Text
semburat cahaya jingga menyelimuti laguna pelangi, anak kecil itu sibuk dengan adonan pasir yang katanya akan dijadikan istana kediaman organisme laut itu perlahan merasa bosan. Hendak beranjak dari duduknya, pria bertato yang entah darimana muncul dengan muka masam. Biru kecil memandangi pria bertato itu dengan kepala penuh tanya. Tiba tiba terbesit nasehat ibu yang beberapa waktu lalu sudah dipeluk langit “orang bertato itu orang jahat ru, hindari mereka” ketakutan melanda biru kecil, siapa yang menyangka sore hari yang sepi ini ia memiliki agenda perjumpaan dengan pria bertato.
Melihat seorang anak kecil dengan gestur tubuh yang menunjukan ketakutan, pria yang memiliki tato diseluruh tubuhnya itu bukannya tidak peka tapi sudah terbiasa dengan reaksi anak kecil terhadap kehadiran dirinya. “jangan takut kemari, duduklah aku tidak akan memakanmu”rona pucat tanpa lekukan senyuman dari kanvas hidup itu melontarkan beberapa kata. Dengan kekalutan jiwa, Biru menggerakan dirinya untuk lebih dekat ke seni berjalan itu. “kuperhatikan kau sendirian disini, dimana ibumu?” pria bertato lagi lagi membuka percakapan sambil mendudukan bokongnya dipasir putih setelahnya menoleh dan memperhatikan wajah lusuh Biru. Biru terdiam ia memandang jauh ke ujung laguna pelangi, hening hingga akhirnya Biru membuka suara “Ibu sudah dipeluk kuat oleh langit”teman kecil 9 tahun itu tertunduk, kali ini Biru bahkan sudah tidak sanggup untuk terisak. Orang dewasa disebelahnya masih dengan ekspresi yang sama tidak sekalipun menunjukan kilau kesedihan atau sekedar mengucapkan sepotong doa penghiburan untuk Biru kecil.
Canvas berjalan itu mengeluarkan sebuah permen manis coklat dari kantungnya lalu membuka kemasannya dan memberikan kepada Biru, lagi lagi dengan hati hati Biru menolak pemberian pria iu dengan alasan bahwa ibunya pernah memberikan arah budi kepada Biru kecil bahwa pria bertato adalah orang jahat. Ya, baiklah itu dapat saja dicerna dan dimengerti oleh si pemberi makanan manis, dengan santai ia memasukan benda pipih manis itu ke dalam mulutnya seolah mengisyaratkan lihatkan aku tidak dipeluk langit bahkan setelah menggali kenikmatan dari benda pipih dengan cita rasa manis itu “bagaimana kamu mendeskripsikan orang baik dan orang jahat, maksudku apa itu orang baik dan yang jahat” simfoni kata terlontar bersamaan dengan tertelannya makanan manis dari gerbang ekspresi pria bertato. Biru berpikir cukup lama untuk apa yang baru saja ia dengar, butuh waktu untuk anak sekecil itu mencerna narasi yang dilontarkan dari “pria jahat”
Masih berpikir Biru akhirnya mengeluarkan suara “kata ibuku orang yang bertato itu orang jahat dan orang yang bertutur kata lembut itu baik” tidak berani menatap kanvas emosi milik pria bertato. Mendengar penuturan anak disebelahnya untuk pertama kalinya sejak mereka bersua, pria bertato melekukan bibirnya membentuk simpul senyuman. “bagaimana jika orang bertato memberikan lengan kekarnya untuk seorang nenek dan menuntunnya ke seberang jalan yang ramai, apa pria itu masih kau katakan jahat? dan kau kecil, bagaimana jika seorang yang bertutur lembut tanpa alasan melempar seekor kucing yang tengah mencari tulang untuk anaknya yang kelaparan dibawah jembatan? Apa masih kau sebut baik nak?” petanyaan yang terlontar dari “pria jahat” anggapan Biru itu siapa sangka menimbulkan banyak pertanyaan, keraguan, hingga merubah dimensi berpikir Biru kecil.
1 note
·
View note
Text
Menulis sesuatu yang sederhana sebagai penghargaan untuk diriku sendiri karna menurutku setiap orang perlu mencintai diri mereka sendiri. Sebagai illustrator yang sudah melukis dan membuat ilustrasi 2D, walaupun karya gambarku belum begitu banyak dan ada beberapa yang sudah aku posting di media sosial.
Biodata Sederhana Tentang Aku
Setiap hari aku menikmati pagi dengan melihat langit jingga di antara kabut gunung, meminum secangkir kopi dengan dikelilingi udara yang bersih, Aku suka tempat yang biasa saja dan kebetulan aku tinggal di tempat yang seperti itu.
Aku lahir dari keluarga yang bekerja di pemerintahan, dan kedua buyut seorang petani, mungkin keluargaku beruntung karna mereka selalu bekerja keras, sejak kecil aku selalu dapat uang jajan yang sedikit karna ayahku seorang pegawai biasa dan dia menggunakan uang gajinya untuk investasi poperti, dia punya program di masa hidupnya, walau dengan banyak cicilan di bank. Sejak kecil aku berteman dengan orang sederhana karna keuanganku yang terbatas, ayahku seorang pegawai biasa yang memberi uang jajan kecil, walau bertahun-tahun keluargaku bisa melunasi cicilan di bank. Waktu smp aku suka jalan kaki bersama teman-teman dari pada bayar ojeg, karna aku suka jajan cemilan, aku lebih baik di belanjakan makanan cemilan dari pada bayar tukang ojeg, jadi aku suka jalan kaki kalau pulang. Bahkan waktu aku sekolah sore jam 18.00 aku baru sampai rumah, aku pernah kebanjiran di jalan dan aku pulang dengan basah kuyup, baju seragam dan buku pada keriting. pengalaman yang selalu aku ingat seumur hidupku.
Beranjak dewasa, tepatnya kuliah aku sering bekerja part time karna kebutuhan kuliah banyak dan aku tidak bisa mengandalkan terus orang tua, apalagi aku punya adik yang masih sekolah, aku tahu orangtuaku banyak sekali beban secara keuangan, dengan gaji pegawai yang tidak banyak dan poperti yang cukup untuk membiayai adikku. Untuk biaya-biaya aku di kampus aku bekerja cukup keras, dokter bilang aku kena penyakit Magg ( lambung) jadi aku punya riwayat itu karna pola makan yang sedikit, kadang di tengah pekerjaanku aku suka lupa makan atau dengan porsi yang sedikit. Akibat dari magg, walaupun aku banyak makan badanku selalu kurus.
Pada kelulusan kuliah aku mencoba jadi penulis website dan mengembangkan website karna aku merasa kelelahan karna harus standbay di lapangan karna pekerjaanku selama kuliah. Selain itu, aku juga ingin mengatur pola makan untuk mengobati Magg dan menggendutkan badan, namun dua tahun wabah korona di mana-mana itu membuatku takut keluar rumah. Tahun 2019, awal 2020 dan pertengahan 2022 aku masih aktif bekerja dan berkegiatan di lapangan. Itu momen sebelum dan sesudah corona.
Catatan Love
Aku memandang cinta sesuatu yang istimewa, dan hubungan akan berjalan harmonis kalau menemukan teman yang memiliki cara pandang yang sama dan banyak kecocokan, aku suka membaca novel tentang cinta dan menurutku itu sesuatu yang indah dan bermakna untuk setiap orang.
Dalam tulisan ini aku ingin bercerita tentang apa yang ingin aku tulis saja dari momen yang pernah aku lewati. Pada tahun 2021 aku bertemu lagi dengan teman kuliahku secara online, ( aku ingin menulis dia saja ) banyak masalah yang sudah aku dan dia lewati, dan itu mempengaruhi dia secara emosional.
aku tidak tahu apa yang dia pikirkan namun aku berusaha memberitahunya untuk berpikir secara positif, agar perasaan mapun emosinya lebih baik. aku tahu tidak mudah melalui masa sedih, namun berulang kali aku merasa sendiri dan kesepian walau aku dekat denganya, aku merasa seperti tidak merasa ada, walaupun menjadi seorang teman, aku merasa dia membenciku, dengan menjauhiku di media sosial, aku tahu itu karna banyak masalah di antara kita.
Ditenggah banyak masalah itu aku merasa sunyi dan murung, dia seperti anak kecil dengan ulahnya, seperti seorang yang emosinya sedang labil, karna untuk paham dengan orang-orang secara sosial pelu banyak memahami mungkin ada alasan yang membuat seseorang berulah. Aku masih ingin tahu apa aku ini masih temannya? apa masih ada waktu untuk mengatasi masalah kalau memang itu sumbernya? atau dia membenciku, Makanya dia selalu berulah?.
Aku merasa sisi introvetku semakin memburuk, aku perlu menghilangkan sunyi dan sendirian terlalu lama karna itu memperburuk sisi introvetku, walau aku sebenarnya bukan 100% introvert, aku secara diagnosa tes karakter aku seorang ambivert. Dan mengenal temanku yang satu ini dengan berbagai banyak masalah dan buruknya komunikasi, memperburuk sisi introvetku.
( Kalau memang dia membenciku, aku bersumpah tidak ingin mengenalnya lagi dan tidak ingin bertemu dengan dia lagi )
Jika dia memang membenciku, sebaiknya aku move on dan melupakanya, karna itu membuat sisi introvetku semakin buruk dan aku merasa murung setiap hari. aku yakin di semesta ini masih ada orang baik yang berarti, orang yang akan membuatku belajar tentang cinta dan melindungi, membuat hari-hari berwarna, ramah dan menyenangkan. Itu saja yang ingin aku tulis dengan jujur dan apa adanya.
Catatan Kesukaan Aku
Aku sebenernya suka dengan kopi tapi aku suka merasa (magg) kalau kadar kavein terlalu tinggi
Aku banyak makan tapi kurus
Aku suka melihat keindahan alam, tapi akhir-akhir ini aku malas jalan kaki jauh-jauh maupun jogging tiap minggu
Aku kurang suka olahraga, mungkin aku tidak cocok jadi pacar atlit
Walau aku kurang suka olahraga, aku bisa berenang dan cukup suka berenang kalau aku renang di kolam air hangat, kalau air dingin, aku malas
Aku tinggal di wilayah pertanian di sekitar pergunung, cuacanya dingin di tempatku
Aku cuma pernah di diagnosis Magg gara-gara aku jarang makan waktu sibuk kerja
Aku suka naik wahana korak-korak dan makan aromanis
Aku suka gado-gado
0 notes
Text
saat usiaku bertambah satu angka lagi,
pernah aku membuat resolusi
ingin mencintai diriku sendiri
demi pribadi yang lebih baik lagi.
langkah pertamaku adalah belajar untuk mulai mensyukuri hal yang telah tuhan anugerahi. juga sebagai bentuk menghargai setiap nilai kecil yang ada pada diri.
perlahan aku mulai sadari,
semua hal yang dulu sempat ku inginkan
bukanlah apa-apa saat aku sudah terbiasa dengan yang namanya mensyukuri.
menjelang usia baru lagi,
tuhan membuatku menyadari bahwa segala kegilaan tentang duniawi, juga standar-standar yang tidak manusiawi mampu menyakiti. baik mental maupun hati.
tuhan juga akhirnya membuatku berdamai dengan masa lalu yang harusnya telah ku urai. membuatku akhirnya menerima apa yang telah ia beri, sekaligus merelakan apa yang sudah pergi. hal yang seharusnya sudah lama ku lakui. hal yang pernah teguh ku peluk walaupun aku tahu itu mampu menyakitiku lebih dalam lagi. memori.
kini semuanya telah usai,
terangkat sudah seluruh beban mental dan hati yang selama ini mencederai.
setelah ini aku akan tersenyum kembali
dan memulai semuanya dari awal lagi.
akan segera aku raih mimpi yang selama ini sulit ku gapai. juga akan ku lalui hidup penuh pelajaran yang harus selalu ku pelajari.
bukan hanya aku, tapi ku harap kita semua bisa lalui agar kita terus perbarui diri menjadi versi yang jauh lebih baik dari kita di hari ini.
–
Jingga. ditulis 191228 teruntuk 191229.
#jingga#tentang jingga#tulisan jingga#tulisan#usia#standar manusia yang tak manusiawi#menjadi diri sendiri#resolusi#lebih dari sekedar ekspektasi#bertambah usia tak hanya tentang angka#tentangkita#tentang aku#tentangkehidupan#apa adanya#pergi#dari jingga yang sering gamang#jingga yang beranjak dewasa#pelajaran hidup#hati#bersyukur#nilai diri#menghargai#tentang mengikhlaskan#ikhlas#menerima#menerima apa yang telah tuhan beri#mensyukuri apa yang telah dimiliki#melepaskan#melepaskan apa yang telah pergi#melepaskan apa yang seharusnya sudah terlepas
28 notes
·
View notes
Text
Perjalanan Adaptasiku Bersama Buku
Aku pribadi yakin hampir semua dari kita pernah membaca buku atau menonton film tentang wabah, virus, dan berbagai film menakutkan yang di dalamnya orang-orang mesti berbuat hal di luar kebiasaan mereka untuk bertahan hidup. Tapi, pernahkah kita bermimpi atau sekadar membayangkan untuk menjadi bagian di dalamnya? Tiap helaan napas dihantui kecemasan. Kematian adalah hal yang biasa, tapi senantiasa membuat kita berjengit tiap mendengar angkanya. Di tengah kericuhan pandemi, akankah mampu kita beradaptasi?
Adaptasi, sebuah kata yang cukup familiar di otakku yang notabene berjurusan IPA di sekolah menengah atas. Kata adaptasi banyak aku temui di buku pelajaran, khususnya biologi yang erat kaitannya dengan ruang lingkup makhluk hidup. Adaptasi merupakan refleks yang dimiliki makhluk hidup untuk bertahan di lingkungan dan suasana baru dengan cara membiasakan serta menyesuaikan diri. Dengan adanya pergeseran dari kehidupan yang biasa dijalani, kita dipaksa untuk berubah. Kita dipaksa untuk menyesuaikan, membiasakan, dan menempatkan diri pada wadah yang tak lagi sama.
Selama ini kita sudah hidup berdampingan dengan berbagai ancaman penyakit. Jatuh sakit, kemudian sehat kembali. Itu hal yang lumrah. Lalu, apa yang membedakan wabah COVID-19 ini? Jawabannya jelas karena belum ditemukan vaksin yang mampu membebaskan kita dari belenggu pandemi yang telah berjalan hampir dua tahun belakangan ini. Keluar rumah sedikit saja, berinteraksi dengan sesama barang sebentar saja mampu mendekatkan kita pada ancaman kematian.
Hakikat kita adalah sebagai makhluk sosial, tapi nyatanya malah dikurung di sepetak rumah dan dituntut berdiam diri hingga pandemi mereda. Hampir semua lapisan masyarakat terdampak. Aku yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah pun merasa sesak. Di dunia pendidikan, aku yang seorang mahasiswa mesti berhadapan dengan layar gawai hampir setiap saat alih-alih ke kampus dan menghadiri kelas tatap muka. Kurikulum pembelajaran juga banyak mengalami perubahan, konon katanya menyesuaikan dengan keadaan yang justru membuat individu yang terlbat di dalamnya stres. Tidak hanya aku, keluarga, teman-teman, semua orang merasa demikian. Lantas kita bisa apa?
Beradaptasi, menyesuaikan diri. Sebab kita belum punya pilihan lain selain mengatur diri, menanti pandemi usai dengan duduk diam di rumah tanpa harus hidup seperti zombie. Linglung, hilang arah, tanpa semangat hidup.
Di luar kesibukan sehari-hari seperti sekolah, kerja, dan urusan rumahan, kita semua tentu memiliki hobi. Hal-hal yang dilakukan untuk sejenak melepas penat. Hal-hal yang mampu membuat kita merasa kembali hidup. Aku sendiri memiliki cukup banyak coping mechanism di sela-sela kehidupan perkuliahan beserta tetek bengek organisasi yang tidak main-main padatnya. Di antaranya adalah menggambar (aku menyenangi seni walau tidak terlalu mahir), menonton serial film dari berbagai negara (hitung-hitung belajar bahasa juga), belanja buku kalau ada uang, dan yang paling utama adalah membaca buku. Jujur, dua hal terakhir adalah yang paling ampuh, hehe.
Akan kupaparkan sedikit alasan kenapa aku suka membaca. Dari kecil, aku dibiasakan membaca oleh kedua orang tuaku. Aku bersyukur karenanya dan kebiasaan itu masih melekat hingga sekarang. Buku favoritku semasa kecil ialah Cerita Rakyat dari Belanda. Cerita tentang lilin ajaib yang bisa mengabulkan segala permohonan, lonceng bernyanyi, serta kisah kuda kayu yang mengajarkan untuk tidak berputus asa dalam meraih sesuatu masih lekat berbekas dalam ingatan. Setiap ceritanya begitu berkesan entah bagi diriku di masa kecil maupun bagi aku yang telah beranjak dewasa ini. Bukunya masih kusimpan rapi walaupun bukunya sekarang sudah dalam keadaan telanjang (sampulnya lepas, saking seringnya kubaca ulang).
Bagiku, buku adalah pintu kemana saja, tiket keliling dunia. Bukan hanya dunia nyata, tapi juga dunia yang hanya bisa kita kunjungi tanpa benar-benar terlihat entitasnya. Masa-masa lampau jauh sebelum kita lahir, kastil-kastil sarat sihir, dunia dengan makhluk-makhluk yang hanya bisa kita selami dengan imajinasi. Buku menyajikan itu semua.
Selama pandemi, aku coba untuk mengelilingi keseharian saya dengan buku. Setiap jeda waktu, setiap waktu kosong, saya usahakan isi dengan membaca. Beberapa kali aku sempat mengunjungi toko untuk sekadar mengusir suntuk dan memanjakan mata dengan jajaran buku yang dipampang. Intensitas membeli buku pun meningkat tak terelakkan. Kebanyakan masih menumpuk belum terjamah. Biarlah mereka mengendap dulu, begitu pikirku tiap menatap tumpukan buku yang melambai-lambai minta dibaca.
Aku termasuk tipe pembaca yang lamban dan tidak suka membaca banyak buku dalam waktu bersamaan. Fokusku mudah terpecah dan sering kali tertukar antara isi buku satu dengan buku yang lain. Karenanya, tidak banyak buku yang kubaca selama pandemi ini. Mari, akan kuajak kalian berkenalan dengan beberapa judul buku yang telah kubabat habis beserta kesan-kesannya.
Setelah Aku Pergi (Ways to Live Forever) – Sally Nicholls
Sebagai salah satu tipe orang visual, aku tidak akan mengelak kalau yang pertama kali menarik minat terhadap suatu buku adalah sampulnya. Benar, sampul buku ini cantik sekali. Didesain oleh Martin Dima, sampulnya didominasi warna jingga dengan ilustrasi anak lelaki yang tak kalah lucu.
Pertama, apa yang pertama kali terbesit di pikiran kalian saat melihat sampul buku ini? Buku anak-anak kah? Dengan sampul yang seperti ini, kukira buku ini pasti ditujukan untuk anak-anak yang baru mulai gemar membaca. Jika sempat berpikir begitu, kalian salah besar—aku salah satunya. Kedua, cerita apa yang kalian harap penulis sajikan dilihat dari sampul buku ini? Apabila pembaca sekalian mengharapkan cerita ringan untuk sekadar selingan, kalian salah untuk kedua kalinya. Nyatanya, buku ini jauh dari kata ringan.
Buku ini mengisahkan tentang Sam, bocah laki-laki berusia 11 tahun yang mengidap penyakit Leukemia. Mengetahui jatah hidupnya di dunia tak lama lagi, Sam memutuskan untuk menulis buku mengenai bagaimana ia hidup berdampingan dengan penyakit mematikan itu, bagaimana ia berusaha mewujudkan keinginannya, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terbesit di benaknya. Dengan ditemani orang-orang terdekatnya, Sam berusaha menikmati sisa waktunya sebagai bocah pada umumnya tanpa mencemaskan yang namanya kematian.
Dari sinopsisnya saja, sepertinya anak-anak akan ngeri duluan begitu menemui kata kematian. Apalagi kata tersebut banyak disebutkan secara eksplisit di tiap babnya.
Tulisan-tulisan yang Sam buat kebanyakan berupa daftar. Pada bab-bab awal, Sam menuliskan beberapa keinginan yang ingin diwujudkannya dengan bantuan sahabat seperjuangannya, Felix.
Dilihat dari mana pun, poin-poin tersebut rasanya sulit direalisasikan oleh seorang bocah yang waktu hidupnya tak lama lagi. Tapi, si tokoh utama dan sobatnya tidak berpikir demikian. “Kita bisa melakukan apa saja, apa saja!”, begitu katanya. Saat salah satu keinginan tersebut mustahil diwujudkan sebagaimana harusnya, Sam akan mencari jalan lain, jalan yang tak terpikirkan oleh orang dewasa.
Ada pun beberapa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis dalam kertas kecil. Semuanya diberi nama pertanyaan-pertanyaan tak terjawab lengkap dengan nomor. Pertanyaan yang tertera kurang lebih seperti, ‘Kenapa Tuhan membuat anak-anak jatuh sakit?’, ‘Sakitkah kalau mati?’, atau ‘Bagaimana kita tahu kita sudah mati?’. Tidak ada setitik ketakutan, yang tersirat murni rasa ingin tahu anak kecil terhadap ranah abu-abu kematian.
Meskipun gaya penulisan yang digunakan sederhana, buku ini lebih cocok dibaca oleh orang dewasa yang merasa jenuh dengan hidup. Walau bertokohkan anak-anak, makna yang berusaha disampaikan penulis terasa menohok hati. Kita seakan dikenalkan kembali pada kepolosan bocah yang diperkenankan bebas bermimpi dan dengan penuh harap menggantungnya tinggi-tinggi. Sesuatu yang sulit diwujudkan bukan berarti tidak bisa. Tuhan tak menciptakan satu jalan saja menuju Roma. Ingat, yang penting adalah perasaan yang ditimbulkannya.
Selain itu, kisah ini mengajarkan kita untuk menghargai waktu. Apa yang bisa dilakukan sekarang, lakukan. Dengan selesainya membaca buku ini, aku jadi tergerak untuk melakukan hal-hal yang telah lama kutunda-tunda, mimpi-mimpi berdebu yang sudah lama tersimpan. Kita mungkin bisa menunggu dan menunda, tetapi waktu tidak. Sebab tidak seorang pun tahu sejauh mana garis hidup kita membentang.
Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982 – Cho Nam Joo
Buku ini pertama kali diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2019. Pada masanya, buku ini sempat menjadi best-seller dan masih begitu hingga sekarang karena ternyata buku ini telah dibaca oleh artis kelas dunia, RM dari BTS, yang menyebabkan buku ini makin populer saja.
Di dalam buku ini, kita akan dibawa mengarungi kehidupan seorang wanita korea Kim Ji-Yeong yang hidupnya biasa-biasa saja melalui kacamata Kim Ji-Yeong sendiri. Mulai dari Kim Ji-Yeong kecil yang hidup dengan keluarganya, Kim Ji-Yeong yang mulai mencari jati diri saat beranjak remaja, hingga lika-liku kehidupan dunia nyata saat mencapai usia dewasa dan menikah.
Si tokoh utama, Kim Ji-Yeong, berhasil menarik simpatiku karena kami memiliki kesamaan. Tidak, aku tidak mengalami hidup seberat yang dialami Kim Ji-Yeong, tapi aku cukup mengerti perasaannya sebagai sesama perempuan. Apalagi di usia yang mulai menginjak dewasa, gambaran-gambaran tentang kehidupan wanita dewasa yang dipaparkan sangat menarik untuk diikuti.
Poin utama yang kutangkap sepanjang cerita adalah bahwa perempuan tidak lebih baik dari laki-laki. Jarang ada yang namanya kesetaraan dan kaum wanita selalu berada di bawah. Diskriminasi antar gender seakan bukan hal besar. Banyak juga dipaparkan stigma yang berkembang bahwa perempuan harus seperti ini lah, menjadi itu lah, tidak boleh begini, dan dituntut mematuhi pikiran-pikiran tertentu. Para wanita didikte mesti menjadi perempuan yang demikian, sesuai dengan batasan yang ditetapkan orang-orang.
Contohnya, ada satu masa ketika Kim Ji-Yeong hampir mengalami pelecehan oleh teman lelakinya. Usai kejadian, tebak tiapa yang disalahkan? Kim Ji-Yeong, pihak perempuan, tentu saja.
‘Kenapa berbicara kepada sembarang orang?’ ‘Kenapa mesti sekolah jauh-jauh?’ ‘Kau perlu banyak belajar.’ ‘Kau harus berpakaian pantas, harus bersikap pantas.’
Pernyataan serta pertanyaan semacam itu membingkai dan seakan menyudutkan bahwa hal buruk seperti pelecehan yang terjadi pada perempuan adalah kesalahannya sendiri. Sesak? Tidak adil? Tentu saja.
Di dalam salah satu bab yang menceritakan Ibunya, terkandung ide bahwasanya perempuan tak ayal hanya sebagai peran pendukung dalam hidup orang lain tanpa memiliki kisah sendiri. Segala jerih payah semata-mata dilakukan untuk orang lain hingga rela harus menjual mimpi.
Buku ini memberikan gambaran bahwa terlahir dan hidup sebagai seorang perempuan tidaklah mudah. Dalam setiap hela napas, banyak pemikiran yang harus kita patahkan, banyak mimpi yang mesti kita raih untuk membuktikan bahwa perempuan tak hanya sekadar diam dan berkutat mengerjakan urusan rumah tangga. Perempuan juga berhak sekolah, berhak berilmu. Perempuan bisa terbang tinggi tanpa dikekang statement-statement menjatuhkan. Perempuan bisa dan bebas melakukan apa saja. Perempuan memiliki hidup penuh mimpi yang ingin diperjuangkannya. Bukan untuk orang lain, tapi demi diri sendiri.
Setelah beberapa bulan mogok menulis, akhirnya aku bisa menuangkan pikiran lagi sekian lama. Sepertinya ini pertama kalinya aku menuliskan sesuatu yang sifatnya pribadi nan penuh pendapat, ternyata asyik juga ya. Tulisan ini kubuat dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun Gramedia Pustaka Utama yang ke-47. Selamat ulang tahun GPU dan terima kasih telah menemani perjalanan membacaku dengan buku-buku hebat.
Akhir kata: Di saat kita terbelenggu dalam kubah karantina, buku adalah teman yang setia.
2 notes
·
View notes
Text
Diary story (Part 1)
“Malam ku tak lagi sunyi, hariku tak lagi sendiri. Dia di sini, cahayaku kembali.”
Begitulah kira kira gambaran hati sang Diary. Hari hari yang biasaya ia lalui dengan penuh kesendirian, malam yang ia lewati dengan penuh kesunyian, serta getirnya kerinduan yang harus ia rasakan, kini berubah menjadi dingin sedingin embun nan membasahi hati yang pernah tersakiti.
Tiga puluh hari menjadi hari terberat yang dirasakan. 720 jam yang penuh dengagn perjuangan, pengorbanan, penghianatan, serta penderitaan. Lalu 43.200 detik yang diisi dengan ketidak-percayaan diri, rasa pesimis, dan menutup bagian dengan kesedihan. Problematika hidup menghimpit raga dan nuraninya, di saat yang bersamaan, cinta yang dibanggakan berhianat dan tak lagi memberikan perlindungan. Rasa kasih dan sayang pun menenggelamkannya dalam keterpurukan.
Mahaf Putra Faisal, rasanya, enggan untuk dirinya mengingat cerita, sukar bagi dirinya merangkai untai peristiwa. Tak sudi, tak sudi ingatannya kembali tak rela kenangannya menyapa. Ia tak mau lagi menggenal rasa. Ingin ia kubur selamanya, mengubur dirinya, mengubur cintanya agar kelak, ia lupa akan semuanya. Baginya, cinta datang secara tiba-tiba, lalu pergi tanpa berkata.
Malam itu hujan turun dengan sangat lebatnya. Hembusan angin yang hebat menerpa batang - batang pohon di luaran sana. Mahaf berdiri di samping jendela ruang kerja, matanya menatap rintik hujan yang turun membasahi kaca jendela. Perlahan, tangan kanannya di angkat, mengusap jendela yang tak lagi jelas tertimbun embun di depan mukanya. Jari telunjuknya mengarah ke satu titik hujan yang menempel di jendela. Ia pandangi begitu lama. Hatinya tak begitu menentu padahal suasana terbilang syahdu. Matanya berbinar dan hampir menjatuhkan air kesedihannya. Rupanya, sosok ayahnya datang mengingat peristiwa yang pernah ia saksikan.
Kala itu Mahaf dan teman - temannya sedang bersiap melakukan sebuah pertunjukkan Teater untuk merayakan hari kelulusannya dari sekolah dasar. Banyak pengunjung yang hadir kala itu. tentu saja, kebanyakan mereka adalah orang tua dari semua murid di sekolahan itu. Penampilan mereka begitu rapih dan apik dipandang mata. yang laki - laki memakai batik, sedangkan para wanita memakai kebaya dengan selendang halus bak kain sutera. berbeda dengan mereka, ibuku datang dengan memakai daster bermotif bunga dengan kerudung “ninja” berwarna jingga. Ia duduk di bangku tengah tanpa ditemani pasangannya.
“Mana si bapak?” hati Mahaf bertanya.
Sang ibu tersenyum melambaikan tangannya sembari berkata “Adek bisa..!!” Keresek plastik berwarna merah yang ia bawa, diletakkannya di kursi sebelah. ia sengaja sebagai pertanda bahwa tempat duduk itu sudah ada yang punya.
Pertunjukkan pun dimulai. Ceritanya sederhana namun penuh makna. Yakni, peperangan Indonesia dalam meraih kata merdeka. Berbeda dengan tema dan cerita. Bagi Mahaf, ini pertunjukan yang tiada guna. Ia malu, meski tak semua mata tertuju padanya. iyah, Mahaf hanya berperan sebagai pohon yang bergoyang sebagai saksi bisu pertempuran ‘45
Dari kejauhan, pintu aula tiba - tiba terbuka.
“Rupanya itu si bapak” kata Mahaf.
Dengan kaki yang berjinjit, ayah Mahaf melangkah ke barisan kursi tengah dengan berhati - hati. Ia tak mau langkah dan tubuhnya menyenggol peonton lainnya. Tak lama si ayah duduk di kursi samping ibu. Kursi yang sedari tadi ibu gunakan sebagi tempat untuk menaruh plastik keresek berwarna merah. Dengan nafas yang sedikit terengah - engah, si ayah pun tersenyu sembari melambaikan tangan kanannya.
Rupanya, si Ayah bergegas datang walau waktu kerjanya belum kunjung usai. Ayah Mahaf hanya seorang supir. Makanya, Mahaf sangat maklum jika ia terlambat untuk hadir di pertunjukkan. Jangankan telat, tak hadir pun Mahaf tak apa. Mahaf mengerti jika pekerjaan ayahnya yang berhadapan langsung dengan kepentingan pelanggan, akan terasa sulit jika harus dihentikan ditenggah jalan.
Pertunjukkan pun selesai. Tepuk tangan riuh bergema di aula desa. sorak dan suitan orang saling bersahutan. Bangga akan anaknya, bangga akan putra putrinya. Di perjalanan pulang, Mahaf digendong bapak. mereka berdua berjalan menapakki jalanan desa, sedangkan Mahaf, Wajahnya kusut. Bibirnya ditekuk cemberut.
“Adek hebat..!!” kata si ayah. “TIdak semua orang loh, yang mampu dan bisa menjadi saksi, apalagi saksi kemerdekaan. Iya kan bu?” lanjut si ayah sembari meminta persetujuan sang ibu.
Si ibu hanya tersenyum melihat raut muka si Mahaf. Buatnya, lebih terlihat lucu dibanding terlihat sangar saat Mahaf kesal.
“Apaan?” Jawab Mahaf. “Adek malu, yah. Temen - temen adek pada jadi pendekar, jadi kesatria, yang jadi penjajah juga bagus bagus bajunya. Masa adek cuma beringin. Adek gak mau ikut lagi. Nggak mau ikutan drama lagi.” Jelas Mahaf.
Keduanya tertawa. Benar - benar bahagia menyadari anak bungsunya sudah semakin beranjak dewasa.
“Dek...”, ucap si ayah. “Dalam hidup, kita tidak bisa memilih akan menjadi seperti apa dan siapa kita nanti. Saat doa tak terjadi seperti yang kita pinta, dan dunia yang tak seperti kita kira, jangan pernah sekali pun menutup mata, jangan sekali pun menyerah walau bergeser mundur satu langkah. Hadapi..!! Lihat..! Bukan cuma bahagia yang membentuk adek sekarang. Bukan pula suka cita yang menjelma. Melainkan kecewa dan putus asa dengan apa yang kita pinta pada dunia. Semua terjadi tidak sesuai dengan lantunan doa. Lalu adek hadapi dan lewati hingga membentuk diri atas usaha yang dilewati.”
“Mikirnya sulit yah?” tanya ibu ke Mahaf sembari membuka isi keresek berwarna merah yang sedari tadi ia bawa “Udah, maem dulu nih.” sembari tangannya menyuapi kue donat ke mulut Mahaf.
Kembali di ruang kerjanya, Mahaf kembali tersenyum.
Ia memang tak begitu mengerti apa yang bapak maksudkan kala itu, usianya yang baru beranjak 12 tahun tak akan mampu mencerna pemahaman orang tua. Namun tatkala beranjak dewasa, Mahaf paham akan suatu hal. Jika gembira bisa berubah duka, begitu pun dengan kecewa, ia pasti akan menjadi bahagia.
Mahaf beranjak ke meja kerjanya. Membuka kembali catatan di laptopnya. Memulihkan kembali sampah yang dibuangnya...
Inilah Mahaf. Mahaf yang kembali melangkahkan kaki setelah 30 hari mati suri akan cinta yang sempat ia kagumi...
5 notes
·
View notes
Text
Hilang Arah #1 - “Melangkah Kembali”
jika boleh dibagi, kehidupan ini terbagi dalam 3 fase sederhana. tiap-tiap fase itu memiliki peran masing-masing untuk melengkapi cerita yang sudah tertulis dalam Lauhul Mahfudz. ketiga fase itu adalah: Seorang Anak, Orang Dewasa, dan Orang Tua. fase-fase ini bukanlah sebuah teori yang rumit, namun halnya hanyalah sebuah penyederhanaan agar penyampaian pesan mudah diresapi.
perihal anak muda yang mulai beranjak dewasa acapkali menjadi sebuah pengarungan kehidupan yang nantinya akan dirasakan setiap manusia ketika beranjak dewasa. pada fase-fase ini mayoritas anak muda akan merasa sering terjatuh karena cinta, terbuai dengan keangkuhan diri, dan kerap kali bersedih dengan hal-hal yang pedih. hal-hal seperti ini sering sekali membawa anak muda menjadi salah satu makhluk yang paling tidak stabil. banyaknya beban yang dimiliki, kemampuan menyampaikan perasaan diri yang tidak terkendali menjadikan suatu bukti yang lebih kokoh untuk mengatakan bahwa pemuda itu memang manusia yang paling tidak stabil. terlebih dalam teori Psikologi Perkembangan bahwa masa muda terkadang dijadikan sebagai waktu untuk mencari jati diri. oleh sebab itu, banyak ditemui pemuda-pemuda yang berbagai macam keunikannya dengan ketidak-stabilannya.
syahdan, cerita ini dimulai. seorang pemuda yang terjerembab dalam ke-fanaan dunia. mencoba untuk mencari arah kembali dari yang semestinya setelah terjebak dan tidak dapat melangkah, setelah meratapi sebuah derita yang dinikmati tiap matahari jingga mulai mencurat.
mungkin tidak akan menjadi sebuah cerita yang menggetarkan hati, tapi biarkan menjadi sebuah galeri untuk mengasah kemampuan diri dalam menulis perasaan yang selalu tersendat untuk disampaikan dan nantinya saya sendiri akan tersimpul senyum manis di ujung lekukan bibir saya ketika membaca ini kembali. terimaksaih, selamat menikmati.
8 notes
·
View notes
Text
Senja masih menjadi waktu favorit untukku. Duduk diteras dengan secangkir lemon tea, dan sepotong brownies kukus yang sudah mulai keras dan apeuk. Memandang setiap inc pergeseran cahaya dan mengumpati gelembung angin yang mulai malas mengepak. Lihatlah daun daun telah berhenti berdansa. Merunduk, terpaku lesu. Padahal burung burung kerap berjingkrak kesana kemari seiring dengan liuknya yang erotis.
Teh mulai dingin, saat pikiran mulai asik melonpat lompat dari satu tumpukan awan ke tumpukan yang lain. Sesekali aku akan mengunyah yang warna jingga dan menyimpan yang kelabu disaku baju. Rasanya persis seperti gulali, yang sering ku beli di pasar malam, waktu kecil dulu. Sedikit lengket dari gula yang meleleh dan menggumpal diujung jari.
Ingatan tentang masa kecil yang sempurna selalu menjadi alasan untuk kembali. Bermain dengan segala hal, tanpa batas dan tanpa takut. Saat hujan, aku terbiasa berlari dengan telanjang, bermain prosotan diteras rumah, dan bertapa selama mungkin dibawah talang air. Diwaktu yang lain, aku akan bermain boneka kertas, menjadi sutradara untuk setiap tokoh yang diciptakan.
Waktu sehabis ashar, aku dengan senang hati akan ikut bermain bola sepak dan bola kasti di lapang desa dengan kawan laki laki. Di lain kesempatan, mereka yang akan ikut bermain lompat tali bersama kami. Kadang kami saling bergosip dan menjelekan namun kembali akur seperti tidak pernah terjadi apa apa.
Proses memaafkan dan berbagi menjadi proses alamiah bagi kami. Kewajiban yang tak perlu di tuntun, hak yang yang tak mesti diminta. Tak perlu menjadi kaya untuk selalu tersenyum, tak perlu menjadi pintar untuk bisa bahagia. Pencapaian hanya milik orang dewasa, yang berlaku setahun sekali, ketika kenaikan kelas. Selebihnya kami sama, sama sama suka bermain apa pun.
Di ujung barat, di bawah kelopak langit, awan mulai memoles warna merah bata dengan garis garis hitam yang tegas. Namun segelas lemon tea yang dingin dan brownes pahit masih sisa separo. Dengan sigap, tangan kananku mulai menjejalkan potongan potongan kecil kueh kedalam kerongkong yang seret. Sebelum kemudian, sisa teh mengalir deras, seperti air kran yang dibuka, melibas setiap kunyahan yang belum cukup halus.
Sepertinya, sudah waktunya aku beranjak dari jeda yang sejenak ini. Sebelum langit benar benar hitam dan kuntilanak penunggu pohon nangka berkeliaran keluar. Aku harus cepat merapikan lembaran lembaran ingatanku, dan menyimpannya untuk dibaca lagi nanti.
0 notes
Text
tiap tiap waktu
ketika gelap berubah menjadi jingga. dan biru menjadi warna senja di sore harinya. tepat hari ini, genap usia bertambah menjadi dua puluh dua.
tak ada yang spesial. hanya saja hidup terasa semakin sial. ya, benar. sial karena dipaksa beranjak dewasa dan seterusnya. banyak beban hidup yang ditanggung dan harus dijalaninya.
quarter life crisis kalau kata orang-orang. yah, sudah 1 tahun kebelakang dihadapi dengan pertanyaan ini. mencari definisi bahagia yang bukan sekadar senyum di raut muka dan menyembunyikan luka dibaliknya. menjadi versi terbaik diri sendiri tanpa lupa memberi apresiasi di kemudian hari. mendamba puan yang bisa diajak sefrekuensi berbagai macam pelajaran berkehidupan.
yaaa begini ini tulisan diatas sebuah keresahan. belajar dari masa lalu sebagai pelajaran, hidup sekarang sebagai representasi kebahagiaan, dan merencanakan mimpi untuk disemogakan atas amiin yang diucapkan.
ketidakjelasan semakin terlihat jelas. kau hanya perlu membumbui dengan warna dan tulisan agar kau bisa memaknai.
-- mjd, 05.22 WIB, Kediri.
0 notes
Text
Perihal ditinggalkan...
Menjadi yg ditinggalkan adalah luka, diberikan oleh yang meninggalkan
Terlepas karena hal apa, tetap saja bagiku ditinggalkan hal yang sangat melukai, bukan saja luka tapi isi dari rumah yang sempat di singgahi dibuat hancur berantakan
Proses merapikan, proses menyusun kembali benda yang telah tergeletak bukan hal mudah saat telah ditinggalkan, butuh kekuatan! dan kuat itu hanya mau menyapa untuk hati yang telah menerima
Menerima kalau memang ada hal yang datang cuman untuk singgah, meski harus membersihkan sisa, menerima kalau ada hal yang datang sebagai pelajaran, menerima kalau hal yang dipaksakan tidak akan berakhir baik.
Perihal rasa yang telah memudar sebab tak ada komitmen yang menjadi landasan, hanya ingin segera mengakhiri ketika tidak mampu menerima kekurangan, dan tak cukup kuat membenahi yang dimiliki kemudian memilih mencari yang baru
Menahan hati yang telah egois untuk hal tersebut ternyata lebih menyakitkan, kau harus bertemu dengan abai, bertemu dengan dinginnya hati, bertemu dengan kerasnya isi kepala yang tak mau di bagi...
Padahal kemarin.. Kau begitu diperlakukan baik namun semesta ingin bercanda, membawamu dalam skenario pahit yang harus kau telan, memikirkannya saja cukup membuat nafas tertahan bukan..
Egois?.. Mungkin iya... tapi sama saja.. Si yang ditinggalkan akan egois juga jika menahannya,
Egois jika membuat sang meninggalkan berpura-pura masih dengan rasa yang sama, padahal rasa itu telah berubah perlahan dan akhirnya pudar, menahan rasa untuk tetap sama padahal sudah tidak ada lagi seperti menyimpan bara pada genggaman, ya terlalu menyakitkan.
Memaklumi hati yang ingin beranjak saat tak da rasa nyaman lagi.. Terdengar munafik. Tapi apa mungkinn kau tetap bertahan untuk mendapat luka yang lebih dalam?
Ada poin yang harus dilibatkan dalam hal rasa,
Sang Maha Rasa, Sang Maha Penggenggam Hati mampu membolak balik hati manusia, jika memang takdir jodoh itu belum didapati akan selalu ada skenario yang memisahkan,
Ada kalimat klasik untuk masalah perasaan
"jika kita sudah memilih seseorang, tapi kita tidak bisa bersama hanya ada dua penyebabnya, kita memang bukan untuk mereka, atau ada yang lebih baik untuk kita, baik yang pertama atau yang kedua semuanya sama-sama baik, yang pertama baik untuk mereka, yang kedua baik untuk kita" yaa seklise itu. Tapi benar.. Hati mengiyakan, meskipun hanya sebagian kecil yang menyetujuinya
Patah, kemudian jatuh, luka, dan sedih adalah proses wajar yang akan ditemui setelah kehilangan orang yang memilih pergi karena ingin
Tak perlu buru-buru
Sakitnya harus dinikmati, agar kelak saat sembuh tak teringat lagi.
Memaksa dan menolak rasa pedih justru akan membuat lukanya semakin lama sembuh
Saat seperti itu pelan-pelan saja, biar tidak melewatkan hikmah Allah yang diberikan melalui luka. Karena saat hikmahnya tersingkap, selamat datang di penerimaan..
Penerimaan yang akan meluruhkan semua luka menjadi pemahaman
Penerimaan yang akan mendamaikan hatimu
Penerimaan yang akan membuatmu lebih dewasa dan hati- hati dalam merasa.
Percayalah.. Allah tak akan membiarkanmu memeluk luka sendiri, karena sejak awal Allah telah menuliskan bahagia pun dengan liku lukanya, kembali dan cukupkan patahmu yang lalu. Behenti meletakkan rasa kepada makhluk yang sama lemahnya dengan kita.
Sudah rasa betapa sakitnya kan. Akupun telah melalui liku, patah dan jatuh itu... Sembuh pasti. Kau hanya perlu sedikit sabar
Bahagia ya..
- Via - RadAr (4 Maret 2020) , saat lembayung jingga tertutup kabut
0 notes
Text
Cerita tentang Ayah
Aku adalah anak perempuan kedua dari 3 bersaudara. Aku tak terlahir dari keluarga kaya namun keluargaku sederhana dan kecukupan.
Sedari kecil aku telahir dan hidup di sebuah desa kecil. Kala itu aku tinggal di rumah yang dindingnya hanya kayu dan atapnya genting yang jika hujan sering bocor. Aku bahagia meskipun hidup seperti itu, karena keluargaku lengkap dan aku sering dikunjungi teman-teman sepermainanku.
Semenjak kecil Ayahku sering merantau ke luar kota untuk mencari nafkah. Ayahku adalah seorang yang pekerja keras. Beliau sangat ulet dan serius dalam bekerja seperti tak kenal lelah. Aku hampir tak dapat mengingat banyak kenangan masa kecil bersamanya.
Ketika aku duduk di bangku sekolah dasar, ketika itu aku benci dan kesal karena Ayah tak pernah berkenan mengambil raport ke Sekolah hingga aku selalu menangis. Ibu atau kakak perempuanku yang selalu mengambil raportku. Kala itu aku menilai bahwa Ayah tak pernah perhatian dan sayang padaku. Aku iri dengan teman-teman lain yang ketika ada acara pengambilan raport, Ayahnya yang selalu datang mengambilnya. Tak ku sadari bahwa Ayah ketika itu sangat sibuk bekerja demi menghidupi banyak orang di keluarga, apalagi ketika itu nenekku sedang sakit keras. Ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) aku juga sering sakit bahkan opname sampai membuat semuanya bersedih. Aku tak tahu bahwa Ayah sampai tak tidur karena memikirkanku sambil memijat tubuhku yang lemah. Aku bahkan menganggap Ayah tak sayang dan perhatian padaku hingga aku duduk di bangku Sekolah Menengah. Setelah aku mulai beranjak dewasa, perlahan ku mulai mengerti arti pengorbanan dan cinta yang sejati yang tersembunyi dari Ayah. Ketika itu aku membantu pekerjaannya di Sawah. Sungguh hari itu aku merasa sangat lelah padahal aku hanya membantunya satu hari, dan dalam batinku menggerutu bahwa aku ingin jadi guru di Sekolah saja. Keringat bercucuran dan air mata tak terasa menggenang di pipi. Aku mulai terharu dan menyadari bahwa pekerjaan Ayah sangatlah berat dan beliau tak sedikitpun mengeluhkannya. Sungguh aku merasa selama ini belum mampu membalas apa-apa.
Ayah..Begitu kuatnya engkau yang mampu menopang hidup keluarga. Ayah yang selama ini menjadi satu-satunya yang mencari nafkah di keluarga karena Ibu hanya seorang Ibu rumah tangga. Ayah meski tak ada titel dan status jabatan tinggi yang melekat padamu, namun aku bangga padamu. Meski kau bukanlah seorang yang pandai berkata manis bagai pujangga, aku dapat merasakan cinta dan kasihmu. Ayah..terima kasih atas segala jerih payahmu yang bisa membawa Kakak, Aku, dan Adik sekolah sampai jenjang tinggi.
Kepada Ayah
Ayah..janganlah kau bersedih hati
Keikhlasanmu kan menjadi pahala
Lelahmu kan menjadi berkah
Kelak surga pasti kan jadi tempatmu
Ayah..
Jangan kau resah
Kau kan selalu ada di setiap doa
Ayah..Kau kan selalu jadi Raja di hatiku
Namamu kan abadi bersama nafas dan cintaku
Ayah..rinduku selalu merintih sepanjang hari
Ku ingin segera pulang dan bercengkerama denganmu kala senja berwarna jingga
Selamat Hari Ayah
Semoga panjang umur serta bahagia
Semoga meraih berkah sepanjang usia
1 note
·
View note
Text
Keduasatu
Fajar menyingsing memberi rona jingga yang luar biasa.
Malam penuh bintang beranjak untuk beristirahat sejenak.
Pagi yang cerah, seolah paham tentang arti bahagia.
Seiring do'a yang kulangitkan, tepat di hari bahagiamu.
Jarak yang terbentang di antara kita tak terbilang dekat namun tak dapat terbilang jauh pula.
Tapi do'a mendekatkan yang jauh, semesta jelas menyatukan pada atmosfer yang sama.
Teruntuk Shania
Selamat bertambah dewasa.
Semoga Tuhan menjagamu dalam anugerah bahagia yang membuatmu semakin sempurna.
Sempurna terwujud dalam dekapan doamu dan mimpimu.
Meski tangan tak mampu berjabat, mata pun tak jua bertatap, tetapi ucapan dan do'a terbaik akan tercurah untukmu.
Kepada waktu yang terus begulir, untuk usia yang genap bertambah satu tahun, dan untuk umur yang genap berkurang satu tahun.
Di hari bahagia ini, terlepas dari bertambah dan berkurangnya usia dan umur, ada rasa penuh syukur atas segala nikmat dan anugerah dari Sang Pemilik Semesta.
Umur bagaikan kayu yang dilahap api. Semakin lama akan semakin berkurang. Namun, kita terlahir sebagai manusia, terlahir dengan keajaiban akal untuk berpikir.
Dimulai hari bahagia ini, jadikan sebagai momentum untuk merefleksikan diri, untuk meningkatkan kualitas diri untuk hari-hari kedepan.
Waktu bagaikan nafas yang tak mungkin kembali. Maka dalam satu tahun bergulirnya waktu ke depan, wujudkan dalam setiap hembusan nafas adalah peritingkah laku penuh kebaikan.
Bertambah usia itu pasti, sedangkan menjadi dewasa adalah pilihan. Tiap-tiap manusia sejatinya adalah murid atau siswa pembelajar yang terus bermetamorfosa di setiap detiknya.
Kita yang sekarang adalah konsekuensi dari pilihan masa lalu.
Hidup bukan hanya sekedar takdir yang tertulis dalam Lauhul Mahfudz, setiap proses hidup akan tersedia ruang untuk memilih.
Menjadi baik adalah pilihan, menjadi buruk adalah pilihan, bahkan tak memilih pun adalah pilihan.
Setiap pilihan melahirkan konsekuensi, maka dalam setiap gerak hidup isi dengan kebaikan. Syukuri setiap pilihan, karena tanpa kita sadari itu semua merupakan pilihan-Nya. Pilihan yang terbaik dari-Nya.
Sekali lagi, selamat hari lahir untuk Shani, semoga selalu dilimpahkan bahagia. Hidup sejatinya tak dimulai sejak lentera dunia menyala, melainkan sejak kita membuka mata di setiap paginya. Selalu ada asa dan cita, yang siap diukir menjadi karya untuk semesta.
Kepadamu, Shania.
Untuk tahun ke-21.
Semoga bahagia.
0 notes
Text
31 Juli, 4 tahun lalu
Hari ini aku akan pergi Tinggalkan kamarku ini Menuju perjalan baru yang belum menentu ...
Yang dulu kuraih ku lepas Kini mencari yang baru Apakah kan terulang lagi?
Yui - Tokyo
Lagu itu membuka kenanganku 4 tahun lalu. Waktu itu, langkahku terasa berat untuk meninggalkan kota masa kecilku yang telah mendewasakanku. Aku tau, ribuan orang berjuang dengan segala yang mereka punya untuk sampai disini. Tapi aku malah meninggalkannya. Berat, jika harus meninggalkan kenyamanan yang sudah ku rasakan. Berat, jika harus menumpuk lembaran kenangan, kemudian menyimpannya dalam-dalam.
Senja pertama di kota tetangga,sinar jingganya menyusup dari jendela kamarku. Memenuhi ruangan dengan jingga, membangkitkan sisi melankolis seorang manusia yang sedang beranjak dewasa. Belajar menjadi bijak untuk tak menyesali segala keputusan yang telah dipilihnya.
Sialnya, jika merindukanku, aku lebih merindukan mereka dengan semua alur kenangan yang telah kami lalui bersama. Saat badai rindu itu mendera, aku teringat kalimat salah seorang temanku ketika melepasku pergi.
“Jangan bangga menjadi intan diantara pasir, tempatmu bukan disini. Pergilah jika memang kau harus pergi. Temukan intan yang lain atau setidaknya sepuhan emas. Kau seharusnya bersama mereka”.
Aku disini bukan untuk merindukan mereka, aku disini untuk mimpi-mimpiku, mewujudkan harapan mereka yang sengaja mereka letakkan di bahuku.
Jika memang seperti ini jalan yang harus ku tempuh, aku tak boleh menyiakan air mata mereka ketika melepasku pergi. Aku tak boleh menyiakan rindu yang harus mereka simpan semenjak kepergianku. Aku harus berjuang untuk melepaskan apa yang sudah ku lepas dan meraih apa yang ingin ku raih. Aku harus berjuang untuk mewujudkan impianku juga harapan mereka.
Tunggu aku Jogja, aku akan pulang membawa seransel rindu yang telah ku kumpulkan selama ini.
4 notes
·
View notes
Photo
.. Batam, 03 Agustus 2017 .. Tentang senja, tentang baskara yang membayang petang di garis pesisir cakrawala, tentang berjalan diatas pasir yang ditelan deburan ombak kecil yang menganga, tentang perjalanan kita yang telah kehabisan masa, namun masih kukenang dalam cerita, dalam setiap do'a yg kugemuruhkan menembus bumantara. .. Ada kalanya aku bungkam, tatkala merasa terusir oleh malam. Bukankah aku telah meminta jeda barang sejenak? Biar kubereskan sisa ingatan yang berkecamuk dalam benak. Toh hari ini adalah hari lahirnya, kekasih halalku yang sekarang berkalang tanah hilang nyawa, Dan aku tidak sedang membasahi mata, oleh kata ketika, saat dimana kau berlarian manja memecah tawa, tepat di bibir pantai penuh aroma pekat jingga, mengayun sore penuh warna, dalam biasan janji yang pernah kita sepakati untuk selamanya bersama. .. Lalu kini aku dapat memahami sulitnya jatuh cinta pada hal yang sama dengan keadaan yang berbeda, maksudku begini, aku pernah jatuh cinta pada matahari yang terbenam dilangit sore kala bersamanya, kenyataannya adalah, setelah ketiadaannya, mataharinya tetap sama, tenggelam dengan indah tapi tidak lagi bermakna. .. Maka senja, aku tak pernah menyalahkan kehadirannya, senja tetaplah senja yang dinanti banyak manusia, setidaknya aku masih meng'angan'kan kembalinya guratan ceria, Mengulang hari penuh makna, bersamanya, tidak dalam dunia pastinya. .. Kelak, jika kau izinkan, mungkin aku akan beristirahat, sedikit membenahi diri, tetap membesarkan 'mereka', masih dengan perasaan yang sama, hingga beranjak dewasa, .. Lanjut di kolom komentar.. .. #temukanide #nulisyukbatch2 #nulisyuk #komunitasmenulis #kumpulan_puisi #phapud #pengelanakata #bedadunia #sajakrindu #prosanusantara #penulisamatir
#penulisamatir#phapud#nulisyukbatch2#prosanusantara#komunitasmenulis#temukanide#pengelanakata#sajakrindu#bedadunia#kumpulan_puisi#nulisyuk
3 notes
·
View notes
Text
HOROR
Di suatu senja.. Perjalanan yang cukup menyenangkan antara ayah dan putrinya.. Semburat jingga kemerah-merahan memaksa mengintip masuk melalui kaca mobil... Ayah dan putrinya itu berbagi cerita satu sama lain sambil sesekali tertawa...
Tiba-tiba... seorang laki-laki berumur 45 tahuna an yang sedang menyetir itu berkata kepada anak perempuan satu-satu nya... dengan suara tenang dia bertanya "Kriteria calon suami kamu apasih nak?"
Suasana hening...
Sang putri menyadari, bahwa pembahasan ini cepat atau lambat akan terjadi. Tapi tidak disangka di senja ini...
Laki-laki 45 tahun an itu terdiam, Menunggu jawaban dari putri kecilnya yang sudah beranjak dewasa.
Sebagai seorang ayah, dia juga harus mulai belajar merelakan putrinya dari jauh-jauh hari bukan (?).... Memastikan, kaki kecil putrinya itu berpijak pada apa-apa yang benar, terutama dalam menjalankan Syari'at Agama-Nya.
Setelah mendengar pertanyaan sang ayah, sang putri terdiam sambil melihat ayahnya yg sedang menyetir itu, tidak percaya dengan apa yang baru saja ayahnya katakan....
"Ih apa sih pa hahahahaha....", ucap sang anak.
" Kok apa sih (?)" tanya ayahnya sambil mengerutkan dahi yg sudah terlihat keriput dibeberala bagian..
"mau tau banget apa mau tau aja?.. emmm, smpai saat ini cuma kefikiran si dia harus mau menjalani tes psikologi hahahaha"
"Wah mentang-mentang kuliah psikologi, Kamu itu lagi cari suami bukan lagi nanganin klien"
mereka sama-samaa tertawa, lalu kemudian tenggelam dalam fikiran masing-masing....
*cerita horor versi penulis, beneran horor pas kejadian, serius*
0 notes
Photo
"Bahagia seperti apa yang perlu disambut, pak?" tanya anakku di jalan pulang. "Seperti apa ya? Hm, mungkin seperti ini, bapak dan kamu jalan bersama seperti ini" jawabku sambil tersenyum seraya merangkul bahunya. "Tapi sekarang kita tinggal berdua, ibu sudah tidak ada.." sahutnya lemas, lalu tertunduk. Aku diam sebentar, "Justru itu, bapak baru sadar kalau saat inilah saat yang paling bahagia dan harus disambut." yakinku sambil menatap lurus ke ujung jalan. "Kenapa? Masa kita mensyukuri kehilangan? Sudah tiga tahun bapak sendirian, nggak sedih? bapak nggak kesepian?" ia melempariku dengan pertanyaan beruntun. Aku terheran karena baru sadar ternyata ia anak yang pandai. Ah, putriku sudah besar sekarang. Aku menyunggingkan senyum sambil mengelus rambutnya yang sebahu, dan menjawab "Karena sekarang bapak sadar bahwa setiap pertemuan pasti memiliki arti, apapun ujungnya, bagaimanapun akhirnya. Mungkin harus ada yang hilang. Tapi yang hilang pun pergi untuk satu tujuan yang mulia. Tidak melulu patah dan pedih harus ditangisi. Kadang sukar bagi kita untuk paham apa mau dari sang Tuan. 'Mengapa kita dipertemukan jika akhirnya dipisahkan', begitu tanya kita. Padahal tidak ada yang terjadi karena kebetulan, bahkan ujung jalan yang terpisah. Pasti semua terjadi untuk kebaikan kita. Sudah sepatutnya disyukuri dan 'bersorai' atasnya." Paparku. Tak terasa kami sudah tiba di depan rumah. Langit sore itu terasa begitu ramah. Mereka mengumpulkan awan untuk meneduhkan, bias ungu dan jingga menemani perjalanan kami dari makam. Sampai di muka pintu, aku berhenti sejenak dan menatap putriku yang sudah beranjak dewasa. "Jika ibu tidak pergi, bapak tidak akan tau bagaimana caranya berdiri dan menyayangimu sepenuh hati. Yuk, kita masuk dan selesaikan PRmu, apa tadi? Fisika ya? Atau matematika? Tenang, bapak jagonya!" Tutupku dengan laguan penuh canda. "memangnya bapak bisa? Kata Ibu kan bapak anak Sastra, bukan IPA, pasti payah soal Fisika, hahaha" Ia tertawa geli menjawab gayaku sambil berjalan masuk ke rumah. Tawanya. Aku sadar aku tidak benar- benar sendirian. [Terinspirasi dari lagu karya @cakecaine berjudul 'Sorai'] (at Jakarta, Indonesia) https://www.instagram.com/p/BsNC4oTnYDm/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=vqs432uy8xfy
1 note
·
View note
Text
Tiga bulan setelah pertemuan pertama di bus, Arsa sedang duduk tenang di kantornya. Setumpuk kertas berada di sebelah kanan. Nyala layar laptop menemani siang yang terik tapi dingin di dalam ruangan. Jarinya menari dengan lincah melewati huruf-huruf di atas laptop. Suara ketukan pintu menghentikan kerja Arsa.
"Iya, silahkan masuk"
Sosok Pak Ardi muncul dan mengganggukkan kepala untuk menyapa Arsa, "Siang mas Arsa"
"Silahkan Pak"
Pak Ardi duduk di kursi hitam yang ditunjuk Arsa.
"Ini Mas laporan bulanan dari hotel cabang Magelang"
Arsa membolak-balikkan laporan yang diberikan Pak Ardi. Ia membaca laporan dengan seksama.
"Ini apa Pak, kok ada minusnya?" Kata Arsa menunjuk bagian kolom pada tabel.
Pak Ardi mendekat sembari membetulkan letak kacamatanya.
"Ooh itu Mas, sekitar 3 atau 4 bulan lalu ada kegiatan outbound buat para karyawan hotel disana. Terus waktu itu karena belum semua dana dari pusat turun jadi masih utang buat bayar bus Mas"
"Hah! Apa Pak? Uang buat bayar bus? Ke Magelang? Tau dari mana Pak?" Arsa tiba-tiba panik.
Pak Ardi jadi bingung dibuatnya. "Dari sini Mas, dari laporan"
"Siapa yang laporin Bapak kalau saya ngutang?"
Pak Ardi menatap Arsa keheranan.
"Emang Mas Arsa ada ngutang sama orang?"
Arsa terdiam. Dia baru menyadari bahwa untuk sesaat akal sehatnya sempat hilang karena kata-kata Magelang, utang dan ongkos bus.
"Oh nggak Pak. Nggak apa-apa. Nggak usah dipikirin"
"Jadi gini mas, karena waktu itu dana dari pusat belum cair, jadi tim HRD Magelang nutupin dulu pakai dana operasional hotel sana. Gitu Mas"
Bibir Arsa refleks membentuk huruf O. Ia kemudian tersenyum sampai gigi depannya terlihat, "Maaf Pak, tadi sempet nge-blank"
"Nggak apa Mas, mungkin belum makan siang"
Arsa memainkan pena di jarinya. Sebuah kertas putih kosong terhampar di depannya. Ia kemudian menuliskan kata perempuan, Jogja, fotografi, mahasiswa, S1/S2, dan juga nama dengan tanda tanya yang begitu besar.
"Perempuan itu naik bus yang sama dari Jogja. Berarti dia domisilinya di Jogja" Ia lalu menambahkan tanda panah.
"Dia waktu itu bawa kamera terus berhentinya di kontes fotografi. Berarti dia fotografer, atau cuma hobi foto" Ia menambahkan tanda panah lagi.
"Kalau kontesnya buat mahasiswa, berarti dia mahasiswa juga. Tapi S1 atau S2 ?"
Arsa meletakkan penanya.
"Ini nih PR paling gede. Nama. Kenapa timingnya waktu itu jelek banget. Baru mau nanya nama, eh udah turun aja dia. Kan jadi susah ngelacaknya"
Arsa membentuk lingkaran besar di sekitar tulisan nama.
"Eh tunggu. Belum tentu dia domisili Jogja, siapa tau dari luar kota terus transit di Jogja baru ke Magelang. Eh tapi kan kontesnya buat Jogja-Jateng aja"
"Orang bawa-bawa kamera emang udah tentu hobi fotografi? Kan belum tentu. Siapa tau punya temennya ketinggalan. Atau cuma bawa aja buat mengabadikan momen atau pemandangan"
"Tapi kok ke kontes fotografi? Berarti dia fotografer"
"Kalau liat dari penampilannya ngebingungin sih. Dibilang mahasiswa juga masih pantes, tapi keliatan dewasa. Bisa S1, bisa S2"
"Eh tapi kan.. ada D3, D4, S3 juga ada. Itu kan juga mahasiswa"
Pikiran Arsa serasa bercabang banyak seperti pohon rindang yang berumur.
"Apa aku ke Jogja aja ya buat nyari orangnya?"
Pena Arsa menari-nari di atas kata Jogja.
"Harus cari ke mana dulu? Kayak cari jarum diantara jerami. Se-random itu"
"Tunggu..." Arsa mengamati kertasnya yang semakin ruwet.
"Kalau dia udah nggak di Jogja lagi gimana?"
"Tiga bulan aja bisa bikin biji jadi bunga. Kemungkinan juga besar buat orang pindah rumah"
Arsa menggaruk kepalanya yang sebenarnya pusing. Ia mengambil kertas penuh coretan abstrak dengan kasar, diremasnya hingga kusut dan dilemparkan ke arah tempat sampah.
Suara dering handphone menyudahi kegiatan Arsa yang sedang mengutuk diri sendiri.
"Halo.."
"MAS ARSAAA.."
"Apa sih teriak-teriak? Ya ampun.. inget umur dong. Udah 20an. Masih kayak bocah sd aja"
"Ya elah sama abang sendiri masak nggak boleh. Nggak seru"
"Kenapa nelpon-nelpon?"
"Mas Arsa 3 bulan lalu ke Magelang? Kok ga mampir Jogja? Jahat banget sih"
Arsa semakin meratapi nasib. Adik laki-laki satu-satunya, Eric, si anak bungsu yang selalu diagungkan selalu membuatnya lelah. Salah satunya dengan sifat manja luar biasa kalau lagi kumat.
"Emang harus selalu mampir?"
"Iya lah mas"
"Nggak juga lah. Nggak ada yang bilang wajib"
"Yeee bilang aja males. Lagian nggak di tengok Mas Arsa juga nggak ngaruh apa-apa. Nggak ada ruginya".
Mood adiknya yang seperti pusaran tornado membuatnya ingin mengakhiri panggilan.
"Kalau nggak ada yang penting, aku tutup ya"
"TUNGGU!! Mas.. Mas Arsa.. di stasiun 3 jam lagi"
"Ngapain?"
Di ujung sana tak ada jawaban.
"Jemput kamu? Naik taksi ajalah. Naik ojek online. Naik angkot"
Pip. Panggilan berakhir.
"Ishhh.. udah manja, nggak sopan pula. Main dimatiin aja telponnya. Kalau bukan termasuk anaknya Ibu, udah ku black list dari dulu"
Arsa memasukkan handphone ke laci dengan posisi terbalik. Lalu laci ia kunci.
Menit demi menit berlalu. Siang berubah menjadi sore ditemani semburat jingga di ufuk barat. Layar-layar komputer yang menyala, satu persatu menjadi gelap. Kursi-kursi kembali ke posisi awal. Suara saklar lampu yang ditekan dan hawa dingin AC berkurang hingga hilang. Arsa meliukkan badannya ke kanan dan kiri. Jam di tangan Arsa menunjuk posisi pukul 16.20 saat Arsa mematikan komputer. Ia bersiap pulang seperti pegawai yang lain. Sesaat setelah ia mengambil tas dan beranjak dari kursi, ia memutar badannya kembali duduk. Seperti melupakan sesuatu.
Arsa memutar kunci di laci untuk mengambil handphone yang dia asingkan. Ia mendapati belasan panggilan dan chat masuk dari satu nama. Arsa menghela nafas panjang.
"Satu-satunya kesamaan antara kita cuma satu. Pantang menyerah. Apapun tujuannya, nggak akan berhenti sebelum kesampaian"
Mobil berwarna hitam melaju dengan kecepatan normal. Bersiap membelah kota Bandung, demi menjemput si anak bungsu.
Arsa menunggu di parkiran stasiun. Ia sudah mengirim pesan pada Eric, 5 menit sebelum masuk area parkiran, namun ujung hidungnya belum terlihat.
Arsa memukul-mukul bahunya yang terasa kaku saat kemudian ia melihat sesosok mahluk yang terasa akrab tapi kadang ingin dia enyahkan. Orang itu memakai kemeja motif floral berwarna hijau terang dengan semua kancing terbuka, sebuah kaos putih menjadi innernya. Celananya warna abu-abu diatas mata kaki. Sepatu kets warna merah. Di kepalanya ada sebuah benda, entah bisa dibilang topi atau tidak, menurut Arsa hanya anyaman bambu. Serta kacamata hitam melekat di atas hidungnya yang mancung. Orang itu menyeret koper berwarna jingga terang dan membawa totebag berwarna navy. Sungguh pemandangan luar biasa.
"Sangat percaya diri.. Ckckck.." Arsa mengomentari sosok yang berjalan mendekat.
Hampir saja Arsa mengunci pintu dari dalam, tapi kalah cepat dengan orang itu. Ia berhasil masuk. Padahal Arsa akan menginjak gas dalam-dalam dan pergi, begitu dia berhasil mengunci pintu.
Sebuah senyum yang dipaksakan terulas di wajah Arsa.
"Apa kabar Mas? Ini gantinya karena ke Magelang tapi nggak mampir ke Jogja" kata Eric.
"Okee.. terserah ajalah" kata Arsa asal-asalan.
Arsa melirik spion sebelah kiri saat akan memundurkan mobil. Lalu sesaat, ujung matanya menangkap sebuah benda yang begitu traumatis. Ia mengamati adiknya.
"Kenapa Mas?"
"Kenapa ni bocah bawa-bawa kamera? Nggak tau apa ada kejadian traumatis?" Kata Arsa dalam hati.
Eric yang tidak menerima jawaban, kembali bertanya.
"Mas Arsa kesambet? Ditanya kok diem aja"
"Kenapa bawa-bawa kamera?" Arsa menunjuk barang yang bergelantung di leher Eric.
"Mas Arsa lupa? Ini aku Eric" Jari telunjuk Eeic menunjuk dirinya sendiri.
"Adiknya Mas Arsa" Jari telunjuk Eric di arahkan ke Arsa.
"Fotografer" Eric memperagakan caranya membidik gambar dengan tangannya.
Arsa melirik ke arah Eric dengan tatapan elang yang akan menerkam mangsa.
"Kenapa? Emang nggak boleh fotografer bawa-bawa kamera?"
"Emang kalau bawa-bawa kamera pasti fotografer?" Tanya Arsa penuh selidik.
"Iyalah. Kalau bawa-bawa traktor berarti pak tani. Kalau bawa-bawa stetoskop berarti dokter. Masak gitu aja masih nanya"
Eric menatap mata Arsa kesal. Keduanya beradu pandang sengit.
Arsa melepas pandangan dan mulai menjalankan mesin mobil.
"Berarti perempuan itu juga fotografer kalau apa yang diomongin anak ini bener" batin Arsa saat kembali melirik Eric.
"Ini bocah kan fotografer juga, domisili Jogja. Apa mungkin dia kenal sama perempuan itu? Ah tapi masak iya sih. Nggak mungkin kayaknya. Jogja kan nggak sekecil itu" kata Arsa dalam hati sambil menggelengkan kepala.
Ia kembali menatap jalan di depannya.
"Apa ntar kutanya langsung aja ya?" batin Arsa sambil melirik Eric lagi.
"Nggak.. nggak akan.. yang ada ntar cuma jadi bahan olok-olokkan sama ni bocah"
Arsa kembali menggelengkan kepala.
"Tapi.. kalau itu satu-satunya cara...???"
Saat Arsa kembali melirik Eric, yang ditatapnya malah melotot. .
"Tukeran mas. Aku aja yang nyetir. Jangan nengok-nengok terus. Liatnya ke depan. Fokus. Bahaya"
"Iya bawel"
Arsa lalu menepikan pikiran yang mengganjal. Mobil melaju dalam keadaan tenang dan damai hingga memasuki gerbang sebuah rumah dua tingkat berwarna abu-abu.
0 notes