lullaby8hrl2
lullaby8hrl2
Ily_HRl
1 post
Don't wanna be here? Send us removal request.
lullaby8hrl2 · 2 months ago
Text
Badai Ilusi, Halusinasiku Mencekik. Tidakkah kau ingin kembali?
"Kau tahu ..." Suaranya serak, penuh kepasrahan, dan kelelahan. Sesuatu yang begitu lirih, hampir tak terdengar. " ... Kau menyebalkan. Kau meninggalkanku tanpa mengatakan apapun. Orang bilang kau pengkhianat."
Betapa rapuhnya Chuuya saat ini bukanlah Chuuya yang orang kenal. Seolah bukan eksekutif mafia terkejam, yang ditakuti semua musuh. Bukan pula pemilik dewa kehancuran dalam tubuhnya, Arahabaki. Bukan semua itu. Ia hanya pemuda yang kehilangan arah. "Apa kau mengkhianati ku?"
Semua itu bermula lima bulan lalu. Tepat ketika Dazai meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Meninggalkan mafia dan kegelapan. Meninggalkan Chuuya seorang diri, dengan ledakan pada mobilnya.
Perginya tanpa pamit. Menghilang entah ke mana. Namun hati Chuuya terasa perih hari itu. Sejak awal, Chuuya seharusnya tahu ia tidak perlu begitu dekat dengan si mumi. Sejak pertama kali ditugaskan menjadi anggota mafia, ia harusnya menganggap pria itu sebagai hama.
Ia melakukannya. Chuuya sungguh menganggap Dazai adalah hama. Bocah itu memang hama. Hanya serangga pengganggu di hari dan hidup chuuya. Itu saja. Ia tidak menganggapnya lebih. Tidak ... kan?
Nyatanya, cara tubuh dan hatinya merespon begitu beda dengan apa yang coba ia harapkan. Kalau ia menganggap Dazai hama, kenapa hatinya ikut terbakar seperti mobil yang hangus ditangan rekannya? Kalau ia tidak menyukai Dazai, kenapa dadanya terasa perih saat tahu Dazai tidak lagi kembali? Kalau Chuuya benci Dazai, kenapa air matanya terus mengalir, bahkan berbulan-bulan setelah semua itu terjadi?
Semua orang bilang Dazai masih hidup. Semua di mafia bilang ia membelot. Ia hanya pengkhianat. Sosok lain yang tak tahu terima kasih. Dan dalam waktu-waktu itu, Chuuya harus membungkam mulut para bajingan yang berani mengatakan hal-hal demikian tentang Dazai. Tentang rekannya. Dazai adalah rekannya. Dan akan selalu begitu.
Bagaimana semua orang beranggapan Dazai pengkhianat? Bagaimana semua orang yakin Dazai bukan hanya terjebak di suatu tempat yang tidak orang ketahui? Karena bagi Chuuya, Dazai tidak pernah berkhianat. Dia tidak pernah. Dia tidak boleh. Bagaimana bisa ia menjadi pengkhianat, setelah menyeret Chuuya dalam organisasi yang awalnya begitu Chuuya benci?
Dan oleh karena itu, Chuuya yakin Dazai bukan pengkhianat. Dia bukan pembelot. Dia hanya ... mati. Dia sudah mati. Mati disebuah tempat yang Chuuya tidak tahu. Tempat yang tak bisa dijangkau Chuuya. Meninggal tanpa jasadnya bisa ditemukan atau dikubur. Ia hanya mati. Karena bagi Chuuya, kematian lebih mudah diterima daripada pengkhianatan. Chuuya sudah menghadapi banyak kematian. Ia tahu rasanya. Ia sudah hampir terbiasa dengannya.
Satu bulan pertama rasanya bak hidup di neraka. Neraka lainnya. Chuuya biasa hidup dalam neraka dunia. Namun kali ini adalah sesuatu yang lebih. Neraka yang lebih dalam, lebih panas, lebih sakit, dan lebih menyiksa. Hari-harinya ditemani air mata dan alkohol. Setidaknya ia butuh sesuatu. Ia butuh untuk melepaskan rasa sesak di dadanya. Ia butuh sesuatu agar bisa melupakan bayang-bayang Makarel menyebalkan yang sudah tak ada lagi di sisinya.
Wine adalah cara terbaik Chuuya. Pernah suatu kali, Kouyou harus mendatangi ke apartemennya, setelah Chuuya tidak masuk kerja lima hari penuh. Betapa menyedihkannya ia. Menangis tanpa henti, bahkan isaknya lebih terdengar saat Kouyou memutus menemaninya. Memeluknya. Menenangkan Chuuya yang mabok dan setengah gila. Itu memalukan.
Bulan-bulan berikutnya relatif mudah. Sedikit lebih mudah, menurutnya. Diantara ia sudah terbiasa, atau ia mati rasa. Meski begitu, bukan berarti Chuuya benar-benar terbiasa. Bukan berarti ia tidak merindukan bajingan itu. Malam Chuuya selalu ia habiskan dengan wine-nya. Sesekali sang eksekutif akan memandangi foto-foto mereka. Sisa kenangan, yang entah didapatkan dari mana. Hanya foto acak. Atau terkadang ia membaca ulang pesan di ponsel. Pesan mereka pada nomor Dazai. Kalau ia terlalu mabuk, Chuuya juga mengirim lagi pesan-pesan acak. Sebuah kejujuran dari hati yang sakit.
Bajingan, kau merindukanku?
Kau di mana?
Makarel, aku merindukanmu. Kau akan kembali, kan?
Apa kau kedinginan? Di sana pasti dingin. Kalau kau butuh tempat hangat, pulanglah. Meski hanya arwahmu, kalau kau butuh pelukan, aku masih menyediakan nya.
Dan seolah doanya terjawab. Atau pesannya terbaca oleh Dazai. Bulan lalu—tepatnya di bulan ke empat setelah Dazai menghilang—pria itu muncul. Itu benar-benar Dazai. Dia Dazai. Masih sama. Tatapannya, gerakannya, postur tubuhnya, dan cara bicaranya. Semuanya sama. Ia sungguh Dazai Osamu, rekan chuuya. Pasangannya sebagai duo Double Black.
Bajingan itu kembali. Di kamar Chuuya. Menunggu dengan wajah tengilnya yang biasa. Seringai yang tersungging tanpa dosa. Menampakkan diri pada malam Chuuya, bak hantu bulan purnama.
Dan betapa hal itu berhasil membuatnya menangis kembali. Cengeng. Terisak tanpa henti. "Kau pergi," rengekannya saat itu. "Kau menghilang. Kau ... Tidakkah kau tahu betapa aku merindukanmu?" Itu adalah isak tangis paling menyedihkan yang pernah Chuuya tunjukkan pada Dazai. Begitu putus asa, meraung-raung dalam pelukannya. Meluapkan semua gundah dihatinya setelah sekian lama.
Pelukan itu. Cara tangan itu membelai kepala dan punggungnya. Tentang kata-kata manis yang menenangkan dari mulutnya. Semua itu sama. Semua hal yang begitu familiar. Hanya saja kali ini terasa lebih ... lembut. Terasa lebih penuh kasih sayang dan tulus. Dan yang aneh, pelukan yang dekat itu terasa begitu jauh. Senyum indah itu terasa begitu nyata. Terlalu nyata hingga sulit diterima.
Dan setelah pikirannya kembali tenang, Chuuya dapat mengamati banyak yang berbeda dari Dazai. Senyum itu masih sama. Senyum mengejeknya masih kentara. Cara meremehkan dan merendahkan yang biasa si maniak bunuh diri itu lakukan masih sama. Hanya saja, kali ini ada yang baru. Sesuatu yang lain yang lebih ... tulus. Senyum itu lebih tulus. Lebih murni dan lembut.
Tatapannya juga sama. Mata indahnya tak pernah berubah. Cara warna cokelat itu bersinar, bahkan dibawah sinar rembulan, selalu membuat hati Chuuya meleleh dengan cara yang sama. Namun setelah Chuuya lihat lagi, Dazai kini tak lagi mengenakan penutup mata. Tak ada perban yang melilit di mata kirinya. Dan dalam tatapan itu ... ada sesuatu yang tampak begitu ... hidup. Ia hidup. Bukan hanya menjalani kehidupan.
Dan cara ia memperlakukan Chuuya terasa begitu ... lembut. Terlalu lembut Chuuya bersumpah. Seolah Chuuya kini adalah sesuatu yang berharga bagi si bajingan itu. Seolah permata yang harus dipoles dan diberi perhatian khusus. Seolah retakan kaca yang sedang ia coba satukan lagi. Rekatkan dengan lem kasih sayang dan cinta.
Namun hal itu terkadang membuat Chuuya jengkel. Itu bukan Dazai. Bukan Dazai-nya. Dazai yang ini banyak tertawa. Banyak senyum manis yang anehnya menyakitkan di hati Chuuya. Seolah pengingat keras akan apa yang sebelumnya telah terjadi. Atau ... kini tengah terjadi?
Dan yang lebih anehnya lagi; Dazai ini selalu datang di malam hari. Muncul selalu di waktu yang sama, setelah matahari terbenam. Dan pergi di waktu yang sama juga setiap harinya, saat matahari terbit. Seolah hantu yang tengah menjenguk orang yang pernah hidup bersamanya. Seolah ia hanya bayang-bayang ilusi. Dan seakan ia hanyalah halusinasi yang Chuuya ciptakan karena kerinduannya.
Ia hampir frustrasi setiap malamnya. Ia merindukannya, namun rasanya aneh menjumpainya seperti sekarang. Chuuya pernah berhenti minum-minum di malam hari, agar ia bisa membuktikan pada dirinya bahwa itu hanya ilusi yang nampak saat ia mabuk. Namun ... ia salah. Tak ada yang berubah. Si-idiot itu masih di sana. Memeluk Chuuya hingga pagi tiba. Lalu hilang tiba-tiba tanpa sepatah katapun. Sama seperti saat ia meninggalkan Chuuya dengan ledakan, lima bulan lalu.
Chuuya bingung. Ia tidak mengerti apa maksud semua ini. Ia tidak tahu, apakah itu arwah Dazai—yang berarti ia benar-benar sudah mati—atau hanya ilusi tentangnya—yang berarti Chuuya setengah gila.
Namun ... semua itu seolah menenangkannya. Semua itu kini menjadi kedamaian batinnya. Ketika ia muntah di kamar mandi karena masalah pencernaan atau terlalu banyak minum, ia mendapati Dazai di sana. Tangannya mengusap bahunya. Mengusap punggungnya seolah ia berfikir semua itu akan membantu. Dan setelahnya, ia akan menarik Chuuya pada pelukannya. Membisikkan kata-kata lembut, kata-kata hangat, kata-kata yang menurut Chuuya terlalu berlebihan untuk dikatakan. Namun anehnya, hatinya menghangat sesaat setelah mendengarnya. Seolah itulah yang selalu ingin ia dengar. Seolah semua itu adalah obat dari lukanya yang bernanah.
Dazai terasa begitu lembut. Begitu hangat. Begitu mencintai Chuuya. Sampai, si-rambut merah bertanya-tanya ... apakah dia sungguh Dazai yang asli?
Biar begitu, Chuuya mendapati dirinya selalu menunggu malam tiba. Karena memang, Dazai selalu muncul di malam hari. Hanya malam hari. Ada apa dengan siang? Apa ia kini berubah jadi vampir, yang menjadikannya tidak bisa terpapar matahari? Kenapa Dazai takut siang? Sampai saat ini, Chuuya belum tahu alasannya. Ia belum mengerti penyebabnya.
Mengabaikan malam-malam tanpa tidur. Mengabaikan rasa kantuk yang akan menyerang di pagi dan siang hari. Mengabaikan kelelahan akibat terjaga sepanjang malam. Mengabaikan semuanya hanya agar ia bisa bersama Dazai di malam-malam gelap namun menenangkan.
Karena, ia hanya ingin bersama Dazai. Hanya ingin berada dalam pelukannya. Atau sekedar pangkuannya. Atau ... cukup kepalanya yang berbaring di pangkuan Dazai.
Itu saja. Cukup itu saja. Chuuya tak meminta yang lebih. Hanya semua itu saja sudah cukup menjadi pelipur lara. Menikmati dingin malam dengan kehangatan pelukannya. Membiarkan jiwanya terseret dan menyerah di malam yang sunyi namun menenangkan.
Sekarang contohnya. Malam ini. Malam lain dari malam-malam yang begitu menenangkan dan terasa aman bagi chuuya. Namun hari lain pula, di mana ia menangis karena kelelahan akan segalanya. Malam lainnya setelah ia muntah di kamar mandi. Dan malam lain ... ketika ia meletakkan kepalanya di paha Dazai.
Matanya merah setelah menangis dan muntah. Chuuya hampir lupa seperti apa dia sebelum Dazai—Dazai yang asli—pergi. Chuuya kehilangan banyak berat badan. Dia sering muntah. Dia hampir selalu lelah.
Kekehan kecil terdengar setelah rentang waktu yang cukup lama untuk hening. Setelah hanya dengungan AC yang menyahut pertanyaan Chuuya. Pengingat bahwa pemilik tangan yang tengah mengusap rambutnya masih hidup. Masih di sana. Masih bisa bicara. Dan masih menemani Chuuya.
[Belum selesai]
2 notes · View notes