingin bertemu seseorang Yang menemuiku seakan sedang gempa Hadirnya di kala gempa; jujur dan tak bersandiwara Berserah bukan menyerah Dalam keadaan mengingat pencipta jagat raya di setiap detiknya Menemukan satu sama lain seperti menemukan oasis Menemukan pejuang lain sekaligus alasan berjuang lain Jika ini adalah akhir, maka setidaknya ada saksi atas perjuangan satu sama lain Jika bukan, maka sudah ditemukan teman untuk melanjutkan perjuangan Hadirnya di kala gempa; merupa seonggok rasa tenang Aku tujuanmu datang Dan aku tempatmu pulang
Archive : January 1st, 2021
#muslimah berdaya#bersama jadi baik#original poem#poetry#poetic#original poetry#poets on tumblr#puisi#puisiindonesia#puisipendek#sajak puisi#sajak
2 notes
·
View notes
Text
11#
Semestinya ada yang lebih bijaksana dari sebuah perpisahan yang pelik. Semacam kesepakatan dengan masa lalu agar tak lagi datang diam-diam. Sebenarnya bukan perpisahan itu yang menyebalkan, tapi perihal ingatan-ingatan yang kerap datang seperti maling. Juga berbagai khusyuk perjuangan melupakan saat kesendirian datang. Hidup sering menjadi sebuah usaha melawan kenangan dan kita kerap dipaksa menyerah kalah sebelum memulai.
Aku belajar untuk menerima kekalahan, juga menerima fakta bahwa mengingat adalah laku batin yang pedih. Kita tak bisa benar-benar membagi perasaan kepada orang lain. Perasaan adalah sebuah medium yang unik. Ia tak bisa kembar karena masing-masing manusia memiliki kondisi tersendiri dalam mengalami sebuah perasaan. Adakalanya orang menangis tanpa sebab kala hujan tiba, juga sebuah senyuman tulus ketika melihat sebuah senja yang keemasan. Perasaan adalah anugerah yang tak pernah bisa dimengerti.
Kenangan, seperti juga perasaan, bekerja dengan cara yang ajaib. Kita tak bisa mengendalikan bagaimana sebuah perasaan datang. Tak pernah ada perasaan utuh, seperti juga kenangan lengkap. Ketika kenangan datang kita tak pernah benar-benar seutuhnya memutar ulang kejadian yang telah lampau. Kita mesti hidup dengan cara yang demikian sebagai sebuah proses tanpa akhir.
Banyak hal yang tak bisa kita sepakati dalam hidup. Seolah-olah kita adalah sebuah sekrup yang bekerja mekanis dan sistematis. Robot yang harus tunduk pada perintah-perintah yang bahkan kita sendiri tak bisa mengerti. Seperti tiba-tiba merindu lantas haru. Atau bertemu lantas terluka. Kejadian-kejadian yang menuntut kita untuk dewasa pada perasaan. Sayangnya, tak pernah ada manusia yang dengan bijak menyapa masa lalu yang perih seperti seorang karib.
Aku belajar untuk melupakan lesung pipit sebagai sebuah masa lalu. Juga dahi lebar dengan hidung mungil yang kerap berubah indah ketika sebuah senyuman hadir tiba-tiba. Bukankah siksa paling keji adalah merasakan rasa sakit tanpa sebab? Kukira ada yang lebih bijak dari sekedar mengumpat, walau itu pada kenangan paling perih sekalipun. Atau pada sebuah keadaan yang sama sekali tak bisa dikembalikan. Atau pada sebuah perasaan yang tak bisa dihilangkan.
Kukira jatuh cinta padamu adalah sebuah keniscayaan. Sebuah perasaan yang tidak mungkin tidak hadir. Ia adalah nasib, atau juga kutukan, yang dengan sukarela aku terima. Bukankah kita semua pernah kecewa, meratap lantas dilupakan? Tapi mencintaimu bukanlah pilihan. Ia adalah kondisi apa boleh buat yang aku yakin semua orang akan setuju. Jika tidak kami akan bertemu lantas baku hantam untuk memaksakan perasaanku.
Ada beberapa kisah cinta yang memang berakhir tragis untuk melahirkan kisah lain yang lebih manis. Juga beberapa pengorbanan yang sia-sia karena tak pernah ada pelajaran gratis. Hidup adalah perkara berdamai dengan kekalahan lantas mengais sisa harapan. Semua yang sisa adalah daya hidup paling pejal, paling laten dan paling pegas. Ia bisa diinjak, bisa ditekan dan bisa dihimpit. Namun sekeras itu pula mereka akan melawan. Kukira perasaanku padamu juga demikian.
Pada suatu malam aku menulis puisi setelah membaca puisi. Kau akan begitu terkejut bagaimana sederhananya (sekaligus rumitnya) pikiran kita bekerja. Aku memagut diksi begitu banyak juga menafsir kata begitu banyak. Sebagian besar malah melahirkan proyeksi bentuk wajahmu yang merupa dalam begitu banyak ekspresi. Tentu sebagian besar adalah senyuman, meskipun ada beberapa mimik nyinyir dan genit. Tapi semua menjadi samar, karena kini saat aku mengingatnya semua rupa tadi hilang.
Aku mencintai puisi seperti kau mencintai segala obsesimu. Puisi adalah segala yang bernama semangat. Kau akan begitu tergagap memahami bagaimana kata-kata yang dijalin bisa memberikan kendali atas perasaanmu. Seperti sepotong sajak Goenawan Mohamad “Akulah Don Quixote de La Mancha, Majnenun yang mencintaimu.” Ada yang mencoba lepas dari sajak itu. Sebuah perasaan yang melompat ketika kau kasmaran.
Dalam puisi aku bebas memahat pesan dan menempatkanya dalam sebuah kado dengan pita merah jambu. Lantas menaruhnya diam-diam di sebuah lini pasa jejaring sosial maya. Kita tak pernah akan menduga siapa saja yang terjerat lantas urun haru. Atau siapa saja yang tercekat lantas merutuk amuk. Puisi menghadirkan itu semua. Aku tak mengharap kau paham tapi aku berdoa kau bisa merasakan apa yang ada dalam setiap sajak yang kubikin.
Dalam puisi aku bisa berkisah tentang perjalanan semalam dengan deru bus yang merambat pelan, seusai menikmati pagelaran musik dengan rupa malam begitu kudus. Atau sebuah perjalanan sepanjang siang hingga petang pada sebuah atap perpustakaan. Atau juga ribuan pesan pendek dengan basa basi konyol. Juga sebuah senyum dengan abu merapi yang menetas dalam gelas jeruk panas. Di sana ada angkringan, beberapa tikar dan sebuah tembok yang kelak akan runtuh. Seperti juga sebuah rezim yang berdiri terlalu lama.
Dalam puisi aku juga bisa berteriak kesakitan. Menggarami luka lantas menyayat perih sebuah borok. Atau mengemas kebencian dengan ragam warna cerah. Seolah olah dunia baik-baik saja namun membusuk dari dalam.
Melalui puisi aku bisa menjadi orang munafik yang tak pernah belajar merelakan. Seperti batu yang menghimpit lantas menekan keras. Harapan, kukira, adalah perkakas paling sadis dalam menyakiti. Kau tak akan pernah tau seberapa sakit rindu yang koyak.
5 notes
·
View notes
Text
seringkali yang membuatku takut untuk menulis adalah, orang-orang menuduhku terlalu mudah menulis hal-hal remeh
aku kerap kali berhenti pada kalimat pertama saja, selebihnya merupa takut yang sembunyi-sembunyi datang dan pergi.
6 notes
·
View notes
Text
Aku tak mengenal sosok tua itu dengan vespa usangnya. Warna biru legam, tak mengenal kata lusuh malah ada mewah jika sinar surya menempa. Namun, aku masih tidak mengenali si sosok tua. Siapa dia? Gugusan tanya berkubang di kepala, berharap aku dapat temukan sosok itu dalam gelembung memori yang mengendap.
Dahulu ia gagah. Tinggi tegap badannya, bak pahlawan. Walaupun kau tak akan dapat melihat ia dengan jubah kebesarannya yang tersampir di bahunya. Ia, hanya, pahlawan— bagiku. Setidaknya.
Tak apa, kata ku, jika jubah tak megah dan tak sekuat gatot kaca yang melegenda. Kala itu, ia adalah segalanya. Pusat ketika aku memuja dunia, dan seluruh jiwa menjadi representasi nyata dalam genggam tangan sang lelaki gagah. Jemari itu membelai rambutku bak ruang terhangat yang s’lalu aku damba.
Tirai kelabu nan sunyi itu meredam segala ramai yang menjelma tirani. Sekonyong-konyong singkirkan sorak-sorai di dunia luar tatkala aku sembahkan bahwa diri ini hampir mati. Ia, perlahan, mati dalam kepingan-kepingan afeksi yang masih terpatri. Jelmaan memori bagai hantu di jeruji— merayap dalam senyap ‘tuk berkubang di dalam diri.
Lelaki tua itu kehilangan jiwanya. Terburai seiring waktu yang meranggas dengan ganas. Jiwa ini t’lah lama direnggut paksa. Memang, kau pikir, aku yang ingin ‘tuk berubah? Satu tanya itu terdengar hampa, bagai ruang yang tak mengenal suara. Mulutnya berdecak, tapi bisu merenggut bising suara.
Persetan. Kutukan itu merupa cangkang yang enggan ‘tuk ucapkan selamat tinggal pada tubuh ringkih ini agar ia mengenal salam perpisahan. Dasawarsa demi dasawarsa melampaui tanpa cukup ‘tuk dirasa. Pada siapa tuju labuhan ini tunjuk rasa sesal? Sementara waktu yang terkikis mencambuk diri dan ia berkelindan. Mengikat penuh sesak hingga napas tersengal berat.
Enggan menuduh takdir atas dosa, namun bila saja bukan ia yang beri ikrar setia, maka tak akan pernah kutujukan salah sebagai samsak nan tinggalkan tanda. Katanya, rumah tak selalu sama. Tak mengenal satu, ada dua atau bahkan tiga? Aku tak tahu, sebab ia munculkan rona sangsi yang mendurja.
Lenyap. Lenyap. Senyap! Lelaki tua menatapku masygul dengan vespa biru legam yang usang. Tatapnya menggerabak dalam semanak cita yang merentak karena sedan tangisan anak remaja di bilik jingga. Setangan cokelat mengenangkan luka yang enggan ‘tuk sirna. Nyalang mata tak menggelatar, para batih menjerit dalam sempalan memori yang meruap.
Dalam jarak aku sematkan doa, atas dosa-dosa yang mengundang nestapa. Ia menjelma azimat yang mengamangkan para pendusta. Rikuh anak gadis remaja mendamba tetirah demi puadai bahagia yang luruh dirampas bramacorah.
Pada jati diri kalis Ayahku yang terganti durjana. Aku menyalak pada malam kemukus bintang. Duria mendoa, akan babar duka yang merenggut setengah cinta.
2 notes
·
View notes
Text
Aku sempat menerka makna isi kepalamu dalam waktu yang cukup lama, barangkali mampu menerjemahkan sikap yang cukup membingungkan, antara iya dan tidak merupa bayangan yang membias di bawah cahaya malam. Namun, rupanya seperti paradoks yang tak bisa mencapai titik seimbang, aku kalah pada upayaku untuk memahamimu. Aku menemukan letih di saat aku ingin terus mengupayakan. Kamu terlalu rumit untuk kurangkul dalam pengertian. Kamu terlalu sulit untuk kucintai dengan kesederhanaan.
itsbyw
#puisi#poetry#poets on tumblr#sajak#sajak puisi#katakata#katakatacinta#kumpulan puisi#quotes#puisi patah hati
13 notes
·
View notes
Text
Kesedihan adalah barang sunyi yang begitu bising di hadapan rasa sakit.
Sekilas kau rasa semuanya baik-baik saja: Cicilan bulanan terbayarkan; pekerjaanmu hari ini terselesaikan; tenggat waktu tak terlewatkan; teman merupa sosok yang masih bisa kau temui di akhir pekan; bahkan dengan atau tanpa asmara pun kau masih bisa berdiri sukar rasa kesepian.
Namun dibalik semuanya itu—di waktu gelap malam mengawang, kau akui pada dirimu; bahwa masih banyak rasa sakit yang mesti kau hadapi, rasakan.
Seperti riuh ombak yang keras tabrak karang, kau mulai gumamkan pedihnya lewat bisik kata.
Rasa berat di hatimu, meluap keluar dan menampar dirimu keras-keras—kau sadari kau tidak benar-benar baik saja.
Kesedihan adalah barang sunyi yang begitu bising di harapan rasa sakit.
— Arief Aumar | sunyi yang bising
35 notes
·
View notes
Text
Malaysia Resmi Adopsi Teknologi Pemindai Iris Worldcoin, Apa Dampaknya Bagi Keamanan Digital?
blockchain worldcoin colab dengan Blockchain Malaysia
2 notes
·
View notes
Text
Bayangkan ketika Allah mengirimkan anugerah-Nya lewat seseorang yang merupa doa-doamu sekian lama :)
3 notes
·
View notes
Text
Awal liburan, aku main skuter dengan temanku yang baru kembali dari luar kota. Sebelumnya kami sudah ke tempat lain untuk makan dan main air di kali. Di tempat skuter, kami diberi waktu 30 menit. Durasi itu cepat sekali karena lebih banyak kami gunakan untuk menuntun skuter karena jalannya terlalu curam. Kami juga sering beda arah jadi tunggu-tungguan. Lebih-lebih lama berhenti buat foto-foto dan mengambil napas karena bingung harus jalan ke mana lagi.
"Ayo kita foto di situ," ajakku sambil menunjuk-nunjuk tempat yang bagus buat foto. Temanku memang satu tingkat di atasku, jadi kupanggil dirinya: Mba.
"Iya, ayo," katanya sambil menyiapkan telepon genggamnya yang sedari tadi jadi alat kami mengabadikan momen, "tapi gimana cara kita foto berduanya ya?"
Mba dan aku ingin difotokan. Kami celingak-celinguk. Beruntung sekali ada serombongan mba-mba ber-skuter yang mendekat dan menawari kami berfoto. Aku dengan senang hati menerima dan sepakat nantinya bergantian mengambil gambar.
"Sini Mba, aku fotoin," kataku pada mba-mba yang ada.
"Iya Mba, pakai hp saya aja," seorang Mba berkerudung cokelat memberikan telepon genggamnya padaku.
Setelah selesai, kami cepat-cepat menuju pos skuter. Waktunya sudah habis.
Malamnya, aku mengunggah fotoku tadi di media sosial. Tetiba, ada pesan masuk yang kira-kira isinya begini: ternyata kamu ya. maaf ya nggak menyapa karena aku ga ngeh.
Walah.
Ternyata Mba yang memberikan telepon genggamnya padaku tadi adalah kenalan yang baru saja bertemu denganku bulan lalu. Karena hanya bertemu sebentar, jadi kami tidak terlalu menghapal wajah satu sama lain. Untung saja sudah saling mengikuti di media sosial, hehe. Maafkan, ya.
Namun, jelas ini menarik sekali karena merupa kebetulan. Mungkin benar ya yang hampir selalu dikatakan orang-orang di sekelilingku: di kotaku, dunia sempit sekali.
3 notes
·
View notes
Text
Kepompong
iya...
aku ulat yang berlindung
pada kepompong dengan ulung
sejauh jiwa ini pergi, menemui
tak jua jadikanku kupu tuk berevolusi
iya..
insting melahapku
diam-diam kumuntahi kediamanku
agar basah, kugerogoti, merangkak
menuju tameng duri landakmu
iya...
naif, impulsif, aku
secara bersamaan merupa air dan api
menyejukkan egomu,
membakar diriku.
kitakah "saling"?
ataukah saling "paling"?
iya...
kau berevolusi,
kupu indah warnai langit
aku bumi,
jatuh rapuh kaubenci
3 notes
·
View notes