Shaykh al-Uthaymeen رحمه الله said:
بُلُوغُ رَمضانَ نِعمَةٌ كَبِيرَةٌ عَلى مَنْ بَلَعْهُ وَقَامَ بِحَقِّهِ بالرجوع إلى ربِّهِ من معصيتهِ إلى طاعتهِ، وَمِنَ الغَفْلَةِ عَنْهُ إِلَى ذِكْرِهِ، ومِنَ البُعْدِ عَنهُ إِلَى الْإِنَابِةِ إِلَيْهِ
Reaching Ramadan is a great blessing upon the one who reaches it and fulfills its rights by returning to His Lord from disobeying Him to obeying Him, being heedless and neglectful of Him to remembering Him, and being distant from Him to turning to Him with repentance.
[ مجالس شهر رمضان (۱۲) ]
58 notes
·
View notes
Arti Ulil Amri
Suatu hari Nabi Muhammmad sallallahu ‘alaihi wasallam mengutus sekelompok pasukan dan mengangkat seorang pria dari kaum Anshar bernama ‘Abdullah bin Huzafah bin Qais sebagai pemimpin pasukan. Setelah itu, Nabi berpesan kepada sekelompok pasukan agar menaatinya sebagai pemimpin. Suatu ketika, ‘Abdullah bin Huzafah bin Qais memarahi pasukannya dan berkata: ‘Bukankah Rasulullah telah berpesan kepada kalian agar menaati perintahku?’ tanya pria itu. Pasukan bergegas menjawab, ‘Benar.’ Kemudian Abdullah berkata, ‘Kumpulkan kayu bakar, nyalakan, lalu masuklah kalian ke dalam api!’ Setelah itu, pasukan segera mengumpulkan kayu bakar untuk menyalakan api. Sebelum melaksanakan perintah masuk ke dalam api, para pasukan berdiri dan saling memandang. Beberapa diantaranya berkata, ‘Kita mengikuti ajaran Nabi agar terbebas dari api (neraka). Lalu, haruskah kita masuk ke dalam api ini?’ Mereka berdebat cukup lama hingga api tersebut padam dan kemarahan Abdullah akhirnya mereda. Begitu sampai di Madinah, mereka menceritakan peristiwa tersebut kepada Nabi. Setelah itu, Nabi bersabda, "Andaikata mereka menceburkan diri ke dalam api, niscaya mereka tidak akan keluar darinya (neraka) sampai kapan pun. Sesungguhnya ketaatan kepada pemimpin itu hanya diwajibkan jika ia memerintahkan hal-hal yang baik.”
Kisah ini berkenaan dengan Hadits Imam Bukhari Nomor 4218 dan Hadits Imam Muslim Nomor 3416 yang menyatakan bahwa kisah ini merupakan asbabun nuzul dari QS. An-Nisaa' ayat 59 yang berbunyi:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa:
Yang dimaksud ulil amri bukanlah pemimpin tertinggi tetapi pemimpin yang kita percayai. Menurut Abu al-’Ala’ al-Mubarakfuri dalam Tuhfadzu al-Ahwadzi: Syarah Sunan at-Tirmidzi (Dar al-Fikr, Beirut, III/207) bahwa secara harfiah, frasa ulil amri (uli al-amr) dan wali al-amr mempunyai konotasi yang sama, yaitu al-hakim (penguasa). Jika wali adalah bentuk mufrad (tunggal) maka uli adalah jamak (plural). Namun demikian, kata uli bukan jamak dari kata wali. Al-Quran menggunakan frasa ulil amri dengan konotasi dzawi al-amr, yaitu orang-orang yang mempunyai (memegang) urusan, sebagaimana juga dikatakan Imam al-Bukhari dan Abu Ubaidah. Ini berbeda dengan frasa wali al-amr, yang hanya mempunyai satu makna harfiah, yaitu al-hakim (penguasa). Karena itu, frasa ulil amri bisa disebut musytarak (mempunyai banyak makna). Sedangkan kata minkum berarti diantara kamu. Jadi ulil amri minkum berarti para pemimpin atau para penguasa diantara kamu. Maka dari itu, tidak mengherankan kalau Syeikh Rasyid Ridha mengatakan: Ulil-amri adalah Ahlul hilli wal-Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat. Mereka itu bisa terdiri dari tokoh masyarakat, ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslatan umum termasuk para pemimpin ormas dan partai.
Hal ini jelas tergambar pada saat Umar bin Khattab yang merupakan salah satu tokoh masyarakat terpercaya pada saat itu mengatakan, “Tatkala Nabi saw mengucilkan para istrinya, aku masuk ke dalam masjid, tiba-tiba kulihat orang-orang melempar-lempar batu kerikil ke tanah seraya mengatakan Rasulullah telah menalak istri-istrinya, lalu aku berdiri tegak di pintu masjid dan kuserukan dengan sekuat suaraku bahwa Nabi tidak menalak istri-istrinya, kemudian turunlah ayat ini {QS. An-Nisaa’ ayat 83}, yang menyatakan: ‘Dan jika datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan dan ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang-orang yang ingin menyelidiki duduk perkaranya akan dapat mengetahuinya dari mereka.’ Maka saya termasuk diantara orang-orang yang menyelidiki duduk perkaranya itu.”
Jika kita berbeda pendapat, maka kita harus mengembalikannya kepada tuntunan Al-Qur’an yang merupakan Firman Allah, serta Sunnah Rasul yang tertuang dalam Hadits Nabi Muhammad saw.
Banyak diantara kita berpandangan bahwa jika kita menuruti apa yang dilakukan ulil amri, maka kita terbebas dari dosa, sehingga jika ada perkataan dan tindakan yang salah dari ulil amri, maka ulil amri lah yang menanggung dosanya. Padahal Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikit pun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat engkau beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada (azab) Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka yang melaksanakan shalat. Dan barangsiapa menyucikan dirinya, sesungguhnya dia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah tempat kembali. { QS. Fatir Ayat 18}
Allah menyuruh kita agar kita jangan asal mengikuti arahan para penguasa, sehingga laknat Allah menimpa kita! Firman Allah: “Mereka (penghuni neraka) berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar." {QS. Al Ahzab: 67-68}
Rasulullah pun pernah bersabda; “Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga.” (HR. Tirmidzi, Nasai dan Al Hakim).
Maka dari itu, marilah menggunakan akal sehat kita dalam bersikap dan bertindak, agar kita dapat mengambil hikmah atau pelajaran yang diberikan Allah kepada kita, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Baqarah ayat 269:
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.
4 notes
·
View notes
Orang yang berakal, luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau yang menyenangkan. Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti.
Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah didapat padahal rapuh. Mereka menimbang biarlah susah menempuh suatu perkara yang sulit asal akibatnya baik, daripada perkara yang mudah tetapi akibatnya buruk.
Mereka tetap mengharap dan tetap takut. Tetapi tidaklah ketakutannya itu pada perkara yang bukan-bukan, tidak pula harapannya itu kepada hal yang tidak-tidak. Padangannya luas, ditimbangnya sebelum dikerjakan.
—Buya Hamka; Falsafah Hidup
6 notes
·
View notes
Imam Ibnul Jauzi berkata, “Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Ketika aku menemukan buku baru, rasanya seperti menemukan harta karun. Aku pernah melihat katalog buku-buku wakaf di Madrasah An-Nidhamiyyah sebanyak 6.000 buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Humaidi, Abdul Wahhab bin Nasir, dan Abu Muhammad Al-Khasysyab. Aku telah menamatkan buku itu semua dan buku lainnya. Aku juga telah membaca lebih dari 200 ribu buku. Sampai sekarang, aku terus mencari ilmu."
Sumber: Buku Gila Baca Ala Ulama
2 notes
·
View notes