Tumgik
#Dasar Negara Dalam Piagam Jakarta
terasikip · 2 years
Text
Usulan Dasar Negara Ir Soekarno dan Perubahan Piagam Jakarta
Usulan Dasar Negara Ir Soekarno dan Perubahan Piagam Jakarta
Terasikip.com – Usulan Dasar Negara Ir Soekarno. Lahirnya dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila melalui proses perumusan yang lumayan panjang serta ada banyak tokoh yang terlibat di dalamnya. Dalam melakukan perumusan Pancasila, langkah pertama-tama diawali dengan terbentuknya Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI (Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Adanya…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
rainyrens · 4 years
Text
TUJUH KATA YANG HILANG DARI PIAGAM JAKARTA
Penulis Reni Anggraeni, S.Pd
Tahu kah kamu jika rumusan Pancasila yang hari ini kita baca dan kita hafalkan berbeda dengan rumusan awalnya? Ada tujuh kata yang hilang pada rumusan Pancasila awal yang terdapat dalam Piagam Jakarta.
Setelah Sidang BPUPKI 1 dilakukan pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, BUPUPKI membentuk panitia kecil pada persidangan pertama. Panitia kecil ini bertugas untuk mengumpulkan usulan para anggota tentang dasar negara. Ketua panitia kecil ini adalah Ir. Soekarno yang beranggotakan sembilan orang yang terdiri dari:
Soekarno (ketua)
Moh. Hatta (wakil ketua)
Achmad Soebardjo (anggota)
Moh. Yamin (anggota)
KH Wahid Hasyim (anggota)
Abdul Kahar Muzakkir (anggota)
Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
H. Agus Salim (anggota)
AA Maramis (anggota)
Panitia kecil ini akhirnya disebut sebagai Panitia Sembilan.
Pada tanggal 22 Juni 1945 malam hari, Panitia Sembilan langsung mengadakan rapat di kediaman Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Panitia Sembilan mencapai kesepakatan mengenai rancangan pembukaan hukum dasar (undang-undang dasar). Rancangan tersebut oleh Ir. Soekarno diberi nama “Mukadimah”, oleh Moh. Yamin diberi nama “Piagam Jakarta”, dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut “Gentlemen’s Agreement”.
Dalam Piagam Jakarta, rumusan dasar negara adalah sebagai berikut:
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rancangan pembukaan hukum dasar kemudian menjadi naskah. Bunyinya memiliki banyak persamaan dengan naskah pembukaan UUD 1945 saat ini.
Pada tanggal 10 – 17 Juli 1945, BPUPKI melaksanakan Sidang kedua yang bertujuan melaporkan hasil rumusan dasar negara pada saat Sidang BPUKI 1 dilakukan. Selanjutnya, BPUPKI membentuk tiga kepanitiaan yaitu, panitia hukum dasar, panitia ekonomi dan panitia bela negara. Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan digantikan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ir. Soekarno diangkat menjadi ketua PPKI dan Moh. Hatta sebagai wakil ketua. PPKI beranggotakan 21 orang termasuk ketua dan wakil ketua. Semua anggota PPKI berasal dari bangsa Indonesia. Jepang akhirnya menyatakan kekalahannya pada tanggal 14 Agustus 1945.
Kekalahan Jepang diketahui oleh Golongan Muda, yang menyebabkan terjadinya terjadinya Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945 sehingga keesokan harinya dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, Moh. Hatta menerima pesan bahwa adanya keberatan dari para tokoh Indonesia Timur mengenai bagian pada kalimat Piagam Jakarta. Kalimat tersebut, “Ketuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Kemudian, Moh. Hatta, mengajak Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan mengadakan rapat pendahuluan sebelum sidang PPKI itu. Hasilnya, tercapai kesepakatan dengan dengan mengganti bunyi kalimat tersebut dengan, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
PPKI menggelar sidang pada tanggal 18 Agustus 1945, perubahan Piagam Jakarta kemudian disampaikan pada sidang PPKI tersebut. Hasil sidang ini kemudian mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara. Rumusannya tersebut ada dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Pancasila yang disahkan urutannya sebagai berikut:
Ketuhanan Yang Maha Esa
Kemanusiaan yang adil beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
------- 
Berikut lampiran foto Piagam Jakarta
Tumblr media
9 notes · View notes
elzam13 · 5 years
Text
KETIKA NATSIR MENOLAK PANCASILA
Belakangan, isu hubungan antara Pancasila dan Agama menjadi topik yang serius diperbincangkan. Hal ini terjadi menyusul pernyataan ketua Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Yudian Wahyudi yang dalam wawancara salah satu media online menyatakan bahwa: “musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Pernyataan ini menuai reaksi yang keras dari publik, khususnya umat Islam. Bahkan tagar #BubarkanBPIP sempat menjadi trending topik di twitter.
Sebenarnya, bagaimana hubungan antara Pancasila dan Agama? Terlepas dari apapun klarifikasi setelahnya, pertanyaan selanjutnya yang mengemuka adalah: benarkah Agama adalah musuh Pancasila? Barangkali kita perlu menengok sejarah. Sejarah adalah masa lalu yang hidup, kata Prof Al-Attas. Tak ada perdebatan yang paling monumental di republik ini selain perdebatan tentang dasar negara dan Pancasila. Barangkali, dengan melihat sejarah kita bisa belajar bagaimana melakukan perdebatan yang bermutu. Orang bijak mengatakan, sejarah hanya akan terus berulang. Situasi sejarah bisa jadi sama persis dengan situasi saat ini. Karena dari sejarah lah kita bisa belajar kebijaksanaan, dan ketidaktahuan hanya akan membawa kita pada kesesatan.
Salah satu tokoh yang patut dipelajari pemikirannya tentang Pancasila adalah Mohammad Natsir. Ia adalah tokoh besar partai Masyumi, perdana menteri pertama NKRI, juga sekaligus pencetus “Mosi Integral Natsir”, yang menyatukan kembali Indonesia ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 03 April 1950, pasca terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, yang membagi Indonesia menjadi 16 negara bagian.
Pemikiran Natsir tentang Pancasila sendiri mengalami banyak dinamika. Pada awal berdirinya Republik sampai sebelum 1957, Natsir yakin bahwa Pancasila sejalan dengan ajaran Islam karena menekankan kepercayaan pada satu-satunya Tuhan (Kersten, 2015: 323). Bagi Natsir, tidak ada kontradiksi antara Pancasila dan Islam, kecuali jika Pancasila sengaja diisi dengan hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Baginya, Pancasila dan Islam adalah hubungan yang sinergis dan harmonis. Pancasila akan berkembang di pangkuan ajaran Islam. Dan Islam, akan tenteram bersama dengan Pancasila.
Natsir mempertegas pandangannya mengenai pancasila dalam pidatonya di depan Pakistan Institute of World Affairs pada 1952, ia menyatakan bahwa: “Pakistan tidak diragukan lagi sebagai negara Islam karena telah mendeklarasikan Islam sebagai agama negara, juga Indonesia, menurutnya negara ini juga merupakan negara Islam, karena fakta bahwa negara ini diakui sebagai agama rakyat, meskipun dalam konstitusi kita tidak dinyatakan secara tegas sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengecualikan agama dari sistem negara, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic belief) telah ditempatkan di atas sila Pancasila, yang berfungsi sebagai dasar etis, moral dan spiritual bangsa dan negara kita (Natsir, 2001: 365).
Lebih lanjut, Natsir mengatakan bahwa Pancasila adalah perumusan lima cita-cita kebaikan sebagai hasil konsensus para pemimpin nasional pada tahap perjuangan di awal kemerdekaan. Dan karena lima landasan kebaikan itu tidak bertentangan dengan Alquran, kecuali mereka dimasukkan oleh sesuatu yang tidak sesuai dengan Alquran. Menurutnya, dalam pandangan umat Islam, perumusan Pancasila tidak menunjukkan sesuatu yang asing dalam ajaran Alquran, dan meskipun tidak identik dengan Islam itu sendiri, Pancasila telah memasukkan cita-cita Islam (Natsir, 2001: 366). Natsir menyimpulkan bahwa Pancasila adalah manifestasi dari niat dan cita-cita kebaikan dan berusaha melakukan segala upaya untuk penerapannya dalam praktik negara.
Namun, upaya Sukarno untuk memperkenalkan tatanan yang lebih otoriter di Indonesia dan kekuatan yang lebih kuat dari Partai Komunis membuat Natsir mengubah pandangannya. Pada tahun 1957 di Majelis Konstituante ia kembali menolak Pancasila sebagai dasar negara, karena ideologi ini dianggap sebagai produk ciptaan manusia dan diklasifikasikan sebagai pemikiran yang sekuler. Menurut Natsir, Pancasila itu amorfis, sekuler dan tidak cocok untuk negara-negara Muslim. Akar konflik antara Sukarno dan Natsir ini mungkin berasal dari interpretasi mereka yang berbeda tentang perlunya agama. Soekarno bahkan pernah menyebutkan bahwa Tuhan tidak relevan dengan tahap perkembangan manusia (Kahin, ISEAS, 2012: 191-217).  Natsir sangat percaya bahwa Pancasila, jika seperti yang ditafsirkan oleh Soekarno, adalah ancaman terhadap Islam (atau agama) di antara orang Indonesia.
Dalam pidato Natsir yang berjudul “Islam sebagai Dasar Negara” di depan sidang Majelis Konstituante (1957-1959) untuk menentukan dasar negara Indonesia, Natsir mengatakan bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya punya dua pilihan yaitu sekularisme (la diniyah) atau paham keagamaan (diniyah). Pancasila dalam pendapatnya adalah la diniyah oleh karena itu Pancasila bersifat sekuler karena tidak mengakui wahyu sebagai sumber, dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat. Sikap keras yang diambil oleh Natsir di majelis tersebut karena telah terjadi pengaburan interpretasi Pancasila yang dibuat oleh Sukarno. Bahkan dalam majelis konstituante, ia secara terbuka menyatakan bahwa majelis konstituante adalah sebuah forum di mana para anggota mengekspresikan pendapat dan pemikiran dengan cara yang lurus, jujur, dan mencerminkan pemikiran yang hidup dalam masyarakat. Karena itu ia berpikir bahwa ini adalah kesempatan yang tepat untuk menolak Pancasila (Natsir, 2000: 10).
Sebagai seorang demokrat sejati, Natsir harus menerima Pancasila sebagai dasar negara, yang telah berlaku sejak 1945 hingga debat ideologis terjadi di majelis konstituante 1957. Namun, yang perlu dicatat adalah apa yang dilakukan Natsir adalah sepenuhnya sah, karena pada saat itu majelis belum menetapkan dasar negara baru yang permanen. Dan seperti tokoh politik lainnya, Natsir sebagai representasi dari partai Islam memiliki hak untuk mengusulkan Islam sebagai dasar negara terhadap pendukung Pancasila pada saat itu.
Pemerintah membaca situasi ini sebagai hambatan konstitusional yang serius, sehingga pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno dengan dukungan penuh dari militer mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 dan sekaligus membubarkan Majelis Konstituante yang dipilih oleh rakyat. Partai Masyumi, menurut salah satu tokoh Masyumi, Anwar Harjono, tak mempersoalkan isi Dekrit tersebut. Apalagi, disebut di dalamnya bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai dan menjadi rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Namun partai berlambang bintang dan bulan itu menyesalkan cara-cara kekuasaan yang diambil Soekarno dalam mengeluarkan Dekrit tersebut, bukan dengan jalan musyawarah (Artawijaya, 2014: 91).
Sukarno menggunakan peluang di posisi otoritas tertinggi untuk meminimalkan pikiran tokoh-tokoh Islam. Pada tanggal 31 Desember 1959 Soekarno memutuskan kebijakan Keputusan Presiden (Penpres) No. 7/1959 yang mengatur kehidupan dan pembubaran partai, kemudian juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 200/1960 yang secara resmi memerintahkan pembubaran Masyumi dan PSI pada 17 Agustus 1960 (Artawijaya, 2014: 130).
Akhir 1950-an dan awal 1960-an menjadi periode kritis bagi Partai Masyumi. Rezim Sukarno yang berkuasa mulai menyimpang dari kekuasaan. Berbagai jargon dan istilah, menjadi tameng untuk mengabadikan kekuasaan dan menekuk lawan politik. Gagasan Demokrasi Terpimpin tampaknya menjadi 'mantra sakti'. Alat penekan oposisi yang disebut ideologi Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) menjadi 'palu godam' kekuasaan (Artawijaya, 2014: 107). Awal tahun 1960-an, pertentangan di lapangan antara Masyumi dengan Soekarno makin meruncing. Buya Hamka, tokoh partai Masyumi dalam khutbah-khutbahnya di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, mengingatkan kepada kaum muslimin bahwa Islam dalam keadaan bahaya. Bahaya yang dimaksud menurut Hamka adalah geliat komunisme dan kristenisasi yang sedang menggurita di lingkar elit kekuasaan.
Akhirnya, Rezim Orde Lama memenjarakan Natsir dan kawan-kawannya karena dianggap “melawan arus” dengan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958. Sebelumnya ia dua tahun menjadi tahanan di Batu, Jawa Timur. Sukarno juga memberaikan satu persatu rekan pergerakan Natsir: Hamka dipenjara, Sjafroeddin Prawiranegara dibuang ke Kedu dan Burhanuddin Harahap ke Pati. Sumitro Djojohadikusumo lebih dulu lari ke luar negeri. Di Wisma Keagungan, Natsir bergabung dengan Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis, yang juga dipenjarakan Orde Lama.
Mohammad Natsir dibebaskan pada bulan Juli 1966 setelah Pemerintahan Orde Lama digantikan oleh pemerintahan Orde Baru. Orde Baru datang seolah membawa janji dan harapan. Oleh karena itu, tokoh seperti Prawoto Mangkusasmito optimistik di awal Orde Baru yang disebut sebagai masa rehabilitasi multikompleks, Partai Masyumi akan turut direhabilitasi. Sedari awal, tampaknya Natsir sudah menyadari kemungkinan tertutupnya lapangan politik bagi dirinya dan kawan-kawan. Apa yang diprediksikan Natsir ternyata benar, Soeharto menolak rehabilitasi Masyumi. Tumbuhnya kembali partai-partai lama dianggap Soeharto akan memicu persoalan (Hakiem, 2019: 518).
Dalam perjalanannya, Orde Baru ternyata tidak berjalan seperti yang awal-awal diharapkan. Rezim ini kembali melakukan berbagai penyimpangan. Hal ini tentu membuat Natsir dan kawan-kawan gerah. Pada 1980, ia menandatangani Petisi 50 bersama tokoh seperti Sjafroeddin, Kasman, Boerhanoeddin, Abdul Harris Nasution, Anwar Harjono, juga Ali Sadikin. Mereka mempersoalkan pidato Soeharto di Pekanbaru dan Cijantung. Natsir pun seringkali bersikap kritis kepada rezim saat itu. Sikap kritis dan korektif pada masa itu membuat hubungan dengan pemerintahan Orde Baru kurang mesra. Kritik yang tajam dan menyengat yang sering dilayangkan ke pemerintah menjadi aktifitas rutin. Keberanian mengoreksi pemerintahan Orde Baru dan ikut menandatangani petisi 50 pada tanggal 5 Mei 1980 menyebabkan ia dicekal ke luar negeri tanpa melewati proses pengadilan RI. Pencekalan ini berlangsung hingga wafatnya (Hakiem, 2008: 103).
Namun, Natsir tak patah arang. Mati satu tumbuh seribu. Satu jalur tertutup, maka jalur yang lain akan ia buka. “Kalau dulu kita berdakwah melalui jalur politik, maka kini saatnya, kita berpolitik melalui jalur dakwah.”, ujarnya. Natsir pun keluar dari jalur politik. Akhirnya, bersama para alim ulama lainnya, pada 26 Februari 1967 yayasan Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) resmi dibentuk.
Perdebatan yang cukup sengit mengenai Pancasila kembali terjadi di awal 1980-an ketika menteri pendidikan, Dr. Daoed Joesoef menerapkan buku Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk dipelajari di tingkat SD-SLTA. Natsir mencatat, di dalam buku PMP itu terdapat unsur-unsur pendangkalan agama, menyamakan semua agama, dan unsur-unsur yang sengaja atau tidak sengaja mempertentangkan Pancasila dengan agama, khususnya agama Islam (Hakiem, 2019: 600-602).
Jika diajarkan kepada siswa sekolah menengah agar mereka tidak fanatik dan harus toleran terhadap penganut agama lain, pasti tidak ada keberatan. Namun, jika setelah itu dilanjutkan dengan kalimat “harus menjauhi sikap acuh tak acuh terhadap agama atau kepercayaan Iain, seakan-akan hanya ada satu agama yang paling benar”, maka itu berarti menanamkan dalam jiwa siswa bahwa apa yang mereka adopsi bukanlah satu-satunya agama yang benar. “Ini berarti,” kata Natsir, “berkata kepada orang Islam bahwa Islam bukanlah satu- satunya agama yang benar, demikianlah pula kepada Katolik dan Protestan bahwa agama yang mereka anut masing-masing, bukanlah satu-satunya agama yang benar” (Hakiem, 2019: 602)
Lebih lanjut Natsir menjelaskan, “Tentu timbul pertanyaan, apakah menurut pengertian para pengarang buku PMP, moral Pancasila harus dikonfrontasikan dengan semua agama samawi, yang masing-masing penganutnya yakin bahwa agamanyalah yang benar? Tidak disadari rupanya oleh para penyusun buku PMP itu bahwa ini sekurang-kurangnya mendiskreditkan Pancasila di mata umat beragama” (Hakiem, 2019: 603). Pernyataan Natsir sejalan dengan keterangan Majelis Waligereja Indonesia (MAWI), dan Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang saat itu juga menyatakan penolakan serupa.
“Sekarang,” kata Natsir, “kalau kita tanyakan kepada umat Islam apa yang umat Islam anggap sebagai sumber dari segala sumber. Bagi kita, umat Islam, ada dua sumber: Kitabullah wa Sunnatun Nabiyyih. Alquran dan Hadits. Lain dari itu, tidak.” Dalam pada itu, Natsir mengingatkan, di antara lima sila dalam Pancasila, tidak ada satupun yang a priori bertentangan dengan ajaran Islam. Dan ajaran-ajaran agama Islam tidak satupun yang a priori bertentangan dengan salah satu sila dari lima sila itu. “Maka, boleh dikatakan, dalam pangkuan ajaran agama Islam, Pancasila itu akan hidup subur”, tegasnya (Hakiem, 2019: 606).
Saat ini, kata-kata anti-Pancasila sangat mudah bagi orang menyebutnya, dan sangat banyak digunakan sebagai alat pemukul untuk kelompok atau orang dengan pemahaman yang berbeda. “lni satu hal yang menyedihkan. Kita sudah kehilangan satu kekayaan yang dahulu kita miliki waktu kita mulai memperjuangkan kemerdekaan dari tangan Belanda, dari tangan Jepang, dan tangan Sekutu,” kata Natsir. Kekayaan yang hilang itu, adalah mustika.
Apakah mustika yang hilang itu? “Mustika yang hilang itu adalah keterbukaan antar sesama kita. Sekarang tidak ada keterbukaan sama sekali. Keterbukaan tidak terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Di masa lalu, apakah namanya Islam, Kristen, Komunis, Sosialis, Marhaenis, kesemuanya dapat saling berhadapan, berdialog secara terbuka, tanpa memandang bahwa seseorang yang tidak setuju sebagai musuh. Tidak ada kata-kata musuh. Tidak ada! Berbeda paham ada. Kadang-kadang sengit. Tetapi tidaklah tiap-tiap orang yang berbeda faham itu dianggap sebagai musuh, sebagai pengkhianat, sebagai anti-Pancasila, dan lain-lain,” kata Natsir (Hakiem, 2019: 607).
***
Pertanyaan besar yang kemudian mengemuka adalah: mengapa ada perubahan dalam pemikiran Natsir tentang Pancasila? Karena di awal, Natsir dengan penuh keyakinan menerima Pancasila. Menolaknya. Menerima kembali. Lalu kembali menolaknya pada masa Orde Baru. Lalu pada akhirnya kembali menerima Pancasila. Apakah ini bukti ketidakkonsistenan Natsir?
Deliar Noer (1980) tidak membantah bahwa penolakan itu merupakan perubahan dalam sikap Natsir tentang Pancasila. Menurut Deliar, pandangan Natsir tentang Pancasila tercermin dalam pidato di Pakistan maupun yang ditulis di majalah Hikmah adalah pandangan Natsir tentang Pancasila yang ia kaitkan dengan ajaran Alquran. Di daerah pemilihan, Natsir melihat Pancasila sebagai ajaran atau interpretasi yang diusulkan oleh anggota konstituante yang sekuler. Pidato Natsir di majelis konstituante, terutama merujuk pada pidato Sukarno di istana Jakarta, 17 Juli 1945, sebelum pertemuan Gerakan Pembela Pancasila.
Dari kutipan panjang pidato Presiden Soekarno, jelas diilustrasikan di mana perumus akan dibawa tepat oleh perumus dan bahaya apa yang akan terjadi jika dibiarkan sendiri. Karena, sudah jelas dari pidato Sukarno, itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila tidak lebih dari ciptaan manusia. Selanjutnya, Tuhan juga akan bergantung pada manusia. Dia bisa ada, bisa tidak ada. Tuhan tergantung pada perkembangan (dinamika) masyarakat manusia (Anshari dan Rais, 1988: 168).
Lebih lanjut, Deliar Noer menjelaskan nampak jelas bahwa yang Natsir tolak bukanlah Pancasila, tetapi Pancasila yang ditafsirkan dan ingin diberi jiwa sekuler (la diniyah). Tentang ini, Natsir berkata: “bagi seorang sekuleris, soal Ketuhanan Yang Maha Esa, tak ada hubungannya dengan Wahyu: baginya soal ke-Tuhanan adalah soal ciptaan manusia yang berganti-ganti.” Bagi Natsir, seperti tercermin dalam ucapannya itu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, haruslah menjadi “point of refference” untuk empat sila lainnya, bukan hanya “perasaan akan Tuhan sebagai ciptaan manusia yang berganti-ganti”. (Anshari dan Rais, 1988: 53) Sikap Natsir seperti itu bukannya tanpa dukungan. Wakil presiden Mohammad Hatta, misalnya, dalam beberapa kesempatan selalu menekankan bahwa Pancasila terdiri dari dua lapisan, yaitu: landasan moral dan landasan politik.
Bagi Natsir, jika Pancasila tetap ingin menjadi pure concept, ia tidak merupakan satu reliteit di alam positif. Dengan demikian menjadi sangat jelas, menurut Deliar Noer, Natsir tidak membuat perubahan dalam sikap terhadap Pancasila, menerimanya pada tahun 1952 dan menolaknya setelah tahun 1955. Menerima, lalu menolaknya lagi pada masa Orde Baru. Lalu kemudian menerimanya kembali. Apa yang terjadi adalah, sebagai seorang Muslim yang sangat percaya pada ajaran agama, Natsir khawatir jika dasar dari Republik Indonesia dicintai dan diperjuangkan kemerdekaannya sejak Natsir masih muda adalah filsafat agama yang netral. Mengkerdilkan peran agama. Bahkan menginjak-injak peran agama yang seharusnya menjadi landasan bagi keempat sila lainnya.
Wallahu a’lam.
*Penulis adalah pegiat sejarah politik Islam di Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected], atau 081310660643 (WA/Telp). 
1 note · View note
yurikoprastiyo · 6 years
Text
Bijaksana
Apa yang membuat tokoh-tokoh islam di awal kemerdekaan menyepakati pancasila?
Apa yang membuat seseorang menjadi bijaksana selain dari ketulusan hati?
Bijak dan bijaksana adalah dua hal yang saling terkait tetapi berbeda. Bijak lebih identik dengan perkataan yang baik-baik sedangkan bijaksana adalah sikap secara keseluruhan yang lebih mementingkan kebaikan bagi orang banyak dari pada dirinya sendiri.
Untuk menjadi bijak sangat mudah. Hafalkan saja quotes tentang kehidupan, cinta, sayang maupun dan itu sangat banyak bertebaran di media sosial. Tetapi untuk menjadi bijaksana tidaklah mudah, seringkali mengorbankan apa yang ia yakini benar, tetapi lebih memilih apa yang ia yakini baik.
Seperti kisah para politisi muslim yang berjuang untuk memasukkan nilai-nilai islam ke dalam dasar dan sistem negara melalui BPUPKI. Kala itu para tokoh bersepakat dengan sila-sila yang nantinya menjadi landasan pancasila yang disebut dengan piagam jakarta. Hingga akhirnya ini yang menjadi cikal bakal lahirnya hari pancasila yaitu 22 juni 1945. Sila yang sangat penting bagi tokoh-tokoh islam adalah "Ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya".
Pada tanggal 18 Agustus 1945 tiba-tiba diadakan rapat mendadak antara Soekarno, Moh. Hatta, Wahid Hasyim, Teuku Muhammad Hasan dan Ki Bagus Hadikusumo. Moh. Hatta menyampaikan bahwa perwakilan dari Indonesia Timur keberatan dengan 7 kata dalam piagam Jakarta dan menginginkan penghapusan, jika para tokoh di Jakarta tidak menuruti, maka mereka mengancam memisahkan diri. Para tokoh islam sangat keberatan dengan hal itu, karna menurut mereka perjuangan kemerdekaan bukan hanya perjuangan nasional tetapi juga perjuangan agama. Serta di Indonesia sendiri mayoritas adalah umat muslim. Tapi akhirnya beberapa tokoh muslim melunak karna berpikir bahwa kesatuan nasional akan lebih penting.
Sedangkan tokoh yang paling keras adalah Ki Bagus Hadikusumo sebagai tokoh Muhammadiyah. Para tokoh tidak bisa membujuk Ki Bagus Hadikusumo karna ia berpegang teguh pada prinsip untuk mempertahankan sila tersebut. Hingga akhirnya Kasman ditugaskan untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo dan berhasil. Para tokoh islam memang bersedih, tetapi dengan bijaksana merelakan untuk menghapus 7 kata tersebut dalam pancasila.
Beginilah kebijaksanaaan terjadi. Merelakan apa yang ia yakini benar untuk apa yang yakini baik. Kebijaksanaan seseorang terbentuk bukan satu dua hari saja, tetapi dari rentetan panjang perjuangan, disakiti, terjatuh dan patah arah. Orang yang bijaksana selalu menempatkan posisinya jika hal itu terjadi padanya. Bukan karna ia lemah, tetapi karna ia memahami mana yang lebih baik untuk dilakukan.
46 notes · View notes
planternarchi · 3 years
Text
MENGINGAT LUPA : KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, 1949-1950
Mukadimah Kami bangsa Indonesia semenjak berpuluh-puluh tahun lamanya bersatu padu dalam memperjuangan kemerdekaan, dengan senantiasa berhati teguh berniat menduduki hak-hidup sebagai bangsa yang merdeka berdaulat. Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur. Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan kebahagiaan kesejahteraan perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara-hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna. BAB I NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT Bagian 1 Bentuk Negara dan Kedaulatan Pasal 1 (1) Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara-hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi. (2) Kekuasaan berkedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Bagian 2 Daerah Negara Pasal 2 Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, iaitu daerah bersama: a. Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetujuan Renville tanggal 17 Januari tahun 1948; Negara Indonesia Timur; Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta; Negara Jawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatera Timur, dengan pengertian, bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku; Negara Sumatera Selatan. b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri; Jawa Tengah;
Bangka; Belitung; Riau; Kalimantan Barat (Daerah istimewa); Dayak Besar; Daerah Banjar; Kalimantan Tenggara; dan Kalimantan Timur. a dan b ialah daerah bagian yang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan yang ditetapkan dalam Konstitusi ini dan lagi c. daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian. Bagian 3 Lambang dan Bahasa Negara Pasal 3 (1) Bendera kebangsaan Republik Indonesia Serikat ialah bendera Sang Merah Putih. (2) Lagu kebangsaan ialah lagu “Indonesia Raya”. (3) Pemerintah menetapkan meterai dan lambang negara. Pasal 4 Bahasa resmi Negara Republik Indonesia Serikat ialah Bahasa Indonesia. Bagian 4 Kewarga-Negaraan dan Penduduk Negara Pasal 5 (1) Kewarga-negaraan Republik Indonesia Serikat diatur oleh undang-undang federal. (2) Pewarga-negaraan (naturalisasi) dilakukan oleh atau dengan kuasa undang-undang federal. Undang-undang federal mengatur akibat pewarga-negaraan terhadap isteri orang yang telah diwarganegarakan dan anak-anaknya yang belum dewasa. Pasal 6 Penduduk Negara ialah mereka yang diam di Indonesia menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang federal. Bagian 5 Hak dan Kebebasan Dasar Manusia Pasal 7 (1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap undang-undang. (2) Segala orang berhak menuntut perlakuan dan perlindungan yang sama oleh undang-undang.
(3) Segala orang berhak menuntut perlindungan yang sama terhadap tiap pembelakangan dan terhadap tiap-tiap penghasutan untuk melakukan pembelakangan demikian. (4) Setiap orang berhak mendapat bantuan-hukum yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan untuk itu, melawan perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan hak-hak dasar yang diperkenankan kepadanya menurut hukum. Pasal 8 Sekalian orang yang ada di daerah Negara sama berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta-bendanya. Pasal 9 (1) Setiap orang berhak dengan bebas bergerak dan tinggal dalam perbatasan Negara. (2) Setiap orang berhak meninggalkan negeri dan – jika ia warga-negara atau penduduk – kembali ke situ. Pasal 10 Tiada seorang pun boleh diperbudak, diperulur atau diperhamba. Perbudakan, perdagangan budak dan perhambaan dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya kepada itu, terlarang. Pasal 11 Tiada seorang juapun akan disiksa ataupun diperlakukan atau dihukum secara ganas, tidak mengenal perikemanusiaan atau menghina. Pasal 12 Tiada seorang juapun boleh ditangkap atau ditahan, selainnya atas perintah untuk itu oleh kekuasaan yang sah menurut aturan-aturan undang-undang dalam hal-hal dan menurut cara yang diterangkan dalamnya. Pasal 13 (1) Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya, mendapat perlakuan jujur dalam perkaranya oleh hakim yang tak memihak, dalam hal menetapkan hak2 dan kewajiban¬kewajibannya dan dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan hukuman yang dimajukan terhadapnya beralasan atau tidak. (2) Bertentangan dengan kemauannya tiada seorang juapun dapat dipisahkan dari pada hakim, yang diberikan kepadanya oleh aturan hukum yang berlaku. Pasal 14 (1) Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu sidang pengadilan, menurut aturan¬aturan hukum yang berlaku, dan ia dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang telah ditentukan dan yang perlu untuk pembelaan. (2) Tiada seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhkan hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.
(3) Apabila ada perubahan dalam aturan hukum seperti tersebut dalam ayat diatas, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik bagi si tersangka. Pasal 15 (1) Tiada suatu pelanggaran kejahatanpun boleh diancamkan hukuman berupa rampasan semua barang kepunyaan yang bersalah. (2) Tidak suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak-hak kewargaan. Pasal 16 (1) Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu-gugat. (2) Menginyak suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya dibolehkan dalam hal-hal yang ditetapkan dalam suatu aturan hukum yang berlaku baginya. Pasal 17 Kemerdekaan dan rahasia dalam perhubungan surat-menyurat tidak boleh diganggu-gugat, selainnya daripada atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang telah disahkan untuk itu menurut peraturan-peraturan undang-undang dalam hal-hal yang diterangkan dalam peraturan itu. Pasal 18 Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran keinsyafan batin dan agama; hak ini meliputi pula kebebasan bertukar agama atau keyakinan, begitu pula kebebasan menganut agamanya atau keyakinannya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di muka umum maupun dalam lingkungannya sendiri dengan jalan mengajarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan jalan mendidik anak-anak dalam iman dan keyakinan orang tua mereka. Pasal 19 Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pasal 20 Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat secara damai diakui dan sekadar perlu dijamin dalam peraturan-peraturan undang-undang. Pasal 21 (1) Setiap orang berhak dengan bebas memajukan pengaduan kepada penguasa, baik dengan lisan ataupun dengan tertulis. (2) Setiap orang berhak memajukan permohonan kepada penguasa yang sah.
(1) Setiap warga-negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang. (2) Setiap warga-negara dapat diangkat dalam tiap-tiap jabatan pemerintah. Orang asing boleh diangkat dalam jabatan-jabatan pemerintah menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh undang-undang. Pasal 23 Setiap warga-negara berhak dan berkewajiban turut serta dengan sungguh dalam pertahanan kebangsaan. Pasal 24 (1) Penguasa tidak akan mengikatkan keuntungan atau kerugian kepada termasuknya warga-negara dalam sesuatu golongan rakyat. (2) Perbedaan dalam kebutuhan masjarakat dan kebutuhan hukum golongan rakyat akan diperhatikan. Pasal 25 (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. (2) Seorangpun tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena. Pasal 26 (1) Pencabutan hak (onteigening) untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan, kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang. (2) Apabila sesuatu benda harus dibinasakan untuk kepentingan umum, ataupun baik untuk selama-lamanya maupun untuk beberapa lama, harus dirusakkan sampai tak terpakai lagi, oleh kekuasaan umum, maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang, kecuali jika ditentukan yang sebaliknya oleh aturan-aturan itu. Pasal 27 (1) Setiap warga-negara, dengan menurut syarat-syarat kesanggupan, berhak atas pekerjaan yang ada. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak pula atas syarat-syarat perburuhan yang adil. (2) Setiap orang yang melakukan pekerjaan dalam hal-hal yang sama, berhak atas pengupahan adil yang menjamin kehidupannya bersama dengan keluarganya, sepadan dengan martabat manusia. Pasal 28 Setiap orang berhak mendirikan serikat-sekerja dan masuk ke dalamnya untuk memperlindungi kepentingannya. Pasal 29 (1) Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang dilakukan terhadap itu menurut peraturan-peraturan undang-undang.
(2) Memilih pengajaran yang akan diikuti, adalah bebas. Pasal 30 Kebebasan melakukan pekerjaan sosial dan amal, mendirikan organisasi-organisasi untuk itu, dan juga untuk pengajaran partikulir, dan mencari dan mempunyai harta untuk maksud-maksud itu, diakui. Pasal 31 Setiap orang yang ada di daerah Negara harus patuh kepada undang-undang, termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa yang sah dan yang bertindak sah. Pasal 32 (1) Peraturan-aturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan-kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi. (2) Jika perlu, undang-undang federal menentukan pedoman dalam hal itu bagi undang-undang daerah-daerah bagian. Pasal 33 Tiada suatu ketentuanpun dalam bagian ini boleh ditafsirkan dengan pengertian, sehingga sesuatu penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak daripadanya untuk mengusahakan sesuatu apa atau melakukan perbuatan berupa apapun yang bermaksud menghapuskan sesuatu hak atau kebebasan yang diterangkan dalamnya. Bagian 6 Asas-Asas Dasar Pasal 34 Kemauan Rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak-pilih yang sedapat mungkin bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara. Pasal 35 Penguasa sesanggupnya memajukan kepastian dan jaminan sosial, teristimewa pemastian dan penjaminan syarat-syarat perburuhan dan keadaan-keadaan perburuhan yang baik, pencegahan dan pemberantasan pengangguran serta penyelenggaraan persediaan untuk hari-tua dan pemeliharaan janda-janda dan anak-anak yatim-piatu. Pasal 36 (1) Meninggikan kemakmuran rakyat adalah suatu hal yang terus-menerus diselenggarakan oleh penguasa, dengan kewajibannya senantiasa menjamin bagi setiap orang derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia untuk dirinya serta keluarganya.
(2) Dengan tidak mengurangi pembatasan yang ditentukan untuk kepentingan umum dengan peraturan-aturan undang-undang, maka kepada sekalian orang diberikan kesempatan menurut sifat, bakat dan kecakapan masing-masing untuk turut serta dalam perkembangan sumber¬sumber kemakmuran negeri. Pasal 37 Keluarga berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan Negara. Pasal 38 Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudayaan serta kesenian dan ilmu-pengetahuan. Dengan menjunjung asas ini maka penguasa memajukan sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebudayaan serta kesenian dan ilmu-pengetahuan. Pasal 39 (1) Penguasa wajib memajukan sedapat-dapatnya perkembangan rakyat baik rohani maupun jasmani, dan dalam hal ini teristimewa berusaha selekas-lekasnya menghapuskan buta-huruf. (2) Dimana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan akan pengajaran umum yang diberikan atas dasar memperdalam keinsyafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia, membangun dan memperdalam perasaan peri-kemanusiaan, kesabaran dan penghormatan yang sama terhadap keyakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam jam pelajaran untuk mengajarkan pelajaran agama sesuai dengan keinginan orang-tua murid-murid. (3) Murid-murid sekolah partikulir memenuhi syarat-syarat kebaikan-kebaikan menurut undang¬undang bagi pengajaran umum, haknya sama dengan hak murid-murid sekolah umum. (4) Terhadap pengajaran rendah, maka penguasa berusaha melaksanakan dengan lekas kewajiban belajar yang umum. Pasal 40 Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat. Pasal 41 (1) Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui. (2) Penguasa mengawasi supaya segala persekutuan dan perkumpulan agama patuh-taat kepada undang-undang, termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis.
BAB II REPUBLIK INDONESIA SERIKAT DAN DAERAH-DAERAH BAGIAN Bagian 1 Daerah-daerah Bagian Babakan 1 Ketentuan Umum Pasal 42 Sambil menunggu penyelesaian susunan Republik Indonesia Serikat sebagai federasi antara negara-negara bagian yang saling sama-martabat dan saling sama-hak, maka daerah-daerah bagian yang tersebut dalam pasal 2 adalah saling sama-hak. Pasal 43 Dalam penyelesaian susunan federasi Republik Indonesia Serikat maka berlakulah asas-pedoman, bahwa kehendak Rakyatlah di daerah-daerah bersangkutan yang dinyatakan dengan merdeka menurut jalan demokrasi, memutuskan status yang kesudahannya akan diduduki oleh daerah-daerah tersebut dalam federasi. Pasal 44 Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, begitu pula masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada, hanya boleh dilakukan oleh sesuatu daerah – sungguhpun sendiri bukan daerah bagian – menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang federal, dengan menjunjung asas seperti tersebut dalam pasal 43, dan sekadar hal itu mengenai masuk atau menggabungkan diri, dengan persetujuan daerah bagian yang bersangkutan. Pasal 45 Tataan dan cara menjalankan pemerintahan daerah-daerah bagian haruslah menurut cara demokrasi, sesuai dengan asas-asas yang termaktub dalam Konstitusi ini. Babakan 2 Negara-negara Pasal 46 (1) Negara-negara yang baru dibentuk membutuhkan pengakuan undang-undang federal. (2) Undang-undang federal tidak memberikan status negara kepada daerah-daerah yang dipandang tidak akan sanggup melaksanakan dan memenuhi hak-hak, kekuasaan-kekuasaan dan kewajiban-kewajiban suatu negara. Pasal 47 Peraturan-aturan ketatanegaraan negara-negara haruslah menjamin hak atas kehidupan-rakyat sendiri kepada pelbagai persekutuan-rakyat di dalam lingkungan daerah mereka itu dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan tentang penyusunan persekutuan itu secara demokrasi dalam daerah-daerah otonomi.
Pasal 48 (1) Peraturan-aturan ketatanegaraan negara-negara tidak akan memuat ketentuan yang seluruhnya atau sebagian berlawanan dengan Konstitusi ini. (2) Peraturan-peraturan ketatanegaraan tersebut atau perubahan-perubahan dalamnya baru mulai berlaku sesudah ditimbang oleh Pemerintah federal. Untuk maksud itu maka peraturan-peraturan tersebut sesudah selesai dibuat, dengan selekas¬lekasnya dikirimkan oleh Pemerintah negara kepada Pemerintah federal. (3) Sekiranya menurut timbangan Pemerintah federal ada sesuatu yang berlawanan sebagai dimaksud dalam ayat 1, maka dalam dua bulan sesudah menerima surat2 itu Pemerintah federal menyampaikan hal itu kepada Pemerintah negara dan mengundangnya supaya bertindak membuat perubahan. (4) Apabila Pemerintah negara tetap melalaikan menurut petunjuk-petunjuk yang dimaksud dalam ayat di atas seluruh atau sebagiannya, ataupun apabila Pemerintah negara berpendapat bahwa pentunjuk-petunjuk itu tak tepat diberikan, maka baik Pemerintah federal maupun Pemerintah negara boleh meminta keputusan tentang itu kepada Mahkamah Agung Indonesia dan keputusan ini bersifat mengikat. (5) Apabila Pemerintah federal memberitahukan kepada Pemerintah negara dalam waktu yang tersebut dalam ayat (3), bahwa peraturan ketatanegaraan atau perubahan dalamnya yang dipertimbangkan kepadanya mendapat persetujuannya, ataupun dalam waktu tersebut tidak memaklumkan timbangan apa-apa, maka peraturan ketatanegaraan itu dipandang telah mendapat pengakuan Pemerintah federal sebagai peraturan ketatanegaraan negara itu yang sah, ataupun perubahan tersebut dianggap telah diakuinya sebagai termasuk dalam peraturan ketatanegaraan Negara itu yang sah dan dalam hal demikian maka peraturan ketatanegaraan itu lalu dijaminnya; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditentukan dalam Bab IV, Bagian III. Babakan 3 Satuan-satuan Kenegaraan yang Tegak Sendiri yang Bukan Negara. Pasal 49 Kedudukan dalam federasi bagi satuan2 kenegaraan yang tegak sendiri dan yang bukan berstatus negara, diatur dengan undang-undang federal. Babakan 4 Daerah-daerah yang Bukan Daerah Bagian dan Distrik Federal Jakarta. Pasal 50 (1) Pemerintahan atas daerah-daerah yang diluar lingkungan daerah sesuatu daerah bagian, dan atas distrik federal Jakarta dilakukan oleh alat2-perlengkapan Republik Indonesia Serikat menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang federal. (2) Daerah-daerah bagian yang masuk bilangan untuk itu, boleh disertakan dalam pemerintahan itu dengan persetujuan pemerintahnya.
Bagian 2 Pembagian Penyelenggaraan-Pemerintahan Antara Republik Indonesia Serikat dengan Daerah-daerah Bagian Babakan 1 Pembagian penyelenggaraan-pemerintahan. Pasal 51 (1) Penyelenggaraan-pemerintahan tentang pokok-pokok yang terdaftar dalam lampiran Konstitusi ini dibebankan semata-mata kepada Republik Indonesia Serikat. (2) Daftar lampiran penyelenggaraan-pemerintahan yang tersebut dalam ayat 1 diubah, baik atas permintaan daerah-daerah bagian bersama-sama ataupun atas inisiatif Pemerintah federal sesudah mendapat persesuaian dengan daerah-daerah bagian bersama-sama, menurut acara yang ditetapkan dengan undang-undang federal. (3) Perundang-undangan federal selanjutnya akan mengambil segala tindakan yang perlu untuk mengurus penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan kepada federasi dengan semestinya. (4) Segala penyelenggaraan pemerintahan yang tidak masuk dalam penetapan pada ayat-ayat di atas adalah kekuasaan daerah-daerah bagian semata-mata. Pasal 52 (1) Daerah bagian berhak mendapat bagian yang sebesar-besarnya dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan federal oleh perlengkapan daerah bagian itu sendiri. Untuk itu maka Republik Indonesia Serikat sedapat-dapatnya meminta bantuan daerah-daerah bagian. (2) Apabila Republik Indonesia Serikat menuntut bantuan daerah bagian untuk melaksanakan peraturan-peraturan federal, maka daerah bagian wajib memberikan bantuan itu. (3) Daerah-daerah bagian melaksanakan pemerintahan ikut serta yang ditetapkan dalam pasal ini sesuai dengan pendapat lebih tinggi alat-alat perlengkapan federal yang bersangkutan. Pasal 53 Dalam menyelenggarakan tugas-pemerintahannya daerah-daerah bagian dapat bekerja bersama menurut aturan-aturan umum yang ditetapkan undang-undang federal; aturan-aturan itu menentukan pula campur tangan Republik Indonesia Serikat yang boleh jadi dilakukan dalam hal itu. Pasal 54 (1) Penyelenggaraan seluruh atau sebagian tugas-pemerintahan suatu daerah bagian oleh Republik Indonesia Serikat atau dengan kerjasama antara alat-alat perlengkapan Republik Indonesia Serikat dan alat-alat perlengkapan daerah bagian yang bersangkutan, hanyalah dapat dilaksanakan atas permintaan daerah bagian yang bersangkutan itu. Bantuan Republik Indonesia Serikat itu sedapat mungkin terbatas pada tugas pemerintahan yang melampaui tenaga daerah bagian itu. (2) Untuk memulai dan menyelenggarakan tugas pemerintahan sesuatu daerah bagian dengan tiada permintaan yang bermaksud demikian, Republik Indonesia Serikat hanya berkuasa dalam hal-hal yang akan ditentukan oleh Pemerintah federal dengan persesuaian Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat, yakni apabila daerah bagian itu sangat melalaikan tugasnya, dan menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang federal.
Babakan 2 Perhubungan Keuangan Pasal 55 (1) Undang-undang federal menentukan pendapatan-pendapatan yang, sebagai pendapatan federasi sendiri, masuk perbendaharaan Republik Indonesia Serikat; sekalian pendapatan yang lain, sekadar menurut hukum tidak menjadi bagian persekutuan hukum bawahan, masuk semata-mata untuk kegunaan perbendaharaan daerah bagian, sebagai pendapatan sendiri bagi daerah-daerah itu. (2) Pada pembagian pendapatan-pendapatan yang dimaksud ayat di atas diusahakan mencapai perimbangan, sehingga baik Republik Indonesia Serikat maupun daerah-daerah bagian berdaya membayar segala pembayaran yang bersangkutan dengan penyelenggaraan pemerintahannya, dari pendapatan-pendapatan sendiri. (3) Dengan tidak mengurangi dasar seperti tersebut dalam ayat yang lalu maka pembagian pendapatan-pendapatan seboleh-bolehnya disesuaikan dengan pembagian penyelenggaraan-pemerintahan seperti ditentukan dalam babakan di atas. (4) Oleh undang-undang federal dapat ditentukan bahwa atas pajak-pajak daerah-daerah bagian dipungutopcenten untuk keperluan federasi. Pasal 56 (1) Menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang federal kekurangan uang pada dinas biasa dalam anggaran daerah-daerah bagian ditutup dengan bantuan biaya dari kas perbendaharaan Republik Indonesia Serikat. (2) Kekurangan uang pada dinas luar biasa boleh ditutup dengan bantuan biaya yang sedemikian. Pasal 57 (1) Pinjaman uang di luar negeri dilaksanakan hanya semata-mata oleh Republik Indonesia Serikat. (2) Atas permintaan daerah bagian, Republik Indonesia Serikat boleh melaksanakan pinjaman uang di luar negeri untuk keperluan daerah bagian itu. (3) Untuk melaksanakan pinjaman uang dalam negeri, daerah-daerah bagian membutuhkan pensahan lebih dahulu dari Republik Indonesia Serikat. Pasal 58 (1) Anggaran daerah-daerah bagian yang kekurangannya ditutup dengan memberatkan kas¬perbendaharaan federal atau dengan jalan pinjaman, membutuhkan pensahan pemerintah federal. (2) Dalam hal-hal yang ditunjuk oleh undang-undang federal dan menurut aturan-aturan undang¬undang itu, pensahan yang dimaksud dalam ayat tadi dapat disangkutkan kepada mengadakan perubahan2 dalam anggaran yang bersangkutan itu menurut petunjuk-petunjuk yang dianggap perlu oleh pemerintah federal sepakat dengan Senat. Pasal 59 (1) Anggaran faedah-faedah bagian selain dari pada yang tersebut dalam pasal 58 tidaklah dicampuri oleh Republik Indonesia Serikat. (2) Akan tetapi jikalau ternyata kekacauan dalam kebijaksanaan keuangan maka Pemerintah federal sepakat dengan Senat boleh menghendaki supaya daerah bagian yang bersangkutan mengadakan perubahan tertentu dalam anggarannya.
(3) Undang-undang federal menetapkan apa yang dimaksud dengan perkataan kekacauan dalam kebijaksanaan keuangan, dan membuat aturan-aturan untuk melaksanakan kekuasaan seperti tersebut dalam ayat di atas, serta mengatur akibatnya berhubungan dengan pertangguhan yang mungkin terjadi dalam melaksanakan bagianbagian yang bersangkutan dalam anggaran itu. Pasal 60 (1) Apa yang ditetapkan dalam pasal 56 sampai dengan pasal 59 tidak boleh dilaksanakan secara apapun, sehingga oleh karena itu terjadi peristiwa perubahan dalam pembagian penyelenggaraan pemerintahan dan dalam perhubungan keuangan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah¬daerah bagian seperti diterangkan dalam bagian ini. (2) Teristimewa tidaklah akan dihubungkan syarat-syarat yang menuju ke arah itu kepada pemberian bantuan oleh Republik Indonesia Serikat kepada daerah-daerah bagian, dan juga tidak kepada pensahan pinjaman uang atau kepada pensahan anggaran. Pasal 61 Undang-undang federal yang selanjutnya memuat aturan-aturan tentang perhubungan keuangan antara Republik Indonesia Serikat dengan daerah-daerah bagian, dimana mungkin akan menentukan lagi jaminan-jaminan lain, sehingga Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah bagian saling menjunjung tinggi sepenuh-penuhnya segala hak dan kekuasaannya. Babakan 3 Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Pasal 62 Segala milik harta-benda, piutang dan hak-hak lain yang diterima dari Indonesia pada pemulihan kedaulatan menjadilah hak-milik Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah bagian, iaitu sekadar bergantung kepada penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi beban Republik Indonesia Serikat ataupun beban daerah-daerah bagian. Pasal 63 Segala kewajiban yang diterima dari Indonesia pada pemulihan kedaulatan adalah kewajiban Republik Indonesia Serikat. Bagian 3 Daerah-daerah Swapraja. Pasal 64 Daerah-daerah swapraja yang sudah ada, diakui. Pasal 65 Mengatur kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan pengertian, bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah bagian dan daerah-daerah swapraja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa swapraja akan diperhatikan dan bahwa tiada suatupun dari daerah-daerah swapraja yang sudah ada, dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang federal yang menyatakan, bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah daerah bagian bersangkutan.
Pasal 66 Sambil menunggu peraturan-peraturan sebagai dimaksud dalam pasal yang lalu dibuat, maka peraturan-aturan yang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian bahwa penjabat-pejabat Indonesia dahulu yang tersebut dalamnya diganti dengan penjabat-pejabat yang demikian pada daerah bagian bersangkutan. Pasal 67 Perselisihan-perselisihan antara daerah-daerah bagian dan daerah-daerah swapraja bersangkutan tentang peraturan-peraturan sebagai dimaksud dalam pasal 65 dan tentang menjalankannya, diputuskan oleh Mahkamah Agung Indonesia baik pada tingkat yang pertama dan yang tertinggi juga, ataupun pada tingkat apel. BAB III PERLENGKAPAN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT Ketentuan Umum Alat-alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat ialah: a. Presiden; b. Menteri-menteri; c. Senat; d. Dewan Perwakilan Rakyat; e. Mahkamah Agung Indonesia; f. Dewan Pengawas Keuangan. Bagian 1 Pemerintah Pasal 68 (1) Presiden dan Menteri-menteri bersama-sama merupakan Pemerintah. (2) Dimana-mana dalam Konstitusi ini disebut Pemerintah, maka yang dimaksud ialah Presiden dengan seorang atau beberapa atau para menteri, yakni menurut tanggung-jawab khusus atau tanggung-jawab umum mereka itu. (3) Pemerintah berkedudukan di ibu kota Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat Pemerintah menentukan tempat yang lain. Pasal 69 (1) Presiden ialah Kepala Negara. (2) Beliau dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam pasal 2. Dalam memilih Presiden, orang-orang yang dikuasakan itu berusaha mencapai kata-sepakat. (3) Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun; Beliau tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak-pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih.
Pasal 70 Presiden berkedudukan ditempat-kedudukan Pemerintah. Pasal 71 Presiden sebelum memangku jabatan, mengangkat sumpah (keterangan dan janji) menurut cara agamanya dihadapan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian sebagai tersebut dalam pasal 69 dan yang untuk itu bersidang dalam rapat umum, sebagai berikut: “Saya bersumpah (menerangkan) bahwa saya, untuk dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat, langsung ataupun tak langsung, dengan nama atau dengan dalih apapun, tiada memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya, untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima dari siapapun juga, langsung ataupun tak langsung, sesuatu janji atau pemberian. Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya sekuat tenaga akan memajukan kesejahteraan Republik Indonesia Serikat dan bahwa saya akan melindungi dan mempertahankan kebebasan-kebebasan dan hak-hak umum dan khusus sekalian penghuni Negara. Saya bersumpah (berjanji) setia kepada Konstitusi dan lagi bahwa saya akan memelihara dan menyuruh memelihara segala peraturan yang berlaku bagi Republik Indonesia Serikat, bahwa saya akan mengabdi dengan setia kepada Nusa dan Bangsa dan Negara dan bahwa saya dengan setia akan memenuhi segala kewajiban yang ditanggungkan kepada saya oleh jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat, sebagai sepantasnya bagi kepala negara yang baik.” Pasal 72 (1) Jika perlu karena Presiden berhalangan, maka Beliau memerintahkan Perdana Menteri menjalankan pekerjaan jabatannya sehari-hari. (2) Undang-undang federal mengatur pemilihan Presiden baru untuk hal, apabila Presiden tetap berhalangan, berpulang atau meletakkan jabatannya. Pasal 73 Yang dapat diangkat menjadi Menteri ialah orang yang telah berusia 25 tahun dan yang bukan orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak-pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih. Pasal 74 (1) Presiden sepakat dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian sebagai tersebut dalam pasal 69, menunjuk tiga pembentuk Kabinet. (2) Sesuai dengan anjuran ketiga pembentuk Kabinet itu, Presiden mengangkat seorang daripadanya menjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-menteri yang lain. (3) Sesuai dengan anjuran ketiga pembentuk itu juga, Presiden menetapkan siapa-siapa dari Menteri-menteri itu diwajibkan memimpin departemen masing-masing. Boleh pula diangkat Menteri-menteri yang tidak memangku sesuatu departemen. (4) Keputusan-keputusan Presiden yang memuat pengangkatan yang diterangkan dalam ayat 2 dan 3 pasal ini serta ditandatangani oleh ketiga pembentuk Kabinet.
(5) Pengangkatan atau penghentian antara-waktu Menteri-menteri dilakukan dengan keputusan Pemerintah. Pasal 75 (1) Menteri-menteri yang diwajibkan memimpin Departemen Pertahanan, Urusan Luar-Negeri, Urusan Dalam-Negeri, Keuangan dan Urusan Ekonomi, dan juga Perdana Menteri, sungguhpun ia tidak diwajibkan memimpin salah satu departemen tersebut, berkedudukan khusus seperti diterangkan dibawah ini. (2) Menteri-menteri pembentuk biasanya masing-masing memimpin salah satu dari departemen-departemen tersebut dalam ayat yang lalu. (3) Dalam hal-hal yang memerlukan tindakan dengan segera dan dalam hal-hal darurat, maka para menteri yang berkedudukan khusus bersama-sama berkuasa mengambil keputusan-keputusan yang dalam hal itu dengan kekuatan yang sama, menggantikan keputusan-keputusan Dewan Menteri yang lengkap. Dalam mengambil keputusan, Menteri-menteri itu berusaha mencapai kata sepakat. (4) Dalam memusyawaratkan dan memutuskan sesuatu hal yang langsung mengenai sesuatu pokok yang masuk dalam tugas suatu departemen yang lain daripada yang tersebut dalam ayat 1, Menteri Kepala Departemen itu turut serta. Pasal 76 (1) Untuk merundingkan bersama-sama kepentingan-kepentingan umum Republik Indonesia Serikat, Menteri-menteri bersidang dalam Dewan Menteri yang diketuai oleh Perdana Menteri atau dalam hal Perdana Menteri berhalangan, oleh salah seorang Menteri berkedudukan khusus. (2) Dewan Menteri senantiasa memberitahukan segala urusan yang penting kepada Presiden. Masing-masing Menteri berkewajiban sama berhubung dengan urusan-urusan yang khusus masuk tugasnya. Pasal 77 Sebelum memangku jabatannya, Menteri-menteri mengangkat sumpah (keterangan dan janji) di hadapan Presiden menurut cara agamanya, sebagai berikut: “Saya bersumpah (menerangkan) bahwa saya, untuk diangkat menjadi Menteri, langsung ataupun tak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya, untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali menerima dari siapapun juga, langsung ataupun tak langsung sesuatu janji atau pemberian. Saya bersumpah (berjanji) setia kepada Konstitusi, bahwa saya akan memelihara segala peraturan yang berlaku bagi Republik Indonesia Serikat, bahwa saya akan mengabdi dengan setia kepada Nusa dan Bangsa dan Negara dan bahwa saya akan memenuhi dengan setia segala kewajiban yang ditanggungkan kepada saya oleh jabatan Menteri.” Pasal 78 Gaji Presiden dan gaji Menteri-menteri, begitu pula ganti-rugi untuk biaya perjalanan dan biaya penginapan dan, jika ada ganti-rugi yang lain-lain, diatur dengan undang-undang federal.
Pasal 79 (1) Jabatan Presiden dan Menteri tidak boleh dipangku bersama-sama dengan menjalankan jabatan umum apapun di dalam dan di luar Republik Indonesia Serikat. (2) Presiden dan Menteri-menteri tidak boleh, langsung atau tak langsung, turut serta dalam ataupun menjadi penanggung untuk sesuatu badan perusahaan yang berdasarkan perjanjian untuk memperoleh laba atau untung yang diadakan dengan Republik Indonesia Serikat atau dengan sesuatu bagian dari Indonesia. (3) Mereka tidak boleh mempunyai piutang atas tanggungan Republik Indonesia Serikat, kecuali surat-surat utang umum. (4) Yang ditetapkan dalam ayat 2 dan 3 pasal ini tetap berlaku atas mereka selama tiga tahun sesudah mereka meletakkan jabatannya. Bagian 2 Senat Pasal 80 (1) Senat mewakili daerah-daerah bagian. (2) Setiap daerah bagian mempunyai dua anggota dalam Senat. (3) Setiap anggota Senat mengeluarkan satu suara dalam Senat. Pasal 81 (1) Anggota-anggota Senat ditunjuk oleh pemerintah daerah-daerah bagian, dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi. (2) Apabila dibutuhkan calon untuk dua kursi, maka pemerintah bersangkutan bebas untuk menggunakan sebagai satu, daftar-daftar yang disampaikan oleh perwakilan rakyat untuk pilihan kembar itu. (3) Dalam pada itu daerah-daerah bagian sendiri mengadakan peraturan-aturan yang perlu untuk menunjuk anggota-anggota dalam Senat. Pasal 82 Yang boleh menjadi anggota Senat ialah warga-negara yang telah berusia 30 tahun dan yang bukan orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak-pilih ataupun yang haknya untuk dipilih telah dicabut. Pasal 83 Anggota-anggota Senat sebelum memangku jabatannya, mengangkat sumpah (keterangan dan janji) dihadapan Presiden atau Ketua Senat yang dikuasakan untuk itu oleh Presiden, menurut cara agamanya, sebagai berikut: “Saya bersumpah (menerangkan) bahwa saya untuk ditunjuk menjadi anggota Senat, langsung ataupun tak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya, untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali menerima, langsung ataupun tak langsung, dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya senantiasa akan membantu memelihara Konstitusi dan segala peraturan yang lain yang berlaku bagi Negara, bahwa saya akan mengabdi sekuat tenaga kepada kesejahteraan Republik Indonesia Serikat dan bahwa saya akan mengabdi dengan setia kepada Nusa dan Bangsa dan Negara.” Pasal 84 Anggota-anggota Senat senantiasa boleh meletakkan jabatannya. Mereka memberitahukan hal itu dengan surat kepada Ketua. Pasal 85 (1) Presiden mengangkat Ketua Senat dari anjuran yang dimajukan oleh Senat dan yang memuat sekurang-kurangnya dua orang, baik dari antaranya sendiri maupun tidak. (2) Ketua harus memenuhi syarat-syarat yang termaktub dalam pasal 82. (3) Ketua bukan anggota dan mempunyai suara penasehat. Ialah yang memanggil Senat. (4) Apabila salah seorang anggota telah diangkat menjadi Ketua, maka pemerintah daerah bagian yang bersangkutan menunjuk orang lain menjadi anggota sebagai penggantinya. (5) Senat menunjuk dari antaranya seorang Wakil-Ketua yang tetap mempunyai keanggotaan dan hak-suara. (6) Dalam hal Ketua dan Wakil-Ketua berhalangan atau tidak ada, maka rapat diketuai untuk sementara oleh anggota yang tertua usianya; anggota ini tetap mempunyai keanggotaan dan hak suara. Pasal 86 Sebelum memangku jabatannya, Ketua Senat mengangkat sumpah (keterangan dan janji) dihadapan Presiden menurut cara agamanya, sebagai berikut: “Saya bersumpah (menerangkan) bahwa saya, untuk diangkat menjadi Ketua Senat, langsung ataupun tak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau menyanyikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya, untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima, langsung ataupun tak langsung, dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian. Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya senantiasa akan membantu memelihara Konstitusi dan segala peraturan yang lain yang berlaku bagi Negara, bahwa saya akan mengabdi sekuat tenaga kepada kesejahteraan Republik Indonesia Serikat dan bahwa saya akan mengabdi dengan setia kepada Nusa dan Bangsa dan Negara.” Pasal 87 Senat mengadakan rapat-rapatnya di Jakarta kecuali jika dalam hal-hal darurat Pemerintah menentukan tempat yang lain. Pasal 88 (1) Rapat-rapat yang mengenai pokok-pokok sebagai dimaksud dalam pasal 127 sub a dan pasal 168 harus terbuka bagi umum, kecuali jika Ketua menimbang perlu ataupun sekurang-kurangnya lima anggota menuntut, supaya pintu ditutup bagi umum.
(2) Sesudah pintu ditutup, rapat memutuskan apakah permusyawaratan dilakukan dengan pintu tertutup. (3) Tentang hal2 yang dibicarakan dalam rapat tertutup dapat juga diputuskan dengan pintu tertutup. Pasal 89 Ketua dan anggota-anggota Senat tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena yang dikatakannya dalam rapat atau yang dikemukakannya dengan surat kepada majelis itu, kecuali jika mereka dengan itu mengumumkan apa yang dikatakan atau yang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan. Pasal 90 (1) Anggota-anggota Senat mengeluarkan suaranya sebagai orang yang bebas, menurut perasaan kehormatan dan keinsyafan batinnya, tidak atas perintah atau dengan kewajiban berembuk dahulu dengan mereka yang menunjuknya sebagai anggota. (2) Mereka tidak mengeluarkan suara tentang hal yang mengena dirinya sendiri. Pasal 91 Keanggotaan Senat tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Perwakilan Rakyat, dan juga tidak dengan jabatan-jabatan federal, jakni jabatan Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Ketua, Wakil-Ketua atau Anggota Mahkamah Agung, Ketua, Wakil-Ketua atau Anggota Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi dan dengan jabatan-jabatan Wali Negara, Menteri atau Kepala Departemen daerah bagian. Pasal 92 Gaji Ketua Senat, tunjangan-tunjangan yang akan diberikan kepada anggota-anggota dan mungkin juga kepada Ketua, begitu pula biaya perjalanan dan penginapan yang harus didapatnya, diatur dengan undang-undang federal. Pasal 93 (1) Sekalian orang yang menghadiri rapat Senat yang tertutup, wajib merahasiakan yang dibicarakan dalam rapat itu, kecuali jika majelis ini memutuskan lain, ataupun jika kewajiban merahasiakan itu dihapuskan. (2) Hal itu berlaku juga terhadap anggota-anggota, Menteri-menteri dan pegawai-pegawai yang mendapat tahu dengan cara bagaimanapun tentang yang dibicarakan itu. Pasal 94 (1) Senat tidak boleh bermusyawarat atau mengambil keputusan, jika tidak hadir lebih dari seperdua jumlah anggota sidang. (2) Sekadar dalam Konstitusi ini tidak ditetapkan lain, maka segala keputusan diambil dengan jumlah terbanyak mutlak suara yang dikeluarkan. (3) Apabila pada waktu mengambil keputusan, suara-suara sama berat, dalam hal rapat itu lengkap anggotanya, usul itu dianggap ditolak atau dalam hal lain, mengambil keputusan ditangguhkan sampai rapat yang berikut. Apabila suara-suara sama berat lagi, maka usul itu dianggap ditolak. (4) Pemungutan suara tentang orang dilakukan dengan rahasia dan tertulis. Apabila suara-suara sama berat, maka keputusan diambil dengan undian.
Pasal 95 Senat selekas mungkin menetapkan peraturan ketertibannya. Pasal 96 Senat dapat mengundang Menteri-menteri untuk turut serta dalam permusyawaratannya dan memberi penerangan dalamnya. Pasal 97 Pada saat yang tersebut dalam pasal 112, maka Senat yang bersidang dibubarkan dan diganti dengan Senat baru. Bagian 3 Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 98 Dewan Perwakilan Rakyat mewakili seluruh Rakyat Indonesia dan terdiri dari 150 anggota; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam ayat kedua pasal 100. Pasal 99 Jumlah anggota dari Negara Republik Indonesia seperdua dari jumlah semua anggota dari daerah¬daerah Indonesia selebihnya. Pasal 100 (1) Golongan-golongan kecil Tionghoa, Eropah dan Arab akan berwakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan berturut-turut 9, 6 dan 3 anggota. (2) Jika jumlah-jumlah itu tidak tercapai dengan pengutusan atas dasar pasal 109 dan pasal 110, ataupun pasal 111, tidak tercapai, maka Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengangkat wakil¬wakil tambahan bagi golongan-golongan kecil itu. Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai tersebut dalam pasal 98 ditambah dalam hal itu jika perlu dengan jumlah pengangkatan-pengangkatan itu. Pasal 101 Yang boleh menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat ialah warga-negara yang telah berusia 25 tahun dan bukan orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun orang yang haknya untuk dipilih telah dicabut. Pasal 102 Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Senat dan juga tidak dengan jabatan-jabatan yang tersebut dalam pasal 91.
Pasal 103 (1) Dewan Perwakilan Rakyat memilih dari antaranya seorang Ketua dan seorang atau beberapa orang Wakil-Ketua. Pemilihan-pemilihan ini membutuhkan pensahan Presiden. (2) Selama pemilihan Ketua dan Wakil-Ketua belum disahkan oleh Presiden, rapat diketuai untuk sementara oleh anggota yang tertua umurnya. Pasal 104 Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum memangku jabatannya, mengangkat sumpah di hadapan Presiden atau Ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang dikuasakan untuk itu oleh Presiden, menurut cara agamanya, sebagai berikut: “Saya bersumpah (menerangkan) bahwa saya, untuk dipilih (diangkat) menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, langsung ataupun tak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya, untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima, langsung ataupun tak langsung, dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian. Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya senantiasa akan membantu memelihara Konstitusi dan segala peraturan yang lain yang berlaku bagi Negara, bahwa saya akan mengabdi sekuat tenaga kepada kesejahteraan Republik Indonesia Serikat dan bahwa saya akan mengabdi dengan setia kepada Nusa dan Bangsa dan Negara.” Pasal 105 Menteri-menteri duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan suara penasehat. Ketua memberi kesempatan berbicara kepadanya, apabila dan tiap-tiap kali mereka mengingininya. Pasal 106 (1) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang, apabila Pemerintah menyatakan kehendaknya tentang itu atau apabila Ketua atau sekurang-kurangnya lima belas anggota menganggap hal itu perlu. (2) Ketua memanggil rapat Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 107 Rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat terbuka untuk umum, kecuali jika Ketua menimbang perlu ditutup ataupun sekurang-kurangnya sepuluh anggota menuntut hal itu. Pasal 108 Yang ditetapkan untuk Senat dalam pasal 84, 87, 88 ayat kedua dan ketiga, 89, 90, 92, 93, 94 dan 95 berlaku demikian juga berhubung dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 109 (1) Untuk Dewan Perwakilan Rakyat yang pertama, mengutus anggota-anggota dari daerah-daerah selebihnya yang tersebut dalam pasal 99, diatur dan diselenggarakan dengan perundingan bersama¬sama oleh daerah-daerah bagian yang tersebut dalam pasal 2, kecuali Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan asas2 demokrasi dan seboleh-bolehnya dengan perundingan dengan daerah¬daerah yang tersebut dalam pasal 2, sub c yang bukan daerah bagian.
(2) Untuk pembagian jumlah-jumlah anggota yang akan diutus di antara daerah-daerah itu, diambil sebagai dasar perbandingan jumlah jiwa rakyat daerah-daerah bagian tersebut. Pasal 110 (1) Bagaimana caranya anggota diutus ke Dewan Perwakilan Rakyat yang pertama, diatur oleh daerah-daerah bagian. (2) Dimana pengutusan demikian tidak dapat terjadi dengan jalan pemilihan yang seumum-umumnya, pengutusan itu dapat dilakukan dengan jalan penunjukan anggota-anggota oleh perwakilan rakyat daerah-daerah bersangkutan, jika ada di situ perwakilan demikian. Juga apabila karena hal-hal yang sungguh perlu diturut cara yang lain, akan diusahakan untuk mencapai perwakilan yang sesempurna-sempurnanya, menurut kehendak rakyat. Pasal 111 (1) Dalam tempo satu tahun sesudah Konstitusi mulai berlaku, maka di seluruh Indonesia Pemerintah memerintahkan mengadakan pemilihan yang bebas dan rahasia untuk menyusun Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih secara umum. (2) Undang-Undang federal mengadakan aturan-aturan untuk pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru yang dimaksud dalam ayat 1 dan menentukan pembagian jumlah-jumlah anggota yang akan diutus, antara daerah-daerah selebihnya yang tersebut dalam pasal 99. Pasal 112 Pada saat yang akan ditetapkan oleh Pemerintah, selekas mungkin sesudah pemilihan yang dimaksud dalam pasal 111 Dewan Perwakilan Rakyat pertama dibubarkan dan diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih itu. Bagian 4 Mahkamah Agung Pasal 113 Maka adalah suatu Mahkamah Agung Indonesia yang susunan dan kekuasaannya diatur dengan undang-undang federal. Pasal 114 (1) Untuk pertama kali dan selama undang-undang federal belum menetapkan lain, Ketua, Wakil¬Ketua dan anggota-anggota Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden setelah mendengarkan Senat. Pengangkatan itu adalah untuk seumur hidup; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam ayat2 yang berikut. (2) Undang-undang federal dapat menetapkan, bahwa Ketua, Wakil-Ketua dan anggota-anggota Mahkamah Agung diperhentikan, apabila mencapai usia yang tertentu. (3) Mereka dapat dipecat atau diperhentikan menurut cara dan dalam hal yang ditentukan oleh undang-undang federal. (4) Mereka dapat diperhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri.
Bagian 5 Dewan Pengawas Keuangan Pasal 115 Maka adalah suatu Dewan Pengawas Keuangan yang susunan dan kekuasaannya diatur dengan undang-undang federal. Pasal 116 (1) Untuk pertama kali dan selama undang-undang federal belum menetapkan lain, Ketua, Wakil¬Ketua dan anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan diangkat oleh Presiden setelah mendengarkan Senat. Pengangkatan itu adalah untuk seumur hidup; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam ayat-ayat yang berikut. (2) Undang-undang federal dapat menetapkan, bahwa Ketua, Wakil-Ketua dan anggota-anggota diperhentikan, apabila mencapai usia yang tertentu. (3) Mereka dapat dipecat atau diperhentikan menurut cara dan dalam hal yang ditentukan dengan undang-undang federal. (4) Mereka dapat diperhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri. BAB IV PEMERINTAHAN Bagian 1 Ketentuan-ketentuan Umum Pasal 117 (1) Pemerintahan federal atas Indonesia – sekadar tidak diwajibkan kepada alat-alat perlengkapan yang lain – dijalankan oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat. (2) Pemerintah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan teristimewa mengurus, supaya Konstitusi, undang-undang federal dan peraturan-aturan lain yang berlaku untuk Republik Indonesia Serikat, dijalankan. Pasal 118 (1) Presiden tidak dapat diganggu-gugat. (2) Menteri-menteri bertanggung-jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu. Pasal 119 Sekalian keputusan Presiden serta ditandatangani oleh Menteri-menteri yang bersangkutan, kecuali yang ditetapkan dalam pasal 74 ayat 4. Pasal 120 (1) Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi dan hak menanya; anggota-anggota mempunyai hak menanya. (2) Menteri-menteri memberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, baik dengan lisan maupun dengan tertulis, segala penerangan yang dikehendaki menurut ayat yang lalu dan yang pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum Republik Indonesia Serikat.
Pasal 121 Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidik (enquete), menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang federal. Pasal 122 Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk menurut pasal 109 dan 110 tidak dapat memaksa Kabinet atau masing-masing Menteri meletakkan jabatannya. Pasal 123 (1) Pemerintah mendengarkan Senat tentang segala hal, apabila dianggapnya perlu untuk itu. (2) Senat dapat memberikan nasehat kepada Pemerintah atas kehendaknya sendiri tentang segala hal apabila dianggapnya perlu untuk itu. (3) Senat didengarkan tentang urusan2 penting yang khusus mengenai satu, beberapa atau semua daerah bagian atau bagian-bagiannya, ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut dalam pasal 2. Aturan ini mempunyai kecuali, jika, karena keadaan-keadaan yang mendesak, perlu diambil tindakan yang segera, sedang Senat tidak bersidang. (4) Senat didengarkan, kecuali dalam hal sebagai diterangkan dalam suku kedua ayat yang lalu, tentang segala rancangan undang-undang darurat sebagai dimaksud dalam pasal 139. (5) Pemerintah memberitahukan kepada Senat segala keputusan tentang hal-hal yang dalamnya Senat telah didengarkan. (6) Jika Senat telah didengarkan, maka hal itu diberitahukan di kepala surat-surat keputusan bersangkutan. Pasal 124 (1) Senat dapat, baik dengan lisan maupun dengan tertulis, meminta keterangan kepada Pemerintah. (2) Pemerintah memberikan keterangan itu, kecuali jika menurut timbangannya hal itu berlawanan dengan kepentingan umum Republik Indonesia Serikat. Pasal 125 Pegawai-pegawai Republik Indonesia Serikat diangkat menurut aturan yang ditetapkan dengan undangundang federal. Pasal 126 Presiden memberikan tanda-tanda kehormatan yang diadakan dengan undang-undang federal. Bagian 2 Perundang-undangan Pasal 127 Kekuasaan perundang-undangan federal, sesuai dengan ketentuan2 bagian ini, dilakukan oleh: a. Pemerintah, bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, sekadar hal itu mengenai peraturan-peraturan tentang hal-hal yang khusus mengenai satu, beberapa atau semua daerah bagian
atau bagian-bagiannya, ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut dalam pasal 2; b. Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnya. Pasal 128 (1) Usul Pemerintah tentang undang-undang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan amanat Presiden dan dikirimkan serentak kepada Senat untuk diketahui. (2) Senat berhak memajukan usul undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat tentang hal-hal sebagai tersebut dalam pasal 127, sub a. Apabila Senat menggunakan hak ini, maka hal itu diberitahukannya serentak kepada Presiden, dengan menyampaikan salinan usul itu. (3) Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan usul undang-undang kepada Pemerintah. Pasal 129 Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam usul undang-undang yang dimajukan oleh Pemerintah atau Senat kepadanya, kecuali yang ditetapkan dalam pasal 132. Pasal 130 (1) Sekalian usul undang-undang yang telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan, jika usul¬usul itu mengenai urusan sebagai diterangkan dalam pasal 127, sub a, telah dirundingkan oleh Senat sesuai dengan yang ditetapkan dalam pasal 131 dan pasal-pasal berikutnya, memperoleh kekuatan undang-undang, apabila sudah disahkan oleh Pemerintah. (2) Undang-undang federal tidak dapat diganggu gugat. Pasal 131 Usul undang-undang dirundingkan oleh Senat, berdasarkan kekuasaannya turut serta membuat undang-undang, jika baik Pemerintah, maupun Dewan Perwakilan Rakyat ataupun Senat sendiri menimbang, bahwa usul itu mengenai pengaturan urusan yang masuk dalam yang diterangkan dalam pasal 127, sub a. Pasal 132 (1) Apabila Senat menolak usul yang sebelum itu sudah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka sungguhpun demikian, usul itu dapat juga disahkan oleh Pemerintah, jika Dewan Perwakilan Rakyat menerimanya dengan tidak mengubahnya lagi dan dengan sekurang-kurangnya duapertiga dari jumlah suara anggota-anggota yang hadir. (2) Keputusan yang tersebut dalam ayat pertama, hanya akan dapat diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat yang dalamnya sekurang-kurangnya hadir dua pertiga dari jumlah anggota sidang. Pasal 133 (1) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menerima usul undang-undang Pemerintah dengan mengubahnya ataupun tidak, maka usul itu dikirimkannya dengan memberitahukan hal itu, kepada: a. Senat, jika usul itu mengenai pengaturan suatu urusan sebagai diterangkan dalam pasal 127, sub a, dengan pemberitahuan serentak kepada Presiden;
b. Presiden, jika usul itu mengenai pengaturan urusan yang lain. (2) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menerima usul yang dimajukan kepadanya oleh Senat, maka usul itu dikirimkannya: a. jika diubahnya, kepada Senat untuk dirundingkan lebih jauh; b. jika tidak diubahnya, kepada Pemerintah untuk disahkan. Dalam hal sub a Dewan Perwakilan Rakyat memberitahukan hal itu kepada Presiden, dalam hal sub b kepada Senat. Pasal 134 Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul undang-undang Pemerintah, maka hal itu diberitahukannya kepada Presiden dan juga kepada Senat, jika usul itu mengenai urusan yang tersebut dalam pasal 127, sub a. Pasal 135 (1) Dewan Perwakilan Rakyat, apabila memutuskan akan menganjurkan usul undang-undang, mengirimkan usul itu untuk dirundingkan kepada Senat, jika usul itu mengenai pengaturan urusan yang tersebut dalam pasal 127, sub a, dengan pemberitahuan serentak kepada Presiden. (2) Dalam sekalian hal yang lain Dewan Perwakilan Rakyat mengirimkan usulnya tentang undang-undang, untuk disahkan oleh Pemerintah, kepada Presiden dan serentak kepada Senat untuk diketahui. Pasal 136 (1) Apabila Senat menerima pula usul yang telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka usul itu dikirimkannya dengan memberitahukan hal itu kepada Presiden, untuk disahkan oleh Pemerintah dan keputusannya diberitakannya serentak kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Apabila Senat menolak usul yang sebelum itu sudah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka usul itu dikirimkannya dengan memberitahukan hal itu kepada Presiden, dengan pemberitaan serentak kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Pemerintah dapat menyampaikan sekali lagi usul yang telah ditolak oleh Senat, kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk diulang dirundingkan sesuai dengan pasal 132. Apabila Pemerintah memutuskan untuk berbuat demikian, maka yang ditetapkan dalam ayat pertama pasal 128 berlaku demikian juga. Pasal 137 (1) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat pada pengulangan perundingan sesuai dengan pasal 132, menerima usul undang-undang, maka usul itu dikirimkannya kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah dan keputusannya diberitahukannya serentak kepada Senat. (2) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat pada pengulangan perundingan menolak usul undang-undang maka hal itu diberitahukannya kepada Presiden dan kepada Senat. Pasal 138 (1) Selama suatu usul undang-undang belum diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang lalu dalam bagian ini, dan – jika usul itu mengenai urusan sebagai diterangkan dalam pasal 127, sub a – belum dirundingkan oleh Senat, maka usul itu dapat ditarik kembali oleh alat-perlengkapan yang memajukannya.
(2) Pemerintah harus mensahkan usul undang-undang yang sudah diterima, kecuali jika ia dalam satu bulan sesudah usul itu disampaikan kepadanya untuk disahkan, menyatakan keberatannya yang tak dapat dihindarkan. (3) Pensahan oleh Pemerintah, ataupun keberatan Pemerintah sebagai dimaksud dalam ayat yang lalu, diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan kepada Senat dengan amanat Presiden. Pasal 139 (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung-jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal–hal penyelenggaraan-pemerintahan federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera. (2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa undang-undang federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Pasal 140 (1) Peraturan-aturan yang termaktub dalam undang-undang darurat, segera sesudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang merundingkan peraturan itu menurut yang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang Pemerintah. (2) Jika suatu peraturan yang dimaksud dalam ayat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum. (3) Jika undang-undang darurat yang menurut ayat yang lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturannya – baik yang dapat dibetulkan maupun yang tidak – maka undang-undang federal mengadakan tindakan-tindakan yang perlu tentang itu. (4) Jika peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat itu diubah dan ditetapkan sebagai undang-undang federal, maka akibat-akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang ditetapkan dalam ayat yang lalu. Pasal 141 (1) Peraturan-peraturan penjalankan undang-undang ditetapkan oleh Pemerintah. Namanya ialah peraturan Pemerintah. (2) Peraturan Pemerintah dapat mengancamkan hukuman-hukuman atas pelanggaran aturan¬aturannya. Batas-batas hukuman yang akan ditetapkan diatur dengan undang-undang federal. Pasal 142 (1) Undang-undang federal dan peraturan Pemerintah dapat memerintahkan kepada alat-alat perlengkapan lain dalam Republik Indonesia Serikat mengatur selanjutnya pokok-pokok yang tertentu yang diterangkan dalam ketentuan2 undang-undang dan peraturan itu. (2) Undang-undang dan peraturan Pemerintah yang bersangkutan memberikan aturan-aturan tentang pengumuman peraturan-peraturan demikian. Pasal 143 (1) Undang-undang federal mengadakan aturan-aturan tentang mengeluarkan, mengumumkan dan mulai berlakunya undang-undang federal dan peraturan-peraturan Pemerintah. (2) Pengumuman, terjadi dalam bentuk menurut undang-undang, adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat.
Bagian 3 Pengadilan Pasal 144 (1) Perkara perdata dan perkara hukuman perdata, semata-mata masuk perkara yang diadili oleh pengadilan-pengadilan yang diadakan atau diakui dengan atau atas kuasa undang-undang, termasuk dalamnya hakim daerah swapraja, hakim adat dan hakim agama. (2) Mengangkat dalam jabatan kehakiman yang diadakan dengan atau atas kuasa undang-undang, didasarkan semata-mata pada syarat kepandaian, kecakapan, dan kelakuan tak bercela yang ditetapkan dengan undang-undang. Memperhentikan, memecat untuk sementara dan memecat dari jabatan yang demikian hanya boleh dalam hal-hal yang ditentukan dengan undang-undang. Pasal 145 (1) Segala campur tangan, bagaimanapun juga, oleh alat-alat perlengkapan yang bukan perlengkapan kehakiman, terlarang, kecuali jika diizinkan oleh undang-undang. (2) Asas ini hanya berlaku terhadap pengadilan swapraja dan pengadilan adat, sekadar telah diatur cara meminta pertimbangan kepada hakim yang ditunjuk dengan undang-undang. Pasal 146 (1) Segala keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman harus menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu. (2) Lain daripada kecuali-kecuali yang ditetapkan oleh undang-undang, sidang pengadilan terbuka untuk umum. Untuk ketertiban dan kesusilaan umum, hakim boleh menyimpang dari aturan ini. (3) Keputusan senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka. Pasal 147 (1) Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi. (2) Pengadilan-pengadilan federal yang lain dapat diadakan dengan undang-undang federal, dengan pengertian, bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat pertama, dan sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat apel. Pasal 148 (1) Presiden, Menteri-menteri, Ketua dan anggota-anggota Senat, Ketua dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil-Ketua dan anggota-anggota Mahkamah Agung, Jaksa Agung pada Mahkamah ini, Ketua, Wakil-Ketua dan anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi serta pegawai-pegawai, anggota-anggota majelis-majelis tinggi dan penjabat-penjabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang federal, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga di muka Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain ditentukan dengan undang-undang federal dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan undang-undang federal.
(2) Dengan undang-undang federal dapat ditetapkan bahwa perkara perdata dan perkara hukuman perdata terhadap golongan-golongan orang dan badan yang tertentu hanya boleh diadili oleh pengadilan federal yang ditunjuk dengan undang-undang itu. (3) Dengan undang-undang federal dapat ditetapkan bahwa perkara perdata yang mengenai peraturan-peraturan yang diadakan dengan atau atas kuasa undang-undang federal hanya boleh diadili oleh pengadilan federal. (4) Dalam hal-hal yang ditunjuk dengan undang-undang federal, terhadap keputusan-keputusan yang diberikan dalam tingkat tertinggi oleh pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung. Pasal 149 Tataan, kekuasaan dan jalan-pengadilan pengadilan-pengadilan federal ditetapkan dengan undang-undang federal. Pasal 150 Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan federal yang lain, menurut aturan-aturan ditetapkan dengan undang-undang federal. Pasal 151 Dengan mengecualikan yang ditetapkan dalam pasal 148 dan dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal 50, pengadilan dalam perkara perdata dan hukuman perdata dalam daerah¬daerah bagian dilakukan oleh pengadilan yang diadakan atau diakui dengan atau atas kuasa undang¬undang daerah bagian itu. Pasal 152 Tataan, kekuasaan dan jalan-pengadilan pengadilan-pengadilan yang diadakan dengan atau atas kuasa undang-undang daerah bagian, ditetapkan dengan undang-undang itu. Pasal 153 (1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan pengadilan tertinggi daerah bagian, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang federal. (2) Mahkamah itu melakukan pengawasan tertinggi, juga menurut aturan-aturan undang-undang federal, atas pengadilan-pengadilan lain yang diadakan dengan atau atas kuasa undang-undang daerah bagian, tetapi hanya selama tidak diadakan pengawasan tertinggi lain oleh daerah bagian itu. Pasal 154 (1) Keputusan kehakiman yang diambil oleh pengadilan-pengadilan yang diadakan atau diakui dengan atau atas kuasa undang-undang daerah bagian sedang keputusan itu dapat dijalankan dalam seluruh daerah-hukum daerah bagian itu, dengan cara sedemikian dapat dijalankan juga di lain-lain tempat di Indonesia. (2) Dengan undang-undang federal dapat ditetapkan akta-akta yang dapat dijalankan di seluruh Indonesia, dengan cara yang seboleh-bolehnya sesuai dengan cara yang ditentukan dalam hukum daerah.
Pasal 155 Undang-undang daerah bagian mengatur kekuasaan pengadilan-pengadilan yang diakui dengan atau atas kuasa undang-undang itu. Pasal 156 (1) Jika Mahkamah Agung atau pengadilan-pengadilan lain yang mengadili dalam perkara perdata atau dalam perkara hukuman perdata, beranggapan bahwa suatu ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau undang-undang suatu daerah bagian berlawanan dengan Konstitusi ini, maka dalam keputusan kehakiman itu juga, ketentuan itu dinyatakan dengan tegas tak-menurut-Konstitusi. (2) Mahkamah Agung berkuasa juga menyatakan dengan tegas bahwa suatu ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau dalam undang-undang daerah bagian tak-menurut-Konstitusi, jika ada surat permohonan yang beralasan yang dimajukan, untuk Pemerintah Republik Indonesia Serikat, oleh atau atas nama Jaksa Agung pada Mahkamah Agung, ataupun, untuk suatu pemerintah daerah bagian yang lain, oleh Kejaksaan pada pengadilan tertinggi daerah bagian yang dimaksud kemudian. Pasal 157 (1) Sebelum pernyataan tak-menurut-Konstitusi tentang suatu ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau undang-undang suatu daerah bagian untuk pertama kali diucapkan atau disahkan, maka Mahkamah Agung memanggil Jaksa Agung pada Majelis itu, atau kepala Kejaksaan pada pengadilan tertinggi daerah bagian bersangkutan, untuk didengarkan dalam majelis pertimbangan. (2) Keputusan Mahkamah Agung yang dalamnya pernyataan tak-menurut-Konstitusi untuk pertama kali diucapkan atau disahkan, diucapkan pada sidang pengadilan umum. Pernyataan itu selekas mungkin diumumkan oleh Jaksa Agung pada Mahkamah Agung dalam warta resmi Republik Indonesia Serikat. Pasal 158 (1) Jika dalam perkara perdata atau dalam perkara hukuman perdata, pengadilan lain daripada Mahkamah Agung menyatakan suatu ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau undang-undang daerah bagian tak-menurut-Konstitusi, dan Mahkamah Agung karena sesuatu sebab memeriksa perkara itu, maka karena jabatannya ia mempertimbangkan dalam keputusannya apakah pernyataan tak-menurut-Konstitusi itu dilakukan pada tempatnya. (2) Terhadap pernyataan tak-menurut-Konstitusi sebagai dimaksud dalam ayat yang lalu, pihak-pihak yang dikenai kerugian oleh pernyataan itu dan yang tidak mempunyai alat-hukum terhadapnya, dapat memajukan tuntutan untuk kasasi karena pelanggaran hukum kepada Mahkamah Agung. (3) Jaksa Agung pada Mahkamah Agung dan juga kepala Kejaksaan pada pengadilan tertinggi daerah bagian itu, dapat karena jabatannya memajukan tuntutan kepada Mahkamah Agung untuk kasasi karena pelanggaran hukum terhadap pernyataan tak-menurut-Konstitusi yang tak terubah lagi sebagai dimaksud dalam ayat 1. (4) Pernyataan tak-menurut-Konstitusi tentang suatu ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan suatu daerah bagian oleh pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, jika tidak dengan tegas berdasarkan pernyataan tak-menurut-Konstitusi yang sudah dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap ketentuan itu dan yang telah diumumkan menurut pasal 157, haruslah disahkan oleh Mahkamah Agung, sebelum keputusan kehakiman yang berdasar atasnya dapat dijalankan. Permohonan untuk pensahan dirundingkan dalam majelis-pertimbangan. Permohonan itu ditiadakan jika pernyataan tak-menurut-Konstitusi itu dihapuskan sebelum perundingan itu selesai. Jika Mahkamah Agung menolak permohonan pensahan itu, maka Mahkamah menghapuskan keputusan kehakiman yang memuat pernyataan tak-menurut-Konstitusi sekadar itu dan Mahkamah
itupun bertindak selanjutnya seakan-akan salah suatu pihak telah memajukan tuntutan untuk kasasi karena pelanggaran hukum. (5) Tentang yang ditentukan dalam pasal ini dan kedua pasal yang lalu, dengan undang-undang federal dapat ditetapkan aturan-aturan lebih lanyut, termasuk tenggang-tenggang. Pasal 159 Pengadilan perkara hukuman ketentaraan diatur dengan undang-undang federal. Pasal 160 (1) Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung, sekadar dengan undang¬undang federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasehat. (2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang federal, diberikan kesempatan untuk memberi ampun. (3) Amnesti hanya dapat diberikan dengan undang-undang federal ataupun, atas kuasa undang¬undang federal, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung. Pasal 161 Pemutusan tentang sengketa yang mengenai hukum tata usaha diserahkan kepada pengadilan yang mengadili perkara perdata ataupun kepada alat-alat perlengkapan lain, tetapi jika demikian seboleh-bolehnya dengan jaminan yang serupa tentang keadilan dan kebenaran. Pasal 162 Dengan undang-undang federal dapat diatur cara memutuskan sengketa yang mengenai hukum tata usaha dan yang bersangkutan dengan peraturan-peraturan yang diadakan dengan atau atas kuasa Konstitusi ini atau yang diadakan dengan undang-undang federal, sedang peraturan-peraturan itu tidak langsung mengenai semata-mata alat-alat perlengkapan dan penghuni satu daerah bagian saja, termasuk badan-badan hukum publik yang dibentuk atau diakui dengan atau atas kuasa suatu undang-undang daerah bagian itu. Pasal 163 (1) Dimana dalam bagian ini disebut “undang-undang”, maka dimaksud dengan itu baik undang¬undang federal maupun undang-undang daerah bagian, kecuali jika ditetapkan yang sebaliknya. (2) Dimana dalam bagian ini disebut “undang-undang daerah bagian” maka dimaksud dengan itu peraturan-aturan yang ditetapkan oleh alat-alat pengundang-undang daerah bagian yang tertinggi. (3) Dimana dalam pasal 154, 156 dan 158 bagian ini disebut “keputusan kehakiman”, maka dengan itu dimaksud pula penetapan-penetapan kehakiman.
Bagian 4 Keuangan Babakan 1 Hak Uang Pasal 164 (1) Diseluruh daerah Republik Indonesia Serikat hanya diakui sah, alat-alat pembayar yang aturan¬aturan pengeluarannya ditetapkan dengan undang-undang federal. (2) Satuan-hitung untuk menyatakan alat-alat pembayar sah itu ditetapkan dengan undang-undang federal. (3) Undang-undang federal mengakui sah alat-alat pembayar baik hingga jumlah yang tak terbatas maupun hingga jumlah terbatas yang ditentukan untuk itu. (4) Pengeluaran alat-alat pembayar yang sah dilakukan oleh atau atas nama Pemerintah Republik Indonesia Serikat ataupun oleh bank sirkulasi. Pasal 165 (1) Untuk Indonesia ada satu bank sirkulasi. (2) Penunjukan sebagai bank sirkulasi dan pengaturan tataan dan kekuasaannya dilakukan dengan undang-undang federal. Babakan 2 Pengurusan Keuangan Federal Anggaran – Pertanggungjawaban – Gaji Pasal 166 (1) Pemerintah memegang pengurusan umum keuangan federal. (2) Keuangan Republik Indonesia Serikat dipimpin dan ditanggung-jawabkan menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang federal. Pasal 167 Dengan undang-undang federal ditetapkan anggaran semua pengeluaran Republik Indonesia Serikat dan ditunjuk pendapatan-pendapatan untuk menutup pengeluaran itu. Pasal 168 (1) Usul undang-undang penetapkan anggaran umum oleh Pemerintah dimajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebelum permulaan masa yang berkenaan dengan anggaran itu. Masa itu tidak boleh lebih dari dua tahun. (2) Usul undang-undang pengubah anggaran umum, tiap-tiap kali jika perlu dimajukan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Usul undang-undang dimaksud dalam kedua ayat yang lalu dirundingkan pula oleh Senat atas dasar ketentuan-ketentuan Bagian II Bab ini. Pasal 169 (1) Anggaran terdiri dari bagian-bagian yang masing-masing, sekadar perlu, dibagi dalam dua bab, iaitu satu untuk mengatur pengeluaran-pengeluaran dan satu lagi untuk menunjuk pendapatan
pendapatan. Bab-bab terbagi dalam pos-pos. (2) Untuk tiap-tiap departemen kementerian anggaran sedikit-dikitnya memuat satu bagian. (3) Undang-undang penetapkan anggaran masing-masing memuat tidak lebih dari satu bagian. (4) Dengan undang-undang dapat diizinkan pemindahan. Pasal 170 Pengeluaran dan penerimaan Republik Indonesia Serikat ditanggungjawabkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sambil memajukan perhitungan yang disahkan oleh Dewan Pengawas Keuangan, menurut aturan-aturan yang diberikan dengan undang-undang federal. Pasal 171 Tidak diperkenankan memungut pajak untuk kegunaan kas federal, kecuali dengan kuasa undang¬undang federal. Pasal 172 (1) Pinjaman uang atas tanggungan Republik Indonesia Serikat tidak dapat diadakan, dijamin atau disahkan, kecuali dengan kuasa undang-undang federal. (2) Pemerintah berhak, dengan mengindahkan aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang federal, mengeluarkan biljet-bilj et dan promes-promes perbendaharaan. Pasal 173 (1) Dengan tidak mengurangi yang diatur dengan ketentuan-ketentuan khusus, gaji-gaji dan lain-lain pendapatan anggota majelis-majelis dan pegawai-pegawai Republik Indonesia Serikat ditentukan oleh Pemerintah, dengan mengindahkan aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang federal dan menurut asas, bahwa dari jabatan tidak boleh diperoleh keuntungan lain daripada yang dengan tegas diperkenankan. (2) Undang-undang dapat memperkenankan pemindahan kekuasaan yang diterangkan dalam ayat 1 kepada alat-alat perlengkapan lain yang berkuasa. (3) Pemberian pensiun kepada pegawai-pegawai Republik Indonesia Serikat diatur dengan undang-undang federal. Bagian 5 Perhubungan Luar Negeri Pasal 174 Pemerintah memegang pengurusan perhubungan luar negeri. Pasal 175 (1) Presiden mengadakan dan mensahkan segala perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain. Kecuali jika ditentukan lain dengan undang-undang federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan jika sudah disetujui dengan undang-undang.
(2) Masuk dalam dan memutuskan perjanjian dan persetujuan lain, hanya dilakukan oleh Presiden dengan kuasa undang-undang federal. Pasal 176 Berdasarkan perjanjian dan persetujuan yang tersebut dalam pasal 175, Pemerintah memasukkan Republik Indonesia Serikat ke dalam organisasi-organisasi antarnegara. Pasal 177 Pemerintah berusaha memecahkan perselisihan-perselisihan dengan negara-negara lain dengan jalan damai dan dalam hal itu memutuskan pula tentang meminta ataupun tentang menerima pengadilan atau pewasitan antarnegara. Pasal 178 Presiden mengangkat wakil-wakil Republik Indonesia Serikat pada negara-negara lain dan menerima wakil negara-negara lain pada Republik Indonesia Serikat. Bagian 6 Pertahanan Kebangsaan dan Keamanan Umum Pasal 179 Undang-undang federal menetapkan aturan-aturan tentang hak dan kewajiban warga-negara yang sanggup membantu mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia Serikat dan membela daerahnya. Ia mengatur cara menjalankan hak dan kewajiban itu dan menentukan kecualinya. Pasal 180 (1) Tentara Republik Indonesia Serikat bertugas melindungi kepentingan-kepentingan Republik Indonesia Serikat. Tentara itu dibentuk dari mereka yang sukarela masuk tentera dan mereka yang wajib masuk tentera. (2) Undang-undang federal mengatur masuk tentara yang diwajibkan. Pasal 181 (1) Pemerintah memegang pengurusan pertahanan. (2) Undang-undang federal mengatur pembentukan, susunan dan tataan, tugas dan kekuasaan alat perlengkapan yang diberi kewajiban menyelenggarakan kebijaksanaan pertahanan pada umumnya, mengorganisasi dan membagi tugas tentara dan, dalam waktu perang, memimpin perang. Pasal 182 (1) Presiden ialah Panglima Tertinggi tentara Republik Indonesia Serikat. (2) Pemerintah, jika perlu, menaruh tentara dibawah seorang panglima umum. Menteri Pertahanan dapat ditunjuk merangkap jabatan itu. (3) Opsir-opsir diangkat, dinaikkan pangkat dan diperhentikan oleh atau atas nama Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang federal.
Pasal 183 (1) Pemerintah tidak menyatakan perang, melainkan jika hal itu diizinkan lebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. (2) Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat memutuskan pengizinan itu dalam rapat bersama, seakan¬akan mereka satu badan, diketuai oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 184 (1) Dengan cara dan dalam hal-hal yang akan ditentukan dengan undang-undang federal, Pemerintah dapat menyatakan daerah Republik Indonesia Serikat atau bagian-bagian dari padanya dalam keadaan perang atau dalam keadaan darurat perang, sekadar dan selama ia menganggap hal itu perlu untuk kepentingan keamanan dalam negeri dan keamanan terhadap luar negeri. (2) Undang-undang federal mengatur akibat-akibat pernyataan demikian itu dan dapat pula menetapkan, bahwa kekuasaan-kekuasaan alat-alat perlengkapan kuasa sipil yang berdasarkan Konstitusi tentang ketertiban umum dan polisi, seluruhnya atau sebagian beralih kepada alat-alat perlengkapan sipil yang lain ataupun kepada kuasa ketentaraan, dan bahwa penguasa-penguasa sipil takluk kepada penguasa-penguasa ketentaraan. Pasal 185 (1) Daerah-daerah bagian tidak mempunyai tentara sendiri. (2) Untuk menjamin ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum, maka atas permintaan pemerintah daerah bagian Pemerintah Republik Indonesia Serikat dapat memberi bantuan ketentaraan kepada daerah bagian itu. Undang-undang federal menetapkan aturan-aturan tentang hal itu. BAB V KONSTITUANTE Pasal 186 Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi), bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi sementara ini. Pasal 187 (1) Rancangan Konstitusi dibuat oleh Pemerintah dan dengan amanat Presiden disampaikan kepada Konstituante untuk dimusyawaratkan, demi Sidang itu berapat. (2) Pemerintah menjaga, supaya rancangan Konstitusi berdasarkan pembangunan Republik Indonesia Serikat dari negara-negara sesuai dengan kehendak rakyat, sebagai yang akan dinyatakan dengan cara demokrasi menurut yang ditetapkan dalam pasal 43 sampai dengan 46. (3) Berkenaan dengan menjalankan yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang tersebut dalam ayat yang lalu, undang-undang federal akan mengadakan tindakan-tindakan yang perlu, sehingga pernyataan suara rakyat yang diperlukan, diperoleh dalam satu tahun sesudah Konstitusi ini mulai berlaku. Pasal 188 (1) Konstituante dibentuk dengan jalan memperbesar Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih menurut pasal 111 dan Senat baru yang ditunjuk menurut pasal 97, dengan anggota-anggota luar biasa sebanyak jumlah anggota biasa majelis itu masing-masing.
Anggota-anggota luar biasa itu dipilih ataupun ditunjuk atau diangkat dengan cara yang sama sebagai anggota biasa. Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi anggota-anggota biasa berlaku pula bagi mereka itu. Pemerintah mengadakan persediaan, sekadar perlu dengan mufakat dengan daerah-daerah bagian, untuk menjamin supaya anggota-anggota luar biasa Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat dipilih, diangkat ataupun ditunjuk pada waktunya. (2) Rapat gabungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, keduanya dengan jumlah anggota dua kali lipat, itulah Konstituante. (3) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ialah Ketua Konstituante, Ketua Senat ialah Wakil Ketua. (4) Yang ditetapkan dalam pasal 87, 93, 94, ayat 3 dan 4, 95 dan 105, berlaku demikian juga bagi Konstituante. (5) Rapat-rapat Konstituante terbuka bagi umum, kecuali jika dianggap perlu oleh Ketua menutup pintu ataupun jika sekurang-kurangnya dua puluh lima anggota menuntut hal itu. Pasal 189 (1) Konstituante tidak dapat bermufakat atau mengambil keputusan tentang rancangan Konstituante baru, jika pada rapatnya tidak hadir sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota sidang. (2) Konstituante berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam rancangan Konstitusi. Konstitusi baru berlaku, jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan oleh Pemerintah. (3) Apabila Konstituante sudah menerima rancangan Konstitusi, maka dikirimkannya rancangan itu kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah. Pemerintah harus mensahkan rancangan itu dengan segera. Pemerintah mengumumkan Konstitusi itu dengan keluhuran. (4) Kepada tiap-tiap negara bagian akan diberikan kesempatan menerima Konstitusi. Dalam hal suatu negara bagian tidak menerima Konstitusi itu, maka negara itu berhak bermusjawarah tentang suatu perhubungan khusus dengan Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland. BAB VI PERUBAHAN, KETENTUAN2 PERALIHAN DAN KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP Bagian 1 Perubahan Pasal 190 (1) Dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal 51, ayat kedua, maka Konstitusi ini hanya dapat diubah dengan undang-undang federal dan menyimpang dari ketentuan-ketentuannya hanya diperkenankan atas kuasa undang-undang federal; baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Senat tidak boleh bermufakat ataupun mengambil keputusan tentang usul untuk itu, jika tidak sekurang¬kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota sidang menghadiri rapat. (2) Undang-undang sebagai dimaksud dalam ayat pertama, dirundingkan pula oleh Senat menurut ketentuan-ketentuan Bagian 2 Bab IV. (3) Usul undang-undang untuk mengubah Konstitusi ini atau menyimpang dari ketentuan¬ketentuannya hanya dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat ataupun oleh Senat dengan sekurangkurangnya dua pertiga jumlah suara anggota yang hadir. Jika usul itu dirundingkan lagi menurut yang ditetapkan dalam pasal 132, maka Dewan Perwakilan
Rakyat hanya dapat menerimanya dengan sekurang-kurangnya tiga perempat dari jumlah suara anggota yang hadir. Pasal 191 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan umum tentang mengeluarkan dan mengumumkan undang-undang federal, maka perubahan-perubahan dalam Konstitusi diumumkan oleh Pemerintah dengan keluhuran, menurut cara yang akan ditentukannya. (2) Naskah Konstitusi yang diubah itu diumumkan sekali lagi oleh Pemerintah setelah, sekadar perlu, bab-babnya, bagian-bagian tiap-tiap bab dan pasal-pasalnya diberi nomor berturut dan penunjukan-penunjukannya diubah. (3) Alat-alat perlengkapan berkuasa yang sudah ada dan peraturan-peraturan serta keputusan¬keputusan yang berlaku pada saat suatu perubahan dalam Konstitusi mulai berlaku, dilanjutkan sampai diganti dengan yang lain menurut Konstitusi, kecuali jika melanjutkannya itu berlawanan dengan ketentuan-ketentuan baru dalam Konstitusi yang tidak memerlukan peraturan undang¬undang atau tindakan-tindakan penjalankan yang lebih lanjut. Bagian 2 Ketentuan-ketentuan Peralihan Pasal 192 (1) Peraturan-aturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-aturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-aturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini. (2) Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat 1 hanya berlaku, sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan¬ketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan, Statut Uni, Persetujuan Peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak berlawanan dengan ketentuan-ketentuan Konstitusi ini yang tidak memerlukan peraturan undang¬undang atau tindakan-tindakan penjalankan. Pasal 193 (1) Sekadar hal itu belum ternyata dari ketentuan2 Konstitusi ini, maka undang-undang federal menentukan alat-alat perlengkapan Republik Indonesia Serikat yang mana akan menjalankan tugas dan kekuasaan alat-perlengkapan yang menjalankan tugas dan kekuasaan itu sebelum pemulihan kedaulatan, yakni atas dasar perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena pasal 1. (2) Pemerintah dengan segera menunjuk seorang wakil di Negeri Belanda yang – sambil menunggu peraturan-peraturan yang akan diadakan nanti – menjalankan atas namanya segala kekuasaan¬pengurus yang, sebelum pemulihan kedaulatan, dijalankan untuk Pemerintah Indonesia dulu oleh alat¬alat perlengkapan Belanda di Negeri Belanda. Pasal 194 Sambil menunggu pengaturan kewarga-negaraan dengan undang-undang yang tersebut dalam ayat 1 pasal 5, maka yang sudah warga-negara Republik Indonesia Serikat, ialah mereka yang mempunyai kewarga-negaraan itu menurut persetujuan yang mengenai penentuan kewarga-negaraan yang dilampirkan pada Piagam Pemulihan Kedaulatan.
Pasal 195 Apabila sesuatu pokok yang pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, masuk dalam yang diterangkan dalam lampiran Konstitusi ini, diselenggarakan oleh suatu daerah bagian, maka daerah bagian itu berkuasa melanjutkan menyelenggarakan pokok itu hingga Republik Indonesia Serikat mengambil tugas penyelenggaraan itu. Jika demikian, maka daerah bagian dalam melanjutkan penyelenggaraan itu untuk sementara, akan bertindak sesuai dengan pendapat lebih tinggi alat-alat perlengkapan federal yang bersangkutan. Bagian 3 Ketentuan-ketentuan Penutup Pasal 196 Segera sesudah Konstitusi ini mulai berlaku, Pemerintah mewajibkan satu atau beberapa panitia yang diangkatnya, untuk menjalankan tugas, sesuai dengan petunjuk-petunjuknya, bekerja mengikhtiarkan, supaya aturan-aturan yang diperlukan oleh Konstitusi ini diadakan, serta supaya pada umumnya sekalian perundang-undangan yang sudah ada pada saat tersebut disesuaikan kepada Konstitusi. Pasal 197 (1) Konstitusi ini mulai berlaku pada saat pemulihan kedaulatan. Naskahnya diumumkan pada hari itu dengan keluhuran menurut cara yang akan ditentukan oleh Pemerintah. (2) Jikalau dan sekadar sebelum saat yang tersebut dalam ayat (1), sudah dilakukan tindakan-tindakan untuk membentuk alat-alat perlengkapan Republik Indonesia Serikat dan untuk menyiapkan penerimaan kedaulatan, sekaliannya atas dasar ketentuan-ketentuan Konstitusi ini, maka ketentuan¬ketentuan itu berlaku surut sampai pada hari tindakan-tindakan bersangkutan dilakukan. PIAGAM PERSETUJUAN Antara Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan Untuk Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst Federaal Overleg, BFO) tentang rencana KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT Pada hari Sabtu tanggal dua-puluh sembilan bulan Oktober tahun seribu sembilan-ratus empat puluh sembilan kami Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan Untuk Permusjawaratan Federal (Bijeenkomst Federaal Overleg) yang melangsungkan persidangan kami di Scheveningen. Setelah mempertimbangkan dan menyetujui pikiran2 ketatanegaraan yang disusun oleh kedua Panitia Ketatanegaraan kami dalam beberapa persidangan bersama di Scheveningen dan ‘s-Gravenhage semenyak bulan Agustus sampai achir bulan Oktober tahun 1949. Dengan menyunyung tinggi segala putusan kebulatan yang diambil dalam Konperensi Inter-Indonesia dalam sidangnya di kota Jogjakarta dan Jakarta dalam bulan Juli dan Agustus 1949; Setelah mempelajari dan mempertimbangkan rencana Konstitusi Republik Indonesia Serikat itu, maka kami Menyatakan bahwa kami menyetujui naskah Undang-Undang Dasar Peralihan bernama Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang dilampirkan pada Piagam Persetujuan ini.
Kemudian dari pada itu maka untuk membuktikan itu kami kedua Delegasi dengan bersaksikan Tuhan Yang Maha Esa terhadap sikap suci dan kesungguhan-keinginan Bangsa dan Tanah Air Indonesia Serikat membubuhkan tanda-tangan parap kami pada Piagam-Persetujuan ini: a. Untuk Republik Indonesia, Pemimpin Delegasi Republik Indonesia Drs. Moh. Hatta b. Untuk Daerah-daerah bagian yang bekerja-sama dalam perhubungan B.F.O. Utusan Kalimantan Barat Sultan Hamid II Ketua B.F.O. Utusan Indonesia Timur Ide Anak Agoeng Gde Agoeng Wakil Ketua B.F.O. pertama Utusan Madura Dr. Soeparmo Wakil Ketua B.F.O. kedua Utusan Banyar A.A. Rivai Utusan Bangka Saleh Achmad Utusan Belitung K.A. Moh. Joesoef Utusan Dajak Besar Mochran Bin Haji Moh. Ali Utusan Jawa Tengah Dr. R. Sujito Utusan Jawa Timur R. Tg. Juwito Utusan Kalimantan Tenggara M. Jamani Utusan Kalimantan Timur Aji Pangeran Sosronegoro Utusan Pasundan Mr. R. Tg. Jumhana Wiriaatmaja Utusan Riau Raja Mohammad Utusan Sumatera Selatan Abdul Malik Utusan Sumatera Timur
Raja Kaliamsjah Sinaga
0 notes
indonesia-24 · 3 years
Text
Polemik Soekarno-Natsir Jadikan Pancasila Sebagai Mietsaqon Ghaliedza
Tumblr media
Petikan ceramah Menko Polhukam Mahfud MD pada acara Ijtima Ulama MUI, Hotel Sultan Jakarta, Selasa, 9/11/21. Pancasila sebagai dasar negara merupakan kesepakatan suci atau mietsaqon ghalidza bangsa Indonesia setelah melalui debat panjang yang brmutu tinggi. Perdebatan yang paling menonjol dan bermutu adalah perdebatan dua tokoh Islam yakni Soekarno dan Natsir sejak akhir 1930-an. Menurut saya keduanya sama-sama tokoh dan pejuang Islam, keduanya hanya berbeda dalam meletakkan hubungan antara Islam dan Negara ketika Indonesia akan merdeka saat itu. Keduanya sama-sama ingin melihat umat Islam maju di dalam negara yang juga maju. Semula, Soekarno ngotot mendirikan negara sekuler Indonesia sedangkan Natsir ingin negara Islam. Tapi akhirnya keduanya mencapai persetujuan yang indah, yakni, lahirnya negara kebangsaan Indonesia yang berketuhanan (religious nation state). Debat Soekarno - Natsir yang menjadi debat seluruh warga bangsa dapat diringkas sebagai berikut. Pada tahun 1938, sepuluh tahun setelah Sumpah Pemuda yang bertekat mendirikan negara merdeka itu, Sokarno tiba2 membuat serangkaisn tulisan di Majalah Panji Islam yang isinya memuji-muji Kemal Attaturk yang telah mengubah Turki dari negara Islam menjadi negara sekuler. Kata Bung Karno negara harus dipisahkan dari agama agar keduanya sama-sama maju seperti yang dilakukan oleh Kemal Attaturk. Tulisan-tulisan Soekarno dibantah oleh Natsir dengan argumen yang tak kalah hebat. Kata Natsir justeru negara itu harus menyatu dengan agama. Islam, kata Natsir, bisa menyediakan semua perangkat yang dibutuhkan oleh negara moderen sehingga kakau kita mau mendirikan negara merdeka Indonesia maka dasarnya yang tepat adalah Islam. Debat itu penuh retorika tingkat tinggi. Soekarno menulis artikel: Memudakan Pengertian Islam, Mengapa Turki Memisahkan Agama dari Negara, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, dan lain-lain. Natsir menyanggah dengan artikel-artikel: Persatuan Agama dan Negara, Ichwanus Shafa, Rasionalisme dalam Islam, Arti Agama dalam Negara, dan lain-lain. Ketika Indonesia akan merdeka perdebatan itu masuk ke dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di sana ada perdebatan tentang negara kebangsaan Islam dan negara kebangsaan sekuler. Sidang pleno pertama macet dan ditutup pada tanggal 1 Juni 1945 tanpa kesepakatan. Pada tanggal 22 Juni 1945 Bung Karno memimpin Tim 9 yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta. Di dalam Piagam tersebut sila pertama dari lima dasar negara adalah "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". BPUPK menyetujui Piagam Jakarta itu pada tanggal 10 Juli 1945. Tetapi Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) yang melanjutkan tugas BPUPK pada tanggal 18 Agustus 1945 memperbarui kesepakatan itu dgn menngganti tujuh kata pada sila pertama sehingga menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa". Dengan demikian lahirlah NKRI berdasar Pancasila sebagai kesepakatan luhur. Indonesia bukan negara sekuler seperti yang dulunya diperjuangkan oleh Bung Karno dkk. Juga bukan negara Islam seperti yang dulunya diperjuangkan oleh Natsir dkk. Soerkarno yang memang Islam santri menerima pentingnya agama dalam bernegara, Natsir yang juga santri tidak bisa menolak kenyataan bahwa bangsa ini majemuk srhingga tidak bisa dipaksa menjadi negara Islam. Itulah sebabnya NKRI berdasar Pancasila merupakan Darul Mietsaq menurut NU atau Darul Ahdi Wassyahadah menurut Muhammadiya yakni negara yang lahir karena kesepakatan dan perjanjian suci. Tak dapat dibantah, Soekarno mengambil peran utama dalam seluruh proses itu. Tak dapat dibantah pula bahwa dalam arti umum Soekarno, seperti halnya Natsir, adalah santri yang sholeh. Keduanya membuat gerbong yang sama-sama kuat untuk membangun Mietsaqon Ghaliedza. Di begara Pancasila, negara tidak memberlakukan hukum agama tertentu tetapi melindungi semua warga negara yang ingin melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Read the full article
0 notes
tekpoin-blog · 3 years
Text
Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam ....
Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam ….
Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam …. A. Piagam Jakarta B. Batang Tubuh UUD 1945 C. Alinea IV Pembukaan UUD 1945 D. Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 Jawaban : C. Alinea IV Pembukaan UUD 1945
View On WordPress
0 notes
papuaunik · 3 years
Text
Pelajaran berharga dari Timor Timur
Tumblr media
Bung Karno berkata: “Hukum itu berlaku buat segala zaman, buat segala tempat, buat segala warna kulit, buat segala agama dan ideologi…… Hak-Hak Azasi Manusia itu satu konstitusi yang dapat kamu banggakan, satu konstitusi yang dapat kamu teladani”. (sumber: Wawan Tunggul Alam, 2001:hal.131) - Latar Belakang Intervensi kemanusiaan oleh Pasukan Internasional untuk Timor Timur (INTERFET, International Force for East Timor) sebagai awal munculnya penerimaan yang lebih luas oleh komunitas internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian kewajiban untuk melindungi warga sipil tidak berdosa yang menderita pelanggaran HAM berat menjadi paramount bagi komunitas internasional. Intervensi Pasukan Internasional ke Timor Timur tahun 1999 merupakan perubahan yang sangat signifikan dalam hubungan internasional berdasarkan komitmen negara untuk melindungi HAM warga negaranya sesuai hukum kemanusiaan international. (sumber: Laporan Sekjen PBB, nomor S/1999/1024, tanggal 4 Oktober 1999) 2.Rangkuman Khusus Pasca era perang dingin, negara-negara di dunia bersepakat bahwa kewajiban untuk melindungi pelanggaran HAM besar-besaran menjadi tantangan bagi masyarakat internasional untuk ikut campur tangan, ketika ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor-aktor intra-negara. Keputusan apakah akan ikut campur tangan dalam suatu negara yang berdaulat, selalu mejadi isu yang diperdebatkan, karena; a. Sifatnya yang mengganggu dan berpotensi untuk disalahgunakan dengan adanya kepentingan nasional, selain untuk tujuan murni menyelamatkan manusia ciptaan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa (nilai kemanusiaan). b. Biaya operasional pengiriman pasukan internasional melintasi batas negara menjadi faktor pertimbangan khusus. Namun terlepas dari batasan-batasan tersebut, intervensi kemanusiaan telah terjadi di beberapa negara seperti Bosnia (1991), Kosovo (2008) dan lain-lain. Kontingen Indonesia Garuda XIV pernah bertugas di Bosnia sebagai pasukan perdamaian pada tahun 1993. Intervensi kemanusiaan oleh bangsa-bangsa di dunia untuk menyelamatkan warga sipil dari ”genosida” dan bentuk pembunuhan lainnya merupakan “mission sacre”. INTERFET dengan mandat Resolusi Dewan Keamanan PBB 1264 ditugaskan untuk memulihkan perdamaian di Timor Timur. Pengesahan dan penempatan koalisi pasukan keamanan PBB sesuai Resolusi 1264, menurut para pakar merupakan tak tertandingi dalam sejarah PBB. Butuh waktu 5 (lima) hari saja sejak Resolusi dikeluarkan agar pasukan dari 19 (sembilan belas) negara bisa berkumpul dan pada tanggal 20 September 1999, gelombang pertama telah mendarat di Dili, Timor Timur. Empat hari kemudian yaitu pada tanggal 24 September 1999, militer Indonesia mulai ditarik mundur dan pada tanggal 31 Oktober 1999 seluruh pasukan Indonesia meninggalkan Timor Timur setelah 24 (dua puluh empat) tahun pendudukan Indonesia di Timor Timur. PBB tidak pernah mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur sejak 1975. Sebaliknya Provinsi Papua diakui oleh negara-negara anggota PBB adalah milik Indonesia sesuai prinsip internasional “uti possidetis juris”, kemudian secara de jure ditetapkan melalui Resolusi PBB nomor 2504 (XXIV), tanggal 19 November 1969. 3.Penutup Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi nomor 1264 Tahun 1999 meminta kepada Indonesia untuk mengadili para pelanggar HAM berat yang terjadi di Timor Timur. Resolusi ini mengikat Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 25 Piagam PBB, dimana Indonesia menjadi anggota PBB tahun1950. Pasal 25 Piagam PBB, jo pasal 2 (6) dan pasal 49 menentukan bahwa semua negara di dunia baik anggota maupun bukan anggota PBB, terikat secara hukum melaksanakan keputusan-keputusan Dewan Keamanan PBB. Jika keputusan ini tidak dilaksanakan, Dewan Keamanan PBB dapat menjatuhkan sanksi kepada negara tersebut, berupa: a. Penangguhan hak-hak istimewanya sebagai anggota PBB (pasal 5); b. Mengeluarkan dari keanggotaan PBB (pasal 6); c. Sanksi ekonomi (pasal 41); d. Pemutusan hubungan diplomatik (pasal 41); e. DK PBB dapat memaksa dengan cara apapun sampai dengan serangan militer (pasal 42) John Andrews dalam tulisannya”The World in Conflict, Understanding the World’s trouble spots” (London, 2015:hal. 245), mengatakan: “The low level conflict has led to human-rights abuses by both sides, especially by Indonesian troops, leading by some accounts to 500.000 Papuans deaths over the past half century”. Pernyataan John Andrews di atas dan pelajaran berharga dari kasus Timor Timur, seharusnya menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia dalam hal pendekatan keamanan di Papua yang perlu diubah sesuai Pendekatan Keamanan Manusia yang diamanatkan United Nations General Assembly (UNGA) Resolution nomor 14/128, tanggal 4 Desember 1986. Indonesia sebagai negara anggota PBB tentunya memiliki tanggungjawab moral untuk melaksanakan resolusi tersebut dengan mengubah pendekatan keamanan seperti apa yang telah dilaksanakan oleh Presiden Jokowi dalam Paradigma Baru Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, mengatakan: “ Papua adalah salah satu Lubang Hitam Indonesia untuk Hak Asasi Manusia”. (sumber:ww.amnesty,org.uk, tanggal 2 Juli 2018). Jakarta, 21 April 2021. Oleh: Ambassador Freddy Numberi Founder Numberi Center Read the full article
0 notes
shofwankarim · 3 years
Text
Dua Buku Shofwan Dibedah Para Cendikiawan
https://bakaba.co/dua-buku-shofwan-dibedah-para-cendikiawan/
Selasa 22 Desember 2020 03:40
Mantan sekretaris pribadi M. Natsir tersebut juga memberikan kesaksiannya tentang upaya-upaya M. Natsir dalam mewujudkan negara Islam di Indonesia secara konstitusional.
Bagikan
1
Cover Buku karya Shofwan Karim
bakaba.co | Padang | Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) meluncurkan dan membedah dua buku sekaligus secara virtual, 18 Desember 2020. Buku Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar Buya Dr. Drs. H. Shofwan Karim, BA, MA tersebut, berjudul “Islam sebagai Dasar Negara: Polemik antara Mohammad Natsir versus Soekarno” dan “68 Tahun Melukis di Atas Awan: Memoar Biografi Dr. Shofwan Karim”.
Peluncuran dan bedah buku terbitan UMSB Press tersebut dihadiri dosen dan sivitas akademika UMSB serta warga Muhammadiyah Sumbar. Acara yang dibuka Rektor UMSB Dr. Riki Saputra MA itu menghadirkan beragam pembicara baik dari dalam maupun luar negeri.
Bedah Buku karya Shofwan Karim
Ketua DPD RI 2009-2016, Irman Gusman, SE, MBA yang diundang sebagai pembicara perdana mengungkapkan bahwa Shofwan Karim merupakan sahabat dekat yang sudah dikenalnya lebih dari 25 tahun. Terkait pandangannya terhadap polemik M. Natsir dan Soekarno, Irman Gusman mengatakan bahwa pandangan dan pilihan politik boleh saja berbeda, tetapi persahabatan itu abadi sifatnya. “Inilah yang diteladankan Natsir dan Bung Karno,” katanya.
Acara peluncuran dan bedah buku dimulai dengan pengantar dari editor buku Efri Yoni Baikoeni, SS, MA, dilanjutkan presentasi dari pembicara dari Malaysia, Brunei dan Indonesia.
Dr. Gamal Abdul Naseer, dosen senior Universiti Brunei Darussalam (UBD) berbicara mengenai pemikiran M. Natsir tentang integrasi ilmu pengetahuan. Cendikiawan Brunei yang pernah mengambil S-3 di Universiti Kebangsaan Malaysia dengan meneliti pemikiran M. Natsir dalam Pendidikan Indonesia tersebut menjelaskan bahwa M. Natsir telah menggagas pendidikan integral tahun 1934, jauh sebelum dunia Islam memulai pemikiran “Islamization of knowledge” pada Konferensi Pendidikan Islam pertama di Makkah tahun 1977. Gagasan ini kemudian dilanjutkan Prof. Dr. Ismail Al Faruqi. Sementara di Malaysia, konsep “Pendidikan Bersepadu” diperkenalkan Dr. Anwar Ibrahim ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan Malaysia yang sangat mengagumi konsep pemikiran M. Natsir.
Cover buku Polemik Natsir vs. Soekarno
Sementara itu, pembicara dari Malaysia Prof. Dr. Firdaus Abdullah mendiskusikan mengenai pengaruh pemikiran M. Natsir di Malaysia. Mantan Wakil Rektor Universiti Malaya dan Senator Parlemen Malaysia itu menyatakan, sosok negarawan M. Natsir memberi inspirasi kepada gerakan pemuda Islam Malaysia yang tergabung dalam organisasi Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) yang pernah dipimpin Dr. Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia.
Hadir pula pembicara lain, diantaranya Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Sir Azyumardi Azra, MA yang memberi “testimoni” perjuangan Shofwan Karim ketika menyelesaikan S3 pada Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta tahun 2008 dengan judul penelitian “Nasionalisme, Pancasila dan Islam sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Pemikiran Mohammad Natsir). Bersama dengan Prof. Dr. Badri Yatim, MA, Azyumardi Azra menjadi promotor disertasi Shofwan Karim.
Sementara Rektor Universitas Yarsi Jakarta, Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D menjelaskan kiprah Shofwan Karim yang tidak hanya dikenal di dalam negeri namun juga di luar negeri khususnya keterlibatannya dalam kegiatan program pertukaran pemuda Indonesia ke luar negeri. Mantan Wakil Menteri Pendidikan RI tahun 2010–2011 tersebut mengakui memiliki banyak kesamaan jalan hidup karena pada masa mahasiswa pernah mengikuti program pertukaran pemuda ke Kanada mewakili Sumbar. Karena memiliki rekam jejak yang bagus, keduanya pun kemudian berpeluang menjadi “group leader“ bahkan “country coordinator”.
Satu-satunya pembicara wanita dalam acara ini Dr. (HC) Nurhayati Subakat, CEO PT Paragon Technology & Innovation yang menjadi sponsor dalam penerbitan buku biografi Dr. Shofwan Karim. Dalam kesaksiannya, wanita hebat di balik kesuksesan produk kosmetik “Wardah” ini mengulas kesannya terhadap buku ini. Menurutnya, dengan membaca buku ini setidaknya terdapat tiga hikmah yang dapat dipetik. Pertama, buku-buku ini dapat menjadi “legacy” sebagai pusaka bagi anak cucu. Kedua, buku ini bercerita sesuatu yang baru sehingga mengisi kekosongan yang ada “narrowing gap”. Ketiga, berbagi semangat mendokumentasikan sejarah agar nilai-nilainya dapat diwariskan kepada generasi Milenial yang dapat menuntun menuju masyarakat yang lebih beradab dan beradat.
Cover Buku Memoar Shofwan Karim
Ulama senior Sumbar Buya Mas’oed Abidin dan Didi Rahmadi, S.Sos, MA (dosen Fisipol UMSB) menyorot tentang perbedaan pandangan politik antara M. Natsir dengan Soekarno. Mantan sekretaris pribadi M. Natsir tersebut juga memberikan kesaksiannya tentang upaya-upaya M. Natsir dalam mewujudkan negara Islam di Indonesia secara konstitusional.
Tokoh pers nasional, H. Basril Djabar menceritakan kesan atas semangat kegigihan seorang Shofwan Karim sehingga bisa sukses dalam berbagai dimensi, tidak saja dalam bidang pendidikan, akademisi, maupun keluarga. Penasehat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar tersebut juga menjelaskan interaksi mereka yang cukup intens tidak saja karena sama-sama menjabat sebagai Komisaris PT Semen Padang namun juga kesamaan pandangan dalam mengembangkan dunia jurnalistik di Sumbar.
Acara diakhiri dengan penyerahan piagam penghargaan dari Rektor UMSB kepada para narasumber. Setiap peserta berkesempatan mendapat e-book kedua buku tersebut secara gratis.
| relumsb/bakaba
0 notes
tikaaulia · 4 years
Text
Hubungan Pancasila dengan UUD 1945 Pancasila itu bukan dasar negara, karena dasar negara adalah UUD. Bukan juga ideologi, karena ideologi itu sistem nilai. Bukan juga penyatu, karena yg menyatukan kita adalah keberagaman, bhineka tunggal ika. Lalu, apa itu Pancasila? Pancasila adalah sumber dari segala sumber kehidupan negara dan berbangsa Indonesia sebagaimana apa yg disampaikan oleh bapak Rachmat Rizqy Kurniawan pada mata kuliah Pancasila. Bahwa Pancasila adalah “Philosophische Grondslag” yang berasal dari bahasa Belanda yang berarti norma (lag), dasar (grands), dan yang bersifat filsafat (philosophische). Artinya sumber dari segala sumber kehidupan negara dan berbangsa Indonesia. Apa sih Hubungannya Antara Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945? Jika digambarkan dalam bentuk piramida, Pancasila berada di tingkat teratas yang menunjukan Pancasila sebagai suatu cita-cita hukum yang paling tinggi..pancasila menjiwai seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia. Kemudian pembukaan UUD 1945 menempati tingkat dibawah Pancasila yang merupakan sumber motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad berbangsa Indonesia yang merupakan cita-cita luhur dan mahal. Pembukaan yang berintikan Pancasila merupakan sumber bagi pasal UUD 1945. Hal ini disebabkan karena kedudukan hukum pembukaan berbeda dengan pasal UUD 1945, yaitu bahwa selain sebagai muqaddimah, pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan atau eksistensi sendiri. Akibat hukum dari kedudukan pembukaan ini adalah memperkuat kedudukan Pancasila sebagai norma dasar hukum tertinggi yang tidak dapat diubah dengan jalan hukum dan melekat pada kelangsungan hidup negara republik indonesia.pancasila adalah substansi esensial yang mendapatkan kedudukan formal yuridis dalam pembukaan UUD 1945. Pancasila memiliki nilai-nilai khusus dalam sila-sila nya, Sila pertama,ketuhanan yang maha esa, pada dasarnya memuat pengakuan atas eksistensi Tuhan sebagai sumber dan pencipta. Pengakuan ini sekaligus memperlihatkan hubungan antara yang mencipta dan yang diciptakan serta menunjukkan ketergantungan yang diciptakan terhadap yang mencipta. Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia mempunyai kedudukan yang khusus diantara ciptaan-ciptaan lainnya, mempunyai hak dan kewajiban untuk mengembangkan kesempatan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Sila ketiga, persatuan Indonesia, secara khusus meminta perhatian kepada warga negara akan hak dan kewajibannya terhadap negara agar selalu menjaga eksistensi negara dan bangsa. Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Memperlihatkan pengakuan serta perlindungan nya terhadap "musyawarah dan mufakat" Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban, setiap warga negara harus bisa menikmati keadilan yang nyata. Namun keadilan hanya akan didapat jika struktur sosial masyarakat sendiri juga adil. Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa Pancasila dan pembukaan UUD 1945 dapat dinyatakan sebagai pokok-pokok kaidah negara yang fundamental karena di dalamnya terkandung pula konsep-konsep, berikut : 1. Dasa-dasar pembentukan negara, yaitu tujuan negara, asas politik negara ( negara Indonesia republik dan berkedaulatan rakyat) dan asas kerohanian negara (Pancasila) 2 . Ketentuan diadakannya UUD, yaitu "...maka disusunlah kemerdekaan kebanggaan Indonesia dalam suatu UUD NRI." Hal ini menunjukkan adanya sumber hukum. Hubungan Pancasila dengan pembukaan UUD 1945 NRI tahun 1945 dapat dipahami sebagai hubungan yang bersifat formal dan material. Hubungan secara formal, menunjuk pada tercantumnya Pancasila secara formal di dalam pembukaan yang mengandung pengertian bahwa tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan asas yang melekat padanya,yaitu perpaduan asas-asas kultural, religius dan asas-asas kenegaraan yang unsur-unsurnya terdapat dalam Pancasila. Dalam hubungan yang bersifat formal antara Pancasila dengan pembukaan UUD NRI 1945 dapat
ditegaskan rumusan Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD NRI tahun 1945 alinea keempat. Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan pokok-pokok kaidah negara yang fundamental sehingga terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua macam kedudukan:
1. Sebagai dasarnya, karena pembukaan itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia.
2. Memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib hukum tertinggi.
Hubungan Pancasila dengan pembukaan secara material UUD 1945 adalah menunjuk pada materi pokok atau isi pembukaan yang tidak lain adalah Pancasila.
Oleh karena kandungan material pembukaan UUD 1945 yang demikian itulah maka pembukaan UUD 1945 dapat disebut sebagai pokok kaidah negara yang fundamental.
proses perumusan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, maka secara kronologis, materi yang dibahas oleh BPUPK yang pertama tama adalah dasar filsafat pancasila baru kemudian Pembukaan UUD 1945. Setelah pada sidang pertama pembukaan UUD 1945 BPUPK membicarakan dasar filsafat negara Pancasila berikutnya tersusunlah Piagam Jakarta yang disusun oleh Panitia 9, sebagai wujud bentuk pertama Pembukaan UUD 1945.
0 notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
indonesia-24 · 3 years
Text
Polemik Soekarno-Natsir Jadikan Pancasila Sebagai Mietsaqon Ghaliedza
Tumblr media
Petikan ceramah Menko Polhukam Mahfud MD pada acara Ijtima Ulama MUI, Hotel Sultan Jakarta, Selasa, 9/11/21. Pancasila sebagai dasar negara merupakan kesepakatan suci atau mietsaqon ghalidza bangsa Indonesia setelah melalui debat panjang yang brmutu tinggi. Perdebatan yang paling menonjol dan bermutu adalah perdebatan dua tokoh Islam yakni Soekarno dan Natsir sejak akhir 1930-an. Menurut saya keduanya sama-sama tokoh dan pejuang Islam, keduanya hanya berbeda dalam meletakkan hubungan antara Islam dan Negara ketika Indonesia akan merdeka saat itu. Keduanya sama-sama ingin melihat umat Islam maju di dalam negara yang juga maju. Semula, Soekarno ngotot mendirikan negara sekuler Indonesia sedangkan Natsir ingin negara Islam. Tapi akhirnya keduanya mencapai persetujuan yang indah, yakni, lahirnya negara kebangsaan Indonesia yang berketuhanan (religious nation state). Debat Soekarno - Natsir yang menjadi debat seluruh warga bangsa dapat diringkas sebagai berikut. Pada tahun 1938, sepuluh tahun setelah Sumpah Pemuda yang bertekat mendirikan negara merdeka itu, Sokarno tiba2 membuat serangkaisn tulisan di Majalah Panji Islam yang isinya memuji-muji Kemal Attaturk yang telah mengubah Turki dari negara Islam menjadi negara sekuler. Kata Bung Karno negara harus dipisahkan dari agama agar keduanya sama-sama maju seperti yang dilakukan oleh Kemal Attaturk. Tulisan-tulisan Soekarno dibantah oleh Natsir dengan argumen yang tak kalah hebat. Kata Natsir justeru negara itu harus menyatu dengan agama. Islam, kata Natsir, bisa menyediakan semua perangkat yang dibutuhkan oleh negara moderen sehingga kakau kita mau mendirikan negara merdeka Indonesia maka dasarnya yang tepat adalah Islam. Debat itu penuh retorika tingkat tinggi. Soekarno menulis artikel: Memudakan Pengertian Islam, Mengapa Turki Memisahkan Agama dari Negara, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, dan lain-lain. Natsir menyanggah dengan artikel-artikel: Persatuan Agama dan Negara, Ichwanus Shafa, Rasionalisme dalam Islam, Arti Agama dalam Negara, dan lain-lain. Ketika Indonesia akan merdeka perdebatan itu masuk ke dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di sana ada perdebatan tentang negara kebangsaan Islam dan negara kebangsaan sekuler. Sidang pleno pertama macet dan ditutup pada tanggal 1 Juni 1945 tanpa kesepakatan. Pada tanggal 22 Juni 1945 Bung Karno memimpin Tim 9 yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta. Di dalam Piagam tersebut sila pertama dari lima dasar negara adalah "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". BPUPK menyetujui Piagam Jakarta itu pada tanggal 10 Juli 1945. Tetapi Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) yang melanjutkan tugas BPUPK pada tanggal 18 Agustus 1945 memperbarui kesepakatan itu dgn menngganti tujuh kata pada sila pertama sehingga menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa". Dengan demikian lahirlah NKRI berdasar Pancasila sebagai kesepakatan luhur. Indonesia bukan negara sekuler seperti yang dulunya diperjuangkan oleh Bung Karno dkk. Juga bukan negara Islam seperti yang dulunya diperjuangkan oleh Natsir dkk. Soerkarno yang memang Islam santri menerima pentingnya agama dalam bernegara, Natsir yang juga santri tidak bisa menolak kenyataan bahwa bangsa ini majemuk srhingga tidak bisa dipaksa menjadi negara Islam. Itulah sebabnya NKRI berdasar Pancasila merupakan Darul Mietsaq menurut NU atau Darul Ahdi Wassyahadah menurut Muhammadiya yakni negara yang lahir karena kesepakatan dan perjanjian suci. Tak dapat dibantah, Soekarno mengambil peran utama dalam seluruh proses itu. Tak dapat dibantah pula bahwa dalam arti umum Soekarno, seperti halnya Natsir, adalah santri yang sholeh. Keduanya membuat gerbong yang sama-sama kuat untuk membangun Mietsaqon Ghaliedza. Di begara Pancasila, negara tidak memberlakukan hukum agama tertentu tetapi melindungi semua warga negara yang ingin melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Read the full article
0 notes
ayojalanterus · 3 years
Text
Kementerian Agama, Benarkah Hadiah Khusus untuk NU?
 KONTENISLAM.COM - Oleh: Lukman Hakiem, Politisi Senior, Mantan Staf Ahli Wapres Hazmah Haz dan M Natsir, dan Penulis Sejarah Umat Islam. Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menyebut Kementerian Agama sebagai “hadiah khusus” dari Pemerintah Republik Indonesia untuk Nahdhatul Ulama (NU), menuai polemik. Dalam pernyataannya saat webinar memperingati Hari Santri yang diselenggarakan PBNU, Rabu (20/10), Yaqut mengatakan, “Kemenag itu hadiah negara untuk NU bukan untuk umat Islam secara umum, tetapi spesifik untuk NU. Jadi wajar jika NU memanfaatkan peluang yang ada di Kemenag,” ujar Yaqut, sebagaimana dikutip dari situs berita kumparan.com (23/10/2021) Yaqut juga menjelaskan, lahirnya Kemenag dilatarbelakang oleh penghapusan Piagam Jakarta, yang berisi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Usulan ini, menurut Yaqut, berasal dari NU, sehingga lahirlah Kemenag. (Kumparan.com, 23/10) Awalnya, kata Yaqut, ada yang tidak setuju Kemenang hadir untuk melindungi semua agama, melainkan Kementerian Agama Islam, karena Kemenag adalah hadiah negara untuk umat Islam. Pernyataan Yaqut mendapat respon keras dari tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah, Anwar Abbas. Dalam keterangannya di laman berita yang sama, Anwar mengatakan apa yang diucapkan Yaqut sebagai ananiyah hizbiyyah (egoisme kelompok) yang bisa menyinggung kelompok lain di luar NU. Tetapi, kata Anwar Abbas, “ada bagusnya kehadiran dari pernyataan ini. Karena dengan adanya pernyataan tersebut menjadi terang benderanglah bagi kita semua warga bangsa, mengapa para pejabat di Kemenag dan juga para pegawainya dari atas sampai ke bawah, serta juga rektor UIN dan IAIN di seluruh Indonesia, nyaris semuanya dipegang dan diisi oleh orang-orang NU.” Anwar Abbas juga mengingat pernyataan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, yang menyatakan urusan agama harus dipegang oleh orang NU. “Cara berpikir dan cara pandang seperti ini, kalau kita kaitkan dengan masalah kebangsaan dan pengelolaan negara, tentu jelas sangat naif dan tidak mencerminkan akal sehat,” katanya. Lalu, benarkah Kemenag hadiah khusus dari negara untuk NU? Dalam buku “Utang Republik pada Islam” yang baru dirilis oleh Lukman Hakiem, seorang mantan jurnalis, mantan anggota DPR, tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dijelaskan kronologi berdirinya Kementerian Agama RI. Lukman Hakiem menulis, dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, dua hari setelah proklamasi kemerdekaan RI dibacakan, telah terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya Kementerian Agama. Panitia kecil PPKI yang terdiri dari; Otto Iskandar Dinata, Achmad Subardjo , Sajoeti, Iwa Kusumasumantri, Wiranatakusuma, Amir, Hamidhan, Ratulangi, dan I Ketut Pudja, mengusulkan dibentuknya tiga belas kementerian, di antaranya “Kementerian Urusan Agama.” Usul pembentukan Kementerian Urusan Agama ditolak oleh Mr. Johannes Latuharhary. Menurutnya, jika kementerian itu dibentuk, masing-masing agama akan tersinggung jika menterinya bukan dari mereka. Latuharhary mengusulkan urusan agama dimasukan dalam Kementerian Pendidikan. Selain Latuharhary, penolakan juga disuarakan oleh Iwa K Sumantri dan Ki Hajar Dewantara. Tokoh terakhir yang merupakan pendiri organisasi Taman Siswa, meminta urusan agama dimasukkan ke dalam Kementerian Dalam Negeri. Ketika pemungutan suara, pengusung Kementerian Agama kalah dan akhirnya usul itu dihapus dan diganti dengan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Keputusan ini tentu menimbulkan tanda tanya. Sebab, sejak zaman Belanda sampai Jepang sudah ada lembaga khusus yang mengatur soal urusan agama. Mengapa setelah merdeka justru tidak ada? Atas dasar itu, tiga orang tokoh Partai Masyumi dari Banyumas, Jawa Tengah; KH Abudarduri, H.Moh Saleh Suaidy, dan M Sukoso Wirjosaputro, dalam sidang Kominte Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di bulan November 1945, agar ada kementerian khusus yang mengatur urusan agama. Usulan tiga orang aktifis Partai Masyumi itu mendapat respon positif dari anggota KNIP, yang terdiri dari Moh.Natsir, Dr. Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi, N. Kartosudarmo, dll. Presiden Sukarno yang hadir dalam sidang itu memberi isyarat kepada Wakil Presiden Moh.Hatta, yang disambut dengan pernyataan Hatta sambil berdiri, “adanya Kementerian Agama tersendiri, mendapat perhatian pemerintah.” Pada tanggal 14 November 1945 Kabinet Sutan Sjahrir dibentuk, yang terdiri atas 16 Kementerian, termasuk Kementerian Negara yang bertugas mengurusi soal peribadatan. H.M Rasjidi, seorang tokoh Partai Masyumi, ditunjuk sebagai Menteri Negara. Dua bulan setelah menjadi Menteri Negara, H.M Rasjidi ditunjuk oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, menjadi Menteri Agama. Pada tanggal 3 Januari 1946, melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI) H.M Rasjidi diumumkan secara resmi sebagai Menteri Agama. Pada saat itu juga, Kementerian Agama secara resmi berdiri, dan umat Islam, kata Rasjidi, patut bergembira dan bersyukur. “Dengan adanya Kementerian Agama, urusan keislaman yang selama ini terbengkalai, kini dapat diurus sendiri. Pengadilan Agama, kas masjid, perjalanan haji, dan lain-lainnya lagi, ditangani oleh orang Islam sendiri,” ujar Rasjidi dalam pidatonya. Wakil Menteri Penerangan, Mr. Ali Sastroamidjojo, melalui RRI Yogyakarta, pada 4 Januari 1946, mengulangi kembali pengumuman tentang berdirinya Kementerian Agama. Ia mengatakan, “di dalam urusan Pemerintah Agung diadakan kementerian baru, ialah Kementerian Agama yang dipimpin oleh saudara H.Rasjidi sebagai menteri. Sebagai umum sudah mengetahui, Paduka Tuan H. Rasjidi tamat Sekolah Tinggi Islam di Kairo, Mesir, dan salah seorang pemimpin dari Partai Masyumi. Beliau adalah Guru Besar dari Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Dan, ketika Kabinet Sjahrir dibentuk, beliau diangkat menjadi Menteri Negara. Beliau adalah seorang ahli filsafat Islam yang terkenal.” H.M Rasjidi adalah tokoh yang memiliki jasa dalam diplomasi di luar negeri, bersama Haji Agus Salim, A.R Baswedan, dan Sutan Pamuntjak, untuk menggalang dukungan dunia Islam bagi kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan. Selain lulus dari Al-Azhar Mesir dan Sorbonne, Perancis, Rasjidi adalah lulusan Sekolah Al-Irsyad di Lawang, Malang, Jawa Timur. Rasjidi belajar di bawah bimbingan tokoh pendiri Al-Irsyad, Syaikh Ahmad Surkati. Bahkan nama Rasjidi adalah pemberian Syaikh Surkati, yang awalnya kesulitan menyebut nama asli tokoh ini, Saridi. Hari dimana H.M Rasjidi berpidato tentang berdirinya Kementerian Agama pada 3 Januari 1946, sampai hari ini diperingati sebagai Hari Amal Bakti Kementerian Agama. Keterangan soal tulisan ini bisa tuan dan puan rujuk di buku “Utang Republik pada Islam” yang ditulis oleh Lukman Hakiem, dan diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar pada bulan Oktober 2021 ini. Jadi, sejarah lahirnya Kementerian Agama adalah hal yang patut disyukuri oleh umat Islam dan bangsa ini. Tak perlu ada klaim yang bersifat egoisme kelompok yang bisa menambah gaduh hiruk pikuk politik. Sebab, jika ini terus terjadi, jangan salahkan jika ada orang yang bertanya, “Jika lahirnya Kementerian Agama adalah hadiah khusus dari negara untuk NU, kenapa yang dijadikan menteri agama pertamanya H.M Rasjidi, tokoh Masyumi dan murid dari Syaikh Surkati?” (republika)
from Konten Islam https://ift.tt/3Cm93SI via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/10/kementerian-agama-benarkah-hadiah.html
0 notes
yudaaldurra · 4 years
Photo
Tumblr media
Sikap PBNU Terhadap RUU HIP *PERKUAT PANCASILA SEBAGAI KONSENSUS KEBANGSAAN* بسم الله الرحمن الرحيم Setelah melakukan pengkajian mendalam terhadap Naskah Akademik, rumusan draft RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan Catatan Rapat Badan Legislasi DPR RI Dalam Pengambilan Keputusan atas Penyusunan RUU HIP tanggal 22 April 2020, serta mencermati dengan seksama dinamika yang berkembang di masyarakat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) perlu menyampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa segala ikhtiar untuk mengawal, melestarikan, dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah bangsa, dasar negara, dan konsensus nasional patut didukung dan diapresiasi di tengah ancaman ideologi transnasionalisme yang merapuhkan sendi-sendi keutuhan bangsa dan persatuan nasional. 2. Bahwa Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa’) yang disepakati sebagai dasar negara adalah hasil dari satu kesatuan proses yang dimulai sejak Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dihasilkan oleh Tim Sembilan, dan rumusan final yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Secara historis, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah hasil dari moderasi aspirasi Islam dan Kebangsaan. Dengan rumusan final Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, Indonesia tidak menjelma sebagai negara Islam, juga bukan negara sekuler, tetapi negara nasionalis-religius. 3. Bahwa rumusan final Pancasila merupakan legacy terbesar yang diwariskan para pendiri bangsa yang terdiri dari banyak golongan. Karena itu, menonjolkan kesejarahan Pancasila 1 Juni dengan mengabaikan kesejarahan 22 Juni dan 18 Agustus berpotensi merusak persatuan, membenturkan agama dengan negara, dan menguak kembali konflik ideologis yang akan menguras energi bangsa. Tindakan apapun yang dapat menimbulkan mafsadah bagi persatuan nasional WAJIB dihindari, karena Pancasila dirajut oleh para founding fathers justru untuk mencegah perpecahan dan mempersatukan seluruh elemen bangsa dalam sebuah tenda besar. (Lanjut kolom Komentar) https://www.instagram.com/p/CBsLhyQndh1/?igshid=1ejp62k5vyhml
0 notes
paktung79 · 4 years
Photo
Tumblr media
TJAMKAN PANCASILA Pernah suatu ketika guru seniorku mempertanyakan 1 Juni sebagai Harlah Pancasila 😁 belio mengatakeun bahwa itu debatebel, apa iya cuma soekarno? nyatanya yang dipake punya M Yamin, ada jg Mr Soepomo, katanya menggebu gebu 😀 belio ini guru senior sekaligus gupres yang kalo ngomong kudu ati2 .. Salah kata saja bisa berabe, sehingga sebage yunior, saya cuma mengiyakan 🤣 Kalo diterangkan sebenere panjang, dan cikgu ppkn @lilisrina.santi yang paling kompeten😀 aku cm mudeng dari historinya saja .. Jadi pancasila tidak bisa lepas dari BPUPKI badan bentukan jepang yg bertugas menyiapken konsep awal berdirinya republik ini nantinya, dibentuk 1 maret namun diresmiken 29 April 1945. Salah satu produk jadinya adalah dasar negara .. Melalui sidang beruntun mulai 28 mei hingga 1 Juni 1945, nah pada tiga hari terakhir inilah konsep dasar negara diutarakan melalui 3 tiga tokoh yg fenomenal itu. Pertama Pak M Yamin 29 Mei yang menyebutken Periketuhanan di nomor tiga kalo tidak salah nama yang diusulken adalah dasar negara indonesia maju, Kedua Prof Soepomo 30 mei yang bahkan tidak ada ketuhanan dalam lima elemen dasarnya, dan yang terakhir adalah Cak Kusno yang menyebut ketuhanan berkebudayaan dipaling bontot 😊 Pada masa pidato hari ketiga tanggal 1 Juni 1945 inilah pertama kali disebutkan bahwa dasar negara ini bernama PANCASILA .. setelah melewati reses sebulan kemudian 17 Juli 1945 lahirlah piagam jakarta dimana pancasila termaktub dalam alinea terakhir dan dirubah lagi untuk kemudian menjadi Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Presiden Soekarno 19 Desember 1965 didepan golongan karya nasional disebutken bahwa pancasila menerima ideologi apapun, selama ideologi itu mau menjadiken pancasila sebagai dasar. Agak aneh dg pendapat kancaku guru sejarah yang sering berkelakar diruang guru, bahwa pancasila tidak relevan, ini seperti pendapat dedengkot komunis Djafar Nawawi Aidit, yang mengatakan pancasila hanyalah steping stone, bukan ultimate solution. Atau sohib cak Kusno sendiri SM Kartosuwirjo yang menganggap pancasila sebagai berhala. Saya percaya dg dosen saya, bahwa pancasila itu hebat namun bahayanya jg luar biasa 😀 JIKA DISALAH GUNAKAN https://www.instagram.com/p/CA4d71EHdkg/?igshid=oxyg0khmduu
0 notes
noturmilkyway · 5 years
Text
Pancasila Sebagai Dasar Negara
Penjabaran dalam Pembukaan UUD 1945
Setelah mengetahui bagaimana sejarah perkembangan Pancasila dari masa ke masa, maka pada tulisan ini akan membahas bagaimana Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dalam penjabaran Pembukaan UUD 1945.
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Seperti yang kita tahu, dalam tulisan sebelumnya para pendiri negara telah sepakat bahwa dasar negara adalah Pancasila. Karena pandangan hidup bangsa harus sesuai ciri khas bangsa Indonesia dan diambil dari kepribadian tertinggi bangsa. Pancasila dijadikan dasar untuk mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Pancasila sebagai dasar negara artinya ideologi Pancasila menjadi landasan, panduan, dan pedoman resmi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai dasar negara maka pemerintah wajib berlandaskan pada pancasila saat mengatur penyelenggaran negara. Adapun warga negara wajib menjadikan pancasila sebagai landasan moral dalam berperilaku sehari-hari. Pancasila sebagai dasar Negara memiliki arti bahwa pancasila menjadi pedoman dalam penyelenggarakan segala norma hukum dan dalam penyelenggarakan Negara.
SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Seperti yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya, sejarah lahirnya Pancasila juga merupakan sejarah bagaimana awal Pancasila ditetapkan menjadi dasar negara. Pada tulisan ini akan membahas secara singkat bagaimana lahirnya Pancasila hingga menjadi dasar negara Indonesia.
1. Pembentukan BPUPKI (29 April 1946)
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau kerap disingkat menjadi BPUPKI. BPUPKI berdiri bertujuan untuk membahas semua hal yang berhubungan dengan tata pemerintahan bangsa Indonesia, termasuk dasar negara Indonesia. Diketuai oleh Dr. Radjiman Widyodiningrat , sidang BPUPKI  menjadi sejarah Pancasila sebagai dasar negara. Sidang pertama dilakukan pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 dengan 33 pembicara. Ada beberapa tokoh yang mengusulkan tentang dasar megara, yaitu Mohammad Yamin, Soepomo, dan Ir. Soekarno. Dari usulan tiga tokoh tersebut lalu ditampung dan dibahs kembali oleh kepanitiaan yang lebih kecil yang disebut Panitia Sembilan.
2. Panitia Sembilan (22 Juni 1945)
Hasil rumusan Rancangan Pembukaan UUD yang dibuat oleh Panitia Sembilan ini disebut sebagai sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Berikut rumusan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta :
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksan dalam permusaywaratan/perwakilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
3. Sidang BPUPKI II (10-16 Juli 1946)
Untuk membahas rumusan yang dibuat oleh panitia sembilan, kemudian BPUPKI mengadakan sidang kedua. Dari sidang tersebut menghasilkan beberapa keputusan, yang salah satunya adalah kesepakatan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila seperti yang tertuang dalam Piagam Jakarta.
4. Sidang PPKI (18 Agustus 1945)
Sidang PPKI kemudian dilakukan sehari setelah kemerdekaan Indonesia dan merubah sila pertama yang diusulkan oleh Muhammad Hatta, yang pada awalnya berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemudian diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
FUNGSI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Adapun beberapa fungsi dari Pancasila sebagai dasar negara.
1. Fungsi pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
2. Suasana kebatian dari UUD.
3. Penyemangat bagi UUD, pemerintah, dan MPR dengan ketetapan No. XVIIV MPR/1998
4. Mengembalikan kedudukan pancasila sebagai dasar Negara RI.
5. Memiliki norma yang harus dipegang teguh oleh pemerintahan dan penyelenggara untuk cita-cita moral seluruh rakyat.
6. Sebagai cita-cita hokum bagi hukum dasar Negara Indonesia.
DASAR HUKUM PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Pancasila sebagai dasar negara sesuai dengan bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat ”…....., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan Yang Maha Esa; kemanusia yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Di dalam Pembukaan UUD 1945 tidak tercantum kata Pancasila, namun Indonesia sudah bersepakat bahwa lima prinsip yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia disebut Pancasila yang isinya sama dengan pembukaan UUD alinea ke-4 di atas. Kesepakatan tersebut, tercantum pula dalam berbagai Ketetapan MPR-RI diantaranya sebagai berikut :
1. Ketetapan MPR – RI No.XVIII/MPR/1998 Pasal 1
Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara
2. Ketetapan MPR No. III/MPR/200
Sumber Hukum dasar nasional yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa; kemanusia yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
PENJABARAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DALAM PEMBUKAAN UUD 1945
Naskah teks Pembukaan UUD 1945 terdiri dari empat alinea. Sedangkan penjabaran Pancasila sebagai dasar negara berada pada alinea keempat, yaitu sebagai berikut
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Pada alinea keempat ini menegaskan tujuan dan prinsip dasar untuk mencapai tujuan nasional, menegaskan bahwa bangsa Indonesia mempunyai fungsi yang sekaligus menjadi tujuan, menegaskan bahwa negara Indonesia berbentuk Republik, dan menegaskan bahwa negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila. Dalam Pembukaan UUD 1945 terkandung pokok-pokok pikiran yang merupakan falsafah negara Indonesia Pancasila yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa (sila I)
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila II)
3. Negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan (sila III)
4. Negara yang berkedaulatan rakyat (sila IV)
5. Negara mewujudkan keadilan sosial (sila V)
0 notes