Tumgik
#cerita sma
remin1sce · 2 months
Text
3 Tahun Kayak Gini?
Sekolah asing, lingkungan baru, teman lo hilang semua, dan lo kebingungan. MPLS seru, tapi setelah itu apa? Sadar bahwa lo sebenarnya sendirian disini.
Waktu istirahat, bingung mau duduk sama siapa. Sepertinya semua orang sudah dapat teman-temannya sendiri, atau lebih gampang disebut circle. Istilah 'circle' ini menjadi musuh terbesar lo di tahun pelajaran baru. Ya, sebenernya ga ada circle yang secara langsung mengekspresikan ketidaksukaannya terhadap lo. Tapi di pikiran lo mereka pasti begini:
"Ih, sok asik."
"Emang kita kenal dia?"
"Ngapain si? Nyoba-nyoba masuk ke pertemanan kita padahal bukan siapa-siapa."
Duh, ribet ya. Entah hanya lo yang terlalu overthinking atau itu memang kenyataannya, tapi lo sudah pasti males. Daripada mereka merasa gaenak, dan lo juga yang ga nyaman bikin situasi awkward, akhirnya memutuskan untuk makan di dalam kelas. Sendirian.
Temen sebangku juga ga sefrekuensi. Kadang ngobrol, tapi jelas dia pun punya teman-temannya sendiri yang dia jauh lebih suka ajak ngomong dibanding lo. Kalian ga nge-click, ga kayak waktu SMP bareng teman-teman lo dulu. Ah, jangan dipikirin, nanti makin kangen sama mereka.
Nasib lo juga paling nggak deh pas giliran kerja kelompok, dan gurunya nyuruh kalian pilih kelompok sendiri. Ya gimana mau milih, lo anak baru disini, ga punya temen, ga punya hak masuk ke kelompok orang sembarangan aja. Apalagi circle-circle itu muncul lagi. Akhirnya lo disingkirkan, ternyata ga ada yang mau masukin lo ke kelompok mereka dan ujungnya dapat orang-orang yang bisa dibilang.... kureng.
Apa bisa buat? Mungkin ini karma.
Yuk bisa, bertahan 3 tahun lagi.
0 notes
kaktus-tajam · 8 months
Text
Dialog Masalah
Dok, nanti edukasi pasien ini nggak bisa pakai BPJS ya.
Eh kenapa?
Pasien anak SMA, minum obat xx hampir satu strip, untuk menggugurkan janinnya. Dibelikan pacarnya online.. Jadi masuk kategori pembunuhan terencana.
Ujar staff BPJS di RS-ku.
Dok, anak-anak di SD ini susah akademisnya. Banyak yang ditinggal orang tuanya ke Jakarta, atau single parent.
Seorang kepala sekolah cerita padaku setelah usai penyuluhan.
Dok, tolong periksa pasangan calon penganten ya.
Oke
Tapi sudah positif.
Eh positif apa?
Hamil.
Seorang bidan meminta tolong sambil tersenyum iba.
Dok minta tolong visum ya.
Pasien apa, Mbak?
Ibu-ibu di KDRT, sudah 13 tahun dipukuli suaminya. Hari ini akhirnya berani memeriksakan diri.
Ujar seorang perawat saat kami di IGD.
Dok ini pasien hamil risiko tinggi, jangan lupa dirujuk.
Kenapa Bu?
Usia 15 tahun, sudah hamil 5 bulan
Percakapan di poli KIA.
Iya dok, anak itu dibully temannya karena hitam kulitnya. Sedari kecil susah mengikuti pelajaran, sosial juga kurang. Ibu bapaknya juga sulit diajak kerjasama.
Curhatan seorang guru TK tentang muridnya usai skrining perkembangan.
Bu, Pak. Anda berdua positif terkena penyakit Gonorrhea. Secara objektif ini saya sampaikan ada kumannya.
Lah, Dok? Saya gak tau dok kenapa saya sakit gini setelah menikah dengan suami saya ini!
Saya yakin saya nggak ‘jajan’, Dok. Istri saya pasti yang bawa penyakitnya!
Pertengkaran suami istri di suatu poli Infeksi Menular Seksual (IMS).
Ya Allah.. memang saat ini ummat sedang sakit ya. Semoga pribadi kita dikuatkan, keluarga dikokohkan, dan semoga Allah lindungi ummat dari kemaksiatan.
Selamat terus “belanja masalah” yaa, dan semoga Allah takdirkan kita menjadi yang bisa memberi solusi dari masalah, bukan diam saja, apalagi memperkeruh. Huhu.
-h.a.
154 notes · View notes
nurunala · 3 months
Text
Cerpen: Hujan atau Cinta
Mungkin, memang sudah seharusnya aku berterima kasih kepada hujan. Rintik-rintik kenangan yang menahan kita tetap di sini. Mendengarkan cerita satu sama lain. 
Kamu bercerita, aku bercerita—dan entah sudah berapa dusta yang aku cipta. 
Hujan menggenang lubang-lubang jalan. Burung-burung berteduh.
Hatiku mengaduh.
Inikah rasanya jatuh, terluka, tapi harus terus berpura-pura?
“Siapa dulu yang ketawa ngakak sampai jatuh dari pohon?”
Dahimu selalu berkerut jika sedang bertanya. 
“Amar? Yang celananya sobek?”
“Iya bener, Amar! Celananya sampai sobek ya? Oh iya!”
Kamu tertawa lepas sambil reflek menepuk lengan kiriku. 
Aku selalu suka tawa itu. Terutama saat pemicunya adalah aku. 
Sejak dulu, aku selalu ingin jadi sumber bahagia dalam hidupmu.
“Kamu, lama di sini?”
Akhirnya, kuberanikan diri bertanya. Mengukur kemungkinan berapa kali lagi kita bisa berjumpa. Untuk sekadar bertukar cerita, bernostalgia, atau … menumbuhkan lagi rasa? 
“Besok jam 6 pagi udah ke Jakarta lagi,” jawabmu datar. 
Besok pagi? Maksudmu, 14 jam dari sekarang? 
“Buru-buru amat. Baru aja sampai tadi pagi.”
Kamu menatap mataku sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangan ke depan. Seolah mengamati hujan yang belum juga mereda.
“Ayah cuma cuti sehari. Makanya habis resepsi Risma tadi, ayah sama ibu langsung keliling-keliling buat silaturahmi. Udah lama banget gak ke sini. Ada kali ya 5 tahun?”
Tepatnya, 6 tahun 2 bulan. 
Hari ini 27 Agustus 2023. Kamu dan keluarga meninggalkan desa ini untuk pindah ke Jakarta sejak 25 Juni 2017. Saat kita mau naik kelas 2 SMA. 
Banyak yang bilang aku pelupa. Tapi tentangmu, percayalah: aku pengingat yang baik. 
“Iya, sekitar 5 tahunan. Ya, lumayan. Kalau orang, kira-kira umur segitu udah TK lah.”
“Udah bisa maling jambu di kebun Pak Muchtar, ya?”
Pertanyaanmu memanggil kembali ingatan masa kecil kita. Hari-hari di masa lalu ketika kita lebih mudah bahagia karena belum banyak mau. 
“Kamu kan yang nyuruh?”  
Seperti tak terima dituduh, kamu langsung mengklarifikasi, “Aku gak nyuruh. Aku cuma bilang, aku pengen jambu air.” 
Kamu selalu begitu. 
Menyembunyikan ego di balik keluguanmu. Itu alasan kita berpisah 6 tahun lalu, kan? Saat kamu bilang, hubungan jarak jauh melelahkan dan enggak akan berhasil. 
Tak lama setelah kamu mengatakan itu, kamu mengunggah foto dengan seseorang yang lain–alasan sebenarnya kita berpisah?  
Lalu kita berhenti saling mengikuti di media sosial. 
Setelah belasan tahun pertemanan …
Setelah setahun saling mengungkap perasaan … 
Kita tiba-tiba menjadi dua orang asing. 
Aku berusaha melupakanmu dan meneruskan langkah. Aku berusaha untuk baik-baik saja, memajang senyum dan tawa ke mana-mana. 
Berusaha percaya pada mereka yang berkata, ‘waktu akan menyembuhkan’. Argumen paling tolol yang pernah aku amini. 
Karena, bahkan hingga hari ini, 6 tahun kemudian … 
Saat takdir kembali mempertemukan kita di desa ini–tempat segalanya tumbuh dan bersemi, aku sadar: aku tak pernah benar-benar bisa melupakanmu. 
Bahwa menghapus ingatan tentangmu, adalah sama dengan menghapus seluruh ingatan di kepalaku. 
Bahwa ternyata luka ini, tak pernah benar-benar sembuh.
“Pohon jambunya, masih ada enggak sih?”
Tanyamu sambil melempar pandangan jauh ke sebuah rumah, lalu mengarahkan telunjukmu ke sana.
“Rumahnya yang di situ, kan?”
Aku mengangguk.
“Masih ada, kayaknya. Pohon jambu kan gak bisa tiba-tiba pindah ke Jakarta.”
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku, memicu senyum sinis di wajahmu. 
“Imran, si paling jago kalau nyindir orang.”
“Nadia, si paling …”
“Si paling apa?”
Dahimu berkerut lagi. 
“Si paling cantik,” ada lengkung senyum di wajahmu sebelum berubah jadi ekspresi kesal saat aku melanjutkan, “di Geng Jambu.”
“Yeeh kan aku emang cewek sendiri. Tapi …”
Ada jeda sebentar sebelum kamu melanjutkan kalimat. Seolah kamu ragu.
“... di ingatan kamu, aku kayak gitu ya? ‘Tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Kayak … seolah-olah itu semua kemauan aku.”
“Aku nggak bilang gitu.”
“Kamu tadi bilang, ‘tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Maksudnya aku, kan?”
“Tiba-tiba atau enggak, di ingatan aku, kamu pergi.”
“Dan di ingatan aku, kamu menghilang.”
“Kamu kan yang minta aku menghilang?” tanyaku tak terima. 
“Aku? Aku minta kamu menghilang?” giliran kamu yang tak terima. 
“Kamu bilang, kamu capek sama aku.”
Mendengar ucapanku, kamu terdiam sebentar. Seperti menata kata dalam kepala. Lalu serupa hujan yang tiba-tiba menderas, kalimat demi kalimat meluncur dari mulutmu.
“Aku bilang, aku capek, karena kamu terus-terusan mempertanyakan kepergian aku ke Jakarta. Terus-terusan protes sama kita yang harus tiba-tiba pisah. Terus-terusan ngeluh karena kita jadi gak bisa lagi ketemu setiap hari. Aku gak pernah minta kamu menghilang.”
Nada bicaramu tiba-tiba meninggi. 
Sementara aku masih memproses kata-katamu, kamu bicara lagi.
“Kamu pikir aku gak sedih kita pisah? Kamu pikir aku gak pernah protes? Kamu pikir aku suka keluar dari zona nyaman aku, harus beradaptasi sama orang-orang kota yang sok tau, dikatain kampungan … Selama ini, kamu mungkin mikir aku egois. Tapi, aku tuh …”
Kalimatmu tertahan di sana. Kamu menghela napas dalam, dan matamu mulai berkaca-kaca. 
Hujan di luar sudah hampir reda, hujan di matamu jatuh begitu saja.  
“Maaf. Aku yang egois.”
Hanya itu yang bisa kukatakan. 
Kamu menyeka air mata dengan jemarimu, lalu memaksa bibirmu untuk tersenyum. 
“Aku yang maaf. Kenapa jadi marah-marah gini, ya?” 
“Karena aku emang nyebelin?”
“Iya. Nyebelin banget,” ujarmu sambil memanyunkan bibir sedikit. Kebiasaan yang selalu kamu lakukan setiap kesal padaku. 
“Eh, udah ah bahas masa lalunya. Udah lewat juga. Bisa tethering bentar gak? Paket dataku abis, mau ngabarin Ayah kalau kita kejebak ujan di sini. Takutnya dia nyariin.”
Aku menghidupkan fitur personal hotspot di ponsel. 
“Passwordnya?” tanyamu sambil menunjukkan layar ponsel. 
“662016”
“Pelan pelan, dong … Enam .. Enam … apa tadi?”
“Dua Nol Satu Enam.”
“Enam Enam Dua Nol Satu Enam? Eh, ini … ”
Jangan bilang, kamu masih ingat. 
“Tanggal jadian kita bukan, sih?” tanyamu singkat dan lugu.
Ada banyak hal dalam hidup yang tak bisa kita pilih. Boleh jadi, salah satunya adalah cinta pertama, yang dengan segala kekonyolannya mewarnai masa remaja. 
Ketika jerawat pubertas pecah dan hidup tak tentu arah.
Cinta pertama adalah bunga yang mekar di taman jiwa. Wanginya semerbak membuai dan melalaikan. Ia menghiasi satu-dua musim, lalu seketika layu dan kehilangan pesona. 
Tetapi, anehnya, ia tetap di sana.
Menetap dalam ingatan. 
Abadi sebagai kenangan. 
“Bisa tethering-nya?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Bisa. Bisa. Bentar ya aku chat Ayah dulu …”
“Oke. Jangan download film.”
“Ya kali …” 
“Siapa tau …”
“Eh, Ran,” kamu menengok ke arahku sambil tersenyum. “Pertanyaanku belum dijawab tadi. Kamu… masih pakai tanggal jadian kita buat password?”
“Heh? Oh, itu. Males ganti-ganti. Susah tau Nad, ngapalinnya.”
Mendengar jawabanku, kamu mengangguk-angguk kecil. 
“Iya sih, setuju. Aku juga …” ada nada ragu di kalimatmu, tapi kamu tetap melanjutkannya, “... masih pake tanggal jadian kita buat passcode handphone, 060616. Dari dulu gak pernah ganti.”
Aku tak tahu harus merespons apa dan bagaimana. 
Haruskah terkejut? Haruskah bangga dan terharu? Haruskah jujur saja mengatakan bahwa sebagaimana password di ponselku, perasaan ini juga tak pernah berubah?
“Emang males banget sih ganti-ganti password,” kataku sambil ikut mengangguk-angguk. Aku berusaha mencari cara untuk keluar dari suasana yang terasa semakin canggung. 
“Hujannya udah agak reda, Nad. Lanjut, yuk!”
Aku berdiri, bersiap melanjutkan perjalanan. 
Tapi, kamu menarik tanganku untuk duduk di sampingmu lagi. 
“Sini dulu deh, mager banget. Udah lama juga aku gak mampir ke warung ini. Dulu setiap pulang sekolah, kita selalu ke sini, kan?”
Pertanyaanmu memecah kecanggungan. Mengembalikan kita ke dalam obrolan-obrolan panjang. 
Sudah sejak tadi hujan berhenti … dan kita masih di sini.
Ternyata bukan karena hujan kita bertahan.
Tetapi, aku terlalu takut menyebutnya cinta.
...
©nurunala
64 notes · View notes
andromedanisa · 1 year
Text
Mana yang lebih baik? Bersyukur atau bersabar?
Sesuatu yang kamu tangisi pada hari ini, kelak akan sangat kamu syukuri nantinya. Ini benar adanya, demikianlah takdir Allaah Ta'ala kepada kita.
Ada seorang perempuan, sejak kecil kedua orangtuanya bercerai. Perempuan ini tinggalah bersama kakek dan neneknya sampai ia menginjak kelas enam sekolah dasar. Ibunya merantau ke suatu kota untuk bekerja, ayahnya menikah kembali. Sejak SMP sampai SMA ia dirawat oleh ayahnya dan ibu tirinya.
Selama kehidupan bersama ayah dan ibu tirinya, ia juga hidup dengan 3 saudara tirinya yang lain. Dua laki-laki dan satu perempuan. Cerita ibu tiri yang sering kita dengar dulu, yang tak pernah adil kepada anak tirinya, ini nyata adanya. Singkat cerita selama perempuan itu hidup bersama mereka, perempuan ini menjalani kehidupannya dengan totalitas membantu keluarga ayahnya tersebut.
Setiap harinya tidak pernah benar-benar mendapatkan uang saku dari ibu tirinya, ia selalu dapatkan saat ayahnya memberinya uang saja. Jika tidak diberi maka ia tak memiliki uang saku. Setiap harinya seusai pulang sekolah, wajib baginya membantu ibu tirinya menyiapkan barang dagangan. Ayah dan ibu tirinya memiliki warung makanan dengan berbagai macam jenis lauk yang dijual. Ia tak pernah sekalipun pergi bermain dengan teman-teman seusinya,bahkan untuk libur sehari saja ia tak pernah dapatkan. Sementara ketiga adik tirinya tidak demikian, tak pernah sekalipun ikut membantu menyiapkan dagangan. Padahal usia mereka tidaklah begitu jauh.
Namun ia tidak pernah mengeluh, sekalipun didepan kakek neneknya kala kakek neneknya berkunjung untuk menjenguk keadaannya. Ia selalu mengatakan baik-baik saja, sekailpun kenyataannya tidak demikian. Ia telan sendiri, ia lalui kesakitan dan kepahitan itu sendiri.
Kala tidak ada yang sholat dan mengaji dilingkungan tinggalnya, ia tetap melakukan kewajiban dan ketaatan itu sekalipun ia sendiri. Ia perempuan yang cantik dan pandai dalam hal agama, menjaga diri dan kehormatannya dengan baik. Tak tertarik sekalipun untuk pacaran, sekalipun teman-temannya sudah banyak yang memiliki pacar. Baginya menjaga kehormatan adalah salah satu jalan untuk terus menjaga ketaatan kepadaNya.
Ia yang ikhlas melakukan semuanya, tanpa mengeluh, tanpa menceritakan penderitaannya kepada dunia sekalipun kepada kakek neneknya atau kepada ibunya. Allaah balas keikhlasannya dengan menghadirkan seseorang yang tulus mencintainya.
Tepat setelah lulus dari SMA dia di persunting oleh seorang laki-laki baik yang juga begitu menjaga dirinya. Laki-laki penyabar, dan seorang penghafal Al-Qur'an. Hingga kini,ia bercerita banyak kepadaku, suaminya adalah laki-laki terbaik yang ia kenal. Sangat baik kepadanya bahkan dari ayahnya dulu. Katanya, "Allaah sepertinya sedang membalas kesabaranku atas hal dulu dengan kehadiran suamiku saat ini."
Kini, ia dikarunia tiga orang anak. Bahkan sampai saat anak-anaknya tumbuh dewasa, suaminya masih dengan sabar terhadapnya, membantu pekerjaan rumah tanpa diminta, mencukupkan dan mengajarkan ia agama hal yang tak ia dapatkan dulu. Allah karuniakan anak-anak yang sopan dan santun, serta penghafal Al-Qur'an. Allaah kabulkan doanya meski harus melalui hal-hala yang membuatnya harus menangisi banyak hal.
"Saat kamu diuji, bukan Allaah tak tahu kamu menangis dan kesakitan. Allaah tahu kondisimu yang sedang tidak baik-baik saja itu. Namun Allaah ingin menguji kesabaran dan keyakinanmu kepadaNya. Allaah uji kamu dengan sesuatu yang menguras perasaanmu, agar kelak kamu begitu mensyukurinya dengan banyak syukur yang berlipat." Ucapnya kepadaku.
"Kalau inget-inget masa sulit itu, rasanya masih terasa sakitnya. Namun kalau melihat kondisi pada hari ini rasanya begitu bersyukurnya diriku. Allaah kuatkan hati dan keyakinanku untuk tetap pada prinsipku. Bahwasanya Allaah bersama orang-orang yang bersabar. Sabar itu bukan berarti kamu nggak boleh menangis, boleh, kamu boleh nangis. Sabar itu bukan berarti kamu harus selalu baik-baik saja, seolah tidak ada kepahitan. Nggak, kamu boleh untuk tidak baik-baik saja dan menceritakan semuanya kepada Allaah. Dan sabar itu bukan berarti kamu harus diam dan pasrah menunggu semuanya. Nggak, bukan demikian. Sabar itu artinya kamu pun harus berjuang dijalanmu saat ini dengan terus berupaya meminta pertolongan kepada Allaah. Itulah sabar yang sesungguhnya." Ujar dia kembali..
Kini aku mengerti, mengapa hasil dari sebuah kesabaran adalah rasa syukur. Sebab untuk melalui semuanya dan bertahan dalam kondisi yang tidak menyenangkan, bukanlah hal yang mudah. Sungguh, kalau bukan karena Allaah yang menguatkan, tentulah sedikit sekali orang-orang yang bersabar pada keyakinan mereka.
Jadi, mana yang lebih baik? Bersyukur atau bersabar? “Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mu’min sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya” (HR. Muslim no.7692).
Terimakasih untuk ceritanya, bersyukur sekali bisa mendengar cerita ini langsung disaat mungkin hati sedang butuh untuk diingatkan dan dikuatkan..
*aku sudah izin kepada pemilik cerita ini untuk menuliskannya kembali di media sosialku. Semoga Allaah menganugerahi pernikahan kalian dengan banyak keberlahan dan kebahagiaan didalamnya..:"
Perjalanan pulang || 17.37
203 notes · View notes
kayyishwr · 5 months
Text
Kesadaran
Baru saja lihat di X, siswa-siswi SMA luar negeri mulai bergerak juga untuk protes soal gaza. Beberapa hari sebelumnya juga di inisiasi hal serupa di kampus-kampus ternama dunia. Kemudian, merambah pula di kampus dalam negeri, tabik! Kesadaran itu mulai bergumul menjadi satu, menciptakan gelombang baru yang dahsyat.
Jika kita kembali di peristiwa 7 Oktober tahun lalu, entah apa yang 'dilihat' oleh para pejuang di garis depan, hingga dengan yakin melancarkan perlawanan yang lebih menyadarkan seluruh dunia. Selama ini mereka berjuang, tapi sedikit yang menyoroti. Selama ini mereka melawan, tapi sedikit yang menyadari. Hingga hari itu tiba, semua mata menuju kesana.
Kesadaran, adalah hal sepele yang sering kita lupakan. Di zaman yang penuh distraksi, hingga kehilangan fokus, seseorang yang mampu mengendalikan dirinya—tentunya dengan izin Allah, berarti sudah menang walau belum terlihat hasilnya. Tapi paling tidak, mereka sudah terbangun, tidak tertidur. Sudah sadar, tidak lagi melamun.
Walaupun kesadaran dunia terhitung terlambat, atau sengaja dibuat 'tertidur' bertahun-tahun lamanya, hari ini, kesadaran yang muncul patut kita apresiasi bahkan kita dukung.
Masih sangat membekas dalam ingatan, bahwa kesadaran soal Palestina, alhamdulillah—dengan izin Allah juga, lebih dulu menyapa kehidupan masa kecil kami dan terawat hingga hari ini. Sebuah anugerah, memiliki orang tua, yang sedari kami kecil, sudah dikenalkan tentang Palestina; mulai dari iringan nasyid yang membakar semangat, hingga kami berjingkrak-jingkrak jika mendengarkan, atau film yang membuat kami bermimpi untuk ke Palestina, hingga kegiatan di lapangan terbuka yang membuat kami, dulu, mungkin dicap radikal atau lebih peduli negara lain daripada negara sendiri.
Kemudian, hari ini, kesadaran yang terawat itu, lebih mengkristal, lebih objektif, lebih ilmiah, lebih terstruktur, dan lebih rapih.
Nasyid yang dulu kami dengar, lebih menghantam nurani, bahwa semangat itu perlu kita jaga terus menerus. Film yang kami tonton, seharusnya tetap menjaga cita untuk paling tidak berkontribusi dalam pembebasan Palestina. Kegiatan di lapangan, seharusnya disertai pemahaman mendalam soal posisi, urgensi, dan strategi agar supaya lebih berdampak untuk Palestina.
Mari terus merawat kesadaran itu.
Untuk kita yang sedari kecil, sudah dibina dengan kesadaran, nyalakan terus dalam hati dan akal kita.
Bagi yang dulu pernah menuduh dan menyalahkan soal orang-orang yang sadar, bisa beristighfar kepada Allah atas ketidaktahuan kita, dan segeralah belajar untuk mencari tahu.
Bagi yang belum sadar, tak apa, semoga suatu saat, dari anak keturunan kalian, justru lahir manusia-manusia dengan kesadaran yang tinggi, sehingga bisa berkontribusi lebih nyata
Kita iringi play list spotify atau youtube musik dengan sesekali mendengarkan lagu perjuangan dari shoutul harakah, azzam haroki, maher zein, atau minimal We Will Not Go Down karya Michael Heart
Sesekali ikutlah kajian atau forum yang membahas soal Palestina; entah itu yang versi ilmiahnya, versi sejarahnya, versi sosial politiknya, atau versi santainya
Sesekali, sumbanglah donasi untuk Palestina, terserah referensi masing-masing, lewat lembaga kesayangan kita
Dan, teruslah bertekad untuk mengilmui soal Palestina, dan menjadikannya cerita bagi teman-teman kita, bagi saudara kita, terutama bagi keluarga kita
Saat kesadaran dunia hari ini sedang bergairah, jangan malah menepi, apalagi posting soal kopi padahal sedang di tanah suci, eh setelah itu, karena merasa 'terpeleset', tangannya di cuci, ah iya namanya juga politisi😁
30 notes · View notes
maitsafatharani · 1 year
Text
My INFJ
Untukku yang masih banyak malu kalau mau post yang arah-arahnya merah jambu di kanal sosial media lainnya, tumblr jadi salah satu tempat pelampiasan yang tepat. Hehe, terimakasih telah menjadi ruang amanku, tumblr :)
Malam-malam sembari nyicil berkas akreditasi klinik, tetiba pengen mencurahkan banyak hal dari lubuk hati.
Barusan, suami ngechat.
"Yang, nanti sabtu aku visite ya.."
"Oiya gpp, nanti dania aku bawa rapat."
"Dania nanti aku titipin mba bentar aja ya.."
"Ooh kamu berangkat visitenya mau abis subuh ya soalnya.."
"Soalnya jumat malam kan kamu dines ya"
"Iyaa"
"Plan B nya gpp dibawa rapat. Soalnya kamu abis malem, yang."
"Iyasih XD"
Nggak sekali ini aja, suami lebih holistik dalam merencanakan daripada aku. Aku malah seringkali lupa, kalau mau melaksanakan agenda berat berturut-turut. Atau lupa sama kebutuhan sendiri. Suami yang inget.
Inget banget momen-momen mau lahiran.
"Aku tuh pengennya ya Yang, kalo bisa seminggu pertama abis lahiran tuh udah nggak usah ada tamu." Kata Paksu.
"Yaa gpp sih ada tamu. Yang penting kan kitanya udah sefrekuensi."
"Tapii kadang mulut orang ngga bisa dikontrol. Ada aja komentarnya. Belum tentu lahiran nanti kondisinya ideal kan. Nggak tau lahirannya bisa pervaginam atau engga. ASI nya lancar atau engga."
"Iyasih..."
"Melahirkan udah berat buat ibu, Yang. Apalagi kalo harus dengerin macem-macem."
Pada akhirnya sih kami tetap terima tamu ya, wkwk. Qadarullah segalanya lancar dan hampir nggak ada omongan nyinyir. Cuman yaa banyak saran-saran aja gitu buat ibu dan bayinya wkwk. Tapi kalau inget suami pernah ngomong gitu berasa, makasih ya :")
Dan sekarang adalah momen menjelang Dania MPASI. Kira-kira begini isi percakapan kami.
"MPASI tuh.. berat ya. Aku pernah lihat di tiktok anaknya ngelepeh makanan sejak hari pertama." Paksu said.
"Iya, apalagi sampai umur 2 tahun. Ada aja cobaannya pasti." Aku menimpali.
"Aku lihat tuh ya.. ibu-ibu tuh fokusnya ke, apa masakanku kurang enak ya.. bukan fokus ke apakah cara masaknya udah bener, teksturnya sesuai." Paksu said lagi.
"Iya.. banyak overthinkingnya ibu-ibu tuh. Makanya aku banyak cari referensi, tentang feeding rules juga. Supaya lebih banyak tau jadi lebih..."
"Lebih strict?"
"Engga. Justru aku berharapnya lebih banyak tau tuh jadi lebih fleksibel. Kalo anaknya gamau A, oh solusinya boleh B. Gamau C, oke solusinya D. Selama ga menentang prinsip utama."
"Iya Yang, kita perlu banyak belajar. Pasti sedih kan, kamu yang masak. Kalo Dania sampai gamau pasti kamu juga kepikiran."
Kira-kira dari percakapan-percakapan kami bisa kebaca kan ya, siapa yang lebih overthinking? Wkwkwk.
Sejak kami serius untuk menikah, kami sering membicarakan hal-hal terkait kepribadian kami. Suami memang mengakui, dirinya sangat bisa overthinking dalam banyak hal. Juga selalu ingin perfeksionis dalam hal apa pun. Dulu, kupikir aku harus sangat menyesuaikan diri dengan semua ini. Di saat apa pun kubawa santai :") Tapi rupanya, perfeksionisme yang suami anut, tidak irritable menurutku. Justru sangat mempermudah segalanya.
Aku, si INFP bersuamikan INFJ. Sangaaat helpful dan fit me completely.
Kalau sebelum menikah, mungkin mendengarkan apa yang dibicarakan Paksu akan terdengar so sweeet. Tapi sekarang, mendengarnya tuh serasa ada embun menetes di hati.
Adem.
Sampai kadang aku cireumbay sendiri haha.
Kadang bingung, kebaikan apa yang pernah kuperbuat sampai Allah karuniai suami sebaik ini? Meski aku dan dia teman SMA, aku nggak pernah menyangka dia se-pengertian itu.
Makasih yaa, sudah menjadi sekeping puzzle yang melengkapi cerita hidupku. Aku nggak tau ke depannya akan bagaimana. Tapi, semoga Allah selalu memberkahi keluarga kecil kita.
Dan semoga kebersamaan kita bermuara di surga-Nya.
132 notes · View notes
khoridohidayat · 6 months
Text
Pancaran Iman
Satu hal yang akhir ini baru masuk ke kesadaranku adalah bahwa ternyata, iman itu memancar. 
Pernah tidak bertemu dengan orang yang dilihat itu menenangkan dan damai. Berbicara dengan dia seperti ada aura tenang yang hadir dan semua obrolannya baik tak ada ghibah sedikitpun. Namun, ketika kamu beranjak ke orang lain, tiba-tiba rasa tenang itupun hilang. 
Aku punya satu teman. Dia adalah orang yang taat dalam beragama. Karena ketaatannya itu, kadang aku malu jika minum sambil berdiri ketika ada orang itu. Padahal ia tak pernah menasihati apapun tentang adab makan dan minum. Aneh ya. Tapi memang begitu, iman itu memancar.
Aku jadi teringat kehidupan kos kosanku di Semarang. Di kosan itu, aku termasuk orang yang cukup sering ke masjid ketika adzan berkumandang. Memang sudah kebiasaan dari SMA ketika adzan ya shalat di masjid. Suatu hari, tetangga kamar ku memanggil ketika aku hendak berangkat shalat.
“Rido, tunggu.” Dia memanggilku kemudian pergi ke pojokan kamarnya dan mengambil peci. “Aku mau berangkat ke Masjid bareng kamu.” lanjutnya
Aku kaget karena dia tumbenan banget mau ke Masjid. wkwk. Karena biasanya ya dia shalat dikosan dengan kaos dan sarung seadanya.
Aku tak pernah sedikitpun mengkritik orang itu karena tak pernah ke masjid. Aku hanya setiap hari, lima kali dalam satu hari, melewati kamar dia untuk ke masjid. Dan terkadang mampir ke kamarnya sepulang dari masjid untuk bercerita dan merebahkan badan. Ternyata memang betul, iman itu memancar. 
Orang yang beriman akan nyambung ketika berkomunikasi dengan orang yang beriman pula. Mereka seperti mempunyai satu sinyal yang cocok untuk mendengarkan cerita. Mereka seperti seorang sahabat yang baru bisa berjumpa lagi setelah lama berpisah. Padahal belum pernah berjumpa.
Seperti radio, kamu tak bisa memaksakan obrolan jika memang sinyalnya berbeda. Pasti suaranya tak nyaman jika pancaran imannya berbeda.
Manusia di bumi itu memang banyak, sangatt banyak. Tapi orang yang satu frekuensi iman denganmu-lah yang perlu kamu masukkan kedalam circle pertemananmu.
Semoga, kita selalu dipertemukan dengan orang-orang yang beriman. Dan, jika telah bertemu, jangan dilepaskan!
43 notes · View notes
juliarpratiwi · 7 months
Text
Cinta itu ada waktunya. Nanti ada waktunya jatuh cinta.
Saat peralihan fase SD-SMP saya pernah kagum dengan seorang kakak kelas yang menjadi mentor kelompok saya saat ospek SMP. Karena ini perasaan aneh dan baru, maka saya cerita ke Mama.
"Mah, boleh gak kalau aku suka sama seseorang?"
"Boleh dong, berarti kamu normal. Memang siapa yang kamu suka?"
"Ada, kakak kelas aku, mentor kelompok waktu ospek."
"Terus orangnya gimana?"
"Orangnya tuh baik, pinter karena dia kan di kelas unggulan, terus pas giliran shalat dzuhur tuh suka liat dia di mushola gitu shalat berjamaah."
(saya ingat waktu cerita ini, saya malu-malu dan takut.)
"Alhamdulillah kamu suka dengan kebaikan2 yang ada pada orang lain. Rasa suka itu gapapa wajar, nah tugas kamu adalah mengendalikannya. Suka itu boleh, kagum boleh, tapi tidak boleh sampai pacaran-pacaran ya. Sekolah dulu yang bener, yang serius, fokus, buat pertemanan yang banyak. Nanti ada waktunya buat cinta. Mama dan Bapak juga menikah tanpa pacaran."
Waktu masuk ke jenjang SMA saya bertanya dengan pola yang serupa.
"Mah, kalau aku nanti usia 17 thn boleh punya pacar gak?"
"Tidak! Coba manfaat pacaran itu apa? Gak ada, yang ada adalah rugi. Rugi waktu, rugi pikiran, bahkan sampai ada yang rugi masa depannya. Sekarang mending fokus belajar, banyakin relasi, banyakin pengalaman, sibukan diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Nanti jatuh cinta itu ada waktunya."
"Siap mah!"
Ketika Mamah sudah berpulang, saat sudah berstatus Maba. Saya tanya ke Ai
"Ai, kalau nanti pas usia aku 20 tahun, terus misal ada yang ngajak aku menjalin hubungan. Boleh gak?"
"Engga! Kamu udah mau nikah?
"Enggalah."
"Ya udah belajar aja dulu, banyakin temen, sibuk sama hal-hal yang baik dan bermanfaat."
"Oke."
Lalu ketika gembar gembor nyaa nikah muda saya pernah tanya ke Ai
"Ai, aku boleh nikah muda gak?"
"Memang kamu mau nikah di usia berapa?"
"Aku sih pengen di usia 23 tahun."
"Bener? Kamu yakin? Nikah lho ini tuh. Yaa, kalau kamu udah siap sih ya gapapa, kalau udah ada jodohnya kan gak bisa Ai halangin dan larang-larang juga."
"Iya kan ini mah misal, kalau gt."
"Jangan asal ikut-ikutan. Nikah itu ibadah. Siapin yang bener!"
"Iya siaap."
Ternyata setelah lulus mata kuliah psikologi perkembangan anak dan dewasa terus ambil mata kuliah psikologi perkembangan keluarga. Saya mengerti nikah itu gak bisa cuma asal pengen, apa lagi ikut-ikutan, kebawa-bawa sama yang lagi viral.
Sekarang?
Giliran Ai yang tanya
"Kamu ada target nikah tahun ini?"
"Kenapa? Ai khawatir? Memang nikah bisa ditarget?" Saya balik tanya
"Engga sih, cuma Ai khawatir kamu, tapi kalau kamu enjoy ya gapapa. Kita kan gak bisa maksa-maksa Allah."
"Nah Ai juga ngerti, doain aja terus yaa."
"InsyaAllah tanpa diminta juga kamu selalu ada di doa Ai."
Aiiiih kok jadi sedih sih, udah ah!
Nanti juga ada waktunya....
Semua akan menikah pada waktu-Nya. *senyuuum
26 notes · View notes
ambuschool · 1 month
Text
Does Education Change People’s life?
Kemarin kan ke Bandara nyenpetin ketemu kaivan yang transit di Melb sebelum ke Brisbane, seperti biasa kalau ketemu Kaivan tuh banyak banget yg dibahas, termasuk mbaknya kaivan yang resign terus beliau nyari lagi platform Maisyah.Id, sama kaya waktu aku cari ART.
Terus kaivan cerita kalau yg ngelamar tuh pada beyond expectation banget. Sampe yang sekarang akhirnya diambil sama kaivan itu anak FKM UI (UI Loh UI!) tapi jadi ART karena putus kuliah di tengah jalan karena nggak ada biaya :( anaknya pinter, mudah diberikan arahan bahkan bisa nyetir. Tapi ternyata agak ada gangguan jiwa karena suka tiba2 ngomong sendiri. Jujur seddihhhhhh bgt dengernya :( gak kebayang rekkk, beban yang ditanggung anak itu juga sampe dia agak2 halusinasi kaya gitu huhuhu :(
Sebagai anak yang mengamini bahwa pendidikan can change and leverage people’s life, makanya waktu itu kan gue maksa pindah dari UIN ke UI karena ngerasa lingkungan UIN gak oke banget untuk berkembang. Bahkan waktu itu gue mau apply scholarship malah ditanya gue lulusan pesantren mana krn yg boleh apply cm lulusan pesantren while itu gak tertulis dipersyaratannya like???!
Anyway, despite of my life story. Kujuga berusaha untuk menerapkan itu ke pengasuhnya Hannah. Dia lulusan salah satu SMA terbaik di Jakarta tp nggak bisa kuliah karena kehalang biaya (ANJIR PAS NULIS INI GUE MAKIN MARAH COY SAMA BADJINGAN-BADJINGAN KORUPTOR DAN PEMERINTAH YG HURA-HURA NGABISIN DUIT BUAT HAL GAK ESENSIAL). Akhirnya kutawarin untuk kuliah di UT, alhamdulillah udah mau masuk semester 3 dan semoga bisa terus lancar sampe nanti lulus di semester 8.
Walau di 2 semester ini kulihnya masih full online karena turbulensi keluarga dia yg terjadi (kupindah ke Oz, dia jadi hrs pulang ke rumah dan mengurus rumah krn bapak ibunya cerai hiks) tapi semoga ada hal baik yg bisa dia dapat dari perkuliahan dia.
Gue berusahaaa bgt untuk support dia sebisa gue. At least if i can’t be “bermanfaat” buat banyak orang, i can “bermanfaat” untuk satu org lah. Itu prinsipnya skrg :(
Hari ini, dia berangkat ke Yogya. Dia emang pernah cerita ke gue kalau dia pengen banget ke Yogya karena belum pernah. Terus gue berpikir lah, ngapain ke yogya kl cuman buat jalan2, gue juga kondisinya disini nggak berlebihan. Dan kulihat waktu itu kontennya @zhriftikar yang lagi ambil sertifikasi baca qur’an dengan metode UMMI, kujadi kepikiran kenapa kakak ika (pengasuhnya Hannah) nggak ambil sertifikasi ini juga aja? Karena dia sblm kerja di aku sebenernya dia buka TPA kecil2an gitu di rumahnya, berbekal dia belajar tahsin di sebuah rumah Quran gratis (duh jd pengen punya juga!). Jadi akhirnya kuputuskan dia ke Yogya untuk belajar sampe sertifikasi metode UMMI biar pas dia pulang nanti dia bisa cari kerja dengan modal itu.
Beruntungnya, akutuh punya temen2 yang superrrrrrr baik selama di Yogya Alhamdulillah wasyukurillah alaa bini’maatihi taatimusshalihaat. Aku cerita sama Apik kalau kakak ika mau ke Yogya belajar quran, qadarullah dia nawarin kakak ika untuk part time di wuffy! YaAllah mau bgt laah krn aku nggak ngasih uang jajan juga buat dia, cuman ngongkosin.
Terus awalnya mau tinggal di asrama mahasiswa ibunya zahra, tp karena penuh, akhirnya kutanya ke Rave apakah kakak ika bisa tinggal di rumah Rave, dan ternyata bisa! YaAllah, rezeki! Rave malah juga seneng krn suaminya kerja di Solo jadi beneran yg pagi pergi pulang malem gitu. Dan kebetulan Rave juga belajar metode UMMI jadi bs berangkat belajar bareng sm Rave, Alhamdulillah 🥹
Jujur walaupun ku support dengan agak seadanya (biaya kuliah di UT tuh satu semester cuman 1.3 juta!) tapi kuselalu mendorong kakak ika untuk bisa punya kegiatan lain selain kuliah juga. Kemarin beberapa kali kuminta daftar beasiswa NICE, FIM 25, terus ada pelatihan apa gitu. Walau belum pernah lolos tapi semoga someday bisa lolos dan kakak ika bisa punha jejaring yang banyak dan keren.
Semoga kakak ika bisa belajar banyak di Yogya. Bisa ketemu temen2ku yang baik. Ketemu sama orang2 baik di Yogya dan Solo dan mulai membuka jejaring untuk dirinya.
Semoga, pendidikan bisa me-leverage hidupnya.
Tumblr media
Bonus foto kakak ika excited bgt mau ke Yogya
14 notes · View notes
milaalkhansah · 8 months
Text
Menerima Penolakan
Dari kecil hingga beranjak dewasa ini ... Aku menghadapi banyak sekali penolakan. Berasal dari background keluarga yang tidak mampu dan juga fisik yang tak semenawan orang lain membuatku berapa kali harus merasakan sakitnya tidak menjadi "pilihan orang lain".
Akhirnya aku perlahan tumbuh menjadi seseorang yang berusaha untuk selalu "diterima" orang lain. Melakukan apa saja agar aku dianggap, agar aku tak ditolak, dan agar keberadaanku diterima. Tumbuh menjadi seseorang yang selalu berusaha untuk menyenangkan semua orang. Karena menjadi seseorang yang tidak disukai itu sangat menyakitkan diriku kala itu.
Aku pernah punya pengalaman yang berkaitan dengan penolakan yang masih sangat membekas di otakku saat ini. Pengalaman pertama adalah saat SMP. Waktu itu, aku dan ketiga temanku berjalan bersama selepas pulang sekolah. Sepanjang perjalanan, aku merasakan kalau ada seseorang di antara mereka yang sedari tadi menampakkan wajah masam dan tidak pernah melibatkanku dalam percakapan. Selepas orang tersebut pulang duluan karena rumahnya yang lebih dekat ketimbang kami bertiga yang lainnya aku menanyakan hal tersebut kepada temanku yang lain.
"ini perasaanku aja, atau emang dia dari tadi gak suka aku ikut jalan sama kalian gini?"
"iya, dia gak suka. Dia cerita, kalau dia lebih suka jalan bertiga tanpa ada kamu," kata temanku menjelaskan dengan wajah yang tak enak.
pengalaman lain, aku rasakan saat SMA. Dari pengalaman ini juga aku perlahan menyadari bahwa yang namanya "beauty privelege" itu benar adanya. Waktu itu, aku bersahabat dengan seseorang. Dari segi background keluarga dia memang lebih baik dariku. Dan begitu pula dari segi fisik. Aku kalah jauh. Dia adalah salah satu "perempuan tercantik" di sekolahku. Aku sebenarnya heran mengapa dia mau saja berteman dengan seseorang sepertiku. Aku memang tak seburuk itu, tetapi sulit saja rasanya menghilangkan sifat suka menggolongkan pertemanan berdasarkan kesamaan fisik dan ekonomi masing-masing.
Sahabatku mungkin tidak menyadarinya. Tetapi aku sangat merasakan bagaimana perbedaan perlakuan teman-temanku. Aku jarang sekali diajak. Aku tidak pernah diikutkan bila mereka membuat suatu pesta atau perayaan dan berbagai bentuk "penolakan" lainnya. Tak hanya dari lingkup pertemanan. Tetapi hal itu juga aku rasakan dari bagaimana guru-guru di sekolahku memperlakukan kami. Bahkan ucapan seorang guru yang mempertanyakan kenapa kami berdua bisa bersahabat sampai saat ini tidak aku lupakan.
Pernah ada satu kejadian di mana teman-teman sekelasku berencana membuat suatu pesta. Mereka menyampaikan semua orang boleh datang. Aku yang waktu itu rumahnya sangat jauh di banding teman-teman sekolahku yang lain sangat ingin datang. Aku memaksakan diri untuk pergi, Tetapi berakhir aku gak bisa datang, selain karena aku gak punya pakaian yang "pantas" untuk pergi ke pesta, aku juga gak punya transportasi sama sekali. Waktu itu aku menangis sejadi-jadinya. Menyalahkan Tuhan yang menempatkanku pada keadaan di mana aku tak bisa seperti teman-temanku yang lain.
Hingga kini, aku perlahan sadar bahwa berbagai penolakan yang aku terima sejak kecil membantuku untuk menjadi pribadi yang terbiasa olehnya. Allah memberiku berbagai ketidaksempurnaan ini agar aku belajar untuk tidak menempatkan "penerimaan" manusia di atas segalanya. Membentukku menjadi seseorang yang merasa biasa saja jika tak diterima, tak disukai, tak dianggap, dan berbagai macam bentuk penolakan lainnya. Menyadari bahwa aku tidak memerlukan penerimaan orang lain, selama aku sendiri bisa menerima diriku saat ini.
Dan hasilnya? Kini aku berubah menjadi seseorang yang tidak peduli lagi jika kehadiranku tidak disadari. Aku semakin menjadi acuh tak acuh dengan penilaian orang lain, yang membawaku pada ketenangan yang luar biasa. Karena fokusku kini ada pada bagaimana aku bisa menyenangkan diriku sendiri, bukan bagaimana menyenangkan orang lain. Aku semakin tidak takut untuk melakukan sesuatu selama itu membuatku senang. Aku juga semakin tidak takut bila seseorang membenci atau tak lagi menyukaiku.
Jujur, proses menerima sebuah penolakan ini belum 100% bisa kulakukan. Kadang ada kalanya beberapa penolakan yang aku terima—apalagi yang berasal dari orang-orang yang aku pedulikan masih menimbulkan perasaan nyeri. Meskipun di satu sisi aku sadar kalau aku tidak bisa mengontrol bagaimana perlakuan orang lain padaku, termasuk bagaimana orang-orang yang aku sayang memperlakukanku. Tetapi dari hal ini pula aku belajar bahwa seberapa keras pun aku berusaha untuk acuh tak acuh atau merasa biasa saja dengan perlakuan manusia, pada akhirnya perasaan sakit hati itu adalah suatu hal yang lumrah untuk kurasakan sebagai manusia yang masih punya perasaan.
Proses pembelajaran yang aku lakukan dalam mempelajari bagaimana caraku dalam menghadapi manusia lainnya tak serta merta membuatku menjadi seseorang yang ahli dalam melakukannya. Meskipun begitu, setidaknya kini aku lebih pandai untuk menyembuhkan diri dari berbagai perasaan sakit hati itu. Karena berbagai proses pembelajaran itu membentukku menjadi seseorang yang selalu realistis mendahulukan akal sehatku, di banding perasaanku sendiri.
Termasuk dalam hal menerima penolakan.
Sebab ke depannya aku pasti akan menghadapi lebih banyak penolakan. Tetapi dengan pembekalan yang cukup, kini aku bisa lebih legowo dalam menghadapinya. Karena aku telah memahami, penolakan bukanlah suatu hal yang menyedihkan, karena toh sama halnya kita gak bisa memaksakan diri untuk menyukai semua orang, kita juga tidak memaksa orang lain untuk selalu menyukai dan menerima kita. Dan bukankah penilaian manusia tidak berarti apa-apa selama aku bisa menerima diriku sendiri?
24 notes · View notes
aqielafadiya · 2 months
Text
Kayaknya enak ya punya partner atau teman yang saling support buat nulis.
Waktu SMP aku punya teman dekat yang sama-sama suka nulis dan bikin puisi, dan masing-masing punya buku khusus yang isinya karangan tulisan-tulisan kita, dan boleh saling lihat biar dapet inspirasi dari satu sama lain.
Akhirnya ketika kita pisah sekolah pas SMA, kita rajin tuh surat-suratan, selain kirim kabar sebenernya sekalian ngelatih bahasa kita juga sih soalnya penulisannya udah kayak ala-ala sastrawan gitu wkwk.
Sekarang waktu kuliah, aku di Mesir dan dia di Turki. Kita masih rajin ngabarin life update, sempet ngobrolin soal proyek buku, konten youtube, tapi ternyata makin kesini makin sibuk masing-masing dan ternyata ngga semudah itu ya mengeksekusi plan-plan bersama itu..
Sekarang aku nulisnya mandek, aku yakin dia juga mandek (ya karena orangnya cerita sih wk) tapi dia improve jugaa di banyak hal selain nulis seperti masak, ngelukis, ngejagain anak wkwk.
Tapi, sweet nya dia itu selalu rajin ngasih aku foto bunga-bunga di Turki hasil jepretan dia sendiri. She knows that flowers makes mo soo happy!
Tumblr media
- Ber, makasih banyak ya buat bunga-bunganya. Kangen nulis bareng, tau. 🥲
Qoof, 24 Juli 2024.
Tumblr media Tumblr media
8 notes · View notes
ekycahyashlikha · 3 months
Text
Tumblr media
Keiko yang sedari kecil mulai mempertanyakan kenapa orang-orang disekitarnya menyebutnya aneh padahal ia cuma mengatakan apa yang ingin ia katakan, bukan cuma teman-temannya, bahkan orangtuanya pun menganggap ia abnormal dan menyarankan untuk berobat. Namun, karena masih kecil, Keiko tidak mengindahkannya. Ia merasa bahwa dirinya tidak ada masalah. Puncaknya adalah saat SMA. Saat dua teman sekelasnya bertengkar dan tidak ada yang sanggup memisahkan, Keiko memukul kepala teman sekelasnya dengan sekop, dan membuat teman-temannya takut dan menangis. Kejadian tersebut langsung ditindaklanjuti oleh sekolah. Orangtuanya akhirnya minta maaf kepada pihak sekolah. Semenjak itu, Keiko menjadi pendiam. Meski di buku laporannya tertulis, “bertemanlah dan perbanyak main di luar”, Keiko tidak melakukannya. Tumbuh dewasa, saat kuliah, Keiko memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai magang di salah satu minimarket. Di sana, ia merasa dirinya sudah normal. Normal dalam artian ia melakukan aktivitas sama seperti teman-temannya. Akhirnya Keiko merasa nyaman, ia bekerja sebagai pegawai magang sampai dengan usia 36 tahun. Tentu hal itu menjadi topik hangat untuk teman-temannya saat berkumpul. “...apa kau tidak punya pengalaman lain? Kalau susah mendapatkan pekerjaan tetap, kenapa tak menikah saja? Sekarang ini banyak situs perjodohan, kan?” “Benar, benar. Kenapa kau tidak mencari seseorang? Siapa sajalah. Dalam hal ini, jadi perempuan lebih menguntungkan…” “...semua akan terlambat kalau sudah mencapai umur tertentu.” Keiko menyadari bahwa dirinya telah menjadi objek asing bagi teman-temannya. “Dunia normal adalah dunia yang tegas dan diam-diam selalu mengeliminasi objek yang dianggap asing. Mereka yang tak layak akan dibuang.” Entah kenapa, tanpa pikir panjang, Keiko membuat kesepakatan dengan Shihara, mantan teman kerjanya di minimarket. Singkat cerita, setelah sepakat dengan syarat-syarat yang diberikan Shihara dan menganggap bahwa menguntungkan untuk kedua belah pihak, Keiko mengenalkan Shihara sebagai kekasihnya.Keluarga dan teman-temannya mengisyaratkan pada Keiko bahwa, “Ini loh hidup normal.” Dari sini aku mulai emosi dengan Keiko. Karena terlalu menutup diri, jadi terkesan tidak memikirkan dampaknya, padahal Shihara seperti parasit yang menumpang hidup. Dari novel ini, aku menyimpulkan bahwa dalam bermasyarakat terkadang menyimpulkan bahwa individu yang tidak melakukan hal yang mayoritas dilakukan masyarakat dianggap abnormal. Maka dari itu, terkadang untuk eksistensi, seringkali seseorang rela mengesampingkan jati dirinya agar tetap dianggap ‘ada’ oleh masyarakat. Aku suka ending dari novel ini, “...semua sel di tubuhku ada di minimarket.” Keiko kembali percaya kepada dirinya sendiri dan melanjutkan hidup dengan damai. Dah ah, segitu dulu. Have a nice day.
9 notes · View notes
ceritasiolaa · 5 months
Text
Healthy Living
Tumblr media
Apa makna sehat bagimu?
Dulu, aku belum paham betul apa arti sehat sesungguhnya. Bagiku kalo lagi ga sakit berarti kondisiku baik-baik saja, sehat.
Semakin kesini, aku semakin tersadar bahwa bukan itu makna sehat sebenernya.
Jadi apa makna sehat sebenernya?
Sekarang aku mengubah mindset bahwa, hidup sehat adalah dengan kita mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk. Baik itu dalam makanan atau kebiasaan lain yang kita lakukan.
Dimulai dari, memperbanyak gerak dan gak hanya rebahan aja atau malas-malasan. Saat SMP, waktu liburku banyak aku gunakan untuk scroll sosial media, nonton film, nge-youtube, dan sebagainya. Sejak SMA, karena sekolahku menerapkan kegiatan yang cukup banyak, sehingga membuatku terbiasa untuk beraktivitas di saat hari sekolah maupun hari libur. Tapi, bukan berarti aku seutuhnya tidak pernah rebahan ya gaes, ga gitu juga. Ada hari dimana aku memilih untuk men-charge diri untuk dirumah aja dan istirahat.
Kedua, selain dari fisik yang harus dibiasakan bergerak, semenjak kuliah aku selalu membawa bekal makan ke kampus. Nah dari situ pula aku mulai melakukan "makanan yang kurang sehat dimakan secukupnya saja". Seperti gorengan, cemilan yang bermicin, mengurangi konsumsi saos, dan makanan junk food seperlunya saja. Bekal dari rumah menurutku sudah sangat cukup, untuk cemilan aku beli buah-buahan (rujak) atau roti/biskuit/ kue-kue an.
Alhamdulillah, lingkungan juga sangat mendukung. Aku tinggal bersama sepupuku yang juga membatasi makanan-makanan kurang sehat, dan kami kadang memilih untuk membuat sendiri cemilan dari rumah.
Ketiga, olahraga. Selain jalan pagi, biasanya sore aku sering melakukan workout di rumah. Ga sampai ngeluarin banyak biaya kok. Untuk workout dirumah hanya membutuhkan matras dan gadget untuk melihat contoh gerakannya.
Alasan aku memilih workout di rumah aja, karena di kota tempat aku tinggal saat ini belum ada tempat olahraga yang khusus muslimah. Selain itu juga lebih efektif ga harus keluar rumah hehe, karena keluar rumah butuh effort lagi.
Keempat, perbanyak minum air putih dan mengurangi minuman manis. Aku selalu mengusahakan diri untuk membawa botol minum kemanapun. Karena kalo ga bawa air minum, aku takut kebablasan malah beli minuman manis atau minuman kemasan yang kurang sehat. Bagiku sesekali boleh, tapi jangan sering atau bahkan setiap hari minum-minuman kemasan manis.
Sejauh ini, ini saja yang aku ingat cara mengubah pola hidupku lebih sehat dari sebelumnya.
Karena aku sadar, jika bukan aku yang memulainya maka siapa yang akan melakukannya untuk tubuhku ?
Siapa yang tahu kondisi kesehatan ku?
Dan sehat itu ternyata bukan sekadar karena kita tidak sedang sakit. Tapi juga butuh ikhtiar untuk merawat dan menjaga kesehatan tubuh.
Kalo kamu gimana?
Boleh ceritain juga dong cerita hidup sehat kamu, siapa tau bisa jadi referensi yang lainnya :)
Because sharing is caring 🌻
| Cianjur, 09 Mei 2024
Olaa
10 notes · View notes
yangmeracau · 4 months
Text
Dulu tahunya penulis itu cuma penulis buku.
Meskipun dari dulu sering ngeblog, tapi yang aku tahu penulis yang dibayar itu yaa. Penulis buku.
Aku termasuk orang yang cuma bisa nulis nafas pendek dan gak bisa ngarang cerita, sungguh berat untuk membuat drama-drama pernikahan khas Asma Nadia, atau ngebayangin cogan soleh tuh kayak gimana ya, kan pengen juga bikin tokoh fiksi seperti yang ada di novel Habiburrahman.
Akhirnya pikiran itu aku skip, karena pas SMA waktu aku abis buat kejar nilai dan bikin makalah.
Sebelumnya blogging cuma ngerti ganti-ganti tema sama milih-milih plug in.
Sekarang? Engga dong, karena udah belajar juga soal SEO. Akhirnya bisa bilang "oh" Lebih panjang karena bener-bener faham cara kerjanya.
8 notes · View notes
aledisini · 4 months
Text
Having the Right Friends
Beberapa hari yang lalu gue nangis habis-habisan karena susah banget ngerjain latihan soal. Iya nangis sampe sesegukan wkwk. Ndagel banget kaya waktu SMA dulu pas pertama kali liat arab gundul. Sambil yaAllah yaAllah srat srot ngerjain latihan nya.
Hari ini gue latihan section yang sama. Mana dengan kondisi yang lagi ga beres, capek. Udah ngira kalo pas ngerjain hari ini paling sambil mewek yaAllah yaAllah wkwk.
Tapi hari ini, gue sambil nelpon temen-temen IPB. Ditemenin ngerjain soal. Ditemenin pusing-pusing. It turns out ya mereka juga kangen euforia belajar bareng. Grup kita bentuk nya udah kaya grup kelas yang bagi-bagi slide sama kunci jawaban wkwk. It truly helps me ngelewatin reading comprehension ini. Dan dipejalarin bareng sama mereka bikin gue ngerasa materi yang susah ini ya emang susah banget WKWKWK. Tapi ternyata banyak kok yang bisa kejawab soal nya.
Awal nya gue kira karena sambil telponan ya bakal ganggu mereka dan bakal ganggu gue belajar. Ternyata sama sekali engga, sama-sama seneng digangguin hal yang bener-bener diluar kerjaan kita masing-masing. Ngga semua orang bisa diajak gini kan?
Setiap masa ada orang nya, setiap orang ada masa nya. Selain berlaku untuk masa keemasan, menurut gue itu juga berlaku sama kehidupan sehari-hari. Setiap kesulitan ada orang nya. Dengan berbagai kesulitan yang manusia hadapin dalam hidup nya, ngga mungkin dia cerita dan minta pendapat cuma ke satu orang. Different problems make us, as a human, need to get different pov right?
Sama kaya kalo cerita atau butuh masukan, perlu pilih-pilih. Kalau emang butuh insight orang alim pinter agama ya gue tau temen-temen gue ini bukan orang yang tepat untuk ditanyain. Salah-salah malah buat madzhab sendiri kan susah wkwk.
 فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. {An-Nahl:43}
Bertanyalah pada ahlinya. Walau agak bergeser sedikit, jadi "tanyakanlah pada yang paham". Kan kalau ngomongin kantor juga gue cerita sama temen yang paham istilah-istilah nya, jadi begitu cerita gue ga perlu susah payah jelasin terms and condition di kantor wkwk. Gue minta pendapat sama orang yang paham kondisi gue. Ya intinya gitu sih.
Ada wadah untuk setiap cerita. Buat extrovert kaya gue ini, punya temen yang banyak itu membahagiakan. Setiap mereka jadi orang yang berharga, karena tiap mereka pasti punya topik yang beda-beda untuk diobrolin atau diskusi.
Ya intinya, di dunia ini kita hidup ngga sendiri kok. Iya belum punya pasangan, tapi setiap hari ada aja kok orang yang bisa diajak ngobrol dan cerita. Tinggal kita nya aja mau ngusahain apa engga. Kalau pun ga ada lagi orang yang bisa diajak ngomong, itu sadajah masih kering huehehehe. Ada sajadah yang bisa ditumpahi air mata, dan bumi yang bisa dibisiki isak tangis. Kapan lagi bisik-bisik ke bumi tapi tembus nya ke langit?
10 notes · View notes
yuliratnasr · 7 months
Text
Cerita Menikah
ada satu kalimat yg membuat saya lebih tenang saat masih sendiri, kurang lebih begini "kita akan menikah hanya ketika Allah mengizinkan kita menikah". saya meyakini bahwa tugas manusia hanya sampai pada doa dan ikhtiar, masalah waktunya kapan adalah sepenuhnya hak Allah
proses taaruf kami berjalan tanpa kami rencanakan (walaupun tentu sudah Allah rencanakan) berlangsung kurang lebih 1 bulan dari taaruf hingga khitbah. banyak hikmah yg saya dapatkan dalam proses taaruf kami. pertama, pentingnya ilmu pranikah, baik ilmu tentang taaruf, khitbah, nikah, managemen keluarga dan lainnya. yaps, ilmu sebelum amal itu penting. itu juga sebagai pembuktian keseriusan kita untuk menikah, "ya Allah saya sudah berusaha belajar tentang pernikahan. tentang menikah dengan siapa, atau menikah dan tidak, terserah Engkau".
kedua, pentingnya punya batasan diri, menentukan apa yg harus dimiliki calon pasangan dan apa yg bisa kita toleransi jika tidak ada pada calon pasangan. segala sesuatunya akan terasa lebih ringan dan tidak membuang banyak waktu jika kita merencanakan dan menuliskan apa yg ingin kita pilih, kurang lebih sederhananya begitu.
ketiga, meminta dibimbing dan menyandarkan diri pada Allah. poin ketiga sangat penting. saya selalu berdoa bahwa saya tidak ingin memilih, saya minta dipilihkan Allah saja. bahkan seminggu sebelum hari akad itu tiba. dari yg tadinya yakin, tiba-tiba terbesit ragu, apakah pasangan saya nantinya bisa menerima, membimbing, dan mengayomi saya (?) terlebih menerima segala kekurangan saya (?) hamdalah setelah sholat, keraguan itu Allah hilangkan.
setelah akad dan mengenal suami lebih jauh, saya tak menyangka akan dipasangkan dengan dia, ya karna ternyata banyak kliknya.  masyaAllah. padahal waktu taaruf komunikasi kami terbatas dan dia seperti orang yg pendiam pollllllll, setelah jadi suami malah hobi ndagel 🥲 lagi-lagi saya teringat doa-doa saya ke belakang agar dipasangkan dengan yg se-frekuensi. pernah di suatu pagi, suami bertanya perihal dari mana saya mengenal al-ma'tsurat, saya jawab sejak SMA. apa jangan-jangan kita dipersatukan karna doa rabithah kita? 😄
_____
katanya, jodoh adalah cerminan diri, tapi sampai sekarang saya merasa masih belum cukup baik untuk dia. Allah Maha Baik
semoga Allah mampukan kita untuk mengupayakan kebaikan dan perbaikan ya beb 🤍
12 notes · View notes