Tumgik
#CeritaBersambung
erzulliee · 1 year
Text
Jogja dan Hujan Pertama di Bulan September
Jangan lupa follow Wattpad Erzullie ya :)
Babak 1
Masih ku tatap hujan pertama di bulan September.
"Permisi, Mas," ucap seorang gadis manis dengan rambut sebatas bahu.
"Oh, ya, silakan." Aku memberikan celah untuk gadis itu lewat di depanku.
Ia duduk di tepat di kursi sebelahku, menjadi pendamping perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta.
Sejak kereta api berjalan, tak ada kata yang terucap di antara kami. Aku sibuk menatap hujan di luar jendela, sementara ia sibuk menidurkan diri.
Sejak ia tertidur, muncul keberanian untuk sesekali meliriknya. Takdir memang bajingan. Bisa-bisanya menghadirkan orang asing macam begini. Wajahnya tidak terlalu cantik, tapi cukup menarik untuk terus dipandang.
Perjalananku kali ini bertujuan untuk membasuh luka dari patahnya hati. Namun, September memang unik. Selain hujan pertama, ia juga menyuguhkan pertemuan pertama.
'Seandainya bisa kenal sama dia.' Batinku. Berharap ia singgah sejenak di beranda takdir.
Waktu terus bergulir. Perlahan kepalanya turun hingga bersandar di bahuku.
'Bajigur!' Batinku. Aku takut degup jantungku yang berdebar kencang ini membangunkannya. 'Woilah! Cepet bangun Mbak. Hatiku geter-geter ini hoy!'
Biarpun begitu, sisi kecil hatiku berharap ia terus begitu. Setidaknya pundak pria ini tidak rapuh seperti hatinya.
Tanpa sadar, terukir senyum tipis di bibirku. Hingga tiba-tiba aku merasakan ada air yang mengalir dari bahu menuju lenganku. Ku tatap si manis ini.
'Si jenius! Ngiler anjay!'
Tiba-tiba mata si jenius in—si manis ini terbuka. Ia terkejut dan langsung mengangkat kepalanya. Ditatapnya iler yang berdusun di bahuku.
"Eh sorry." Dengan panik ia ambil sapu tangan dari kantong jaketnya, lalu membersihkan baju dan lenganku.
Aku tersenyum menatapnya. 'Untung manis!' Batinku. "Enggak apa-apa kok."
"Maaf, maaf, enggak sadar saya."
"Kalo sadar mah bukan tidur, Mbak," balasku dengan bumbu guyon.
Ia tertawa. Lesung pipinya membuat senyumnya semakin manis.
"Mau ke mana, Mas?"
"Jogja. Mbaknya?"
"Sama."
"Mau kuliah?" tanyaku
"Emang masih kelihatan kayak mahasiswi, ya?" Ia berpose menempelkan jarinya yang berbentuk huruf v di bawah dagu.
Aku terkekeh. "Iya," balasku.
"Sempet kuliah di sana, tapi udah lulus tiga tahun lalu. Sekarang mau main aja. Masnya mau ngapain?"
Aku tersenyum membuang muka menatap hujan di luar jendela. "Menghapus luka, Mbak."
"Mirip-mirip deh sama aku. Aku main juga karena mau ngubur pilu."
'Jiahahaha menarik!'
Aku menyodorkan tanganku. "Riki." Ia membalas jabatan tanganku. "Lena," ucapnya.
Lena. Seperti namanya. Aku dibuat terlena dengan parasnya.
Lena bercerita bahwa ia suka ayam geprek di Jogja. Ayam geprek di Jakarta terlalu culun katanya. Selain geprek, ia juga suka pengamen di Jogja. Menurutnya para pengamen ini adalah orang-orang yang mencari panggung jalanan, bukan sekadar mencari uang dan tidak bertanggung jawab dengan telinga pendengarnya. Jogja memang begitu, kaya dengan seniman.
"Kalo kamu, apa yang paling kamu suka dari Jogja?" tanyanya padaku.
"Enggak ada," jawabku
Ia memicing. "Kok?"
"Aku juga kuliah di sana. Sejak lulus, Jogja enggak lagi sama. Keistimewaannya ikut terkubur bersama masa lalu. Tempat yang sama, tapi dengan waktu dan orang yang berbeda."
"Nyesek ya ... terus ngapain ke Jogja kalo gitu? Masih banyak kota lain," ucapnya.
Aku tersenyum. Suasana mendadak hening diselimuti dinginnya kereta malam. "Aku butuh luka yang lebih besar untuk menghapus luka di hatiku saat ini. Aku mulai menyadari, bahwasanya sakit hati terbesar adalah ketika kita cuma diberikan ketidakberdayaan untuk duduk sambil menikmati secangkir nostalgia tanpa dicumbu sua."
Lena tersenyum mendengar ucapan ku. "Wih, kata-katanya."
"Setelah lulus, aku sadar. Hal yang paling mahal itu adalah kehadiran."
"Sepakat," ucap Lena.
Waktu yang tersisa kami gunakan untuk saling mendekatkan diri. Menyenangkan rasanya mengenal orang baru.
"Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi kereta api Bogowonto akan tiba di stasiun akhir Yogyakarta ...."
Hingga tak terasa kami hampir tiba di penghujung perjalanan. Baik aku dan Lena, kami berdiri. Aku mengambilkan tas miliknya yang berada di atas.
"Makasih." Lagi-lagi ia tersenyum padaku.
"Sama-sama," balasku sembari menyematkan senyum balasan.
Kami berjalan ke depan stasiun bersebelahan. Rasanya nyaman, aku tak ingin jauh darinya. Padahal belum ada sepuluh jam kami saling mengenal satu sama lain. Sepertinya Lena sukses meluluhkan hatiku. Aku jatuh cinta.
"Rik, aku duluan, ya. Makasih udah nemenin ngobrol. Semoga lekas sembuh." Lena masuk ke dalam mobil taksi berlogo twitter sambil melambaikan tangannya padaku. Aromanya perlahan pudar dari hidupku.
Tanpa dosa ia pergi begitu saja. Tak meninggalkan jejak barang secuil nomor ponselnya. Di matanya aku hanyalah sebuah selingan takdir.
Lagi. Aku terluka ditikam anganku sendiri. Lena tidak salah. Aku yang salah karena berharap padanya.
Benar kata orang-orang rupanya. September memang identik dengan hujan. Dengan senyum mendung, aku melangkah pergi. Biar ku anggap semua rasa ini hanyalah bunga tidur semalam.
END
18 notes · View notes
ariekdimas · 2 years
Text
Cerita Pradipta: Hilang Arah (bagian 4)
Tumblr media
Hujan mulai turun. Yang aku suka dari hujan adalah aku bisa menangis sepuasnya tanpa diketahui oleh orang lain.
Namun, mengapa dibenakku ketika turun hujan itu identik dengan kesedihan? Bukankah hujan membawa keberkahan dan memberi kehidupan?
Adanya kehidupan berarti ada kebahagiaan.
Jadi ingat waktu kecil dulu, ketika rintik gerimis turun Aku malah sengaja keluar rumah untuk berhujan-hujanan. Semakin deras semakin bahagia rasanya.
Mungkin terkadang kita harus menjadi anak kecil untuk dapat tumbuh menghadapi masa dewasa. Seorang anak kecil yang berani, penuh mimpi, penuh eksplorasi dan tidak takut salah.
“Hhhaaa..”*Pradipta menghela napas panjang lalu tersenyum*
Lucu.. Aku terlalu menunduk kebawah sampai lupa bahwa dulu ingin melakukan banyak hal hebat untuk digapai.
Jika aku coba mengangkat kepalaku mungkin aku bisa melihat arah tujuanku kembali. Tapi mampu kah aku untuk berlari mengejarnya?
[Bersambung...] © Ariek Dimas
7 notes · View notes
mellyniaainur · 2 years
Text
Pencarian Jati Diri
Episode 5
Hari ini Rainy sudah kembali ke kota rantau - Surabaya. Tempat dimana dia menuntut ilmu, tempat dimana dia beradu nasib. Dia duduk di kursi belajar kamar asramanya, melepaskan penat tubuh dan hatinya.
"Aku harus cari kerja, paling tidak bisa membiayai hidupku di sini" batinnya berkata.
_____________________________________________________
Keesokan harinya Rainy menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Hari ini dia akan menemui Raka, dia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Raka. Dia akui memang keputusan sepihak, tapi semoga Raka memahami kondisinya. 
Pagi ini pukul 07.00 WIB Rainy sudah berada di kampus, dia sudah buat janji dengan Raka yang katanya sedang ada urusan di kampus sejak tadi malam. Rainy duduk di sebuah taman sekitar sekretariat BEM. Tak lama kemudian Raka sudah ada di depan Rainy.
"Hallo Rain apa kabar? Maaf ya kemarin aku tidak bisa datang ke pemakaman ayahmu" Sapanya kepada Rainy.
"Hallo Rak, iya gak papa. Pasti kamu sibuk disini, alhamdulillah proses pemakaman ayah cepat".
"Rak, tujuanku menemuimu hari ini mau bilang sebaiknya hubungan kita sampai sini aja. Aku perlu fokus ke diriku sendiri dulu, aku juga harus kerja, pasti aku gak punya waktu untuk pacaran. Kamu juga sibuk dengan pencalonan ketua BEM. Jadi sebaiknya kita fokus sendiri-sendiri dulu" Rainy menyampaikan niatnya menemuinya hari ini.
"Rain, aku tak bisa tanpamu, aku masih bisa kok bagi waktu antara di BEM dan bersamamu. Please, jangan ya" Raka tak mau berpisah dengan Rainy.
"Iya kamu bisa, tapi aku tak bisa Rak. Waktuku habis untuk kerja dan mengerjakan skripsi. Kamu mah pintar, skripsi udah mau kelar, sedangkan aku masih belum apa-apa. Kalau kita terus bersama, pasti kita sering bertengkar karena aku tak punya waktu untukmu".
Rainy berhenti sejenak menjelaskan alasannya ingin berpisah dengan Raka.
"Aku pasti pulang kerja capek dan kebawa emosi menghadapimu, jadi lebih baik kita sendiri-sendiri dulu. Aku juga perlu memikirkan masa depanku mau dibawa kemana, please kali ini ngertiin aku Rak".
Raka hanya terdiam dan menatap Rainy amat dalam. Sedih tak mau berpisah, tapi dia tau keadaan Rainy sekarang. Dia sadar diri juga tak bisa membantunya untuk sekarang.
"Kita masih bisa berteman kok Rak, kalau kamu ada masalah, kamu jangan sungkan hubungi aku. Aku pun izin terlebih dahulu untuk menghubungimu jika aku butuh bantuan". Kali ini Rainy yang banyak bicara, menjelaskan keputusan yang terbilang sepihak ini.
Raka mengangguk dan berkata,
"Rain semoga suatu saat nanti kita berjodoh ya".
Kalimat terakhir Raka meluluhkan hati Rainy dan mengaminkan yang Raka ucapkan.
______________________________________________________
Keesokan harinya Rainy mulai kerja menjaga outlet kebab sekitar kampusnya. Dia mengambil job freelance, karena dia masih mengutamakan akademiknya. Meskipun sebagai mahasiswi yang biasa-biasa aja, paling tidak bisa lulus segera dan tidak mengecewakan orang tuanya, terutama ibunya yang sekarang juga harus banting tulang memenuhi kebutuhan keluarga.
______________________________________________________
Kehidupan Keluarga Rainy semenjak ayahnya meninggal berubah seratus delapan puluh derajat. Ibunya yang mulai jualan gorengan dan Rainy yang kerja part time sambil kuliah. 
Saat ini yang Rainy pikirkan bisa segera lulus dan mendapat pekerjaan yang bisa membantu biaya sekolah adik-adiknya. 
Jati diri seperti apa yang Rainy inginkan? Saat ini dia tak memikirkan tentang dirinya. Mimpinya menjadi penulis harus dia pendam dulu. Memang mencari jati diri merupakan hal yang menantang dalam hidup. Begitu pun yang dialami oleh Rainy. 
Semangat Rainy, ketulusanmu membantu ibumu insya allah membuahkan hasil yang terbaik untukmu dan keluarga.
TAMAT
4 notes · View notes
arsyzela · 2 years
Text
Melangkah Mundur #3
“Iya benar pak, setelah project ini selesai, saya ingin mengajukan surat pengunduran diri.” Jawab Farhan dengan suara percaya diri.
“Memangnya sudah ada perusahaan lain yang mau menerima kamu ?”, Kamu kan sering pindah-pindah perusahaan, kerja sama saya memangnya tidak enak? Pertanyaan Pak Reihan membuat Farhan sedikit tersindir.
“Ingat Farhan, kamu itu masuk di perusahaan ini karena koneksi orang tua kamu, kamu ingin mengecewakan mereka?. Nasehat Pak Reihan dengan pertanyaan yang memberondong, membuat Farhan bingung ingin menjawab pertanyaan yang mana.
Farhan tidak menjawab, ia sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sebenarnya, Farhan tidak ingin bekerja kantoran. Hanya saja menurut orangtuanya, pekerja kantoran adalah pekerjaan yang menjanjikan. Ia mengikuti kemauan orangtuanya karena ingin sekali Farhan bekerja di kantor. Terlebih setelah lulus kuliah dia sempat menganggur enam bulan. Berkat koneksi orangtuanya, akhirnya Farhan masuk di perusahaan yang dipimpin oleh Pak Reihan langsung, dan kebetulan posisi yang diisi Reihan saat ini pun sedang kosong.
"Oh iya Farhan, proposal project ini udah bagus. Tinggal nanti eksekusinya saja. Pengunduran diri kamu kita bahas nanti lagi, habis selesai project, bisa jadi nanti kamu berubah pikiran. Sepertinya tidak ada yang ingin saya bicarakan lagi, jadi silahkan lanjutkan pekerjaan kamu yang lainnya Farhan." Ucap Pak Reihan lagi seolah-olah meminta Farhan untuk meninggalkan ruangannya.
"Baik pak, terimakasih ya Pak."  Ujar Farhan sambil menuju keluar dari ruangan Pak Reihan.
***
Di meja kerjanya, dia mulai menyusun jadwal untuk meeting dengan timnya untuk melaksanakan project tersebut. Project ini adalah pengalaman pertama Farhan menjalaninya, atau mungkin yang terakhir kalinya. Jika ia benar-benar bersikeras akan mengundurkan diri setelah project ini selesai terlaksana.
Farhan telah merencanakan ingin membuka bisnis, dengan modal gajinya selama bekerja di perusahaan ini. Farhan merasa menjadi pekerja kantoran adalah hal yang membosankan. Ia terus menerus memberikan hal yang orang lain inginkan, bukan yang ia inginkan. Tapi rencana ini belum diketahui oleh siapapun termasuk orangtuanya.
Bersambung...
5 notes · View notes
fajarrpriyambada · 1 year
Text
Beliefs: Epicenter
Tumblr media
Waktu menunjukkan pukul 07.30 WIB, narasi dan materi untuk press release pimpinan sudah ku berikan ke atasanku, Pak Huda. Para pencari berita sudah mulai bergerumul di ruang konferensi pers, sebentar lagi para pimpinan instansi akan melakukan siaran langsung untuk menjelaskan detail peristiwa yang meluluh lantahkan pulau Lombok dan sekitarnya.
Selepas serah terima shift pagi itu, aku berpamitan ke atasan untuk mengambil keperluan di kosan. Waktu terasa berjalan sangat cepat, waktu menunjukkan pukul 08.30 saat aku tiba di kosan. Godaan mulai datang, gaya gravitasi yang datang dari kasur di kosanku terasa sangat besar, rasanya tubuh ini ingin menyerahkan dirinya ke kasur tersebut. “Cling..”, notifikasi chat masuk ke hp-ku.
Mas Roy, ini e-tiket nya untuk ke Lombok ya, Pesawat berangkat pukul 11.00 WIB. Hanya ini maskapai yang tersisa untuk penerbangan ke Lombok.
Aku meloncat dan beranjak dari tempat dudukku di samping kasur, -aku tak berani rebahan karena khawatir kebablasan tidur-, “untung tadi udah mandi di kantor”, pikirku dalam hati. Aku hanya tinggal menyiapkan keperluan pakaian selama disana, untuk peralatan survey sudah kami persiapkan, tadi saat menyiapkan narasi dan press release aku minta tolong Faqih untuk menyiapkan peralatan survey apa saja yang dibawa, tidak terlalu banyak karena ada beberapa peralatan untuk survey gempa sudah dimiliki oleh UPT di Bali dan Lombok.
Dengan agak berlari, aku berangkat ke kantor membawa ransel. Aku sudah janjian sama Faqih untuk berkumpul di kantor. Waktu menunjukkan 09.15 WIB saat aku tiba di kantor, Taxi yang  akan membawa kami ke Bandara sudah bersiap di Lobby kantor.
“Mas Roy, semua sudah siap, berangkat sekarang?”
“Oke Mantap.. Memang Faqih ini, junior yang paling bisa ku andalkan, yuk Gass!”, kataku sambil sedikit bercanda dengan dia, agar suasana tidak terlalu tegang.
Sesampainya di Bandara, waktu menunjukkan pukul 10.15 WIB, bersyukur hari ini jalan tidak terlalu macet. Tepat pukul 11.00 WIB pesawat berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju ke Lombok. Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih sekitar 2 jam, cukup bagiku untuk mengistirahatkan sejenak mata dan tubuhku. Aku menyadari ketika kakiku sudah menginjakkan pulau Lombok, aku takkan bisa beristirahat dengan tenang seperti aku di Jakarta.
Setibanya di Lombok, aku terkejut dengan kondisi di Bandara. Infrastruktur yang sudah dibangun dengan baik, hancur dalam waktu sekejap akibat gempa Lombok. Plafon-plafon yang menghiasi atap-atap lorong di bandara juga terlihat sudah tidak utuh lagi. Aku melihat banyak sekali orang yang terlantar di Bandara, kebanyakan diantara mereka takut dan trauma, mereka ingin segera pergi dari Pulau Lombok. Aku membaca berita tadi sewaktu di Taxi saat perjalanan menuju Bandara Soekarno Hatta, banyak maskapai yang membatalkan perjalanan dari dan ke Pulau Lombok. Mungkin ini juga yang menyebabkan penumpukan calon penumpang di Bandara.
Di parkiran, kami sudah ditunggu salah satu pegawai dari UPT Lombok, Pak Toni. Pak Toni menceritakan dengan detail kejadian tadi pagi, semua rasanya gelap. Untuk berdiri tegak saja rasanya sangat sulit, tanah-tanah ibarat sebuah air yang dilalui oleh gelombang, ia bergerak ke atas dan ke bawah secara bergantian. Aku menahan nafasku cukup lama saat beliau bercerita, untuk membayangkannya saja aku tak sanggup.
“Ya Allah, keluarga bagaimana pak?”, tanyaku setelah ia menjelaskan kronologi kejadian tadi pagi.
“Alhamdulillah semuanya selamat mas Roy, sekarang lagi berkumpul di tempat pengungsian”. Jawaban Pak Toni membuatku menghembuskan nafas, aku bersyukur Pak Toni sekeluarga baik-baik saja.
Mobil Triton merah bergerak cepat membelah jalanan dari BIL -Bandara International Lombok- ke Kota Mataram, butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan. Di sepanjang jalan, ku lihat banyak warga mulai mendirikan tenda-tenda darurat di halaman rumahnya. Menurut cerita pak Toni, dari pagi hingga mendekati petang ini, sudah lebih dari 20 kali gempa susulan yang dirasakan warga. Mereka bahkan sudah mengalami fase kesulitan membedakan mana yang beneran gempa mana yang bukan, gempabumi ini cukup membangkitkan trauma mereka.
Mobil yang kami kendarai sudah memasuki kota Mataram. Kami melewati Kawasan masjid Islamic Center di Kota Mataram, masjid yang indah dan megah, mungkin menjadi salah satu masjid terindah di Provinsi NTB. Aku bersyukur masjid ini masih berdiri kokoh, terlihat beberapa tenda dan dapur umum berdiri di sekitar Kawasan masjid ini. Tak jauh dari situ, mobil kami berbelok ke sebuah kantor dengan desain bangunan mirip bangunan khas suku Sasak.
“Selamat datang mas Roy, tim yang lain sudah menunggu di dalam ruangan”, Pak Abdul, kepala UPT kami di Lombok tersenyum menyambut kedatangan. Aku tersenyum membalas sambutan hangatnya, “Terimakasih Pak Abdul.. Saya turut berduka dengan kejadian ini. Peristiwa yang cukup menggemparkan.”.
Kami hanya mampir sebentar di Kantor UPT Lombok, karena khawatir nanti terlalu malam saat sampai di lokasi tujuan kami. Aku dan Faqih berangkat bersama tim yang ke Alun-alun Tanjung, Lombok Utara. Ini wilayah paling parah kerusakannya karena lokasinya dekat dengan titik episenter, aku sempat membaca laporan BPBD setempat, ratusan keluarga kehilangan rumah tempat tinggalnya.
Matahari mulai terbenam di ufuk barat, tepat saat tim kami melalui pantai Senggigi, semburat cahaya merah senja, menunjukkan sebuah maha karya dari Sang Maha Pencipta.
“Sebenarnya kalau dari Mataram ada 2 jalur yang bisa dilalui kalau mau ke Tanjung mas Roy, jalur ini dan jalur satunya lebih cepat, lewat pegunungan dan banyak satwa monyet. Tapi, info terbaru, jalur disana ada longsor karena gempa tadi pagi”. Ucap Pak Toni membuyarkan sedikit lamunanku
“Oh gitu ya Pak, berarti hanya ini satu-satunya jalan yang bisa kita lalui ya pak?”, Tanyaku penasaran.
“Betul mas Roy, hanya ini satu-satunya”. Jawab Pak Toni.
Arlojiku menunjukkan waktu pukul 18.30 saat aku tiba di lokasi, aku sejak tadi belum memutar jamku ke WITA, berarti sekarang pukul 19.30 WITA. Alun-alun Tanjung menjadi salah satu pusat titik pengungsian warga Lombok Utara. Kami memasang alat survey di lokasi yang sedikit pinggiran, tidak terlalu dekat dengan lokasi pengungsian, namun juga tidak terlalu jauh karena khawatir akan keselamatan alat kami. Tenda sudah kami berdirikan, saatnya kami bergantian menjaga alat, akhirnya aku bisa beristirahat sejenak di tenda, besok sekitar jam setengah empat pagi, adalah waktu giliranku berjaga. (Bersambung .... )
0 notes
kakaanggi · 1 year
Text
Ingin menjadi rumah
[bag.2 - Tumpukan Buku]
Seberes menyantap hidangan makanan yang dibuat oleh Natsuko, perutku kini sudah tidak lagi berbunyi seperti semalam. Rasa lapar sirna begitu saja. Aku bahkan menyantap beberapa porsi masakan yang dibuat oleh Natsuko, seperti hidangan utama daging sapi dengan saus yang mirip barbeque diatasnya, juga salad sayuran dengan mayonnaise yang rasanya berbeda dari yang biasa kumakan dirumah. Dan aku tersadar, saat aku mengatakan "Ini enak sekali Natsuko" pada hidangan penutup berbentuk puding coklat dengan suapan terakhir yang masuk kedalam mulutku dengan perasaan bahagia.
Sambil mataku menyisir seluruh ruangan ini, mencari Natsuko yang entah kemana sedari tadi saat aku mulai menyantap sarapan yang dibuatnya, aku baru sadar jika rumah ini memiliki halaman samping yang sangat luas. Aku bisa melihatnya dengan jelas lewat jendela besar yang terdapat diruang tengah tepat diantara rak-rak buku dan sebuah sofa nyaman didepannya. Paling tidak, ini lebih mirip perpustakaan mini karena banyak sekali buku-buku yang tertata di rak dan juga disofa yang seperti sengaja dibiarkan disana.
Langkah kakiku seperti otomatis berjalan menuju jendela besar disana. Saat kupandangi beberapa saat, mataku menemukan Natsuko yang tengah berjalan dari halaman menuju rumah ini. Natsuko seperti tau, aku sedang melihatnya dari sini, dia lalu melambaikan tangannya, tersenyum ke arahku. Seraya gerakan mulutnya seperti mengucapkan.. "kau sudah selesai makan?" tanyanya setengah berlari kesini.
Natsuko melepaskan sepatu boot miliknya yang ia pakai saat berada di halaman tadi. Berganti menggunakan sandal nyaman berbentuk kaus kaki besar yang biasa dipakai didalam rumah. Natsuko bilang, ia memang belum sempat membereskan taman belakang dan samping rumah ini. Ia juga bilang kalau banyak sekali rumput liar yang meski dibuang dan dicabut sampai ke akarnya.
Kurasa untuk ukuran anak seusianya, ia memiliki banyak sekali pengalaman di dapur tentang masakan, dan juga tanaman. Entah dia bilang bunga apa yang mau ditanamnya tadi, ia sangat ceria saat menceritakan padaku bahwa bunga itu akan mekar esok pagi.
Natsuko mengajakku duduk di sofa panjang tepat didepan perpustakaan mini berwarna abu-abu dengan selimut bergaris yang dilipat diatasnya. Natsuko bilang, aku boleh dengan nyaman memanggilnya "Nat" atau "Shio" nama belakangnya yang lebih sering diketahui banyak orang disini. Natsuko Shiori, begitu katanya menjelaskan kepadaku arti namanya yang berarti puisi yang ceria hadiah dari seorang sahabat lama ayahnya yang juga berteman dengan ibu Nat kala itu. Nama yang cocok untuknya, pikirku.
Aku juga membalasnya dengan menceritakan arti namaku yang sangat sederhana. Sabine, yang berarti perempuan. ketusku padanya seraya ia kembali dari dapur sambil membawakan dua cangkir teh untuk kami disini.
Semenjak kehadirannya pagi tadi, aku sudah ingin bertanya banyak hal tentangnya dan juga rumah ini. Entah kenapa, setiap kali ingin bertanya, Natsuko seolah mengalihkan pertanyaanku dengan menceritakan berbagai hal disekitar rumah ini atau penduduk di kota ini yang memang jarang sekali terlihat.
Nat bilang, penduduk kota ini, memang terbiasa keluar rumah hanya saat sore menjelang malam, sampai menjelang fajar. Kota ini selalu sepi saat pagi hingga siang hari. Seakan mengisyaratkan kota ini memang berbeda dari kota-kota manapun diluar sana, Nat bahkan menyuruhku untuk melanjutkan tidur karena mungkin aku akan terbiasa bergadang nantinya.
Sebelum ia mulai membahas lebih panjang tentang penduduk kota yang aku tak ingin membahasnya lebih dulu, kusela obrolan ini secepat mungkin. Nat sepertinya tau, kini saatnya ia bercerita mengenai rumah ini. Mengenai dirinya, dan juga alasan untuk aku tetap dibiarkan menginap dirumah ini.
"Maafkan aku Sabine, aku hanya ingin bercerita bahwa rumah ini memang terbuka bagi siapa saja yang berlari dari kota lain diluar kota ini. Dan kebetulan saja, kau yang berlari kedalam rumah ini. Bukan orang lain." katanya seraya menjelaskan bagaimana rumah ini terbuka untukku.
Aku masih belum mengerti maksud ucapannya, dia melanjutkan kembali sesederhana mungkin agar aku menangkap informasi itu dengan lebih mudah.
"Sabine, mungkin menurutmu ini aneh karena saat kau berlari dari kejauhan sana, kau hanya melihat jendela hijau di lantai dua yang memang menarik mata yang memandangnya. Sebenarnya, Jendela itu berwarna putih. Ia hanya akan terlihat berwana jika seseorang memiliki perasaan sedih dan terluka saat melihat rumah ini"
"Aku tau kamu sedang terluka, oleh sebab itu aku akan membantumu mengobati kesedihan itu dengan merawatmu dirumah ini." katanya sambil menyesap teh bunga yang sudah hangat lantaran obrolan kami yang semakin panjang.
"Seiring berjalannya waktu, kamu akan mengerti bagaimana dan apa tujuan rumah ini dan aku disini Sab," jelasnya seraya menatap ke halaman samping rumah dengan muka wajah yang berubah sendu kala itu. Aku hanya mengangguk tipis, tak ingin berusaha bertanya lebih dalam, sebab disini sudah cukup nyaman untukku berteduh dan menghilangkan penatku dari segala masalah yang membuatku berlari menemukan rumah ini.
**
Hari sudah senja, langit mulai berubah warna menjadi kuning kemerahan, yang siap dilukis oleh ingatan dua bola mataku, yang tak bekedip melihat cantiknya pemandangan sore ini lewat jendela kamar, seperti kemarin saat pertama kali datang kesini.
Natsuko juga telah membereskan ruangan ini. Kamar yang aku tempati, yang jendelanya menghadap depan jalanan rumah ini, sekarang memang terlihat antar hijau atau putih. apa kini mataku mulai rabun? tanyaku dalam hati.
Langit-langit atap rumah ini, juga masih berbentuk atap seperti rumah pada umumnya, aneh. Bukankah kemarin, aku bahkan dapat melihat bintang-bintang secara jelas lewat atap ini? namun mengapa atap ini tertutup kali ini? aku bertanya-tanya sendiri.
Natsuko pamit kepadaku untuk pergi keluar sebentar. Ia bilang, aku bisa mandi atau berganti pakaian yang ia simpan diruang kecil disamping kamar ini. Dengan sebuah pintu geser yang dibuat diantara kamar ini dengan lemari yang berbentuk ruangan rahasia, aku takjub melihat betapa banyak pakaian yang disimpan rapi sesuai dengan jenis dan warnanya. Meski didominasi dengan warna coklat muda, dan hitam, aku mengambil sebuah atasan kaus lengan panjang yang bahannya lembut dan sejuk, serta celana dengan beberapa saku di samping-sampingnya yang berwarna lebih gelap dari coklat yang kupilih tadi.
Nat telah sampai rumah, saat aku sedang membaca buku sebab setelah mandi dan tubuhku rasanya nyaman sekali, aku tidak ingin tidur lebih cepat malam ini. Jadi menurutku, membaca buku bukan pilihan yang buruk untuk menunggu Nat pulang. Dan benar saja, Nat tersenyum melihatku bersantai diruang buku ini, dia datang dengan dua cup ice cream vanila ditangannya. Menyodorkan kepadaku, seakan tau, kalau aku sangat menyukai Ice Cream Vanila tanpa toping apapun. Dan aku menyambutnya dengan penuh gembira. Habis tak tersisa.
Malam ini langit juga menampakan hal yang sama seperti yang kulihat kemarin. Bedanya, aku belum menemukan sebuah planet yang berjalan ke arah rumah ini. Hanya gugusan bintang yang berputar-putar disana. Beberapa diantaranya tampak seperti kapas dari kumpulan batu-batu kecil yang melayang. Di sudut langit lain, kutemukan beberapa benda kecil menyala-nyala. Ada yang berwarna hijau, emas, juga merah muda yang cahayanya begitu nyaman untuk dipandang. Semuanya begitu sempurna. gumamku lagi-lagi seorang diri.
Nat memberikan selimut yang terlipat diatas sofa untukku. Sembari membawakan camilan hangat dan juga minuman yang ia baru saja buat di dapur. Ia tersenyum seraya berkata, "beginilah pemandangan tiap malam Sab, dan kau mungkin lebih tidak percaya, jika kau menemukan satu bintang yang seperti tersenyum padamu saat kamu melihatnya suatu saat nanti, maka keinginanmu esok hari akan terlaksana". Katanya dengan sumringah menjelaskan kepadaku.
Kami menyantap camilan itu sambil membaca beberapa buku yang kupilih berdasarkan judulnya. Meski nama penulisnya tidak terkenal, namun buku ini tidak buruk. Aku bahkan menandai beberapa kalimat disebuah kertas kecil yang tersimpan diatas meja, juga menempelkan kertas itu dipapan tulis kecil yang memang terdapat didinding ruang baca ini, seperti kebiasaanku dirumah dulu. Menyisipkan kata demi kata baru, atau kalimat yang aku suka dari setiap buku yang kubaca.
Nat tersenyum, seolah itu adalah hal yang lumrah untuknya. Ia meninggalkanku yang sedang membuka lembaran buku lainnya. Membiarkanku tenggelam dalam lautan buku bacaan yang sengaja tergeletak diatas sofa abu-abu tempat aku bersantai melihat bintang dari dalam. Membiarkanku hanyut, pada setiap kata yang kutemukan didalam tiap-tiap buku yang berbeda.
bersambung…
1 note · View note
puspacita · 1 year
Text
Penggalan Cerita #DariAnna - Babak Baru
Cuacanya mendung hari ini. Belum genap setahun Biru pergi, barang-barangnya sudah dibereskan dari kamarnya. Anna mematung di depan potretnya bersama Biru. Satu-satunya barang yang tersisa di kamar tersebut. Anna sengaja meninggalkannya di kamar tersebut dengan harapan mungkin Biru akan pulang suatu saat nanti. Walaupun harapan tersebut terasa seperti harapan palsu. Melihat potretnya bersama Biru seperti memegang luka yang masih basah. Sakit sekali sampai mati rasa di buatnya. Dadanya terasa sesak dan penuh dengan perasaan-perasaan yang tidak memiliki nama.
Anna memandang potretnya bersama Biru sekali lagi. Semakin lama memandang potretnya semakin mengingatkannya akan memorinya bersama Biru. Hujan pun turun di pipinya, lukanya terkorek kembali. Andai Anna mengerti alasan dibalik dinginnya sikap Biru, mungkin rasa sakitnya tidak akan sehebat ini. Mungkin malam harinya tidak akan dihantui oleh kecemasan dan rasa bersalah. Bagian demi bagian telah dilewati bersama selama ini. Dan di babak barunya kali ini, akan dilewati oleh Anna sendiri dengan tubuhnya yang kurus dan ringkih. Juga satu-satu sosok yang bisa ia percaya untuk melewati babak kehidupan selanjutnya.
0 notes
erliwijayanti · 2 years
Text
[Bagian 1] Datang Begitu Singkat. Pergi Begitu Cepat.
Malam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Orang-orang di rumah sudah tidur. Hanya ada suara kipas angin. Dibukanya kelambu kamar kontrakan yang besar itu. Tangannya yang keriput memeriksa apakah anak dan cucunya sudah tidur. Hanya ada cucunya yang sudah terlelap di kamar. Kemana anaknya? Batinnya. Ditelusuri rumahnya ke bagian belakang. Tercium aroma tembakau dan nikotin. Dilihatnya di bawah jemuran yang kosong. Anak perempuannya. Merokok. Anak perempuannya yang baru berusia 32 tahun itu duduk di sana. Kehilangan semangat hidup. Kehilangan hampir seluruh hal; pernikahan, pekerjaan, dan anak. Orang bilang, anak-anak muda mengalami krisis pada usia dua puluh tahunan. Anak perempuannya, sebaliknya. Dulu anak perempuannya meraih dunia lebih cepat dari teman-teman sebayanya. Sudah memiliki pekerjaan tetap di usia dua puluh dua. Menikah di usia yang sama. Dinyatakan hamil satu bulan setelah menikah. Sepuluh tahun kemudian hari itu, semuanya hilang dari genggaman.
Tumblr media
1 note · View note
qwertyofmylife · 3 years
Text
Menyemai Syukur Meredam Keluh (Part-2)
“Sebuah Hikayat Afeksi Diri”
Berkaca pada diri. Ya, berkaca pada perjalanan yang sudah ku tempuh sejauh ini. Betapa banyaknya ternyata anugerah Tuhan atasku saat ini. Kembali pada tutur tajam kawanku sore itu, yang membangunkanku dari tidur panjang dan lamunan yang membutakanku dari bersyukur. Dimintanya aku untuk mengucap kalimat-kalimat pujian untuk diriku, namun jangankan kalimat, satu kata pun berat rasanya. Pernahkah kalian merasakannya? 
Dari kejadian itu aku memilih menyepi, kemudian menuliskan hikayat singkat ini untukku, untukmu, dan untuk kalian para pembaca yang kurindukan. Haha..rindu untuk berbicara lagi. Sekedar tatap muka pun bahagia rasanya. Terimakasih kalian pernah hadir dalam masa laluku dan pernah membantuku untuk jadi lebih baik lagi di masa depan. Inilah diriku hari ini. Yang masih terengah-engah mencoba menyayangi diri sendiri, melawan hantu masa lalu, dan membuktikan pada diri sendiri bahwa aku berharga. Pada akhirnya, aku berharap Tuhan bersama semestalah yang menggaungkan namaku atas kebaikanku. Kuserahkan pada-Mu wahai Yang Maha Kuasa atas tiap ubun-ubun makhluk-Nya. Bukan kusandarkan kejayaanku pada kerja kerasku semata, namun kulangitkan doa-doaku pada-Mu agar diri ini dikenang sebagai orang baik nan berguna tuk sekitar. Aamiin.
Mari kita lanjutkan hikayat ini hingga akhir, tetaplah bersamaku kawan… Parasku memang tidak segagah pria seumuranku pada umumnya. Namun kuyakin aku dilahirkan dengan seribu makna, pasti ada alasan mengapa aku yang terpilih oleh Tuhan untuk bernafas sampai detik ini. Setidaknya sampai mataku dan matamu bertemu saling tatap pada tulisan ini, aku masih membekas dalam benakmu, semoga :) 
Kawan upayaku masih terus kucoba, tentang apa yang kupunya untuk kusiarkan pada semesta. Apa sih? Resah ini mengingatkanku akan seekor semut yang kecil, namun tak pernah merasa kerdil. Bayangkan, bila semut hilang dari dunia ini! Hilanglah satu keseimbangan ekosistem hewan pengurai. Sisa-sisa makhluk hidup itu siapakah yang menguraikannya? Hilang pulalah semut-semut kecil dari syair melegenda kisah kasih di sekolah..hmm apa ya? Bingungku semoga tak hentikan kita untuk bertafakur akan nikmat-Nya. Mungkin, inilah kelebihanku pada akhirnya. Apa gerangan? Tulisan tanpa berpanjang lisan. Ya, tulisan ini jadi kelebihanku yang kurasa mampu memberi sentuhan makna untuk semesta. Dengan menulis, kurasa banyak hal yang dapat kuramu sedemikian rupa hingga berbuah menjadi makna untuk kita bersama. 
Soal bersuara dengan lisan, kalau boleh jujur…aku masih malu-malu untuk banyak berkarya dengannya. Walau masih menjadi rahasia kecilku aku punya projek suatu saat nanti dengan lisanku. Entah apa bentuknya, aku hanya ingin bercerita bila sudah berproses. Bukan apa-apa kawan…aku hanya takut membual atau omong kosong bila ku beritahu saat ini juga. Jadi, tunggu tanggal mainnya ya ;)
Di penghujung hikayat ini, entah apa yang ada di benak kalian wahai pembaca yang budiman.. Yang jelas aku hanya ingin bersuara walau tanpa suara. Ini sebagai komitmenku untuk menulis satu halaman tiap harinya. Dan untuk salah seorang sobat yang telah menamparku lewat tuturnya tentang syukur, terimakasih. Ini utangku kubayar lunas walau via aksara tanpa bicara hehe. Ingatkan lagi ya! Bila diriku lupa bersyukur.
Part 2 Selesai ;)
[Jatinangor, 9 Rajab 1443H - Kamis, 10 Februari 2022]
Tumblr media
Foto:
Suatu sore Februari 2022 di hadapan Warung Tegal (Warteg) tak jauh dari seberang kantor kecamatan Jatinangor.
Dewasa ini aku telah belajar menerima diri dan tersenyum meski di depan kamera. hehe :)
[Kiri ke kanan] :
[Zaky (aku) - Erif - Acep - Adit]
4 notes · View notes
pemintalkata · 4 years
Text
#LewatDuaBelasMalam yang Selalu Menyebalkan
Boleh nggak, nggak perlu mikirin hal-hal yang nggak perlu dipikirin?
Malam ini tolong banget kerja samanya ya. Aku pengin tidur nyenyak.
Kriiiiingggggg
Dering ponselku berbunyi. Nomor yang tidak aku kenal. Dengan ragu aku mengangkatnya.
"Halo?"
"Hai."
"Siapa ya?"
"Coba tebak siapa?"
"Nggak usah bercanda ya, ini udah malem." Jawabku kesal.
"Ya siapa yang bercanda."
"Aku bakalan tutup teleponnya ya."
"Yakin tidak mengenali suaraku?"
Aku berpikir sejenak. Sebenarnya suaranya tidak asing di telingaku. Bahasa yang ia gunakan juga berbeda dari temen-teman laki-lakiku kebanyakan. Aku mencoba mengingat lantas menebak.
"Peter?"
"Itu tahu."
"Kamu ganti nomor?"
"Iya, aku lagi di Berlin."
"Serius?"
"Buat apa aku bohong."
"Itu kan impianku, kenapa kamu yang lebih dulu? Curang!"
Aku mendengar tawa Peter dari seberang.
"Masih aja kamu bilang aku curang."
"Ya memang kenyataan."
"Kamu apa kabar Jan?"
"Menurutmu?"
"Dari suaranya sih baik ya."
"Sok tahu kamu."
"Benar atau tidak?"
"Awalnya sih bener, tapi karena karena kamu bilang lagi di Berlin jadi nggak bener."
"Hahaha, Jani Jani. Masih aja ya kamu."
"Kamu ngapain sih ke Berlin?"
"Mewujudkan impianmu."
"Peter, nggak usah bercanda deh."
"Loh aku serius, Jani."
"Aku nggak percaya kalau kamu bilang serius."
"Lalu kamu mau dengar jawaban apa?"
Aku terdiam, tidak berhasil menjawab pertanyaan Peter. Aku mau ikut kamu ke Berlin Peter. Jawabku kemudian, dalam hati.
"Jani?"
"Eh, iya."
"Pasti melamun."
"Sebentar."
"Jangan dibiasakan Jani."
"Iya. Kamu telepon aku ada apa?"
"Aku kangen kamu Jani."
"Kamu terlalu sering berbohong Peter."
"Aku tidak pernah berbohong sama kamu Jani. Kamu saja yang sering tidak percaya."
"Bagaimana caranya aku bisa percaya sama orang yang selalu saja melanggar janjinya?"
"Aku bukan melanggar janjiku Jani, aku hanya belum menepati saja."
"Sama saja."
"Beda Jani."
"Apa bedanya?"
"Ini masalah waktu saja. Kalau sudah dapat waktunya janji-janji yang sempat aku ucapkan padamu pasti aku tepati."
"Sudahlah. Aku sudah biasa saja."
"Jani."
"Hmmm"
"Yah, jawabnya yang manis dong."
"Nggak bisa."
"Lalu bisanya apa?"
"Aku nggak bisa apa-apa Peter."
"Kamu itu bisa banyak hal Jani. Salah satunya membuatku kangen kamu setiap hari."
"Gombal."
"Aku tidak sedang menggombal. Aku sungguh-sungguh."
"Ya ya ya. Terserah sajalah."
"Jani."
"Apa sih?" Jawabku judes.
"Mau tidak menyusulku ke Berlin?"
"Untuk apa?"
"Untuk aku pasangkan cincin di jari manismu."
Aku terdiam. Mencoba mencerna kata-katanya.
"Aku sungguhan Jani. Ini waktu yang aku bilang, aku akan penuhi janji-janjiku Jani."
Aku kegirangan bukan main. Sepertinya pertanyaan Peter tidak memerlukan waktu yang lama untuk aku bisa menjawab.
"Aku ma--"
Bukk. Badanku terjatuh di lantai. Aku mengusap-usap kepalaku yang terbentuk cukup keras. Aku lihat jam dinding, pukul 04.30. Sudah pagi. Aku berhasil tidur tanpa memikirkan hal macam-macam malam tadi. Tapi kenapa keinginan Peter untuk memasangkan cincin di jari manisku justru hanya mimpi?
Ah lewat dua belas malam selalu menyebalkan. Kalau nggak bisa tidur ya mimpi yang aneh-aneh.
24 notes · View notes
zuzuhakim · 3 years
Text
Pertautan yang lainnya (1)
Masing-masing mengemas peralatan. Melanjutkan kepulangan demi kepulangan. Fase satu menuju fase lebih haru. Ia merupa bagai lingkar temu di ujung jalan baru. “Jangan dulu kau pulang, sebelum temaram sirna dipeluk rayu semenanjung.” Ia mencoba menghalangiku untuk pergi. “Pertautan.. tak selalu harus dipertentangkan.” Kataku. “Sini mendekat. Ada hal yang tak melulu kau sesalkan. Biarkan ia…
View On WordPress
3 notes · View notes
ariekdimas · 2 years
Text
Cerita Pradipta: Hilang Arah (bag. terakhir)
Tumblr media
Rumus pilihan hidup itu cuma ada dua.
Pertama, kalau mau hidup yang mudah dikemudian hari maka dari sekarang Aku harus bersiap untuk mengambil tantangan yang sulit. Namun jika saat ini aku hanya mengambil pilihan yang mudah, maka kelak hidup ku akan menjadi sulit.
Akan tetapi, bertahan pada pilihan pertama bukanlah hal mudah untuk bisa dicapai. Apalagi jika tujuan yang ingin ku tuju terlalu jauh untuk dikejar. Pasti akan melelahkan dan juga banyak hambatan. Aku bisa gampang goyah dan kehilangan arah kembali.
Lalu ditengah perjalanan pulang, langkah Pradipta tiba-tiba terhenti. Ternyata teman-teman Pradipta datang untuk mengajaknya kongkow akhir pekan.
Benar juga, kini Aku sadar bahwa ternyata aku tidak berjalan sendirian. Aku punya teman-teman, sahabat dan keluarga yang selalu mendukungku.
Berjalan bersama lebih baik daripada berjalan sendirian. Bahkan ada pepatah yang bilang “Jika ingin jalan cepat jalanlah sendiri, jika ingin berjalan jauh maka berjalan bersama-sama.”
Apalagi jika kita berjalan bersama dengan orang-orang yang mau bertumbuh bersama. Pasti langkah kita akan kuat & kokoh untuk bisa bergerak maju kedepan dan mencapai impian kita.
[The End]
© Ariek Dimas
4 notes · View notes
mellyniaainur · 2 years
Text
Pencarian Jati Diri
Episode 4
Pukul 12.00 Rainy sampai di Rumah Sakit tempat ayahnya di rawat. Dia sengaja langsung ke Rumah Sakit karena busnya melewati Rumah Sakit. Dia langsung ke tempat administrasi untuk menanyakan ruang rawat inap ayahnya.
“Bapak Indra ada di Ruang Anggrek II  mbak” Jawab pegawai Rumah Sakit yang sedang bertugas itu.
“Terimakasih Sus” Jawab Rainy dan langsung bergegas ke ruang anggrek II.
Sesampainya di ruangan, tak ada siapa-siapa disana. Hanya jaket yang dia kenal, itu jaket ibunya. 
“Kemana ibu?” Dalam batin Rainy bertanya.
Kemudian ada perawat yang lewat di depan kamar ayahnya dan Rainy bertanya,
“Sus, pasien yang dirawat di kamar ini kemana ya?”
“Pak Indra sedang kritis mbak, sekarang lagi ditangani di U……”
Belum sempat perawat itu menyelesaikan kalimatnya, Rainy langsung berlari ke ruang UGD.
Sesampainya di depan ruang UGD, dia melihat ibunya duduk berdiri secara bergantian di depan ruang UGD, terlihatnya sedang gelisah. Rainy menghampiri ibunya dan adik perempuannya.
“Ibu…..” Ibunya menoleh dan langsung memeluk Rainy. Ibunya menangis dalam pelukan Rainy.
“Ayah baik-baik saja kan bu?” Retoris Rainy bertanya pada ibunya, dia mencoba untuk tetap tegar meski hatinya rapuh. 
“Ayahmu hu…hu…hu….hu” Ibu Rainy tak bisa menyelesaikan kalimatnya.
"Tenang bu, ayah pasti baik-baik aja" Tiba-tiba dokter yang menangani ayah Rainy keluar dari ruang UGD. Kemudian Rainy dan ibunya menghampiri dokter.
"Gimana dokter keadaan suami saya?" Tanya Ibu Rainy.
"Maaf bu, suami ibu tidak bisa kami selamatkan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Allah berkehendak lain. Sabar ya bu, insya allah sumi ibu sudah tenang di alam sana" Dokter itu menguatkan Ibu Rainy.
Rainy membeku di tempat tak bisa berekspresi apa-apa, sedih tapi dia tak bisa menangis. Dalam hatinya bilang "aku harus kuat disaat ibu rapuh seperti ini".
_____________________________________________________
Hari itu memang sangat melelahkan baginya, perjalanan dari Surabaya-Semarang sekitar lima jam, mengurus pemakaman jenazah ayahnya. Benar-benar hatinya rapuh, tapi dia harus kuat untuk ibunya dan adik-adiknya. Dia ikhlas Allah ambil ayahnya saat ini daripada melihat ayahnya tersiksa dengan penyakitnya, yang dia pikirkan saat ini 'bagaimana dia membantu ibunya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, terutama biaya kuliahnya dan sekolah adik-adiknya'.
Rainy, mahasiswi yang biasa-biasa saja di kampus tak ada yang bisa dibanggakan darinya. Dia tidak tahu passionnya yang bisa diandalkan dari dirinya. Saat ini yang dia butuhkan mendapatkan uang dan menyelesaikan skripsinya secepat mungkin, supaya dia tak jadi beban orang tua dan segera mendapatkan pekerjaan yang layak.
Selama 10 hari dia izin kepada dosen pembimbingnya untuk tidak berprogres terlebih dahulu. Karena dia harus membantu ibunya mengurusi segala hal terkait berkas-berkas yang dibutuhkan tempat kerja ayah untuk mendapatkan uang kematian. Selain itu membantu adik-adiknya bisa beradaptasi tanpa ayah, karena biasanya ayahnya tiap pagi mengantar adik-adiknya sekolah.
bersambung
2 notes · View notes
arsyzela · 2 years
Text
Melangkah Mundur #2
Keesokan paginya.
Farhan tiba di kantor pukul 07.30. Jam kerja di kantor ini dihitung terlambat pukul 08.00. Farhan sengaja datang 30 menit lebih awal, karena ingin mengantisipasi kalau-kalau papasan dengan bos dan langsung diminta untuk merevisi kembali proposalnya.
Benar saja, baru saja dia membuka pintu kantornya, Farhan mendapati bosnya yang sedang meminum teh di pantry sambil melambaikan tangan ke arahnya dengan wajah dingin.
“Saya sudah membaca proposal kamu yang baru, silahkan nanti ke ruangan saya, ada hal yang ingin saya sampaikan ke kamu.” Ujar Sang Bos sambil mengaduk aduk teh yang baru dia buat.
“Siap Pak Reihan bapak ingin bicara tentang apa?, Apakah tentang email yang saya kirim kemarin sore?” Tanya Farhan.
“Yang pastinya, saya tunggu kamu di ruangan saya.” Ujar Pak Reihan sambil berjalan menuju ruangannya.
Farhan pun menuju meja kerjanya dan mengeluarkan alat tempur yang diperlukan untuk bekerja. Kemudian, duduk sebentar membuka laptop tanpa membuka kembali proposal yang ia buat.
Ya Tuhan Semoga selain proposal yang di Acc, permintaanku juga diterima oleh Pak Reihan, Amin!?” Farhan mengusap kedua tangannya ke muka mengaminkan do’anya, kemudian beranjak dari meja kerjanya menuju ruangan Pak Reihan.
“Selamat pagi, pak.” Farhan membuka pintu ruangan Pak Reihan.
“Pagi, silahkan duduk Farhan.” Ujar Pak Reihan sambil sedikit tersenyum simpul.
“Sepertinya moodnya sedang baik hari ini” batin Farhan sambil duduk di hadapan Pak Reihan dengan perasaan gugup.
“Begini Farhan,” Pak Reihan memulai pembicaraan.
“Proposal project yang kamu buat sudah saya lihat di e-mail, tapi saya agak sanksi dengan body email yang kamu buat. Apa benar setelah project ini selesai, kamu ingin mengundurkan diri?” Tanya Pak Reihan.
Bersambung….
1 note · View note
ibnlbs · 5 years
Text
Tiga
Bagian 1
Katamu, lelakimu itu tidak pandai membahagiakan. “Lelaki memang begitu ya, setelah mendapatkan, seakan-akan lupa bahwa yang sudah ia dapatkan juga berharap hal yang sama menyenangkan seperti saat ia ingin mendapatkan. Mendapatkanku maksudku” kau juga bilang begitu. Lalu dengan keadaanmu yang seperti ini seolah-olah kau yang paling runtuh, rapuh, dan merana. Yang kau tau adalah : kau tidak dibahagiakan.
Setahun belakangan ini pagimu seperti berantakan, penuh prasangka yang tidak baik dengan lelakimu. Sebab, katamu lelakimu itu sudah beda sekali, sudah tidak seperti lelaki yang kau suka ceritakan pada teman-temanmu, termasuk aku. Tetapi denganku kau memang hanya menceritakan ketika bahagiamu sudah perlahan-lahan menipis, kau bilang hatimu yang terbentuk dari tanah itu erosi, sebab terkikis air yang entah datang darimana. “Dari prasangka burukmu” kubilang begitu.
“Kamu memang tidak akan mengerti apa-apa! aku cerita apa, kau jawab apa!” kau makin sering menceritakan sesuatu—tentang lelakimu—tanpa kau ceritakan hal yang menyanjungmu sedikitpun, tetapi semakin kesini, apa yang kujawab, kau jawab begitu. Aku bukan lelakimu, tapi aku yang kau anggap sebuah sasaran empuk untuk mengeluarkan omelanmu.
“Iya” kataku.
  Bersambung…                                                            
3 notes · View notes
puspacita · 1 year
Text
Penggalan Cerita #DariAnna - Pesona Pada Persona
Harinya dimulai pada sore hari. Diawali dengan bangun dari ranjang tua yang reyot dengan susah payah. Di lanjuti dengan mengumpat sepanjang malam yang disebabkan karena banyak hal. Hampir semua hal membuatnya iritasi, terlebih lagi mengenai ayahnya. Segala sumpah serapah keluar dari mulutnya. Sabarnya sudah lama putus ditengah jalan, yang tersisa hanyalah umpatan dan sumpah serapah.
Jengah dengan tingkah ayahnya yang makin tua makin menjadi, ia memutuskan bermain peran untuk keluar dari realita. Ia bersolek demi memuaskan keinginannya bermain peran. Hari ini lemah lembut, esok tegas dan lugas, lusa keras. Setiap hari berbeda tergantung suasana hatinya. Peran yang dilakoninya kadang membuatnya dilema dengan wajah aslinya, sampai-sampai cermin menjadi pedang bermata dua baginya.
Semua cermin dikamarnya berada pada posisi terbalik menghadap dinding, karena ia benci melihat refleksi dirinya di cermin. Tapi di lain kesempatan, ia belajar menyunggingkan senyum dengan manis di depan cermin. Mendalami perannya dengan wajahnya yang rupawan. Ia melakoni perannya dengan sangat lihai, sampai terkadang ia ragu akan dirinya sendiri. Pesona pada personanya. Anna.
0 notes